Dinamika Peran Dan Strategi Lsm Dalam Arena Politik Lingkungan Hidup : Kasus Kebakaran Hutan Dan Lahan

DINAMIKA PERAN DAN STRATEGI LSM DALAM ARENA
POLITIK LINGKUNGAN HIDUP
(KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN )

DAVID ARDHIAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul DINAMIKA PERAN
DAN STRATEGI LSM DALAM ARENA POLITIK LINGKUNGAN HIDUP :
KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

David Ardhian
NIM I353120101

RINGKASAN
DAVID ARDHIAN. Dinamika Peran dan Strategi LSM dalam Arena Politik
Lingkungan Hidup : Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan. Dibimbing oleh
SOERYO ADIWIBOWO DAN EKAWATI SRI WAHYUNI.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis peran dan strategi LSM dalam
menanggapi isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta implikasinya terhadap
perubahan kebijakan dan tata kelola. Studi menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode wawancara mendalam dan studi dokumen, dengan ruang lingkup
analisis pada tingkat nasional dan lokal. Teori yang digunakan dalam studi ini
adalah Gerakan Sosial Baru yang dibingkai dengan kerangka ekologi politik.
Untuk menganalisis bentuk-bentuk aksi LSM pada tataran empiris, studi ini
menggunakan konsep keluhan kolektif, struktur kesempatan politik, struktur
mobilisasi dan proses framing.
Kasus karhutla menjadi momentum politik bagi kalangan LSM untuk

mendorong perubahan kebijakan dan tata kelola. Gerakan LSM memanfaatkan
keluhan kolektif dan struktur kesempatan politik untuk membangun struktur
mobilisasi pada tingkat nasional dan lokal. Pada tingkat nasional, LSM melakukan
proses framing melalui media massa dan tekanan politik kepada pemerintah untuk
menghasilkan regulasi terkait karhutla dan melakukan proses hukum terhadap
perusahaan pembakar lahan. Strategi politik LSM adalah mempengaruhi langsung
aktor-aktor kunci, menggunakan jaringan advokasi lintas negara, menggunakan
kekuatan pasar untuk menekan perusahaan, mempengaruhi aliran kapital kepada
perusahaan, menggalang dukungan elit pemerintahan dan mempromosikan
praktik-praktik terbaik dalam pengendalian karhutla tingkat lokal.
Di tingkat Provinsi Jambi, gerakan LSM memobilisasi kekuatan yang ada
dalam bentuk Koalisi Jambi Melawan Asap (KJMA). KJMA mampu memperluas
elemen gerakan dengan melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya
untuk melakukan protes kolektif terhadap pemerintah daerah dan menggalang
bantuan untuk penanganan korban kabut asap. Disamping itu, kalangan LSM di
Jambi mampu mendorong pemerintah daerah menerbitkan PERDA No. 2 Tahun
2016 yang merupakan PERDA karhutla pertama di Indonesia.
Studi berkesimpulan bahwa LSM mampu memberi kontribusi yang
signifikan dalam mendorong kesetaraan relasi kuasa antar pemerintah, perusahaan
dan warga masyarakat. LSM memperkuat pemerintah untuk menghasilkan

regulasi tentang karhutla dan mendorong proses penegakan hukum. LSM
mempengaruhi perilaku perusahaan dengan menggunakan standar keberlanjutan
lingkungan hidup agar perusahaan tidak melakukan praktik pembakaran dalam
operasinya. Selain itu, LSM mempromosikan praktik-praktik terbaik masyarakat
dalam pengendalian karhutla di tingkat lokal.

Kata kunci : LSM, karhutla, gerakan sosial, ekologi politik, tata kelola lingkungan
hidup

SUMMARY
DAVID ARDHIAN. Dynamics of NGO‟s Roles and Strategies in the
Environmental Politic Arena : Case of Land and Forest Fires. Supervised by
SOERYO ADIWIBOWO and EKAWATI SRI WAHYUNI.
The study aimed to analyze NGO‟s roles and strategies in responding land
and forest fires (LFF) in Indonesia, and it‟s implications to environmental policies
and governance. The study using qualitative approach through indepth interviews
and desk literature reviews to analyze NGO‟s actions at national and local. The
study refers to new social movement theory enriched with political ecology
approach. In investigating NGO‟s actions at empirical level, the study apply the
concepts of collective deprivations, political opportunity structures, mobilizing

structure and framing process as analytical tools.
The study reveals that NGOs viewed LFF as political momentum for
policy advocacy and better governance. In doing so, collective deprivations and
political opportunity are two strategic factors for mobilizing structure at national
and local. At national level, political pressure to government and media framing
are exercised for strengthening policy advocacy and law enforcement. Through
transnational advocacy networks, impose sustainability standard on market,
influencing capital flows, mobilizing political elites supports, and promoting best
practices are strategic acvities for influencing LFF related stakeholders.
At local, in Jambi Province, NGOs mobilizing it‟s power by develop a
coalition namely Koalisi Jambi Melawan Asap (KJMA) as mobilizing structure.
KJMA has been able to expand it‟s movement constituency to develop collective
protests and mobilizing the support for haze victims. Furthermore, NGO
movements in Jambi enhanced local government to produce provincial regulation
No. 2/2016 regarding LFF management. The regulation is the first ever provincial
regulation in Indonesia.
The study concluded that NGOs have ability to influence the imbalance
power relation among government, companies and community. NGOs movement
have strengthened government to produce LFF related policies and law
enforcements. NGOs have influenced the companies to comply with market

sustainability standard as the way to promote zero burning activities. Furthermore,
NGOs have promoted the best practices of community-based peatlands
management as solutions to control LFF at local.

Keywords : NGOs, political ecology, social movements, land and forest fires,
environmental governance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

DINAMIKA PERAN DAN STRATEGI LSM DALAM ARENA
POLITIK LINGKUNGAN HIDUP
(Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan)


DAVID ARDHIAN

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Satyawan Sunito

Judul Tesis
Nama
NIM

: Dinamika Peran dan Strategi LSM dalam Arena Politik

Lingkungan Hidup (Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan)
: David Ardhian
: I353120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr


Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah gerakan
lingkungan hidup, dengan judul Dinamika Peran dan Strategi LSM dalam Arena
Politik Lingkungan Hidup : Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan. Tesis ini disusun
sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi Magister Sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulisan tesis ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo dan Ibu Dr. Ekawati Sri Wahyuni, selaku
ketua dan anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide, saran
dan kritik kepada penulis, sejak mulai penyusunan proposal, pelaksanaan

penelitian, sampai dengan penulisan tesis ini. Disamping itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Satyawan Sunito, selaku
penguji luar komisi pembimbing yang banyak memberikan masukan dan
kritik untuk perbaikan penulisan tesis ini.
2. Bapak Dr. Arya Hadi Dharmawan, selaku Ketua Program Studi Sosiologi
Pedesaan yang memberikan arahan dan dukungan kepada penulis sehingga
mampu menyelesaikan studi. Tak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh
staf pengajar dan administrasi Program Studi Sosiologi Pedesaan yang
mendukung kelancaran dalam penyelesaian studi.
3. Para sahabat dan rekan-rekan yang telah bersedia meluangkan waktu
menjadi informan dan teman diskusi dalam penelitian, yakni Hanni Adiati,
Dr. Budi Satyawan Wardhana, Dr. Erwin Widodo, Dr. Adi Prasetijo, Dr.
Niel Makinuddin, Kusnadi Wirasaputra, Abetnego Tarigan, Nurhidayati,
Longgena Ginting, Anissa Rahmawati, Jefri Saragih, Fathi Hanif, Irwan
Nurdin, Norman Jiwan, Rival Ahmad, Jaya Nofyandri, Diki Kurniawan,
Rivani Noor, Hambali, Ir. Irmansyah, Poprianto, Eko Kurniawan Komara,
Ahmad Maftuchan, M. Djauhari, Muayat Ali Muhsi, Redo, Musri Nauli,
Feri Irawan, Yogi Sirait, Zainuddin Khalid, Ireng Maulana, Sardi Winata,
Yuniawan Setyadi, Mario Ginting dan semua rekan yang tidak bisa saya
sebut satu persatu. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada

Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Dr. Abdul Wahib Situmorang, Dr. Sofyan
Sjaf dan Dr. Noer Fauzi Rahman yang telah memberikan masukan dan
literatur-literatur sebagai acuan dalam penulisan tesis ini.
4. Para sahabat dan rekan kerja yang tak henti-hentinya memberikan
semangat kepada penulis, yakni Dr. Hermanu Triwidodo, Prof. Dr.
Damayanti Buchori, Dr. Widodo, Dr. Suryo Wiyono, Wahono, Witoro,
Said Abdullah, serta seluruh jajaran pengurus Gerakan Petani Nusantara
(GPN), Yayasan Tunas Tani Mandiri (Nastari) dan Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP).
5. Sahabat SPD 2012, yakni Ahmad Mony, Idham Arsyad, Rehastidya
Rahayu, Elsa Navitalian, Lukman Hakim, Rajib Gandi, Andi Nurul
Mutmainah, Sinta Oktavia, Ali Yansyah Abdurrahim, Anggun Widiatri,
Zessy Ardinal Barlan dan Risma Junita, atas kebersamaan dan dukungan
semangat kepada penulis.

6. Istri penulis Aprida Cristin dan kedua anak, Nadine dan Valine, orang tua
dan seluruh keluarga besar, atas dukungan doa dan perhatian kepada
penulis dalam penyelesaian studi.
Akhirnya penulis berharap, semoga karya ilmiah ini memberikan sumbangan
bagi perkembangan studi Sosiologi Pedesaan, khususnya pada ranah ekologi

politik, gerakan sosial dan perubahan kebijakan publik.
Bogor, Agustus 2016

David Ardhian

i

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

i
iii
iii
iv
1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Krisis Ekologi dalam Tinjauan Sosiologi
Teori Gerakan Sosial
Gerakan Lingkungan Hidup
Lembaga Swadaya Masyarakat
Peran Politik LSM
Kerangka Pemikiran
Definisi Konseptual

5
12
19
22
26
27
30

3 METODOLOGI
Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Teknik Pemilihan Informan dan Pengumpulan Data
Analisis Data

31
31
31
32
32

4 EKOLOGI POLITIK KARHUTLA
Karhutla sebagai Masalah Ekologi
Karhutla sebagai Masalah Ekologi Politik

33
37

5

6

PERAN DAN STRATEGI LSM
Konteks Peran LSM dalam Isu Karhutla
Keluhan Kolektif dan Struktur Kesempatan Politik
Struktur Mobilisasi
Proses Framing
Strategi Politik LSM

48
51
54
58
61

BENTUK AKSI DAN IMPLIKASI PADA TATA KELOLA
Penguatan Kebijakan Pemerintah
Mempengaruhi Perilaku Perusahaan
Memperkuat Peran Masyarakat
Pola Pengaruh LSM terhadap Perubahan Tata Kelola

68
75
76
82

ii

7

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
DAFTAR SINGKATAN
RIWAYAT HIDUP

84
85
86
92
105
108
110

iii

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Krisis Ekologi dalam Perspektif Sosiologi
Tabel 2.2. Perbedaan Gerakan Sosial Lama dan Baru
Tabel 2.3. Ragam Perspektif dalam Teori Gerakan Sosial
Tabel 2.4. Perkembangan Gerakan Lingkungan Hidup Global
Tabel 2.5. Ragam Kategorisasi LSM
Tabel 2.6. Definisi Konseptual Penelitian
Tabel 4.1. Perkembangan Titik Api Tahun 2010-2015 di Prov. Jambi
Tabel 4.2. Kronologi Kejadian dan Dampak Karhutla 2015 di Jambi
Tabel 4.3. Penguasan Lima Grup Besar Perusahaan Kelapa Sawit
Tabel 4.4. Pola Penguasaan Lahan Masyarakat oleh Perusahaan di Riau
Tabel 4.5. Kerugian Masyarakat Jambi akibat Karhutla 2015
Tabel 4.6. Peta LSM dalam Isu Karhutla
Tabel 5.1. Kondisi Pemungkin Peran LSM dalam Isu Karhutla
Tabel 5.2. Ragam Peran LSM sebagai Mobilisasi Sumberdaya
Tabel 5.3. Perbedaan Struktur Mobilisasi LSM Nasional dan Lokal
Tabel 6.1. Daftar LSM Pelaksana Program Pencegahan Karhutla

11
17
18
21
25
30
35
36
40
42
45
46
52
58
66
78

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4.1. Kabut Asap Dampak Karhutla di Lahan Gambut
Gambar 4.2. Sebaran Lahan Gambut di Provinsi Jambi
Gambar 4.3. Sebaran Titik Api di Sumatera Januari-Oktober 2015
Gambar 4.4. Pola Penguasaan Lahan Masyarakat oleh Perkebunan Sawit
Gambar 5.1. Mobilisasi Protes Massa oleh KJMA
Gambar 5.2. Mobilisasi Bantuan Obat-Obatan dan Masker oleh KJMA
Gambar 5.3. Bentuk Framing Karhutla sebagai Kejahatan Korporasi
Gambar 5.4. Data WALHI tentang Perusahaan Pembakar Lahan
Gambar 5.5. Pola-Pola Strategi Politik LSM dalam Isu Karhutla
Gambar 6.1. Kunjungan Jokowi ke Kantor WALHI
Gambar 6.2. Pertemuan Menteri LHK dengan Kalangan LSM
Gambar 6.3. Pertemuan Presiden dan Kalangan LSM terkait Karhutla
Gambar 6.4. Direktur WALHI dalam Dialog Karhutla di Televisi Swasta
Gambar 6.5. Konsultasi Publik Raperda Karhutla di Jambi
Gambar 6.6. Presiden Jokowi memberikan Bantuan kepada Abdul Manan
Gambar 6.7. Sekat Kanal oleh Masyarakat Dampingan Mitra Aksi
Gambar 6.8. Pendampingan Ekologi Tanah dan Pupuk Organik
Gambar 6.9. Praktek Pendampingan Okulasi Tanaman Buah KKI WARSI
Gambar 6.10.Model Sekat Kanal Pendampingan WWF Indonesia
Gambar 6.11. Kontribusi LSM terhadap Perubahan Tata Kelola

