Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA terhadap Pertumbuhan Tunas Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) secara in Vitro

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH BAP DAN NAA
TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS ULIN
(Eusideroxylon zwageri T. et B.) SECARA IN VITRO

MOHAMMAD WAHYU DEWANTO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Zat Pengatur
Tumbuh BAP dan NAA terhadap Pertumbuhan Tunas Ulin (Eusideroxylon
zwageri T. et B.) secara in Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Mohammad Wahyu Dewanto
NIM E44100001

ABSTRAK
MOHAMMAD WAHYU DEWANTO. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan
NAA terhadap Pertumbuhan Tunas Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) secara
in Vitro. Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI dan ERINA
SULISTIANI.
Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan salah satu jenis tanaman yang berada pada
status vulnerable berdasarkan kriteria IUCN; telah dievaluasi agar dimasukkan ke dalam
Appendix II CITES. Perbanyakan ulin dari biji membutuhkan waktu yang lama.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi zat pengatur tumbuh (ZPT) terbaik
antara sitokinin (BAP) dan auksin (NAA) terhadap tunas lateral dan apikal dalam
perbanyakan ulin secara in vitro pada media woody plant medium (WPM). Penelitian
dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama ialah
pemberian BAP yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0.0 mg/L, 0.5 mg/L, dan 1.0 mg/L. Faktor
kedua yakni pemberian NAA yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0.00 mg/L, 0.01 mg/L, dan

0.05 mg/L. Peubah yang diamati ialah pertumbuhan tunas, tinggi tunas, dan pertumbuhan
kalus. Pemberian BAP 1.0 mg/L menghasilkan pertumbuhan tunas sebesar 1 tunas per
eksplan pada tunas lateral. Pertumbuhan tunas ulin terbaik diperoleh pada tunas apikal
yang ditumbuhkan dalam media WPM dengan kombinasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05
mg/L, menghasilkan 1 tunas per eksplan. Pemberian NAA 0.05 mg/L menghasilkan
tinggi tunas sebesar 0.67 cm per tunas pada tunas lateral. Pada peubah pertumbuhan
kalus, pemberian BAP berkorelasi positif terhadap diameter kalus, baik pada tunas lateral
maupun tunas apikal.
Kata kunci: Eusideroxylon zwageri, tunas apikal, tunas lateral, woody plant medium

ABSTRACT
MOHAMMAD WAHYU DEWANTO. Effect of Plant Growth Regulator BAP
and NAA on the Growth of Ironwood Shoots (Eusideroxylon zwageri T. et B.) in
Vitro. Guided by ARUM SEKAR WULANDARI and ERINA SULISTIANI.
Ironwood (Eusideroxylon zwageri) is one of the types of plants that are vulnerable
status based on IUCN criteria; have been evaluated for inclusion in Appendix II of
CITES. Ironwood Propagation from seed takes a long time. This research aims to get the
combination of plant growth regulator (PGR) best between cytokinin (BAP) and auxin
(NAA) to the apical and lateral buds in ironwood propagation in vitro on woody plant
medium (WPM). The research is conducted with a completely randomized design (CRD)

two factors. The first factor is the provision of BAP which consists of 3 levels that is 0.0
mg/L, 0.5 mg/L, and 1.0 mg/L. The second factor is the provision of NAA which consists
of 3 levels that is 0.00 mg/L, 0.01 mg/L, and 0.05 mg/L. Parameters observed is the
growth of shoot, shoot height, and callus growth. Giving BAP 1.0 mg/L resulted in
growth of shoot is 1 shoot per explant on lateral bud. Ironwood best shoot growth was
obtained in the apical buds were grown in WPM medium with BAP combination of 1.0
mg/L and NAA 0.05 mg/L, resulting in a 1 shoot per explant. Giving NAA 0.05 mg/L
resulted in shoot height of 0.67 cm per shoot on lateral bud. On callus growth variables,
giving BAP positively correlated to the diameter of the callus, both in apical buds and
lateral buds.
Keywords: Eusideroxylon zwageri, apical buds, lateral buds, woody plant medium

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH BAP DAN NAA
TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS ULIN
(Eusideroxylon zwageri T. et B.) SECARA IN VITRO

MOHAMMAD WAHYU DEWANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi: Pengaruh

Zat

Pengatur

Tumbuh

BAP

dan


NAA

terhadap

Pertumbuhan Tunas Ulin (Eusideroxylon wageri T. et B.) secara
in Vitro
Nama

: Mohammad Wahyu Dewanto

NIM

: E44100001

Disetujui oleh

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS

Ir Erina Sulistiani, MSi


Pembimbing I

Pembimbing II

MS

Tanggal Lulus:

2 5 AUG 2014

PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb yang Maha Kuasa yang telah menganugerahkan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada teladan umat Nabi
Muhammad SAW.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober
2013 sampai Januari 2014 ini ialah kultur jaringan, dengan judul Pengaruh Zat
Pengatur Tumbuh BAP dan NAA terhadap Pertumbuhan Tunas Ulin

(Eusideroxylon zwageri T. et B.) secara in Vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
dan Ibu Ir Erina Sulistiani, MSi selaku dosen pembimbing, serta Bapak Samsul
Ahmad Yani, SSi yang telah banyak memberikan saran dan pengalamannya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pimpinan SEAMEO
BIOTROP yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada M. Hakim dan Dalsiyah selaku orang tua,
serta Suci Megawati selaku adik atas segala doa dan kasih sayangnya. Kemudian
ungkapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada Asep, Devina, Aji, beserta
teman-teman FAHUTAN angkatan 47 lainnya yang selalu memberikan doa dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2014
Mohammad Wahyu Dewanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3


Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Tempat dan Waktu Penelitian

3

Bahan

3

Alat

3


Metode Kerja

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

8
8
13
17

Simpulan

17

Saran


18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Perlakuan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh pada eksplan
ulin dalam media WPM
2 Interpretasi koefisien korelasi terhadap uji korelasi Spearman sebagai
acuan uji korelasi pemberian ZPT terhadap diameter kalus ulin
3 Jumlah eksplan ulin terkontaminasi berdasarkan jenis kontaminan pada
fase inisiasi selama 14 hari pengamatan
4 Pengaruh BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
lateral ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
5 Pengaruh konsentrasi BAP terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
lateral ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
6 Pengaruh BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas apikal
ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
7 Pengaruh konsentrasi NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
apikal ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
8 Pengaruh interaksi BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada
tunas apikal ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
9 Pengaruh BAP dan NAA terhadap tinggi tunas pada tunas lateral ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
10 Pengaruh konsentrasi NAA terhadap tinggi tunas pada tunas apikal ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
11 Pengaruh BAP dan NAA terhadap tinggi tunas pada tunas apikal ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
12 Korelasi pengaruh penambahan konsentrasi BAP dan NAA terhadap
pertumbuhan kalus pada tunas lateral dan apikal ulin dalam media
WPM selama 6 hari pengamatan

