The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province.

(1)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT

DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA

BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

PROPINSI LAMPUNG

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI NIM. H353090141


(4)

(5)

ABSTRACT

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province. Under direction of RATNA WINANDI and WILSON HALOMOAN LIMBONG.

The objectives of this study are: (1) to analyze smallholder sugarcane farm system (plant-cane and ratoon cropping patterns) in partnerships that Tebu Rakyat Kredit (TRK-Credit Sugarcane Smallholder partnership) and Tebu Rakyat Bebas (TRB-Independent Sugarcane Smallholder partnership) in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence partnerships on sugarcane farmers' income levels of sugarcane smallholder, (2) to analyze production efficiency rate on sugarcane smallholders in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence of partnership on production efficiency on sugarcane smallholders. The results of farm income analysis indicate that smallholder sugarcane farm in the study area on plant-cane and ratoon cropping pattern financially feasible. Farmers' income on ratoon greater than plant-cane cropping pattern and farmers' income on TRK partnership greater than TRB. The estimation results of smallholder sugarcane farms using a frontier production function shows that land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (solid and liquid) and labour variable have positive significant effect in plant-cane cropping pattern. While land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (liquid) and labour variable have positive significant effect on ratoon cropping patterns. The technical inefficiency of farmers on plant-cane and ratoon cropping pattern is influenced by education, experience and farm size. Farm size has greatest influence to reducing technical inefficiencies. The partnership has positive influence because it makes farmers efficient technically on plant-cane and ratoon cropping patterns. The farmers have been able to reach allocative and economic efficiency on ratoon but have not on plant-cane cropping patterns. Based on partnership TRB farmers more efficient in technical, allocative and economic efficiency than TRK.

Key words: sugar cane, partnership, production function, stochastic frontier, efficiency


(6)

(7)

RINGKASAN

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung. Dibimbing RATNA WINANDI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG.

Gula merupakan salah satu komoditas yang sangat penting dalam perekonomian. Selain sebagai sumber mata pencaharian bagi petani dan pekerja, gula juga merupakan bahan utama bagi industri makanan dan minuman. Konsumsi gula diperkirana akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Peningkatan konsumsi gula ternyata tidak dimbangi dengan produksinya. Rata-rata produksi gula nasional masih sangat rendah sehingga terjadi defisit dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Defisit pemenuhan gula selama ini adalah dengan melakukan impor yang pada gilirannya menimbukan ketergantungan. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi gula nasional sebagian besar dihasilkan dari tebu perkebunan rakyat. Selain itu peningkatan produksi tebu rakyat juga penting mengingat produksi maupun produktivitas tebu rakyat yang cenderung masih rendah saat ini. Rendahnya produktivitas juga mencerminkan rendahnya tingkat efisiensi yang berpangkal pada tidak optimalnya budidaya dalam aktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas ini penting mengingat produktivitas yang rendah pada giliraanya akan berpengaruh pada pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Salah satu satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan kemitraan antara petani dengan pabrik gula. Dengan adanya kemitraan, petani mendapatkan permodalan sehingga dapat menggunakan input yang proporsional dan tepat. Selain itu, kemitraan memungkinkan petani mendapatkan bimbingan dari pabrik sehingga dapat menjalankan usahataninya dengan lebih baik dan efisien. Salah satu kemitraan antara petani dengan pabrik gula adalah kemitran antara petani tebu rakyat di Lampung Utara dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (pola non-keprasan dan keprasan) pada kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) dan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. (2) Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah crosssection. Data cross section yang digunakan adalah data dari 75 orang petani yang terdiri dari 45 orang petani dengan pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan 30 orang petani


(8)

fungsi produksi Cobb Douglas dan diestimasi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) dan Maximum LikelihoodEstimation (MLE).

Pola tanam non-keprasan adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit dan pola tanam keprasan adalah pola budidaya tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa usahatani tebu di wilayah penelitian baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan layak diusahakan secara finansial karena nilai R/C rasio masih lebih besar dari satu. Hasil analisis juga menunjukkan pendapatan petani dengan pola keprasan lebih tinggi dibandingkan dengan pola non-keprasan. Selain itu, pendapatan petani dengan pola kemitraan TRK lebih besar dibandingkan pola TRB.

Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola non-keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di daerah penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis baik pada pola tanam non-keprasan mupun non-keprasan adalah pendidikan, pengalaman dan ukuran usahatani. Petani dengan pola tanam keprasan lebih efisien dibandingkan petani dengan pola keprasan baik secara teknis, alokatif maupun ekonomi. Berdasarkan pada pola kemitraan, petani TRB lebih efisien dibandingkan petani TRK baik secara teknis, alokatif maupun ekonomis. Hal ini karena petani TRB memiliki lahan lebih luas dan lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya.

Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk mengurangi inefisiensi teknis dimana petani yang memiliki lahan lebih besar cenderung lebih efisien. Hal ini erat kaitannya dengan skala usaha. Mengingat penambahan luas lahan sulit dilakukan, maka peran kelembagaan baik melalui koperasi maupun kelompoktani perlu ditingkatkan untuk mencapai skala usaha bagi para petani yang memiliki lahan sempit.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT

DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA

BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

PROPINSI LAMPUNG

Oleh:

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

(13)

Judul Tesis : Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung

Nama : Khoirul Aziz Husyairi

NIM : H353090141

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis Program Magister Sains dengan judul: “Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Propinsi Lampung Utara”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku ketua komisi dan Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan yang berharga dalam penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Segenap staf Pabrik Gula PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lampung Utara, Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Lampung Utara, Pengurus KUT Sejahtera Utama dan KPTR Manis Sejahtera serta semua pihak atas dukungan dan peran-sertanya sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik.

2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian beserta para Dosen yang telah yang telah memberikan bimbingan dalam menjalani perkuliahan di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB.

3. Seluruh teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Mba Nurul Qomaria atas diskusinya yang sangat efektif dalam menunjang penyelesaian tesis ini.

4. Mas Feryanto dan Mas Suprehatin yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis selama menyelesaikan tesis ini.

5. Staf Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang sabar serta penuh pengertian dalam melayani penulis baik selama perkuliahan maupun sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

Secara khusus dengan penuh cinta dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ibunda Siti Rojiah, Ayahanda S. Syahroni, Bapak


(16)

doa untuk keberhasilan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2012


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Klaten pada tanggal 16 Januari 1984 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan S. Syahroni dan Siti Rojiah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1996 di Kabupaten Klaten. Penulis melanjutkan studi ke sekolah menengah pertama di Kabupaten Klaten dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan studi ke sekolah menengah umum di Kabupaten Klaten pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2002. Pada Tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar sarjana pada tahun 2006. Tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 12

1.4.Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian ... 12

1.5.Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Usahatani Tebu ... 13

2.1.1. Usahatani Tebu Pola Tanam (Non-Keprasan) dan Pola Keprasan ... 13

2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering ... 15

2.2. Efisiensi Produksi Tebu Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ... 17

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 25

3.1.1. Konsep Usahatani ... 25

3.1.2. Pendapatan Usahatani ... 26

3.1.3. Konsep Efisiensi ... 28

3.1.4. Metode Pengukuran Efisiensi ... 33

3.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 38

3.2.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 39

3.3.Hipotesis Penelitian ... 42

IV. METODE PENELITIAN ... 43

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 43

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 44

4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 45

4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani ... 46

4.4.2. Model Fungsi Produksi ... 47

4.4.3. Analisis Efisiensi Produksi ... 52


(20)

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL

LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA ... 59

5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional ... 59

5.1.1. Produksi Gula dan Tebu ... 59

5.1.2. Konsumsi Gula ... 61

5.1.3. Impor Gula ... 62

5.1.4. Kebijakan Terkait Dengan Gula ... 63

5.2. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung ... 66

5.3. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung Utara ... 67

VI. GAMBARAN UMUM DAN KERAGAAN USAHATANI TEBU DI DAERAH PENELITIAN ... 69

6.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 69

6.1.1. Letak dan Topografi ... 69

6.1.2. Iklim ... 69

6.1.3. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian ... 70

6.1.4. Perekonomian Kabupaten Lampung Utara ... 71

6.2. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian ... 71

6.2.1. Karakteristik Petani Sampel ... 71

6.2.2. Kepemilikan Lahan ... 73

6.2.3. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian ... 74

6.2.3. Produktivitas Tebu, Pendapatan dan Biaya Usahatani Tebu Petani TRK dan Petani TRB ... 76

VII. ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU ... 79

7.1. Model Fungsi Produksi ... 71

7.2. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 82

7.3. Analisis Skala Usaha ... 88

7.4. Analisis Efisiensi Teknis ... 89

7.4.1. Sebaran Efisiensi Teknis ... 89

7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis ... 92

7.5. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi ... 97

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 103

8.1. Simpulan ... 103

8.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 ... 1 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula,

