Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut Di Labuhan Batu Sumatera Utara (The Sendi Of Subsidence Of Peatsoil In Labuhan Batu Sumatera Utara Area)

Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)

B.Rusman,

Basyarudin,

dan

KAJIAN SUBSIDENSI PADA LAHAN GAMBUT DI LABUHAN BATU SUMATERA UTARA

(The Sendi of Subsidence of Peatsoil in Labuhan Batu Sumatera Utara Area)

Bintang*, B. Rusman**, Basyarudin*** dan E.M. Harahap*
*Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Jalan Prof. A. Sofyan 3 USU
** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNAND Padang *** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UISU Medan

ABSTRACT

Peatsoil subsidence studies have been conducted in Labuhan Batu area, Province of North Sumatra in October 2003 until September 2003. The research was done with different thickness of peatsoil. Result of recent studies revealed. That rate of subsidence in deep peatsoil were generally higher than that of shallow peatsoil, and rate of reduction peatsoil surface also higher when subsidence starting at begining of the year. Peatsoil management influence rate of subsidence, at oilpalm cultivation showed that the rate of subsidence was higher than at the settlement.
Key words : Subsidence, Peatsoil


ABSTRAK
Kajian subsidensi pada lahan gambut telah dilakukan di wilayah Labuhan Batu, Sumatera Utara pada bulan Oktober 2002 sampai September 2003. Penelitian dilakukan terhadap gambut dengan kedalaman yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju subsidensi lebih besar pada gambut tebal dibandingkan dengan gambut dangkal dan laju penurunan muka tanah juga lebih besar pada awal tahun dimulainya subsidensi. Pengelolaan lahan gambut mempengaruhi laju subsidensi, pada perkebunan kelapa sawit ditemukan laju subsidensi yang lebih besar dibandingkan dengan di pemukiman.
Kata Kunci : Subsidensi, Lahan gambut.

PENDAHULUAN

S ubsidensi adalah salah satu masalah yang ditemui jika kita melakukan pembukaan dan

mengelola

lahan

gambut.

Subsidensi merupakan penurunan

permukaan lahan gambut sebagai akibat

daya dukung air yang hilang akibat


drainase. Pemampatan massa dari bagian

atas yang hanya ditopang oleh kekuatan

fraksi udara merupakan konsolidasi

lanjutan.

Drainase merupakan masalah awal dari pengelolaan gambut. Sistem drainase ditujukan untuk membuang air permukaan yang lebih secara cepat; mengendalikan kedalaman permukaan air tanah untuk produksi tanaman dan; memperpanjang usia pemanfaatan gambut (Sagiman, 1996).
Perubahan pada sifat fisik tanah dapat menunjang perakaran tanaman melalui perbaikan aerase tanah dan juga akan meningkatkan kegiatan mikroba perombak bahan organik. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme

35

Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)

yang paling banyak jumlahnya yang mengambil peran secara umum dalam proses pembentukan humus. Bahan organik merupakan substrat alami untuk organisme saprofitik dan secara tidak langsung memberi nutrisi bagi tanaman. Bahan organik membantu konservasi nutrisi tanaman dan mencegah erosi dan peluruhan hara dari permukaan tanah (Rao, 1994).
Tingkat perombakan bahan organik akan mempengaruhi sifat mengerut tanah gambut disamping kadar lengas dan kandungan liat. Pada pengeringan tanah gambut tak terganggu (“undisturb”) selama sepuluh hari dalam suhu 60 oC terbukti bahwa tanah gambut yang tingkat perombakan lebih jauh akan mengerut lebih besar dan gambut yang tercampur mineral liat mempunyai kemampuan mengerut lebih kecil. (Driessen dan Rochimah dalam Fauzan, 1988).
Ada empat faktor yang mempengaruhi subsidensi :
1. Vertikal “shrinkage” pada lapisan atas akibat pengeringan.
2. Pemaduan (konsolidasi) pada lapisan bawah.

3. Oksidasi bahan organik oleh perbaikan lapisan aerase pada gambut.
4. Pemampatan (kompaksi) akibat pengolahan yang intensif.