5
7
8
9
9
10
11
11
11
12
12

12

DAFTAR GAMBAR
1 Jenis kontaminan dan tingkat kontaminasi eksplan ulin pada fase
inisiasi selama 14 hari pengamatan: (A) kontaminasi oleh fungi dengan
tingkat kontaminasi 1, (B) kontaminasi oleh bakteri dengan tingkat
kontaminasi 1, (C) kontaminasi oleh fungi dan bakteri dengan tingkat
kontaminasi 1
2 Tingkat kontaminasi eksplan ulin pada fase inisiasi selama 14 hari
pengamatan
3 Pertumbuhan tunas pada tunas lateral ulin dalam media WPM setelah 6
minggu pengamatan: (A) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.00
mg/L, (B) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.01 mg/L, (C)
konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L
4 Pertumbuhan tunas pada tunas apikal ulin dalam media WPM setelah 6
minggu pengamatan: (A) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05
mg/L, (B) konsentrasi BAP 0.5 mg/L dan NAA 0.05 mg/L, (C)
konsentrasi BAP 0.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L
5 Pertumbuhan kalus pada tunas lateral ulin dalam media WPM dengan
perlakuan konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L setelah 6

8
8

10

10

minggu pengamatan: (A) kriteria kalus 0, (B) kriteria kalus 1, (C)
kriteria kalus 3
6 Pengaruh pemberian NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
lateral ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan

13
15

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan salah satu jenis tanaman penyusun
hutan tropika yang tumbuh secara alami di wilayah Sumatera bagian Selatan dan
Kalimantan. Jenis ini dikenal dengan nama daerah belian (umum); onglen
(Sumatera); tulian, tebelian (Kalimantan); bulin (Palembang). Daya tahannya
terhadap rayap kayu kering termasuk kelas awet II, tetapi terhadap jamur pelapuk
kayu termasuk kelas awet I.
Kayu ulin tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, bahkan tahan pula
terhadap pengaruh air laut. Kegunaan kayu ulin antara lain: (1) bahan kontruksi
berat, (2) bahan konstuksi di laut, (3) jembatan, (4) kapal, (5) tiang rumah, (6)
bantalan rel, (7) lantai rumah. Menurut Sudimaryono et al. (2004), kayu ulin tidak
sesuai untuk penggunaan kayu lapis ataupun papan partikel. Pada umumnya
pembangunan rumah pemukiman di Kalimantan menggunakan ulin sebagai
penopang/pondasi.
Berdasarkan Asia Regional Workshop tahun 1998 yang diselenggarakan di
Hanoi (Vietnam) International Union for Conservation of Nature and Natural
Resource (IUCN), ditetapkan bahwa ulin berada pada status vulnerable A1cd+2cd
artinya peka/sedang menghadapi resiko yang tinggi untuk mengalami kepunahan
dan telah dievaluasi untuk dimasukkan ke dalam Appendix II CITES, yaitu spesies
yang tidak terancam punah tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus
berlanjut tanpa adanya pengaturan (IUCN 2014).
Kayu ulin telah mencapai kondisi kritis dalam semua habitat alam.
Keberadaan ulin yang sedikit disebabkan oleh adanya ekploitasi yang berlebihan.
Selain itu, penyediaan bibit masih tergantung dari anakan alam.
Pembiakan ulin dengan biji membutuhkan waktu yang cukup lama.
Perkecambahan biji ulin membutuhkan waktu sekitar 6−12 bulan. Hal tersebut
memungkinkan terjadinya kerusakan biji yang akhirnya menurunkan daya
kecambah biji ulin. Benih ulin merupakan benih rekalsitran, artinya viabilitasnya
cepat menurun sehingga tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Oleh karena itu, untuk mengatasi ancaman kepunahan ulin diperlukan penyediaan
bibit yang dilakukan dengan pembiakan vegetatif.
Teknik pembiakan vegetatif merupakan salah satu rangkaian kegiatan
produksi bibit yang mampu menghasilkan bibit dalam jumlah relatif banyak, serta
berkualitas baik dan sesuai waktu yang diinginkan serta merupakan bagian dari
program pemuliaan pohon yang berfungsi sebagai upaya penyelamatan genetik
dalam rangka mendapatkan bibit berkualitas dan unggul. Selain itu, pembiakan
secara vegetatif juga dikembangkan untuk mengatasi perbanyakan tanaman yang
sukar dilakukan secara genetatif (biji).
Teknik perbanyakan ulin melalui cangkok dengan pemberian zat pengatur
tumbuh (ZPT) rootone-F menghasilkan persentase hidup 100% selama 6 bulan
pengamatan dalam penelitian yang pernah dilakukan Diantina (2008). Teknik
cangkok membutuhkan induk yang banyak untuk menghasilkan anakan dalam
jumlah besar. Oleh karena itu, diperlukan teknik perbanyakan ulin yang efektif
guna memenuhi kebutuhan kayu ulin.

2
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan vegetatif jenis ulin
yang perlu diterapkan untuk mengatasi permasalahan dalam pengadaan bibit ulin.
Selain dihasilkan jumlah bibit yang banyak dalam satu waktu, sifat genetik
anakan akan sama seperti induknya. Hal tersebut dapat mempertahan keberadaan
jenis ulin sekaligus mendapatkan kualitas bibit yang baik apabila menggunakan
indukan yang berkualitas baik pula.
Penelitian kultur jaringan ulin yang pernah dilakukan ialah dengan
menggunakan bahan tanam berupa endosperma. Induksi eksplan dari endosperma
ulin secara in vitro telah dilakukan oleh Hidayat (2007) menunjukkan bahwa
pemberian 5.0 ppm IAA (indole-3-acetic acid) + 6.0 ppm kinetin merupakan
kombinasi ZPT terbaik terhadap perkembangan kalus ulin. Hasil penelitian
tersebut didapatkan setelah pengamatan selama 24 minggu. Oleh karena itu
diperlukan jenis bahan tanam atau eksplan yang tepat dalam penelitian
perbanyakan vegetatif ulin secara in vitro guna mendapatkan individu baru secara
cepat.
Teknik mikropropagasi yang sering digunakan untuk produksi bibit secara
komersial ialah kultur tunas. Teknik tersebut dipilih karena lebih mudah dilakukan
pada berbagai jenis tanaman (Sulistiani dan Yani 2012).
Kombinasi ZPT yang digunakan perlu diperhatikan dalam penelitian kultur
jaringan sehingga hasil yang didapat sesuai dengan apa yang diinginkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Andari (2013) menunjukkan bahwa jumah tunas
terbanyak dalam multiplikasi tunas suweg (Amorphophallus paeonifolius
(Dennst.) Nicolson) terdapat pada perlakuan 1 mg/L BAP (6-benzylaminopurine)
+ 0.25 mg/L NAA (1-naphthalena acetic acid) yaitu 0.47 tunas/minggu.
Pertumbuhan akar terbanyak terdapat pada perlakuan 1 mg/L BAP + 0.75 mg/L
NAA yaitu 2.87 akar/minggu. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi ZPT
BAP dan NAA berpotensi dalam menstimulasi pertumbuhan eksplan. Oleh karena
itu, jenis BAP dan NAA ditetapkan sebagai ZPT dalam penelitian induksi tunas
ulin ini.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperlukan
penelitian mengenai teknik perbanyakan ulin secara kultur jaringan dengan
kombinasi ZPT dan jenis bahan tanaman yang tepat. Penggunaan eksplan yang
berasal dari tunas lateral dan apikal dengan kombinasi BAP dan NAA diharapkan
dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan eksplan.