Luas Lahan, dan Produktivitas Gula Tahun 2000-2009 ... 2 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional

Periode 2001-2009 ... 3 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 ... 4 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat,

Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta

2001- 2009 ... 4 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 5 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 6 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 7 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan

Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung ... 7 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional,

Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009 ... 9 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil,

Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan

Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 ... 9 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan

Tebu Rakyat Bebas (TRB) Tahun 2001-2009 ... 11 13. Pengkasteran Petani Tebu Rakyat Kredit Berdasarkan

Sebaran Geografis ... 44 14. Produksi Gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional

Periode 2000-2009 ... 59 15. Perkembangan Produksi Tebu di Jawa, Luar Jawa dan

Nasional Periode 2000-2009 ... 60 16. Perkembangan Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa dan

Nasional Periode 2000-2009 ... 60 17. Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Gilingnya ... 61 18. Perkembangan Impor Berbagai Jenis Gula di Indonesia


(22)

19. Produksi Gula Beberapa Pabrik Di Propinsi Lampung

Tahun 2003-2009 ... 67 20. Kegiatan Akselarasi Peningkatan Produksi Gula

di Propinsi Lampung 2006-2009 ... 68 21. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Lampung Utara

Tahun 2006-2009 ... 70 22. Mata Pencaharian Penduduk Lampung Utara ... 70 23. Sebaran Petani Contoh Menurut Umur, Pendidikan dan

Pengalaman di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha

Bungamayang Musim Taman 2009/2010 ... 71 24. Analisis Finansial Usahatani Tebu Non-Keprasan

di Daerah Penelitian ... 77 25. Analisis Finansial Usahatani Tebu Keprasan

di Daerah Penelitian ... 78 26. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Non-Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ... 79 27. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Non-Keprasan Tanpa Variabel Bibit dengan

Menggunakan Metode OLS ... 81 28. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ... 81 29. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pola Tanam

Non-Keprasan dan Keprasan ... 82 30. Hasil Pengujian Skala Usaha Fungsi Produksi Rata-Rata

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ... 89 31. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Pola Tanam Non-Keprasan dan

Keprasan di Daerah Penelitian ... 90 32. Sebaran Efisiensi Teknis Petani TRK dan TRB Pola Tanam

Non-Keprasan di Daerah Penelitian ... 91 33. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Keprasan

Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ... 92 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis

Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 93 35. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Petani Pada

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian ... 99 36 Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Non-Keprasan

dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ... 100 37. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Keprasan


(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsep Efisiensi Orientasi Input ... 29 2. Konsep Efisiensi Orientasi Output ... 31 3. Perbedaan Produksi Batas dengan Produksi Rata-rata ... 34 4. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 41


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Usahatani Petani TRK dan Petani TRB

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ... 112 2. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan dan

Non-Keprasan Tanpa Benih ... 116 3. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan ... 118 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa

Variabel Benih Terestriksi dan Uji Asumsi

Constan Return to Scale (CRTS) ... 119 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi dan

Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS) ... 121 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE)

Dengan Menggunakan Frontier 4.1 ... 123 7. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE)


(25)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Selain itu, gula merupakan salah satu sumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan, dan merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman (Mirzawan et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula yang berbasis tebu dapat digolongkan dalam industri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, bahkan yang tertinggi dari seluruh bahan pangan (Minarso dan Ibrahim, 2010).

Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pula pada kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai lima komoditas pangan strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 selain beras, kedelai, jagung, dan daging sapi untuk ketahanan pangan. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, konsumsi gula diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Informasi berkaitan dengan perkembangan konsumsi gula dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 Tahun Kebutuhan Industri (Juta

Ton)

Kebutuhan Rumah Tangga (Juta Ton)

Total Konsumsi (Juta Ton)

2000 0.69 2.51 3.20

2001 0.74 2.51 3.25

2002 0.78 2.52 3.30

2003 0.78 2.58 3.35

2004 0.80 2.60 3.40

2005 0.93 2.58 3.50

2006 1.22 2.64 3.85

2007 1.25 2.70 3.95

2008 1.48 2.67 4.15

2009 2.15 2.70 4.85

Sumber: Pusdatin Kementan, 2010

Konsumsi gula terus mengalami kenaikan baik konsumsi rumah tangga maupun untuk industri. Pada tahun 2000, konsumsi gula sebesar 3.2 juta ton


(26)

menjadi 4.85 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 4.84 persen pertahun. Peningkatan konsumsi yang signifikan khususnya pada konsumsi gula untuk industri, ternyata tidak dimbangi dengan upaya peningkatan produksi gula nasional. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi tebu dan gula nasional dari tahun 2000-2009.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan dan Produktivitas Gula Periode 2000-2009

Tahun Produksi Tebu (Ton) (a)

Rendemen (%)(b)

Produksi Gula (Ton) (c)

Luas Lahan (Ha) (c)

Produktivitas Gula (Ton/Ha) (a)

2001 25 946 872 6.65 1 725 467 344 441 5.01

2002 24 516 117 7.16 1 755 354 350 722 5.00

2003 25 261 889 6.46 1 631 918 335 725 4.86

2004 29 351 130 6.99 2 051 644 344 793 5.95

2005 36 391 916 6.16 2 241 742 381 786 5.87

2006 30 760 360 7.50 2 307 027 396 441 5.82

2007 34 983 813 7.50 2 623 786 427 799 6.13

2008 34 342 703 7.77 2 668 428 436 505 6.11

2009 32 398 636 7.77 2 517 374 422 953 5.95

¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010

Sumber: (a) Hasil konversi; (b) FAO, 2010; (c) Ditjenbun Kementan, 2010

Produksi gula Indonesia rata-rata sebesar 1.72 juta ton antara tahun 2000-2002 dengan luasan lahan rata-rata 345 274 hektar. Pada tahun 2003, produksi gula Indonesia menurun menjadi 1.63 juta ton atau turun sebesar 0.12 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas lahan sebesar 14 997 hektar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 350 722 hektar. Produksi gula nasional setelah tahun 2003 cenderung naik sampai pada tahun 2008. Rata-rata produksi gula nasional sebesar 2.73 ton pertahun dengan laju peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 10.66 persen (0.2 juta ton perhektar). Peningkatan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan luas lahan sebesar 5.44 persen atau 20 156 hektar per tahun.

Perkembangan produksi gula nasional yang lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan konsumsinya mengakibatkan terjadinya defisit pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri. Infomasi selengkapnya berkaitan dengan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit gula nasional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.


(27)

Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional Periode 2001-2009

Tahun Produksi

(Juta Ton)

Konsumsi (Juta Ton)

Defisit (Juta Ton)

2001 1.73 3.25 1.52

2002 1.76 3.30 1.54

2003 1.63 3.35 1.72

2004 2.05 3.40 1.35

2005 2.24 3.50 1.26

2006 2.31 3.85 1.54

2007 2.62 3.95 1.33

2008 2.67 4.15 1.48

2009 2.52 4.85 2.33

Sumber: Pusdatin Kementan, 2010

Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa rata-rata pertahun Indonesia mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 1560 ribu ton kurun waktu 2000-2009. Defisit gula nasional tersebut selama ini dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor gula dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula nasional ini justru membuat produksi gula nasional menurun. Sebagai contoh adalah kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tahuan 2008 yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula membuat produksi gula tahun 2009 menurun. Produksi gula nasional sebesar 2.52 juta ton atau turun sebesar 0.15 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.67 juta ton pada tahun 2008.