Suwido H. Limin (dalam

Kartamiharja, 2002) menyebutkan bahwa

pembukaan lahan gambut akan mengubah

ekosistemnya, misalnya posisi rantai

makanan dan vegetasi akibat berubahnya

status hidrologi dan ekosistem awal. Di

daerah Bereng Bengkel (eks Proyek Lahan

Gambut Sejuta Hektar) di Kalimantan

Tengah ditemukan jenis flora baru yaitu


alang-alang Imperata cilindrica, padahal

alang-alang bukan anggota keluarga besar

rawa gambut. Pembukaan kanal juga

mengakibatkan penurunan permukaan

tanah. Penurunan ini disebabkan karena

lapisan gambut yang mentah dipermukaan

tanah mengalami pelapukan. Ini terjadi

karena ada penambahan jenis dan

populasi mikro organisme tanah sebagai

konsekuensi perubahan suhu dan


kelembaban pada lapisan permukaan.

Perubahan lingkungan yang terjadi saat

dilakukan pembukaan hutan rawa gambut

untuk usaha pertanian, termasuk usaha

perkebunan,

adalah

menurunnya

ketahanan dari bahan organik dalam

gambut terhadap proses dekomposisi.

Perubahan kondisi dari anaerob menjadi


aerob akibat pembuatan saluran drainase

mendorong proses perombakan bahan

organik berlangsung dengan sangat cepat,

yang pada akhirnya dapat menyebabkan

penurunan permukaan lahan gambut.

Penyelidikan terhadap subsidensi telah tercatat sebagai berikut :
Table 1. Laju subsidensi lahan gambut

Daerah/Sumber Gambut

Laju Subsidensi (cm/tahun)

36


Peneliti

Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)

B.Rusman,

Basyarudin,

dan

Delta Upang, Sumatera Selatan
Telang, Sumatera Selatan
Perkebunan PT. Riau Sakti, Riau
Sumber : Sabiham, 2002
Indonesia mempunyai lahan gambut seluas + 17 juta Ha, merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, transmigrasi dan sebagai bahan galian. Kabupaten Labuhan Batu dengan luas wilayah 922.318 Ha mempunyai lahan gambut sekitar 24% dari luas wilayahnya, dan sebagian telah dikembangkan terutama bagi perkebunan kelapa sawit (Pemkab Labuhan Batu).
Penulis tertarik meneliti subsidensi yang terjadi pada lahan gambut di wilayah ini dimana pada saat ini tampak perkembangan pesat pembukaan areal gambut untuk dijadikan lahan perkebunan, terutama untuk komoditi kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


P enelitian dilaksanakan pada

lahan

gambut

pada

perkebunan sawit rakyat, karet

rakyat, dan hutan gambut di

Kabupaten Labuhan Batu dengan

2-5 Chambers, 1979
6,5 Tim IPB, 1982
10 Sabiham, 1996
ketinggian 4-10 m dari permukaan laut pada kordinat 10 26’-20 11’ Lintang Utara dan 90 01’-950 53’ Bujur Timur dan berjarak kurang lebih 395 km arah Tenggara Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2002 sampai September 2003 dilapangan dengan metoda survey memakai grid antara jalur 100 m dan dalam jalur 200 m, untuk melihat ketebalan gambut.
Bahan yang dipakai adalah peroksida H2O2 untuk test pirit dan sampel tanah untuk melihat tingkat kematangan dan kerapatan lindak. Aqua destilata untuk melihat pH (H2O) di lapangan.

Pelaksanaan penelitian dengan menyiapkan peta wilayah, peta lokasi, peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah, menentukan lokasi penelitian. Survey awal untuk menentukan penyebaran ketebalan gambut, lokasi diplot atas kedalaman 0-100 cm, 100-200 cm, dan > 200 cm. Pengambilan sampel tanah gambut untuk pengukuran sifat fisik dan kimia tanah. Pengambilan data vegetasi dan kondisi cuaca pada saat survey (hujan atau cerah)
.

HASIL DAN PEMBAHASAN
P enurunan permukaan tanah gambut yang dapat diamati dari beberapa lokasi yang mewakili masing-masing ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Penurunan permukaan tanah gambut dari beberapa lokasi yang mewakili masingmasing ketebalan.