Perumusan Masalah
Keberadaan tegakan ulin ini yang sulit ditemukan merupakan suatu masalah
serius yang perlu ditangani. Kecilnya persentase kecambah melalui perbanyakan
generatif (biji) menjadikan kendala dalam perbanyakan jenis tanaman ini. Oleh
karena itu, perlu teknik perbanyakan tanaman yang efektif agar dapat
menghasilkan anakan dalam jumlah yang besar dan waktu yang cepat, serta sifat
anakan yang sama dengan induknya. Kultur jaringan merupakan metode untuk
mengisolasi bagian tanaman seperti sel, sekelompok sel, jaringan atau organ, serta
membudidayakannya dalam lingkungan yang terkendali dan aseptik (secara in
vitro). Dalam perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan, perlu diketahui

3
kombinasi media terbaik agar pertumbuhan eksplan dapat sesuai dengan yang
diinginkan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi ZPT terbaik antara
sitokinin (BAP) dan auksin (NAA) terhadap tunas lateral dan apikal dalam
perbanyakan ulin (E.zwageri) secara in vitro.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kombinasi ZPT
terbaik antara BAP dan NAA dengan jenis tunas lateral dan apikal dalam
perbanyakan ulin (E. zwageri) secara in vitro.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP,
Bogor, Jawa Barat. Waktu pelaksanaannya dari bulan Oktober 2013 sampai
dengan Januari 2014.

Bahan
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian berupa tunas lateral dan
apikal ulin berumur ±6 bulan yang didapatkan dari rumah kaca bagian Kultur
Jaringan SEAMEO BIOTROP. Bahan kimia yang digunakan ialah fungisida
(bahan aktif: benomil 50.4%), bakterisida (bahan aktif: streptomisin sulfat 20%),
desinfektan (bahan aktif: natrium hipoklorit 5.25%), NaOH 0.1 M, HCl 0.1 M,
tween 20. Media prekondisi yang digunakan ialah media woody plant medium
(WPM). Media perlakuan yang diterapkan ialah media WPM dengan penambahan
BAP dan NAA.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol kultur, gelas ukur,
labu ukur, cawan petri, pipet, pipet bulp, sendok takar, sendok pengaduk,
pemanas, gunting, pinset, pisau (scalpel), lampu bunsen, timer, sprayer, pH meter,
plastik, karet gelang, timbangan analitik, magnetic stirrer, oven, autokaf, laminar
air flow cabinet, ruang transfer/subkultur, ruang kultur.

4
Metode Kerja
A. Penyiapan bahan tanaman
Bahan tanaman yang berupa tunas diambil dengan cara digunting. Sebelum
pengambilan bahan tanaman, tanaman ulin disemprot terlebih dahulu dengan
fungisida dan bakterisida dengan konsentrasi masing-masing 2 g/L untuk
meminimalkan kontaminasi fungi dan bakteri. Jumlah eksplan yang dibutuhkan
untuk tahap inisiasi sebanyak 140 tunas yang terdiri dari 70 tunas lateral dan 70
tunas apikal.
B. Sterilisasi alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian harus dalam keadaan steril. Botol
kultur, pinset, cawan petri, pipet dan scalpel dibungkus kertas kemudian
disterilkan di dalam autokaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah tahapan
sterilisasi, alat-alat disimpan di dalam oven dengan suhu 80 0C sampai alat
tersebut digunakan. Alat logam seperti pinset dan scalpel dicelupkan ke dalam
alkohol 70% sebelum digunakan untuk memotong eksplan, lalu dipanaskan di atas
bunsen yang menyala untuk memperkecil kemungkinan adanya sumber
kontaminan.
C. Sterilisasi lingkungan kerja
Kondisi lingkungan kerja perlu diperhatikan guna memperkecil kemungkinan
adanya sumber kontaminan. Kegiatan penanaman dilakukan di laminar air flow
cabinet yang sebelumnya telah diberikan alkohol 70% pada permukaan dan
dindingnya. Lampu ultraviolet (UV) diaktifkan 30 menit sebelum laminar air flow
cabinet digunakan yang bertujuan untuk untuk membunuh kontaminan yang
terdapat di dalam laminar air flow cabinet.
D. Penyediaan air steril
Air yang digunakan dalam penelitian ialah air aquades yang disterilkan di
dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Air ini digunakan untuk
pembilasan eksplan dan pembuatan media tanam. Aquades didapatkan dari
penyulingan air langsung (destilasi) yang dilakukan oleh SEAMEO BIOTROP.
E. Pembuatan media prekondisi
Media yang digunakan untuk menguji kontaminan eksplan setelah penanaman
ialah media WPM tanpa penambahan ZPT. Air aquades ±500 mL dimasukkan ke
dalam labu ukur, lalu dimasukkan larutan bahan baku unsur hara makro, mikro,
dan vitamin (Lampiran 1). Masing-masing larutan tersebut diambil dengan pipet
sesuai konsentrasi yang ditetapkan. Sukrosa ditambahkan sebanyak 20 g ke dalam
larutan, lalu larutan diaduk hingga menjadi homogen. Air aquades ditambahkan
kembali hingga larutan mencapai 1000 mL. Setelah itu diatur pH hingga 5.7
dengan pH meter. Apabila larutan belum menunjukkan nilai pH tersebut,
dilakukan penambahan beberapa tetes NaOH 0.1 M untuk menaikkan pH atau
HCl 0.1 M untuk menurunkan pH. Kemudian diberikan bubuk agar (phytagel)
sebanyak 2 g/L sebagai bahan pemadat media. Media dipanaskan hingga
mendidih. Larutan yang sudah dibuat dimasukkan ke setiap botol kultur sebanyak
±20 mL. Botol kultur yang sudah berisi media ditutup plastik yang direkatkan

