Kinerja Sistem Pengkodean Dengan Menggunakan Kode Inner Dan Kode Outer

KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN
KODE INNER DAN KODE OUTER
Sihar Parlinggoman Panjaitan
Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU
Abstrak: Kesalahan merupakan masalah pada sistem komunikasi. Untuk mengatasi masalah ini digunakan
sistem pengkodean untuk dapat mengkoreksi kesalahan. Penelitian ini membuat model sistem kode inner dan
outer. Tolok ukuran kinerja sistem adalah Bit Error Rate dari kode inner dan outer kode Hamming dan kode
Reed Salomon. Kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer tersebut dibandingkan
dengan kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode tunggal.
Kata kunci: Kode Inner dan Outer, Bit Error Rate, Kode Hamming, Kode Reed Salomon, Pengkodean dan
Pendekodean, Koding Gain
Abstract:The error represents a problem for the communications systems. In order to overcome this problem,
systems coding are used to correct this error. This research makes model of the inner and outer code. The
performance of the system is measured by Bit Error Rate By inner and outer Hamming code and Reed Salomon.
The performance of coding system by using code is compared with the performace of coding system by using
code.
Keywords: Inner and Outer Code, Bit Error Rate; Hamming Code, Reed Salomon Code, Coding and Decoding,
Gain Coding

I. PENDAHULUAN
Beberapa

studi
mengatakan,
jika
menggunakan kode inner dan outer, di mana yang
satu sebagai kode inner dan yang lainnya sebagai
kode outer, maka dapat diperoleh kemampuan
yang sangat andal, jika hanya menggunakan satu
jenis pengkodean saja (Christian Thommesen,
1987).
Pola
penggabungan
kode
yang
dikombinasikan sebagai kode inner dan kode outer
sangat luas pemakaiannya pada sistem komunikasi
digital,
di
mana
tujuannya
memperoleh

kemampuan yang sangat andal guna mengoreksi
kesalahan (Fazel K & Salembier P., 1989).
Kinerja dari suatu sistem pengkodean dengan
menggunakan kode inner dan outer diukur dari
besarnya kemampuan koreksi kesalahan dari kode
tersebut. Di samping itu, tolok ukur kinerja dari
suatu sistem pengkodean adalah Bit Error Rate,
yaitu banyaknya bit yang salah dibagi dengan
banyaknya bit yang dikirimkan dalam jumlah yang
besar. Bit Error Rate dari sistem pengkodean
dengan menggunakan kode inner dan outer tidak
dapat dihitung secara teoretis. Oleh karena itu
untuk memperoleh Bit Error Rate dilakukan
simulasi.
II. MODEL SISTEM
Sistem yang diteliti adalah kinerja dari sistem
kode inner dan outer dengan menggunakan metode
simulasi. Oleh karena itu diperlukan
model
sistem. Cakupan pemodelan sistem terdiri dari 4

bagian yaitu:
1. Bagian pertama adalah pemodelan sumber
data yang berupa bilangan binari 0 dan 1.

2.

Bagian kedua adalah pemodelan pengkodean
dari data yang hendak ditransmisikan.
3. Bagian ketiga adalah pemodelan dari medium
transmisi yang meliputi pembangkitan sampel
noise Gaussian dan pembangkitan salah bit.
4. Bagian
keempat
adalah
pemodelan
pengkodean dari stream bit yang diterima di
sistem penerima.
Blok diagram model sistem diperlihatkan
oleh gambar 1.
Model sistem sebagaimana diperlihatkan oleh

gambar 1 diimplementasikan dalam bentuk
program simulasi pada komputer yang terdiri dari
program pembangkitan binari 0 dan 1, proses
pengkodean, pembangkitan noise Gaussian dan
pembangkitan salah bit serta proses pendekodean.

