Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut Di Labuhan Batu Sumatera Utara (The Sendi Of Subsidence Of Peatsoil In Labuhan Batu Sumatera Utara Area)
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
KAJIAN SUBSIDENSI PADA LAHAN GAMBUT DI LABUHAN BATU SUMATERA UTARA
(The Sendi of Subsidence of Peatsoil in Labuhan Batu Sumatera Utara Area)
Bintang*, B. Rusman**, Basyarudin*** dan E.M. Harahap*
*Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Jalan Prof. A. Sofyan 3 USU
** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNAND Padang *** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UISU Medan
ABSTRACT
Peatsoil subsidence studies have been conducted in Labuhan Batu area, Province of North Sumatra in October 2003 until September 2003. The research was done with different thickness of peatsoil. Result of recent studies revealed. That rate of subsidence in deep peatsoil were generally higher than that of shallow peatsoil, and rate of reduction peatsoil surface also higher when subsidence starting at begining of the year. Peatsoil management influence rate of subsidence, at oilpalm cultivation showed that the rate of subsidence was higher than at the settlement.
Key words : Subsidence, Peatsoil
ABSTRAK
Kajian subsidensi pada lahan gambut telah dilakukan di wilayah Labuhan Batu, Sumatera Utara pada bulan Oktober 2002 sampai September 2003. Penelitian dilakukan terhadap gambut dengan kedalaman yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju subsidensi lebih besar pada gambut tebal dibandingkan dengan gambut dangkal dan laju penurunan muka tanah juga lebih besar pada awal tahun dimulainya subsidensi. Pengelolaan lahan gambut mempengaruhi laju subsidensi, pada perkebunan kelapa sawit ditemukan laju subsidensi yang lebih besar dibandingkan dengan di pemukiman.
Kata Kunci : Subsidensi, Lahan gambut.
PENDAHULUAN
S ubsidensi adalah salah satu masalah yang ditemui jika kita melakukan pembukaan dan
mengelola
lahan
gambut.
Subsidensi merupakan penurunan
permukaan lahan gambut sebagai akibat
daya dukung air yang hilang akibat
drainase. Pemampatan massa dari bagian
atas yang hanya ditopang oleh kekuatan
fraksi udara merupakan konsolidasi
lanjutan.
Drainase merupakan masalah awal dari pengelolaan gambut. Sistem drainase ditujukan untuk membuang air permukaan yang lebih secara cepat; mengendalikan kedalaman permukaan air tanah untuk produksi tanaman dan; memperpanjang usia pemanfaatan gambut (Sagiman, 1996).
Perubahan pada sifat fisik tanah dapat menunjang perakaran tanaman melalui perbaikan aerase tanah dan juga akan meningkatkan kegiatan mikroba perombak bahan organik. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme
35
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
yang paling banyak jumlahnya yang mengambil peran secara umum dalam proses pembentukan humus. Bahan organik merupakan substrat alami untuk organisme saprofitik dan secara tidak langsung memberi nutrisi bagi tanaman. Bahan organik membantu konservasi nutrisi tanaman dan mencegah erosi dan peluruhan hara dari permukaan tanah (Rao, 1994).
Tingkat perombakan bahan organik akan mempengaruhi sifat mengerut tanah gambut disamping kadar lengas dan kandungan liat. Pada pengeringan tanah gambut tak terganggu (“undisturb”) selama sepuluh hari dalam suhu 60 oC terbukti bahwa tanah gambut yang tingkat perombakan lebih jauh akan mengerut lebih besar dan gambut yang tercampur mineral liat mempunyai kemampuan mengerut lebih kecil. (Driessen dan Rochimah dalam Fauzan, 1988).
Ada empat faktor yang mempengaruhi subsidensi :
1. Vertikal “shrinkage” pada lapisan atas akibat pengeringan.
2. Pemaduan (konsolidasi) pada lapisan bawah.
3. Oksidasi bahan organik oleh perbaikan lapisan aerase pada gambut.
4. Pemampatan (kompaksi) akibat pengolahan yang intensif.
Suwido H. Limin (dalam
Kartamiharja, 2002) menyebutkan bahwa
pembukaan lahan gambut akan mengubah
ekosistemnya, misalnya posisi rantai
makanan dan vegetasi akibat berubahnya
status hidrologi dan ekosistem awal. Di
daerah Bereng Bengkel (eks Proyek Lahan
Gambut Sejuta Hektar) di Kalimantan
Tengah ditemukan jenis flora baru yaitu
alang-alang Imperata cilindrica, padahal
alang-alang bukan anggota keluarga besar
rawa gambut. Pembukaan kanal juga
mengakibatkan penurunan permukaan
tanah. Penurunan ini disebabkan karena
lapisan gambut yang mentah dipermukaan
tanah mengalami pelapukan. Ini terjadi
karena ada penambahan jenis dan
populasi mikro organisme tanah sebagai
konsekuensi perubahan suhu dan
kelembaban pada lapisan permukaan.
Perubahan lingkungan yang terjadi saat
dilakukan pembukaan hutan rawa gambut
untuk usaha pertanian, termasuk usaha
perkebunan,
adalah
menurunnya
ketahanan dari bahan organik dalam
gambut terhadap proses dekomposisi.
