Efficiency Production of National Sugar Mills.
EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA NASIONAL
MANAOR BISMAR NABABAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Efisiensi Produksi
Pabrik Gula Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Manaor Bismar Nababan
NRP. H353090071
RINGKASAN
MANAOR BISMAR NABABAN. Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional.
Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG.
Pabrik gula merupakan salah satu industri strategis di Indonesia karena
output pabrik gula dapat memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri
lainnya, dan penyediaan lapangan pekerjaan. Faktanya produksi gula nasional
tidak dapat memenuhi konsumsi gula nasional. Pabrik gula tidak dapat
meningkatkan produksi gula karena kadar sukrosa yang penting untuk proses
produksi gula banyak yang hilang. Kehilangan sukrosa yang dilihat dari rendemen
tebu berdasarkan informasi dari penelitian lain disebabkan oleh mesin sudah
berusia tua, kapasitas produksi yang relatif rendah, bahan baku dominan milik
rakyat, dan lahan yang tidak subur di luar Jawa. Oleh karena itu, tujuan penelitian
ini untuk mengukur efisiensi pabrik gula nasional, menelusuri faktor dan
mengukur faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional. Untuk menjawab tujuan
tersebut, kajian ini menggunakan panel data dari 26 pabrik gula dengan
menggunaan model data envelopment analysis (DEA) dan random effects.
Hasil penelitian menunjukkan pabrik gula nasional tidak efisien karena
terjadi inefisiensi sebesar 6.70 persen dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Pabrik
gula yang tidak efisien menunjukkan rasio input dan output yang relatif tinggi
daripada pabrik gula lainnya. Pabrik gula kapasitas produksi kecil dan kapasitas
produksi sedang tidak efisien jika dibandingkan dengan kapasitas produksi besar.
Hal tersebut dikarenakan penggunaan tebu, tenaga kerja, kapasitas produksi, dan
bahan bakar yang relatif tinggi pada kedua pabrik gula tersebut. Penggunaan input
yang relatif tinggi juga terjadi pada pabrik gula usia mesin di atas 30 tahun
daripada pabrik gula pabrik gula usia mesin di bawah 30 tahun. Pabrik gula luar
Jawa lebih efisien daripada pabrik gula Jawa dalam hal penggunaan tenaga kerja
dan bahan bakar yang rendah. Akan tetapi, isu mengenai lahan yang subur di Jawa
tidak terbukti karena rendemen tebu tidak terjadi perbedaan pada kedua pabrik
gula tersebut.
Penilaian pengaruh faktor manajerial maka faktor usia mesin, rendemen
tebu rakyat/tebu sendiri berhubungan negatif terhadap efisiensi sedangkan faktor
kapasitas produksi berhubungan positif terhadap efisiensi. Faktor yang tidak
mempengaruhi efisiensi terdapat pada lokasi pabrik gula. Hal tersebut menyatakan
bahwa lokasi pabrik gula di Jawa maupun luar Jawa tidak ada hubungan dengan
efisiensi.
Usaha peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan cara pergantian mesin
dan peningkatan kapasitas produksi secara serentak. Akan tetapi, usaha tersebut
jika dilakukan serentak pasti menghadapi permasalahan pada dana yang besar dan
pengusaan tebu. Oleh karena itu, usaha peningkatan efisiensi kedua hanya terletak
pada pergantian mesin. Pergantian mesin dilakukan dengan target input yang
merupakan gambaran pada manajer pabrik gula dalam menggunakan input. Pabrik
gula yang bahan baku dominan milik rakyat dapat meningkatkan rendemen tebu
jika jadwal tanam dan giling dilakukan serentak dan penggunaan bibit tebu yang
keprasan maksimal tiga kali. Hal tersebut berdasarkan petunjuk teknik budidaya
tebu milik pabrik gula.
Kata Kunci: Efisiensi, Pabrik Gula Nasional, Mesin, Tebu.
SUMMARY
MANAOR BISMAR NABABAN. Efficiency Production of National Sugar
Mills. Supervised by NUNUNG KUSNADI and WILSON HALOMOAN
LIMBONG.
The sugar factory is one of the strategic industries in Indonesia because of
the sugar mill output can meet the basic food needs, the needs of other industries,
and providing jobs. In fact the national sugar production can not meet national
sugar consumption. Sugar mills can not increase the production of sugar because
sucrose levels which are necessary for the production of sugar lost. Loss of
sucrose as seen from yield of sugarcane based on information from other studies
due to the machines are old, relatively low production capacity, raw materials
predominantly owned by the people, and infertile land outside Java. Therefore, the
purpose of this study was to measure the efficiency of the national sugar factories,
tracing factors and determinants measure the efficiency of the national sugar mill.
To answer these objectives, this study uses panel data from 26 sugar factories by
the use of data envelopment analysis models (DEA) and random effects.
The results showed the national sugar factory is inefficient due to the
inefficiency of 6.70 percent from 2006 to 2011. Inefficient sugar mills which
shows the ratio of input and output is relatively higher than other sugar mills.
Sugar mill production capacity of small and medium production capacity is not
efficient when compared with large production capacity. That is because the use
of the cane, labor, production capacity, and the fuel is relatively high in both sugar
factory. Relatively high input use also occurs at the sugar factory machine age of
30 years instead of the sugar mill sugar mill machinery under the age of 30 years.
Sugar factories outside Java is more efficient than the sugar mills of Java in terms
of employment and low fuel. However, the issue of fertile land in Java is not
proven because the yield of sugarcane is not any difference in both the sugar
factory.
Assessment of managerial factors influence the machine age factor, the
yield of sugarcane/sugarcane itself is negatively related to production capacity
efficiencies while factors are positively related to efficiency. Factors that do not
affect the efficiency of the sugar contained in the plant site. It is stated that the
location of the sugar mills in Java and outside Java no relationship with
efficiency.
Efforts to increase the efficiency can be done by the turn of the engine and
increased production capacity simultaneously. However, the effort if done
synchronously definitely face great problems in funding and procurement of
sugarcane. Therefore, efforts to increase the efficiency of the two lies only at the
turn of the engine. Substitution is done with a machine that is a picture of the
target input in the sugar factory managers in using the input. Sugar factories
belonging to the people of the dominant raw material can increase the yield of
sugarcane planting schedule and milled if done simultaneously and the use of seed
cane that keprasan maximum of three times. It is based on sugarcane cultivation
techniques clue owned sugar mills.
Keywords: Efficiency, National Sugar Mill, Machine, Sugarcane.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA NASIONAL
MANAOR BISMAR NABABAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr.Ir. Ratna Winandi, MS
Dr Meti Ekayani, S.Hut, MSc
Judul Tesis
: Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional
Nama Mahasiswa
: Manaor Bismar Nababan
NRP
: H353090071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Prof Dr Ir Wilson H Limbong, MS
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana,
llmu Ekonomi Pertanian,
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Tanggal Ujian: 19 September 2013
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Hormat dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Surgawi,
atas kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penyelesaian tesis ini terwujud karena bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus
kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof.
Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS sebagai anggota komisi pembimbing,
yang selalu memberikan bimbingan dan arahan dari proses penelitian sampai
penyelesaian tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
dan seluruh dosen pengajar yang telah memberikan bimbingan melalui proses
pengajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Kedua orang tuaku yaitu: Bapak Posman Nababan dan Ibu Barita Rotua
Simbolon. Mereka telah memberikan dukungan melalui doa dan materi selama
proses perkuliahan di IPB. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
adikku dan saudara yang turut serta memberikan doa dan dukungan.
3. Teman-teman EPN angkatan 2009 dan teman-teman di Wisma Fio.
4. Seluruh staf Program Studi EPN yang senantiasa memberikan dukungan
selama perkuliahan hingga menyelesaikan studi.
5. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
serta memberikan dukungan sampai penyelesaian studi.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada pihak
yang memerlukan informasi mengenai proses produksi di pabrik gula, kalangan
akademisi, dan pihak-pihak lain.
Bogor, November 2013
Manaor Bismar Nababan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
5
5
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Teknis Perusahaan
Pendekatan Efisiensi Teknis
6
6
9
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Efisiensi Produksi
Model DEA
DEA Asumsi CRS
DEA Asumsi VRS
Model Faktor Penentu Efisiensi
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis
10
10
12
13
18
21
23
24
4 METODE PENELITIAN
Lokasi, Waktu, dan Metode Penelitian
Metode Pengambilan Sampel dan Teknik Pengambilan Data
Jenis dan Sumber Data
Model dan Analisis Data
Analisis Efisiensi Teknis
Analisis Faktor Penentu Efisiensi Teknis
Definisi Operasional Variabel
5 PEMBAHASAN
Karakteristik Produksi Pabrik Gula Nasional
Efisiensi dan Skala Produksi Pabrik Gula Nasional
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Kapasitas Produksi
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Usia Mesin
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Lokasi Lahan
Pengaruh Faktor Manajerial Terhadap Efisiensi Pabrik Gula
Usaha Peningkatan Efisiensi Pabrik Gula Nasional
6. Simpulan dan Saran
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
24
24
25
26
26
26
29
29
31
31
32
35
37
41
43
48
53
53
54
55
58
88
DAFTAR TABEL
1 Produksi konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2000-2010
2 Produksi tebu, gula, dan rendemen gula nasional tahun 2001-2010
3 Harga lelang, harga impor, dan rasio harga impor dan lelang tahun
2004-2010
4 Aturan skala produksi
5 Aturan untuk penilaian efisiensi dan MPSS
6 Pangsa produksi gula dan gula tetes pada sampel pabrik gula tahun
2006-2011
7 Karakteristik produksi pabrik gula nasional
8 Nilai OTE, PTE, dan SE orientasi input pabrik gula nasional tahun
2006-2011
9 Nilai OTE pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun 2006-2011
10 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun
2006-2011
11 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan usia mesin tahun 2006-2011
12 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan lokasi lahan tahun 2006-2011
13 Faktor penentu efisiensi teknis keseluruhan (OTE)
14 Target input pabrik gula dan persentase pengurangan input berdasarkan
kapasitas produksi tahun 2006-2011
15 Perbandingan rendemen tebu pada pabrik gula bernomor 1 tahun 20062011
1
3
3
20
21
25
32
33
35
36
39
42
43
51
53
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Konsep efisiensi
Konsep fungsi produksi batas dan rata-rata
Konsep slack dan radial movement orientasi input
Konsep slack dan radial movement orientasi output
Konsep Efisiensi OTE, PTE, SE, dan skala produksi orientasi input
11
12
17
17
19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Input dan output pabrik gula nasional tahun 2006-2011
2 Nilai efisiensi pabrik gula nasional tahun 2006-2011
3 Rujukan efisiensi dan skala produksi pabrik gula nasional tahun 20062011
4 Target input pabrik gula nasional pada model DEA asumsi VRS tahun
2006-2011
5 Target input pabrik gula nasional pada model DEA Asumsi CRS Tahun
2006-2011
6 Data panel faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional tahun 20062011
7 Statistik faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional
8 Uji statistik pabrik gula berdasarkan usia mesin
9 Uji statistik pabrik gula berdasarkan lokasi lahan
10 Instruksi perangkat lunak pada penelitian pabrik gula nasional
59
62
63
65
67
68
71
73
79
85
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia
karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok,
kebutuhan industri lainnya, dan penyedia lapangan pekerjaan. Produksi gula ada
dua, yaitu: gula dan gula tetes (molasses). Gula bermanfaat untuk memenuhi
konsumsi gula yang berada pada posisi ke-enam dari pangan pokok lainnya,
dengan rata-rata konsumsi gula mencapai 7.63 kilogram per kapita per tahun sejak
tahun 2009 sampai tahun 2011 (BPS 2011). Gula tetes bermanfaat untuk bahan
baku industri farmasi dan pakan ternak (P3GI 2008).
Potensi yang besar dari gula dan gula tetes tersebut membuat pabrik gula
nasional berusaha meningkatkan produksi. Produksi gula nasional dihasilkan oleh
pabrik gula yang tersebar di Jawa dan luar Jawa. Pabrik gula di Jawa berjumlah
48 pabrik dan pabrik gula di luar Jawa berjumlah 12 pabrik (DGI 2011). Bahan
baku gula diperoleh dari perkebunan tebu yang kemudian diolah di pabrik gula
dan selanjutnya didistribusikan ke konsumen. Proses produksi dari perkebunanan
tebu, distribusi tebu ke pabrik, pengolahan tebu menjadi gula dan gula tetes
sampai distribusi ke konsumen dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.40 juta
orang sehingga dapat membantu program pemerintah dalam mengurangi tingkat
pengangguran (Susila 2005).
Pabrik gula nasional awalnya didirikan pada zaman pendudukan Belanda
di Indonesia. Periode tersebut merupakan zaman kejayaan pabrik gula nasional
karena produksi gula dapat mencapai tiga juta ton per tahun sementara konsumsi
gula sebesar 600 ribu ton. Produksi gula tersebut dapat dicapai karena rendemen
gula nasional mencapai 11.00 persen per tahun. Penyebab rendemen gula nasional
dapat tinggi karena teknik budidaya tebu yang baik dan penggunaan mesin yang
berusia muda di pabrik (Susila 2005).
