Dampak Pasca Reklaim terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut

DAMPAK PASCA REKLAIM TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI DI DESA SUKAMUKTI GARUT

ERLISA SARASWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dampak Pasca
Reklaim Terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Sukamukti Garut adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Erlisa Saraswati
NIM I34100148

iii

ABSTRAK
ERLISA SARASWATI. Dampak Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan Petani
Di Desa Sukamukti Garut. Dibawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO
Perlawanan petani muncul akibat adanya ketimpangan struktur agraria di
pedesaan. Salah satu bentuk perlawanan petani adalah dengan melancarkan aksi
reklaim lahan di tanah-tanah terlantar Eks-HGU perusahaan. Hal tersebut sejalan
dengan kasus reklaim lahan Eks-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung yang
dilakukan oleh para petani di Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti, Garut.
Penelitian ini berfokus pada bagaimana pengorganisasian aksi reklaim
berpengaruh pada tatanan kondisi sosial-ekonomi masyarakat pasca reklaim.
Tatanan kondisi sosial ekonomi pasca reklaim tersebut meliputi redistribusi lahan,

kelembagaan penataan produk serta pembangunan sarana dan prasarana dasar.
Penelitian ini menguji hubungan antara tatanan kondisi sosial-ekonomi pasca
reklaim dengan tingkat kesejahteraan petani yang dilihat dari dua aspek yakni
subjektif dan objektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosialekonomi pasca reklaim memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tingkat
kesejahteraan subjektif petani, dan juga mempunyai hubungan yang cukup kuat
dengan tingkat kesejahteraan objektif petani di OTL Sukamukti.
Kata kunci : perlawanan petani, aksi reklaim, kondisi sosial ekonomi pasca
reklaim, kesejahteraan subjektif, kesejahteraan objektif

ABSTRACT
ERLISA SARASWATI. The Impacts Of Post-Reclaiming Against The Welfare
Of Peasants In Sukamukti Garut. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO
Peasant resistance arise as a result of agrarian structures of inequality in rural
areas. One form of the peasant resistance is the staged re-claiming land on
displaced lands in the land ex-HGU company. This is consistent with the case of
re-claiming land ex-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung performed by the
peasant at the Local Farmer Organizations (OTL) Sukamukti, Garut. This study
focuses on how the organization of reclaim influent the new socio-economic
conditions society post re-claiming. The socio-economic conditions of post reclaiming include land redistribution, the institutional arrangement of the products
and the development of basic infrastructure. This study examined the relationship

between the order of the new socio-economic conditions of post reclaiming with
the level of welfare of farmers which seen from the two aspects of subjective and
objective. The results showed that the new socio-economic conditions of post
reclaiming have a very strong relationship with the level of subjective well-being
of peasant, and also has a strong relationship with the objective welfare of peasant
in OTL Sukamukti.
Keywords: peasant resistance, re-claiming, the socio-economic conditions of post
reklaim, subjective well-being, objective welfare

iv

DAMPAK PASCA REKLAIM TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI DI DESA SUKAMUKTI GARUT

ERLISA SARASWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

v

Judul Skripsi

:

Nama
NIM

:
:

Dampak Pasca Reklaim terhadap Kesejahteraan

Petani Di Desa Sukamukti Garut
Erlisa Saraswati
I34100148

Disetujui oleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
Pembimbing

Diketahui

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal pengesahan: _______________________

vi

PRAKATA


Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang berjudul Dampak Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan
Petani di Desa Sukamukti Garut dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Februari 2014 ini mengangkat tema agraria dengan lokasi penelitian di
Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak
Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA. selaku pembimbing skripsi. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua tersayang, Bapak
Syafril dan Ibu Erniwati, serta kedua saudara (Kakak dan Adik) penulis yang telah
memberikan dukungan, bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penulis juga
sampaikan terima kasih kepada seluruh teman-teman terutama kepada temanteman SKPM angkatan 47 sebagai teman yang membantu, memberi semangat,
dan memotivasi penulis dalam proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya
kepada seluruh keluarga besar Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut, terutama para
warga dan responden di Organisasi Tani Lokal (OTL) Sukamukti, serta seluruh
adik-adik di SMP Plus Al-Bayan. Terimakasih karena telah memberikan pelajaran
dan pengalaman luar biasa kepada penulis selama masa penelitian skripsi ini.
Terimakasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang tak bisa
disebutkan satu per satu atas bantuan dan dukungannya.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

Erlisa Saraswat

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

ix
ix
x

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
1
3
4
4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Petani Beragam Konsep
Gerakan Perlawanan Petani
Aksi Reklaim
Tahapan Reklaim
Kesejahteraan Petani
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
Definisi Operasional


7
7
7
9
11
12
13
15
16
17
17

PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data


23
23
23
24
25
26

ARENA GERAKAN PERLAWANAN DAN ORGANISASI PETANI
Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Desa Sukamukti
Keadaan Penduduk Desa Sukamukti
Karakteristik Responden
Sekilas Tentang Serikat Petani Pasundan (SPP)
Sekilas Tentang Organisasi Tani Lokal Sukamukti

29
29
31
32
35
39


KEMUNCULAN GERAKAN PETANI DAN AKSI REKLAIM
Sejarah Perkebunan di Tatar Pasundan
Sejarah Lahan Garapan di Desa Sukamukti
Munculnya Gerakan Perlawanan Petani
Pengorganisasian Aksi Reklaim
Ikhtisar

41
41
42
43
46
49

KONDISI BARU SOSIAL EKONOMI PASCA REKLAIM
Redistribusi Lahan
Kelembagaan Penataan Produksi

51
52
55

viii

Pembangunan Sarana dan Prasarana Dasar
Ikhtisar
DAMPAK
PASCA
REKLAIM
TERHADAP
TINGKAT
KESEJAHTERAAN PETANI
Perubahan Kesejahteraan Petani Pasca Reklaim di OTL Sukamukti
Dampak Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan
Subjektif Petani di OTL Sukamukti
Dampak Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Terhadap Kesejahteraan
Objektif Petani di OTL Sukamukti
Ikhtisar