29
34
35
36
42
55
56
60
61
64
69
69
70
71
74
77
79
80
80
81
83

iv

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Informan Penelitian
Lampiran 2. Panduan Wawancara Mendalam
Lampiran 3. Sejarah Karhutla
Lampiran 4. Kebijakan Pemerintah terkait Penanganan Karhutla
Lampiran 5. Ragam Latar Belakang dan Tanggapan LSM

92
94
96
98
100

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu masalah
lingkungan hidup yang penting di Indonesia. Karhutla telah terjadi selama 17
tahun terakhir dengan intensitas kejadian yang semakin tinggi dan dampak yang
semakin luas. Kejadian karhutla skala luas terakhir terjadi pada tahun 2015, yang
menghanguskan 2,6 juta hektar lahan dengan kerugian ekonomi diperkirakan
mencapai 221 triliun rupiah (BD 2015). Laporan dari Global Fire Emission
Database (GFED) pada tahun 2015 menyatakan bahwa pada periode September
sampai Desember 2015, tingkat emisi karbon Indonesia mencapai 15-20 juta ton
per hari, menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi karbon tertinggi di
dunia. Kabut asap dari karhutla tahun 2015 telah memberikan dampak sosial,
dimana sebanyak 43 juta jiwa penduduk terpapar kabut asap, 400 ribu jiwa
diantaranya mengalami sakit gangguan pernafasan dan 12 korban jiwa meninggal
dunia (Purnomo et al. 2015). Kabut asap juga telah menimbulkan ketegangan
politik dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, dan
mendapat perhatian luas secara internasional.
Sudut pandang ekologi politik, melihat karhutla bukan hanya persoalan
perubahan biofisik lingkungan hidup namun terkandung di dalamnya dimensi
ekonomi politik yang menyangkut relasi kuasa. Blaikie dan Brookfield (1987)
menjelaskan bahwa ekologi politik merupakan kombinasi dari perhatian ekologi
dan ekonomi politik secara luas, mencakup dialektika antara masyarakat dengan
sumberdaya berbasis lahan, termasuk dialektika antar kelas dan kelompok dalam
masyarakat. Bryant dan Bailey (1997) melihat krisis ekologi di negara
berkembang lebih banyak berpangkal pada ketimpangan relasi kuasa.
Peningkatan intensitas kejadian karhutla dari waktu ke waktu tidak lepas
dari sejarah panjang proses pembukaan hutan secara luas, termasuk hutan rawa
gambut untuk kepentingan industri berbasis lahan dan hutan, seperti perusahaan
kayu dan perkebunan kelapa sawit (FWI 2001; Tacconi 2003; SW 2014). Karhutla
sebagai masalah ekologi politik dilihat dari kontestasi peran, pengaruh,
kepentingan dan relasi kuasa diantara para aktor yang menentukan konfigurasi
tata kelola hutan dan lahan. Salah satu aktor penting dalam isu karhutla adalah
kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dalam setiap kasus lingkungan hidup, termasuk kasus karhutla, LSM
selalu tampil untuk mengartikulasikan kepedulian mereka dalam berbagai bentuk
aksi. LSM merupakan salah satu aktor dominan dalam arena politik lingkungan
hidup kontemporer (Princen & Finger 1994; Carter 2007). Berkembangnya peran
LSM merupakan gambaran bahwa proses-proses kebijakan dan perubahan tata
kelola lingkungan hidup tidak lagi hanya berpusat pada aktor-aktor negara, namun
juga dipengaruhi oleh aktor-aktor non-negara (Guadalope & Rodrigues 2014).
Partisipasi LSM tersebut dilihat sebagai wahana untuk mendorong demokratisasi
dalam tata kelola lingkungan hidup (Forsyth 1999; Betsill & Corell 2001; Dalton
& Reccia 2003).
Menguatnya peran LSM erat kaitannya dengan perkembangan jaringan
advokasi lintas negara (transnational advocacy network) untuk mendorong
perubahan kebijakan lingkungan hidup (Keck & Sikkink 1999; Karimasari 2013;
Guadalope & Rodrigues 2014). Peran tersebut diwujudkan dalam diplomasi

2

lingkungan hidup pada tingkat global, menggugah kesadaran publik, menggugat
kebijakan negara, serta menggalang protes dan boikot terhadap perusahaan
perusak lingkungan hidup (Betsill & Corell 2001; Dalton & Reccia 2003), serta
mempengaruhi perilaku perusahaan untuk mematuhi standar keberlanjutan
lingkungan hidup (Pasqueira & Glasbergen 2013).
Dari sudut padangan gerakan sosial, LSM dilihat sebagai gerakan sosial
terorganisir untuk transformasi sosial dalam rangka mengimbangi kekuatan
negara dan pasar (Fakih 1996). LSM merupakan bentuk organisasi gerakan sosial
profesional (Diani & Porta 2006). Perkembangan gerakan LSM merupakan bagian
dari bentuk-bentuk Gerakan Sosial Baru (GSB) atau new social movement (Cohen
1985; Singh 2001; Rahman 2005; Saunders 2013). Salah satu bentuk GSB adalah
gerakan lingkungan hidup yang dimotori oleh kalangan LSM (Carter 2007;
Saunders 2013).
Kaitan antara ekologi politik dan gerakan sosial dengan fokus pada peran
dan strategi LSM, belum banyak diteliti. Studi gerakan lingkungan hidup di
Indonesia, lebih banyak menjelaskan mengenai tumbuh dan berkembangnya
gerakan namun belum menjelaskan dinamika peran dan strategi organisasi LSM
serta implikasinya pada kebijakan dan tata kelola lingkungan hidup. Lynch dan
Harwell (2002) menyinggung tentang tumbuhnya gerakan LSM dalam
memperjuangkan hak dan akses terhadap sumberdaya alam pada awal masa
reformasi. Peluso et al. (2008) mengungkap tumbuhnya gerakan lingkungan hidup
merupakan bentuk reaksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi dari
pemerintahan Orde Baru yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Situmorang
(2013b) menjelaskan dinamika protes kolektif lingkungan hidup 1968-2011 yang
mengungkap tumbuh, berkembang dan menurunnya protes kolektif ditentukan
oleh variabel-variabel struktur kesempatan politik, keluhan kolektif, struktur
mobilisasi, kerangka gerakan dan bentuk-bentuk aksi. Studi Situmorang (2013b)
memberikan rujukan penggunaan konsep-konsep dari teori gerakan sosial modern
untuk melihat dinamika protes kolektif, namun studi ini belum menyinggung
peran dan strategi LSM sebagai organisasi gerakan sosial secara lebih mendalam.
Dalam kaitan terhadap perubahan kebijakan publik, studi Gregorio (2013)
menjelaskan pentingnya dimensi jaringan (network) dalam gerakan lingkungan
hidup untuk mempengaruhi proses-proses kebijakan tenurial di Indonesia.
Sementara Karimasari (2013) menjelaskan peran organisasi transnasional dalam
menentang ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kedua studi tersebut
menjelaskan bagaimana proses-proses gerakan lingkungan hidup bekerja pada
satu kasus tertentu dalam arena politik lingkungan hidup.
Studi ini bermaksud memperkaya studi-studi gerakan lingkungan hidup
sebelumnya dengan memfokuskan kajian pada LSM sebagai organisasi gerakan
sosial. Studi mengkaitkan ekologi politik, gerakan sosial dan implikasinya
terhadap perubahan kebijakan dan tata kelola, dengan mengambil kasus karhutla.
Studi ini berangkat dari sudut pandang bahwa kasus karhutla adalah sebuah arena
ekologi politik dimana LSM merupakan salah satu aktor penting di dalamnya.
Bagaimana peran dan strategi LSM dalam menanggapi masalah karhutla dan
kontribusinya terhadap penguatan kebijakan dan tata kelola pengendalian karhutla
merupakan fokus dalam studi ini.
.