Tabel 1. Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2001-2010
Tahun
Produksi
(juta ton)
Laju
produksi
(persen)
2001
1.82
2002
1.90
4.22
2003
1.99
4.73
2004
2.05
3.01
2005
2.24
9.26
2006
2.30
2.94
2007
2.45
6.11
2008
2.58
5.39
2009
2.30
-10.89
2010
2.29
-0.39
Rata-rata
2.19
2.71
Sumber: BPS (2011); FAO (2011) (diolah)
Konsumsi
(juta ton)
3.11
2.87
3.48
3.18
4.24
3.73
3.75
3.69
3.73
4.06
3.73
Laju
konsumsi
(persen)
-7.62
21.21
-8.59
33.15
-12.01
0.51
-1.57
1.03
9.04
3.90
Impor
(juta ton)
1.28
0.97
1.49
1.13
1.99
1.42
1.30
1.11
1.43
1.77
1.55
Laju impor
(persen)
-24.44
53.45
-24.09
76.48
-28.81
-8.59
-14.70
28.79
24.25
9.15
Nasionalisasi pabrik gula dari tangan Belanda ke Indonesia berpengaruh
terhadap produksi gula nasional. Tabel 1 menunjukkan rata-rata produksi gula
2
nasional sebesar 2.19 juta ton per tahun. Produksi gula tersebut tidak dapat
memenuhi konsumsi gula nasional yang mencapai 3.73 juta ton per tahun. Jika
dilihat dari laju maka laju produksi gula nasional hanya sebesar 2.715 persen per
tahun dimana laju tersebut lebih rendah 40.22 persen dari laju konsumsi gula
nasional per tahun. Defisit produksi gula nasional menyebabkan impor gula harus
dilakukan dengan rata-rata impor gula sebesar 1.55 juta ton dan laju impor gula
sebesar 9.15 persen per tahun.
Produksi gula nasional tidak dapat ditingkatkan karena kehilangan sukrosa
(kadar gula) relatif tinggi di pabrik gula. Penyebab pertama kehilangan sukrosa
terjadi terkait pada pasokan bahan baku (tebu) ke pabrik gula. Setiap pabrik gula
tidak ada konsolidasi lahan dengan pabrik gula lainnya karena faktanya terjadi
perebutan bahan baku sesama pabrik gula. Pabrik gula hanya fokus untuk
mendapatkan bahan baku tanpa memperhatikan kualitas tebu. Fokus tersebut
membuat pabrik gula mengambil tebu yang lokasinya relatif jauh dari pabrik gula
sehingga distribusi tebu relatif lama sampai ke pabrik gula. P3GI (2008)
menunjukkan lokasi lahan yang relatif jauh menyebabkan transfer tebu ke pabrik
gula relatif lama sehingga menurunkan bobot tebu dan kadar sukrosa masingmasing sebesar 7.73 dan 8.35 persen.
Selain fakta di atas, pabrik gula juga sering mempercepat jadwal giling
untuk mendapatkan tebu padahal tebu belum sesuai untuk di panen. Susila (2005)
menyatakan jadwal tanam dan giling yang tidak serentak menyebabkan terjadi
kehilangan sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47
dan 10.87 persen. Jadwal yang tidak serentak tersebut karena percepatan jadwal
panen tebu.
Kehilangan sukrosa mengindikasikan penurunan bobot tebu sehingga
produktivitas lahan nasional relatif rendah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata luas
lahan sebesar 388.67 ribu hektar per tahun dengan produksi tebu sebesar 29.47
juta ton per tahun. Rata-rata produktivitas lahan sebesar 76.07 ton per hektar per
tahun. Jika dibandingkan dengan negara lain maka produktivitas tebu nasional
lebih rendah daripada produktivitas lahan di Brasil dan Australia masing-masing
sebesar 10.50 dan 15.47 persen (USDA 2011). Produktivitas lahan nasional yang
rendah tersebut menunjukkan pasokan tebu di pabrik gula nasional relatif rendah
daripada pabrik gula di negara lain.
Kehilangan sukrosa juga terkait pada pengolahan tebu di pabrik gula.
Mesin yang digunakan oleh pabrik gula nasional rentan terhadap kerusakan yang
dilihat dari rata-rata jam berhenti giling di pabrik gula di atas 10.00 persen per
tahun dari tahun 1997 sampai sekarang (P3GI 2001). Jam berhenti produksi
tersebut menyebabkan penundaan giling sehingga terjadi penurunan sukrosa
potensial yang hilang sebesar 3.00 sampai 6.00 persen (P3GI 2001). Penelitian
Yuliandari (2008) menyatakan bobot tebu tidak digiling sebesar 8.35 persen
menyebabkan sukrosa potensial hilang sebesar 2.67 persen.
Kehilangan sukrosa pada pengolahan tebu di pabrik gula dapat dilihat dari
rendemen tebu. Tabel 2 menyatakan rata-rata rendemen tebu nasional sebesar 7.49
persen per tahun. Rendemen tebu nasional sekarang lebih rendah daripada
rendemen tebu jaman Belanda sebesar 31.95 persen. Jika dibandingkan dengan
rendemen tebu negara lain maka rendemen tebu nasional lebih rendah daripada
rendemen tebu negara Brasil dan Austrlia masing-masing sebesar 27.33 dan 34.91
persen (USDA 2011).
3
Tabel 2 Produksi tebu, gula, dan rendemen tebu nasional tahun 2001-2010
Tahun
Luas lahan
(ribu hektar)
2001
346.44
2002
350.77
2003
335.72
2004
344.79
2005
381.78
2006
396.44
2007
428.40
2008
433.02
2009
416.63
2010
432.71
rata-rata
386.67
Sumber: DGI (2011)
Produksi tebu
(juta ton)
25.18
27.30
22.63
26.74
31.24
30.23
33.29
32.41
30.26
35.46
29.47
Produktivitas lahan
(ton per hektar)
72.70
77.84
67.41
77.56
81.83
76.26
77.71
74.86
72.62
81.94
76.07
Produksi gula
(juta ton)
1.82
1.90
1.99
2.05
2.24
2.31
2.49
2.58
2.29
2.29
2.19
Rendemen
tebu (persen)
7.24
6.96
8.80
7.67
7.17
7.63
7.35
7.96
7.60
6.46
7.49
Mesin yang sering berhenti beroperasi karena usia mesin sudah tua (di atas
75 tahun) menyebabkan pabrik gula menanggung biaya produksi tetap yang
mencapai 700 ribu rupiah per jam (Siagian 1999; Indrayani et al. 2004). Penelitian
lain dari Siagian (2003) menyatakan keputusan pabrik gula yang menggunakan
mesin yang berusia tua menyebabkan biaya yang dikeluarkan terhadap tenaga
kerja, bahan bakar, dan tebu masing-masing berlebihan sebesar 18.50, 30.90, dan
45.90 persen.
Biaya produksi gula dapat dilihat dari harga lelang gula nasional pada
tabel 2. Rata-rata harga lelang gula sebesar 5,690.00 Rp/kg dengan rata-rata laju
peningkatan sebesar 14.31 persen per tahun. Harga lelang gula tersebut masih
lebih tinggi sebesar 41.00 persen dari harga gula impor. Rata-rata rasio harga gula
impor terhadap harga lelang gula sebesar 71.89 persen yang dijelaskan pada Tabel
2. Harga gula impor yang rendah daripada harga lelang gula menyebabkan
konsumen memilih gula impor sehingga produksi gula nasional tidak dapat
ditingkatkan.
Tabel 3 Harga lelang, harga impor, dan rasio harga impor dan lelang tahun 20042010
Tahun
Harga lelang (Rp/kg) Harga impor (Rp/kg)
2004
3,776.00
2,555.85
2005
4,798.00
3,133.62
2006
5,547.00
4,030.11
2007
5,549.00
3,837.52
2008
5,289.00
3,792.28
2009
6,758.00
5,037.16
2010
8,116.00
6,650.20
Rata-rata
5,690.00
4,035.26
Sumber: Sawit (2010); (FAO 2011) (diolah)
Rasio impor dan lelang (persen)
67.69
65.31
72.65
69.16
71.70
74.54
81.94
71.89
Harga lelang gula yang cenderung meningkat dan harga gula impor yang
lebih rendah daripada harga lelang gula mengindikasikan penerimaan pabrik gula
hanya sebesar harga gula impor dan biaya produksi gula di atas penerimaan pabrik
gula. Penelitian Indrayani et al. (2004) menyatakan biaya produksi lebih tinggi
4
daripada penerimaan sehingga salah satu pabrik gula menderita kerugian sebesar
758.00 Rp/kg. Fenomena tersebut jika dilihat dari keputusan produksi maka
banyak pabrik gula yang tidak mengolah tebu menjadi gula dan membeli gula
kasar (raw sugar) untuk diolah menjadi gula. Keputusan yang lain adalah pabrik
gula berhenti beroperasi dimana total pabrik gula yang telah berhenti beroperasi
berjumlah 11 pabrik gula dari tahun 1998 sampai sekarang (Mediadata 2009).
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi gula nasional dapat melalui
peningkatan efisiensi pabrik gula nasional. Pentingnya peningkatan produksi gula
nasional dapat menghemat devisa di atas 500.00 juta dolar Amerika per tahun
dari tahun 2000 sampai tahun 2010 (FAO 2011). Selain itu, penutupan pabrik gula
tidak perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pabrik gula
nasional sehingga dapat meningkatkan produksi gula nasional.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang selama ini terjadi pada pabrik gula nasional terletak
pada rendemen tebu rendah (7.49 persen) dari tahun 2001 sampai tahun 2010.
Rendemen tebu dipengaruhi oleh keputusan pabrik gula yang masih menggunakan
mesin berusia tua. Rata-rata usia mesin pada penelitian Indrayani et al (2004)
sekitar 75 tahun. Mesin tersebut tidak dapat menggiling tebu secara optimal
karena kerusakan yang sering terjadi di pabrik gula. Kerusakan dilihat dari jam
berhenti produksi mencapai 10.00 persen per hari dari tahun 1997 sampai
sekarang. Kerusakan tersebut menyebabkan penundaan giling tebu sehingga
rendemen tebu turun sebesar 4.50 sampai 7.00 persen per tahun (P3GI 2001).
Mesin yang tidak produktif tersebut juga menyebabkan bahan bakar yang
digunakan relatif tinggi daripada mesin yang berusia muda. Hal tersebut terlihat
pada penelitian Yuliandari (2008) yang menyatakan terjadi defisit bahan bakar
dari ampas tebu sehingga membeli solar untuk menutupi permasalahan defisit
tersebut.
Mesin yang berusia tua juga berkaitan dengan kapasitas produksi. Ratarata kapasitas produksi sebesar 3000 ton tebu hari. Permasalahan yang sering
terjadi karena mesin rusak menyebabkan efisiensi kapasitas produksi hanya
berkisar 59.00 sampai 79.00 persen (P3GI 2001). Efisiensi yang rendah tersebut
yang menyebabkan penundaan giling sehingga rendemen tebu rendah. Oleh
karena itu, pabrik gula yang kapasitas produksi relatif rendah dominan tidak
efisien daripada pabrik gula yang kapasitas produksi relatif tinggi (di atas 5000
ton tebu hari) sehingga disarankan pabrik gula meningkatkan kapasitas produksi
(Indrayani et al 2004; Siagian 1999).
Peningkatan kapasitas produksi masih dapat diperdebatkan karena rata-rata
kapasitas produksi pabrik gula di India hanya sebesar 3000 ton tebu hari tetapi
rendemen tebu di pabrik gula tersebut mencapai 8.00 persen per tahun. Rendemen
tebu tersebut masih lebih tinggi daripada rendemen tebu di Indonesia yang hanya
mencapai 7.49 persen. Singh (2007) menyatakan pabrik gula harus berorientasi
pada kemampuan mesin dan pengusaan tebu daripada peningkatan kapasitas
produksi. Pernyataan tersebut dapat diterima karena peningkatan kapasitas
produksi maka akan meningkatkan luas areal tebu yang dikuasai. Peningkatan
luas areal yang mengakibatkan lokasi lahan tebu relatif jauh dari pabrik gula
5
sehingga waktu distribusi relatif lama. Dampaknya penurunan bobot tebu dan
kadar sukrosa masing-masing sebesar 7.73 dan 8.35 persen (Supatma 2008; P3GI
2008).
Rendemen tebu selain dipengaruhi mesin dan kapasitas produksi, juga
dipengaruhi oleh lokasi pabrik gula dan tebu rakyat. Pabrik gula nasional
berjumlah 60 pabrik dimana 75 persen berada di Jawa dan sisanya di luar Jawa.
Pabrik gula dominan di Jawa karena lahannya lebih subur daripada pabrik gula di
luar Jawa. Hal tersebut terlihat pada produktivitas lahan di luar Jawa lebih rendah
sebesar 19.80 persen daripada produktivitas lahan di Jawa (DGI 2011).
