Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kalimantan

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan awalnya terjadi pada tahun 1870 yakni
hilangnya hutan – hutan primer karena cepatnya peningkatan populasi penduduk
yang disertai dengan aktivitas manusia seperti api untuk berburu dan pembersihan
lahan, akses jalan, serta perubahan hutan menjadi lahan peternakan (Whitmore,
1975). Berdasarkan pengalaman sejarah, tingkat kebakaran hutan di Indonesia
yang cukup tinggi, terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1972, Kemudian
tahun 1982/1983 yang menghancurkan 3,2 juta hektar, hingga puncaknya pada
tahun 1997/1998 (Wijaya, 2000).
Data terbaru menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir tercatat
sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di pulau sumatera dan
Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan pada tahun 2012 di Kab.
Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha lahan terbakar. Pada tahun 2013
kebakaran terjadi di Kab. Siak dan Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500

s/d 3.000 ha area hutan, Kab Pekan Raya, Prov. Riau lahan seluas 800 ha lahan
gambut terbakar, di Kota Banjar Baru dan Kab. Banjar Provinsi Kalimantan
Selatan

±

100

ha

lahan

gambut

dan

lahan

pertanian


terbakar.

(geospasial.bnpb.go.id)
Setidaknya ada tiga aspek permasalahan utama yang diterima oleh negara
Indonesia antara lain : aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek sosial politik. Upaya
menjawab problematika tersebut dilakukan dengan mengembangkan pengetahuan
lokal masyarakat suku Dayak Benuaq dalam pengelolaan dan pengendalian
penggunaan api. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mempunyai cara-cara
pengendalian api (Marepm Api) yang sudah dikenal sejak jaman leluhur mereka
dan diwariskan kepada penerusnya. Cara tradisional atau disebut teknologi
tradisional pengendalian api (Marepm api) ini digunakan oleh masyarakat

2

umumnya pada waktu kegiatan berladang, khususnya pada tahap pembakaran
ladang. Pada peristiwa kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta
dalam proses pengendalian kebakaran hutan yang terjadi termasuk kaum ibu-ibu.
Dengan skala yang lebih luas keadaan ini berbeda dengan saat pembukaan ladang,
dalam hal mana pembakaran hanya dilakukan oleh para pemilik ladang. Kegiatan
ini dikoordinir langsung oleh kepala desa dengan dibantu oleh staf desa. (Wijaya,

2002).
Melihat potensinya yang begitu besar, eksplorasi ini sengaja dilakukan
untuk menambah perbendaharaan solusi tepat guna yang efekif dan efisien bagi
pemangku kebijakan – kebijakan publik bahwa pelibatan penyelesaian masalah ini
haruslah meliputi semua elemen baik sipil maupun pemerintahan.
1.2.

Perumusan Masalah
Untuk mencapai tujuan penulisan karya ilmiah ini, maka berikut adalah
rumusan masalah yang akan diuraikan antara lain:
1. Bagaimana Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal dalam Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan pada Masyarakat Dayak Benuaq?
2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran Hutan/Lahan
Dayak Benuaq.

1.3.

Maksud dan Tujuan Penulisan
1.


Mempelajari dan mendeskripsikan elemen-elemen utama praktek pengelolaan
api sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak Benuaq.

2.

Menganalisis dan merumuskan strategi pendayagunaan (revitalisasi) kearifan
lokal dimaksud, guna mendukung upaya penanggulangan dan pengelolaan
kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif.

1.4.

Manfaat
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi inovasi, kreasi dan sekaligus solusi
tepat guna yang sesuai dengan budaya dan teknologi lokal untuk pengelolaan
kebakaran hutan yang efektif, efisien, serta dapat membangun partisipasi
masyarakat lokal.

3

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan
Analisis terhadap arang (karbon) dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa
hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu.
Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang
lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih
dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan
pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang
tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi
hutan Indonesia (Schweithelm dan Glover, 1999).
Sedangkan, Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terekam sebagai
kebakaran hutan terbesar di Kalimantan Timur adalah kejadian pada tahun
1982/1983. Sejak itu, kebakaran besar yang menjadi perhatian nasional dan dunia
secara periodik terulang kembali seperti tahun 1987, 1991, 1994 dan yang paling
hebat adalah tahun 1997/1998 yang lalu.
Namun, data persis pertama kali terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Timur

(Kaltim)


tidak

dapat

diketahui

dengan pasti.

Sangat

dimungkinkan bahwa dibeberapa tempat pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan
mengingat api sebagai teknologi pertama yang dikenal manusia dalam perladangan
merupakan bagian penting dari usaha pembukaan dan persiapan lahan. Menurut
mitologi pada beberapa kelompok suku tradisional di Kaltim (antara lain Suku
Kenyah dan Kayan) sangat mempercayai bahwa peristiwa kebakaran hutan dan lahan
di bumi Kaltim pernah terjadi pada masa lampau. Mereka menyebutnya sebagai
‘zaman kejadian’ pada ribuan tahun yang lalu dimana kebakaran yang terjadi sangat
hebat dan api merayap hingga dibawah permukaan bumi. Konon, akibat kebakaran


4

hutan itulah hingga saat ini banyak dijumpai ‘arang hitam’ yang berlimpah dibawah
perut bumi Kaltim.
Secara kronologis, kejadian kebakaran hutan dan lahan yang seringkali terjadi
di Kalimantan Timur diawali oleh musim kemarau yang panjang. Berdasarkan
catatan sejarah musim kemarau panjang selama lebih dari 6 bulan pernah terjadi
pada tahun 1778. Kemarau terpanjang yang lebih dari 9 bulan pernah terjadi pada
tahun 1940-an. Namun demikain hingga sebelum tahun 1970-an, meski terjadi
kemarau panjang lebih dari 6 bulan tersebut belum pernah terjadi kebakaran hutan
dan lahan. Oleh karenanya sewaktu peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang hebat
tahun 1982/1983 dinilai sangat mengejutkan karena secara teoritis hutan hujan tropis
lembab sulit terbakar secara alami.