37

Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)

Lokasi

Ketebalan Gambut
Cm Kriteria

MAT (cm)

Kematangan


Subsidensi

Laju

Rata-rata

TRL PS 8 PS 8 CBG CBG

0-100 0-200 0-200 >200 >200

Dangkal Sedang Sedang Dalam Dalam

-100 -50 -30 -10 0

Saprist Hemist Hemist Hemis-Fibrist Fibrist

6 cm / 8 thn 10 cm / 9 thn 50 cm / 10 thn 24 cm / 3,5 thn 3,5 cm / 3,5 bln

0,75cm/thn 1,1 cm/thn 5,0 cm/thn 6,8 cm/thn 1 cm/bln


Keterangan :

TRL : Desa Sei Tarolat di Kecamatan Bilah Hilir

PS-8

: Desa Pasar 8 di Kecamatan Bilah Hilir

CBG

: Desa Cabang Dua di Kecamatan Panai Tengah

Pengelolaan
Pemukiman Pemukiman Kelapa Sawit Kelapa Sawit Hutan Alami

Pada gambut dangkal yang terdapat di lokasi TRL ditemukan subsiden yang lebih rendah dibanding dengan gambut sedang pada lokasi PS-8 dan gambut dalam di lokasi CBG. Pada gambut dangkal TRL dengan ketebalan 60 cm, besar subsidensi selama 8 tahun hanya tercatat 6 cm; pada gambut sedang PS-8 yang mempunyai ketebalan 150 cm ditemukan besar subsiden 10 cm selama 9 tahun di lokasi pemukiman dan sebesar 50 cm selama 10 tahun di lokasi perkebunan kelapa sawit; pada gambut dalam di lokasi CBG dengan ketebalan gambut >200 cm didapatkan subsidensi sebesar 25 selama 3, 5 tahun dilokasi yang mulai di tanam kelapa sawit dan ditempat yang sama pada kondisi alami subsidensi sebesar 3,5 cm selama 3,5 bulan oleh penggalian parit yang baru dibuat/digali.
Pada gambut dengan bahan induk yang terdiri dari bahan organik secara keseluruhan rentan terhadap dekomposisi oleh mikroorganisme, baik dalam suasana oksidatif maupun suasana reduktif. Namun dalam suasana cukup udara mikroorganisme dekomposer akan lebih aktif dibandingkan suasana terhambat udara akibat adanya kelebihan air (kondisi

reduktif). Suasana basah dan berair ini

secara umum bergantung kepada alam

(adanya hujan atau temperatur yang tinggi

oleh penyinaran yang lama). Fluktuasi

muka air tanah sangat terasa pada bagian

permukaan tanah, dengan demikian

suasana oksidasi akan berpengaruh pada

lapisan atas/lapisan permukaan. Pada

lokasi penelitian ditemukan lapisan atas

berada pada fase yang lebih matang dari

lapisan yang dibawahnya. Proses

pematangan

berlangsung

secara

horizontal, dehidratasi dari pori makro akan

diisi oleh fraksi udara dan hasil mineralisasi

secara horizontal; dehidratasi pada pori

makro akan diisi oleh fraksi udara dan hasil

mineralisasi secara vertikal akan memberi

beban kelapisan yang berikut. Konsolidasi

primer akibat kehilangan sejumlah volume

air akan diikuti oleh konsolidasi lanjutan

oleh pemampatan massa yang akan

mempercepat laju subsidensi. Gambut

dangkal mempunyai volume yang lebih

kecil untuk termampatkan dibandingkan

dengan gambut yang lebih tebal. Dengan

demikian akumulasi laju pemampatan akan

lebih besar pada gambut dalam. Ilustrasi di

bawah ini dapat menerangkan perbedaan

laju subsidensi untuk gambut yang berbeda

ketebalan.

proses subsidensi

Tanah Mineral

38

Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)

B.Rusman,

Basyarudin,

dan

Tanah Mineral

Tanah Mineral Tanah Mineral

Tanah Mineral Tanah Mineral

Ket
- Lapisan gambut Kondisi Awal Setelah subsidensi berlangsung - Akumulasi permukaan yang menurun