Produktivitas lahan yang tinggi di Jawa menunjukkan bobot tebu lebih tinggi
sehingga produksi gula akan meningkat. Permasalahan yang terjadi di Jawa
karena bahan baku dominan milik rakyat sehingga mempengaruhi kadar sukrosa.
Ketergantungan tebu milik rakyat menyebabkan jadwal tanam dan giling yang
tidak serentak. Jadwal yang tidak serentak menyebabkan terjadi kehilangan
sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47 dan 10.87
persen (Susila 2005).
Berdasarkan uraian di atas maka hadir pertanyaan mengenai apakah mesin
yang digunakan pabrik gula masih efisien jika dilihat dari penggunaan input?,
bagaimana pengaruh usia mesin, kapasitas produksi, lokasi pabrik gula, dan tebu
rakyat terhadap efisiensi pabrik gula nasional?, dan cara apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi pabrik gula nasional?.
Tujuan Penelitian
1.
2.
Mengukur efisiensi pabrik gula nasional.
Menelusuri dan mengukur faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat langsung bagi para pelaku usaha
dan instansi terkait dengan industri gula di Indonesia. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu pedoman dalam penanganan faktor produksi di pabrik
gula. Diantisipasikan juga bahwa dengan menelaah beberapa penyebab dari
masalah faktor produksi dan dengan adanya pengertian yang lebih baik tentang
kebutuhan-kebutuhan teknologi produksi gula, maka penelitian ini dapat menjadi
sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda pencapaian target produksi
gula nasional (swasembada gula), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan
kemiskinan yang diprogramkan pemerintah.
Bagi para pengambil keputusan kebijakan di bidang pembangunan
pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.
Identifikasi terhadap berbagai faktor pengaruh, terutama sumber-sumber efisiensi,
produktivitas dan teknologi produksi dapat dijadikan bahan masukan maupun
rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merencanakan dan mengembangkan
industri gula nasional pada waktu mendatang. Rekomendasi akan diarahkan
seberapa besar tingkat efisiensi dan inefisiensi yang perlu diperbaiki dan seberapa
besar biaya yang harus dihemat dalam rangka meningkatkan keuntungan produksi
gula bagi pabrik gula. Pada akhirnya perbaikan di hilir (produksi gula) dapat
dinikmati pada bagian hulu (perkebunan tebu) karena mendapatkan keuntungan.
6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus untuk menganalisis efisiensi pabrik gula nasional.
Penelitian efisiensi dengan pendekatan fungsi produksi batas (frontier) yang
terdapat pada model DEA.
Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penelitian ini tidak menganalisis nilai ekonomi pada bagian hulu produksi
gula (perkebunan tebu) akan tetapi dibutuhkan data mengenai suplai bahan
baku untuk produksi gula.
2. Output yang diteliti ada dua, yaitu: gula kristal putih (GKP) dan gula tetes.
3. Penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 2006 sampai tahun
2011.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai efisiensi sudah banyak dilakukan di dalam maupun
luar negeri. Penelitian tersebut sering dilakukan karena input yang digunakan oleh
produsen sering tidak seimbang dengan output yang dihasilkan. Oleh karena itu,
penelitian efisiensi dilakukan untuk meningkatkan produksi dengan
memanfaatkan input (sumberdaya) yang terdapat pada produsen tersebut.
Efisiensi Teknis Perusahaan
Efisiensi perusahaan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: faktor yang
berhubungan langsung dengan produksi (on-production) dan faktor yang
mempengaruhi tidak berhubungan langsung dengan produksi (off-production).
Faktor yang tidak berhubungan dengan produksi, seperti: kebijakan pemerintah
dalam menetapkan tarif impor, pemberian subsidi, dan lain-lain. Hal tersebut
terlihat pada penelitian Akpan et al. (2012) yang menyatakan inflasi dan
pertumbuhan produk domestik bruto berhubungan negatif dengan efisiensi pabrik
gula.
Faktor yang berhubungan langsung dengan produksi ada dua, yaitu: faktor
struktural dan faktor manajerial (Ferrantino et al. 1995; Kumar et al. 2012).
Faktor struktural merupakan faktor yang mempengaruhi langsung dengan output
yang dihasilkan oleh pabrik. Contoh faktor struktural adalah bahan baku, tenaga
kerja, dan lain-lain. Faktor manajerial terkait dengan keputusan pabrik dalam
melakukan proses produksi. Contoh faktor manajerial seperti: usia mesin, rasio
penggunaan tenaga kerja terampil (ahli) terhadap total tenaga kerja.
Penelitian yang pernah ada selama ini, faktor struktural dimanfaatkan
untuk mengukur efisiensi teknis. Pengukuran efisiensi teknis tersebut didasarkan
atas hubungan input dan output. Penelitian mengenai efisiensi pabrik ada yang
menggunakan satu output dan ada yang menggunakan dua output. Efisiensi pabrik
gula yang menggunakan satu output terdapat pada penelitian, antara lain:
Widarwati (2008), Wahyuni (2007) dan Jason et al. (1995), Akpan et al. (2010).
Penelitian yang menggunakan dua output terdapat pada penelitian, antara lain:
Siagian (2003) dan Singh (2007), dan Chetchosak et al. (2012). Perbedaan output
yang digunakan disebabkan oleh penggunaan model untuk mengukur efisiensi.
7
Input pertama yang mempengaruhi produksi pabrik adalah bahan baku.
Penelitian Siagian (2003) menyatakan tebu tidak efisien digiling di pabrik gula
sebesar 18.500 persen. Singh (2007) menyatakan tebu tidak efisien digiling di
pabrik gula India sebesar 7.820 persen. Pabrik gula Thailand tidak efisien
menggiling tebu segar dan bakar sebesar 21.793 dan 26.021 persen (Chetchosak et
al. 2012). Penelitian Suratiyah et al. (2008), Widarwati (2008), Wahyuni (2007),
dan Jason et al. (1995) menyatakan tebu mempengaruhi produksi gula secara
positif masing-masing sebesar 0.641, 0.066, 0.759, dan 0.062. Wongkeawchan et
al. (2002) menyatakan padi yang digunakan di pabrik beras Thailand dan Taiwan
tidak efisien.
Input kedua yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah kapasitas
produksi. Penelitian Singh (2007) menunjukkan kapasitas giling tidak efisien
sebesar 26.580 persen. Ferrantino et al. (1995) menunjukkan kapasitas giling
mempengaruhi produksi gula sebesar 0.465. Wongkeawchan et al. (2002)
menyatakan kapasitas produksi pabrik beras di Thailand dan Taiwan tidak efisien.
Input ketiga yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah bahan bakar.
Penelitian Siagian (2003) menyatakan bahan bakar tidak efisien sebesar 18.500
persen. Pabrik gula di India tidak efisien menggunakan bahan bakar sebesar
49.470 persen. Suratiyah et al. (2008) dan Jason et al. (1995) menyatakan bahan
bakar mempengaruhi produksi gula secara negatif 0.070 dan 0.002.
Input keempat yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah tenaga
kerja. Penelitian Siagian (2003) menyatakan tenaga kerja tidak efisien digunakan
sebesar 21.700 persen. Pabrik gula di India tidak efisien menggunakan tenaga
kerja sebesar 42.900 persen. Wahyuni (2007) menyatakan tenaga kerja tetap dan
musiman mempengaruhi produksi gula secara negatif masing-masing sebesar
2.275 dan 3.806. Widarwati (2008) menyatakan tenaga kerja mempengaruhi
produksi gula secara negatif sebesar 0.239. Jason et al. (1995) menyatakan tenaga
kerja mempengaruhi produksi gula secara positif sebesar 0.062.
Input kelima yang mempengaruhi produksi gula adalah luas lahan.
Penelitian Wongkeawchan et al. (2002) menyatakan luas lahan pabrik beras di
Thailand dan Taiwan tidak efisien. Akpan et al. (2012) menyatakan luas lahan
secara signifikan dapat meningkatkan produksi gula.
Efisiensi pabrik tersebut berdasarkan fungsi struktural di atas pasti tidak
semua yang bernilai 100.00 persen atau pasti ada yang tidak efisien. Oleh karena
itu, kehadiran fungsi manajerial dapat mengetahui penyebab perusahan tidak
efisien. Faktor manajerial berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai efisiensi teknis. Manfaatnya untuk melihat sejauh mana faktor tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan efisiensi teknis pabrik.
Faktor pertama yang mempengaruhi efisiensi parik gula adalah usia
pabrik. Wongkeawchan et al. (2002) menyatakan usia pabrik menurunkan
efisiensi pabrik beras Taiwan dengan koefisien sebesar 0.0391 secara signifikan
= 0.1. Yang et al. (2009) menyatakan usia perusahaan menurunkan
pada
efisiensi perusahaan dengan koefisien sebesar 0.176 secara signifikan pada =
0.01. Agbonlahor (2010) menyatakan usia pabrik kayu menurunkan efisiensi
dengan koefisien sebesar 0.003 secara signifikan pada = 0.05. Le et al. (2010)
menyatakan usia pabrik menurunkan efisiensi pabrik secara signifikan pada =
0.01.
8
Peneliti tersebut menyatakan jika hubungan usia pabrik berhubungan
positif dengan efisiensi pabrik yang berarti sistem operasi mesin sudah mekanis
yang mengindikasikan penggunaan tenaga kerja relatif rendah sehingga biaya
produksi dapat diturunkan. Jika usia pabrik berhubungan negatif terhadap pabrik
berarti usia mesin relatif tua yang rentan terhadap kerusakan sehingga produksi di
pabrik tidak dapat ditingkatkan.
Faktor kedua yang mempengaruhi efisiensi pabrik gula adalah proporsi
staf terhadap total tenaga kerja yang disebut variabel keahlian (skill) atau tenaga
kerja tidak berproduksi (non-production labour). Staf merupakan tenaga kerja
yang tidak melakukan kegiatan produksi atau dengan kata lain tenaga kerja
pimpinan. Lakner et al. (2012) menyatakan tenaga kerja yang tidak berproduksi
meningkatkan efisiensi perusahaan buah dan sayuran dengan koefisien sebesar
1.0241 secara signifikan pada
= 0.05. Tenaga kerja yang tidak berproduksi
menurunkan efisiensi perusahaan susu dengan koefisien sebesar 7.9056 secara
signifikan pada
= 0.01. Tenaga kerja yang tidak berproduksi menurunkan
= 0.05.
efisiensi perusahaan gandum sebesar 2.2074 secara signifikan pada
Kumar et al. (2012) menyatakan keahlian (skill) meningkatkan efisiensi pabrik
gula dengan koefisien sebesar 0.3596 secara signifikan pada = 0.05. Kashiwagi
et al. (2010) menyatakan keahlian menurunkan efisiensi pabrik dengan koefisien
0.003 secara signifikan pada = 0.01.
Peneliti tersebut menyatakan jika tenaga kerja tidak berproduksi
berhubungan positif terhadap efisiensi pabrik yang berarti tenaga kerja tersebut
memiliki keahlian dalam pengawasan dan memberi pelatihan yang benar terhadap
tenaga kerja produksi sehingga produksi di pabrik dapat meningkat. Jika
berhubungan negatif terhadap efisiensi pabrik berarti tenaga kerja tersebut tidak
memiliki keahlian dalam pengawasan dan memberi pelatihan terhadap tenaga
kerja produksi.
Faktor ketiga yang mempengaruhi efisiensi adalah ukuran pabrik atau
perusahaan (mill or firm size). Ukuran pabrik berhubungan dengan aset produktif
yang dikuasai oleh pabrik, antara lain: luas lahan dan kapasitas produksi. He et al.
(2012) menyatakan ukuran pabrik menurunkan efisiensi pabrik kayu dengan
koefisien 0.093 secara signifikan pada = 0.1. Sauer et al. (2010) menyatakan
ukuran perusahaan agribisnis menurunkan efisiensi perusahaan agribisnis di
Inggris dan Wales secara signifikan pada = 0.05. Jha et al. (2001) menyatakan
ukuran perusahaan agribisnis menurunkan efisiensi perusahaan secara signifikan
= 0.01. Ferrantino et al. (1995) menyatakan kapasitas produksi
pada
berhubungan positif terhadap efisiensi pabrik gula secara signifikan.
Peneliti tersebut menyatakan jika ukuran perusahaan berhubungan positif
terhadap efisiensi berarti perusahaan dapat meningkatkan produksi melalui
peningkatan bahan baku yang ditanam di lahan tersebut. Jika berhubungan negatif
terhadap efisiensi perusahaan berarti perusahaan kesulitan mendapatkan bahan
baku karena lahan yang relatif kecil. Pendapat lain menyatakan luas lahan
berhubungan negatif terhadap efisiensi perusahaan berarti lokasi lahan untuk
penanaman bahan baku tersebar yang menyebabkan peningkatan biaya
transportasi sehingga menurunkan keuntungan perusahaan.