3

Rumusan Masalah
Masalah lingkungan hidup masih menjadi persoalan penting di Indonesia
seiring dengan derap pembangunan ekonomi yang eksploitatif terhadap
sumberdaya alam. Meningkatnya intensitas kejadian bencana ekologis seperti
banjir, kekeringan, tanah longsor dan karhutla merupakan indikasi bahwa tata
kelola lingkungan hidup masih belum berubah secara signifikan. Karhutla
merupakan salah satu persoalan lingkungan hidup yang penting dan memiliki
implikasi ekonomi, ekologi, sosial dan politik yang luas di Indonesia.
Meningkatnya intensitas kejadian karhutla dari waktu ke waktu selama
dua dekade terakhir merupakan indikasi bahwa masalah karhutla bukan hanya
sekedar fenomena alami, namun juga terkait dengan praktik, kepentingan,
kekuasaan dan relasi-relasi antar aktor dalam konteks ekologi politik. Karhutla
merupakan bentuk krisis ekologi, dimana akar persoalan adalah pada
ketidaksetaraan relasi kuasa (Bryant & Bailey 1997). Analisis terhadap relasi
kuasa antar aktor yang terlibat dalam isu karhutla merupakan satu arena yang
penting untuk diteliti lebih lanjut.
Salah satu aktor yang penting dalam arena politik karhutla adalah kalangan
LSM. LSM merupakan salah satu aktor penting dalam arena politik lingkungan
hidup kontemporer (Princen & Finger 1994; Carter 2007), dan merupakan bentuk
organisasi gerakan sosial (Fakih 1996; Diani & Porta 2006) serta merupakan
bagian dari gerakan sosial baru (Rahman 2005; Saunders 2013). Bagaimana peran
dan strategi LSM dalam menanggapi karhutla serta bagaimana kontribusinya
terhadap penguatan kebijakan dan tata kelola pengendalian karhutla masih belum
pernah diteliti. Studi ini bermaksud menjelaskan keterkaitan antara ekologi
politik, gerakan sosial dan perubahan tata kelola lingkungan hidup, yang dipelajari
dari analisis terhadap peran dan strategi LSM dalam menanggapi masalah
karhutla.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian
dalam studi ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peran dan strategi organisasi LSM dalam menanggapi masalah
kebakaran hutan dan lahan pada tingkat lokal dan nasional?
2. Sejauh mana peran LSM dalam memperkuat kebijakan dan tata kelola yang
lebih baik terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah di atas maka penelitian
ini bertujuan sebagai berikut :
1. Menggambarkan peran dan strategi LSM dalam menanggapi masalah
kebakaran hutan dan lahan pada tingkat lokal dan nasional.
2. Menjelaskan peran LSM sebagai organisasi gerakan sosial dalam memperkuat
kebijakan dan tata kelola pengendalian kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek, yakni kegunaan
secara akademis dan praktis. Secara akademis, hasil penelitian akan memperkaya
pengetahuan sosiologi terutama pada kaitan antara ranah ekologi politik dan

4

gerakan sosial serta implikasinya terhadap perubahan kebijakan publik. Studi ini
diharapkan akan menjadi perintis bagi studi-studi lanjutan dalam konteks gerakan
sosial secara umum dan peran organisasi gerakan sosial secara khusus seperi LSM
dan organisasi rakyat lainnya, dalam berbagai arena masalah sosial terkait dengan
pengelolaan sumberdaya alam.
Secara praktis, penelitian akan memberikan masukan bagi kalangan LSM,
pemerintah dan perusahaan mengenai peran-peran mereka dalam mendorong tata
kelola lingkungan hidup lebih baik, khususnya pengendalian kebakaran hutan dan
lahan. Hasil studi diharapkan bisa menjadi bahan refleksi bagi LSM untuk
memperbaiki dan memperkuat strategi-strategi dalam gerakan lingkungan hidup
sebagai salah satu arena politik untuk mendorong tata kelola lingkungan hidup di
Indonesia menjadi lebih baik pada masa yang akan datang.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini diulas tinjauan pustaka sebagai rujukan bagi kerangka
pemikiran dan analisis dalam studi. Pertama mengulas tentang ragam perspektif
dalam sosiologi dalam melihat krisis ekologi sebagai landasan untuk memahami
fenomena karhutla. Kedua, mengelaborasi berbagai perspektif teori gerakan sosial
untuk menjadi rujukan dalam menjelaskan peran dan strategi LSM. Ketiga,
menjelaskan gerakan lingkungan hidup yang merupakan latar dan konteks dimana
LSM mengembangkan peran, strategi dan bentuk aksi. Keempat, adalah tinjauan
mengenai LSM secara umum terkait dengan kategorisasi dan berbagai bentuk
peran yang dilakukan. Terakhir, kelima adalah rujukan tentang bagaimana peran
politik LSM dalam tata kelola lingkungan hidup.
Krisis Ekologi dalam Tinjauan Sosiologi
Perkembangan peradaban manusia sejak masa Revolusi Industri di Eropa
telah menghasilkan kemajuan dalam teknologi dan produksi pada satu sisi, namun
pada sisi lain menghasilkan dampak terhadap degradasi sumberdaya alam dan
kerusakan lingkungan hidup. Revolusi industri dan perkembangan kapitalisme
mendorong dominasi manusia atas alam (Bell 1957). Herbert Marcuse dalam
buku One Dimensional Man pada tahun 1964, menjelaskan semakin tinggi tingkat
produksi suatu pabrik, maka semakin bertambah kerusakan yang harus dipikul
oleh alam termasuk manusia di dalamnya, hanya untuk memenuhi kebutuhan
akumulasi kapital dari pemilik modal atau memenuhi kepuasan konsumsi berlebih
dari sekelompok manusia (Situmorang 2013a ; Suseno 2013).
Bell (1957) dalam Invitation to Environmental Sociology menjelaskan
bahwa masalah lingkungan hidup pada dasarnya merupakan masalah sosial.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah masyarakat, yang mempengaruhi
tatanan dan organisasi sosial. Masalah lingkungan hidup disebabkan oleh
manusia, dan manusia pula yang harus mengatasinya, dan dalam konteks tersebut
diperlukan pemikiran sosiologi. Lebih lanjut kunci dari penjelasan masalah
lingkungan hidup tersebut adalah pada ketidaksetaraan sosial (social inequality).
“....social inquality is both product dan a producer of pollution,
overconsumption, resource depletion, habitat loss, risky technology, rapid
population growth. As well, social inequality influences how we envision
what our environmental problem are” (Bell 1957 : 2).
Catton dan Dunlap (1978) menjelaskan bagaimana dialektika hubungan
masyarakat modern dengan lingkungan alamnya. Perintis sosiologi lingkungan
tersebut mengungkap bahwa arus utama pemikiran sosiologi klasik kurang
menaruh perhatian yang kuat terhadap faktor-faktor lingkungan hidup, meskipun
perdebatan Neo-Malthusian terkait dengan kelangkaan sumberdaya secara jelas
menggambarkan hubungan antara sumberdaya alam dalam kehidupan sosial
manusia. Selanjutnya Catton dan Dunlap (1978) menjelaskan paradigma lama
yang disebut sebagai human exceptionalism paradigm yang kemudian berubah
menjadi human exemptionalism paradigm (HEP). HEP berbasis pada pandangan
bahwa manusia adalah unik diantara makhluk hidup karena mereka bisa
mengembangkan budaya. Kebudayaan yang beranekaragam berkembang dalam
ruang dan waktu secara lebih cepat dibanding perkembangan biologis manusia.