Sumber Data
Proses
Medium
Proses
Gambar 1. Blok Diagram Model Sistem
II 1 Algoritma Pembangkitan Binari 0 dan 1
Pada penelitian ini sumber diasumsikan
sebagai sumber binari yang mempunyai peluang
munculnya bit 1 dan peluang munculnya bit 0
adalah sama. Oleh karena itu dipakai satu

21

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006


pembangkit yang dapat membangkitkan bit 0 dan
bit 1 dengan peluang yang sama.
Pembangkitan bilangan acak yang terdistribusi
antara 0 dan 1 dimulai dari pembangkitan bilangan
acak ke-i yaitu dari 1 sampai dengan bilangan acak
ke-n di mana n, sejumlah perkalian antara panjang
data dari kode. Bila jumlah bilangan acak yang
dibangkitkan belum mencapai n, maka dibangkitkan
bilangan acak berikutnya. Bila bilangan acak
dibangkitkan lebih besar dari n maka proses
pembangkitan bilangan acak berhenti.
Bilangan acak yang telah dibangkitkan (u)
dibandingkan dengan 0,5. Bila bilangan acak yang
dibangkitkan lebih kecil atau sama dengan 0,5
dibangkitkan bit 0 dan lebih besar dari 0.5
dibangkitkan bit 1.
11.2 Algoritma Pembentukan Kode Hamming
dan Kode Reed Salomon
Bit stream dari sumber data yang masuk ke

enkoder dikodekan dengan menggunakan suatu
generator. Oleh karena itu dalam proses pengkodean
diperlukan suatu generator, baik generator matriks,
generator polinomial maupun generator sekuens.
Pada penelitian ini kode-kode yang dipergunakan
adalah kode Hamming (7,4) dan
kode BCH
(127,57) sebagai pembanding yang sifatnya
sistematik. Kode Hamming. Dapat diperoleh dari
hasil perkalian antara bit stream dengan generator
matriks kode Hamming Generator matriks dari kode
Hamming (Man Young Rhee, 1989):

tegangan lebih kecil dari harga treshold-nya (0
volt). Tegangan akan lebih kecil dari 0 volt jika
noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari -V.
Apabila bit 0 dikirim maka error akan terjadi jika
tegangan lebih besar dari harga treshold-nya (0
Volt). Tegangan akan lebih besar dari 0 jika noise
positif dengan tegangan lebih besar dari +V.

Karena parameter yang dipakai di dalam
program adalah Signal to Noise Ratio (SIN) dan
yang akan dicari adalah tegangan (V), maka perlu
dibuat suatu hubungan antara tegangan dan variansi
dengan signal noise. Didefinisikan tegangan kuadrat
(V`) sama dengan daya sinyal (S) karena seolah2

olah. tegangan dc dan σ sama dengan daya noise
(N).
Dari definisi tersebut dapat dibuat suatu persamaan
yaitu:

V2

σ

2

Bila


=

S
……………………… ……(3)
N

σ 2 = 1 maka persamaan (3) menjadi:

V2 =

S
…………………..(4)
N

Pada penelitian ini diasumsikan noise adalah
2

g(x) = g 0 + g1 x + g 2 x 2 + .... + g n - k n -k . . ( 2 )

Gaussian dengan rataan 0 dan variansi σ . Oleh

karena asumsi noise adalah Gaussian maka dalam
simulasi ini diperlukan pembangkit bilangan, acak
Gaussian dengan rataan = 0 dan harga variansi = 1.
Proses pembangkitan salah bit dimulai dengan
memberikan nilai Signal to Noise Ratio (SNR) yang
diinginkan. Dari harga Signal to Noise Ratio
dihitung
besarnya
tegangan
(V)
dengan
menggunakan
persamaan
(4).
Kemudian
dibangkitkan sample noise (u) yang berupa bilangan
acak berdistribusi Gaussian dengan rataan 0 dan
variansi = 1.
Setelah itu diambil bit-bit yang keluar dari
inner enkoder di mana tiap yang diambil

dibandingkan dengan tiap sampel noise yang
dibangkitan. Berdasarkan sampel noise dan bit-bit
yang keluar dari inner enkoder diputuskan apakah
terjadi error atau tidak. Bila yang diambil adalah bit
1, error terjadi jika sampel noise negatif dengan
tegangan lebih kecil dari -V. Bila yang diambil
adalah bit 0, error terjadi jika noise positif dengan
tegangan lebih besar dari +'V. Jika terjadi error, bit
tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit 0 dan bit 0
menjadi bit 1.