Perubahan kondisi dari anaerob menjadi
aerob akibat pembuatan saluran drainase
mendorong proses perombakan bahan
organik berlangsung dengan sangat cepat,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan
penurunan permukaan lahan gambut.
Penyelidikan terhadap subsidensi telah tercatat sebagai berikut :
Table 1. Laju subsidensi lahan gambut
Daerah/Sumber Gambut
Laju Subsidensi (cm/tahun)
36
Peneliti
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
Delta Upang, Sumatera Selatan
Telang, Sumatera Selatan
Perkebunan PT. Riau Sakti, Riau
Sumber : Sabiham, 2002
Indonesia mempunyai lahan gambut seluas + 17 juta Ha, merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, transmigrasi dan sebagai bahan galian. Kabupaten Labuhan Batu dengan luas wilayah 922.318 Ha mempunyai lahan gambut sekitar 24% dari luas wilayahnya, dan sebagian telah dikembangkan terutama bagi perkebunan kelapa sawit (Pemkab Labuhan Batu).
Penulis tertarik meneliti subsidensi yang terjadi pada lahan gambut di wilayah ini dimana pada saat ini tampak perkembangan pesat pembukaan areal gambut untuk dijadikan lahan perkebunan, terutama untuk komoditi kelapa sawit.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
P enelitian dilaksanakan pada
lahan
gambut
pada
perkebunan sawit rakyat, karet
rakyat, dan hutan gambut di
Kabupaten Labuhan Batu dengan
2-5 Chambers, 1979
6,5 Tim IPB, 1982
10 Sabiham, 1996
ketinggian 4-10 m dari permukaan laut pada kordinat 10 26’-20 11’ Lintang Utara dan 90 01’-950 53’ Bujur Timur dan berjarak kurang lebih 395 km arah Tenggara Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2002 sampai September 2003 dilapangan dengan metoda survey memakai grid antara jalur 100 m dan dalam jalur 200 m, untuk melihat ketebalan gambut.
Bahan yang dipakai adalah peroksida H2O2 untuk test pirit dan sampel tanah untuk melihat tingkat kematangan dan kerapatan lindak. Aqua destilata untuk melihat pH (H2O) di lapangan.
Pelaksanaan penelitian dengan menyiapkan peta wilayah, peta lokasi, peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah, menentukan lokasi penelitian. Survey awal untuk menentukan penyebaran ketebalan gambut, lokasi diplot atas kedalaman 0-100 cm, 100-200 cm, dan > 200 cm. Pengambilan sampel tanah gambut untuk pengukuran sifat fisik dan kimia tanah. Pengambilan data vegetasi dan kondisi cuaca pada saat survey (hujan atau cerah)
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
P enurunan permukaan tanah gambut yang dapat diamati dari beberapa lokasi yang mewakili masing-masing ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Penurunan permukaan tanah gambut dari beberapa lokasi yang mewakili masingmasing ketebalan.
37
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
Lokasi
Ketebalan Gambut
Cm Kriteria
MAT (cm)
Kematangan
Subsidensi
Laju
Rata-rata
TRL PS 8 PS 8 CBG CBG
0-100 0-200 0-200 >200 >200
Dangkal Sedang Sedang Dalam Dalam
-100 -50 -30 -10 0
Saprist Hemist Hemist Hemis-Fibrist Fibrist
6 cm / 8 thn 10 cm / 9 thn 50 cm / 10 thn 24 cm / 3,5 thn 3,5 cm / 3,5 bln
0,75cm/thn 1,1 cm/thn 5,0 cm/thn 6,8 cm/thn 1 cm/bln
Keterangan :
TRL : Desa Sei Tarolat di Kecamatan Bilah Hilir
PS-8
: Desa Pasar 8 di Kecamatan Bilah Hilir
CBG
: Desa Cabang Dua di Kecamatan Panai Tengah
Pengelolaan
Pemukiman Pemukiman Kelapa Sawit Kelapa Sawit Hutan Alami
Pada gambut dangkal yang terdapat di lokasi TRL ditemukan subsiden yang lebih rendah dibanding dengan gambut sedang pada lokasi PS-8 dan gambut dalam di lokasi CBG. Pada gambut dangkal TRL dengan ketebalan 60 cm, besar subsidensi selama 8 tahun hanya tercatat 6 cm; pada gambut sedang PS-8 yang mempunyai ketebalan 150 cm ditemukan besar subsiden 10 cm selama 9 tahun di lokasi pemukiman dan sebesar 50 cm selama 10 tahun di lokasi perkebunan kelapa sawit; pada gambut dalam di lokasi CBG dengan ketebalan gambut >200 cm didapatkan subsidensi sebesar 25 selama 3, 5 tahun dilokasi yang mulai di tanam kelapa sawit dan ditempat yang sama pada kondisi alami subsidensi sebesar 3,5 cm selama 3,5 bulan oleh penggalian parit yang baru dibuat/digali.