6

Dengan akumulasi perkembangan kebudayaan maka manusia mampu mengatasi
berbagai masalah sosial tanpa batasan-batasan lingkungan hidup. Dengan kata lain
manusia adalah makhluk dominan, dan bisa dikecualikan dari hukum-hukum
ekologi karena kemampuannya dalam mendominasi alam.
Sebagai pemikiran tandingan, Catton dan Dunlap (1978) mengajukan
paradigma baru yang disebut new ecological paradigm (NEP) dalam ranah
sosiologi, dengan menyatakan bahwa manusia hanyalah satu spesies dari banyak
spesies dalam jejaring kehidupan. Dengan demikian hubungan sebab dan akibat,
efek dan tanggapan balik dari tindakan manusia dalam jejaring kehidupan
menghasilkan konsekwensi yang tidak bisa diduga. Dengan kata lain, terdapat
dimensi ekologi yang mampu membatasi pertumbuhan ekonomi, perkembangan
sosial dan fenomena sosial lainnya.
Serangkaian pemikiran dari William Catton dan Riley Dunlap pada akhir
tahun 1970-an dan awal 1980-an tersebut, menjadi landasan penting dalam
perkembangan sosiologi lingkungan (Barbosa 2009 dalam Gould & Lewis 2009).
Hal tersebut mendorong tumbuhnya perdebatan-perdebatan teoritis dalam melihat
krisis ekologi, termasuk menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan lingkungan hidup
pada akhir tahun 1970-an. Selanjutnya diuraikan bagaimana perkembangan
pemikiran sosiologi dalam menanggapi krisis ekologi yakni dari perspektif
ekologi manusia/ekologi budaya, neo-marxisme, modernisasi ekologi, ekologi
politik dan posmodernisme.
Perspektif Ekologi Manusia/ Ekologi Budaya
Kerusakan lingkungan hidup dari sudut pandang ekologi manusia dilihat
sebagai konsekwensi dari interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa kebudayaan manusia dibentuk dari
bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan hidup. Hal tersebut dijelaskan
oleh Julian Steward pada tahun 1955 dalam Theory of Culture Change : The
Methodology of Multilinear Evolution, yang menjadi landasan berkembangnya
ekologi budaya atau cultural ecology (Haenn & Wilk 2006).
Padangan ekologi manusia melihat bahwa ekosistem mampu menjaga
keseimbangan melalui satu proses aliran materi dan energi dalam sebuah sistem
tertutup. Hal tersebut diungkap oleh Roy A. Rappaport dalam Buku Pigs for the
Anchestor yang menjelaskan bahwa peperangan antar suku di Papua New Guinea
adalah sebuah mekanisme adaptasi agar mampu menjaga rasio jumlah babi dan
manusia agar ekosistem dan sistem sosial tetap terjaga secara seimbang (Haenn &
Wilk 2006)
Padangan ekologi manusia dan ekologi budaya cenderung melihat masalah
lingkungan hidup sebagai bagian dari adaptasi budaya sebagai mekanisme aliran
materi dan energi dalam sistem yang tertutup. Hal ini dipengaruhi latar belakang
para pemikir ekologi budaya yang dimotori oleh Julian Steward, dimana sebagian
besar berangkat dari ranah antropologi budaya (Haenn & Wilk 2006).
Perspektif Neo-Marxisme
Penekanan Marxisme dalam sosiologi adalah pada konflik kelas yang
berakar pada kompetisi atas sumberdaya ekonomi dalam tatanan masyarakat
(Suseno 2013). Pada masyarakat kapitalis, kaum borjuis sebagai kelas pemilik
modal menguasai alat produksi, sementara kaum proletar sebagai kelas buruh