2.2. Sebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur
Pada dasarnya tidak semua areal hutan dan lahan mudah terbakar. Menurut
Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, kelas kebakaran di hutan hujan tropis sangat
rendah, yaitu kelas satu. Dengan demikian tipe hutan ini pada dasarnya sulit sekali
untuk terbakar.
Namun kenyataanya, Davis (1959), dalam Oemijati (1986), menyatakan

bahwa 90% dari 120.000 peristiwa kebakaran penyebabnya adalah manusia.
Sedangakan alam dan lain-lain (penyebab yang belum diketahui secara pasti) hanya
mengambil bagian yang sangat kecil. Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran
dapat disebabkan oleh kesengajaan maupun ketidaksengajaan. Seberapa besar
perbandingan antara yang disengaja dengan yang sengaja belum diketahui secara
pasti diperlukan studi yang khusus dan mendalam untuk mengetahuinya.
Sebelum meninjau faktor kesengajaan, fakta membuktikan bahwa api
sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah
lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang pada penggunaannya dimulai pada
pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000 - 700.000 tahun yang lalu.
Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai
modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka

5

hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir
satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya
(Soeriaatmadja, 1997).
Dalam dunia penanggulangan bencana kita semua tentu telah
mengenal istilah trilogi kebakaran yang menjadi dasar timbulnya

api, komponen penyusunnya adalah bahan bakar, udara, panas
yang kemudian saling bereaksi membentuk api. Tiga komponen
ini sangat mungkin hadir ketika musim kemarau panjang
datang, dengan diperkuat fakta bahwa sebagian besar
manusia

menggunakan

teknologi

api

sebagai

alat

Gambar 1. Trilogi Api

pengubah lingkungan hidup dan sumber daya alam tanpa memeperhitungkan
kondisi iklim setempat karena rendahnya taraf pendidikan. Hal itu dibuktikan

dengan catatan Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, yang menyatakan bahwa
kebakaran hutan dan lahan yang terbesar tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998
terjadi karena dukungan musim kemarau yang sangat panjang, sehingga bahan
bakar di hutan semakin banyak dan mongering.
Data menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir tercatat
sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di pulau Sumatera dan
Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan pada tahun 2012 di Kec.
Simpang Hilir, Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha lahan terbakar,
pada tahun 2013 kebakaran terjadi di Kec. Mandau, Kab. Siak. Kec. Bukit Kapur,
Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500 s/d 3.000 ha area hutan, Desa
Rimba Panjang dan Desa Siabu, Kec. Kuwok, kec. Tapung Hulu, Kec. Tiga Belas,
Kec. Tambang, Kota kampar, Kab Pekan Raya, Prov. Riau lahan seluas 800 ha
lahan gambut terbakar, di Kota Banjar Baru Kab. Banjar Provinsi Kalimantan
Selatan 2013 ± 100 ha lahan gambut dan lahan pertanian terbakar
(geospasial.bnpb.go.id).
Data diatas menunjukkan peningkatan kejadian kebakaran hutan dan lahan
yang secara langsung berdampak pada kerugian yang lebih besar lagi. Setidaknya
ada tiga aspek kerugian utama yang dialami oleh negara Indonesia. Aspek ekologi,

6


Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya
terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil
hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya, hutan tropis Indonesia sangatlah
kaya akan keanekaragaman hayati (mega diversity) bahkan tercatat 10 %
keanekaragaman jenis dunia terdapat di hutan tropis Indonesia tentu dengan adanya
kebakaran hutan dan lahan kerugian besar bagi Indonesia dengan hilangnya
keanekaragaman hayati. Lebih lanjut Chandler (1983) dalam Oemijati (1986),
menyebutkan bahwa dampak ekologi kebakaran hutan banyak memberikan pengaruh
terhadap areal tersebut yaitu antara lain tanah, udara, iklim, vegetasi, margasatwa
dan ekosistem di samping itu kebakaran hutan dan lahan juga telah meningkatkan
emisi karbon hampir 20 %, yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan
global. Aspek ekonomi, sektor kehutanan merupakan salah satu kontributor bagi
perekonomian nasional bila dilihat dari sisi penyedia lapangan kerja, penerimaan
negara bukan pajak, pendapatan asli daerah, dll. Di tahun 1997 ekspor kayu meraup
keuntungan 6,2 milyar yang berarti 11 % dari total ekspor nasional, dan meningkat di
tahun berikutnya yaitu sebesar 3,42 triliun. Namun, deforestasi akibat kebakaran
hutan menyebabkan pada tahun 2006 tercatat terjadi penurunan PNBP dengan nilai
dibawah 3 triliun pertahunnya, serta dapat melumpuhkan lalu lintas penerbangan
udara, darat dan laut. Aspek sosial budaya, selain kerugian ekologi dan ekonomi,
salah satu kerugian terbesar dari aspek ini adalah hubungan politik internasional
yang turut memberikan dampaknya. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
perparah dengan pola pergerakan angin yang membawa kabut asap kebakaran di
kalimantan dan sumatera menuju Malaysia dan Singapura yang berujung pada
pengajuan singapura kepada negara ASEAN lainnya tentang undang-undang
kerjasama ASEAN baru yang memungkinkan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi
kepada perusahaan domestik maupun asing yang menyebabkan kabut asap lintasnegara yang merugikan pemerintah negara tersebut. Inilah yang membuat kebakaran
hutan dan lahan menjadi isue internasional yang harus segera dituntaskan dan
dicarikan solusinya.

