Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap

DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP
TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI
PENGGARAP

REGINA AGUSTIN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Transformasi
Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014
Regina Agustin
NIM I34100066

3

ABSTRAK
REGINA AGUSTIN. Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap. Dibimbing oleh ENDRIATMO
SOETARTO.
Peningkatan status Banjar menjadi kota menyebabkan pembangunan di wilayah
setempat semakin intensif. Akibat pembangunan tersebut menyebabkanterjadinya
konversi sehingga lahan pertanian (lahan sawah) menjadi berkurang. Dampak
konversi terlihat pada perubahan penguasaan lahan garapan, kesempatan kerja dan
perubahan pola kerja, sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumahtangga
petani penggarap secara materiil dan moriil. Dampak konversi terhadap tingkat
kesejahteraan materiil mereka relatif meningkat namun tidak diikuti dengan

peningkatan kesejahteraan moriil mereka. Berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat
kesejahteraan rumahtangga petani penggarap menghasilkan dua varian
rumahtangga petani penggarap yang tersisih dari sosial dan ekonominya, yaitu (1)
tersisih /termaginalisasi dan (2) bertahan atau mirip dengan kondisi sebelumnya
(pra konversi).
Kata kunci: transformasi, konversi, rumahtangga, penggarap, kesejahteraan

ABSTRACT
REGINA AGUSTIN. Impact Transformation Banjar on Household Welfare
Farmers Cultivators. Supervised byENDRIATMO SOETARTO.
Improved status of Banjar into the city causing major project development in
there more intensiv. As a result of the development of agricultural land erosion
caused conversionso make decreased of agricultural land (field). The impact of
the changes seen in the conversion of arable land tenure, employment and
changes in work patterns, thereby affecting the level of household welfare
peasants materially and moriil. The impact of the conversion on the level of
material well-being of their relatively increased but not followed by an increase in
the welfare of their moriil. Based on the analysis it can be concluded that the
impact of the conversion of agricultural land to landless household welfare level

produces two variants of peasant households are excluded from the social and
economic, that (1) excluded / marginalized and (2) similar to the last or previous
condition (pre-conversion).
Keywords : transformation , conversion , households , farmers , welfare

DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP
TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI
PENGGARAP

REGINA AGUSTIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

5

Judul skripsi : Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap
Nama
: Regina Agustin
NRP
: I34100066

Disetujuioleh

Prof Dr Endriatmo Soetarto, MA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap” ini dengan baik. Skripsi ini
ditujukan untuk untuk memenuhi syarat kelulusan padaDepartemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis bertujuan untuk melihat
dampak dari adanya transformasi Kota Banjar terhadap tingkat kesejahteraan
rumahtangga petani penggarap. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti terlebih
dahulu akan menganalisis perubahan dari peningkatan status Kota Banjar yang
mengakibatkan konversi secara vertikal dan horizontal yang terjadi sehingga
menyebabkan berbagai dampak yang terjadi, yang pada akhirnya dampak yang
ditimbulkan dari konversi tersebut mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik

secara materiil maupun moriil ruamhtangga petani penggarap.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo
Soetarto, MA. sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan
selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan skripsi ini. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Bapak Agus
Sutiagraha dan Ratu Rully Irana serta seluruh keluarga besar yang telah
memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan laporam
proposal skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada seluruh temanteman terutama kepada teman-teman SKPM angkatan 47sebagai teman yang
membantu, memberi semangat, dan memotivasi penulis dalam penulisan dan
penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2014

Regina Agustin

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian


3

Tujuan Penelitian

4

Kegunaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

5
5

Kota

5


Transformasi

6

Konsep Rumahtangga Petani

7

Petani Penggarap (Tunakisma)

8

Konversi Lahan Pertanian

8

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani

12


Kerangka Pemikiran

14

Hipotesis Penelitian

15

Definisi Konseptual

16

Definisi Operasional

16

PENDEKATAN LAPANGAN

21


Metode Penelitian

21

Lokasi dan Waktu Penelitian

21

Teknik Pengambilan Informan dan Responden

22

Teknik Pengumpulan Data

23

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

23

BINGKAI POTRET KELURAHAN MEKARSARI

25

Masa Lalu Kelurahan Mekarsari

29

Masa Kini Kelurahan Mekarsari

30

TRANSFORMASI MENUJU KOTA BANJAR

33

Latar Belakang dan Proses Terbentuknya Kota Banjar

33

Tujuan Pembentukan Kota Banjar

36

Ikhtisar

38

KOTA BANJAR DAN PENYUSUTAN LAHAN PERTANIAN

41

Konversi Lahan Pertanian

41

Faktor-faktor Konversi Lahan Pertanian

43

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Vertikal di Kelurahan Mekarsari

43

Proses Konversi Lahan Pertanian secara Horizontal di Kelurahan Mekarsari 45
Ikhtisar
PELUANG USAHA/ KERJA PASCA KONVERSI LAHAN PERTANIAN

45
47

Tersisihnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Pertanian

47

Tumbuhnya Peluang Usaha/ Kerja di Sektor Non-Pertanian

48

Ikhtisar

49

DAMPAK TRANSFORMASI KOTA BANJAR TERHADAP TINGKAT
KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PENGGARAP

51

Perubahan Penguasaan Lahan Garapan

51

Perubahan Kesempatan Kerja

52

Perubahan Ragam Pekerjaan

53

Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Materiil 56
Dampak Transformasi Kota Banjar terhadap Tingkat Kesejahteraan Moriil