11.3 Algoritma Pembangkitan Salah Bit
Pada penelitian ini didefinisikan transmisi
tanpa modulasi dan format sinyal adalah bipolar di
mana bit 1 mewakili tegangan V volt dan bit 0
mewakili tegangan -V volt. Bila bit 1 dikirim error
terjadi jika noise negatif dengan tegangan lebih
kecil dari --V. Bila bit 0 dikirim error terjadi jika
noise positif dengan tegangan lebih besar dari V.
Bila bit 1 dikirim maka error akan terjadi jika


11.4 Algoritma
Pendekodean
Kode
Hamming
Algoritma pendekodean dari bit stream yang
diterima
oleh
sistem
penerima
dengan
menggunakan kode Hamming dimulai dengan
menghitung sindrom dari kode yang diterima.
Penghitungan sindrom ini untuk mengetahui apakah
kode yang diterima benar atau tidak.
Jika sindrom yang dihasilkan bemilai nol

⎡1
⎢0
G= ⎢
⎢1

⎣1

1
1
1
0

0
1
1
1

1
0
0
0

0
1
0
0

0
0
1
0

0⎤
0⎥⎥
………………….(1)
0⎥

1⎦

Algoritma pembentukan kode Reed Salomon
(15,11) dimulai dengan mengambil k bit data
sebanyak 44 bit. Kemudian 44 bit ini, diubah
kedalam bentuk simbol di mana tiap 4 bit menjadi
satu simbol. Sehingga dari 44 bit diperoleh 11
simbol. Kemudian simbol tersebut dikalikan dengan
generator polinomial. Hasilnya adalah kode Reed
Salomon. Bentuk umum generator polinomial dari
kode Reed Salomon [Blahut. Rhichard E. 1983].

22

Kinerja Sistem Pengkodean dengan Menggunakan Kode Inner dan Kode Outer
Sihar Parlinggoman Panjaitan

maka tidak ada error yang terdeteksi. Bila sindrom
tidak bemilai nol maka ada error terdeteksi.
Langkah selanjutuya adalah mencari posisi error.
Setelah posisi error diketahui, dilakukan
pengkoreksian terhadap bit-bit yang terkena error.
Tahap terakhir dari proses pengdekodean adalah
mengeluarkan bit-bit pariti.
Proses dimulai dengan membuat inisialisasi
pada mark data dan markcode dengan nilai nol.
Proses selanjutnya adalah mengambil 7 bit data.
Kemudian sindrom dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut.

Proses dimulai dengan membuat inisialisasi
pada mark data dan markcode dengan nilai nol.
Proses selanjutnya adalah mengambil sebanyak 60
bit data. Kode yang diterima diubah kedalam bentuk
simbol di mana tiap 4 bit menjadi satu simbol.
Sehingga dari 60 bit menjadi 15 simbol.
Kemampuan koreksi kesalahan dari kode Reed
Salomon (15,11) adalah 2. Banyaknya sindrom
adalah dua kali kemampuan koreksi kesalahan.
Sehingga sindromnya ada sebanyak 4, yang
dihitung dengan persamaan berikut:

S = r HT...............................................................(5)
di mana:
r
= kode yang diterima.
HT = transposisi dari pariti check matriks.

s2 = r0 + r1 (α 2 )1 + r2 (α 2 ) 2 + ... + r14 (α 2 )14

Jika sindrom sama dengan nol, dekoder tidak
melakukan pengkoreksian, kemudian bit-bit pariti
dibuang dan bit-bit data disimpan pada array. Jika
sindrom tidak sama dengan nol, dicari posisi error
dengan membandingkan sindrom yang diperoleh
dengan matriks pariti, yang mana posisinya
diasumsikan sebagai posisi error.
Setelah diperoleh posisi error maka dilakukan
pengkoreksian. Untuk mengkoreksinya, bit pada
posisi ke-i tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit
0 dan bit 0 menjadi bit 1. Setelah dikoreksi, bit-bit
pariti dibuang dan bit-bit data disimpan pada array.
11. 5 Algoritma
Salomon