58
62

63
63
69
71
74

PENUTUP
Simpulan
Saran

75
75
76

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

77
79
99

ix

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14

Variabel dan indikator kondisi baru sosial ekonomi pasca reklaim
Variabel dan indikator kesejahteraan subjektif
Variabel dan indikator kesejahteraan objektif
Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan pembagian luas lahan di
Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014
Luas wilayah Desa Sukamukti berdasarkan, tataguna tanah di Desa
Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, tahun 2014
Kronologis kasus tanah di Desa Sukamukti
Jumlah persentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel
redistribusi lahan
Data kepemilikan lahan garapan anggota OTL Sukamukti
Jumlah presentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel
kelembagaan penataan produksi
Jumlah presentase responden berdasarkan hasil jawaban variabel
pembangunan sarana dan prasarana dasar
Jumlah dan presentase perbandingan kesejahteraan subjektif anggota
OTL Sukamukti pra dan pasca reklaim tahun 2014
Jumlah dan presentase perbandingan kesejahteraan objektif anggota
OTL Sukamukti pra dan pasca reklaim tahun 2014
Jumlah dan persentase responden petani OTL Sukamukti menurut
kondisi sosial ekonomi pasca reklaim dan tingkat kesejahteraan
subjektif tahun 2014
Jumlah dan persentase responden petani OTL Sukamukti menurut
kondisi sosial ekonomi pasca reklaim dan tingkat kesejahteraan objektif
tahun 2014

16
17
18
28
28
46
51
53
55
58
63
67

69

71

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kerangka pemikiran
Jadwal penelitian
Kondisi geografis Desa Sukamukti
Jumlah penduduk Desa Sukamukti menurut jenis kelamin tahun 2014
Mata pencaharian penduduk Desa Sukamukti tahun 2014
Luas lahan garapan responden
Jenis kelamin responden
Tingkat pendidikan responden
Usia responden
Struktur organisasi SPP
Susunan kepengurusan OTL Sukamukti tahun 2014
Kondisi redistribusi lahan menurut responden di OTL Sukamukti tahun
2014
Kondisi redistribusi lahan menurut responden di OTL Sukamukti tahun
2014
Kondisi kelembagaan penataan produksi menurut responden di OTL
Sukamukti tahun 2014

15
22
27
29
29
30
31
31
32
35
36
49
50
54

x

15
16
17

Kondisi pembangunan sarana dan prasarana dasar menurut responden di
OTL Sukamukti tahun 2014
57
Jumlah responden berdasarkan variabel tingkat kesejahteraan subjektif
pra dan pasca reklaim
62
Jumlah responden berdasarkan variabel tingkat kesejahteraan objektif pra
dan pasca reklaim
65

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Pengolahan data SPSS
Peta Desa Sukamukti
Panduan pengumpulan data
Kerangka sampling (sampling frame)
Kuesioner penelitian
Panduan wawancara mendalam
Dokumentasi penelitian

80
83
84
85
88
95
97

1

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian serta kegunaan penelitian bagi berbagai pihak yang
terkait. Pertanyaan umum penelitian (General Research Question) disampaikan
pada akhir alinea sub bab latar belakang. Lalu, pada sub bab rumusan masalah
dipaparkan tiga butir pertanyaan penelitian yang lebih spesifik (Specific Research
Questions).

Latar Belakang

Bagi negara agraris seperti Indonesia, soal agraria (soal tanah) adalah soal
hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan
bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup
manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang
ada demi mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid,1952). Oleh karena itu,
jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan
penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
menjadi keharusan tersendiri. Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan
keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang dikandungnya sebagai
sumber bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945)1 .
Di negara-negara berkembang yang berlatar-belakang agraris seperti di
Indonesia, seringkali ditemukan adanya struktur penguasaan tanah yang timpang.
Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai
tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada sekelompok besar manusia yang
hanya memiliki sedikit tanah atau sama sekali tidak mempunyainya. Kepincangan
atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di
Indonesia khususnya menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.
Ada periode penting yang sejak awal disadari oleh Pemerintah Indonesia
bahwa tanah adalah hal yang krusial bagi penghidupan manusia sehingga harus
didistribusikan secara adil. Periode ini yaitu semasa pemerintahan Soekarno saat
dilahirkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (lebih dikenal
dengan Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA). Orientasi pemerintah
Soekarno pada periode itu cukup jelas dimana redistribusi tanah secara adil
terlebih program land reform harus dilakukan agar kesejahteraan rakyat bisa
1

Undang-Undang Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi; Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
2

Dapat diakses pada http://kbbi.web.id/
Dep. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 2010. Petani: Beragam Konsep. [PPT.].
Bogor [ID]: SKPM IPB. Format/Ukuran: Ppt/1.04 Mb.
4
Kathleen Gillogly merupakan antropolog Universitas Wisconsin, Amerika Serikat yang
memaparkan tentang fenomena petani dan pertanian di Asia Tenggara yang terus digerus oleh
teknologi dan/atau kapitalis besar.