58

Perubahan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Penggarap Pasca Konversi
Lahan Pertanian

61

Ikhtisar

62

SIMPULAN DAN SARAN

65

Simpulan

65

Saran

67

DAFTAR PUSTAKA

69

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

93

9

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2014
Luas wilayah menurut penggunaan Kelurahan Mekarsari
Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan jenis kelamin
Jumlah penduduk Kelurahan Mekarsari berdasarkan kelompok usia
Frekuensi jumlah agama berdasarkan jumlah penduduk
Luas lahan sawah Kelurahan Mekarsari tahun 2008-2014
Presentase tingkat penguasaan lahan garapan rumahtangga petani
penggarap pra konversi dan pasca konversi
8. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut
tingkat kesempatan kerja pra dan pasca konversi di Kelurahan
Mekarsari
9. Jumlah dan persentase rumahtangga petani penggarap menurut
ragam pekerjaan pra dan pasca konversi di Kelurahan Mekarsari
10. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan
pertanian dengan tingkat kesejahteraan materiil responden
11. Tabel tabulasi silang antara variabel dampak konversi lahan
pertanian dengan tingkat kesejahteraan moriil responden

22
25
26
26
29
42
51

52
54
56
59

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran
2. Diagram persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian,
sumber data potensi Desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
3. Diagram tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Mekarsari,
sumber data potensi desa dan Kelurahan Mekarsari 2012
4. Sejarah Kota Banjar

15
27
28
34

DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Peta Kota Banjar
Daftar responden
Kuesioner Penelitian
Pedoman Wawancara
Uji statistik Rank Spearman
Uji statistik Uji T
Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data
Dokumen penelitian

73
74
75
84
86
87
89
91

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agraria berasal dari kata ager yang berarti lahan atau sebidang lahan dan
agrarius mempunyai arti yang sama dengan “perladangan, persawahan, dan
pertanian”. Secara terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan lahan
pertanian dan perkebunan (Supriadi 2007). Agraria mempunyai definisi yang
sangat luas. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960
mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi
permukaan bumi, bagian tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air.
Jadi, dapat dikatakan bahwa lahan termasuk ke dalam kategori bumi dan
merupakan bagian dari agraria. Indonesia sebagai negara agraris, memiliki potensi
yang besar dalam hal agraria terutama bidang pertanian. Sektor pertanian di
Indonesia merupakan sektor yang sangat strategis dan berperan penting dalam
perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat. Data luas baku lahan
sawah untuk seluruh Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 41 persen terdapat di
Jawa, dan sekitar 59 persen terdapat di luar Jawa (BPS 2006 dalam Wahyunto
2009).
Berbicara mengenai lahan sama halnya dengan membicarakan kehidupan
dari orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada sebidang lahan tersebut.
Ketika suatu saat lahan tersebut dirampas oleh pihak yang lebih kuat, maka terjadi
perampasan lahan yang membut berbagai pihak menjadi kelompok tersisih.
Seperti kita ketahui pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk
meningkatkan fasilitas kepentingan umum serta memenuhi kebutuhan akibat
meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, salah satunya adalah
perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian atau biasa disebut
konversi lahan pertanian. Pengertian konversi sangat beragam, tergantung dari
cara pandang dalam memahami konversi tersebut. Menurut Pasal 1 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Pengertian Pembebasan
Lahan, menyatakan bahwa pembebasan lahan merupakan pelepasan hubungan
hukum yang semula terdapat pada pemegang hak atau penguasa lahan dengan cara
memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas lahan-lahan yang dibebaskan tersebut,
berupa lahan-lahan yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan pada Undangundang No.5 Tahun 1960, lahan-lahan masyarakat hukum adat yang terdapat pada
Pasal 1 ayat (5) Permendagri Nomor 15 Tahun 1974 (Supriadi 2007). Setelah
pembebasan lahan dilakukan, lahan tersebut menjadi lahan kosong yang siap
untuk digunakan kembali sebagaimana diperuntukannya. Sebagaimana menurut
pasal 1 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Lahan,
menyatakan bahwa segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan
lahan dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas lahan tersebut
(Supriadi 2007).