Pada gambut dengan bahan induk yang terdiri dari bahan organik secara keseluruhan rentan terhadap dekomposisi oleh mikroorganisme, baik dalam suasana oksidatif maupun suasana reduktif. Namun dalam suasana cukup udara mikroorganisme dekomposer akan lebih aktif dibandingkan suasana terhambat udara akibat adanya kelebihan air (kondisi
reduktif). Suasana basah dan berair ini
secara umum bergantung kepada alam
(adanya hujan atau temperatur yang tinggi
oleh penyinaran yang lama). Fluktuasi
muka air tanah sangat terasa pada bagian
permukaan tanah, dengan demikian
suasana oksidasi akan berpengaruh pada
lapisan atas/lapisan permukaan. Pada
lokasi penelitian ditemukan lapisan atas
berada pada fase yang lebih matang dari
lapisan yang dibawahnya. Proses
pematangan
berlangsung
secara
horizontal, dehidratasi dari pori makro akan
diisi oleh fraksi udara dan hasil mineralisasi
secara horizontal; dehidratasi pada pori
makro akan diisi oleh fraksi udara dan hasil
mineralisasi secara vertikal akan memberi
beban kelapisan yang berikut. Konsolidasi
primer akibat kehilangan sejumlah volume
air akan diikuti oleh konsolidasi lanjutan
oleh pemampatan massa yang akan
mempercepat laju subsidensi. Gambut
dangkal mempunyai volume yang lebih
kecil untuk termampatkan dibandingkan
dengan gambut yang lebih tebal. Dengan
demikian akumulasi laju pemampatan akan
lebih besar pada gambut dalam. Ilustrasi di
bawah ini dapat menerangkan perbedaan
laju subsidensi untuk gambut yang berbeda
ketebalan.
proses subsidensi
Tanah Mineral
38
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
Tanah Mineral
Tanah Mineral Tanah Mineral
Tanah Mineral Tanah Mineral
Ket
- Lapisan gambut Kondisi Awal Setelah subsidensi berlangsung - Akumulasi permukaan yang menurun
Gambar 1. Laju subsidensi pada lahan gambut dengan ketebalan yang berbeda
Akan tetapi untuk ketebalan gambut
yang sama terlihat subsidensi yang tidak
sama besar. Antar gambut dangkal tidak
diperbandingkan sebab hanya ditemukan
satu pengukuran. Diantara gambut sedang
(PS-8), pada ketebalan dan kematangan
yang sama, laju subsidensi 10 cm/9 tahun
di lokasi pemukiman dan 50 cm/10 tahun di
lokasi tanaman kelapa sawit. Jika diteliti
lokasi pemukiman disini, jarak antar rumah
belum beraturan serta rancang bangunan
juga tidak merata. Ada rumah yang saling
bersisian, ada yang dibatasi oleh halaman
beberapa meter saja tetapi ada juga yang
berjarak > 50 m dari rumah yang lainnya.
Materi bangunan ada yang terbuat dari
kayu, ada yang sudah semi permanen.
Tempat pengukuran subsidensi adalah
rumah yang mempunyai tapak
dasar/landasan batu tungku sebagai
penyangga
bangunan
(rumah
berkolong/rumah panggung). Batu tungku
menjadi terdapat pengukuran yang
menunjukkan
adanya
penurunan
permukaan tanah. Aktivitas manusia di sekitar ini mendorong terjadinya kompaksi. Halaman sekeliling rumah diusahakan dengan tanaman hortikultura (jagung dan sayuran).
Tetapi pada lokasi yang sama (PS-8),
diantara tanaman kelapa sawit ditemukan
batang pohon besar yang sudah mati
dengan titik pangkal akar pada batang
yang jelas telah berada di atas tanah saat
pengukuran. Pohon mati ini dibuat sebagai
“bench mark” (patok duga). Selama 10
tahun setelah lahan ini mulai dikelola
dengan kelapa sawit penurunan
permukaan adalah sebesar 50 cm. Terlihat
perbedaan
pengelolaan
telah
mempengaruhi laju subsidensi. Diduga
aktivitas pertumbuhan kelapa sawit lebih
cepat mempengaruhi dekomposisi bahan
organik pada tanah gambut. Peresapan air
oleh tanaman sawit untuk aktivitas fisiologi,
transpirasi dan evaporasi akibat
pembukaan lahan akan mendorong
39
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
percepatan subsidensi. Hal ini kemungkinan juga dibantu oleh aktivitas akar kelapa sawit yang dalam dan menyebar. Kondisi ini tidak ditemukan pada pemukiman. Aktivitas perakaran tanaman hortikultura terbatas jarak dan kedalamannya, jika diperhitungkan beban rumah pada tapak tungku hal ini mungkin dapat diabaikan sebab beban tersebar merata pada beberapa tapak tungku. Beban seperti ini pun ditemukan pada pertanaman kelapa sawit, namun oleh karena jarak tanam yang sama beban tersebut tersebar merata. Untuk lebih akurat adalah baik untuk memperhitungkan beban/gaya yang diberikan oleh bangunan atau beban 1 (satu) pohon sawit bagi sekitarnya, akan tetapi hal ini telah di luar kemampuan penulis.