7

2.3. Definisi dan Ruang Lingkup Kearifan lokal
Berbicara tentang kearifan lokal maka mengajak kita kembali pada periode
zaman batu (stone-age periode). Akan tetapi hal ini justru penting, karena kita dapat
mengerti dan memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya
alam yang berada di dalam hutan. Menurut banyak teori menyampikan bahwa
hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan di
sekitarnya bahwa ‘ kearifan lokal ‘ identik dengan ‘pengetahuan tradisional’.
Menurut Zakaria (1994), kearifan tradisioal yang mana termasuk di dalamnya
kearifan lingkungan merupakan kebudayaan yang dimiliki pada masyarakat tertentu
yang mencangkup didalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan
dengan model – model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Bawasannya
pengetahuan yang dimaksud yakni citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada
system religi, yang bercorak kosmismagis dan mandang manusia adalah bagian dari
alam lingkungan itu sendiri, dimana terhadap roh – roh yang bertugas menjaga
kesimbangannya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka
yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan
alam semesta, yang mana termasuk juga dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan
bertanggung jawab.
Mencermati penjabaran tentang kearifan lokal diatas yang penguraiannya
tentang makna religi dari alam dalam kebudayaan Dayak sebagai masyarakat
pribumi Kalimantan (Sardjono, 2004), ternyata kearifan lokal ada kaitanya dengan
pengetahuan tradisional yang pada dasarnya merupakan hasil dari interelasi dengan
dua factor lainnya yang telah disebutkan terdahulu yaitu ketergantungan kehidupan
dan integrasi budaya. Semua ini merupakan pengetahuan tradisional yang
dimaksudkan untuk lahir berdasarkan pengalaman dan kehidupan tradisi antar
generasi. Dalam ketiganya mengeluarkan berbagai bentuk ‘kearifan’ yang sangat luas
yakni dari kepercayaan dan pantangan, etika dan aturan, teknik dan teknologi atau
pun juga berbagai macam praktik atau tradisi pengelolaan hutan dan lahan yang
secara keseluruhan tidak hanya berperspektif kelestarian sumberdaya akan tetapi
juga sangat berarti bagi kehidupan serta kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

8

Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat suku Dayak terkait dengan Pemanfaatan Sumberdaya Alam
secara Lestari.
No

Bentuk Kearifan
Lokal
Kepercayaan dan/atau Pantangan

1

Contoh




2

Etika dan Aturan




3
4

Teknik dan Teknologi.
Praktik dan Tradisi Pengelolaan
Hutan/Lahan.





Manusia berkaitan erat (baca: berasal) dari unsur
(tumbuhan, binatang, factor non-hayati lainnya) dan
proses
alam
sehingga
harus
memelihara
keseimbangan lingkungan.
Keberhasilan penanaman (misalnya padi, rotan)
berkaitan dengan gejala lingkungan seperti
tumbuhan, binatang atau bulan.
Menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan,
serta wajib melakukakan penanaman kembali.
Mengutamaka berburu binatang – binatang yang
menjadi hama lading.
Membuat berbagai perlengkapan/atat rumah tangga
Membudidayakan
jenis
tanaman hutann
yang berharga.
Melakukan koleksi pada sebuah tanaman hutan.

2.4. Gambaran Umum Masyarakat Dayak Benuaq
Desa Sakak Lotoq termasuk dalam wilayah Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat.
Desa yang terletak di pinggir Sungai Sakak dan Sungai Lotoq (disebut “Desa Sakak Lotoq”
karena diapit kedua sungai tersebut). Aksesibilitas menuju
desa diperlukan waktu kurang lebih 20 jam. Luas wilayah
Desa Sakak Lotoq 5100 ha, dengan etnik Benuaq Londong
yang bermukim sejak tahun 1700-an (perpindahan dari Desa
Tiwei Kabupaten Paser). Secara administratif Desa Sakak
Lotoq berbatasan dengan:


Sebelah Utara

: Desa Kelumpang



Sebelah Selatan : Desa Gemuruh



Sebelah Barat

: Desa Karangan



Sebelah Timur

: Desa Abit

Gambar .2Peta Kalimantan Timur

Jumlah penduduk desa 425 jiwa (111 KK), sebagian besar
masyarakat Sakak Lotoq beragama Kristen Protestan (suku

Gambar 3. Desa Sakak Lotoq

Dayak Benuaq Londong, Tunjung dan Bahau), dan Islam (suku Kutai, Jawa dan Banjar).
Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah namun untuk generasi mudanya ada
beberapa yang lulusan SLTA. Mata pencaharian masyarakat sebagai petani ladang, guru,