7

mengorbankan tenaganya. Pertentangan antara kelas pemilik modal dan kaum
buruh tersebut menjadi pusat analisis dalam pandangan marxisme.
Pada awal tahun 1960-an, Murray Bookchin memperkenalkan sosial
ekologi sebagai pandangan alternatif dari para ahli ekologi pada masa itu yang
melihat krisis ekologi bisa diselesaikan dengan preservasi dan konservasi alam
(Barbosa 2009 dalam Gould & Lewis 2009). Bookchin berargumen krisis ekologi
berakar dari masalah sosial, tanpa mengatasi masalah sosial maka krisis ekologi
tidak bisa diselesaikan. Lebih lanjut, masalah sosial tersebut terwujud dalam isuisu ketimpangan sosial sehubungan dengan berkembangnya kapitalisme terkait
dengan eksploitasi sumberdaya alam.
Pemikir neo-marxisme dalam ranah sosiologi lingkungan adalah Allan
Schnaiberg dalam bukunya berjudul The Environment : From Surplus to Scarcity
pada tahun 1980 yang menjelaskan Teori Treadmill of Production. Menurut teori
ini krisis ekologi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan untuk meraih keuntungan
dalam sistem kapitalisme. Inti dari treadmill of production adalah bahwa manusia
mengambil (withdrawls) dan mengembalikan (additions) sumberdaya dari alam.
Manusia melalui organisasi sosial dan teknologi mengekstraksi bahan mentah dari
alam untuk diubah menjadi barang yang memiliki nilai fungsi (use-value) atau
barang yg bisa dipertukarkan (exchange value), lalu mengembalikan ke alam
dalam bentuk limbah, sampah dan polusi. Siklus mengambil dan mengembalikan
tersebut mengakibatkan disorganisasi dalam sistem biosfer. Teknologi dan
industrialisasi mendorong ekstraksi sumberdaya alam berlangsung lebih cepat dan
intensif sehingga konsekwensinya limbah toksik, polusi, pencemaran yang
dikembalikan ke alam semakin besar. Salah satu jalan untuk memaksimalkan
profit adalah investasi pada teknologi baru untuk mengganti tenaga buruh
manusia.
Pada fase awal, tenaga buruh dieksploitasi pemilik modal untuk
memproduksi barang dalam kerangka sistem kapitalisme. Mereka memberikan
nilai tambah kepada perusahaan melalui tenaga kerja murah, namun nilai lebih
yang diperoleh pemilik modal tersebut menjadi sarana mematikan peran buruh
yang digantikan dengan teknologi yang lebih efisien. Mengikuti pemikiran neo
marxist, teori treadmill of production, menyatakan bahwa institusi sosial dari
masyarakat industri modern adalah pendukung terhadap treadmill of production,
termasuk negara sebagai representasi dari kepentingan kaum pemodal (Barbosa
2009 dalam Gould & Lewis)
Perspektif neo-marxian lainnya yang melihat masalah lingkungan hidup
berakar dari eksploitasi sistem kapitalisme adalah Teori Sistem Dunia (WorldSystem Theory). Immanuel Walllerstein dalam bukunya Historical Capitalism
with Capitalist Civilization tahun 1995 menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan
hidup tidak lepas dari eksploitasi negara maju sebagai pusat terhadap negara
berkembang sebagai peri-peri. Negara maju mengekspolitasi bahan mentah dan
tenaga buruh di negara berkembang untuk mendukung kapitalisme di negara
maju, untuk kemudian menjadikan negara berkembang sebagai pasar bagi barangbarang jadi dan produk olahan (Barbosa 2009 dalam Gould & Lewis 2009).
Dengan kata lain bahwa kerusakan lingkungan hidup seperti deforestasi,
pencemaran, polusi di negara berkembang adalah akibat dari kepentingan
ekonomi politik dari negara maju.

8

Perspektif Modernisasi Ekologi
Dalam sudut pandang modernisasi ekologi, krisis ekologi yang terjadi
sebagai akibat dari modernisasi justru dianggap bisa ditangani melalui
modernisasi itu sendiri. Mol dan Spaargaren (2000) menjelaskan bahwa krisis
lingkungan hidup bisa diatasi oleh institusi modern dengan rasionalitas ekologi
sebagai faktor kunci. Institusi modern seperti negara dan perusahaan transnasional
bertindak atas dasar kepentingan mereka untuk menjalankan praktek yang efisien
(eco-efisiensi) dalam produksi. Penemuan teknologi dapat membantu mengatasi
persoalan lingkungan hidup tanpa harus mengubah struktur ekonomi, dengan
mengembangkan substitusi sumberdaya untuk mengurangi konsumsi, emisi dan
polusi.
Mol (2010) dalam Redclife dan Woodgate (2010) menolak pandangan
Neo-marxian yang melihat negara tidak mampu meregulasi, mengontrol dan
mengkompensasi akumulasi dampak negatif terhadap lingkungan hidup
sehubungan dengan perkembangan kapitalisme. Teori modernisasi ekologi
menyelidiki secara empiris hubungan baru antara pasar dan negara, serta peran
aktor-aktor lain seperti kalangan LSM dalam rangka reformasi lingkungan hidup.
Agenda modernisasi ekologi sejalan dengan konsep modernisasi yang diterima
secara umum dalam kerangka negara kesejahteraan dan ekonomi pasar, dan tidak
melenceng membentuk agenda alternatif lain. Dengan kata lain, modernisasi
ekologi mengarahkan negara, pasar dan masyarakat untuk mengubah kapitalisme
menjadi tidak destruktif namun berkontribusi positif terhadap lingkungan hidup.
York et al. (2010) dalam Redclife dan Woodgate (2010) menambahkan
bahwa perspektif modernisasi ekologi melihat masyarakat modern pada tahap
awal didominasi oleh rasionalitas ekonomi, namun dalam perkembangannya
prinsip ekologi juga menjadi perhatian penting. Prinsip ekologi menjadi bagian
dari pertimbangan ekonomi, dimana valuasi ekonomi juga menghitung dari
dampak-dampak ekologi. Dalam kepentingan jangka panjang, maka institusi
modern termasuk pemerintah dan perusahaan multi-nasional memiliki
kepentingan untuk memastikan keberlangsungan produksi dimana ekologi
menjadi perhatian penting.
Mol dan Sonnenfeld (2000) mengemukakan lima indikasi dari modernisasi
ekologi dalam tatanan sosial yaitu : perkembangan dari ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam penanganan masalah lingkungan hidup, peran pasar dan institusi
bisnis yang semakin memiliki kesadaran untuk reformasi lingkungan,
transformasi peran negara yang membuka partisipasi dalam pengambilan
keputusan, perkembangan peran gerakan sosial dalam reformasi lingkungan serta
lingkungan hidup sebagai ideologi dan praktek dalam tatanan sosial.
Perspektif Ekologi Politik
Ekologi politik melihat krisis ekologi sebagai kombinasi dari persoalan
ekologi dan ekonomi politik yang menyangkut ketidaksetaraan relasi kuasa.
Premis utama dalam ekologi politik adalah bahwa perubahan lingkungan hidup
bukan sebuah proses netral yang bisa ditangani sekedar dengan manajemen teknis,
namun melihat sumber-sumber, kondisi dan implikasi politik dari perubahan
lingkungan hidup yang berakar dari ketidaksetaraan sosial ekonomi dan proses
politik (Bryant & Bailey 1997).