2

Adanya kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan lahan pertanian
semakin beralihfungsi menjadi non-pertanian. Data menunjukkan bahwa konversi
lahan pertanian di Indonesia adalah seluas 2 917 737.5 ha sepanjang tahun 19791999. Tingkat konversi per tahun ini meningkat sepanjang tahun 1999-2002
mencapai 330 000 ha atau setara dengan 110 000 ha per tahunnya. Pada periode
1999-2002 ini, konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa mencapai 73.71
ribu ha atau 71.24 persen dari total konversi lahan pertanian di Jawa. Padahal
lahan pertanianproduktif pulau Jawa adalah lahan relatif lebih subur yang tentu
saja berkontribusi signifikan terhadap produksi pangan nasional. Laju konversi
lahan pertanian sepanjang tahun 2002 sampai 2008 diperkirakan berkisarantara
100 000-110 000 ha per tahun (Irawan 2008 : 1 dalam Handoyo 2010)
Menurut guru besar Kajian Agraria, konversi dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan
peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula merupakan penguasaan
individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah kuasa koorporasi dan negara
(institusional). Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyeksubyek agraria kuasa individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara
kuasa individual ( petani atau bukan petani) 1. Menurut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian
hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak
lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata Barat dan lahan-lahan yang
tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut
ketentuan UUPA.Konversi Lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih
fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian
merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Lahan
pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah. Penulis akan
memusatkan konversi peralihan obyek-subyek agraria ke obyek-subyek agraria
dari pertanian ke non-pertanian, baik secara vertikal maupun horizontal.
Kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum
menyebabkan petani dan penggarap harus rela kehilangan lahan sawah dan
garapannya. Akibat konversi lahan tersebut, berdampak pada pendapatan petani,
baik petani pemilik maupun petani penggarap menjadi beragam, ada yang
menurun, tetap bahkan menjadi meningkat dari kondisi sebelumnya (Hidayat et
al. 2012). Penelitian tersebut melihat perbedaan pendapatan petani dikarenakan
perubahan mata pencaharian yang diambil oleh petani, ditunjang dengan bantuan
pekerjaan dari pemerintah setelah adanya konversi lahan pertanian.
Seiring dengan perkembangan di era sekarang dalam rezim liberalistik di
masa ini, banyak praktek-praktek dari pihak yang berkuasa menindas petani yang
yang lemah dalam akses terhadap lahan, sehingga akses atas lahan yang dimiliki
oleh petani semakin berkurang atau tercabut. Oleh sebab adanya perampasan
lahan atau land grabbing yang terjadi di masa sekarang kian meningkat,
menyebabkan petani harus rela melepaskan lahannya. Perampasan lahan tersebut
dilindungi oleh hukum, seperti contoh pengadaan lahan untuk pembangunan.
Land grabbing tersebut termasuk ke dalam konversi lahan secara vertikal, dalam
kondisi ini terjadi pemotongan akses petani terhadap lahannya2.
1
2

Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 2 Desember 2013.
Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 9 Desember 2013 .

3

Kota Banjar yang terbentuk pada tanggal 21 Februari 2003 berdasarkan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2002, merupakan pecahan dari Kabupaten
Ciamis. Sebelum menjadi kota, pada awalnya Kota Banjar merupakan Kota
Administratif. Oleh karena itu, transformasi atau peningkatan status Banjar dari
Kota Administratif menjadi kota diduga telah terjadi konversi yang bertujuan
untuk pemenuhan sarana dan prasarana, perdagangan dan pembangunan
perumahan sebagai pelengkap pembangunan Kota Banjar. Kelurahan Mekarsari,
Kecamatan Banjar merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam wilayah
Kota Banjar, pada daerah ini paling banyak lahan sawah yang terkonversi. Agar
terlaksananya pembangunan tersebut, beberapa petani penggarap harus rela
kehilangan lahan garapannya dan beralih fungsi dari pertanian menjadi nonpertanian. Perubahan fungsi atau konversi tersebut, mengakibatkan terjadinya
perubahan pada tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap yang
menggarap sawah tersebut, baik dilihat dari aspek materiil maupun moriil. Oleh
karena itu, peneliti ingin melihat dampak transformasi Kota Banjar terhadap
tingkat kesejahteraan rumahtangga petani penggarap.

Masalah Penelitian
Ada latar belakang khusus seiring dengan peningkatan status Banjar
menjadi kota, sehingga pembangunan pun kian giat dilaksanakan, baik sarana dan
prasarana fisik, transfornasi, perdagangan, dan sebagainya sebagai pelengkap
pembangunan Kota Banjar. Pembentukan kota sewajarnya menyebabkan proses
konversi lahan sawah baik secara vertikal maupun horizontal di berbagai lokasi,
khusunya di Kelurahan Mekarsari. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pertanyaan,
bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses konversi
lahan pertanian menjadi non-pertanian terjadi baik secara vertikal dan
horizontal di Kelurahan Mekarsari?
Melihat semakin giatnya pembangunan yang dilakukan oleh Walikota
Banjar untuk melengkapi pembangunan Kota Banjar, pengalihfungsian atau
konversi dari lahan pertanian menjadi non-pertanian tidak dapat dihindarkan yang
memicu timbulnya konversi, sehingga muncul pertanyaan bagaimana faktorfaktor tertentu dapat menyebabkan konversi lahan pertanian di Kelurahan
Mekarsari?
Transformasi Kota Banjar menyebabkan timbulnya konversi lahan sawah,
hal ini disebabkan untuk melengkapi pembangunan kota dan sebagai imbas dari
adanya pendatang, pembangunan di lahan sawah pun tidak dapat dihindarkan.
Konversi tersebut menyebabkan berbagai dampak yang terjadi pada rumahtangga
petani penggarap, oleh karena itu muncul pertanyaan sejauhmana dampak
transformasi Kota Banjar mempengaruhi tingkat kesejahteraan baik secara
materiil maupun moriil rumahtangga petani penggarap di Kelurahan
Mekarsari?