9

Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan perusahaan, pengumpul hasil hutan.
(Sumber: Data sekunder dan Monografi Desa Sakak Lotoq Tahun 2000 (diolah))
Masyarakat Desa Sakak Lotoq didominasi oleh suku Dayak Benuaq Londong,
yang berasal dari pindahan Desa Tiwei Kabupaten Paser yang pindah karena
alasan ekonomi (sekitar tahun 1700-an), untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel
2. berikut :
Tabel 2. Kejadian/Peristiwa Penting yang Terjadi di Desa Sakak Lotoq, Kecamatan Melak,
Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
Tahun
Kejadian
1700-an

1800-an
1900-an
1910-an
1930-an
1942
1950-an

1970-an
1973
1982-1983
1990
1994/1995
Maret 1997
Mei 1997
1997/1998
Maret 2000
Agustus 2000

Kejadian/ Peristiwa Penting
Masyarakat suku Dayak Benuaq pindah dari daerah Tiwey, Kabupaten Paser ke Sungai Mahakam
dan menyebar di anak-anak sungainya termasuk Sungai Sakak di kanan mudik Sungai Mahakam
dan di kenal sebagai suku Dayak Benuaq Londong. Saat itu pemukiman berada di Gunung
Rampah (Lamin Sembuan)
Beberapa orang suku Dayak Benuaq Isuy dan suku Dayak Tunjung berpindah dan bergabung
dengan suku Dayak Benuaq Londong di Sungai Sakak. Pemukiman di sebelah hilir yaitu di
Sungai Lotoq (Lamin Lotoq Seberang)
Dari Gunung Rampah pindah ke daerah Jaatn (Lamin Jaatn)
Lamin Lotoq Seberang dibongkar dan pindah ke Sungai Lotoq dekat Sungai Sakak (Lamin
Lotoq) yang masih ada hingga saat ini
Lamin Jaatn di bongkar dan pindah semua ke Lamin Lotoq untuk mendekati pelayanan kesehatan
dan pendidikan
Desa Sakak Lotoq berdiri menjadi desa definitif dengan nama “Sakak Lotoq”. Penamaan tersebut
dikarenakan letak pemukiman yang bera-da diantara dua sungai yaitu Sungai Sakak dan anak
sungainya yaitu Sungai Lotoq
Membuat terusan Sungai Sakak di dekat Desa Gemuruh ke Sungai Mahakam untuk mempercepat
jalur transportasi air yang sebelumnya harus melalui Muara Jawaq dan memerlukan waktu yang
lama. Pe-nggalian dilakukan selama 4 (empat) bulan dan saat ini dikenal sebagai sungai ‘nkali’
(galian)
Beberapa HPH beroperasi di sekitar wilayah adat desa antara lain PT. Jayanti Jaya, PT. Jatitrin,
PT. RTC dan PT. Marimun Timber (eks Perusahaan Philipina)
Wabah penyakit muntaber/kolera melanda Desa Sakak Lotoq yang menyebabkan banyaknya
warga masyarakat yang meninggal dunia sehingga banyak masyarakat yang pindah ke daerah lain
seperti Sebulu dan Sungai Payang (Jembayan)
Kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan di daerah se-belah kanan mudik Sungai Sakak,
khususnya di daerah hilir dekat perbatasan dengan Desa Gemuruh.
Merintis jalur jalan untuk transportasi darat sebagai alternatif jika air sungai surut dan tidak
adanya sarana transportasi air. Kegiatan di-lakukan bersama mahasiswa Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Unmul dan warga desa sekitarnya
Pembangunan perumahan transmigran Gunung Rampah di Desa Sakak Lotoq
Warga Transmigran Gunung Rampah dari Jawa dan trans-lokal mulai mendiami pemukiman
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Karet oleh PT. Inhutani I dengan target
4500 ha
Kemarau panjang dan kebakaran hutan di wilayah hulu sebelah ka-nan mudik Sungai
Sakak.
PT. Inhutani I yang mengelola HTI tutup karena tidak ada kese-pakatan mengenai lahan dengan
masyarakat
Demontrasi warga menuntut ganti rugi dan denda adat atas pem-balakan hutan adat oleh PT.
Marimun Timber

Sumber: BIOMa (2000)

10

BAB III
METODE PENULISAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Secara metodologis,

karya

tulis

ilmiah

ini

menggunakan

pendekatan eksploratif, yaitu dari pengumpulan data/informasi dari
sumber-sumber sekunder dan didukung dengan data primer dari nara
sumber
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan

di

lingkungan

kampus

universitas

mulawarman, yayasan BIOMa, dan Kantor GIZ, Dinas Kehutanan
Samarinda pada tanggal 23 Januari s.d. 28 Februari 2015.
3.3 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan berbentuk pertanyaan – pertanyaan
wawancara dalam rangka penggalian informasi yang lebih dalam kepada
para narasumber. Peralatan utama pembuatan karya ilmiah ini adalah alat
tulis manual maupun elektronik.
3.4 Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Penelitian ini dilakukan dengan Studi yang bersifat eksploratif,
mengkombinasikan metode on desk study dengan telaah dokumentasi dari
berbagai sumber data sekunder dengan teknik wawancara. Wawancara
dilakukan dengan cara bertatap muka dengan narasumber baik secara
formal maupun informal sesuai dengan situasi dan kondisi yang
mendukung untuk menghindari adanya non respon dan respon error
sehingga didapatkan hasil wawancara yang lengkap tentang objek
penelitian. Wawancara ditunjukan kepada beberapa pihak yang memiliki
data dan informasi yang valid dan terpercaya.