Gambut di dalam lokasi CBG areal yang baru dikelola dengan tanaman kelapa sawit mempunyai subsidensi 24 cm selama 3,5 tahun, sedangkan yang baru dibuat parit pada gambut alami membutuhkan waktu yang relatif singkat dimana selama 3,5 bulan telah dicapai penurunan permukaan sebesar 3,5 cm. Tampak disini bahwa pada awal pengelolaan/pembukaan lahan gambut, laju subsidensi lebih besar dibandingkan tahun berikutnya. Gambut dalam menunjukkan laju subsidensi yang lebih cepat. Di lokasi yang sama di Desa Cabang Dua dengan pengelolaan yang berbeda kecepatan subsidensi tampak berbeda. Pada lokasi perkebunan kelapa
sawit terjadi subsidensi sebesar 24 cm selama 3,5 tahun, rata-rata 6,8 cm/tahun, namun dengan pembuatan parit drainase pada hutan alamiah, ditemukan subsidensi sekitar 3,5 cm dalam waktu 3,5 bulan. Tampak laju subsidensi awal lebih besar pada saat pembukaan gambut dengan menurunkan muka air tanah, dibandingkan dari pada tahun-tahun berikutnya. Kecepatan subsidensi berkurang sejalan dengan waktu pada gambut yang dikelola.
Ditinjau dari karakteristik tanah gambut, pada kematangan yang berbeda terlihat laju subsiden yang berbeda. Pada tingkat matang, laju subsidensi terkecil di lokasi TRL rata-rata 0,75 cm/tahun dan pada kematangan hemik subsidensi 1,15,0 cm/tahun pada lokasi PS-8. Di Desa Cabang Dua hal ini lebih jelas tampak, gambut dalam dengan kematangan hemikfibrik mempunyai laju subsidensi rata-rata 6-8 cm/tahun tetapi pada kematangan yang lebih rendah (“fibrik”) laju subsiden ratarata 1 cm/bulan. Kondisi ini dapat dijelaskan dari sifat kepadatan tanah yakni bobot isi atau bulk density. Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”.
Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 3. Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran
Tingkat Kematangan Gambut
Saprik Hemik Fibrik
BD
…..g.cm-3….. > 2,0 0,1-2,0 < 0,1
TRP
…..%…. < 86 85-91 >91
Dari tabel di atas terlihat bahwa bila kerapatan lindak yang tinggi maka Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh
40
kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi.
KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan subsidensi pada
berbagai ketebalan gambut. Laju
subsidensi lebih besar pada gambut
yang lebih tebal dibandingkan
dengan gambut dangkal. Laju
penurunan muka tanah juga lebih
besar pada awal tahun dimulainya
subsidensi. Di Desa Cabang Dua
(CBG) dengan ketebalan gambut >
200 cm diperoleh subsidensi sebesar
3,5 cm selang waktu 3,5 bulan
sedangkan pada gambut sedang
(ketebalan 0-200 cm) laju subsidensi
sebesar 10-50 cm selang waktu 9-
10 tahun dan untuk gambut dangkal
(ketebalan 0-100 cm) laju subsidensi
10 cm selang waktu 8 tahun.
2. Pengelolaan pada tanah gambut
telah menyebabkan subsidensi, pada
hutan alami gambut yang dibuat parit
drainase pada triwulan pertama
diperoleh subsidensi sebesar 3,5 cm
namun di lokasi yang sama (Desa
Cabang Dua Kecamatan Panai
Tengah) laju subsidensi adalah 24
cm untuk waktu 3,5 tahun. Tampak
laju subsidensi pada tahun pertama
lebih besar dibandingkan tahun
berikutnya.
3. Di Desa Pasar 8 Kecamatan Bilah
Hilir dengan pengelolaan yang
berbeda menyebab laju subsidensi
juga berbeda. Laju subsidensi pada
penggunaan lahan dengan kelapa
sawit lebih besar daripada di lokasi
pemukiman.
4. Beberapa sifat tanah yang
mempengaruhi subsidensi adalah
ketebalan
gambut,
tingkat
kematangan, dan pengelolaan yang
ada/telah dilakukan terhadap tanah
gambut serta lamanya usia pengelolaan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. S. 1999. Pedoman Teknik Survey Tanah. Jurusan Tanah-Institut Pertanian Bogor.
Aisyah. 2003. Pendugaan Besarnya Subsidensi Akibat Reklamasi Tanah Gambut. Graduate Program/S3 Institut Pertanian Bogor.
Basyarudin, 2001. Tanah Gambut. Program Pascasarjana USU Medan.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia, Dalam Prosiding Kongres Nasional V HITI. Medan.
Fauzan dan D. L. Probohandono. 1988. Pendugaan Laju Amblesan Tanah Gambut Akibat Reklamasi. Seminar Nasional Gambut. Yogyakarta.
Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics. Akademic Press.
Lembaga Penelitian Tanah. 1987. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapangan. Publikasi LPT Bogor.
Manurung, A. P. Simbolon dan B. Saragih, 2002. Beberapa Catatan Bertanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Studi Kasus Kebun Tahuan Ganda. Aek Korsik. Seminar dan Lokakarya Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Perkebunan. Fak. Pertanian USU. Medan.
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. 2002. Profil dan Potensi Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat. Website : www. labuhanbatu.com.