Gambar 1. Laju subsidensi pada lahan gambut dengan ketebalan yang berbeda

Akan tetapi untuk ketebalan gambut

yang sama terlihat subsidensi yang tidak

sama besar. Antar gambut dangkal tidak

diperbandingkan sebab hanya ditemukan

satu pengukuran. Diantara gambut sedang

(PS-8), pada ketebalan dan kematangan

yang sama, laju subsidensi 10 cm/9 tahun

di lokasi pemukiman dan 50 cm/10 tahun di

lokasi tanaman kelapa sawit. Jika diteliti

lokasi pemukiman disini, jarak antar rumah

belum beraturan serta rancang bangunan

juga tidak merata. Ada rumah yang saling

bersisian, ada yang dibatasi oleh halaman

beberapa meter saja tetapi ada juga yang

berjarak > 50 m dari rumah yang lainnya.

Materi bangunan ada yang terbuat dari

kayu, ada yang sudah semi permanen.

Tempat pengukuran subsidensi adalah

rumah yang mempunyai tapak

dasar/landasan batu tungku sebagai

penyangga

bangunan

(rumah

berkolong/rumah panggung). Batu tungku

menjadi terdapat pengukuran yang

menunjukkan

adanya

penurunan

permukaan tanah. Aktivitas manusia di sekitar ini mendorong terjadinya kompaksi. Halaman sekeliling rumah diusahakan dengan tanaman hortikultura (jagung dan sayuran).

Tetapi pada lokasi yang sama (PS-8),

diantara tanaman kelapa sawit ditemukan

batang pohon besar yang sudah mati

dengan titik pangkal akar pada batang

yang jelas telah berada di atas tanah saat

pengukuran. Pohon mati ini dibuat sebagai

“bench mark” (patok duga). Selama 10

tahun setelah lahan ini mulai dikelola

dengan kelapa sawit penurunan

permukaan adalah sebesar 50 cm. Terlihat

perbedaan

pengelolaan

telah

mempengaruhi laju subsidensi. Diduga

aktivitas pertumbuhan kelapa sawit lebih

cepat mempengaruhi dekomposisi bahan

organik pada tanah gambut. Peresapan air

oleh tanaman sawit untuk aktivitas fisiologi,

transpirasi dan evaporasi akibat

pembukaan lahan akan mendorong

39

Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)

percepatan subsidensi. Hal ini kemungkinan juga dibantu oleh aktivitas akar kelapa sawit yang dalam dan menyebar. Kondisi ini tidak ditemukan pada pemukiman. Aktivitas perakaran tanaman hortikultura terbatas jarak dan kedalamannya, jika diperhitungkan beban rumah pada tapak tungku hal ini mungkin dapat diabaikan sebab beban tersebar merata pada beberapa tapak tungku. Beban seperti ini pun ditemukan pada pertanaman kelapa sawit, namun oleh karena jarak tanam yang sama beban tersebut tersebar merata. Untuk lebih akurat adalah baik untuk memperhitungkan beban/gaya yang diberikan oleh bangunan atau beban 1 (satu) pohon sawit bagi sekitarnya, akan tetapi hal ini telah di luar kemampuan penulis.
Gambut di dalam lokasi CBG areal yang baru dikelola dengan tanaman kelapa sawit mempunyai subsidensi 24 cm selama 3,5 tahun, sedangkan yang baru dibuat parit pada gambut alami membutuhkan waktu yang relatif singkat dimana selama 3,5 bulan telah dicapai penurunan permukaan sebesar 3,5 cm. Tampak disini bahwa pada awal pengelolaan/pembukaan lahan gambut, laju subsidensi lebih besar dibandingkan tahun berikutnya. Gambut dalam menunjukkan laju subsidensi yang lebih cepat. Di lokasi yang sama di Desa Cabang Dua dengan pengelolaan yang berbeda kecepatan subsidensi tampak berbeda. Pada lokasi perkebunan kelapa