Pendekodean

kode

Reed

Algoritma pendekodean dari bit stream yang
diterima
oleh
sistem
penerima
dengan
menggunakan kode Reed Salomon, dipilih
algoritma Peterson Gorenstein Zieler (Wicker.
Stephen B, 1995), Langkah-langkah dari algoritma
adalah sebagai berikut:
1. Hitung sindrom dari bit stream yang telah
melalui saluran transmisi.
2. Susun matriks sindrom P.
3. Hitung determinan matriks sindrom. Jika
determinan tidak nol, lakukan langkah 5.
4. Jika determinan nol, susun matriks sindrom
yang baru, dengan cara menghapus kolom
paling kanan dau baris paling bawah dari
matriks sindrom yang lama.
5. Hitung error locator σ
dan susun error
locator polinominal σ (x).
6. Hitung akar-akar persamaan error locator
polinominal.
7. Hitung error magnitude.
8. Susun error polinomial.
9. Jumlahkan error polinomial dengan kode yang
diterima.
10. Selesai.

s1 = r0 + r1α + r2α 2 + ... + r14α 14
s3 = r0 + r1 (α 3 )1 + r2 (α 3 ) 2 + ... + r14 (α 3 )14

..(6)

s4 = r0 + r1 (α 4 )1 + r2 (α 4 ) 2 + ... + r14 (α 4 )14
Kemudian sindrom S1,S 2,S 3,S 4 diuji. Jika
semua nol, berarti tidak ada error deteksi.
Dekoder
tidak
melakukan
pengkoreksian.
Kemudian bit-bit data disimpan pada array.
Jika sindrom tidak sama dengan nol, hitung
determinasi matriks P, di mana:

⎡S
p=⎢ 1
⎣S 2

S2 ⎤
………………………..(7)
S 3 ⎥⎦

II.5.1 Determinan Sama dengan Nol
Jika determinan sama dengan nol, hitung
error
locator
σ dengan menggunakan
persamaan:

σ=

S2
…………………………..(8)
S1

Selanjutnya hitung error magnitude ei1 , dengan
menggunakan persamaan:

ei1 =

S1

σ

……………………………(9)

Kemudian disusun error polynomial e(x)

e( x) = ei1 x

log

an

………………….(10)
5

log

σ

log

a5

5

Misalkan σ = α maka x a = x a = x
Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x),
jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error
polinomial e(x).
c (x) = r ( x ) + e(x)………………(11)
setelah kode diperoleh, maka bit-bit pariti
dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada
array

23

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

II.5.2 Determinan Tidak Sama dengan Nol
Bila determinan tidak sama dengan nol
maka susun error locator polinomial dengan
menggunakan persamaan:

σ ( x) = 1 + σ 1 x + σ 2 x 2 ………..(12)
Di mana

⎡ S1
⎢S
⎣ 2

σ1

dan

σ 2 diperoleh dari

S 2 ⎤ ⎡σ 2 ⎤ ⎡ S 3 ⎤
……….(13)
=
S 3 ⎥⎦ ⎢⎣σ 1 ⎥⎦ ⎢⎣ S 4 ⎥⎦

Kemudian dicari akar-akar persamaan (8)
yaitu β 1 dan β 2 . Selanjutnya akar-akar
persamaan di invers sehingga diperoleh

β1 dan

β 2 . Kemudian dihitung error
magnitude ei1 dan ei2 dengan menggunakan
−1

−1

dibangkitkan bit stream oleh pembangkit bit. Bit
stream yang dibangkitkan diambil sebagiansebagian. Kemudian bit-bit tersebut dikodekan
oleh outer enkoder. Hasilnya disimpan pada array
codeoutouter. Hasil pengkodean outer enkoder ini
merupakan bit stream bagi inner enkoder, untuk
selanjutnya dikodekan oleh inner enkoder menjadi
kode gabungan yang disimpan pada array
codeoutinner.
Kemudian
bit-bit
tersebut
dikirimkan ke inner dekoder melalui kanal di mana
pada kanal dibangkitkan salah bit. Bit-bit yang
telah melalui kanal disimpan pada array
codechannel.
Kemudian
bit-bit
tersebut
didekodekan oleh inner dekoder.
Hasil pengdekodean disimpan pada array
datoutinner.
Selanjutnya
bit-bit
tersebut
didekodekan
oleh
outer
dekoder.
Hasil
pengdekodean disimpan dalam array data out
Kemudian dihitung jumlah bit yang error dengan
cara membandingkan bit pada array datain dan bit
pada array dataout.

persamaan.