Rata-rata impor gula Indonesia dari tahun 1995 sampai 2009 sebesar 1.32 juta ton dengan laju peningkatan rata-rata 2.5 persen pertahun. Perkembangan impor gula sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pada periode 1996-1998, impor gula mengalami peningkatan sangat tajam karena pemberlakukan tarif impor 0 persen dan hilangnya hak monopoli impor Bulog sejak 1998 (Nainggolan, 2005). Sementara ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan pelaku impor dan perijinan impor yang dikaitkan dengan harga tingkat petani serta kuota impor oleh pemerintah yang didasarkan pada kondisi produksi dan persediaan dalam negeri, volume impor cenderung menurun secara


(28)

signifikan selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Sebaliknya, sejak tahun 2007 impor gula kembali mengalami peningkatan tajam yang dipicu oleh meningkatnya impor gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri.

Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009

Tahun Volume (Ton) Tahun Volume (Ton)

1996 1 099 306 2003 1 489 625

1997 578 025 2004 1 130 291

1998 844 852 2005 1 998 367

1999 1 398 950 2006 1 506 002

2000 1 538 519 2007 2 972 788

2001 1 284 790 2008 1 018 594

2002 970 978 2009 1 373 546

Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Salah satu cara meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi tebu nasional sebagian besar dihasilkan dari perkebunan rakyat. Informasi selengkapnya berkaitan dengan luas areal panen dan produksi perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta Periode 2001- 2009

Tahun Luas Panen (Ha) a

Produksi Tebu (Ton)b

PR PBN PBS PR PBN PBS

2001 178 887 87 687 77 867 11 072 450.98 3 281 344.54 9 315 728.29 2002 196 509 79 975 74 238 12 233 654.14 4 675 924.81 9 037 293.23 2003 172 015 87 251 76 459 13 507 821.23 4 157 611.73 6 850 684.36 2004 184 283 78 205 82 305 12 988 049.54 5 734 922.60 6 538 916.41 2005 211 479 80 383 89 924 14 716 466.38 5 492 017.17 9 142 646.64 2006 213 876 87 227 95 338 19 377 483.77 6 873 717.53 10 140 714.29 2007 249 487 81 665 96 657 16 357 933.33 6 043 120.00 8 359 306.67 2008 252 783 82 222 101 500 20 193 720.00 5 662 560.00 9 127 533.33 2009 243 219 74 185 105 549 19 771 029.60 5 098 918.92 9 472 754.18 ¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan

2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010. PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta


(29)

Perkembangan luas perkebunan rakyat cenderung menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal perkebunan rakyat seluas 9 564 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tebu rakyat sebesar 13 552 ton. Penurunan jumlah produksi tebu rakyat akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan bagi petani tebu rakyat. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Padahal dalam usahatani tebu, tahapan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi yang tepat merupkan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi sehingga diperoleh pendapatan maksimal (Jasila, 2009). Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini juga karena sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula berasal dari tebu rakyat (Malian et al., 2004).

1.2. Perumusan Masalah

Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi tebu nasional.

Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Produksi (Juta Ton)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 10.93 11.67 11.93 12.89 17.02 14.23 17.88 16.77 14.18 Lampung 9.53 7.34 7.33 10.16 11.27 9.25 9.53 10.43 11.63 Jawa Tengah 1.89 2.38 2.18 2.51 2.78 3.92 3.75 4.01 3.34 Jawa Barat 1.26 1.13 1.28 1.72 1.85 1.71 1.91 1.68 1.33 Sumatera Selatan 0.53 0.60 0.65 0.84 0.84 0.89 0.85 0.89 1.33 Sumatera Utara 0.69 0.45 0.40 0.20 0.61 0.76 0.73 0.61 0.57 Gorontalo 0.36 0.41 0.53 0.57 0.58 0.46 0.77 0.39 0.53 Sulawesi Selatan 0.32 0.51 0.44 0.42 0.39 0.27 0.29 0.53 0.34 Yogyakarta 0.30 0.36 0.37 0.36 0.46 0.20 0.24 0.24 0.26 ¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan

2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010


(30)