41
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
KAJIAN SUBSIDENSI PADA LAHAN GAMBUT DI LABUHAN BATU SUMATERA UTARA
(The Sendi of Subsidence of Peatsoil in Labuhan Batu Sumatera Utara Area)
Bintang*, B. Rusman**, Basyarudin*** dan E.M. Harahap*
*Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Jalan Prof. A. Sofyan 3 USU
** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNAND Padang *** Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UISU Medan
ABSTRACT
Peatsoil subsidence studies have been conducted in Labuhan Batu area, Province of North Sumatra in October 2003 until September 2003. The research was done with different thickness of peatsoil. Result of recent studies revealed. That rate of subsidence in deep peatsoil were generally higher than that of shallow peatsoil, and rate of reduction peatsoil surface also higher when subsidence starting at begining of the year. Peatsoil management influence rate of subsidence, at oilpalm cultivation showed that the rate of subsidence was higher than at the settlement.
Key words : Subsidence, Peatsoil
ABSTRAK
Kajian subsidensi pada lahan gambut telah dilakukan di wilayah Labuhan Batu, Sumatera Utara pada bulan Oktober 2002 sampai September 2003. Penelitian dilakukan terhadap gambut dengan kedalaman yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju subsidensi lebih besar pada gambut tebal dibandingkan dengan gambut dangkal dan laju penurunan muka tanah juga lebih besar pada awal tahun dimulainya subsidensi. Pengelolaan lahan gambut mempengaruhi laju subsidensi, pada perkebunan kelapa sawit ditemukan laju subsidensi yang lebih besar dibandingkan dengan di pemukiman.
Kata Kunci : Subsidensi, Lahan gambut.
PENDAHULUAN
S ubsidensi adalah salah satu masalah yang ditemui jika kita melakukan pembukaan dan
mengelola
lahan
gambut.
Subsidensi merupakan penurunan
permukaan lahan gambut sebagai akibat
daya dukung air yang hilang akibat
drainase. Pemampatan massa dari bagian
atas yang hanya ditopang oleh kekuatan
fraksi udara merupakan konsolidasi
lanjutan.
Drainase merupakan masalah awal dari pengelolaan gambut. Sistem drainase ditujukan untuk membuang air permukaan yang lebih secara cepat; mengendalikan kedalaman permukaan air tanah untuk produksi tanaman dan; memperpanjang usia pemanfaatan gambut (Sagiman, 1996).
Perubahan pada sifat fisik tanah dapat menunjang perakaran tanaman melalui perbaikan aerase tanah dan juga akan meningkatkan kegiatan mikroba perombak bahan organik. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme
35
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
yang paling banyak jumlahnya yang mengambil peran secara umum dalam proses pembentukan humus. Bahan organik merupakan substrat alami untuk organisme saprofitik dan secara tidak langsung memberi nutrisi bagi tanaman. Bahan organik membantu konservasi nutrisi tanaman dan mencegah erosi dan peluruhan hara dari permukaan tanah (Rao, 1994).
Tingkat perombakan bahan organik akan mempengaruhi sifat mengerut tanah gambut disamping kadar lengas dan kandungan liat. Pada pengeringan tanah gambut tak terganggu (“undisturb”) selama sepuluh hari dalam suhu 60 oC terbukti bahwa tanah gambut yang tingkat perombakan lebih jauh akan mengerut lebih besar dan gambut yang tercampur mineral liat mempunyai kemampuan mengerut lebih kecil. (Driessen dan Rochimah dalam Fauzan, 1988).
Ada empat faktor yang mempengaruhi subsidensi :
1. Vertikal “shrinkage” pada lapisan atas akibat pengeringan.
2. Pemaduan (konsolidasi) pada lapisan bawah.
3. Oksidasi bahan organik oleh perbaikan lapisan aerase pada gambut.
4. Pemampatan (kompaksi) akibat pengolahan yang intensif.
Suwido H. Limin (dalam
Kartamiharja, 2002) menyebutkan bahwa
pembukaan lahan gambut akan mengubah
ekosistemnya, misalnya posisi rantai
makanan dan vegetasi akibat berubahnya
status hidrologi dan ekosistem awal. Di
daerah Bereng Bengkel (eks Proyek Lahan
Gambut Sejuta Hektar) di Kalimantan
Tengah ditemukan jenis flora baru yaitu
alang-alang Imperata cilindrica, padahal
alang-alang bukan anggota keluarga besar
rawa gambut. Pembukaan kanal juga
mengakibatkan penurunan permukaan
tanah. Penurunan ini disebabkan karena
lapisan gambut yang mentah dipermukaan
tanah mengalami pelapukan. Ini terjadi
karena ada penambahan jenis dan
populasi mikro organisme tanah sebagai
konsekuensi perubahan suhu dan
kelembaban pada lapisan permukaan.
Perubahan lingkungan yang terjadi saat
dilakukan pembukaan hutan rawa gambut
untuk usaha pertanian, termasuk usaha
perkebunan,
adalah
menurunnya
ketahanan dari bahan organik dalam
gambut terhadap proses dekomposisi.
Perubahan kondisi dari anaerob menjadi
aerob akibat pembuatan saluran drainase
mendorong proses perombakan bahan
organik berlangsung dengan sangat cepat,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan
penurunan permukaan lahan gambut.