3

2

terwujud secara merata. Sayang sekali, periode krusial ini hanya berjalan sebentar
karena pada tahun 1967 saat ketika pemerintah Orde Baru berdiri orientasi
politiknya berbalik 180 derajat. Program pembangunan pemerintah Orde baru
diarahkan kepada ekonomi pro-pasar dengan kebijakannya yang kapitalistik, atau
dengan kata lain sangat menyandarkan pembangunan pada investasi. Wajar jika
pada gilirannya konflik tanah (agraria) merebak di berbagai daerah di Indonesia.
Runtuhnya rezim Orde Baru menjelang akhir dasawarsa 90-an menjadi
sebuah titik balik yang menyuburkan bangkitnya gerakan organisasi sipil di
berbagai sektor yang meliputi kelompok buruh, petani dan nelayan yang selama
ini diam karena tekanan otoritarianisme pemerintah di era tersebut. Masyarakat
sipil khususnya petani di berbagai daerah di Indonesia mulai melakukan
perlawanan. Seperti dikemukakan Hartoyo (2010) dalam disertasinya, gerakan
petani kemudian terjadi di mana-mana menuntut keadilan dan demokrasi agraria.
Ke atas mereka gencar mendesakkan tuntutan-tuntutannya, dan ke bawah
melakukan aksi-aksi reklaim. Sebagian besar analis menilai bahwa maraknya
gerakan petani awal-awal reformasi sebagai kelanjutan atau efek dari gerakan prodemokrasi yang dimainkan oleh segenap elemen masyarakat sipil dalam
menumbangkan otoriterianisme negara Orde Baru. Scott (1981) mengungkapkan
pemberontakan petani merupakan respon niscaya untuk mengembalikan tatanan
moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi kapitalisme. Perlawanan petani
dalam merebut hak akses lahan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan
strategi.
Salah satu strategi untuk mendapatkan kembali hak atas tanah petani
dengan melancarkan reklaim. Reklaim sebagai bentuk perlawanan (resistensi)
merupakan manifestasi dari akumulasi kompleksitas persoalan seperti kemiskinan,
perampokan atas tanah, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha
(pemodal) dan penguasa (pemerintah) terhadap petani (Fermata, 2006). Aksi
reklaim ini di Indonesia antara lain merebak di wilayah Priangan, Jawa Barat
dengan berdirinya Serikat Petani Pasundan (SPP). SPP merupakan sebuah
organisasi massa petani yang berbentuk serikat yang beranggotakan para petani di
tingkat Organisasi Tani Lokal (OTL) di desa-desa di wilayah Kabupaten Garut,
Ciamis dan Tasikmalaya, Jawa Barat (Aji, 2005). Aksi reklaim tersebut
merupakan salah satu kewajiban anggota SPP (Serikat Petani Pasundan) setelah
bergabung dengan OTL (Organisasi Tani Lokal) setempat.
Namun ternyata, banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa setelah
para petani selesai me-reklaim lahan, pengorganisasian mereka menjadi lemah.
Seringkali petani menganggap perjuangan mereka hanya sampai pada kesuksesan
me-reklaim saja, padahal sebenarnya perjuangan belum selesai. Setelah berhasil
me-reklaim perlu adanya tindak lanjut bersama untuk tetap menjaga kolektivitas
diantara petani sehingga tidak muncul egoisme individu yang dapat
menghancurkan perjuangan bersama. Seperti studi yang dilakukan Hartoyo (2010)
terhadap organisasi tani di Lampung. Ia menjelaskan di dalam dinamika gerakan
petani bisa saja terjadi stagnasi, karena terbuka peluang terjadinya disorientasi
perilaku para elit aktor yang „kebablasan‟ dan out of control. Pasca reklaim
seringkali diwarnai perubahan drastis motivasi partisipasi, dari motivasi massa
pendukung gerakan menjadi terbatas pada keinginan yang bersifat
individual/kelompok dan atau interest. Di sini biasanya akan terjadi perebutan
kuasa atas organisasi gerakan petani dan sumberdaya mobilisasi petani basis yang

3

mengarah pada konflik dan fragmentasi. Terjadi deformasi antar kelompok aktor
gerakan, terjadi decoupling antara persoalan substantif kelompok petani dan
individu aktor elit, dan yang arkhirnya memberi pengaruh atas stagnannya
gerakan agrarian.
Oleh karena hal tersebut, perlu adanya upaya lanjutan pasca reklaim yang
dilakukan petani sebagai jalan untuk mempertahankan hidup dan peningkatan
kesejahteraan. Penguatan organisasi tani sebagai modal gerakan Reforma Agraria,
tidak hanya sebatas peningkatan jumlah anggota atau kuantitas, akan tetapi
kualitas organisasi juga harus lebih ditingkatkan. Peningkatan pendapatan petani
merupakan kunci utama menuju peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan
pendapatan antara lain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usaha tani dan
intensitas tanam disertai dengan peningkatan akses petani ke pasar input dan
output yang efisien (Munawar, 2010).
Salah satu contoh upaya reklaim yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat
yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Sukamukti, Desa Sukamukti,
Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut ini cukup menarik perhatian peneliti. Desa
Sukamukti merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Cilawu, Kabupaten
Garut yang harus menghadapi konflik dengan pihak perkebunan PTPN VII
Dayeuh Mangung. Aksi reklaim yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sukamukti
diduga akan mempunyai pengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi pasca reklaim.
Selanjutnya kondisi sosial ekonomi pasca reklaim ini akan memiliki dampak pada
tingkat kesejahteraan petani dalam aspek subjektif dan objektif di desa tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana dampak pasca
reklaim terhadap tingkat kesejahteraan petani di Desa Sukamukti, Garut.

Rumusan Masalah
Ketidakadilan dan ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah
yang terjadi di Indonesia disadari atau tidak merupakan faktor utama terjadinya
konflik agraria yang terjadi selama ini. Sebagian besar rakyat miskin di pedesaan
menguasai sejumlah kecil lahan pertanian yang ada sedangkan sisanya lahanlahan yang luas dikuasai oleh para pemegang modal baik oleh pihak swata
maupun pemerintah. Tidak jarang dalam praktik perluasaan kepentingan
wilayahnya pihak pemerintah maupun swasta ini pun mengambil tanah-tanah
milik warga. Warga yang menjadi pihak yang lemah pun harus rela tanahnya
diambil demi kepentingan pemilik modal. Hal itu terjadi pada kasus di desa
Sukamukti Garut berupa konflik perebutan lahan antara petani dan institusi PTPN
VIII Dayeuh Manggung. Konflik yang terus menerus berlangsung ini pada
gilirannya menimbulkan semangat perlawanan di kalangan warga. Warga yang
merasa terusir dari tanahnya ini pun melakukan perlawanan dalam berbagai cara
salah satunya dengan melakukan pengambilalihan hak atas tanah. Atas uraian
tersebut diatas dapat diajukan pertanyaan, apa dan bagaimana kemunculan aksi
perlawanan petani di Desa Sukamukti dalam upaya reklaim tanah?
Reklaim merupakan representasi aksi petani dalam mencapai dan
mewujudkan hak-hak mereka, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kondisi