3.5 Metoda Analisis
Analisis

deskriptif

kualitatif

digunakan

untuk

membantu

mengidentifikasi dan memaparkan unsur-unsur yang menjadi fokus dalam

11

penulisan.

Data

yang

telah

dikumpulkan

kemudian

diseleksi,

dikelompokkan, dilakukan pengkajian dengan mengidentifikasi dan
menginterpretasikan data dan informasi dari sumber informasi. Khusus
untuk pengembangan strategi didukung dengan analisis SWOT (Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman) secara sederhana.
disimpulkan dan disajikan dalam bentuk naratif.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemudian

12

4.1 Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal Penanggulangan Kebakaran
Masyarakat Dayak Benuaq.
Keberadaan pengetahuan dan kearifan tradisional yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat lokal merupakan satu aset berharga dalam
pengembangan

sistem

pencegahan

dan

penanggulangan

bencana

kebakaran hutan dan lahan. Pengembangan program yang berbasis pada
kearifan dan pengetahuan yang bersumber dari masyarakat lokal terutama
menekankan pada aspek pencegahan bencana kebakaran yang ditunjang
dengan

aspek

penanggulangan

secara

sederhana.

Program

yang

dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pendekatan pencegahan dan/atau
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan penekanan pada aspek
kebijakan, teknologi dan mekanisme.
Dengan kearifan lokal dan teknologi tradisional yang dimiliki,
mereka mampu membuktikan bahwa walaupun telah dilaksanakan dalam
waktu yang lama dan turun temurun, pola perladangan yang mereka
lakukan

terbukti

berkesinambungan

aman

dan

mampu

memberikan

hasil

yang

Hubungan antara mereka dengan hutan terlihat

sangat erat dengan pola pemanfaatan yang masih terbilang sederhana baik
dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu.

Berikut

adalah dokumentasi naratif tentang kearifan lokal penggunaan api oleh
masyarakat Dayak Benuaq.
Teknologi Tradisional Pengendalian Api
♻ Lingkungan hutan dan penggunaan api
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mempunyai cara-cara
pengendalian api (Marepm Api) yang sudah dikenal sejak jaman leluhur
mereka dan diwariskan kepada penerusnya. Cara tradisional atau disebut
teknologi tradisional pengendalian api (marepm api) ini digunakan oleh
masyarakat umumnya pada waktu kegiatan berladang, khususnya pada
tahap pembakaran ladang. Bentuk kegiatan pengendalian api pada saat
pembakaran ladang adalah pembuatan sekat bakar dengan beberapa
aturan-aturan yang disesuaikan dengan kondisi lahan. Kegiatan ini
dilaksanakan secara gotong royong oleh pemilik ladang.

13

♻ Pengorganisasian dalam pengendalian api
Selain

pada

saat

kegiatan

berladang,

alat-alat

tradisional

pengendalian api juga digunakan pada peristiwa kebakaran hutan,
khususnya dalam membuat sekat bakar dan penjagaan di sekitar sekat
bakar.

Hal ini disebabkan karena alat tersebut tidak memadai untuk

memadamkan kebakaran hutan sehingga penggunaan alat lebih ditekankan
untuk upaya pencegahan (preventive) supaya api tidak melewati sekat
bakar yang dibuat dan tidak menyebar kemana-mana. Pada peristiwa
kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta dalam
pembuatan sekat bakar dan melakukan upaya penjagaan, termasuk kaum
ibu-ibu. Keadaan ini berbeda dengan saat pembukaan ladang, dalam hal
mana pembakaran hanya dilakukan oleh para pemilik ladang. Kegiatan ini
dikoordinir langsung oleh kepala desa dengan dibantu oleh staf desa.
♻ Aturan adat dalam kegaitan pengendalian api.
Beberapa aturan adat dalam kaitannya dengan pengendalian api,
terutama aturan/tradisi sebelum melaksanakan pembakaran ladang. Saat
ini masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Sakak Lotoq, antara lain:
 Dilarang mandi pagi pada hari pembakaran ladang dengan maksud
agar pada saat kegiatan pembakaran ladang tidak terjadi turun
hujan.
 Membersihkan/menyapu halaman rumah sebelum pergi ke ladang
dengan tujuan pada saat membakar ladang api tidak menyebar
kemana-mana.
 Menggantung tampi dengan gambar manusia di depan rumah
(gambar manusia sedang mengkipas) dimaksudkan supaya banyak
angin pada proses pembakaran sehingga batang maupun ranting
yang dibakar cepat terbakar.
 Batu gosok (digunakan untuk mengasah parang) tidak boleh
dibawa ke tengah ladang dan tidak boleh disimpan langsung di
tanah.