5
dengan karet. Botol kultur disterilisasi di dalam autokaf pada suhu 121 0C selama
15 menit.
F. Pembuatan media perlakuan
Media WPM yang digunakan pada media prekondisi adalah media tanpa
auksin maupun sitokinin, sedangkan media perlakuan ialah media WPM yang
sudah diberikan auksin (BAP) dan sitokinin (NAA). Media WPM yang digunakan
dalam perlakuan dibagi ke dalam 9 kelompok karena penelitian ini menggunakan
9 kombinasi media masing-masing untuk tunas lateral dan tunas apikal. Uraian
perlakuan kombinasi media dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perlakuan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh pada eksplan ulin
dalam media WPM
Konsentrasi (mg/L)
Kombinasi
ZPT
Benzyl amino purine (BAP)
Naphthalene acetic acid (NAA)
1
0.0
0.00
2
0.5
0.00
3
1.0
0.00
4
0.0
0.01
5
0.5
0.01
6
1.0
0.01
7
0.0
0.05
8
0.5
0.05
9
1.0
0.05
G. Sterilisasi eksplan
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian berupa tunas apikal dan
lateral ulin. Tunas tersebut digunting dari induknya untuk diletakkan di dalam
larutan fungisida 2 g/L + 3 tetes tween 20. Eksplan dikocok dalam larutan tersebut
selama 1 jam, kemudian dibilas dengan air aquades sebanyak 3 kali bilasan.
Eksplan dipindahkan ke larutan bakterisida 2 g/L + 3 tetes tween 20 dan dikocok
selama 1 jam, kemudian dibilas sebanyak 3 kali bilasan. Eksplan diletakkan dan
dikocok kembali dalam larutan fungisida 2 g/L + 3 tetes tween 20 selama 1 jam,
lalu dibilas sebanyak 3 bilasan.
H. Penanaman eksplan
Tahapan sebelum kegiatan penanaman ialah sterilisasi lanjutan. Sterilisasi
dilakukan di dalam laminar air flow cabinet guna memperkecil kemungkinan
adanya kontaminasi. Eksplan yang siap ditanam diletakkan ke dalam botol kultur
dengan pinset yang telah disterilkan. Sterilisasi yang dilakukan yakni perendaman
eksplan dalam larutan desinfektan 15% (bahan aktif: natrium hipoklorit 5.25%)
selama 10 menit, kemudian dibilas sebanyak 3 kali bilasan dengan air aquades.
Eksplan yang sudah dibilas tersebut dimasukan ke dalam larutan alkohol 70% dan
didiamkan selama 1 menit, lalu dibilas kembali. Eksplan tersebut sudah dapat
ditanam di media WPM tanpa pemberian ZPT untuk dilihat adaptasi dan
kontaminasinya.
Eksplan yang terlalu besar dipotong menjadi lebih kecil dengan scalpel untuk
menyesuaikan ukuran eksplan dengan botol kultur. Bagian ujung eksplan

6
dipotong dengan pisau guna memperkecil kemungkinan adanya desinfektan yang
terbawa dalam eksplan.
I. Pemeliharaan
Botol-botol kultur yang telah berisi ekplan disimpan di ruang kultur.
Selanjutnya dilakukan pengamatan awal dan pemisahan ekplan yang kontaminasi.
Pengamatan awal dilakukan untuk mencari eksplan yang siap disubkultur ke
media perlakuan, yaitu eksplan tunas yang masih hijau dan tidak kontaminasi.
J. Pemindahan eksplan ke media perlakuan
Eksplan yang bebas dari kontaminasi fungi atau bakteri dipilih untuk
dipindahkan ke media perlakuan. Jumlah eksplan steril yang berasal dari tunas
lateral harus sama dengan eksplan yang berasal dari tunas apikal, karena
perlakuan untuk jenis tunas membutuhkan jumlah kedua tunas yang sama. Setiap
perlakuan media yang diuraikan pada Tabel 1 diberikan pada kedua jenis tunas,
yakni tunas lateral dan tunas apikal.
K. Pengamatan fase inisiasi
Eksplan ditanam di dalam media dasar WPM tanpa penambahan ZPT.
Selanjutnya eksplan dibiarkan selama 14 hari di dalam media tersebut untuk
diamati kemampuan adaptasinya dalam kondisi in vitro, keberadaan kontaminan,
persentase kontaminasi, dan penggolongan jenis kontaminan. Peubah yang
diamati meliputi:
1. Persentase kontaminasi
Persentase kontaminasi diukur dengan menghitung jumlah tanaman yang
terkontaminasi oleh fungi dan bakteri mulai dari satu minggu setelah
eksplan ditanam (MST). Persentase kontaminasi dihitung dengan cara:
∑ eksplan terkontaminasi
% Kontaminasi=
∑ eksplan tanam
2. Tingkat kontaminasi
Tingkat kontaminasi diperoleh dari penglihatan kasat mata terhadap
persentase penutupan permukaan media tanam oleh sumber kontaminan.
Kriteria tingkat kontaminasi yang dibuat sebagai acuan ialah:
a. Nilai 1 untuk penutupan permukaan media oleh sumber kontaminan seluas
25%
b. Nilai 2 untuk penutupan permukaan media oleh sumber kontaminan seluas
50%
c. Nilai 3 untuk penutupan permukaan media oleh sumber kontaminan seluas
75%
d. Nilai 4 untuk penutupan permukaan media oleh sumber kontaminan seluas
100%
L. Pengamatan perlakuan
Pengamatan perlakuan dilakukan selama 6 minggu. Peubah yang diamati
yakni: (1) pertumbuhan tunas, (2) tinggi tunas, (3) diameter kalus.

7
1. Pertumbuhan tunas
Pertumbuhan tunas didapatkan dengan menghitung jumlah tunas yang
tumbuh secara kasat mata dan diakumulasikan hingga 6 minggu setelah
dilakukan subkultur ke media perlakuan.
2. Tinggi tunas
Tinggi tunas dapat diukur dengan menghitung jarak titik eksplan tertinggi
terhadap media secara tegak lurus. Pengukuran tinggi diukur dengan
menggunakan mistar satuan cm yang diletakan di luar botol kultur.
3. Pertumbuhan kalus
Kalus diukur dengan mengamati perkembangannya mulai dari minggu
pertama setelah subkultur. Pertumbuhan kalus diukur dengan mengamati
diameter kalus. Kriteria ukuran kalus yang dibuat sebagai acuan ialah :
a. Kriteria 0 untuk eksplan tak berkalus
b. Kriteria 1 untuk eksplan berkalus kecil (diameter kalus >0.0−0.2 cm)
c. Kriteria 2 untuk eksplan berkalus sedang (diameter kalus 0.2−0.4 cm)
d. Kriteria 3 untuk eksplan berkalus besar (diameter kalus >0.4 cm)
M. Analisis data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dua faktor yaitu pemberian BAP yang dikombinasikan dengan NAA terhadap
jenis tunas lateral dan apikal. Jumlah ulangan dalam setiap perlakuan adalah 3 kali
ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 2 botol kultur, 1 botol kultur berisi 1
eksplan.
Data peubah pertumbuhan tunas dan tinggi tunas yang diperoleh dari hasil
pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA),
apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf
kesalahan 5%. Peubah diameter kalus dianalisis menggunakan uji korelasi
(Spearman correlation). Koefisien korelasi diinterpretasikan kekuatan korelasinya
sesuai yang disebutkan oleh Sarwono (2008) (Tabel 2).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS (Statistical
Package for the Social Sciences) versi 16.0. Hipotesis yang dirumuskan dalam
penelitian ialah:
H0 =
penambahan ZPT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan eksplan.
H1 =
penambahan ZPT memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan eksplan.
pengambilan keputusan berdasarkan nilai sidik ragam yakni: (1) tolak H0 jika
nilai signifikan < 0.05, (2) terima H0 jika nilai signifikan > 0.05.
Tabel 2 Interpretasi koefisien korelasi terhadap uji korelasi Spearman sebagai
acuan uji korelasi pemberian ZPT terhadap diameter kalus ulin
Koefisien korelasi
Interpretasi
0
Tidak ada korelasi
0.00−0.25
Korelasi sangat lemah
0.25−0.50
Korelasi lemah
0.50−0.75
Korelasi kuat
0.75−0.99
Korelasi sangat kuat
1
Korelasi sempurna