9

Blaikie (1985) dalam studinya yang berjudul The Political Economy of
Soil Erosion in Developing Countries mengungkapkan bahwa masalah erosi tanah
berkaitan dengan persoalan ekologi dan ekonomi politik secara luas. Kajian
tersebut menjelaskan bahwa erosi tanah bukan sekedar persoalan kelemahan
teknis manajemen dalam pengelolaan lahan, namun terkait dengan persoalanpersoalan struktural seperti marginalisasi dan pemiskinan petani. Kesimpulan
kajian tersebut menyatakan bahwa erosi tanah di negara berkembang tidak bisa
diselesaikan secara substansial tanpa secara serius mengatasi masalah
fundamental, yakni mengatasi ketimpangan sosial sebagai akibat dari eksploitasi
kelas dominan terhadap petani miskin.
Lebih lanjut Blaikie dan Brookfield (1987) dalam bukunya berjudul Land
Degradation and Society kemudian mengembangkan pemikiran bahwa masalah
kerusakan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan persoalan ekologi politik,
yakni kombinasi perhatian terhadap ekologi dan ekonomi politik secara luas,
mencakup dialektika antara masyarakat dengan sumberdaya berbasis lahan,
termasuk dialektika antar aktor, kelas dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kajian ekologi politik berkembang mengarah pada aspek dinamika politik
tentang material dan diskursus gerakan lingkungan hidup pada dunia ketiga.
Bryant dan Bailey (1997) dalam buku Third World Political Ecology menjelaskan
ketidakadilan dalam relasi kuasa terkait politisasi lingkungan hidup, mengarahkan
ekologi politik untuk memahami konflik-konflik sumberdaya alam yang terkait
erat dengan kepentingan politik ekonomi pada era kolonisasi di negara dunia
ketiga. Lahirnya perspektif ekologi politik adalah sebuah wacana tandingan bagi
ilmu ekologi, geografi dan antropologi klasik yang bias pada kepentingan kolonial
dan dominasi negara Utara terhadap negara dunia ketiga.
Bryant (1998) menjelaskan bahwa perkembangan ekologi politik berawal
dari geografi radikal, ekologi budaya dan antropologi sosial yang kemudian
bertaut dengan pemikiran Neo-marxian. Krisis ekologi dalam konteks ekologi
politik dilihat sebagai sebuah fenomena sehari-hari (everyday) seperti deforestasi
dan erosi tanah, fenomena episodik (episodic) seperti banjir, tanah longsor dan
kebakaran hutan, serta sistemik (systemic) seperti cemaran pestisida dalam rantai
produksi pangan, dimana kesemuanya dilihat dalam kerangka ketimpangan dalam
dimensi ekonomi politik dan relasi kuasa.
Secara umum ekologi politik telah berkembang tidak hanya pada basis
material namun juga pada analisis konflik antar aktor dan pengetahuan dalam
memahami realitas krisis ekologi. Bryant (1998) memberikan saran bahwa
ekologi politik perlu bergerak dari land-centrism untuk memperkaya kajian
ekologi politik lebih luas seperti politik ekologi urban, konflik sumberdaya air dan
masalah kesehatan. Selain itu pentingnya dikembangkan analisis yang
menghubungkan peran organisasi dan kapasitas mereka dalam konflik-konflik
ekologi politik. Dengan terlampau banyak memfokuskan pada konflik pada
tingkat lokal, ekologi politik tidak cukup dalam memberikan penjelasan mengenai
kompleksitas kepentingan dari ragam organisasi yang turut berpengaruh dalam
arena kajian yang spesifik.
“ Further, research has sought to incorporate questions of
organizational structure has been focused largely on the role of the
states ... very little comparable works has been undertaken in the

10

field of non state actors such as bussiness, multilateral institutions,
NGOs, local people’s organization” (Bryant 1998 : 90)
Perspektif Posmodernisme
Teori-Teori posmodernisme fokus pada krisis yang terjadi pada
masyarakat modern berkaitan dengan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap sistem politik, de-industrialisasi yang disebabkan oleh globalisasi,
pergeseran dalam pasar tenaga kerja, ketidakpercayaan terhadap sains, perubahan
kebudayaan, dan kejenuhan terhadap individualisme dan rasionalisasi pada
masyarakat Barat (Barbosa 2009 dalam Gould & Lewis 2009).
Dalam kerangka tersebut krisis ekologi dipandang sebagai bagian dari
krisis masyarakat modern. Ulrich Beck pada tahun 1992 memperkenalkan konsep
risk society, yaitu cara-cara sistematis dari masyarakat modern untuk mengelola
dirinya terkait bahaya dan perasaan tidak aman yang dihasilkan dari proses
modernisasi itu sendiri. Masyarakat modern mengambil resiko secara sadar,
dimana resiko adalah sesuatu yang endemik. Resiko lebih disebabkan oleh
keputusan, dibanding terjadi secara alami seperti kemiskinan, banjir dan
sebagainya yang bagi masyarakat dunia ketiga adalah sesuatu yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari (Beck 1992).
Menurut Beck, hal ini disebabkan pengetahuan dan teknologi berkembang
lebih cepat, sementara perkembangan manusia tertinggal, yang berakibat mereka
tidak bisa mengontrol perkembangan instrumen-instrumen yang mereka ciptakan.
Sebagai contoh dalam hal tersebut adalah masyarakat modern mengandalkan
ilmuwan dalam menginterpretasikan informasi ilmiah, sementara ilmuwan
seringkali membuat kekeliruan dan tidak peduli terhadap resiko. Pada akhirnya
ilmuwan berkontribusi terhadap distribusi resiko dan kekeliruan yang justru
diproduksi oleh sains itu sendiri. Ilustrasi terkait dengan hal tersebut adalah
pengembangan teknologi nuklir, dimana energi nuklir sebagai produk sains
dikembangkan dengan mempertimbangkan resiko dan probabilitas kejadian
bencana kebocoran nuklir. Para ahli nuklir meningkatkan resiko justru dengan
mengatakan kepada publik bahwa teknologi nuklir adalah sumber energi yang
aman (Barbosa 2009 dalam Gould & Lewis 2009) Faktanya hal tersebut tidak
selalu terjadi, misalnya tragedi nuklir di Cernobyl dan Fukusima.
Perspektif posmodernisme juga melihat akar krisis ekologi berakar pada
pertarungan pemikiran yang terwujud dalam kontestasi pada aras pengetahuan.
Hal tersebut menghasilkan kajian-kajian krisis ekologi dalam konteks pertarungan
diskursus pengetahuan. Michel Foucault memperkenalkan istilah govermentality
atau kepengaturan sebagai kritik terhadap pemahaman tradisional mengenai
kekuasaan. Kekuasaan sebelumnya dipahami sebagai hak eksklusif penguasa yang
memerlukan praktik pemaksaan dan pendisiplinan untuk mencapai tujuan
kekuasaan. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak hanya berada di tangan
penguasa, sebaliknya kekuasaan ada dimana-mana dan terwujud dalam praktik,
diskursus, agensi dan institusi (Astuti 2012).
Foucault mendefinisikan kepengaturan sebagai pengaturan perilaku (conduct
of conduct) sebagai upaya untuk mengarahkan perilaku manusia. Kepengaturan
dijalankan melalui strategi dan praktik yang telah dikalkulasi sedemikian rupa
dengan cara mendidik keinginan dan membentuk kebiasaan, aspirasi dan
kepercayaan (Li 2012). Dalam isu ekologi, Bryant (2003) melihat LSM terlibat