4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah
dipaparkan yaitu menelaah dampak konversi pemanfaatan lahan pertanian
terhadap tingkat kesejahteraan petani di Kelurahan Mekarsari. Kemudian, tujuan
khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis bagaimana latar belakang pembentukan Kota Banjar dan proses
konversi lahan pertanian menjadi non pertanian baik secara vertikal dan
horizontal terjadi di Kelurahan Mekarsari.
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadi konversi lahan pertanian
di Kelurahan Mekarsari.
3. Menganalisis sejauhmanadampak transformasi dapat mempengaruhi tingkat
kesejahteraan rumahtangga petani penggarap di Kelurahan Mekarsari.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain
ialah:
1. Peneliti dan Akademisi.
Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait
fenomena konversi yang terjadi langsung di lapangan. Sedangkan untuk
akademisi hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai
dampak konversi lahan pertanian, baik secara vertikal dan horizontal serta
menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan
pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agrarian.
2. Pemerintah.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan
pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari semakin meningkatnya laju
konversi lahan pertanian.
3. Masyarakat.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
masyarakat mengenai dampak konversi lahan pertanian terhadap tingkat
kesejahteraan mereka.

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Kota
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Pasal 1, kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang
Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Kemampuan daerah
b. Potensi daerah
c. Sosial budaya
d. Sosial politik
e. Jumlah penduduk
f. Luas daerah
g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi
Daerah.
Penjelasan pasal 3 dijelaskan dalam pasal 4 sampai pasal 10 secara berturut-turut,
yaitu kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di
suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:
a. Produk domestik regional bruto (PDRB);
b. Penerimaan daerah sendiri.
Pasal 5, Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan
cerminantersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan
sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat
diukur dari:
a. Lembaga keuangan;
b. Sarana ekonomi;
c. Sarana pendidikan;
d. Sarana kesehatan;
e. Sarana transportasi dan komunikasi;
f. Sarana pariwisata;
g. Ketenagakerjaan.
Pasal 6, Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan
cerminan yangberkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat,
kondisi sosial budayamasyarakat yang dapat diukur dari:
a. Tempat peribadatan;
b. Tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
c. Sarana olah raga.

6

Pasal 7, Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan
cerminan kondisi
sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari:
a. Partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
b. Organisasi kemasyarakatan.
Pasal 8, Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e,
merupakan jumlahtertentu penduduk suatu Daerah.Pasal 9, Luas daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu
Daerah.Pasal 10, Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
g, merupakanpertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat
diukur dari:
a. Keamanan dan ketertiban;
b. Ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
c. Rentang kendali;
d. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten
dan/atau Kota;
e. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga)
kecamatan;
f. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan.
Menurut Louis Wirth mendefinisikan Kota sebagai suatu pemukiman
permanen yang cukup besar dan padat dari individu-individu yang dari segi sosial
bersifat heterogen. Di sini ‘urbanisme’ menganai tata kehidupan Kota, yang
ditentukan oleh komponen-komponen yang tercantum dalam definisi di atas.
Adanya pendekatan dari gejala pembentukan Kota dan tata kehidupan yang
berhubungan dengan itu, dapatkan dengan tegas menyebutkan untuk memandang
banyak dan padatnya penduduk serta heterogenitasnya itu sebagai komponenkomponen dari sebuah faktor yang disebut ‘urban’. Nyatanya, terdapat kota-kota
yang penduduknya cukup homogen, sedangkan daerah-daerah yang termasuk
dalam tipe pedesaan sering susunan penduduknya amat heterogen (Geoge 1980).

Transformasi
Menurut kamus Bahasa Indonesia, terdapat berbagai macam pengertian
mengenai transformasi, yaitu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)3.
Menurut Soehoed (2004) pada transformasi Jakarta sebagai ibukota propinsi
menjadi ibukota negara, pada waktu itu mengalami proses perubahan bentuk suatu
konsep daerah menjadi bentuk lain yang lebih mapan. Dijadikan ibukota nasional
karena kota yang berkembang dari masa ke masa secara bertahap dengan suatu
rencana. Kota Jakarta harus melintasi suatu reformasi dari ibukota suatu wilayah
jajahan menjadi ibukota suatu negara baru yang masih akan berkembang. Ketika
mulai membangun, tanda-tanda urbanisasi mulai memperlihatkan diri sehingga
menyebabkan kebutuhan tanah meningkat.
Menurut Sztompka (2011) memahami transformasi fundamental dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan
masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Proses transformasi (“perubahan dari”
dan tidak hanya “perubahan di dalam” saja) lebih baik bila digabungkan dengan
3

http://kamusbahasaindonesia.org/transformasi: diunduh pada tanggal 16 Januari 2014