Penyelidikan terhadap subsidensi telah tercatat sebagai berikut :
Table 1. Laju subsidensi lahan gambut
Daerah/Sumber Gambut
Laju Subsidensi (cm/tahun)
36
Peneliti
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
Delta Upang, Sumatera Selatan
Telang, Sumatera Selatan
Perkebunan PT. Riau Sakti, Riau
Sumber : Sabiham, 2002
Indonesia mempunyai lahan gambut seluas + 17 juta Ha, merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya menjadi lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, transmigrasi dan sebagai bahan galian. Kabupaten Labuhan Batu dengan luas wilayah 922.318 Ha mempunyai lahan gambut sekitar 24% dari luas wilayahnya, dan sebagian telah dikembangkan terutama bagi perkebunan kelapa sawit (Pemkab Labuhan Batu).
Penulis tertarik meneliti subsidensi yang terjadi pada lahan gambut di wilayah ini dimana pada saat ini tampak perkembangan pesat pembukaan areal gambut untuk dijadikan lahan perkebunan, terutama untuk komoditi kelapa sawit.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
P enelitian dilaksanakan pada
lahan
gambut
pada
perkebunan sawit rakyat, karet
rakyat, dan hutan gambut di
Kabupaten Labuhan Batu dengan
2-5 Chambers, 1979
6,5 Tim IPB, 1982
10 Sabiham, 1996
ketinggian 4-10 m dari permukaan laut pada kordinat 10 26’-20 11’ Lintang Utara dan 90 01’-950 53’ Bujur Timur dan berjarak kurang lebih 395 km arah Tenggara Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2002 sampai September 2003 dilapangan dengan metoda survey memakai grid antara jalur 100 m dan dalam jalur 200 m, untuk melihat ketebalan gambut.
Bahan yang dipakai adalah peroksida H2O2 untuk test pirit dan sampel tanah untuk melihat tingkat kematangan dan kerapatan lindak. Aqua destilata untuk melihat pH (H2O) di lapangan.
Pelaksanaan penelitian dengan menyiapkan peta wilayah, peta lokasi, peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah, menentukan lokasi penelitian. Survey awal untuk menentukan penyebaran ketebalan gambut, lokasi diplot atas kedalaman 0-100 cm, 100-200 cm, dan > 200 cm. Pengambilan sampel tanah gambut untuk pengukuran sifat fisik dan kimia tanah. Pengambilan data vegetasi dan kondisi cuaca pada saat survey (hujan atau cerah)
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
P enurunan permukaan tanah gambut yang dapat diamati dari beberapa lokasi yang mewakili masing-masing ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Penurunan permukaan tanah gambut dari beberapa lokasi yang mewakili masingmasing ketebalan.
37
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
Lokasi
Ketebalan Gambut
Cm Kriteria
MAT (cm)
Kematangan
Subsidensi
Laju
Rata-rata
TRL PS 8 PS 8 CBG CBG
0-100 0-200 0-200 >200 >200
Dangkal Sedang Sedang Dalam Dalam
-100 -50 -30 -10 0
Saprist Hemist Hemist Hemis-Fibrist Fibrist
6 cm / 8 thn 10 cm / 9 thn 50 cm / 10 thn 24 cm / 3,5 thn 3,5 cm / 3,5 bln
0,75cm/thn 1,1 cm/thn 5,0 cm/thn 6,8 cm/thn 1 cm/bln
Keterangan :
TRL : Desa Sei Tarolat di Kecamatan Bilah Hilir
PS-8
: Desa Pasar 8 di Kecamatan Bilah Hilir
CBG
: Desa Cabang Dua di Kecamatan Panai Tengah
Pengelolaan
Pemukiman Pemukiman Kelapa Sawit Kelapa Sawit Hutan Alami
Pada gambut dangkal yang terdapat di lokasi TRL ditemukan subsiden yang lebih rendah dibanding dengan gambut sedang pada lokasi PS-8 dan gambut dalam di lokasi CBG. Pada gambut dangkal TRL dengan ketebalan 60 cm, besar subsidensi selama 8 tahun hanya tercatat 6 cm; pada gambut sedang PS-8 yang mempunyai ketebalan 150 cm ditemukan besar subsiden 10 cm selama 9 tahun di lokasi pemukiman dan sebesar 50 cm selama 10 tahun di lokasi perkebunan kelapa sawit; pada gambut dalam di lokasi CBG dengan ketebalan gambut >200 cm didapatkan subsidensi sebesar 25 selama 3, 5 tahun dilokasi yang mulai di tanam kelapa sawit dan ditempat yang sama pada kondisi alami subsidensi sebesar 3,5 cm selama 3,5 bulan oleh penggalian parit yang baru dibuat/digali.