4

mereka baik secara positif maupun negatif. Namun dalam kondisi ideal, reklaim
yang berakar dari bawah melalui OTL Sukamukti tersebut seharusnya mampu
membawa perbaikan khususnya terhadap struktur maupun kondisi penghidupan
para anggotanya. Dalam hal ini perbaikan tersebut mencakup struktur penguasaan
lahan (melalui redistribusi), penataan produksi, pembangunan sarana dan
prasarana dasar dll. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan
pertanyaan, apa dan bagaimana dampak reklaim OTL Sukamukti terhadap
kondisi sosial ekonomi (redistribusi lahan, penataan produksi, pembangunan
sarana dan prasarana dasar) di Desa Sukamukti Garut?
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, berbagai dampak dapat
muncul pasca reklaim terlaksana. Namun pada intinya dampak yang ditimbulkan
seharusnya juga dapat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat,
khususnya kondisi dimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yang
berkenaan dengan sandang, papan dan pangan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
dapat dirumuskan pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi sosial
ekonomi pasca reklaim tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan petani
di Desa Sukamukti Garut?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah
dipaparkan yaitu menelaah dampak pasca reklaim terhadap kesejahteraan petani
di Desa Sukamukti. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan
permasalahan, yakni:
1. Mengidentifikasi kemunculan aksi perlawanan petani di Desa Sukamukti
dalam upaya reklaim tanah di Desa Sukamukti Garut.
2. Mengidentifikasi dampak reklaim Organisasi Tani Lokal (OTL)
Sukamukti terhadap kondisi sosial ekonomi (redistribusi lahan, penataan
produksi, pembangunan sarana dan prasarana dasar) di Desa Sukamukti
Garut
3. Mengidentifikasi sejauh mana kondisi sosial ekonomi pasca reklaim
tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa
Sukamukti Garut

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian menganai dampak pasca reklaim terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat di Desa Sukamukti ini diharapkan berguna bagi
berbagai pihak. Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi pihak akademisi diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi mengenai aksi reklaim dan dampaknya terhadap kesejahteraan
petani serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

5

2. Bagi pemerintah dalam hal ini pihak PTPN VII Dayeuh Manggung
diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai
peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari konflik agraria
yang terjadi.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan masyarakat mengenai dampak pasca reklaim terhadap
peningkatan kesejahteraan mereka. Selain itu diharapkan hasil penelitian
ini dapat digunakan masyarakat Desa Sukamukti sebagai bukti tambahan
dalam memperjuangkan lahan garapan mereka.

6

7

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini menjelaskan mengenai berbagai pustaka yang dirujuk dalam
melakukan penelitian. Pustaka-pustaka tersebut diambil dari berbagai sumber
seperti buku, maupun lapora hasil penelitan. Selain itu, bab ini juga menjelaskan
mengenai kerangka penelitian beserta dengan hipotesis penelitian, definisi
konseptual, dan definisi operasional dari masing-masing variabel yang dihitung.

Tinjauan Pustaka
Sub bab ini berisi tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa
konsep yang akan dilihat pada penelitian ini. Tinjauan literatur tersebut diataranya
konsep petani, gerakan perlawanan petani, aksi reklaim, tahapan reklaim dan
kesejahteraan petani.

Petani Beragam Konsep
Berbicara mengenai masalah agraria di pedesaan tentunya tidak dapat
terlepas dari subyek agraria yaitu petani. Petani jika dilihat dari segi bahasa
merujuk kepada pengertian seseorang yang bekerja pada bidang pertanian. Tidak
berbeda jauh dengan pengertian tersebut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI)2, yang dimaksud dengan petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok
tanam. Namun disamping definisi yang telah disebutkan, beberapa definisi lain
terkait petani juga dijelaskan oleh banyak sosiolog dan para pakar agraria, definisi
tersebut mencakup definisi lebih kompleks yang berada pada dimensi yang lebih
luas.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, beberapa ahli sejak dahulu telah
menelaah definisi pasti dari petani itu sendiri. Namun ternyata hingga kini
permasalah tentang definisi dan konsep petani itu masih sering diperdebatkan.
Perdebatan tentang siapa itu petani mencakup pada perbedaan makna antara
peasant dan farmer. Wolf (1985) dalam bukunya yang bertajuk ”Petani Suatu
Tinjauan Antropologis”, memahami masyarakat petani sebagai peasant yang
merupakan fase setelah masyarakat primitif dan masyarakat modern. Pendekatan
antropologis yang ia bangun didasarkan atas bahwa masyarakat petani tidak bisa
hanya dipandang sebagai agregat tanpa bentuk. Masyarakat petani memiliki
keteraturan dan memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas.
Sejalan dengan Wolf (1985), Scott (1976) melihat petani sebagai
seseorang yang hidup secara subsisten. Subsisten dalam arti petani berproduksi
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai batas aman. Dalam
tulisannya Scott (1976) menyatakan tentang moral ekonomi petani yaitu dimana
2

Dapat diakses pada http://kbbi.web.id/

8

kehidupan petani didasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas.
Norma subsistensi berlaku ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang
menurut mereka dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan
menjual dan menggadai harta benda mereka. Sedangkan resiprositas akan timbul
apabila ada sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari
anggota masyarakat yang lain. Hal ini akan menyebabkan berbagai etika dan
perilaku dari para petani.
Scott (1976) menambahkan pula bahwa para petani adalah manusia yang
terikat sangat statis dari aktivitas ekonominya. Aktivitas mereka sangat tergantung
pada norma-norma yang terdapat pada masyarakat. Lebih lanjut, dari penjelasan
tersebut muncul terminologi yang khas pada petani yang disebut dengan moralekonomi, yang menekankan bahwa pada dasarnya petani cenderung menghindari
resiko, dan rasionalitas petani yang mengungkapkan bahwa masyarakat petani (di
kawasan Asia Tenggara) tidak akan melakukan gerakan perlawanan ketika
kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Pengertian mengenai petani oleh Scott tersebut mendapatkan pertentangan
keras oleh Samuel Popkin (1979), ia justru mengemukakan bahwa petani itu
merupakan makhluk rasional. Artinya, mereka selalu ingin memperbaiki nasibnya
dengan mencari dan memilih peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukannya.
Pada hakikatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko,
sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.
Pemikiran tersebut dikenal sebagai teori rasionalitas petani.
Definisi lain dari petani yang penting untuk di bahas adalah karya dari
Chayanov3, yang menjelaskan tentang Teori Ekonomi Petani. Menurutnya
masyarakat-tani (peasant society) adalah masyarakat pedesaan yang didalamnya
tidak ada pasar tenaga kerja dan ekonominya semata-mata terdiri dari satuansatuan "Usahatani Keluarga" (UK), yaitu usahatani yang tidak menggunakan
tenaga upahan, melainkan didominasi oleh tenaga dalam keluarga. Menurut teori
ini tujuan petani adalah memuaskan kebutuhan rumah tangganya, bukan mencari
keuntungan/laba.