Faktor lainnya yang berkaitan dengan faktor manajerial terdapat pada
penelitian Ferrantino et al. (1995). Peneliti tersebut menyatakan pabrik gula di
India dipengaruhi oleh kapasitas produksi, hari produksi, status perusahaan, pol
9
tebu, dan peralatan dari luar negeri. Semua variabel tersebut berhubungan positif
terhadap efisiensi teknis dan berpengaruh secara signifikan (nyata).
Pendekatan Efisiensi Teknis
Pendekatan efisiensi teknis yang sering digunakan terdapat tiga hal, yaitu
OLS (ordinary least square), stochastic frontier (SF), dan data envelopment
analysis (DEA). Coelli et al. (1998) menyatakan penyebaran penggunaan input
terhadap output dengan metode OLS dapat di atas maupun di bawah batas
produksi (production frontier) sehingga sulit menentukan produsen yang mana
efisien atau tidak efisien. Berdasarkan itu, maka metode OLS tidak layak
digunakan.
Pendekatan pengukuran efisiensi yang menggunakan frontier ada dua,
yaitu: metode parametrik dan non parametrik (Coelli et al. 1998). Metode
parametrik ada dua, yaitu: stochastic frontier dan deterministik frontier.
Deterministik frontier pertama kali dikembangkan oleh Aigner et al. (1968)
dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Peneliti tersebut
mengemukakan seorang produsen berbeda dengan produsen lainnya dalam hal
proses produksi karena perbedaan skala operasi, parameter teknis dalam produksi,
dan struktur organisasi.
Afiat (1972) mengembangkan model yang dibuat oleh Aigner et al. (1968)
dengan menyatakan
merupakan distribusi gamma dan parameter dari model
yang diestimasi dengan menggunakan prosedur maximum likelihood (ML).
Richmond (1972) mengembangkan model dari Afiat (1972) dengan menggunakan
metode corrected ordinary least square (COLS) yang mudah di aplikasikan
karena tidak ada asumsi spesial pada error term ( ). Daryanto (2000)
menyatakan bahwa metode COLS ada dua prosedur, yaitu: model diestimasi
dengan menggunakan OLS dan intersep dikoreksi dengan menggeser ke atas
selama tidak ada residual yang positif dan nol. Residual yang terkoreksi
digunakan untuk menentukan efisiensi teknis.
Model deterministik frontier menjelaskan deviasi dari frontier berasal dari
pengaruh inefisiensi. Hal tersebut dikritik oleh Russel et al. (1983) yang
menyatakan deviasi seharusnya berasal dari kesalahan pengukuran dan gangguan
di luar kontrol petani. Faktor di luar kontrol petani seperti: kondisi cuaca, iklim,
kegagalan pasar, dan lain-lain.
Model stochastic frontier (SF) mengakomodir permasalahan yang terdapat
pada model deterministik frontier. Stochastic frontier mengizinkan kesalahan
pengukuran dan gangguan di luar kontrol produsen. Kedua hal tersebut sering
disebut random error yang diberikan lambang ( ). Selain itu, model tersebut
menangkap pengaruh inefisiensi relatif yang terdapat pada petani (Coelli et al.
1998). Inefisiensi teknis diberi lambang ( ).
Nahraeni (2012) menyatakan output stochastic frontier lebih rendah
daripada output deterministik frontier jika random error (
). Output
stochastic frontier lebih tinggi daripada output deterministik frontier jika random
error ( ) lebih besar dari inefisiensi teknis ( ). Model stochastic frontier sudah
banyak digunakan antara lain: Jason et al. (1995) dan Ferrantino et al. (1995).
Model stochastic frontier secara umum memiliki keunggulan yang
terdapat pada kehadiran kesalahan pengukuran dan gangguan di luar kontrol
10
produsen. Kelemahan model tersebut menurut Coelli et al. (1998) dan Adiyoga
(1999) yaitu: (1) Model tersebut sulit digunakan pada produsen yang
menghasilkan dua output; (2) distribusi dari inefisiensi harus dispesifikasi
sebelum mengestimasi model; (3) teknologi yang di analisis harus digambarkan
oleh struktur yang cukup rumit; (4) Input yang digunakan harus sesuai dengan
estimasi yang dibutuhkan pada properti statistik.
Metode non-parametrik terdapat pada model DEA (data envelopment
analysis). Model DEA menggunakan program matematika pada fungsi linear
programming (LP). Model DEA pertama kali dibuat oleh Charnes et al. (1978)
dengan asumsi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) untuk
mengukur efisiensi teknis tergantung pada orientasi penelitian. Efisiensi teknis
berorientasi input digunakan untuk meminimumkan proporsi penggunaan input
pada keadaan ouput yang konstan sedangkan efisiensi teknis berorientasi output
digunakan untuk memaksimumkan proporsi penggunaan output pada keadaan
input yang konstan. Model DEA kemudian dikembangkan oleh Banker et al.
(1984) untuk mengakomodasikan kondisi produksi yang berada pada kenaikan
hasil yang meningkat (increasing return to scale) dan kenaikan hasil yang
menurun (decreasing return to scale) yang dikenal dengan nama DEA VRS
(variable return to scale).
Banyak peneliti menggunakan model SF dan DEA sehingga dapat
diketahui kelemahan dan keunggulan dari masing-masing model tersebut.
Kelebihan model DEA daripada SF, yaitu: (1) Model DEA dapat menggunakan
lebih dari satu output; (2) Jumlah input yang digunakan pada model DEA dapat
lebih kecil daripada model SF karena tidak menggunakan properti statistik; (3)
Model DEA tidak membutuhkan parametrik statistik untuk menghubungkan input
dan output karena model DEA merupakan persamaan matematika; (4) nilai
efisiensi pada model DEA mencapai satu sehingga dapat menjadi rujukan
penggunaan input pada produsen lainnya yang tidak efisien. Kelemahan model
DEA daripada SF, yaitu: (1) model DEA tidak menggunakan error term sehingga
sulit diketahui penyebab inefisiensi; (2) Uji statistik tidak dapat dilakukan karena
output yang digunakan lebih dari satu; (3) Model DEA merupakan model
pengukuran titik ekstrim point (extreme point technique), jadi kesalahan
pengukuran dapat menjadi masalah dalam penelitian (Coelli et al. 1998; Singh
2007; Padilla-Fenandez et al. 2009; Kumar et al. 2012).
Model yang sesuai untuk mengukur efisiensi pabrik gula nasional adalah
model DEA. Hal tersebut didasarkan atas model DEA dapat menggunakan dua
output yang sesuai dengan output yang dihasilkan oleh pabrik gula ada dua, yaitu:
gula dan gula tetes.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Efisiensi Produksi
Produsen dalam menjalankan usahanya bertujuan untuk menggunakan
sumberdaya yang dimiliki untuk menghasilkan suatu produk yang dapat dijual
kepada konsumen. Tujuan tersebut merupakan hubungan teknis antara input yang
digunakan dengan output yang dihasilkan (Doll et al. 1984). Beberapa asumsi
11
yang terdapat pada fungsi produksi menurut Doll et al. (1984), yaitu: (1) Proses
produksi merupakan proses monoperiodik yang berarti aktivitas produksi dalam
suatu produksi waktu tertentu atau tidak digabungkan dengan periode waktu
berikutnya; (2) Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen
yang berarti tidak ada perbedaan kualitas input maupun output; (3) Akses dan
ketersediaan input tidak terbatas; (4) Tujuan produksi adalah memaksimalkan
keuntungan.
Farrell (1957) memperkenalkan efisiensi dari fungsi produksi. Efisiensi
menurut Farrell (1957) yang diacu dalam Coelli et al. (1998) ada tiga, yaitu:
efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis. Efisiensi teknis (technical efficiency)
adalah kemampuan produsen dalam menggunakan input yang minimum untuk
menghasilkan output yang maksimum. Definisi lain menunjukkan bahwa TE
adalah kemampuan perusahaan untuk memproduksi pada tingkat output tertentu
dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi
alokatif (Allocative Efficiency-AE) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk
menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi
produksi yang tetap (given). Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi
ekonomi (Economic Efficiency-EE) atau disebut juga efisiensi total. Hal ini berarti
bahwa produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan baik secara teknis maupun
alokatif adalah efisien.
X2/y
A
S
M
C
B
S‟
D
0
M‟
X1/y
Sumber: Coelli et.al. (1998)
Gambar 1 Konsep efisiensi
Gambar 1 menjelaskan ilustrasi efisiensi menurut Farrell (1957). Garis SS‟
adalah isoquant (kombinasi input yang minimum untuk menghasilkan output satu
unit yang efisien secara teknis) dan garis MM‟ adalah garis isocost (kombinasi
input yang sama untuk menghasilkan output satu unit). Efisiensi teknis terjadi jika
produsen dapat menurunkan input dari titik A ke titik C. Oleh karena itu, efisiensi
teknis adalah OC/OA. Efisiensi alokatif terjadi jika kedua biaya input menyentuh
titik B. Oleh karena itu, efisiensi alokatif adalah OB/OC. Efisiensi ekonomis
terjadi pada titik D. Oleh karena itu, efisiensi ekonomis adalah OB/OA.
Pengukuran tingkat efisiensi jika dihubungkan dengan fungsi produksi
maka garis isocost melambangkan marginal factor cost (biaya input marjinal)
sedangkan garis isoquant melambangkan value marginal product (nilai produk
marjinal). Produksi akan efisien jika nilai produk marjinal sama dengan biaya
input marjinal sedangkan nilai produk marjinal tidak sama dengan biaya input
marjinal menunjukkan produksi tidak efisien.
12
Y
Y
X
(a) Fungsi produksi batas
X
(b) Fungsi produksi rata-rata
Sumber: King (1980) dalam Harianto (1989)
Gambar 2 Konsep fungsi produksi batas dan rata-rata
Hubungan input dan output dapat dilihat dari fungsi produksi. King (1980)
dalam Harianto (1989) menyatakan fungsi produksi ada dua, yaitu: fungsi
produksi rata-rata (average production function) dan fungsi produksi batas
(frontier production function). Definisi fungsi produksi batas dan fungsi produksi
rata-rata adalah kondisi produsen yang menggunakan input untuk menghasilkan
output. Perbedaan pada kedua fungsi tersebut terletak pada batas input yang
digunakan untuk menghasilkan output.
Gambar 2 terlihat bahwa fungsi produksi batas ada batasan input yang
digunakan sedangkan fungsi produksi rata-rata tidak ada batasan inputnya. Jika
dilihat dari definisi efisiensi yang merupakan penggunaan input minimum dan
menghasilkan output maksimum maka fungsi produksi rata-rata tidak layak
digunakan karena tidak ada batasan penggunaan input. Produsen belum tentu
efisien jika sudah mencapai frontier (batas) yang terdapat fungsi produksi ratarata. Selain itu, Yau et al. (1971) menyatakan pendekatan fungsi produksi ratarata mempunyai masalah pada persamaan simultan yang cenderung hasilnya bias
dan mudah terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan kelemahan yang terdapat fungsi produksi rata-rata maka
fungsi produksi batas (frontier) yang digunakan untuk mengukur efisiensi. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya penentuan batas perusahaan yang efisien dan
tidak efisien. Perusahaan yang tidak efisien dapat dianjurkan untuk mengurangi
input supaya perusahaan efisien. Pendekatan yang sesuai untuk mengukur
efisiensi pada fungsi produksi batas ada dua, yaitu: stochastic frontier dan DEA.
Penelitian ini menggunakan pendekatan DEA untuk mengukur efisiensi karena
output yang digunakan ada dua, yaitu: gula dan gula tetes.
Model DEA
DEA merupakan metode pendekatan berorientasi data (data oriented) yang
berfungsi untuk mengevaluasi kinerja melalui tingkat efisiensi dari sekumpulan
entitas (unit produksi, perusahaan/organisasi, industri, dan negara) yang dinamai
sebagai DMU (decision making unit) dengan melakukan perbandingan sejumlah
input terhadap sejumlah output (Coelli et al. 1998). DEA CRS pertama kali
13
diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes yang inti kerjanya terletak pada
penilaian suatu kegiatan dikatakan efisiensi berdasarkan asumsi CRS (constant
return to scale) (Charnes et al. 1978). Maksud dari CRS bahwa penambahan n
input harus sesuai dengan penambahan n output. Pengembangan metode DEA
dilakukan oleh Banker, Cooper, dan Charnes dikenal dengan nama DEA VRS
(Banker et al. 1984) . Inti kerjanya terletak pada asumsi VRS (variable return to
scale) yang maksudnya adalah penambahan n input belum tentu menghasilkan n
output.
Pengembangan DEA diilhami dari makalah Farrell (1957) dengan judul
“The Measurement of Productivity Efficiency” dalam “Journal of The Royal
Statistical Society” yang memerlukan metode untuk mengevaluasi produktivitas
(Cooper et al. 2003). Farrel (1957) menggunakan istilah ukuran efisiensi untuk
menggambarkan bagaimana pemanfaatan input dengan asumsi semua akses yang
sama oleh setiap DMU dalam menghasilkan output.
Pada dasarnya efisiensi adalah perbandingan antara satu input dengan satu
output. Apabila jumlah input dan output le
MANAOR BISMAR NABABAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Efisiensi Produksi
Pabrik Gula Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Manaor Bismar Nababan
NRP. H353090071
RINGKASAN
MANAOR BISMAR NABABAN. Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional.
Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG.
Pabrik gula merupakan salah satu industri strategis di Indonesia karena
output pabrik gula dapat memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri
lainnya, dan penyediaan lapangan pekerjaan. Faktanya produksi gula nasional
tidak dapat memenuhi konsumsi gula nasional. Pabrik gula tidak dapat
meningkatkan produksi gula karena kadar sukrosa yang penting untuk proses
produksi gula banyak yang hilang. Kehilangan sukrosa yang dilihat dari rendemen
tebu berdasarkan informasi dari penelitian lain disebabkan oleh mesin sudah
berusia tua, kapasitas produksi yang relatif rendah, bahan baku dominan milik
rakyat, dan lahan yang tidak subur di luar Jawa. Oleh karena itu, tujuan penelitian
ini untuk mengukur efisiensi pabrik gula nasional, menelusuri faktor dan
mengukur faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional. Untuk menjawab tujuan
tersebut, kajian ini menggunakan panel data dari 26 pabrik gula dengan
menggunaan model data envelopment analysis (DEA) dan random effects.
Hasil penelitian menunjukkan pabrik gula nasional tidak efisien karena
terjadi inefisiensi sebesar 6.70 persen dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Pabrik
gula yang tidak efisien menunjukkan rasio input dan output yang relatif tinggi
daripada pabrik gula lainnya. Pabrik gula kapasitas produksi kecil dan kapasitas
produksi sedang tidak efisien jika dibandingkan dengan kapasitas produksi besar.
Hal tersebut dikarenakan penggunaan tebu, tenaga kerja, kapasitas produksi, dan
bahan bakar yang relatif tinggi pada kedua pabrik gula tersebut. Penggunaan input
yang relatif tinggi juga terjadi pada pabrik gula usia mesin di atas 30 tahun
daripada pabrik gula pabrik gula usia mesin di bawah 30 tahun. Pabrik gula luar
Jawa lebih efisien daripada pabrik gula Jawa dalam hal penggunaan tenaga kerja
dan bahan bakar yang rendah. Akan tetapi, isu mengenai lahan yang subur di Jawa
tidak terbukti karena rendemen tebu tidak terjadi perbedaan pada kedua pabrik
gula tersebut.
Penilaian pengaruh faktor manajerial maka faktor usia mesin, rendemen
tebu rakyat/tebu sendiri berhubungan negatif terhadap efisiensi sedangkan faktor
kapasitas produksi berhubungan positif terhadap efisiensi. Faktor yang tidak
mempengaruhi efisiensi terdapat pada lokasi pabrik gula. Hal tersebut menyatakan
bahwa lokasi pabrik gula di Jawa maupun luar Jawa tidak ada hubungan dengan
efisiensi.
Usaha peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan cara pergantian mesin
dan peningkatan kapasitas produksi secara serentak. Akan tetapi, usaha tersebut
jika dilakukan serentak pasti menghadapi permasalahan pada dana yang besar dan
pengusaan tebu. Oleh karena itu, usaha peningkatan efisiensi kedua hanya terletak
pada pergantian mesin. Pergantian mesin dilakukan dengan target input yang
merupakan gambaran pada manajer pabrik gula dalam menggunakan input. Pabrik
gula yang bahan baku dominan milik rakyat dapat meningkatkan rendemen tebu
jika jadwal tanam dan giling dilakukan serentak dan penggunaan bibit tebu yang
keprasan maksimal tiga kali. Hal tersebut berdasarkan petunjuk teknik budidaya
tebu milik pabrik gula.
Kata Kunci: Efisiensi, Pabrik Gula Nasional, Mesin, Tebu.
SUMMARY
MANAOR BISMAR NABABAN. Efficiency Production of National Sugar
Mills. Supervised by NUNUNG KUSNADI and WILSON HALOMOAN
LIMBONG.
The sugar factory is one of the strategic industries in Indonesia because of
the sugar mill output can meet the basic food needs, the needs of other industries,
and providing jobs. In fact the national sugar production can not meet national
sugar consumption. Sugar mills can not increase the production of sugar because
sucrose levels which are necessary for the production of sugar lost. Loss of
sucrose as seen from yield of sugarcane based on information from other studies
due to the machines are old, relatively low production capacity, raw materials
predominantly owned by the people, and infertile land outside Java. Therefore, the
purpose of this study was to measure the efficiency of the national sugar factories,
tracing factors and determinants measure the efficiency of the national sugar mill.
To answer these objectives, this study uses panel data from 26 sugar factories by
the use of data envelopment analysis models (DEA) and random effects.
The results showed the national sugar factory is inefficient due to the
inefficiency of 6.70 percent from 2006 to 2011. Inefficient sugar mills which
shows the ratio of input and output is relatively higher than other sugar mills.
Sugar mill production capacity of small and medium production capacity is not
efficient when compared with large production capacity. That is because the use
of the cane, labor, production capacity, and the fuel is relatively high in both sugar
factory. Relatively high input use also occurs at the sugar factory machine age of
30 years instead of the sugar mill sugar mill machinery under the age of 30 years.
Sugar factories outside Java is more efficient than the sugar mills of Java in terms
of employment and low fuel. However, the issue of fertile land in Java is not
proven because the yield of sugarcane is not any difference in both the sugar
factory.
Assessment of managerial factors influence the machine age factor, the
yield of sugarcane/sugarcane itself is negatively related to production capacity
efficiencies while factors are positively related to efficiency. Factors that do not
affect the efficiency of the sugar contained in the plant site. It is stated that the
location of the sugar mills in Java and outside Java no relationship with
efficiency.
Efforts to increase the efficiency can be done by the turn of the engine and
increased production capacity simultaneously. However, the effort if done
synchronously definitely face great problems in funding and procurement of
sugarcane. Therefore, efforts to increase the efficiency of the two lies only at the
turn of the engine. Substitution is done with a machine that is a picture of the
target input in the sugar factory managers in using the input. Sugar factories
belonging to the people of the dominant raw material can increase the yield of
sugarcane planting schedule and milled if done simultaneously and the use of seed
cane that keprasan maximum of three times. It is based on sugarcane cultivation
techniques clue owned sugar mills.
Keywords: Efficiency, National Sugar Mill, Machine, Sugarcane.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA NASIONAL
MANAOR BISMAR NABABAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr.Ir. Ratna Winandi, MS
Dr Meti Ekayani, S.Hut, MSc
Judul Tesis
: Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional
Nama Mahasiswa
: Manaor Bismar Nababan
NRP
: H353090071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Prof Dr Ir Wilson H Limbong, MS
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana,
llmu Ekonomi Pertanian,
Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Tanggal Ujian: 19 September 2013
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Hormat dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Surgawi,
atas kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Efisiensi Produksi Pabrik Gula Nasional sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penyelesaian tesis ini terwujud karena bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus
kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof.
Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS sebagai anggota komisi pembimbing,
yang selalu memberikan bimbingan dan arahan dari proses penelitian sampai
penyelesaian tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
dan seluruh dosen pengajar yang telah memberikan bimbingan melalui proses
pengajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Kedua orang tuaku yaitu: Bapak Posman Nababan dan Ibu Barita Rotua
Simbolon. Mereka telah memberikan dukungan melalui doa dan materi selama
proses perkuliahan di IPB. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
adikku dan saudara yang turut serta memberikan doa dan dukungan.
3. Teman-teman EPN angkatan 2009 dan teman-teman di Wisma Fio.
4. Seluruh staf Program Studi EPN yang senantiasa memberikan dukungan
selama perkuliahan hingga menyelesaikan studi.
5. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
serta memberikan dukungan sampai penyelesaian studi.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada pihak
yang memerlukan informasi mengenai proses produksi di pabrik gula, kalangan
akademisi, dan pihak-pihak lain.
Bogor, November 2013
Manaor Bismar Nababan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
5
5
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Teknis Perusahaan
Pendekatan Efisiensi Teknis
6
6
9
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Efisiensi Produksi
Model DEA
DEA Asumsi CRS
DEA Asumsi VRS
Model Faktor Penentu Efisiensi
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis
10
10
12
13
18
21
23
24
4 METODE PENELITIAN
Lokasi, Waktu, dan Metode Penelitian
Metode Pengambilan Sampel dan Teknik Pengambilan Data
Jenis dan Sumber Data
Model dan Analisis Data
Analisis Efisiensi Teknis
Analisis Faktor Penentu Efisiensi Teknis
Definisi Operasional Variabel
5 PEMBAHASAN
Karakteristik Produksi Pabrik Gula Nasional
Efisiensi dan Skala Produksi Pabrik Gula Nasional
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Kapasitas Produksi
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Usia Mesin
Efisiensi Pabrik Gula Berdasarkan Lokasi Lahan
Pengaruh Faktor Manajerial Terhadap Efisiensi Pabrik Gula
Usaha Peningkatan Efisiensi Pabrik Gula Nasional
6. Simpulan dan Saran
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
24
24
25
26
26
26
29
29
31
31
32
35
37
41
43
48
53
53
54
55
58
88
DAFTAR TABEL
1 Produksi konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2000-2010
2 Produksi tebu, gula, dan rendemen gula nasional tahun 2001-2010
3 Harga lelang, harga impor, dan rasio harga impor dan lelang tahun
2004-2010
4 Aturan skala produksi
5 Aturan untuk penilaian efisiensi dan MPSS
6 Pangsa produksi gula dan gula tetes pada sampel pabrik gula tahun
2006-2011
7 Karakteristik produksi pabrik gula nasional
8 Nilai OTE, PTE, dan SE orientasi input pabrik gula nasional tahun
2006-2011
9 Nilai OTE pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun 2006-2011
10 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan kapasitas produksi tahun
2006-2011
11 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan usia mesin tahun 2006-2011
12 Kinerja produksi pabrik gula berdasarkan lokasi lahan tahun 2006-2011
13 Faktor penentu efisiensi teknis keseluruhan (OTE)
14 Target input pabrik gula dan persentase pengurangan input berdasarkan
kapasitas produksi tahun 2006-2011
15 Perbandingan rendemen tebu pada pabrik gula bernomor 1 tahun 20062011
1
3
3
20
21
25
32
33
35
36
39
42
43
51
53
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Konsep efisiensi
Konsep fungsi produksi batas dan rata-rata
Konsep slack dan radial movement orientasi input
Konsep slack dan radial movement orientasi output
Konsep Efisiensi OTE, PTE, SE, dan skala produksi orientasi input
11
12
17
17
19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Input dan output pabrik gula nasional tahun 2006-2011
2 Nilai efisiensi pabrik gula nasional tahun 2006-2011
3 Rujukan efisiensi dan skala produksi pabrik gula nasional tahun 20062011
4 Target input pabrik gula nasional pada model DEA asumsi VRS tahun
2006-2011
5 Target input pabrik gula nasional pada model DEA Asumsi CRS Tahun
2006-2011
6 Data panel faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional tahun 20062011
7 Statistik faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional
8 Uji statistik pabrik gula berdasarkan usia mesin
9 Uji statistik pabrik gula berdasarkan lokasi lahan
10 Instruksi perangkat lunak pada penelitian pabrik gula nasional
59
62
63
65
67
68
71
73
79
85
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia
karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok,
kebutuhan industri lainnya, dan penyedia lapangan pekerjaan. Produksi gula ada
dua, yaitu: gula dan gula tetes (molasses). Gula bermanfaat untuk memenuhi
konsumsi gula yang berada pada posisi ke-enam dari pangan pokok lainnya,
dengan rata-rata konsumsi gula mencapai 7.63 kilogram per kapita per tahun sejak
tahun 2009 sampai tahun 2011 (BPS 2011). Gula tetes bermanfaat untuk bahan
baku industri farmasi dan pakan ternak (P3GI 2008).
Potensi yang besar dari gula dan gula tetes tersebut membuat pabrik gula
nasional berusaha meningkatkan produksi. Produksi gula nasional dihasilkan oleh
pabrik gula yang tersebar di Jawa dan luar Jawa. Pabrik gula di Jawa berjumlah
48 pabrik dan pabrik gula di luar Jawa berjumlah 12 pabrik (DGI 2011). Bahan
baku gula diperoleh dari perkebunan tebu yang kemudian diolah di pabrik gula
dan selanjutnya didistribusikan ke konsumen. Proses produksi dari perkebunanan
tebu, distribusi tebu ke pabrik, pengolahan tebu menjadi gula dan gula tetes
sampai distribusi ke konsumen dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.40 juta
orang sehingga dapat membantu program pemerintah dalam mengurangi tingkat
pengangguran (Susila 2005).
Pabrik gula nasional awalnya didirikan pada zaman pendudukan Belanda
di Indonesia. Periode tersebut merupakan zaman kejayaan pabrik gula nasional
karena produksi gula dapat mencapai tiga juta ton per tahun sementara konsumsi
gula sebesar 600 ribu ton. Produksi gula tersebut dapat dicapai karena rendemen
gula nasional mencapai 11.00 persen per tahun. Penyebab rendemen gula nasional
dapat tinggi karena teknik budidaya tebu yang baik dan penggunaan mesin yang
berusia muda di pabrik (Susila 2005).