14

 Untuk pembakaran pertama menggunakan daun “juang” yang
diiris/dihancurkan, dimasukkan dalam bambu dan kemudian
dibakar. Dimaksudkan supaya api pada saat pembakaran tidak
menyebar kemana-mana. Pembakaran dilakukan setelah matahari
mulai condong ke arah barat yaitu kurang lebih pukul 13.00.
 Melihat arah angin: pembakaran dilakukan searah dengan angin,
dimaksudkan untuk melihat arah angin dengan melihat ujung-ujung
pohon. Bila ladang berada di daerah miring, pembakaran dilakukan
dari bagian yang rendah.
Aturan-aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dan tetap ditaati
oleh masyarakat sampai sekarang.

Namun demikian ada beberapa

aturanaturan yang menurut masyarakat sendiri sudah jarang digunakan
karena dirasa bertentangan dengan agama.
♻ Sistem Peringatan Dini.
Sistem peringatan dini (early warning system) adalah tanda - tanda
yang digunakan sebagai peringatan awal akan datangnya musim kemarau
panjang sehingga tidak baik dalam kondisi tersebut masyarakat
menyalakan api selain itu, juga sebagai tanda adanya anggota masyarakat
yang sedang melakukan pembukaan lahan. Secara umum sistem
peringatan dini yang digunakan oleh masyarakat benuaq dibagi mejadi tiga
bagian:

1) Melihat perilaku flora dan fauna.
 Jika sejenis burung yang biasa bersarang di pohon – pohon sekitar


sungai, bersarang lebih rendah dari biasanya.
Sejenis capung atau serangga dalam jumlah banyak beterbangan di

atas sungai.
 Pohon madu bebunga lebat.
 Berbagai jenis pohon meranti berbuah lebat.
2) Melihat fenomena alam.
 Kabut yang sangat tebal di pagi hari.

15



Pergeseran garis edar matahari agak ke selatan, dilihat dengan cara

melihat bayangan pada tongkat kayu yang ditancapkan.
3) Firasat, mimpi,dan kepercayaan masyarakat.
 Para tetua adat dianggap sebagai jembatan jiwa antara manusia dengan
roh, biasanya para tetua memiliki firasat akan terjadi kemarau panjang.
 Dukun atau tabib (pemeliatn) bermimpi menjemur ikan asin.
 Jika ada seseorang atau lebih melakukan penyimpangan (beehuuaq)
maka, diyakini bahwa kemarau panjang akan datang.
♻ Peralatan yang digunakan.
Beberapa alat tradisional pengendalian api yang digunakan oleh
masyarakat merupakan warisan dari pendahulu mereka. Alat-alat tersebut
biasanya dibuat sendiri oleh masyarakat dengan bahan-bahan yang tersedia
dari alam. Beberapa alat yang digunakan oleh masyarakat Desa Sakak
Lotoq dalam pengendalian api disajikan pada Tabel 3. di bawah ini:

Tabel 3. Peralatan yang Dipergunakan dalam Kegiatan Marepm Api di Desa Sakak Lotoq,
Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
No

Gambar

Nama Peralatan

Fungsi

Bahan Pembuatan

Pocet

Dipergunakan pada saat
memadamkan api

Dibuat dari bambu (balo bane), kayu
(bagian dalamnya) yang dibalut kain
pada bagian ujungnya.

Untuk membawa air

Terbuat dari bambu betukng, pring,

Peralatan
1.

2.
Topoq

bane atau labu kumukng

16

3.

Gawaakng, Kiba

Untuk membawa topoq

Tempat membawa air yang dibuat dari
rotan

4.

Pemupar apuy

Untuk
memadamkan
atau memukul api

Dari tumbuhan hidup utamanya jenis
pisangpisa-ngan (jojotn, sewet) atau dari
ranting jenis tumbuhan yang lain

5.

Manau

Untuk merintis dalam
pembu-atan sekat bakar.

Dibuat dari logam dan kayu

6.

Agit

Alat
pengait
dalam menebas

Dari ranting atau akar yang berbentuk
kaitan

7.

Pengokot

Alat
untuk
membersihkan
/menyapu lahan dalam
pembuatan sekat bakar

Terbuat dari rotan yang dibelah

Alat untuk menebang

Terbuat dari besi + kayu yang dililit
dengan rotan, dan terbuat dari besi

8

Beliung

pohon dalam pembuatan

ujungnya dan dianyam.

sekat bakar.

Sumber: Bioma (2000)

4.2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran
Hutan/Lahan Dayak Benuaq
4.2.1 Analisis SWOT (Strength,

Weakness,

Opportunity,

Threat)

Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran Hutan
dan Lahan Masyarakat Dayak Benuaq.

17

Analisis sederhana ini melibatkan 4 (empat) faktor analisis berupa
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari kearifan lokal
masyarakat Dayak Benuaq yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan
telaah yang telah kami lakukan, maka didapatlah pengelompokan
sederhana berikut.
a. Kekuatan:
 Hingga sekarang penggunaan teknologi tradisional masih ada, dan
digunakan oleh masyarakat pada kelompok tertentu dan sebagian
kelompok

lagi

telah

mengkombinasikannya

dengan

kondisi

sekarang.
 Dalam pembukaan ladang dengan cara membakar masyarakat masih
mempertahankan kebiasaan dari nenek moyang mereka yang
diyakini dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.
 Bentuk dan cara pengunaan alat–alat tersebut sangat sederhana
sehingga setiap orang dapat membuat dan menggunakannya tanpa
memerlukan ketrampilan khusus.
 Bahan dan peralatan yang diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan,
disamping itu mudah untuk mendapatkan bahan bakunya dan proses
pembuatannya.
 Kegiatan untuk pengendalian api pada dasarnya telah terorganisir
secara kekeluargaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat
hingga sekarang. Pengorganisiran ini pertama kali dilakukan
terutama pada saat kegiatan yang melibatkan orang banyak dan
sifatnya kekeluargaan, salah satunya adalah saat membuka ladang.
 Aturan adat yang masih ditaati.
 Tingginya tingkat kemandirian masyarakat yang diindikasikan
dengan adanya dana swadaya untuk mengatasi kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi.
 Pada masyarakat lokal tradisional masih banyak ditemukan dan
dipraktekkan teknologi lokal dalam pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan yang terbukti cukup efektif, murah dan
b.

