Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati Bencana Massal

Surjit Singh
Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum
Dr. Pirngadi Medan/FK-USU Medan

Abstrak: DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu defenisi yang diberikan sebagai
prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mangacu pada standar baku Interpol. Dalam melakukan proses
identifikasi terdapat bermacam-macam metode dan teknik identifkasi yang dapat digunakan.
Namun demikian Interpol menentukan Primary Identifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan
Photography.
Kata kunci: identifikasi, bencana massal, primary identifiers
Abstract: DVI or Disaster Victim Identification is defined as a standard procedure for the
identification of mass disaster victims scientifically and based on the Interpol Standard. In the
process of identification there are various different methods available. Interpol has formulated
Primary Identifiers consisting of Fingerprints, Dental Records and DNA and secondary identifiers
comprising of Medical, Property And Photography.
Keywords: identification, mass disaster, primary identifiers

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan

yang terdiri dari 13.667 pulau dengan batas
2
luasnya sebesar 2.027.087 km mempunyai
kurang lebih 129 gunung merapi. Secara
geologis Indonesia terletak di pertemuan di
antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, IndoAustralia dan Mediterania) dan secara
demografi terdiri dari bermacam-macam
etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya,
dimana
keadaan
tersebut
memberikan
petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi
sebagai negara yang rawan dari bencana alam
terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor,
banjir maupun kecelakaan baik darat, laut
1,2
maupun udara.
Bencana massal didefinisikan sebagai
suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam

atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi
secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang
menyebabkan hilangnya jiwa manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, serta
melampaui kemampuan dan sumber daya
masyarakat
untuk
menanggulanginya.
Umumnya korban yang hidup telah banyak
dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan
tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi

korban yang sudah mati yang perlu ditangani
secara khusus dengan membentuk tim khusus
pula. Dalam penggolongannya bencana massal
dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural
Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi,
banjir, tanah longsor dan sejenisnya.
Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man
Made Disaster’ yang dapat berupa kelalaian

manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara,
laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya
serta akibat ulah manusia yang telah
direncanakannya
seperti
pada
kasus
2,3
terorisme.
DVI (Disaster Victim Identification)
adalah suatu definisi yang diberikan sebagai
sebuah prosedur untuk mengidentifikasi
korban mati akibat bencana massal secara
ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan
dan mengacu kepada standar baku Interpol.
Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana
setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The

Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem

Information Retrieval’, ‘Reconciliation’ and
‘Debriefing’. 2,3,4
Dalam melakukan proses tersebut
terdapat bermacam-macam metode dan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

254

Surjit Singh

Penatalaksanaan Identifikasi Korban...

tehnik identifikasi yang dapat digunakan.
Namun demikian Interpol menentukan
Primary Indentifiers yang terdiri dari
Fingerprints, Dental Records dan DNA serta
Secondary Indentifiers yang terdiri dari
Medical, Property dan Photography. Prinsip
dari proses identifikasi ini adalah dengan

membandingkan data Ante Mortem dan Post
Mortem, semakin banyak yang cocok maka
akan semakin baik. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
4
dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
IDENTIFIKASI KORBAN
Pengetahuan
mengenai
identifikasi
(pengenalan jati diri seseorang) pada awalnya
berkembang karena kebutuhan dalam proses
penyidikan suatu tindak pidana khususnya
untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal,
dengan adanya perkembangan masalahmasalah sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan
juga
untuk
keperluan-keperluan
yang

berhubungan dengan kesejahteraan umat
manusia.
Pengetahuan identifikasi secara ilmiah
diperkenalkan pertama kali oleh dokter
Perancis pada awal abad ke 19 bernama
Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan
memanfaatkan ciri umum seseorang seperti
ukuran anthropometri, warna rambut, mata
dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak
kendala-kendalanya oleh karena perubahanperubahan yang terjadi secara biologis pada
seseorang dengan bertambahnya usia selain
kesulitan dalam menyimpan data secara
2,5,6
sistematis.
Sistem yang berkembang kemudian
adalah pendeteksian melalui sidik jari
(Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan
oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712,
kemudian oleh Mercello Malphigi tahun
1628-1694 dan dikembangkan secara ilmiah

oleh dokter Henry Fauld tahun 1880 dan
Francis Dalton tahun 1892 keduanya berasal
dari
Inggris.
Berdasarkan
perhitungan
matematis penggunaan sidik jari sebagai
sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang
cukup tinggi karena kemungkinan adanya 2
orang yang memiliki sidik jari yang sama
9
adalah 64 x 10 : 1, kendala dari sistem ini
adalah diperlukan data dasar sidik jari dari
seluruh penduduk untuk pembanding.
255