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Fase inisiasi
Tabel 3 Jumlah eksplan ulin terkontaminasi berdasarkan jenis kontaminan pada
fase inisiasi selama 14 hari pengamatan
No.
1
2
3

Kontaminan
Fungi
Bakteri
Fungi dan bakteri
Total

A

Kontaminasi (%)
15.38
0.77
1.54
17.69

Eksplan steril (%)
84.62
99.23
98.46
82.31

C

B

Jumlah eksplan

Gambar 1 Jenis kontaminan dan tingkat kontaminasi eksplan ulin pada fase
inisiasi selama 14 hari pengamatan: (A) kontaminasi oleh fungi
dengan tingkat kontaminasi 1, (B) kontaminasi oleh bakteri dengan
tingkat kontaminasi 1, (C) kontaminasi oleh fungi dan bakteri dengan
tingkat kontaminasi 1
Hasil pengamatan yang didapatkan selama fase inisiasi ialah: (1) persentase
kontaminasi, (2) tingkat kontaminasi. Kontaminasi terbesar disebabkan oleh fungi
yang dicirikan adanya miselium berwarna putih pada permukaan media tanam
dengan persentase kontaminasi sebesar 15.38% (Tabel 3). Persentase tersebut
cukup besar, karena dalam proses sterilisasi bahan tanam dilakukan perendaman
terhadap larutan fungisida sebanyak 2 kali selama 60 menit masing-masing
perendaman.
8
6
Fungi

4

Bakteri

2

Fungi dan bakteri

0
1

2
3
4
Tingkat kontaminasi
Gambar 2 Tingkat kontaminasi eksplan ulin pada fase inisiasi selama 14 hari
pengamatan

9
Kontaminasi yang disebabkan bakteri dicirikan dengan bercak-bercak
berlendir pada permukaan media tanam (Gambar 1). Dari 140 bahan tanaman
yang digunakan, didapatkan 1 eksplan yang terkontaminasi oleh bakteri saja.
Kontaminasi oleh kombinasi keduanya (fungi dan bakteri) juga ditemukan selama
14 hari pengamatan setelah inisiasi. Hasil pengamatan setelah inisiasi
menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi oleh fungi, bakteri, dan
keduanya yakni sebesar 23 eksplan. Artinya 117 eksplan (82.31%) telah steril dan
dapat ditanam di media perlakuan, namun hanya 108 eksplan yang digunakan
didasarkan pada jumlah perlakuan dan ulangan yang dibutuhkan.
Peubah lainnya yang diukur ialah tingkat kontaminasi eksplan setelah inisiasi.
Tingkat kontaminasi ini diamati mulai hari pertama sampai dengan hari ke-14.
Kontaminasi oleh fungi ditemukan pada berbagai tingkat kontaminasi (Gambar 2).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 6 eksplan yang ditanam terkontaminasi
oleh fungi dengan tingkat kontaminasi 4. Hal tersebut menunjukkan seluruh luas
permukaan media tanam telah tertutupi oleh sumber kontaminan fungi.
Kontaminasi oleh bakteri hanya ditemukan pada tingkat kontaminasi 1, begitu
pula dengan kontaminasi kombinasi kedua kontaminan (fungi dan bakteri).
Kontaminasi yang disebabkan oleh fungi ditemukan mulai hari ke-4 sampai
dengan hari ke-11, sedangkan kontaminasi oleh bakteri ditemukan pada hari ke-8
setelah inisiasi.
2. Pertumbuhan tunas
A. Tunas lateral
Tabel 4 Pengaruh BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas lateral
ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Faktor ZPT
Nilai signifikan
Uji F taraf kesalahan 5%
BAP
0.036
*
NAA
0.281
tn
BAP*NAA
0.128
tn
* : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%, tn : tidak berpengaruh nyata.
Tabel 5 Pengaruh konsentrasi BAP terhadap pertumbuhan tunas pada tunas lateral
ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Konsentrasi BAP (mg/L)
Pertumbuhan tunas
0.00
0.11 b
0.50
0.50ab
1.00
1.00 a
huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan pengaruh yang tidak
berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
Perlakuan pemberian BAP pada peubah pertumbuhan tunas memberikan
pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95%, namun pemberian NAA dan
interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata pada selang
kepercayaan 95% terhadap pertumbuhan tunas (Tabel 4).
Hasil uji Duncan perlakuan BAP menunjukkan bahwa konsentrasi BAP 1.0
mg/L menghasilkan rata-rata pertumbuhan tunas tertinggi. Hasil tersebut berbeda

10
nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap BAP 0.00 mg/L atau pun BAP 0.50
mg/L (Tabel 5). Pertumbuhan tunas pada tunas lateral dicirikan dengan
munculnya tunas-tunas baru pada pucuk eksplan (Gambar 3).

A

B

C

Gambar 3 Pertumbuhan tunas pada tunas lateral ulin dalam media WPM setelah 6
minggu pengamatan: (A) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.00
mg/L, (B) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.01 mg/L, (C)
konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L
B. Tunas apikal
Munculnya tunas baru mengindikasikan terjadinya pertumbuhan tunas pada
eksplan (Gambar 4). Berdasarkan Analisis ragam yang didapatkan terhadap
peubah pertumbuhan tunas, perlakuan pemberian NAA dan interaksi keduanya
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tunas pada selang kepercayaan 95%
(Tabel 6). Pemberian BAP pada tunas apikal menunjukkan nilai signifikan sebesar
0.789. Hal ini berarti permberian BAP tidak memberikan pengaruh nyata pada
selang kepercayaan 95%.

A

B

C

Gambar 4 Pertumbuhan tunas pada tunas apikal ulin dalam media WPM setelah 6
minggu pengamatan: (A) konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05
mg/L, (B) konsentrasi BAP 0.5 mg/L dan NAA 0.05 mg/L, (C)
konsentrasi BAP 0.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L
Tabel 6 Pengaruh BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas apikal
ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Faktor ZPT
Nilai signifikan
Uji F taraf kesalahan 5%
BAP
0.789
tn
NAA
0.022
*
BAP*NAA
0.038
*
* : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%, tn : tidak berpengaruh nyata.