Tabel 1. Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2001-2010
Tahun
Produksi
(juta ton)
Laju
produksi
(persen)
2001
1.82
2002
1.90
4.22
2003
1.99
4.73
2004
2.05
3.01
2005
2.24
9.26
2006
2.30
2.94
2007
2.45
6.11
2008
2.58
5.39
2009
2.30
-10.89
2010
2.29
-0.39
Rata-rata
2.19
2.71
Sumber: BPS (2011); FAO (2011) (diolah)
Konsumsi
(juta ton)
3.11
2.87
3.48
3.18
4.24
3.73
3.75
3.69
3.73
4.06
3.73
Laju
konsumsi
(persen)
-7.62
21.21
-8.59
33.15
-12.01
0.51
-1.57
1.03
9.04
3.90
Impor
(juta ton)
1.28
0.97
1.49
1.13
1.99
1.42
1.30
1.11
1.43
1.77
1.55
Laju impor
(persen)
-24.44
53.45
-24.09
76.48
-28.81
-8.59
-14.70
28.79
24.25
9.15
Nasionalisasi pabrik gula dari tangan Belanda ke Indonesia berpengaruh
terhadap produksi gula nasional. Tabel 1 menunjukkan rata-rata produksi gula
2
nasional sebesar 2.19 juta ton per tahun. Produksi gula tersebut tidak dapat
memenuhi konsumsi gula nasional yang mencapai 3.73 juta ton per tahun. Jika
dilihat dari laju maka laju produksi gula nasional hanya sebesar 2.715 persen per
tahun dimana laju tersebut lebih rendah 40.22 persen dari laju konsumsi gula
nasional per tahun. Defisit produksi gula nasional menyebabkan impor gula harus
dilakukan dengan rata-rata impor gula sebesar 1.55 juta ton dan laju impor gula
sebesar 9.15 persen per tahun.
Produksi gula nasional tidak dapat ditingkatkan karena kehilangan sukrosa
(kadar gula) relatif tinggi di pabrik gula. Penyebab pertama kehilangan sukrosa
terjadi terkait pada pasokan bahan baku (tebu) ke pabrik gula. Setiap pabrik gula
tidak ada konsolidasi lahan dengan pabrik gula lainnya karena faktanya terjadi
perebutan bahan baku sesama pabrik gula. Pabrik gula hanya fokus untuk
mendapatkan bahan baku tanpa memperhatikan kualitas tebu. Fokus tersebut
membuat pabrik gula mengambil tebu yang lokasinya relatif jauh dari pabrik gula
sehingga distribusi tebu relatif lama sampai ke pabrik gula. P3GI (2008)
menunjukkan lokasi lahan yang relatif jauh menyebabkan transfer tebu ke pabrik
gula relatif lama sehingga menurunkan bobot tebu dan kadar sukrosa masingmasing sebesar 7.73 dan 8.35 persen.
Selain fakta di atas, pabrik gula juga sering mempercepat jadwal giling
untuk mendapatkan tebu padahal tebu belum sesuai untuk di panen. Susila (2005)
menyatakan jadwal tanam dan giling yang tidak serentak menyebabkan terjadi
kehilangan sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47
dan 10.87 persen. Jadwal yang tidak serentak tersebut karena percepatan jadwal
panen tebu.
Kehilangan sukrosa mengindikasikan penurunan bobot tebu sehingga
produktivitas lahan nasional relatif rendah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata luas
lahan sebesar 388.67 ribu hektar per tahun dengan produksi tebu sebesar 29.47
juta ton per tahun. Rata-rata produktivitas lahan sebesar 76.07 ton per hektar per
tahun. Jika dibandingkan dengan negara lain maka produktivitas tebu nasional
lebih rendah daripada produktivitas lahan di Brasil dan Australia masing-masing
sebesar 10.50 dan 15.47 persen (USDA 2011). Produktivitas lahan nasional yang
rendah tersebut menunjukkan pasokan tebu di pabrik gula nasional relatif rendah
daripada pabrik gula di negara lain.
Kehilangan sukrosa juga terkait pada pengolahan tebu di pabrik gula.
Mesin yang digunakan oleh pabrik gula nasional rentan terhadap kerusakan yang
dilihat dari rata-rata jam berhenti giling di pabrik gula di atas 10.00 persen per
tahun dari tahun 1997 sampai sekarang (P3GI 2001). Jam berhenti produksi
tersebut menyebabkan penundaan giling sehingga terjadi penurunan sukrosa
potensial yang hilang sebesar 3.00 sampai 6.00 persen (P3GI 2001). Penelitian
Yuliandari (2008) menyatakan bobot tebu tidak digiling sebesar 8.35 persen
menyebabkan sukrosa potensial hilang sebesar 2.67 persen.
Kehilangan sukrosa pada pengolahan tebu di pabrik gula dapat dilihat dari
rendemen tebu. Tabel 2 menyatakan rata-rata rendemen tebu nasional sebesar 7.49
persen per tahun. Rendemen tebu nasional sekarang lebih rendah daripada
rendemen tebu jaman Belanda sebesar 31.95 persen. Jika dibandingkan dengan
rendemen tebu negara lain maka rendemen tebu nasional lebih rendah daripada
rendemen tebu negara Brasil dan Austrlia masing-masing sebesar 27.33 dan 34.91
persen (USDA 2011).
3
Tabel 2 Produksi tebu, gula, dan rendemen tebu nasional tahun 2001-2010
Tahun
Luas lahan
(ribu hektar)
2001
346.44
2002
350.77
2003
335.72
2004
344.79
2005
381.78
2006
396.44
2007
428.40
2008
433.02
2009
416.63
2010
432.71
rata-rata
386.67
Sumber: DGI (2011)
Produksi tebu
(juta ton)
25.18
27.30
22.63
26.74
31.24
30.23
33.29
32.41
30.26
35.46
29.47
Produktivitas lahan
(ton per hektar)
72.70
77.84
67.41
77.56
81.83
76.26
77.71
74.86
72.62
81.94
76.07
Produksi gula
(juta ton)
1.82
1.90
1.99
2.05
2.24
2.31
2.49
2.58
2.29
2.29
2.19
Rendemen
tebu (persen)
7.24
6.96
8.80
7.67
7.17
7.63
7.35
7.96
7.60
6.46
7.49
Mesin yang sering berhenti beroperasi karena usia mesin sudah tua (di atas
75 tahun) menyebabkan pabrik gula menanggung biaya produksi tetap yang
mencapai 700 ribu rupiah per jam (Siagian 1999; Indrayani et al. 2004). Penelitian
lain dari Siagian (2003) menyatakan keputusan pabrik gula yang menggunakan
mesin yang berusia tua menyebabkan biaya yang dikeluarkan terhadap tenaga
kerja, bahan bakar, dan tebu masing-masing berlebihan sebesar 18.50, 30.90, dan
45.90 persen.
Biaya produksi gula dapat dilihat dari harga lelang gula nasional pada
tabel 2. Rata-rata harga lelang gula sebesar 5,690.00 Rp/kg dengan rata-rata laju
peningkatan sebesar 14.31 persen per tahun. Harga lelang gula tersebut masih
lebih tinggi sebesar 41.00 persen dari harga gula impor. Rata-rata rasio harga gula
impor terhadap harga lelang gula sebesar 71.89 persen yang dijelaskan pada Tabel
2. Harga gula impor yang rendah daripada harga lelang gula menyebabkan
konsumen memilih gula impor sehingga produksi gula nasional tidak dapat
ditingkatkan.
Tabel 3 Harga lelang, harga impor, dan rasio harga impor dan lelang tahun 20042010
Tahun
Harga lelang (Rp/kg) Harga impor (Rp/kg)
2004
3,776.00
2,555.85
2005
4,798.00
3,133.62
2006
5,547.00
4,030.11
2007
5,549.00
3,837.52
2008
5,289.00
3,792.28
2009
6,758.00
5,037.16
2010
8,116.00
6,650.20
Rata-rata
5,690.00
4,035.26
Sumber: Sawit (2010); (FAO 2011) (diolah)
Rasio impor dan lelang (persen)
67.69
65.31
72.65
69.16
71.70
74.54
81.94
71.89
Harga lelang gula yang cenderung meningkat dan harga gula impor yang
lebih rendah daripada harga lelang gula mengindikasikan penerimaan pabrik gula
hanya sebesar harga gula impor dan biaya produksi gula di atas penerimaan pabrik
gula. Penelitian Indrayani et al. (2004) menyatakan biaya produksi lebih tinggi
4
daripada penerimaan sehingga salah satu pabrik gula menderita kerugian sebesar
758.00 Rp/kg. Fenomena tersebut jika dilihat dari keputusan produksi maka
banyak pabrik gula yang tidak mengolah tebu menjadi gula dan membeli gula
kasar (raw sugar) untuk diolah menjadi gula. Keputusan yang lain adalah pabrik
gula berhenti beroperasi dimana total pabrik gula yang telah berhenti beroperasi
berjumlah 11 pabrik gula dari tahun 1998 sampai sekarang (Mediadata 2009).
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi gula nasional dapat melalui
peningkatan efisiensi pabrik gula nasional. Pentingnya peningkatan produksi gula
nasional dapat menghemat devisa di atas 500.00 juta dolar Amerika per tahun
dari tahun 2000 sampai tahun 2010 (FAO 2011). Selain itu, penutupan pabrik gula
tidak perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pabrik gula
nasional sehingga dapat meningkatkan produksi gula nasional.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang selama ini terjadi pada pabrik gula nasional terletak
pada rendemen tebu rendah (7.49 persen) dari tahun 2001 sampai tahun 2010.
Rendemen tebu dipengaruhi oleh keputusan pabrik gula yang masih menggunakan
mesin berusia tua. Rata-rata usia mesin pada penelitian Indrayani et al (2004)
sekitar 75 tahun. Mesin tersebut tidak dapat menggiling tebu secara optimal
karena kerusakan yang sering terjadi di pabrik gula. Kerusakan dilihat dari jam
berhenti produksi mencapai 10.00 persen per hari dari tahun 1997 sampai
sekarang. Kerusakan tersebut menyebabkan penundaan giling tebu sehingga
rendemen tebu turun sebesar 4.50 sampai 7.00 persen per tahun (P3GI 2001).
Mesin yang tidak produktif tersebut juga menyebabkan bahan bakar yang
digunakan relatif tinggi daripada mesin yang berusia muda. Hal tersebut terlihat
pada penelitian Yuliandari (2008) yang menyatakan terjadi defisit bahan bakar
dari ampas tebu sehingga membeli solar untuk menutupi permasalahan defisit
tersebut.
Mesin yang berusia tua juga berkaitan dengan kapasitas produksi. Ratarata kapasitas produksi sebesar 3000 ton tebu hari. Permasalahan yang sering
terjadi karena mesin rusak menyebabkan efisiensi kapasitas produksi hanya
berkisar 59.00 sampai 79.00 persen (P3GI 2001). Efisiensi yang rendah tersebut
yang menyebabkan penundaan giling sehingga rendemen tebu rendah. Oleh
karena itu, pabrik gula yang kapasitas produksi relatif rendah dominan tidak
efisien daripada pabrik gula yang kapasitas produksi relatif tinggi (di atas 5000
ton tebu hari) sehingga disarankan pabrik gula meningkatkan kapasitas produksi
(Indrayani et al 2004; Siagian 1999).
Peningkatan kapasitas produksi masih dapat diperdebatkan karena rata-rata
kapasitas produksi pabrik gula di India hanya sebesar 3000 ton tebu hari tetapi
rendemen tebu di pabrik gula tersebut mencapai 8.00 persen per tahun. Rendemen
tebu tersebut masih lebih tinggi daripada rendemen tebu di Indonesia yang hanya
mencapai 7.49 persen. Singh (2007) menyatakan pabrik gula harus berorientasi
pada kemampuan mesin dan pengusaan tebu daripada peningkatan kapasitas
produksi. Pernyataan tersebut dapat diterima karena peningkatan kapasitas
produksi maka akan meningkatkan luas areal tebu yang dikuasai. Peningkatan
luas areal yang mengakibatkan lokasi lahan tebu relatif jauh dari pabrik gula
5
sehingga waktu distribusi relatif lama. Dampaknya penurunan bobot tebu dan
kadar sukrosa masing-masing sebesar 7.73 dan 8.35 persen (Supatma 2008; P3GI
2008).
Rendemen tebu selain dipengaruhi mesin dan kapasitas produksi, juga
dipengaruhi oleh lokasi pabrik gula dan tebu rakyat. Pabrik gula nasional
berjumlah 60 pabrik dimana 75 persen berada di Jawa dan sisanya di luar Jawa.
Pabrik gula dominan di Jawa karena lahannya lebih subur daripada pabrik gula di
luar Jawa. Hal tersebut terlihat pada produktivitas lahan di luar Jawa lebih rendah
sebesar 19.80 persen daripada produktivitas lahan di Jawa (DGI 2011).