Gerakan Perlawanan Petani
Pemberontakan petani menurut Scott (1981) adalah respons untuk
mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi
kapitalisme. Dalam perspektif Scottian juga menjelaskan tiga tipologi atau proses
kemunculan suatu gerakan pemberontakan atau perlawanan petani, yaitu: (1)
terjadinya kesenjangan sosial di pedesaan yang muncul sebagai akibat meluasnya
peran negara dalam proses transformasi pedesaan, besaran ketimpangan sosial di
pedesaan ini kemudian memicu berbagai bentuk perlawanan petani terhadap
hegemoni kaum kaya dan negara, (2) terjadinya transformasi kultural di pedesaan
telah memproduksi realitas kesadaran sebagai wujud pembelotan kultural, (3)
kaum miskin yang lemah dalam melakukan perlawanannya terhadap hegemoni

3

Dep. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 2010. Petani: Beragam Konsep. [PPT.].
Bogor [ID]: SKPM IPB. Format/Ukuran: Ppt/1.04 Mb.

9

kelompok kaya dan negara memiliki senjata alam mereka sendiri dalam
menyelesaikan persoalan.
Dalam konteks gerakan petani, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya
gerakan petani adalah “gerakan kemanusiaan”. Sebab, tanah yang mereka
perjuangkan merupakan aspek krusial yang menyangkut hidup dan mati
masyarakat petani serta eksistensi penghidupan mereka. Tidak hanya sebatas itu,
tanah tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga
simbol harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidup bersumber dari sektor
pertanian. Karena itu, perampasan tanah bagi petani dipandang sebagai
perampasan hak hidupnya sebagai petani, sehingga muncul kecenderungan siapa
pun yang mengambil tanahnya akan selalu dilawan dengan berbagai cara
(Mustain, 2007).
Sejalan pengertian tersebut, Popkin (1979) menyatakan bahwa perlawanan
petani bukanlah bersifat restoratif. Petani melakukan perlawanan dalam upaya
mencari jalan untuk mejinakkan kapitalisme, lalu bekerja di dalam kapitalisme
yang telah dijinakkan itu. Dalam upaya ini, para pemimpin gerakan dan elit sosial
bertindak sebagai entrepreneur politik, atau pihak yang tidak jarang
memanfaatkan agenda perlawanan sebagai salah satu upaya usaha dalam
pencapaian di aspek-aspek politik.
Menurut Paige (1975), perlawanan petani adalah pemberontakan agraria
dan bentuk-bentuk ekspresi perlawanan petani akan terjadi manakala: (1) suatu
kelas penguasa tanah terus menerus berkuasa atas dasar penguasaan tanahnya, (2)
para petani dihambat dalam kemungkinannya untuk melakukan mobilitas vertikal,
(3) kondisi kerja dan karakter pedesaan petani memungkinkan pembentukan
solidaritas. Lebih lanjut, aksi perlawanan petani pada akhirnya juga tergantung
pada tipe struktur kelas agraria yang melingkupi, bisa mengambil bentuk
rebellion, labour reform movement, dan commodity reform movement.
Mustain (2007) mengungkapkan bahwa kebijakan pertanahan di Indonesia
yang banyak memicu terjadinya perlawanan rakyat petani sesungguhnya
merupakan replikasi dari kebijakan negara sejak zaman kolonial. Artinya, ada
persoalan hukum dalam penataan tanah yang hingga era reformasi masih
problematik sehingga sering memicu munculnya konflik pertanahan di
masyarakat. Mustain menambahkan bahwa problematika hukum itu terjadi dalam
konteks terjadinya dualisme hukum, yakni hukum negara dan hukum rakyat yang
masing-masing mempunyai dasar klaim kebenaran dengan logikanya sendirisendiri.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1973) dalam Soegijanto (2000), gerakan
petani di Jawa dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu pertama gerakan protes yang
menentang pemaksaan baik dari tuan tanah maupun pemerintah, kedua gerakan
yang menginginkan terciptanya dunia baru yang serba adil (messianist) dan ketiga
gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan atau kesentosaan) masa lampau
(revivalist).
Gerakan protes yang terjadi di Klaten menurut Soegijanto (2000) termasuk
kedalam gerakan yang pertama yaitu gerakan protes yang menentang pemaksaan
baik dari tuan tanah maupun pemerintah. Dalam hal ini gerakan protes petani
Klaten ini berhubungan erat dengan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
agraria, yang terkenal dengan nama Landreform. Pada awal tahun 1960-an
penentangan yang dilakukan oleh petani lebih banyak ditujukan pada pemerintah,

10

sedangkan pada tahun 1964-1965 sasaran gerakan lebih banyak ditujukan pada
tuan tanah.
Berbeda dengan hal tersebut, hasil peneitian Aprianto (2013) menyatakan
bahwa perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adat Sedulur Sikep terhadap
eksapansi perusahaan PT Semen Gresik ini lebih merujuk pada gerakan tipe
ketiga, yaitu gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau
(revivalist). Hal ini terlihat dari perlawanan yang lebih bersikap pada penyadaran
yang terwujud dalam ekspresi keseharian mereka yang berdasar pada keyakinan
tentang hubungan mereka dengan tanah.
Menurut Mustain (2007), di masa orde baru, fokus kebijakan pertanahan
selalu diupayakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara cepat,
dibandingkan orde lama yang kebijakannya lebih populis, orde baru lebih pada
memfasilitasi pemilik modal dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi
kapitalisme. Karena itu sejak 1980-an kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk
memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan kebijakan
pembangunan.
Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Fauzi (1999), semenjak
tahun 1980 gejala aksi protes terhadap penindasan dan penaklukan petani
mempunyai ciri khas:
1. Protes dilakukan oleh sejumlah petani korban dengan didampingi oleh
organisasi non-pemerintah (ORNOP) tertentu.
2. Protes disalurkan pada parlemen (DPR, DPRD), ke Pemerintah
(Departemen Dalam Negri, BPN, Menkopolkam, dll).
3. Isu protes bersifat kasuistis yang berisi tuntutan penyelesaian kasus yang
dialami oleh petani korban. Artikulasi tuntutan ini bersifat spesifik dan
ekonomis
4. Media massa sebagai perwakilan masyarakat, dipercaya akan membantu
penyelesaian masalah.