Adanya perkembangan ilmu pengetahun,
saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan
dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi
seseorang, namun yang paling berperan adalah

berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat
yang dikenali adalah manusia. Identifikasi
melalui sarana ilmu kedokteran dikenal
sebagai Identifikasi Medik.
Manfaat identifikasi semula hanya untuk
kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal
korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah
berkembang untuk kepentingan non kriminal
seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli
waris dan menelusuri sebab dan akibat
kecelakaan,
bahkan
identifikasi
dapat
dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau
2,7
kematian akibat kecelakaan.
METODOLOGI IDENTIFIKASI
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas
seseorang memerlukan berbagai metode dari

8,9
yang sederhana sampai yang rumit.
a. Metode sederhana
1) Cara visual, dapat bermanfaat bila
kondisi mayat masih baik, cara ini
mudah karena identitas dikenal
melalui penampakan luar baik berupa
profil tubuh atau muka. Cara ini tidak
dapat diterapkan bila mayat telah
busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi
keluarga korban (sedang berduka,
stress, sedih, dll)
2) Melalui
kepemilikan
(property)
identititas cukup dapat dipercaya
terutama bila kepemilikan tersebut
(pakaian, perhiasan, surat jati diri)
masih melekat pada tubuh korban.

3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga,
foto sekolah, KTP atau SIM dan lain
sebagainya.
b. Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari, 2)
Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi
dan 5) Biologi.
Cara-cara ini sekarang berkembang
dengan pesat berbagai disiplin ilmu ternyata
dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban
tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

didapatkan akurasi yang sangat tinggi dan juga
dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum.
Metode ilmiah yang paling mutakhir saat
ini adalah DNA Profiling (Sidik DNA). Cara
ini mempunyai banyak keunggulan tetapi

memerlukan pengetahuan dan sarana yang
canggih dan mahal. Dalam melakukan
identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang
mudah dan tidak rumit. Apabila dengan cara
yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke
cara yang lebih rumit.
Selanjutnya dalam identifikasi tidak
hanya menggunakan satu cara saja, segala cara
yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting
oleh karena semakin banyak kesamaan yang
ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi
tersebut minimal harus menggunakan 2 cara
yang digunakan memberikan hasil yang positif
(tidak meragukan).
Prinsip dari proses identifikasi adalah
mudah yaitu dengan membandingkan datadata tersangka korban dengan data dari korban
yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan
semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari,
atau DNA secara tersendiri sudah dapat
digunakan sebagai faktor determinan primer,
sedangkan data medis, property dan ciri fisik
harus dikombinasikan setidaknya dua jenis
untuk dianggap sebagai ciri identitas yang
3,4
pasti.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi
yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam
dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik.
Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting
apabila mayat sudah dalam keadaan
membusuk atau rusak, seperti halnya
kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi
manusia melalui gigi, kita dapatkan 2
kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi
dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi.
Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA

Dengan adanya informasi mengenai
perkiraan batas-batas umur korban
misalnya, maka pencarian dapat dibatasi
pada data-data orang hilang yang berada di
sekitar umur korban. Dengan demikian
3,8
penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda
khusus pada korban tersebut.
Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan
dapat menentukan identifikasi secara lebih
akurat dari pada sekedar mencari
informasi tentang umur atau jenis
kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain:
misalnya adanya gigi yang dibungkus
logam, gigi yang ompong atau patah,
lubang pada bagian depan biasanya dapat
lebih mudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat atau keluarga korban. Di
samping ciri-ciri di atas, juga dapat
dilakukan pencocokan antara tengkorak
korban dengan foto korban semasa
hidupnya. Metode yang digunakan dikenal
sebagai Superimposed Technique yaitu
untuk membandingkan antara tengkorak
3,6,8
korban dengan foto semasa hidupnya.
c. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
2,6

Superimposisi
adalah
suatu
sistem
pemeriksaan untuk menentukan identitas
seseorang dengan membandingkan korban
semasa hidupnya dengan tengkorak yang
ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan
tehnik ini adalah:
1) Korban tidak pernah membuat foto
semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya
maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah
hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu
biaya tersendiri.
Khusus pada korban bencana massal, telah
ditentukan metode identifikasi yang
dipakai yaitu:
a. Primer/utama
1) gigi geligi
2) sidik jari
3) DNA
b. Sekunder/pendukung
1) visual
2) properti
3) medik

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

256

Surjit Singh

Penatalaksanaan Identifikasi Korban...