7

kemajuan. Melihat dari transfomasi yang di dalamnya terdapat proses sosial,
begitu proses sosial itu terjadi maka ia meninggalkan bekas yang tidak dapat
dihapus dan meninggalkan pengaruh yang tidak terelakan atas proses sosial tahap
selanjutnya, contohnya perkembangan sebuah kota.
Menurut Sarigih dalam Gunawan (2013), kisah-kisah kelompok atau
individu yang memperjuangkan kemajuan desa sudah banyak dilakukan,
kesemuanya menunjuk pada satu titik penting, yaitu masyarakat pedesaan itu
sendiri yang harus bergerak dan mengupayakan perbaikan. Masyarakat pedesaan,
entah sendiri atau bersama dengan kelompok masyarakat lain di luar lingkungan
mereka perlu menentukan peran mereka mengenai apa-apa yang perlu dimajukan.
Menurut Soemarwoto (1976), banyak pembangunan di pedesaan yang bertujuan
untuk meningkatkan hidup di desa malah memperburuk situasi, hal ini terutama
berdampak pada sawah yang terletak di dekat kota digunakan untuk industri atau
bangunan lain. Lain hal menurut Astuti, Kolopaking dan Pandjaitan (2009),
transformasi sosial atau perubahan sosial merupakan hal yang pasti terjadi dalam
masyarakat. Sebagian besar pakar sosiologi memandang penting perubahan
struktural dalam hubungan, organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat.
Menurut Suryo (2009) terdapat proses transformasi sosial dan budaya, sejak
berakhirnya penjajahan Belanda dan lahirnya Indonesia menjadi tonggak
perubahan dan pergeseran berbagai dimensi kehidupan. Kota-kota di Indonesia
sebagai pusat komunitas sosial sekaligus sebagai pusat kebudayaan tidak terlepas
dari arus transformasi melalui perubahan pemerintahan dari masa ke masa. Proses
pergeseran sepanjang masa tersebut juga diikuti dengan terjadinya proses
pergeseran kota-kota di Indonesia menjadi lebih modern. Proses transformasi kota
dan kebudayaan kota di Indonesia telah berlangsung semanjak masa lampau, pada
masa kini serta mencapai puncak perkembangannya dan menuju ke arah masa
depannya. Berdasarkan uraian di atas, transfomasi kota yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah proses pergeseran sebuah wilayah rural menjadi urban.

Konsep Rumahtangga Petani
Rumahtangga (household) berbeda dengan istilah keluarga (family).
Menurut Ellis (1993) dalam Wulan (2014), keluarga adalah sebuah unit sosial
yang didefinisikan sebagai hubungan kekeluargaan antar orang namun pada
masyarakat petani kecil, keluarga tidak hanya sebatas dua orang dewasa yang
hidup bersama anak-anaknya seperti konsep keluarga inti pada konsep Barat.
Akan tetapi, rumahtangga adalah sebuah unit sosial yang berbagi tempat tinggal
yang sama atau tungku yang sama. Menurut Mattila (1999) dalam Wulan (2014),
rumahtangga adalah sebuah grup lebih dari hanya sekedar seorang individu
(meskipun seorang individu dapat juga sebagai rumahtangga), yang melakukan
berbagai aktivitas ekonomi yang diperlukan untuk bertahannya rumahtangga dan
untuk menjaga agar anggota rumahtangga tetap sejahtera.
Menurut Nakajima (1986) dalam Wulan (2014), Rumahtangga Petani
(farm household) mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit
kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian,
konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang
sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari
sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi

8

Rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitas
pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat
subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988
dalam Wulan 2014)

Petani Penggarap (Tunakisma)
Menurut hasil penelitian Sitorus et al. (2008) terdapat enam lapisan
masyarakat agraris dalam komunitas petani, salah satunya yaitu petani penggarap.
Para petani pada lapisan ini mengusasi sumberdaya agraria hanya melalui pola
pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain,
umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari kepemilikan lahan, patani
penggarap termasuk tunakisma, tetapi tidak mutlak karena dari sisi penggarapan
mereka termasuk petani pengusaha tanah. Menurut Planck (1990) dalam Munir
(2008) yang menggolongkan penduduk pedesaan berdasarkan cara penguasaan
lahan, menjelaskan pemilik dan penyakap murni adalah mereka yang tidak
memiliki lahan tetapi memiliki garapan melalui sewa atau bagi hasil. Kelompok
ini termasuk dalam tunakisma, namun jika dilihat dari garapan, termasuk
pengusaha lahan efektif.
Proses kehidupan petani di perdesaan Jawa tidak terlepas dari adanya
penguasaan lahan sawah yang jauh dari keadilan. Sebagian kecil warga
masyarakat menguasai lahan yang sangat luas, namun disisi lain sebagian besar
masyarakat memiliki lahan sawah yang sempit, bahkan tidak memiliki lahan
sawah sama sekali. Oleh karena itu, muncul istilah petani berdasi atau petani
bersafari yang merupakan segolongan orang yang menguasai lahan sawah di
perdesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas, petani ini tidak melakukan
aktivitas pertaniannya namun hanya menerima setoran uang tunai atau hasil usaha
padi miliknya (Sastraatmadja 2010).

Konversi Lahan Pertanian
a. Konsep Konversi Lahan Pertanian
Utomo et al. tahun 1992 dalam Hidayatet al. (2012) menjelaskan konversi
lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian peruntukan
penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang
dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah
tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undangundang hukum perdata barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat
untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA. Selain
itu,konversi lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan
khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke

9

lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan
proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian.
Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) konversi lahan sawah tidak
dapat dihindarkan. Hal ini dikarenakan seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun ke tahun. Sawah
bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi petani. Oleh
karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi
juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang dilakukan di
lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan konversi atau alih
fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka sekali terjadi konversi
lahan non-pertanian menjadi lahan pertanian, oleh karena itu luas lahan pertanian
dari tahun ke tahun semakin berkurang.
b. Faktor Penyebab Timbulnya Konversi Lahan Pertanian
Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian menimbulkan berbagai
dampak yang dirasakan bagi pihak yang tersisih. Dibalik semua itu, ada beberapa
faktor yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian yang dilakukan
oleh petani. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:
1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan
pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi
ekonomi.
2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi
rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah
tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah
tangga).
Menurut Nasoetion dan Winonto tahun 1996 dalam Asmara (2011)
menggolongkan alih fungsi lahan pertanian ke dalam dua faktor:
1. Berkaitan sistem pertanian, yakni perubahan land tenure system dan perubahan
dalam sistem ekonomi pertanian.
2. Faktor di luar sistem pertanian, yaitu industrialisasi dan faktor perkotaan
lainnya
Faktor-faktor tersebut dikelompokan menjadi faktor eksternal
rumahtangga petani, internal rumahtangga petani dan faktor kebijakan. Menurut
Kustiwan (1997) dan Sumaryanto (1996) dalam Asmara (2011) faktor eksternal
yang menyebabkan konversi ditentukan oleh dinamika perkotaan, seperti
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kawasan industrialisasi dan perumahan
skala besar. Kustiwan menambahkan faktor internal, yaitu kondisi sosial ekonomi
rumahtangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan
lahannya. Lanjut menurut Kustiwan, faktor kebijakan meliputi privatisasi
pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota
baru dan deregulasi perijinan dan investasi.

10

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota
Banjarbaru, konversi lahan pertanian disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian. Serupa dengan hasil
penelitian oleh Rustiadi dan Wafda (2005):
1. Daerah seputar perkotaan aktivitas urban merupakan faktor utama terjadinya
alih fungsi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu, proses alih
fungsi lahan terjadi di kawasan pedesaan, khususnya diperbatasan desa-kota
dan perbatasan budidaya-non-budidaya.
2. Nature atau instristik sumberdaya lahan, dimana penawaran dan permintaan
akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan
perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam
perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani
beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya.
3. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi
pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju
penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan
petanian.
c. Dampak Konversi Lahan Pertanian
Menurut penelitian Lestari dan Dharmawan (2011) di Kelurahan Tugu
Utara, Kecamatan Cisarua, memandang dampak negatif konversi lahan pertanian
dari segi sosio-ekonomi dan sosio-ekologi. Dampak sosio-ekonomi yaitu:
1. Perubahan pada struktur agraria. Semakin tinggi tingkat konversi yang
terjadi, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan derajat penguasaan
lahan. Selain itu, penurunan derajat penguasaan lahan diiringi dengan
penurunan derajat luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga petani.
2. Persepsi kesempatan kerja. Terdapat perbedaan kesempatan kerja di sektor
pertanian dan non-pertanian di daerah yang mengalami konversi lahan
pertanian. Semakin tinggi tingkat konversi, maka kesempatan kerja di sektor
pertanian akan menjadi semakin sulit, akan tetapi kesempatan kerja di sektor
non-pertanian menjadi mudah, namun tidak semua petani dapat mengakses
pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal ini dikarenakan kendala dalam
perbedaan kemampuan keterampilan masing-masing petani.
3. Pola kerja. Pola kerja berubah seiring dengan perubahan kesempatan kerja.
Kebanyakan rumahtangga setempat bermatapencaharian di bidang luar
pertanian. Sebagian besar lahan milik warga luar sehingga rumahtangga
setempat mengalami kesulitan untuk masuk ke bidang pertanian, kalaupun
ada hanya menjadi penggarap atau buruh tani.
4. Struktur pendapatan. Perubahan pola pekerjaan rumahtangga sebagian besar
beralih ke sektor non-pertanian adalah keinginan sendiri untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi yang lebih dari sekor pertanian. Sehingga struktur
pendapatan tiap rumahtangga pun menjadi berubah.
5. Kondisi tempat tinggal. Hubungan antara status penguasaan lahan dengan
kegiatan konversi terlihat dari semakin tingginya jumlah tempat tinggal maka
semakin besar kemungkinan terjadi konversi lahan, karena tempat tinggal
yang dimiliki sekarang berasal dari lahan yang dikonversi.
6. Hubungan antar warga. Semakin tinggi konversi yang terjadi di suatu daerah,
maka ikatan kekerabatannya menjadi berkurang/menurun dan sebaliknya. Hal