Aksi Reklaim
Gerakan rakyat setelah kejatuhan rejim Soeharto pada tahun 1998 identik
dengan aksi massa berupa reklaim tanah-tanah yang meluas di sejumlah pedesaan
di Indonesia. Secara harfiah, reklaim merupakan sebuah tindakan perlawanan
yang dilakukan rakyat tertindas untuk memperoleh kembali haknya kembali
secara adil (Wijardjo dan Perdana dalam Munawar 2010). Aksi-aksi reklaim tanah
tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus petani yang haknya diserobot oleh pihak
perkebunan. Hal tersebut juga diyakini oleh Herwati (2013) dalam penelitiannya
terhadap empat kasus konflik tanah antara petani melawan perusahaan-perusahaan
perkebunan. Dari hasil penelitiannya dari keempat kasus di wilayah yang berbeda
yaitu PT. Pagilaran di Kabupaten Batang, PTPN IX di Kabupaten Kendal, PT.
Sinar Kartasura di Kabupaten semarang, dan PT. Karyadeka Alam Lestari (KAL)
di Kabupaten Kendal, semua bentuk protes tersebut diwujudkan dengan aksi
pengambilalihan tanah (reklaim) yang dilakukan para petani di semua wilayah
tersebut.
Berbeda dengan pemerintah yang menganggap pendudukan tanah oleh
petani merupakan suatu bentuk tindakan yang illegal serta berujung pada

11

kriminalisasi petani. Sitorus (2006) menganggap gerakan rakyat tersebut sebagai
suatu bentuk reforma agraria dari bawah (land reform by leverage). Reforma
agraria dari bawah yang dimaksudkan oleh Sitorus adalah reforma agraria aras
lokal yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh komunitas lokal. Gagasan tentang
jalur reforma agraria tersebut menunjuk pada tiga pelaku utama yaitu pemerintah,
swasta, dan komunitas (petani). Ia juga mengkategorikan tiga tipe reforma agraria
dari bawah berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, yaitu: aneksasi, kultivasi
dan integrasi. Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada
tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan illegal membuka, bercocok
tanam dan sekaligus bermukim di sebidang tanah negaranya. Kultivasi merujuk
pada ambiguitas status tanah yang di reklaim. Di satu sisi ia di reklaim dan secara
faktual ditanami dan diusahakan oleh penduduk, tetapi di sisi lain tanah tersebut
masih di klaim dan secara faktual masih dikelola oleh Negara. Integrasi adalah
tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal
dalam manajemen sumberdaya hutan.

Kondisi Pasca Reklaim
Sebagai bagian dari aksi-aksi yang dilakukan oleh petani, reklaim
merupakan salah satu aksi yang umumnya terjadi dilakukan oleh para petani di
Indonesia. Terlebih ketika pada era ini dimana banyak pihak baik swasta maupun
pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan serta hak-hak para petani.
Bahkan dalam skala makro, Kathleen Gillogly4 melihat gejala hilangnya lahan
milik petani pada saat ini juga karena dipengaruhi faktor industri dan
keberpihakan sistem Negara terhadap kapitalis, lahan petani tradisional dapat
dengan mudah diambil alih oleh bisnis pertanian skala besar yang pada akhirnya
menyingkirkan dan tentunya “membunuh” para petani tradisional (Syarikin 2013).
Tanah dan lahan sebagai simbol eksistensi petani, tentunya membuat
reklaim sebagai suatu aksi yang diharapkan mampu merepresentasikan aspirasi
serta keinginan mereka atas dominasi dan ketidakberpihakan para aktor-aktor
besar yang ada. Dalam melakukan reklaim, aksi harus dilakukan secara terencana
dan sistematik, karena reklaim tidak hanya sebagai simbol amarah atau
perlawanan, namun juga simbol kemampuan dan pemahaman petani atas hak-hak
yang secara konstitusional mereka miliki. Seperti halnya yang disebutkan dalam
UUPA pasal 5, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa di Indonesia pada dasarnya adalah hukum adat (dengan hak-hak
ulayatnya), sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara. Oleh karena itu, dalam reklaim idealnya para petani harus mampu
mewujudkan amanat konstitusi tersebut tanpa harus anarkis dan melanggar
hukum. Lebih lanjut, menurut Wujardjo dan Perdana (2001), terdapat tiga tahap
dalam reklaim yang dapat menggambarkan prosesnya secara komperhensif, yaitu:
1. Pra Reklaim
2. Pelaksanaan Reklaim
3. Pasca Reklaim
4

Kathleen Gillogly merupakan antropolog Universitas Wisconsin, Amerika Serikat yang
memaparkan tentang fenomena petani dan pertanian di Asia Tenggara yang terus digerus oleh
teknologi dan/atau kapitalis besar.