⎡ β1
⎢ −12
⎣ β1

β2
β 2 −1

Setelah

diperoleh

−1

−1
2

⎤ ⎡ ei1 ⎤ ⎡ S1 ⎤
⎥ ⎢e ⎥ = ⎢ ⎥ ……….(14)
⎦ ⎣ i2 ⎦ ⎣ S 2 ⎦
harga

kesalahan

ei1 dan

ei2 maka disusun error polynomial e (x).
e( x) = ei1 x log a

β1−1

+ ei2 x log a

β 2 −1

……….(15)

Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x),
jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error
polinomial e(x).
c (x) = r ( x ) + e(x)……………………..…(16)
setelah kode diperoleh, maka bit-bit parity
dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada
array
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam
bentuk program simulasi pada komputer yang
dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili
hasil dari sistem yang sesungguhnya. Program
komputer yang dibuat ditulis dalam bahasa Pascal
versi 7.0.
III. I Proses Simulasi
Proses simulasi dimulai dengan membuat
inisialisasi Jumlah bit (nbits) dan jumlah error
(nerror) dengan nilai nol. Kemudian memberikan
harga Signal to Noise Ratio (SNR) yang
diinginkan. Selanjutnya memberikan jumlah bit
yang hendak dikirimkan (Nbit stream) kemudian

24

111. 2 Pengujian Algoritma Yang Disusun
Pengujian algoritma yang disusun bertujuan
untuk menunjukkan bahwa algoritma tersebut
dapat diterapkan dan dapat berfungsi sesuai
dengan perancangannya.
Pengujian dilakukan dengan menerapkan
algoritma dalam bentuk program simulasi
komputer, kemudian menguji masing-masing
prosedur di dalam program tersebut. Setiap
prosedur yang dibuat diuji secara terpisah dengan
cara memberikan data masukan tertentu, kemudian
membandingkan data keluarannya dengan data
yang diproses secara manual. Setelah semua
prosedur diuji, maka dilakukan pengujian
gabungan seluruh prosedur.
111. 3 Hasil-Hasil Penelitian
Pada penelitian ini percobaan dilakukan
dengan sepuluh kali pengamatan. Data yang
diperoleh berdasarkan hasil rata-rata dari
kesepuluh pengamatan tersebut.
Adanya beberapa angka desimal di belakang
koma disebabkan tidak tepatnya jumlah bit
masukan dengan datanya. Misalnya untuk jumlah
bit masukan sebanyak 100000 bit, datanya menjadi
100100 bit. Untuk bit masukan sebanyak 1000000
bit, datanya menjadi 1000076 bit dan untuk bit
masukan sebanyak 10000000 bit, menjadi
10000144 bit.

Kinerja Sistem Pengkodean dengan Menggunakan Kode Inner dan Kode Outer
Sihar Parlinggoman Panjaitan

Tabel 1. Kinerja Kode Inner dan Outer Hamming–
Reed Solomon Efisiensi: 0,4191
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7
BER masukan

BER keluaran

9.4879 x 10-3

1,9691 x 10-4

7,0121 x 10-3

8,697 x 10-5

5,0484 x 10-3

3,626 x 10-5

3,5320 x 10-3

1,48 x 10-5

2,3948 x 10-3

5 ,65x 10-6

1,5691 x 10-3

2,01 x 10-6

Tabel 2. Kinerja Kode Inner dan Outer Reed
Salomon-Hamming. Efesiensi: 0,4191
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7
BER masukan

BER keluaran

9,4879 x 10

-3

6,2131 x 10

7,0121 x 10

-3

2,9015 x 10-4

5,0484 x 10

-3

-4

3,5320 x 10

-3

2,3948 x 10

-3

1,5691 x 10-3

1,3292 x 10

-4

5,765 x 10

-5

2,341 x 10

-5

8,81 x 10-6

Tabel 3. Kinerja Kode BCH (127,57)
Efisiensi: 0,4488
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11
BER masakan