11
Pemberian NAA dengan konsentrasi 0.05 mg/L menghasilkan rata-rata
pertumbuhan tunas tertinggi (Tabel 7). Pemberian NAA sebesar 0.00 mg/L dan
0.01 mg/L tidak berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tunas yang dihasilkan.
Tabel 7 Pengaruh konsentrasi NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
apikal ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Konsentrasi NAA (mg/L)
Pertumbuhan tunas
0.00
0.28 b
0.01
0.22 b
0.05
0.67 a
huruf yang sama di belakang nilai menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%.
Interaksi perlakuan BAP dan NAA berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tunas. Perlakuan BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L menunjukkan nilai rata-rata
pertumbuhan tunas tertinggi. Pertumbuhan tunas terendah ditemukan pada
perlakuan kontrol atau BAP 0.0 mg/L dan NAA 0.00 mg/L (Tabel 8).
Tabel 8 Pengaruh interaksi BAP dan NAA terhadap pertumbuhan tunas pada
tunas apikal ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Perlakuan
BAP 0.0 mg/L + NAA 0.00 mg/L
BAP 0.5 mg/L + NAA 0.00 mg/L
BAP 1.0 mg/L + NAA 0.00 mg/L
BAP 0.0 mg/L + NAA 0.01 mg/L
BAP 0.5 mg/L + NAA 0.01 mg/L
BAP 1.0 mg/L + NAA 0.01 mg/L
BAP 0.0 mg/L + NAA 0.05 mg/L
BAP 0.5 mg/L + NAA 0.05 mg/L
BAP 1.0 mg/L + NAA 0.05 mg/L

Pertumbuhan tunas
0.1667 b
0.5000 ab
0.1667 b
0.3333 b
0.3333 b
0.0000 b
0.5000 ab
0.5000 ab
1.0000 a

huruf yang sama di belakang nilai menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95%.
3. Pertambahan tinggi ekpslan
A. Tunas lateral
Tabel 9 Pengaruh BAP dan NAA terhadap tinggi tunas pada tunas lateral ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan dalam media WPM
selama 6 minggu pengamatan
Faktor ZPT
Nilai signifikan
Uji F taraf kesalahan 5%
BAP
0.598
tn
NAA
0.032
*
BAP*NAA
0.396
tn
* : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%, tn : tidak berpengaruh nyata.
Pengamatan peubah tinggi tunas menunjukkan hanya perlakuan pemberian
NAA yang memberikan perngaruh nyata pada selang kepercayaan 95%. Interaksi
kedua ZPT tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% dengan nilai
signifikan sebesar 0.396 (Tabel 9). Pemberian NAA 0.05 mg/L lebih baik karena
menghasilkan nilai tinggi tunas terbesar yakni 0.31 cm. Nilai tinggi tunas yang

12
dihasilkan oleh NAA 0.00 mg/L dan NAA 0.01 mg/L berbeda nyata dengan NAA
0.05 mg/L dengan selang kepercayaan 95% (Tabel 10).
Tabel 10 Pengaruh konsentrasi NAA terhadap tinggi tunas pada tunas apikal ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Konsentrasi NAA (mg/L)
Tinggi tunas
0.00
0.13 b
0.01
0.17 b
0.05
0.31 a
huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan pengaruh yang tidak
berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
B. Tunas apikal
Semua perlakuan yang diberikan terhadap tinggi tunas tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95% (Tabel 11). Seluruh perlakuan
tidak dilanjutkan dengan uji Duncan karena tidak ada satu pun faktor ZPT yang
berpengaruh nyata.
Tabel 11 Pengaruh BAP dan NAA terhadap tinggi tunas pada tunas apikal ulin
dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Faktor ZPT
BAP
NAA
BAP*NAA
tn : tidak berpengaruh nyata.

Nilai signifikan
0.218
0.243
0.628

Uji F taraf kesalahan 5%
tn
tn
tn

4. Pertumbuhan kalus
Tabel 12 Korelasi pengaruh penambahan konsentrasi BAP dan NAA terhadap
pertumbuhan kalus pada tunas lateral dan apikal ulin dalam media
WPM selama 6 hari pengamatan
Uji F taraf
Faktor
Nilai
Jenis tunas
kesalahan
Koefisien korelasi
ZPT
signifikan
5%
Tunas lateral
Tunas apikal

BAP

0.042

*

0.395

NAA

1.000

tn

0.000

BAP

0.160

tn

0.424

NAA
0.466
tn
-0.147
* : berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%, tn : tidak berpengaruh nyata.
Perlakuan yang diberikan terhadap tunas apikal tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap perkembangan kalus pada selang kepercayaan 95%, namun
pemberian BAP pada tunas lateral memberikan pengaruh yang nyata terhadap
perkembagan kalus (Tabel 12). Berdasarkan uji korelasi pemberian BAP pada
tunas lateral dan apikal menunjukkan korelasi yang positif. Hal ini berarti semakin
tinggi pemberian konsentrasi BAP maka semakin tinggi pula kalus yang

13
dihasilkan. Koefisien korelasi untuk perlakuan NAA tidak menunjukkan korelasi
yang positif, artinya peningkatan atau penurunan konsentrasi NAA tidak
memberikan pengaruh terhadap perkembangan kalus. Kriteria kalus 3 didapatkan
pada konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L (Gambar 5).

B

A

C

Gambar 5 Pertumbuhan kalus pada tunas lateral ulin dalam media WPM dengan
perlakuan konsentrasi BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L setelah 6
minggu pengamatan: (A) kriteria kalus 0, (B) kriteria kalus 1, (C)
kriteria kalus 3

Pembahasan
Kultur jaringan diartikan sebagai metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasmasma, sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya
dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi individu yang utuh seperti induknya. Pelaksanaan
teknik in vitro didasarkan pada teori Schleiden dan Schwann (1838) bahwa setiap
sel dari suatu organisme memiliki sifat totipotensi. Totipotensi merupakan
kemampuan setiap sel untuk tumbuh menjadi tanaman yang lengkap sesuai
dengan induknya jika diletakkan dalam lingkungan yang sesuai.
Permasalahan yang kerap ditemukan dalam perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan ialah kontaminasi oleh mikroba. Odutayo et al. (2007) mengatakan
bahwa kontaminasi mikroba merupakan permasalahan yang selalu ada dalam
kultur jaringan. Hal tersebut menyebabkan perlunya pengembangan teknik kultur
jaringan yang tepat dalam hal mengeliminasi mikroba penyebab kontaminasi.
Proses sterilisasi merupakan tahapan mengeliminasi dan mematikan mikroba,
sampai tidak memungkinkan lagi mikroba tersebut berkembang dan menjadi
sumber kontaminan. Proses sterilisasi yang tidak sempurna menyebabkan sumber
kontaminan ikut terbawa dan berkembang biak dalam botol kultur.
Pengontrolan kontaminasi mikroba sangat sulit dilakukan terutama untuk
tanaman berkayu yang berasal dari lapangan (Bausher dan Niedz 1998). Tanaman
berkayu pada umumnya tumbuh dalam kelembaban yang tinggi. Kondisi
lingkungan tersebut tidak hanya mendukung keberlangsungan hidup tanaman
berkayu melainkan mikroba juga banyak ditemukan. Oleh karena itu, sterilisasi
dalam penelitian kultur jaringan ulin ini menggunakan teknik sterilisasi yang
berbeda dengan sterilisasi eksplan dari jenis lainnya.