Produktivitas lahan yang tinggi di Jawa menunjukkan bobot tebu lebih tinggi
sehingga produksi gula akan meningkat. Permasalahan yang terjadi di Jawa
karena bahan baku dominan milik rakyat sehingga mempengaruhi kadar sukrosa.
Ketergantungan tebu milik rakyat menyebabkan jadwal tanam dan giling yang
tidak serentak. Jadwal yang tidak serentak menyebabkan terjadi kehilangan
sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47 dan 10.87
persen (Susila 2005).
Berdasarkan uraian di atas maka hadir pertanyaan mengenai apakah mesin
yang digunakan pabrik gula masih efisien jika dilihat dari penggunaan input?,
bagaimana pengaruh usia mesin, kapasitas produksi, lokasi pabrik gula, dan tebu
rakyat terhadap efisiensi pabrik gula nasional?, dan cara apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi pabrik gula nasional?.
Tujuan Penelitian
1.
2.
Mengukur efisiensi pabrik gula nasional.
Menelusuri dan mengukur faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat langsung bagi para pelaku usaha
dan instansi terkait dengan industri gula di Indonesia. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu pedoman dalam penanganan faktor produksi di pabrik
gula. Diantisipasikan juga bahwa dengan menelaah beberapa penyebab dari
masalah faktor produksi dan dengan adanya pengertian yang lebih baik tentang
kebutuhan-kebutuhan teknologi produksi gula, maka penelitian ini dapat menjadi
sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda pencapaian target produksi
gula nasional (swasembada gula), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan
kemiskinan yang diprogramkan pemerintah.
Bagi para pengambil keputusan kebijakan di bidang pembangunan
pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga.
Identifikasi terhadap berbagai faktor pengaruh, terutama sumber-sumber efisiensi,
produktivitas dan teknologi produksi dapat dijadikan bahan masukan maupun
rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merencanakan dan mengembangkan
industri gula nasional pada waktu mendatang. Rekomendasi akan diarahkan
seberapa besar tingkat efisiensi dan inefisiensi yang perlu diperbaiki dan seberapa
besar biaya yang harus dihemat dalam rangka meningkatkan keuntungan produksi
gula bagi pabrik gula. Pada akhirnya perbaikan di hilir (produksi gula) dapat
dinikmati pada bagian hulu (perkebunan tebu) karena mendapatkan keuntungan.
6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini fokus untuk menganalisis efisiensi pabrik gula nasional.
Penelitian efisiensi dengan pendekatan fungsi produksi batas (frontier) yang
terdapat pada model DEA.
Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penelitian ini tidak menganalisis nilai ekonomi pada bagian hulu produksi
gula (perkebunan tebu) akan tetapi dibutuhkan data mengenai suplai bahan
baku untuk produksi gula.
2. Output yang diteliti ada dua, yaitu: gula kristal putih (GKP) dan gula tetes.
3. Penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 2006 sampai tahun
2011.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai efisiensi sudah banyak dilakukan di dalam maupun
luar negeri. Penelitian tersebut sering dilakukan karena input yang digunakan oleh
produsen sering tidak seimbang dengan output yang dihasilkan. Oleh karena itu,
penelitian efisiensi dilakukan untuk meningkatkan produksi dengan
memanfaatkan input (sumberdaya) yang terdapat pada produsen tersebut.
Efisiensi Teknis Perusahaan
Efisiensi perusahaan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: faktor yang
berhubungan langsung dengan produksi (on-production) dan faktor yang
mempengaruhi tidak berhubungan langsung dengan produksi (off-production).
Faktor yang tidak berhubungan dengan produksi, seperti: kebijakan pemerintah
dalam menetapkan tarif impor, pemberian subsidi, dan lain-lain. Hal tersebut
terlihat pada penelitian Akpan et al. (2012) yang menyatakan inflasi dan
pertumbuhan produk domestik bruto berhubungan negatif dengan efisiensi pabrik
gula.
Faktor yang berhubungan langsung dengan produksi ada dua, yaitu: faktor
struktural dan faktor manajerial (Ferrantino et al. 1995; Kumar et al. 2012).
Faktor struktural merupakan faktor yang mempengaruhi langsung dengan output
yang dihasilkan oleh pabrik. Contoh faktor struktural adalah bahan baku, tenaga
kerja, dan lain-lain. Faktor manajerial terkait dengan keputusan pabrik dalam
melakukan proses produksi. Contoh faktor manajerial seperti: usia mesin, rasio
penggunaan tenaga kerja terampil (ahli) terhadap total tenaga kerja.
Penelitian yang pernah ada selama ini, faktor struktural dimanfaatkan
untuk mengukur efisiensi teknis. Pengukuran efisiensi teknis tersebut didasarkan
atas hubungan input dan output. Penelitian mengenai efisiensi pabrik ada yang
menggunakan satu output dan ada yang menggunakan dua output. Efisiensi pabrik
gula yang menggunakan satu output terdapat pada penelitian, antara lain:
Widarwati (2008), Wahyuni (2007) dan Jason et al. (1995), Akpan et al. (2010).
Penelitian yang menggunakan dua output terdapat pada penelitian, antara lain:
Siagian (2003) dan Singh (2007), dan Chetchosak et al. (2012). Perbedaan output
yang digunakan disebabkan oleh penggunaan model untuk mengukur efisiensi.
7
Input pertama yang mempengaruhi produksi pabrik adalah bahan baku.
Penelitian Siagian (2003) menyatakan tebu tidak efisien digiling di pabrik gula
sebesar 18.500 persen. Singh (2007) menyatakan tebu tidak efisien digiling di
pabrik gula India sebesar 7.820 persen. Pabrik gula Thailand tidak efisien
menggiling tebu segar dan bakar sebesar 21.793 dan 26.021 persen (Chetchosak et
al. 2012). Penelitian Suratiyah et al. (2008), Widarwati (2008), Wahyuni (2007),
dan Jason et al. (1995) menyatakan tebu mempengaruhi produksi gula secara
positif masing-masing sebesar 0.641, 0.066, 0.759, dan 0.062. Wongkeawchan et
al. (2002) menyatakan padi yang digunakan di pabrik beras Thailand dan Taiwan
tidak efisien.
Input kedua yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah kapasitas
produksi. Penelitian Singh (2007) menunjukkan kapasitas giling tidak efisien
sebesar 26.580 persen. Ferrantino et al. (1995) menunjukkan kapasitas giling
mempengaruhi produksi gula sebesar 0.465. Wongkeawchan et al. (2002)
menyatakan kapasitas produksi pabrik beras di Thailand dan Taiwan tidak efisien.
Input ketiga yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah bahan bakar.
Penelitian Siagian (2003) menyatakan bahan bakar tidak efisien sebesar 18.500
persen. Pabrik gula di India tidak efisien menggunakan bahan bakar sebesar
49.470 persen. Suratiyah et al. (2008) dan Jason et al. (1995) menyatakan bahan
bakar mempengaruhi produksi gula secara negatif 0.070 dan 0.002.
Input keempat yang mempengaruhi produksi pabrik gula adalah tenaga
kerja. Penelitian Siagian (2003) menyatakan tenaga kerja tidak efisien digunakan
sebesar 21.700 persen. Pabrik gula di India tidak efisien menggunakan tenaga
kerja sebesar 42.900 persen. Wahyuni (2007) menyatakan tenaga kerja tetap dan
musiman mempengaruhi produksi gula secara negatif masing-masing sebesar
2.275 dan 3.806. Widarwati (2008) menyatakan tenaga kerja mempengaruhi
produksi gula secara negatif sebesar 0.239. Jason et al. (1995) menyatakan tenaga
kerja mempengaruhi produksi gula secara positif sebesar 0.062.
Input kelima yang mempengaruhi produksi gula adalah luas lahan.
Penelitian Wongkeawchan et al. (2002) menyatakan luas lahan pabrik beras di
Thailand dan Taiwan tidak efisien. Akpan et al. (2012) menyatakan luas lahan
secara signifikan dapat meningkatkan produksi gula.
Efisiensi pabrik tersebut berdasarkan fungsi struktural di atas pasti tidak
semua yang bernilai 100.00 persen atau pasti ada yang tidak efisien. Oleh karena
itu, kehadiran fungsi manajerial dapat mengetahui penyebab perusahan tidak
efisien. Faktor manajerial berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai efisiensi teknis. Manfaatnya untuk melihat sejauh mana faktor tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan efisiensi teknis pabrik.
Faktor pertama yang mempengaruhi efisiensi parik gula adalah usia
pabrik. Wongkeawchan et al. (2002) menyatakan usia pabrik menurunkan
efisiensi pabrik beras Taiwan dengan koefisien sebesar 0.0391 secara signifikan
= 0.1. Yang et al. (2009) menyatakan usia perusahaan menurunkan
pada
efisiensi perusahaan dengan koefisien sebesar 0.176 secara signifikan pada =
0.01. Agbonlahor (2010) menyatakan usia pabrik kayu menurunkan efisiensi
dengan koefisien sebesar 0.003 secara signifikan pada = 0.05. Le et al. (2010)
menyatakan usia pabrik menurunkan efisiensi pabrik secara signifikan pada =
0.01.
8
Peneliti tersebut menyatakan jika hubungan usia pabrik berhubungan
positif dengan efisiensi pabrik yang berarti sistem operasi mesin sudah mekanis
yang mengindikasikan penggunaan tenaga kerja relatif rendah sehingga biaya
produksi dapat diturunkan. Jika usia pabrik berhubungan negatif terhadap pabrik
berarti usia mesin relatif tua yang rentan terhadap kerusakan sehingga produksi di
pabrik tidak dapat ditingkatkan.
Faktor kedua yang mempengaruhi efisiensi pabrik gula adalah proporsi
staf terhadap total tenaga kerja yang disebut variabel keahlian (skill) atau tenaga
kerja tidak berproduksi (non-production labour). Staf merupakan tenaga kerja
yang tidak melakukan kegiatan produksi atau dengan kata lain tenaga kerja
pimpinan. Lakner et al. (2012) menyatakan tenaga kerja yang tidak berproduksi
meningkatkan efisiensi perusahaan buah dan sayuran dengan koefisien sebesar
1.0241 secara signifikan pada
= 0.05. Tenaga kerja yang tidak berproduksi
menurunkan efisiensi perusahaan susu dengan koefisien sebesar 7.9056 secara
signifikan pada
= 0.01. Tenaga kerja yang tidak berproduksi menurunkan
= 0.05.
efisiensi perusahaan gandum sebesar 2.2074 secara signifikan pada
Kumar et al. (2012) menyatakan keahlian (skill) meningkatkan efisiensi pabrik
gula dengan koefisien sebesar 0.3596 secara signifikan pada = 0.05. Kashiwagi
et al. (2010) menyatakan keahlian menurunkan efisiensi pabrik dengan koefisien
0.003 secara signifikan pada = 0.01.
Peneliti tersebut menyatakan jika tenaga kerja tidak berproduksi
berhubungan positif terhadap efisiensi pabrik yang berarti tenaga kerja tersebut
memiliki keahlian dalam pengawasan dan memberi pelatihan yang benar terhadap
tenaga kerja produksi sehingga produksi di pabrik dapat meningkat. Jika
berhubungan negatif terhadap efisiensi pabrik berarti tenaga kerja tersebut tidak
memiliki keahlian dalam pengawasan dan memberi pelatihan terhadap tenaga
kerja produksi.
Faktor ketiga yang mempengaruhi efisiensi adalah ukuran pabrik atau
perusahaan (mill or firm size). Ukuran pabrik berhubungan dengan aset produktif
yang dikuasai oleh pabrik, antara lain: luas lahan dan kapasitas produksi. He et al.
(2012) menyatakan ukuran pabrik menurunkan efisiensi pabrik kayu dengan
koefisien 0.093 secara signifikan pada = 0.1. Sauer et al. (2010) menyatakan
ukuran perusahaan agribisnis menurunkan efisiensi perusahaan agribisnis di
Inggris dan Wales secara signifikan pada = 0.05. Jha et al. (2001) menyatakan
ukuran perusahaan agribisnis menurunkan efisiensi perusahaan secara signifikan
= 0.01. Ferrantino et al. (1995) menyatakan kapasitas produksi
pada
berhubungan positif terhadap efisiensi pabrik gula secara signifikan.
Peneliti tersebut menyatakan jika ukuran perusahaan berhubungan positif
terhadap efisiensi berarti perusahaan dapat meningkatkan produksi melalui
peningkatan bahan baku yang ditanam di lahan tersebut. Jika berhubungan negatif
terhadap efisiensi perusahaan berarti perusahaan kesulitan mendapatkan bahan
baku karena lahan yang relatif kecil. Pendapat lain menyatakan luas lahan
berhubungan negatif terhadap efisiensi perusahaan berarti lokasi lahan untuk
penanaman bahan baku tersebar yang menyebabkan peningkatan biaya
transportasi sehingga menurunkan keuntungan perusahaan.