12

Pasca reklaim diartikan sebagai tenggat waktu yang cukup terhadap
penguasaan obyek reklaim dimana tingkat resepsi dari pihak lain yang anti
reklaim sudah mereda. Tindakan-tindakan yang dilakukan pasca reklaim:
 Menata penguasaan obyek reklaim, berupa pembagian obyek reklaim
dan penguasaan bersama, dimana pilihan penataan penguasaan
diserahkan pada mekanisme lokal, dan bukan ditentukan oleh
sekelompok orang atau bahkan pihak luar;
 Mengembangkan penataan produksi, merupakan bentuk upaya
manajemen produksi yang meningkatkan produktivitas hasil produksi,
meliputi pengelolaan sumber daya alam, pendayagunaan hasil panen,
pemasaran, akses kredit, akses penggunaan alat-alat produksi,
pengairan dan konversi lahan, dan lainnya dengan perencanaan atau
strategi lokal yang mandiri.
 Mengupayakan pengakuan hukum (legalisasi), dengan konsekuensi
yang harus dihadapi merupakan bagian dari proses “serangan langit”.
Rakyat tidak harus terjebak untuk terus menerus berharap perubahan
dari kearifan Negara (reform by grace), namun menata kekuatan lokal
untuk merebut kembaliakses sumber daya alam berdasarkan inisiatif
rakyat itu sendiri (reform by leverage). Sesungguhnya pengakuan
pemerintah tidak sepenuhnya dapat menjamin kepemilikan yang telah
berhasil diperoleh melalui perjuangan reklaim.
Kondisi pasca reklaim pada dasarnya mengarah pada struktur maupun
kondisi ideal yang berawal dari proses diskusi dan awal inisiasi hingga aksi dan
dampak positif yang dihasilkan oleh reklaim. Kondisi ideal tersebut juga secara
implisit mengisyaratkan tentang adanya faktor internal yang kuat berpengaruh
seperti, kesiapan kelompok sebelum melakukan reklaim, hingga kemampuan
mereka mengorganisikan kelompok. Namun pada tahapan realitasnya, berbagai
kondisi tersebut dapat berubah dan tidak sesuai seiring dengan berbagai dinamika
yang terjadi, yang dapat menyebabkan reklaim dengan output positif, maupun
negatif.

Kesejahteraan Petani
Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif,
tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan
itu sendiri. Suharto (2005) menyintesiskan konsep kesejahteraan yang sering
diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Menurutnya sedikitnya
ada empat makna yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut:
1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being).
2. Sebagai pelayanan sosial,
3. Sebagai tunjangan sosial.
4. Sebagai proses atau usaha terencana
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

13

melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang
berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum
terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh
pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami
hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan
secara layak dan bermartabat.
Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996) dapat dirumuskan sebagai
padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat
indikator yaitu: (1) Rasa aman (security), (2) Kesejahteraan (welfare), (3)
Kebebasan (freedom), dan (4) Jati diri (Identity)
Menurut Kolle (1974) dalam Bintarto dan Hadisumarmo (1979),
kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:
1) Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah,
bahan pangan dan sebagianya;
2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh,
lingkungan alam, dan sebagainya;
3) Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas
pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;
4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika,
keserasian penyesuaian, dan sebagainya.
Menurut Drewnoski (1974) dalam Bintarto dan Hadisumarmo (1979),
melihat konsep kesejahteraan dari tiga aspek; (1) dengan melihat pada tingkat
perkembangan fisik (somatic status), seperti nutrisi, kesehatan, harapan hidup,
dan sebagianya; (2) dengan melihat pada tingkat mentalnya, (mental/educational
status) seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya; (3) dengan melihat pada
integrasi dan kedudukan sosial (social status)
Sedangkan menurut Sunarti dan Khomsan (2012) kesejahteraan keluarga
petani merupakan tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional.
Namun menurut Sunarti dan Khomsan (2012) pula jika merujuk UU No 10 Tahun
1992 (UU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera), keluarga sejahtera dimaknai secara luas yaitu: ”keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual, dan materiil yang layak,bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan”. Mengingat luas dan lebarnya
rentang kualitas kebutuhan dasar individu dan keluarga, maka dalam definisi
operasionalnya, kesejahteraan seringkali direduksi menjadi sebatas terpenuhinya
kebutuhan fisik dasar minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan
pendidikan. Pengukurannyapun seringkali hanya dilakukan secara objektif,
padahal kesejahteraan menyangkut aspek persepsi individu atau keluarga terhadap
kondisi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Oleh karenanya sekarang
dikembangkan pengukuran kesejahteaan keluarga dengan menggunakan dua
dimensi; objektif dan subjektif. Hal tersebut didukung fakta di lapang bahwa
antara kesejahteraan objektif dan subjektif seringkali tidak searah. Individu atau
keluarga yang menurut pengukuran objektif telah sejahtera belum tentu secara
subjektif telah merasa demikian, dan sebaliknya. Oleh karena itu sangat penting
untuk melihat kesejahteraan dari dua sisi tersebut.

14

Kerangka Pemikiran

Perlawanan petani muncul akibat adanya ketimpangan struktur agraria di
pedesaan. Ketimpangan tersebut meliputi hal kepemilikan dan penguasan lahan
yang tidak seimbang. Kesenjangan penguasaan lahan antara pihak kapitalis dan
petani semakin memperburuk kondisi ketimpangan yang ada. Kepemilikan lahan
skala besar yang cenderung dikuasai oleh pihak pemodal besar yang berpotensi
menyingkirkan petani dari lahan garapan mereka. Kondisi tersebut pada akhirnya
memicu gesekan sosial yang berujung pada perlawanan petani. Perlawanan petani
umumnya merupakan aksi yang dilakukan secara kolektif dan terorganisir sebagai
respons atas kondisi yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Demikian
pula kasus yang terjadi di Desa Sukamukti, Garut, para petani di desa tersebut
yang bergabung dalam sebuah wadah perjuangan yakni Organisasi Tani Lokal
(OTL) Sukamukti. OTL tersebut merupakan representasi gerakan perlawanan
petani lokal, secara langsung berada di bawah naungan Serikat Petani Pasundan
(SPP). Salah satu bentuk perlawanan petani di OTL ini adalah dengan
melancarkan reklaim lahan eks-HGU PTPN VIII Dayeuh Manggung.
Penelitianini berfokus pada bagaimana pengorganisasian aksi reklaim
tersebut berpengaruh pada tatanan sosial-ekonomi masyarakat pasca reklaim.
Tatanan tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani di OTL
setempat. Petani seringkali menganggap keberhasilan aksi reklaim ini merupakan
akhir dari perjuangan mereka, sehingga banyak kasus menunjukan perlawanan
petani melemah tatkala mereka telah berhasil mendapatkan lahan. Padahal
sejatinya mendapatkan kembali lahan garapan ibarat pintu gerbang untuk masuk
ke tahap selanjutnya yakni, kesejahteraan petani. Dalam kerangka ini peneliti
berupaya mengskematisasikan kondisi-kondisi ideal pasca reklaim apa saja yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Kondisi-kondisi tersebut meliputi
redistribusi lahan, penataan produksi hingga pembangunan sarana dan prasarana
dasar.
Tujuan akhir yang ingin dilihat dari penelitian ini adalah mengkaji
perubahan apa yang mengikuti kesejahteraan petani. Dalam hal ini, peneliti
merujuk kesejahteraan petani pada pengertian subjektif dan objektif (Sunarti dan
Khomsan, 2012). Kesejahteraan subjektif merupakan persepsi individu terhadap
kondisi pemenuhan kebutuhan pokoknya, dalam hal ini meliputi rasa aman dan
hubungan dengan pihak lain. Sedangkan, kesejahteraan objektif merupakan
terpenuhinya kebutuhan fisik dasar seperti sandang, pangan dan papan. Dalam
penelitian ini kesejahteraan objektif meliputi kondisi tempat tinggal, tingkat
pendapatan, akses kesehatan dan akses pendidikan. Secara ringkas, kerangka
pemikiran disajikan pada gambar di bawah ini. (Gambar 1)