14
Metode sterilisasi dalam penelitian ini menggunakan bahan kimia berupa
fungisida, bakterisida, desinfektan, dan alkohol. Penggunaan fungisida dan
bakterisida sebagai bahan sterilisasi juga digunakan pada kultur embrio tanaman
berkayu Pometia pinnata yang menghasilkan persentase eksplan steril 100%
(Tanur 2008). Eksplan steril yang didapatkan dalam metode sterilisasi kultur ulin
ini sebanyak 82.31%. Adanya kontaminasi diduga karena adanya mikroba di
dalam jaringan yang tidak dapat hilang dengan sterilisasi permukaan saja. Putri
(2009) mengatakan bahwa kontaminasi ulin dalam propagasi in vitro dapat tetap
terjadi walaupun eksplan sudah melalui sterilisasi permukaan, karena beberapa
bakteri hidup di dalam jaringan tanaman. Fungi merupakan sumber kotaminan
terbanyak dalam penelitian ini. Penelitian kultur jaringan tanaman berkayu yang
dilakukan Purnawati (2012) dalam sterilisasi tunas jabon (Anthocephalus
cadamba [Roxb.] Miq.) secara in vitro menunjukkan bahwa persentase
kontaminasi terbesar disebabkan oleh fungi. Begitu juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Manurung (2007), kontaminasi terbesar yang didapatkan dalam
kultur in vitro buah makassar (Brucea javanica [L.] Merr.) berasal dari golongan
fungi.
Perendaman eksplan dalam larutan fungisida 2 g/L sebanyak 2 kali
perendaman dinilai kurang efektif dalam mengeliminasi sumber kontaminan fungi.
Metode sterilisasi yang diterapkan dalam penelitian ini tidak berbeda dengan
kultur Pometia pinnata yang dilakukan oleh Tanur (2008), hanya saja ada
pengaktifan sinar UV pada laminar air flow cabinet 30 menit sebelum digunakan
sehingga menghasilkan persentase eksplan steril sebesar 24 eksplan (100%).
Fase inisiasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi
eksplan steril dari sumber kontaminan. Jika eksplan yang tidak steril dimasukan
ke dalam media perlakuan maka akan merusak data pengamatan, karena sumber
kontaminan akan menurunkan aktivitas metabolisme eksplan. Devi dan Srinivasan
(2006) mengatakan bahwa mikroba mampu menyebabkan nekrosis jaringan,
penurunan poliferasi tunas dan perakaran. Beberapa jenis mikroba melepaskan
senyawa beracun ke dalam media kultur yang menyebabkan kematian eksplan
(Zulkarnain 2009).
Penggunaan media WPM sebagai media dasar dalam penelitian ini didasarkan
pada jenis tanaman yang dikulturkan. Tanaman berkayu sering mengeluarkan
ekskresi yang mungkin menyebabkan racun terhadap medium tanam, sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kultur. Penelitian multiplikasi jeruk
kacang (Citrus nobilis L.) yang dilakukan Miryam et al. (2008) menunjukkan
bahwa penggunaan media WPM dengan kombinasi BAP dan NAA menghasilkan
persentase hidup eksplan sebesar 82.42%. Penelitian yang dilakukan oleh Qosim
(2006) melaporkan bahwa penggunaan WPM dengan penambahan BAP
menghasilkan regenerasi tunas pada kultur kalus nodular manggis (Garcinia
mangostana L).
Eksplan steril disubkultur ke media perlakuan untuk mendapatkan respon
eksplan tersebut terhadap kombinasi auksin (BAP) dan sitokinin (NAA) yang
diberikan. Keseimbangan konsentrasi antara hormon auksin dengan sitokinin
diperlukan untuk pertumbuhan tunas. Sandra (2013) mengatakan bahwa rasio dari
auksin dan sitokinin memberikan perngaruh terhadap fase pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, terutama dalam proses pembelahan dan pemanjangan sel.

15
Jenis eksplan yang digunakan ialah tunas lateral dan tunas apikal. Tunas
lateral merupakan tunas yang berada di antara tangkai daun dan batang. Tunas ini
sering dihambat pertumbuhannya oleh tunas apikal yang berada di atasnya.
Fenomena tersebut dinamakan dengan dominansi apikal. Prusinkiewiz et al.
(2006) menjelaskan bahwa hipotesis tentang dominansi apikal yang didasarkan
pada kompetisi nutrisi antara pusat-pusat pertumbuhan. Berdasarkan hipotesis
tersebut, nutrisi akan cenderung ditransfer menuju tunas apikal yang
mengakibatkan defisiensi nutrisi pada tunas lateral. Tunas apikal memiliki kadar
hormon auksin yang lebih banyak dibandingkan dengan tunas lateral, hal ini akan
mempengaruhi proses perpanjangan sel.
Penelitian kultur jaringan ulin ini menggunakan media WPM dengan
kombinasi BAP dan NAA yang diaplikasikan pada tunas lateral dan tunas apikal.
Berdasarkan hasil pengamatan selama 6 minggu setelah tanam, pemberian BAP
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tunas pada tunas lateral. Konsentrasi
BAP tertinggi dalam perlakuan (1.0 mg/L) menghasilkan jumlah tunas terbanyak
yakni 1.33 tunas selama 6 minggu pengamatan. Pengaruh yang nyata diduga
karena adanya pematahan dominasi apikal, sehingga transportasi nutrisi ke tunas
lateral tidak terhambat. Sitokinin berperan aktif dalam pertumbuhan tunas. Dalam
penelitian Fauzi (2010) dilaporkan bahwa pemberian BAP 3 mg/L dalam media
MS mampu menginduksi 5 tunas per eksplan. Penggunaan BAP yang tinggi
memungkinkan terinduksinya tunas majemuk yang lebih banyak.
Pemberiaan auksin (NAA) pada tunas lateral tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tunas ulin. Auksin berperan dalam proses induksi kalus,
morfogenesis kalus, embriogenesis, pembentukan akar dan menghambat sitokinin
apabila konsentrasi terlalu tinggi. Namun terlihat semakin tinggi konsentrasi NAA
yang diberikan maka semakin tinggi pula jumlah tunas yang didapatkan (Gambar
6).