SETELAH KORBAN TERIDENTIFIKASI
Setelah korban teridentifikasi sedapat
mungkin dilakukan perawatan jenazah yang
meliputi antara lain:
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada
keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi
Identifikasi
berikut
surat-surat
yang
diperlukan pencatatan yang penting pada
proses serah terima jenazah antara lain:
a. Tanggal dan jamnya
b. Nomor registrasi jenazah
c. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap
penerima, hubungan keluarga dengan
korban.
d. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi
dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah,
dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas
Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
10
korban.
Adalah sangat penting untuk tetap
memperhatikan file record dan segala
informasi
yang
telah
dibuat
untuk
dikelompokkan dan disimpan dengan baik.
Dokumentasi
berkas
yang
baik
juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol
misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga
menunjukkan
bahwa
proses
identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan
2,3
penuh perhatian.
Identifikasi pada korban bencana masal
adalah suatu hal yang sangat sulit mengingat
berapa hal di bawah ini:
ƒ Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
ƒ Lokasi kejadian sulit dicapai
ƒ Memerlukan sumber daya pelaksanaan
dan dana yang cukup besar
ƒ Bersifat
lintas
sektoral
sehingga
memerlukan koordinasi yang baik.
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas
identifikasi massal ini adalah koordinasi yang
baik antara instansi dan dukungan peralatan
komunikasi dan transportasi.
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada
korban massal tetap berada di bawah

257

koordinasi Badan Penanggulangan Bencana
seperti: Badan Penanggulangan Bencana
Daerah yang telah terbentuk di Provinsi
Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan
instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah
Sumatera
Utara/Polda
Sumut,
Dinas
Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera
Utara, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial,
Palang Merah Indonesia dan instansi terkait
10
lainnya serta Bakorlak, Satkorlak dan Satlak.
Khusus tim identifikasi di lapangan
berada di bawah tim investigasi (Penyidik
Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan
penyidikan sebab dan akibat dari bencana
massal tersebut, karena hasil identifikasi
korban banyak membantu dalam proses
penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya
pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui
tim investigasi.
Bencana dapat terjadi karena alam, atau
ulah manusia berupa kecelakaan, kelalaian
ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih
diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk
2,3
dimasukkan dalam kriteria korban massal.
KESIMPULAN
Metode identifikasi terus berkembang,
berbagai ilmu pengetahuan baik yang bersifat
ilmiah, komputerized atau yang sederhana
lebih meningkatkan akurasi indentifikasi
korban mati atau hidup. Tantangan yang
dihadapi para pelaksana identifikasi di
kemudian hari adalah apabila ada bencana
massal, karena kuantitas korban makin
meningkat.
Penanganan identifikasi korban bencana
massal berdasarkan standar yang berlaku
merupakan suatu proses yang dapat
dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah
dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan
pengertian yang baik di antara semua pihak
yang terlibat dalam penerapannya, sehingga
proses identifikasi mencapai ketepatan dalam
identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam
prosesnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asep M. Himpunan Peraturan PerundangUndangan
Penanggulangan
Bencana.
Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-6
2. Eddy S. DVI in Indonesia an Overview.
DVI Workshop, Bandung; 2006.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

Tinjauan Pustaka

3. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M.
Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi
Korban Mati pada Bencana Massal.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia; 2004. h.1–23
4. International Criminal Police Organization.
Disaster Victim Identification Guide, GB
Version: 1998
5. Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik.
Medan: Percetakan Ramadan; 2007.
h.178-203
6. Dikshit PC. Forensic Medicine and
Toxicology.
New
Delhi:
Peepee
Publishers and Distributors Ltd.; 2007.
h.47–88

7. Mason JK. Forensic Medicine for Lawyers.
Great Britain: Oxford University Press;
1983. h.39–42
8. Franklin CA. Modi’s Text Book of
Medical Jurisprudenc and Toxicology.
Bombay: N.M. Tripathi Private Limited;
1988. h.29-68
9. Bernard K. Forensic Pathology. New
York: Oxford University Press Inc; 1996.
h.96–105
10. Panduan Umum Pelatihan Penaggulangan
Bencana Terpadu di Provinsi Sumatera
Utara: Pemprovsu/Poldasu; 2008

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 4 y Desember 2008

258