sawit terjadi subsidensi sebesar 24 cm selama 3,5 tahun, rata-rata 6,8 cm/tahun, namun dengan pembuatan parit drainase pada hutan alamiah, ditemukan subsidensi sekitar 3,5 cm dalam waktu 3,5 bulan. Tampak laju subsidensi awal lebih besar pada saat pembukaan gambut dengan menurunkan muka air tanah, dibandingkan dari pada tahun-tahun berikutnya. Kecepatan subsidensi berkurang sejalan dengan waktu pada gambut yang dikelola.
Ditinjau dari karakteristik tanah gambut, pada kematangan yang berbeda terlihat laju subsiden yang berbeda. Pada tingkat matang, laju subsidensi terkecil di lokasi TRL rata-rata 0,75 cm/tahun dan pada kematangan hemik subsidensi 1,15,0 cm/tahun pada lokasi PS-8. Di Desa Cabang Dua hal ini lebih jelas tampak, gambut dalam dengan kematangan hemikfibrik mempunyai laju subsidensi rata-rata 6-8 cm/tahun tetapi pada kematangan yang lebih rendah (“fibrik”) laju subsiden ratarata 1 cm/bulan. Kondisi ini dapat dijelaskan dari sifat kepadatan tanah yakni bobot isi atau bulk density. Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”.
Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran ditunjukkan oleh tabel berikut:

Tabel 3. Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran

Tingkat Kematangan Gambut
Saprik Hemik Fibrik

BD
…..g.cm-3….. > 2,0 0,1-2,0 < 0,1

TRP
…..%…. < 86 85-91 >91

Dari tabel di atas terlihat bahwa bila kerapatan lindak yang tinggi maka Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh
40

kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia

Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)

B.Rusman,

Basyarudin,

dan

ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi.

KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan subsidensi pada

berbagai ketebalan gambut. Laju

subsidensi lebih besar pada gambut

yang lebih tebal dibandingkan

dengan gambut dangkal. Laju

penurunan muka tanah juga lebih

besar pada awal tahun dimulainya

subsidensi. Di Desa Cabang Dua

(CBG) dengan ketebalan gambut >

200 cm diperoleh subsidensi sebesar

3,5 cm selang waktu 3,5 bulan

sedangkan pada gambut sedang

(ketebalan 0-200 cm) laju subsidensi

sebesar 10-50 cm selang waktu 9-

10 tahun dan untuk gambut dangkal

(ketebalan 0-100 cm) laju subsidensi

10 cm selang waktu 8 tahun.

2. Pengelolaan pada tanah gambut

telah menyebabkan subsidensi, pada

hutan alami gambut yang dibuat parit

drainase pada triwulan pertama

diperoleh subsidensi sebesar 3,5 cm

namun di lokasi yang sama (Desa

Cabang Dua Kecamatan Panai

Tengah) laju subsidensi adalah 24

cm untuk waktu 3,5 tahun. Tampak

laju subsidensi pada tahun pertama

lebih besar dibandingkan tahun

berikutnya.

3. Di Desa Pasar 8 Kecamatan Bilah

Hilir dengan pengelolaan yang

berbeda menyebab laju subsidensi

juga berbeda. Laju subsidensi pada

penggunaan lahan dengan kelapa

sawit lebih besar daripada di lokasi

pemukiman.

4. Beberapa sifat tanah yang

mempengaruhi subsidensi adalah

ketebalan

gambut,

tingkat

kematangan, dan pengelolaan yang

ada/telah dilakukan terhadap tanah

gambut serta lamanya usia pengelolaan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. S. 1999. Pedoman Teknik Survey Tanah. Jurusan Tanah-Institut Pertanian Bogor.
Aisyah. 2003. Pendugaan Besarnya Subsidensi Akibat Reklamasi Tanah Gambut. Graduate Program/S3 Institut Pertanian Bogor.
Basyarudin, 2001. Tanah Gambut. Program Pascasarjana USU Medan.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia, Dalam Prosiding Kongres Nasional V HITI. Medan.
Fauzan dan D. L. Probohandono. 1988. Pendugaan Laju Amblesan Tanah Gambut Akibat Reklamasi. Seminar Nasional Gambut. Yogyakarta.
Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics. Akademic Press.
Lembaga Penelitian Tanah. 1987. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapangan. Publikasi LPT Bogor.
Manurung, A. P. Simbolon dan B. Saragih, 2002. Beberapa Catatan Bertanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Studi Kasus Kebun Tahuan Ganda. Aek Korsik. Seminar dan Lokakarya Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Perkebunan. Fak. Pertanian USU. Medan.
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. 2002. Profil dan Potensi Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat. Website : www. labuhanbatu.com.

41