Pada gambut dengan bahan induk yang terdiri dari bahan organik secara keseluruhan rentan terhadap dekomposisi oleh mikroorganisme, baik dalam suasana oksidatif maupun suasana reduktif. Namun dalam suasana cukup udara mikroorganisme dekomposer akan lebih aktif dibandingkan suasana terhambat udara akibat adanya kelebihan air (kondisi
reduktif). Suasana basah dan berair ini
secara umum bergantung kepada alam
(adanya hujan atau temperatur yang tinggi
oleh penyinaran yang lama). Fluktuasi
muka air tanah sangat terasa pada bagian
permukaan tanah, dengan demikian
suasana oksidasi akan berpengaruh pada
lapisan atas/lapisan permukaan. Pada
lokasi penelitian ditemukan lapisan atas
berada pada fase yang lebih matang dari
lapisan yang dibawahnya. Proses
pematangan
berlangsung
secara
horizontal, dehidratasi dari pori makro akan
diisi oleh fraksi udara dan hasil mineralisasi
secara horizontal; dehidratasi pada pori
makro akan diisi oleh fraksi udara dan hasil
mineralisasi secara vertikal akan memberi
beban kelapisan yang berikut. Konsolidasi
primer akibat kehilangan sejumlah volume
air akan diikuti oleh konsolidasi lanjutan
oleh pemampatan massa yang akan
mempercepat laju subsidensi. Gambut
dangkal mempunyai volume yang lebih
kecil untuk termampatkan dibandingkan
dengan gambut yang lebih tebal. Dengan
demikian akumulasi laju pemampatan akan
lebih besar pada gambut dalam. Ilustrasi di
bawah ini dapat menerangkan perbedaan
laju subsidensi untuk gambut yang berbeda
ketebalan.
proses subsidensi
Tanah Mineral
38
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
Tanah Mineral
Tanah Mineral Tanah Mineral
Tanah Mineral Tanah Mineral
Ket
- Lapisan gambut Kondisi Awal Setelah subsidensi berlangsung - Akumulasi permukaan yang menurun
Gambar 1. Laju subsidensi pada lahan gambut dengan ketebalan yang berbeda
Akan tetapi untuk ketebalan gambut
yang sama terlihat subsidensi yang tidak
sama besar. Antar gambut dangkal tidak
diperbandingkan sebab hanya ditemukan
satu pengukuran. Diantara gambut sedang
(PS-8), pada ketebalan dan kematangan
yang sama, laju subsidensi 10 cm/9 tahun
di lokasi pemukiman dan 50 cm/10 tahun di
lokasi tanaman kelapa sawit. Jika diteliti
lokasi pemukiman disini, jarak antar rumah
belum beraturan serta rancang bangunan
juga tidak merata. Ada rumah yang saling
bersisian, ada yang dibatasi oleh halaman
beberapa meter saja tetapi ada juga yang
berjarak > 50 m dari rumah yang lainnya.
Materi bangunan ada yang terbuat dari
kayu, ada yang sudah semi permanen.
Tempat pengukuran subsidensi adalah
rumah yang mempunyai tapak
dasar/landasan batu tungku sebagai
penyangga
bangunan
(rumah
berkolong/rumah panggung). Batu tungku
menjadi terdapat pengukuran yang
menunjukkan
adanya
penurunan
permukaan tanah. Aktivitas manusia di sekitar ini mendorong terjadinya kompaksi. Halaman sekeliling rumah diusahakan dengan tanaman hortikultura (jagung dan sayuran).
Tetapi pada lokasi yang sama (PS-8),
diantara tanaman kelapa sawit ditemukan
batang pohon besar yang sudah mati
dengan titik pangkal akar pada batang
yang jelas telah berada di atas tanah saat
pengukuran. Pohon mati ini dibuat sebagai
“bench mark” (patok duga). Selama 10
tahun setelah lahan ini mulai dikelola
dengan kelapa sawit penurunan
permukaan adalah sebesar 50 cm. Terlihat
perbedaan
pengelolaan
telah
mempengaruhi laju subsidensi. Diduga
aktivitas pertumbuhan kelapa sawit lebih
cepat mempengaruhi dekomposisi bahan
organik pada tanah gambut. Peresapan air
oleh tanaman sawit untuk aktivitas fisiologi,
transpirasi dan evaporasi akibat
pembukaan lahan akan mendorong
39
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol... (Vol. 4, No. 1 Juni 2005)
percepatan subsidensi. Hal ini kemungkinan juga dibantu oleh aktivitas akar kelapa sawit yang dalam dan menyebar. Kondisi ini tidak ditemukan pada pemukiman. Aktivitas perakaran tanaman hortikultura terbatas jarak dan kedalamannya, jika diperhitungkan beban rumah pada tapak tungku hal ini mungkin dapat diabaikan sebab beban tersebar merata pada beberapa tapak tungku. Beban seperti ini pun ditemukan pada pertanaman kelapa sawit, namun oleh karena jarak tanam yang sama beban tersebut tersebar merata. Untuk lebih akurat adalah baik untuk memperhitungkan beban/gaya yang diberikan oleh bangunan atau beban 1 (satu) pohon sawit bagi sekitarnya, akan tetapi hal ini telah di luar kemampuan penulis.