mudah.
Peluang:

18

 Keberadaan lembaga adat untuk beberapa kelompok masyarakat
sangat penting artinya dalam mengatur kehidupan masyarakat, disisi
lain kelompok dengan ketentuan lain (tanpa lembaga adat)
menggunakan aturan main tersendiri yang diatur oleh tokoh
masyarakat sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
 Dibeberapa kelompok masyarakat yang lain, yang telah masuk
program kegiatan pengendalian api telah ada kelompok organisasi
yang mengaturnya.
 Adanya lembaga-lembaga dan sumberdaya manusia yang bersedia
untuk berpartisipasi.
 Tingginya keinginan masyarakat untuk mempertahankan teknologi
tradisional pengendalian api.
c.

Kelemahan:
 Aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat masih
bersifat lisan dan lebih banyak mengatur tentang hubungan sosial
kemasyarakatan.
 Bentuk kelembagaan khusus yang menangani kebakaran hutan dan
lahan belum ada kecuali di Desa Jerang Melayu, sehingga sampai
saat ini biasanya masalah ini ditangani oleh lembaga pemerintahan
desa dan lembaga adat.
 Dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan

yang terjadi

masyarakat lebih banyak mengandalkan kemampuan sendiri dan
bantuan yang ada dari pihak perusahaan yang ada di sekitar desa
mereka masih sangat terbatas.
 Hambatan utama dan banyak ditemukan dalam pengembangan
pengelolaan kebakaran hutan dan lahan berbasiskan masyarakat
adalah masalah dana (alokasi dan sumber), peralatan (termasuk
sarana dan prasarana), organisasi dan kelembagaan, sistem informasi
dan koordinasi, kepedulian dan komitmen para pihak, status dan
kepastian kawasan, lemahnya pengawasan, dan kondisi sosial
d.

ekonomi dan budaya lokal.
Ancaman:

19

 Pola pewarisan aturan-aturan adat tersebut dilakukan melalui proses
penuturan dari generasi tua kepada generasi muda dan proses
mencontoh, sehingga ada kemungkinan pewarisan adat tidak
berlangsung dengan baik.
4.2.2 Rumusan strategi pendayagunaan kearifan tradisional penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan Masyarakat Dayak Benuaq.
a.

Strategi I (Strength – Opportunity)

 Mengutamakan tindakan pencegahan karena merupakan upaya yang paling
realistis, mudah dan murah dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan,
mengingat penanganan kebakaran pada saat api sudah besar dan tidak
terkendali tidak lagi optimal.
 Melakukan
pelatihan
ditingkat

desa

dengan

memadukan

pengetahuan/teknologi tradisional dengan pengetahuan/teknologi modern;
 Membuat alat-alat modifikasi yang merupakan gabungan dari teknologi
tradisional dan modern dengan tetap mempertahankan prinsip mudah,
murah dan efektif.
 Mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kearifan
masyarakat

tradisional

(aturan-aturan

adat)

dalam

pengelolaan

Sumberdaya Alam (SDA);
 Perlunya peraturan sebagai produk kebijakan (semacam perda) khusus
dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang
mengakomodir aturan adat (kesepakatan lokal) serta aspek teknis
tradisional lainnya
b.

Strategi II (Strength – Threat):

 Melakukan

pendokumentasian

pengetahuan

kearifan

masyarakat

tradisional (aturan-aturan adat) sehingga diharapkan nantinya mampu
mengikat ke dalam internal masyarakat.
 Pemberdayaan dan penguatan kelembagaan lokal (masyarakat), pelatihan
dan penyuluhan yang terus menerus untuk meningkatkan pemahaman akan
pentingnya mengetahui dan memahami pengetahuan tradisional.

20

c.

Strategi III (weakcness – opportunity):


Pembentukan kelompok kerja untuk memfasilitasi pembentukan dan
pengembangan lembaga khusus di tingkat lokal yang berfungsi sebagai



ujung tombak dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
Melakukan penguatan lembaga-lembaga tingkat di lokal untuk
memudahkan akses informasi, koordinasi dan mampu menyediakan
pelayanan dan dukungan dalam menangani masalah kebakaran hutan dan



lahan.
Perlunya alokasi dana khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk meningkatkan sarana/prasarana, sumberdaya
manusia, serta pengembangan organisasi/kelembagaan dalam pencegahan



dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Pendekatan yang diperlukan dalam advokasi kebijakan PKHL adalah
antar lain membina konsistensi kepedulian masyarakat, monitoring
kebakaran hutan secara terpadu, pembentukan satdamkar di tingkat desa,
memperkuat akuntabilitas manajemen kebakaran hutan serta penegakan
hukum yang konsisten bagi pelaku kebakaran hutan dan lahan terutama



pelaku pembakaran hutan dan lahan secara ilegal.
Mendorong terciptanya law enforceman bagi penyebab timbulnya
kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat dalam

d.


monitoring pengeloaan sumberdaya alam.
Strategi IV (Weakness – Threat)
Melakukan inventarisasi pengetahuan kearifan masyarakat tradisional
(aturan-aturan

adat)

sebagai

pengayaan

pengetahuan

untuk

pengembangan teknologi tradisional dalam pengelolaan kebakaran hutan


dan lahan.
Mendorong terciptanya kesamaan persepsi antar anggota masyarakat
akan pentingnya pengetahuan dan pengembangan teknologi tradisional
dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.