Tabel 6 menunjukkan produksi tebu di Lampung pada tahun 2001 sebesar 9 528 285 ton menjadi 11 625 740 ton pada tahun 2009 dengan jumlah gula yang dihasilkan mencapai 903 320 ton. Angka ini menjadikan Lampung sebagai penghasil tebu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur dengan proporsi sebesar 36 persen dari total produksi tebu nasional. Jawa Timur menjadi propinsi penghasil tebu terbesar pada tahun 2009 dengan produksi mencapai 1 101 538 ton atau 44 persen dari total produksi tebu nasional. Besarnya produksi tebu di Jawa Timur dibandingkan dengan Lampung karena Jawa Timur memiliki luas lahan lebih besar dibandingkan dengan Lampung. Luas lahan tebu di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 198 944 hektar sedangkan luas lahan di Lampung mencapai 114 255 hektar pada tahun yang sama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Luas Lahan (Ribu Hektar)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 150.00 159.44 148.92 150.11 169.34 171.40 204.13 198.60 198.94 Lampung 86.92 80.73 88.47 96.26 102.85 105.92 103.06 116.36 114.26 Jawa Tengah 34.16 40.60 34.65 37.11 41.78 50.96 46.49 52.06 55.89 Jawa Barat 22.23 21.50 20.20 21.14 22.73 21.96 23.60 23.26 23.09 Sumatera

Selatan 12.32 12.09 12.28 11.66 12.30 12.48 12.41 12.50 18.14 Sumatera

Utara 9.97 10.24 10.45 10.07 10.19 9.40 10.89 12.76 11.12 Gorontalo 13.88 13.08 9.38 5.99 9.36 12.84 13.38 12.37 9.67 Sulawesi

Selatan 6.85 6.26 6.58 8.16 7.78 8.22 10.02 5.08 6.56 Yogyakarta 4.61 4.87 4.80 4.30 5.47 3.28 3.82 3.53 3.78 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

Luas lahan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan Lampung, tetapi lebih rendah dalam produktivitasnya yaitu berturut-turut 82.09 dan 97.72 ton per hektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan tingkat produktivitas tebu di sentra produksi tebu nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingakan dengan yang lain.


(31)

Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Produktivitas (Ton/Ha)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 72.85 73.20 80.08 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 Lampung 109.62 90.90 82.80 105.56 109.58 87.31 92.46 89.67 101.75 Jawa Tengah 55.35 58.66 62.86 67.70 66.51 76.96 80.72 77.09 59.71 Jawa Barat 56.54 52.45 63.17 81.25 81.46 77.66 81.13 72.28 57.68 Sumatera

Selatan 43.35 49.86 52.73 72.46 68.04 71.07 68.27 70.80 59.43 Sulawesi

Selatan 32.10 49.46 41.98 41.24 37.87 29.19 26.43 41.86 30.92 Sumatera

Utara 49.39 34.45 42.95 33.80 65.61 59.28 54.72 49.35 58.92 Gorontalo 52.64 65.53 79.84 69.96 74.23 56.24 77.22 76.26 81.05 Yogyakarta 64.27 73.95 77.32 82.94 83.61 61.50 62.11 66.70 69.73 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung

Jenis Pengusahaan Produktivitas (Ton/Ha)

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Perkebunan Rakyat 68.55 72.96 69.42 60.19 70.23 65.52

Perkebunan Negara 73.66 88.17 81.13 68.40 79.15 81.97

Perkebunan Swasta 111.20 115.28 89.33 97.41 92.84 111.40 ¥ : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan

penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010.

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010

Produktivitas tebu perkebunan rakyat yang sebagian besar masih rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain: (1) sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, (2) sekitar 60 – 70 persen merupakan tanaman keprasan, (3) varietas yang digunakan merupakan varietas lama, (4) teknik budidaya yang belum optimal, (5) keterbatasan modal, dan 6) sistem bagi hasil yang kurang memotivasi


(32)

petani.1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: (1) kualitas bahan tanaman yang kurang baik, (2) harga gula yang rendah, dan (3) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Susila dan Sinaga, 2005b).

Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula (APPG). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: (1) lemahnya modal usahatani, (2) lemahnya penguasaan teknologi, (3) lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan (4) teknologi pascapanen (Sriati et al, 2008). Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan2.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10.

1

Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014]

2

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Propinsi Lampung 13 Juni 2011.