Jumlah tunas

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
NAA 0.0 mg/L

NAA 0.01 mg/L
NAA 0.05 mg/L
Konsentrasi NAA
Gambar 6 Pengaruh pemberian NAA terhadap pertumbuhan tunas pada tunas
lateral ulin dalam media WPM selama 6 minggu pengamatan
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada tunas apikal dalam hal pertumbuhan
tunas. Pengamatan selama 6 minggu menunjukkan bahwa pemberian NAA
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tunas pada tunas apikal.
Begitu juga dengan interaksi antara BAP dan NAA. Hasil tersebut merupakan
kebalikan terhadap hasil yang diberikan pada tunas lateral. Hal ini diduga kuat
karena pengaruh kadar auksin yang tinggi pada tunas apikal. Auksin berperan
dalam proses pembelahan dan pemanjangan sel. Zulkarnain (2009) mengatakan

16
bahwa auksin (NAA) berfungsi untuk dalam pemanjangan sel, pembelahan sel,
dan pembentukan akar adventif. Konsentrasi NAA tertinggi (0.05 mg/L)
menghasilkan jumlah tunas terbanyak yakni 0.67 tunas selama 6 minggu
pengamatan.
Berdasarkan nilai pertumbuhan tunas yang didapatkan, pemberian BAP 0.0
mg/L dan NAA 0.05 mg/L pada tunas lateral menghasilkan jumlah tunas
terbanyak yakni 1.3 tunas per eksplan. Kombinasi ZPT terhadap tunas apikal
terbanyak didapatkan pada pemberian BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L yakni 1
tunas per eksplan Hal tersebut berarti media WPM dengan penambahan BAP 0.0
mg/L dan NAA 0.05 mg/L efektif diterapkan pada tunas lateral dalam
pertumbuhan tunas, sedangkan tunas apikal akan efektif apabila dikulturkan pada
media WPM dengan penambahan BAP 1.0 mg/L dan NAA 0.05 mg/L.
Tinggi tunas lateral dan tunas apikal merupakan salah satu peubah kuantitaif
yang diukur dalam penelitian kutur ulin ini. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa pemberian NAA berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas pada tunas lateral.
Hal ini sesuai dengan peranan auksin (NAA) terhadap pemanjangan sel. Sandra
(2013) mengatakan bahwa auksin mendorong pemanjangan sel dengan cara
mempengaruhi dinding sel.
Pada tunas apikal didapatkan bahwa pemberian BAP, maupun NAA tidak
memberikan pengaruh yang nyata (selang kepercayaan 95) terhadap tinggi tunas.
Hal ini diduga karena pertumbuhan tinggi tunas pada tunas apikal bukan
didasarkan pada pemberian ZPT melainkan karena tingginya kadar auksin alami
yang ada dalam tunas apikal. Pendugaan tersebut diperkuat oleh rata-rata tinggi
tunas pada tunas apikal sama dengan tunas lateral yakni 0.2 cm.
Peubah lainnya yang diukur ialah pertumbuhan kalus pada tunas lateral dan
tunas apikal. Kalus merupakan suatu kumpulan sel tidak beraturan dan tidak
terspesialisasi yang muncul dari sel-sel yang membelah diri secara terus-menerus.
Pada umumnya kalus mulai terbentuk pada area pelukaan eksplan. Penelitian
kultur jaringan ulin yang pernah dilakukan yakni menggunakan bahan tanaman
berupa endosperma, daun dan tunas. Dalam penelitian Hidayat (2007) dilaporkan
bahwa kombinasi terbaik IAA dan kinetin mampu menghasilkan kalus yang
berasal dari endosperma dengan waktu tercepat 147.75 hari. Penelitian tersebut
menunjukkan hasil yang positif, namun membutuhkan waktu yang sangat lama
untuk menghasilkan kalus.
Kalus yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna hitam, hal ini
menunjukkan adanya senyawa fenolik yang dikeluarkan dari eksplan ulin.
Munculnya senyawa fenolik dalam kultur jaringan disebabkan oleh perilaku
adaptasi suatu tanaman akibat adanya pelukaan. Senyawa fenolik tersebut
berfungsi menutup bagian dari eksplan yang luka agar tidak adanya mikroba yang
masuk ke dalam jaringan eksplan tersebut. Semakin tua umur tanaman maka
semakin banyak senyawa fenolik yang dihasilkan. Senyawa fenolik ini dapat
diatasi dengan cara subkultur eksplan tersebut, namun bagian ruas bawah eksplan
dihilangkan.
Uji korelasi menunjukkan koefisien korelasi yang positif pada pemberian BAP
terhadap diameter kalus baik pada tunas lateral maupun tunas apikal. Pemberian
BAP pada tunas lateral berpengaruh nyata terhadap diameter kalus. Koefisien
korelasi pemberian BAP terhadap diameter kalus pada tunas lateral dan tunas
apikal masing-masig sebesar 0.395 dan 0.424. Nilai tersebut menunjukkan

17
korelasi yang lemah berdasarkan interpretasi yang disebutkan oleh Sarwono
(2008). Artinya semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan maka semakin
besar pula diameter kalus yang didapatkan baik pada tunas apikal maupun tunas
lateral namun dengan tingkat korelasi lemah. Pemberian auksin (NAA) tidak
memberikan korelasi yang positif, bahkan pada penerapan tunas apikal terjadi
korelasi yang negatif. Sandra (2013) mengatakan bahwa auksin sangat dikenal
sebagai hormon yang mampu berperan menginduksi kalus. Hal ini diduga karena
kurangnya konsentrasi NAA dalam kombinasi ZPT. Penggunaan auksin
konsentrasi rendah dalam penelitian ini dimaksudkan agar faktor ZPT tidak
menghambat pertumbuhan tunas.
Keberadaan hormon auksin yang tinggi dapat menghambat kinerja sitokinin
sehingga mengakibatkan proses pertumbuhan eksplan terhambat. Penggunaan
NAA pada konsentrasi yang rendah (0.5 mg/L) menunjukkan hasil terbaik pada
perbanyakan vegetatif Dorystoechas hastata secara in vitro dalam media ½MS
dengan menggunakan bahan tanaman berupa tunas lateral (Erdag et al. 2009).
Penggunaan NAA 0.02 mg/L yang dikombinasikan dengan TDZ dan BAP
merupakan kombinasi media terbaik untuk menghasilkan kalus pada penggandaan
tunas Anthurium andraeanum (Linden ex Andre) (Winarto et al. 2009).
Penggunaan 0.01 NAA mg/L dengan TDZ (thidiazuron) dan BAP merupakan
kombinasi hormon yang sesuai untuk pengadaan tunas hasil kultur anther
Anthurium (Winarto 2013). Namun pada hasil penelitian ini, peningkatan atau pun
penurunan konsentrasi NAA tidak memberikan pengaruh pada diameter kalus.
Penelitian kultur jaringan ulin yang dilakukan Pujawati (2008) menunjukkan
kombinasi sukrosa 30 g/L dan 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic) 2.0 mg/L
merupakan perlakuan terbaik dalam menginduksi kalus. Dalam kombinasi
tersebut didapatkan kalus pada hari ke-20 pengamatan setelah eksplan ditanam.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi auksin tanpa keterlibatan
sitokinin dapat menginduksi kalus. Penggunaan konsentrasi NAA 0.00−0.05 mg/L
dinilai kurang efektif dalam menginduksi kalus pada tunas lateral dan tunas apikal
tanaman ulin.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian BAP 1.0 mg/L menghasilkan pertumbuhan tunas sebanyak 1 tunas
per eksplan pada tunas lateral. Pertumbuhan tunas ulin terbaik diperoleh pada
tunas apikal yang ditumbuhkan dalam media WPM dengan kombinasi BAP 1.0
mg/L dan NAA 0.05 mg/L, menghasilkan 1 tunas per eksplan. Pemberian NAA
0.05 mg/L menghasil