11

ini dikarenakan di tempat yang masih rendah konversi, intensitas warga untuk
berkomunikasi, kedekatan tempat tinggal, sama-sama bekerja di sektor
petanian sehingga hubungan yang terjalin antar warga bersifat horizontal
yaitu sesama warga.
7. Prostitusi. Konversi yang terjadi adalah lahan diperuntukan untuk tempat
wisata di kawasan Puncak menjadi vila, hotel dan restoran sehingga menarik
perhatian wisatawan untuk menghabiskan liburannya di kawasan ini. Akan
tetapi kondisi ini dijadikan kesempatan bagi pihak yang tidak bertanggung
jawab untuk melakukan kegiatan-kegiatan asusila.
Sedangkan dampak sosio-ekologi, yaitu dampak sosio-ekologi konversi lahan
adalah adanya perubahan pada akses rumahtangga terhadap air, cara membuang
limbah rumahtangga dan degradasi lingkungan, seperti banjir, longsor dan
kebisingan. Kebanyakan warga dengan mudah mengakses air dari Sungai
Ciliwung. Kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan sungai menjadi
kotor. Semakin tinggi tingkat konversi lahan, semakin tinggi pula pembangunan
di sektor non pertanian, sehingga pengelolaan limbah rumahtangga lebih rendah.
Hal ini dikarenakan sampah tidak diolah menjadi pupuk, seperti di Kampung
Sukatani dan begitu juga sebaliknya.
Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi
lahan sawah, terdiri dari :
1. Degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung
menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah serta akibat degradasi
ekologi lahan. Hal ini dikarenakan berkurangnya produksi padi akibat konversi
lahan bersifat permanen.
2. Penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan. Hal ini
dikarenakan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan
buruh tani karena hanya segelintir golongan saja yang dapat menikmati
kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi baru. Adanya senjang
permintaan dan penawaran tenaga kerja karena petani biasa kalah bersaing
dengan pendatang.
3. Pemubaziran investasi. Anggaran pembangunan irigasi merefleksikan nilai
investasi yang dibutuhkan. Sekian biaya yang dikeluarkan untuk pemilihraan
sistem irigasi, pembentukan kelembagaan pendukung dan sebagainya juga
harus diperhitungkan sebagai akibat dari kerugian akibat konversi lahan sawah.
4. Dampak negatif lainnya adalah akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah.
Selain itu, konversi lahan sawah yang terjadi pada suatu hamparan yang cukup
luas dan masif dengan sendirinya akan mengubah struktur kesempatan kerja
dan pendapatan komunitas setempat. Keuntungan yang dirasakan pada
golongan atas, yaitu pemilik lahan sedangkan pada golongan bawah (teruama
buruh tani dan petani gurem) mereka tidak dapat dengan mudah beralih
pekerjaan/usaha ke sektor non pertanian sehingga semakin sempit peluang
usaha yang mereka hadapi.
Menurut Sihaloho (2004) dalam penelitiannya di Kelurahan Mulyaharja,
Kecamatan Bogor Selatan, konversi lahan pertanian berdampak pada perubahan
aspek, yaitu:
1. Perubahan pola penguasaan lahan. Perubahan yang terjadi akibat konversi
yaitu terjadinya perubahan penguasaan tanah. Petani pemilik berubah menjadi
penggarap dan penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari

12

perubahan ini adalah buruh tani sulit untuk mendapatkan lahan dan terjadi
proses marginalisasi.
2. Perubahan pola penggunaan lahan. Konversi lahan menyebabkan pergeseran
tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria. Konversi lahan pertanian
menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian
yang makin tinggi.
3. Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang semakin terbatas
menyebabkan berubahnya sistem pembagian hasil, demikian juga munculnya
sistem tanah baru, yaitu sistem sewa dan jual gadai.
4. Perubahan pola nafkah agraria. Keterbatasan lahan
pertanian
dan
keterkelurahankan ekonomi rumahtangga menyebabkan pergeseran mata
pencaharian dari pertanian menjadi non pertanian.
5. Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan
penurunan atau kemunduran dalam kemampuan ekonomi (pendapatan
semakin menurun).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota
Banjarbaru yang menyatakan bahwa, konversi lahan pertanian dapat berdampak
positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya kapasitas
produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan
hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia,
berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, dan
pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah
adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam
usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena
tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan Dampak positif adalah
petani atau pemilik lahan dapat meningkatkan pendapatan mereka.
Penelitian oleh Metera (1996), menyatakan bahwa konversi lahan
pertanian berdampak positif, hal ini dikarenakan memanfaatkan uang ganti rugi
atas lahan tersebut. Adanya perbaikan keadaan kehidupan petani pada keadaan
(jenis dan luas rumah), fasilitas rumah dan pemilikan alat-alat transportasi. Selain
itu, dampak negatif dari konversi lahan pertanian yaitu penurunan luas lahan
sawah. Menurut Bachriadi dan Lucas (2011), konversi lahan berdampak pada
hilangnya nafkah pada buruh tani, hilangnya lahan garapan maka hilang juga
persediaan pangan, sehingga menimbulkan pengangguran. Hal tersebut
berimplikasi pada mental diri petani yang tadinya sibuk bertani sekarang hanya
lebih sering berdiam diri. Sebagai contoh kasus di Cimacan, karena lahannya
digusur untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas, beberapa petani lebih sering
termenung berdiam diri, hanya sesekali ngobyek di Cibodas.

Gambaran Umum Kesejahteraan Petani
Pasal 1 yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sedangkan
menurut Yosep (1996) dalam Furi (2007) mengungkapkan dua pendekatan
kesejahteraan, yakni :