BER keluaran

9,4879 x 10-3

1,2420 x 10-2

7,0121 x 10-3
5,0484 x 10-3

Tabel 4. Koding Gain Kode Inner dan Outer
Hamming-Reed Salomon Efiensi: 0,4191
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7
S/N tanpa
pengkode
(dB)

S/N dengan
pengkode
(dB)

Koding Gain
(dB)

7,9800

4,4

3,5800

8,4826

4,8

3,6826

8,9608

5,2

3,7608

9,4038

5,6

3,8038

9,8403

6

3,8403

10,2664

6,4

3,8664

Tabel 5. Koding Gain Kode Inner dan Outer Reed
Salomon–Hamming Efisiensi: 0,4191
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7
S/N tanpa
pengkode
(dB)

S/N dengan
pengkode
(dB)

7,1708

4,4

2,7708

7,7225

4,8

2,9225

8,2272

5,2

3,0272

8,7122

5,6

3,1122

9,1836

6

3,1836

9,645 1

6,4

3,2451

Koding Gain (dB)

Tabel 6. Koding Gain kode BCH (127,57).
Efisiensi: 0,4488
Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11

4,7622 x 10-3

S/N tanpa pengkode
(dB)

S/N dengan
pengkode
(dB)

Koding Gain
(dB)

1,4873 x 10-3

4,0097

4,4

-0,3903

5,2645

4,8

0,4645

6,4459

5,2

1,2459

7.5515

5,6

1,9515

8,5838

6

2,5838

9,5476

6,4

3,1476

3,5320 x 10

-3

-4

3,71102 x 10

2,3948 x 10

-3

7.2555 x 10

-5

1,5691 x 10

-3

1.0921 x 10

-5

IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN
Analisis hasil penelitian mencakup pengaruh
parameter signal to Noise Ratio terhadap koding
gain dari sistem yang diteliti. Besarnya koding gain
(marving et. al. 1995):
Koding gain = S/N tanpa pengkode-S/N dengan
pengkode……….(10)

25

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

3.

4.

Grafik 2. Koding Gain terhadap Signal to Noise
Ratio Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon,
Reed Salomon-Hamming serta Kode BCH
(127,57).
Pada gambar 2, terlihat bahwa Koding Gain
inner dan outer code Hamming-Reed Salomon dan
Reed Salomon-Hamming lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kode BCH (127,57), Koding
Gain inner dan outer Hamming Reed Salomon
lebih tinggi, bila dibandingkan dengan inner dan
outer code Reed Salomon-Hamming.
V. KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Kinerja
sistem
pengkodean
dengan
menggunakan kode gabungan lebih andal
dibanding dengan kinerja sistem pengkodean
yang menggunakan kode tunggal pada Bit
Error Rate masukan dari 10-2 sampai 10-3.
2. Kenaikan koding gain semakin kecil pada
signal to noise ratio yang semakin besar

26

Koding Gain Hamming sebagai inner code dan
Reed Salomon sebagai outer code lebih tinggi
dibandingkan dengan Reed Salomon sebagai
inner code dan Hamming sebagai outer code
Hasil pemodelan simulasi ini mendeksi hasil
secara teoretis yakni dengan naiknya signal to
noise ratio, maka Bit Error Rate cenderung
semakin menurun. Dengan demikian model
sistem yang dibuat dapat diyakini untuk
mewakili sistem yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Blahut, R.E., (1983), Theory and Practice Of Error
Control Codes, Addison-Wesley Pubishing
Company Inc., New York.
Christian, T., (1987) Error Correcting Capabilities
of Concatenated Codes With MDS Outer On
Memoryless Channels with MaximumLikelihood Decoding, IEEE Transactions on
Information Theory, Vol. IT-33, No.5
Fazel, (1989), K., P. Salembier, Application of
Error Modeling at The Output Maximum
Likelihood Dekoder to Concatenated Coded
16 PSK, Laboratories d’Electronique Philips,
3 Avenue Descartes 94451 LimeilBrevannes Cedex (France), IEEE, pq. 15281533.
Man Young Rhee, (1989), Error Correcting Coding
Theory, Mc Graw-Hill., New York.
Wicker Stephen.B, Error Control Systems for
Digital Communication and Storage,
Prentice-Hall International Inc.,1995.