Faktor lainnya yang berkaitan dengan faktor manajerial terdapat pada
penelitian Ferrantino et al. (1995). Peneliti tersebut menyatakan pabrik gula di
India dipengaruhi oleh kapasitas produksi, hari produksi, status perusahaan, pol
9
tebu, dan peralatan dari luar negeri. Semua variabel tersebut berhubungan positif
terhadap efisiensi teknis dan berpengaruh secara signifikan (nyata).
Pendekatan Efisiensi Teknis
Pendekatan efisiensi teknis yang sering digunakan terdapat tiga hal, yaitu
OLS (ordinary least square), stochastic frontier (SF), dan data envelopment
analysis (DEA). Coelli et al. (1998) menyatakan penyebaran penggunaan input
terhadap output dengan metode OLS dapat di atas maupun di bawah batas
produksi (production frontier) sehingga sulit menentukan produsen yang mana
efisien atau tidak efisien. Berdasarkan itu, maka metode OLS tidak layak
digunakan.
Pendekatan pengukuran efisiensi yang menggunakan frontier ada dua,
yaitu: metode parametrik dan non parametrik (Coelli et al. 1998). Metode
parametrik ada dua, yaitu: stochastic frontier dan deterministik frontier.
Deterministik frontier pertama kali dikembangkan oleh Aigner et al. (1968)
dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Peneliti tersebut
mengemukakan seorang produsen berbeda dengan produsen lainnya dalam hal
proses produksi karena perbedaan skala operasi, parameter teknis dalam produksi,
dan struktur organisasi.
Afiat (1972) mengembangkan model yang dibuat oleh Aigner et al. (1968)
dengan menyatakan
merupakan distribusi gamma dan parameter dari model
yang diestimasi dengan menggunakan prosedur maximum likelihood (ML).
Richmond (1972) mengembangkan model dari Afiat (1972) dengan menggunakan
metode corrected ordinary least square (COLS) yang mudah di aplikasikan
karena tidak ada asumsi spesial pada error term ( ). Daryanto (2000)
menyatakan bahwa metode COLS ada dua prosedur, yaitu: model diestimasi
dengan menggunakan OLS dan intersep dikoreksi dengan menggeser ke atas
selama tidak ada residual yang positif dan nol. Residual yang terkoreksi
digunakan untuk menentukan efisiensi teknis.
Model deterministik frontier menjelaskan deviasi dari frontier berasal dari
pengaruh inefisiensi. Hal tersebut dikritik oleh Russel et al. (1983) yang
menyatakan deviasi seharusnya berasal dari kesalahan pengukuran dan gangguan
di luar kontrol petani. Faktor di luar kontrol petani seperti: kondisi cuaca, iklim,
kegagalan pasar, dan lain-lain.
Model stochastic frontier (SF) mengakomodir permasalahan yang terdapat
pada model deterministik frontier. Stochastic frontier mengizinkan kesalahan
pengukuran dan gangguan di luar kontrol produsen. Kedua hal tersebut sering
disebut random error yang diberikan lambang ( ). Selain itu, model tersebut
menangkap pengaruh inefisiensi relatif yang terdapat pada petani (Coelli et al.
1998). Inefisiensi teknis diberi lambang ( ).
Nahraeni (2012) menyatakan output stochastic frontier lebih rendah
daripada output deterministik frontier jika random error (
). Output
stochastic frontier lebih tinggi daripada output deterministik frontier jika random
error ( ) lebih besar dari inefisiensi teknis ( ). Model stochastic frontier sudah
banyak digunakan antara lain: Jason et al. (1995) dan Ferrantino et al. (1995).
Model stochastic frontier secara umum memiliki keunggulan yang
terdapat pada kehadiran kesalahan pengukuran dan gangguan di luar kontrol
10
produsen. Kelemahan model tersebut menurut Coelli et al. (1998) dan Adiyoga
(1999) yaitu: (1) Model tersebut sulit digunakan pada produsen yang
menghasilkan dua output; (2) distribusi dari inefisiensi harus dispesifikasi
sebelum mengestimasi model; (3) teknologi yang di analisis harus digambarkan
oleh struktur yang cukup rumit; (4) Input yang digunakan harus sesuai dengan
estimasi yang dibutuhkan pada properti statistik.
Metode non-parametrik terdapat pada model DEA (data envelopment
analysis). Model DEA menggunakan program matematika pada fungsi linear
programming (LP). Model DEA pertama kali dibuat oleh Charnes et al. (1978)
dengan asumsi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) untuk
mengukur efisiensi teknis tergantung pada orientasi penelitian. Efisiensi teknis
berorientasi input digunakan untuk meminimumkan proporsi penggunaan input
pada keadaan ouput yang konstan sedangkan efisiensi teknis berorientasi output
digunakan untuk memaksimumkan proporsi penggunaan output pada keadaan
input yang konstan. Model DEA kemudian dikembangkan oleh Banker et al.
(1984) untuk mengakomodasikan kondisi produksi yang berada pada kenaikan
hasil yang meningkat (increasing return to scale) dan kenaikan hasil yang
menurun (decreasing return to scale) yang dikenal dengan nama DEA VRS
(variable return to scale).
Banyak peneliti menggunakan model SF dan DEA sehingga dapat
diketahui kelemahan dan keunggulan dari masing-masing model tersebut.
Kelebihan model DEA daripada SF, yaitu: (1) Model DEA dapat menggunakan
lebih dari satu output; (2) Jumlah input yang digunakan pada model DEA dapat
lebih kecil daripada model SF karena tidak menggunakan properti statistik; (3)
Model DEA tidak membutuhkan parametrik statistik untuk menghubungkan input
dan output karena model DEA merupakan persamaan matematika; (4) nilai
efisiensi pada model DEA mencapai satu sehingga dapat menjadi rujukan
penggunaan input pada produsen lainnya yang tidak efisien. Kelemahan model
DEA daripada SF, yaitu: (1) model DEA tidak menggunakan error term sehingga
sulit diketahui penyebab inefisiensi; (2) Uji statistik tidak dapat dilakukan karena
output yang digunakan lebih dari satu; (3) Model DEA merupakan model
pengukuran titik ekstrim point (extreme point technique), jadi kesalahan
pengukuran dapat menjadi masalah dalam penelitian (Coelli et al. 1998; Singh
2007; Padilla-Fenandez et al. 2009; Kumar et al. 2012).
Model yang sesuai untuk mengukur efisiensi pabrik gula nasional adalah
model DEA. Hal tersebut didasarkan atas model DEA dapat menggunakan dua
output yang sesuai dengan output yang dihasilkan oleh pabrik gula ada dua, yaitu:
gula dan gula tetes.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Efisiensi Produksi
Produsen dalam menjalankan usahanya bertujuan untuk menggunakan
sumberdaya yang dimiliki untuk menghasilkan suatu produk yang dapat dijual
kepada konsumen. Tujuan tersebut merupakan hubungan teknis antara input yang
digunakan dengan output yang dihasilkan (Doll et al. 1984). Beberapa asumsi
11
yang terdapat pada fungsi produksi menurut Doll et al. (1984), yaitu: (1) Proses
produksi merupakan proses monoperiodik yang berarti aktivitas produksi dalam
suatu produksi waktu tertentu atau tidak digabungkan dengan periode waktu
berikutnya; (2) Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen
yang berarti tidak ada perbedaan kualitas input maupun output; (3) Akses dan
ketersediaan input tidak terbatas; (4) Tujuan produksi adalah memaksimalkan
keuntungan.
Farrell (1957) memperkenalkan efisiensi dari fungsi produksi. Efisiensi
menurut Farrell (1957) yang diacu dalam Coelli et al. (1998) ada tiga, yaitu:
efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis. Efisiensi teknis (technical efficiency)
adalah kemampuan produsen dalam menggunakan input yang minimum untuk
menghasilkan output yang maksimum. Definisi lain menunjukkan bahwa TE
adalah kemampuan perusahaan untuk memproduksi pada tingkat output tertentu
dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi
alokatif (Allocative Efficiency-AE) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk
menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi
produksi yang tetap (given). Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi
ekonomi (Economic Efficiency-EE) atau disebut juga efisiensi total. Hal ini berarti
bahwa produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan baik secara teknis maupun
alokatif adalah efisien.
X2/y
A
S
M
C
B
S‟
D
0
M‟
X1/y
Sumber: Coelli et.al. (1998)
Gambar 1 Konsep efisiensi
Gambar 1 menjelaskan ilustrasi efisiensi menurut Farrell (1957). Garis SS‟
adalah isoquant (kombinasi input yang minimum untuk menghasilkan output satu
unit yang efisien secara teknis) dan garis MM‟ adalah garis isocost (kombinasi
input yang sama untuk menghasilkan output satu unit). Efisiensi teknis terjadi jika
produsen dapat menurunkan input dari titik A ke titik C. Oleh karena itu, efisiensi
teknis adalah OC/OA. Efisiensi alokatif terjadi jika kedua biaya input menyentuh
titik B. Oleh karena itu, efisiensi alokatif adalah OB/OC. Efisiensi ekonomis
terjadi pada titik D. Oleh karena itu, efisiensi ekonomis adalah OB/OA.
Pengukuran tingkat efisiensi jika dihubungkan dengan fungsi produksi
maka garis isocost melambangkan marginal factor cost (biaya input marjinal)
sedangkan garis isoquant melambangkan value marginal product (nilai produk
marjinal). Produksi akan efisien jika nilai produk marjinal sama dengan biaya
input marjinal sedangkan nilai produk marjinal tidak sama dengan biaya input
marjinal menunjukkan produksi tidak efisien.
12
Y
Y
X
(a) Fungsi produksi batas
X
(b) Fungsi produksi rata-rata
Sumber: King (1980) dalam Harianto (1989)
Gambar 2 Konsep fungsi produksi batas dan rata-rata
Hubungan input dan output dapat dilihat dari fungsi produksi. King (1980)
dalam Harianto (1989) menyatakan fungsi produksi ada dua, yaitu: fungsi
produksi rata-rata (average production function) dan fungsi produksi batas
(frontier production function). Definisi fungsi produksi batas dan fungsi produksi
rata-rata adalah kondisi produsen yang menggunakan input untuk menghasilkan
output. Perbedaan pada kedua fungsi tersebut terletak pada batas input yang
digunakan untuk menghasilkan output.
Gambar 2 terlihat bahwa fungsi produksi batas ada batasan input yang
digunakan sedangkan fungsi produksi rata-rata tidak ada batasan inputnya. Jika
dilihat dari definisi efisiensi yang merupakan penggunaan input minimum dan
menghasilkan output maksimum maka fungsi produksi rata-rata tidak layak
digunakan karena tidak ada batasan penggunaan input. Produsen belum tentu
efisien jika sudah mencapai frontier (batas) yang terdapat fungsi produksi ratarata. Selain itu, Yau et al. (1971) menyatakan pendekatan fungsi produksi ratarata mempunyai masalah pada persamaan simultan yang cenderung hasilnya bias
dan mudah terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan kelemahan yang terdapat fungsi produksi rata-rata maka
fungsi produksi batas (frontier) yang digunakan untuk mengukur efisiensi. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya penentuan batas perusahaan yang efisien dan
tidak efisien. Perusahaan yang tidak efisien dapat dianjurkan untuk mengurangi
input supaya perusahaan efisien. Pendekatan yang sesuai untuk mengukur
efisiensi pada fungsi produksi batas ada dua, yaitu: stochastic frontier dan DEA.
Penelitian ini menggunakan pendekatan DEA untuk mengukur efisiensi karena
output yang digunakan ada dua, yaitu: gula dan gula tetes.
Model DEA
DEA merupakan metode pendekatan berorientasi data (data oriented) yang
berfungsi untuk mengevaluasi kinerja melalui tingkat efisiensi dari sekumpulan
entitas (unit produksi, perusahaan/organisasi, industri, dan negara) yang dinamai
sebagai DMU (decision making unit) dengan melakukan perbandingan sejumlah
input terhadap sejumlah output (Coelli et al. 1998). DEA CRS pertama kali
13
diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes yang inti kerjanya terletak pada
penilaian suatu kegiatan dikatakan efisiensi berdasarkan asumsi CRS (constant
return to scale) (Charnes et al. 1978). Maksud dari CRS bahwa penambahan n
input harus sesuai dengan penambahan n output. Pengembangan metode DEA
dilakukan oleh Banker, Cooper, dan Charnes dikenal dengan nama DEA VRS
(Banker et al. 1984) . Inti kerjanya terletak pada asumsi VRS (variable return to
scale) yang maksudnya adalah penambahan n input belum tentu menghasilkan n
output.
Pengembangan DEA diilhami dari makalah Farrell (1957) dengan judul
“The Measurement of Productivity Efficiency” dalam “Journal of The Royal
Statistical Society” yang memerlukan metode untuk mengevaluasi produktivitas
(Cooper et al. 2003). Farrel (1957) menggunakan istilah ukuran efisiensi untuk
menggambarkan bagaimana pemanfaatan input dengan asumsi semua akses yang
sama oleh setiap DMU dalam menghasilkan output.
Pada dasarnya efisiensi adalah perbandingan antara satu input dengan satu
output. Apabila jumlah input dan output le