15

Perlawanan
Petani

Aksi Reklaim

Kondisi SosialEkonomi Pasca
Reklaim:
- Redistribusi Lahan
- Kelembagaan
Penataan Produksi
- Pembangunan
Sarana Dan
Prasarana Dasar

Kesejahteraan Petani
Subjektif
- Tingkat
Rasa
Aman
- Hubungan
Dengan
Pihak
Lain

Objektif
- Kondisi Tempat
Tinggal
- Tingkat pendapatan
- Tingkat akses
Kesehatan
- Tingkat Akses
Pendidikan

Keterangan:
Mendorong
Mempengaruhi

Diteliti Secara Kualitatif
Diteliti Secara Kuantitatif

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu hipotesis pengarah
dan hipotesis uji. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis
pengarah yang didapatkan ialah:
1. Militansi perlawanan petani mendorong aksi reklaim.
2. Pengorganisasian reklaim mempengaruhi tatanan sosial ekonomi yang
lebih mutualistis antar warga masyarakat.
Dari hipotesis pengarah di atas lalu didapatkan hipotesis uji sebagai
berikut;
1. Semakin baik kondisi sosial ekonomi pasca reklaim, maka semakin tinggi
pula kesejahteraan subjektif petani.
2. Semakin baik kondisi sosial ekonomi pasca reklaim, maka semakin tinggi
pula kesejahteraan objektif petani.

16

Definisi Konseptual

1. Perlawanan petani adalah respon masyarakat yang hidupnya bergantung pada
tanah dan usaha pertanian terhadap ketidakadilan struktur agraria yang
menghimpit mereka.
2. Aksi reklaim adalah upaya perlawanan petani dengan cara menduduki lahanlahan terlantar guna mendapatkan kembali hak mereka atas tanah.

Definisi Operasional

Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang dianalisis:
1. Kondisi sosial ekonomi pasca reklaim adalah situasi setelah masa pendudukan
tanah terjadi. Dalam masa ini biasanya dilakukan beberapa kegiatan seperti
redistribusi lahan, penataan produksi hingga pembangunan sarana dan
prasarana dasar.

Tabel 1 Variabel dan indikator kondisi sosial ekonomi pasca reklaim
Definisi
Definisi Operasional
Variabel /
Kategori
Indikator

Skala
Pengukuran

Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim

1. Redistribusi
lahan

Terdiri atas 8 pertanyaan
tertutup dan pertanyaan
terbuka
sebagai
keterangan
dengan
penilaian
sebagai
berikut:

Upaya
untuk
membagikan
lahan
hasil reklaim kepada
para anggota OTL
yang turut berjuang
mendapatkan lahan.
Ya = skor 2

Ordinal

Tidak= skor 1

2. Kelembagaan
Penataan
Produksi

Aturan
yang
mengatur bagaimana
produksi dijalankan
dimulai
dengan
pengaturan tanaman
yang
harus
diproduksi,
penyediaan
sarana
produksi
pertanian

Terdiri atas 8 pertanyaan
tertutup dan pertanyaan
terbuka
sebagai
keterangan
dengan
penilaian
sebagai
berikut:
Ya = skor 2
Tidak= skor 1

Ordinal

17

hingga
pemasaran
produksi.

3. Pembangunan
Sarana Dan
Prasarana
Dasar

proses
hasil

Upaya
untuk
membuat fasilitas dan
layanan infrastruktur
(seperti
sekolah,
jalan, irigasi dll) guna
mendukung aktivitas
ekonomi,
sosial,
budaya di pedesaan.

Terdiri dari 8 pertanyaan
tertutup dan pertanyaan
terbuka
sebagai
keterangan
dengan
penilaian
sebagai
berikut

Ordinal

Ya = skor 2
Tidak= skor 1

Pengukuran variabel dilihat berdasarkan tiga indikator (Redistribusi Lahan,
Penataan Produksi, Pembangunan Sarana dan Prasarana Dasar) pada tabel
diatas. Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu:
 Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Buruk
(Skor 24-31)
 Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Sedang
(Skor 32-39)
 Kondisi Sosial Ekonomi Pasca Reklaim Baik
(Skor 40-48)
2. Kesejahteraan subjektif adalah aspek persepsi individu terhadap kondisi
pemenuhan kebutuhan pokoknya.

Tabel 2 Variabel dan indikator kesejahteraan subjektif
Definisi
Definisi Operasional
Variabel /
Kategori
Indikator

Skala
Pengukuran

Kesejahteraan Subjektif

1. Tingkat
Rasa Aman

Variabel ini terdiri dari 5
pernyataan. Data diukur
skala
Perasaan tentram; tidak menggunakan
merasa
takut
atau likert, dengan skor:
khawatir
dalam  Sangat Aman = skor 5
menggarap di lahan  Aman = skor 4
 Biasa Saja = skor 3
garapan.
 Ti