13

a. Pendekatan mikro, kesejahteraan dinyatakan dengan indikator-indikator yang
disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat
berdasarkan data empiris suatu masyarakat.
b. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi
individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.
Menurut BKKBN4merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52
Tahun 2009yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Menurut BPS 2006 dalam Utami (2013) untuk mengukur seberapa tinggi
tingkat kesejahteraan suatu individu, diperlukan berbagai indikator dari berbagai
dimensi. Sama seperti definisi dari konsep kesejahteraan, sebuah indikator yang
menyatakan apakah individu sejahtera atau tidak, juga memiliki berbagai versi
dari banyak ahli. BPS menyatakan untuk mengetahui kesejahteraan seseorang,
maka ada 6 hal yang mengindikasikan, antara lain kependudukan, kesehatan dan
gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan
lingkungan serta sosial dan budaya. Menurut Sawidack (1985) dalam Lestari
(2010) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh
seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, akan tetapi dari
kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena
tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi pendapatan
tersebut. Kesejahteraan akan dirasakan bila kebutuhan dasar (sandang, pangan dan
papan) dan sekunder telah terpenuhi, disamping kebutuhan batiniah (rasa aman,
rasa puas dan rasa bangga). Bila kesejahteraan materiil dan batin atau moriil
terpenuhi maka akan terbentang dalam dirinya adalah akutualisasi diri yang lebih
tinggi, tercipta full capacity sesuai dengan predikat yang disandangnya.5
Kaitan antara struktur agraria dengan kesejahteraan petani sangat erat
karena bagi para petani sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah utama.
Melalui pengusahaan sumberdaya lahan diharapkan para petani akan memiliki
pengahasilan yang cukup dan berkelanjutan, sehingga tujuan utama para petani
untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup dan membuat kehidupan yang lebih
baik dapat tercapai (Sitorus et al.2008). Arti berkelanjutan menurut Haan (2000)
dalam Sitorus et al. (2008) adalah suatu mata pencaharaian dapat dikategorikan
sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasar serta menjamin orang untuk dapat menghadapi
goncangan dan tekanan.

4

http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx [diakses pada tanggal 13 Maret 2014]
Hasil wawancara dengan Prof. Endriatmo Soetarto pada, tanggal 22 April 2014

5

14

Kerangka Pemikiran

Seiring dengan peningkatan status menjadi Kota Banjar, telah terjadi
proses transformasi. Transformasi Banjar dari kota administratif menjadi kota
akan menyebabkan perubahan serta pembangunan, baik dalam melengkapi
pembangunan sarana dan prasana juga untuk pembangunan perumahan karena
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Karena hal
tersebut, maka diperlukan sejumlah lahan untuk berdirinya sebuah bangunan,
sehingga tidak menutup kemungkinan lahan sawah telah dikonversi menjadi nonpertanian untuk berbagai keperluan pembangunan. Dilihat dari perpindahan lahan
tersebut, konversi lahan pertanian dapat terjadi di dua arah, yaitu konversi vertikal
dan konversi horizontal yang dijelaskan secara deskriptif. Akibat terjadi konversi
lahan pertanian tersebut menyebabkan dampak yang dirasakan bagi petani
penggarap yang dilihat dari tingkat penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan
kerja dan perubahan pola pekerjaan. Dampak konversi lahan pertanian tersebut
mempengaruhi pada tingkat kesejahteraan baik secara materiil yang dilihat dari
tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan tingkat konsumsi pangan dan
kesejahteraan moriil dilihat dari tingkat hubungan antar warga dan keamanan
bekerja. Secara garis besar, kerangka pemikiran dapat dilihat pada pada Gambar
1.

15

Transformasi Kota

Konversi Lahan Pertanian:
1. Konversi Vertikal
2. Konversi Horizontal

Dampak Konversi
lahan pertanian:
1. Perubahan
Penguasaan lahan
garapan
2. Perubahan
Kesempatan kerja
3. Perubahan ragam
pekerjaan

Tingkat Kesejahteraan

Materiil :
1. Tingkat
Pendapatan
2. Tingkat
Kepemilikan Aset
3. Tingkat Konsumsi
Pangan
4. Tingkat
Pendidikan
5. Akses terhadap
sarana kesehatan

Keterangan

Moril:
1. Frekuensi
Hubungan Antar
Warga
2. Keamanan
pekerjaan

:
: Menyebabkan
: Penelitian secara deskriptif
: Terdiri dari
: Mempengaruhi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang
didapatkan adalah sebagai berikut:
Hipotesis Pengarah
1. Diduga transformasi Kota Banjar menyebabkan konversi lahan pertanian di
dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal

16

2. Diduga konversi lahan pertanian di dua arah, yaitu konversi vertikal dan
konversi horizontal menyebabkan dampak pada tingkat penguasaan lahan
garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan pola pekerjaan
Hipotesis Uji
1. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat
kesejahteraan materiil rumahtangga petani penggarap
2. Terdapat hubungan antara dampak konversi lahan pertanian dengan tingkat
kesejahteraan moriil rumahtangga petani penggarap

Definisi Konseptual

1. Transformasi kota adalah perubahan status dariKota Administratif menjadi
kota.
2. Konversi vertikal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria yang semula
merupakan penguasaan individual menjadi obyek-subyek agraria di bawah
kuasa koorporasi dan negara (institusional).
3. Konversi horizontal adalah peralihan dari obyek-subyek agraria kuasa
individual ke obyek-subyek agraria lainnya yang juga setara kuasa individual (
petani atau bukan petani).
4. Dampak konversi lahan pertanian adalah suatu kondisi atau keadaan setelah
terjadinya konversi yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa
aspek.
5. Tingkat kesejahteraan adalah suatu ukuran dimana petani dapat memenuhi
kehidupannya secara materiil dan moriil.

Definisi Operasional

1. Dampak konversi lahan pertanian adalah akibat dari adanya konversi lahan
pertanian yang dirasakan oleh rumahtangga petani penggarap pasca konversi
yang menyebabkan adanya perubahan pada beberapa aspek, yaitu tingkat
penguasaan lahan garapan, tingkat kesempatan kerja dan perubahan ragam
pekerjaan. Dampak konversi diukur dengan metode penelitian kuantitatif.
Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori:
Berdampak rendah (nilai 6-7) skor 1, berdampak