(33)

Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009

Propinsi/Negara Produktivitas (Ton/Ha)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata

Lampung (a) 64.92 66.95 67.02 67.85 70.81 67.47 67.51

Jawa Timur (b) 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 85.45

Nasional (b) 66.95 76.68 73.65 62.52 62.56 63.09 67.58

Brazil (c) 67.02 72.85 75.11 77.63 79.27 78.85 75.12

Australia(c) 67.85 87.15 89.46 89.07 85.72 80.39 83.27

Sumber: (a) PTPN VII, 2011; (b) Ditjenbun Kementan, 2010; (c) FAO, 2010

Produktivitas rendah ini juga diakibatkan adanya sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sistem bagi hasil yang berlaku saat ini adalah 66 persen dari total produksi gula untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula sebagai upah pengolahan. Sistem ini masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seharusnya bisa lebih tinggi bila pengolahan di pabrik gula berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Susila dan Sinaga, 2005a). Rendahnya produktivitas tebu rakyat ini semakin diperburuk dengan rendemen yang rendah pula sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil, Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009

Tahun

PTPN VII UU Bunga Mayang (a)

TR

(TRK dan TRB)(a) Nasional (b)

Brazil(b) Australia(b)

Gunung Madu Plantation

(GMP)(c)

2001 5.55 5.80 7.14 9.88 14.80 6.91

2002 6.18 6.58 6.65 11.16 14.67 7.52

2003 7.02 7.20 7.16 12.02 14.76 9.71

2004 7.67 7.49 6.46 12.71 13.99 9.82

2005 7.54 7.36 6.99 13.32 14.24 9.71

2006 8.23 7.53 6.16 12.02 14.00 9.32

2007 7.58 7.18 7.50 11.44 14.31 9.43

2008 7.79 7.27 7.50 9.94 15.11 9.14

2009 8.18 7.48 7.77 9.96 15.57 9.13

Rata-rata 7.30 7.10 7.04 11.38 14.61 8.97

Sumber: (a) PTPN VII, 2010; (b) FA0, 2010; (c) DPR RI, 2010

Rata-rata rendemen tebu rakyat dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 7.10. Angka ini memang diatas rendemen nasional yaitu 7.04, akan tetapi


(34)

masih dibawah rendemen tebu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, tebu swasta (Gunung Madu Plantations). Angka ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan Brazil dan Australia yang mempunyai rendemen rata-rata berturut-turut 11.38 dan 14.61.

Kebijakan lain untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah dengan memberikan bantuan kredit bagi petani tebu rakyat melalui hubungan kemitraan dengan pabrik gula dimana pabrik gula bertindak sebagai avalis antara petani dan pihak perbankan. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi permasalahan permodalan yang sering menjadi kendala para petani tebu rakyat (Retna, 1999; Sriati et al, 2008). Lebih lanjut Fadjar (2006) menyatakan meskipun pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui pemberdayaan masyarakat perkebunan yang komunikatif. Sikap komunikatif diharapkan menciptakan kemitraan yang mampu mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani.

Di Kabupaten Lampung Utara terdapat satu perusahaan persero yang mengolah tebu menjadi gula dalam skala yang besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta akan diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan.

Pada pelaksaannya kemitraan antara PG dan petani ini bukanlah tanpa kendala. Salah satu contohnya adalah penyaluran kredit penyediaan pupuk yang disaat para petani sudah melewati masa pemupukan. Bunga kredit yang harus dibayarkan petani juga cukup besar yaitu 6 - 7 persen pertahun. Besaran ini sangatlah jauh dibandingkan dengan kredit bagi petani tebu di Vietnam, Thailand, dan Brazil yang besarnya berturut-turut 1.5 persen, 1.3 persen dan 1.1 persen.3 Selain pemberian kredit yang terlambat dan besarnya bunga yang harus dibayarkan, masalah lain yang muncul adalah besarnya kredit yang tidak sesuai

3

Soemitro Samadikoen (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam Rendemen Gula 10 Agar Indonesia Swasembada.


(35)

dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah dengan pemberian kredit tebang muat dan angkut yang besarnya jauh dibawah kebutuhan para petani akibat mahalnya biaya tenaga kerja dalam proses tebang muat dan angkut yang hampir mencakup 50 persen dari biaya usahatani tebu. Kurang maksimalnya penggunaan input sebagai akibat dari berbagai masalah diatas, akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tebu rakyat khususnya tebu rakyat kredit karena budidaya yang dilakukan pada gilirannya juga tidak maksimal.