11

dalam proses-proses kepengaturan. LSM yang bergerak dalam konservasi
berperan mengkonstruksi pengetahuan sehingga terinternalisasi kontrol negara
dalam kehidupan masyarakat lokal, sedemikian rupa mempengaruhi pemikiran
dan tindakan sehari-hari masyarakat patuh pada aturan-aturan yang melarang
mereka untuk masuk dalam kawasan hutan. Konsep kepengaturan juga digunakan
oleh Li (2012) untuk menjelaskan “kehendak untuk memperbaiki” atau will to
improve dalam proses-proses pembangunan internalisasi dalam masyarakat
sehingga masyarakat secara sukarela menerima dan mendukung program-program
yang direncanakan penguasa.
Tabel 2.1. Krisis Ekologi dalam Ragam Perspektif Sosiologi
Perspektif
Teori

Ahli
Pendukung

Akar Masalah

Pendekatan

Kritik

Ekologi
Manusia/Ekologi
Budaya

Julian Steward
(1955) ; Roy A.
Rappaport
(1968)

Krisis ekologi
merupakan
konsekwensi
logis dari
interaksi manusia
dan alam.

Krisis ekologi
bisa diatasi
dengan adaptasi
terhadap
lingkungan dan
mempertahankan
mekanisme
budaya lokal.

Neo-Marxian

Murray
Bookchin
(1960); Allan
Schnaiberg
(1980);
Immanuel
Walllerstein
(1995)

Krisis ekologi
berakar dari
eksploitasi
sistem
kapitalisme dan
pertentangan
kelas.

Modernisasi
Ekologi

Arthur J. Mol
(2000; 200);
Frank Buttel
(2000)

Krisis ekologi
sebagai
konsekwensi
modernisasi yang
bisa diatasi
dengan
modernisasi itu
sendiri.

Krisis ekologi
hanya bisa
diatasi dengan
mendorong
perjuangan kelas,
keluar dari
sistem
kapitalisme dan
perubahan
radikal dalam
tatanan dan
struktur
ekonomi.
Krisis ekologi
diatasi dengan
ilmu
pengetahuan dan
teknologi dan
reformasi tata
kelola
lingkungan.

Pendekatan
apolitis,
determinisme
lingkungan
sebagai faktor
utama dan
cenderung
berpusat pada
sistem sosial dan
ekologi yang
tertutup.
Terlalu fokus
pada perubahan
makro struktural
dan bekerja
diluar sistem
yang sedang
berjalan,
mengabaikan
solusi-solusi
teknis dan
manajemen.

Ekologi Politik

Piers Blaikie
(1985); Blaikie
dan Brookfield
(1987);
Raymond L.
Bryant (1998)

Krisis ekologi
berakar pada
ketimpangan
relasi kuasa dan
kepentingan
ekonomi politik.

Krisis ekologi
harus diatasi
dengan
mengkoreksi
ketimpangan
relasi kuasa dan
tata kelola yang
lebih adil.

Terlalu
mengedepankan
pendekatan
teknis dan
manajemen,
mengabaikan
dimensi
struktural dan
relasi kuasa.
Fokus terlalu
banyak pada
tingkat lokal dan
land-centrism,
berpotensi untuk
dikembangkan
pada analisis
meso level dalam
konteks peran

12

Posmodernisme

Foucault (1991);
Raymond L.
Byrant (2003);
Tania Li (2011)

Krisis ekologi
sebagai produk
dari pertarungan
pada aras
pengetahuan.

Krisis ekologi
harus diatasi
dengan
membedah kuasa
pengetahuan dan
dominasi.

ragam organisasi.
Fokus berpusat
pada analisis
wacana dan
diskurus,
mengabaikan
dimensi teknis
dan manajemen
untuk mengatasi
kerusakan
ekologi yang
konkret.

Teori Gerakan Sosial
Pada bagian ini akan diuraikan teori-teori gerakan sosial menurut
pandangan para ahli dari beragam perspektif. Tinjauan terhadap teori gerakan
sosial ini kemudian diarahkan pada kerangka teori untuk menjelaskan gerakan
lingkungan hidup, dengan fokus pada peran dan strategi LSM sebagai organisasi
gerakan sosial.
Teori-teori gerakan sosial telah lama berkembang seiring dengan
perkembangan teori sosial dan politik. Perkembangan teori gerakan sosial
dipengaruhi pemikiran-pemikiran dari ranah teori sosiologi struktural fungsional,
perjuangan kelas dan post-strukturalisme yang masih eksis sampai saat ini. Dalam
perkembangannya para ahli gerakan sosial mengembangkan teori-teori yang
cenderung saling melengkapi, memperkaya dan mengisi satu sama lainnya
(McAdam et al. 1996). Perkembangan teori gerakan sosial juga dipengaruhi oleh
persinggungan dengan cabang-cabang ilmu sosial lain seperti psikologi sosial,
ilmu ekonomi, ilmu politik dan terakhir teori-teori kebudayaan (Manalu 2006;
Situmorang 2013a).
Jika dilacak lebih jauh teori gerakan sosial tidak lepas dari pemikiran para
ahli sosial sehubungan dengan perubahan sosial di Eropa Barat, terkait
serangkaian revolusi yang terjadi pada akhir abad 17 sampai dengan abad 19.
Perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan berdampak luas menimbulkan
pergolakan sosial politik dalam bentuk jatuhnya rezim pemerintahan, kekacauan
berkepanjangan, ketidakteraturan dan pudarnya tatanan lama serta reaksi-reaksi
kelompok-kelompok masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan mereka
(Situmorang 2013a). Fenonema tersebut menjadi rujukan bagi para ahli untuk
mengembangkan teori-teori gerakan sosial. Tarrow (1998) menjelaskan bahwa
para ahli sosiologi terdahulu mengkaitkan dampak negatif Revolusi Perancis dan
kemarahan massa pada abad pencerahan sebagai akar teori gerakan sosial.
Perubahan sosial secara cepat dan luas pada masa itu telah menimbulkan bentukbentuk aksi kolektif, yang kemudian dilihat sebagai sebuah bentuk gerakan sosial.
Dalam tinjauan pustaka ini, gerakan sosial dilihat dalam enam ranah
perspektif, yaitu gerakan sosial sebagai perilaku kolektif, perjuangan kelas,
struktur kesempatan politik, mobilisasi sumberdaya, proses framing dan gerakan
sosial baru (new social movement)1.
1

Dalam beberapa literatur terdapat pengategorian berbeda, meskipun secara substantif tidak jauh
berbeda satu sama lain. Situmorang (2013a) dalam bukunya Gerakan Sosial : Teori dan Praktik

13

Perspektif Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif melihat bahwa gerakan sosial merupakan sebuah
perilaku yang tidak rasional, merupakan respons terhadap situasi yang tidak stabil,
terjadi secara spontan dan tidak terstruktur. Hal tersebut dinyatakan oleh Gustave
Le Bon salah satu perintis teori perilaku kolektif, seperti y