Gambut di dalam lokasi CBG areal yang baru dikelola dengan tanaman kelapa sawit mempunyai subsidensi 24 cm selama 3,5 tahun, sedangkan yang baru dibuat parit pada gambut alami membutuhkan waktu yang relatif singkat dimana selama 3,5 bulan telah dicapai penurunan permukaan sebesar 3,5 cm. Tampak disini bahwa pada awal pengelolaan/pembukaan lahan gambut, laju subsidensi lebih besar dibandingkan tahun berikutnya. Gambut dalam menunjukkan laju subsidensi yang lebih cepat. Di lokasi yang sama di Desa Cabang Dua dengan pengelolaan yang berbeda kecepatan subsidensi tampak berbeda. Pada lokasi perkebunan kelapa
sawit terjadi subsidensi sebesar 24 cm selama 3,5 tahun, rata-rata 6,8 cm/tahun, namun dengan pembuatan parit drainase pada hutan alamiah, ditemukan subsidensi sekitar 3,5 cm dalam waktu 3,5 bulan. Tampak laju subsidensi awal lebih besar pada saat pembukaan gambut dengan menurunkan muka air tanah, dibandingkan dari pada tahun-tahun berikutnya. Kecepatan subsidensi berkurang sejalan dengan waktu pada gambut yang dikelola.
Ditinjau dari karakteristik tanah gambut, pada kematangan yang berbeda terlihat laju subsiden yang berbeda. Pada tingkat matang, laju subsidensi terkecil di lokasi TRL rata-rata 0,75 cm/tahun dan pada kematangan hemik subsidensi 1,15,0 cm/tahun pada lokasi PS-8. Di Desa Cabang Dua hal ini lebih jelas tampak, gambut dalam dengan kematangan hemikfibrik mempunyai laju subsidensi rata-rata 6-8 cm/tahun tetapi pada kematangan yang lebih rendah (“fibrik”) laju subsiden ratarata 1 cm/bulan. Kondisi ini dapat dijelaskan dari sifat kepadatan tanah yakni bobot isi atau bulk density. Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”.
Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran ditunjukkan oleh tabel berikut:
Tabel 3. Hubungan kerapatan lindak dan total ruang pori pada berbagai tingkat kematangan, dari beberapa titik pemboran
Tingkat Kematangan Gambut
Saprik Hemik Fibrik
BD
…..g.cm-3….. > 2,0 0,1-2,0 < 0,1
TRP
…..%…. < 86 85-91 >91
Dari tabel di atas terlihat bahwa bila kerapatan lindak yang tinggi maka Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh
40
kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia
Kajian Subsidensi Pada Lahan Gambut di Labuhan Batu... Bintang, E.M.Harahap)
B.Rusman,
Basyarudin,
dan
ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi.
KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan subsidensi pada
berbagai ketebalan gambut. Laju
subsidensi lebih besar pada gambut
yang lebih tebal dibandingkan
dengan gambut dangkal. Laju
penurunan muka tanah juga lebih
besar pada awal tahun dimulainya
subsidensi. Di Desa Cabang Dua
(CBG) dengan ketebalan gambut >
200 cm diperoleh subsidensi sebesar
3,5 cm selang waktu 3,5 bulan
sedangkan pada gambut sedang
(ketebalan 0-200 cm) laju subsidensi
sebesar 10-50 cm selang waktu 9-
10 tahun dan untuk gambut dangkal
(ketebalan 0-100 cm) laju subsidensi
10 cm selang waktu 8 tahun.
2. Pengelolaan pada tanah gambut
telah menyebabkan subsidensi, pada
hutan alami gambut yang dibuat parit
drainase pada triwulan pertama
diperoleh subsidensi sebesar 3,5 cm
namun di lokasi yang sama (Desa
Cabang Dua Kecamatan Panai
Tengah) laju subsidensi adalah 24
cm untuk waktu 3,5 tahun. Tampak
laju subsidensi pada tahun pertama
lebih besar dibandingkan tahun
berikutnya.
3. Di Desa Pasar 8 Kecamatan Bilah
Hilir dengan pengelolaan yang
berbeda menyebab laju subsidensi
juga berbeda. Laju subsidensi pada
penggunaan lahan dengan kelapa
sawit lebih besar daripada di lokasi
pemukiman.
4. Beberapa sifat tanah yang
mempengaruhi subsidensi adalah
ketebalan
gambut,
tingkat
kematangan, dan pengelolaan yang
ada/telah dilakukan terhadap tanah
gambut serta lamanya usia pengelolaan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. S. 1999. Pedoman Teknik Survey Tanah. Jurusan Tanah-Institut Pertanian Bogor.
Aisyah. 2003. Pendugaan Besarnya Subsidensi Akibat Reklamasi Tanah Gambut. Graduate Program/S3 Institut Pertanian Bogor.
Basyarudin, 2001. Tanah Gambut. Program Pascasarjana USU Medan.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia, Dalam Prosiding Kongres Nasional V HITI. Medan.
Fauzan dan D. L. Probohandono. 1988. Pendugaan Laju Amblesan Tanah Gambut Akibat Reklamasi. Seminar Nasional Gambut. Yogyakarta.
Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics. Akademic Press.
Lembaga Penelitian Tanah. 1987. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapangan. Publikasi LPT Bogor.
Manurung, A. P. Simbolon dan B. Saragih, 2002. Beberapa Catatan Bertanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Studi Kasus Kebun Tahuan Ganda. Aek Korsik. Seminar dan Lokakarya Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Perkebunan. Fak. Pertanian USU. Medan.
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. 2002. Profil dan Potensi Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat. Website : www. labuhanbatu.com.
41