21

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.

Kearifan lokal pada masyarakat Dayak Benuaq masih digunakan meskipun
sudah sangat tua dalam pemakaiannya.

2.

Teknologi dan cara pencegahan dan penanggulangan yang relative
sederhana mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karena sangat mudah untuk
dipahami dan dilakukan bahkan untuk yang berpendidikan rendah
sekalipun.

3.

Sinergitas peran antara pimpinan desa dengan warganya sangat
menentukan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan.

5.2 Saran
1. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan berbasis
kearifan lokal sangat baik untuk diterapkan pada masyarakat luas dalam
hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai elemen terutama para
pemegang kebijakan.
2. Tenaga penyuluh atau tenaga ahli berperan penting dalam menjembatani
inovasi yang ada.

22

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of
forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and
control.
Anonim, 1998. Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan Propinsi Kalimantan Timur.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi
Kalimantan Timur, Samarinda
Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No.
19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran
Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Oemiyati, R. 1986. Kebakaran Hutan Di Indonesia dan Masalahnya: Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional “Ancaman Gangguan Terhadap
Hutan Tanaman Industri 20 Desember 1986” (photo copy lepas). FMIPA
UI, Jakarta.
Pemda Kaltim, 2000. Kalimantan Timur dalam Angka 2000. Bappeda Kaltim dan
Kantor Statistik Kaltim, Samarinda.
Pemda Kaltim, 1990. Sejarah Pemerintahan Di Kalimantan Timur dari Masa Ke
Masa. Pemerintah Propinsi daerah Tingkat I Kaltim, Samarinda.

23

Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik
dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta: Debut Press.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam
Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat
Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya.
Prosiding

Simposium:

“Dampak

Kebakaran

Hutan

Terhadap

Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di
Yogyakarta. hal: 36-39.
Sutisna, M. dkk, 1998. Rehabilitasi Kawasan Hutan Bekas Kebakaran Aspek
Teknis dan Sosial, Makalah Disampaikan pada Lokakarya “Kebakaran
Hutan dan Lahan Pencegahan dan Rehabilitasinya Serta Penata Ulang
Hutan Wisata Bukit Soeharto tanggal 14-15 Mei 1998”.

Bapedalda

Kaltim, Samarinda.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi
kebijakan. Bogor: CIFOR.
Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest Forest of The Far East. Clarendon
Press. Oxford.
Wijaya, A. 2002. Kajian Aspek Sosial Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan Di
Kalimantan Timur. Yayasan Bioma, Samarinda.
Wijaya, A. 2014. Ensiklopedi Suku-Suku Asli Di Kalimantan Timur. Yayasan
Bioma, Samarinda
Wirakusumah, S dan M.Y. Rasid, 1987.
Humida. Pradnya Paramita, Jakarta.
http://www.wri.org
http://geospasial.bnpb.go.id

Cita dan Fenomena Hutan Tropika

24

LAMPIRAN – LAMPIRAN
Lampiran 1.

Gambar 4. Sketsa Pembuatan Sekat Bakar dalam Sistem Pembukaan
Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran

25

Gambar 5.

Sketsa Penentuan Arah Rebah Pohon dalam Sistem

Pembukaan Ladang Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal
Kelompok Sasaran

Lampiran 2.

Gambar 6. Sketsa Penentuan Arah Pembakaran dalam Sistem Pembukaan
Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran

26

Gambar 7. Sketsa Sistem Koordinasi Kegiatan Pembakaran dalam
Sistem Pembukaan Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal
Kelompok Sasaran

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap
Tempat, Tanggal Lahir

HARISH JUNDANA
Serang, 06 September 1995

Alamat Tempat tinggal

Jl. Suwandi, Rt.22 Blok A No. 85

No Hp

081214304130

E- mail

Arjunagp68@gmail.com

Riwayat Pendidikan

TKIT Al Istiqomah
SDIT Al Izzah
MTs Husnul Khotimah

Karya Ilmiah yang Pernah di
Buat
Penghargaan Ilmiah yang pernah
diraih

MA Husnul khotimah
-

27

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap
Tempat, Tanggal Lahir

EKO AJI MUSTIKO
Purbalingga, 21 Oktober 1995

Alamat Tempat tinggal

Jl. Sambaliung RT 01 Asrama Mahasiswa Unmul

No Hp

085643359877/082226336364

E- mail

Eko.unmul@gmail.com

Riwayat Pendidikan

SD N 1 Babakan
SMP N 1 Padamara

Karya Ilmiah yang Pernah di
Buat
Penghargaan Ilmiah yang pernah
diraih

SMK N 1 Bojongsari
-

28

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65