Selain para petani tebu rakyat yang tergabung dalam TRK, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Rata-rata tingkat rendemen untuk TRB tahu 2001-2009 sebesar 7.31, lebih tinggi dibandingkan dengan TRK yang hanya sekitar 6.80 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat

Bebas (TRB) Periode 2001-2009

Tahun Tebu Rakyat Kredit Tebu Rakyat Bebas

2001 5.17 6.43

2002 6.06 7.09

2003 6.73 7.66

2004 7.21 7.76

2005 7.17 7.55

2006 7.46 7.59

2007 7.01 7.35

2008 7.01 7.52

2009 7.46 7.49

Rata-rata 6.80 7.31

Sumber: PTPN VII, 2010

Tinggi rendahnya tingkat rendemen salah satunya tergantung dari proses produksi (on farm) yang dilakukan oleh petani. Peningkatan rendemen dari tingkat usahatani dapat dilakukan dengan: (1) penataan varietas, (2) pengunaan bibit unggul, (3) pengaturan kebutuhan air, (4) pemupukan berimbang, dan (5) pengendalian organisme pengganggu (P3GI, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha


(36)

Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat ?

2. Bagaiamana tingkat efisiensi dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi inefisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan berbagai permasalahan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB dan pengaruh kemitraan (TRK dan TRB) terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

2. Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi dari usahatani tebu rakyat baik pada pola tanam keprasan dan non-keprasan yang tergabung dalam pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB).

2. Tingkat efisiensi yang dianalisis pada penelitian ini adalah tingkat usahatani. 1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan pada tingkat usahatani khususnya untuk mendukung tercapainya swasembada gula. 2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah satu anggota familia rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah. Namun, tebu masih dapat tumbuh dan berkembang di daerah sub-tropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1 400 m diatas permukaan laut (dpl). Tebu diduga berasal dari Pasifik Selatan, Jawa dan India. Bahkan, komoditas ini sudah diusahakan di Jawa sejak tahun 75 Masehi. Pada zaman Belanda, tebu sudah menjadi salah satu komoditas komersial yang mempunyai nilai tinggi. Nilai komoditas yang begitu tinggi menjadikan pemerintah terus melanjutkan kebijakan penanaman tebu melalui perusahaan-perusahaan perkebunan besar dan swasta baik di Jawa maupun Luar Jawa. Pada perkembangannya tanaman tebu juga dikembangkan oleh rakyat melalui kebijakan pemerintah Tebu Rakyat Intensifikasi atau yang lazim dikenal dengan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

Input dalam usahatani tebu rakyat secara umum terdiri dari lahan, tenaga kerja, pupuk dan pestisida. Biaya usahatani untuk tenaga kerja bisa mencapai lebih dari 40 persen, artinya usahatani tebu lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan pada modal. Sedangkan proporsi biaya untuk input lain bervariasi antar daerah. Zhang et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja usahatani tebu di China adalah 40 persen untuk tenaga kerja, 24 persen untuk pupuk, 16 persen untuk sewa tanah, dan 20 persen untuk input lainnya. Chidoko dan Chimway (2011) dalam penelitiannya di Lowveld Zimbabwe menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani tebu sebesar 45 persen, pupuk 14 persen, bibit 14 persen, pestisida dan bunga modal masing-masing 4 persen. Berdasarkan dua penelitian tersebut diketahui bahwa proporsi biaya untuk tenaga kerja masih dominan.

2.1.1. Usahatani Tebu Pola Tanam (Non-Keprasan) dan Pola Keprasan Pola usahatani tebu dilakukan berdasarkan dua pola yaitu pola non keprasan dan pola keprasan. Pola tanam (non-keprasan) adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit. Budidaya tebu pola tanam atau non-keprasan dimulai


(38)

dengan persiapan lahan. Kegiatan selanjutnya adalah persiapan tanam yang meliputi pengolahan lahan dan pembuatan kair. Kair (leng) digunakan sebagai tempat penanaman bibit tebu. Jarak antara kair adalah sekitar 1 meter dengan kedalaman 25 – 30 cm. Selain itu, dalam kebun dibuat jalan dengan jarak 30 - 40 cm dan kedalaman 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah penanaman. Penanaman biasanya berkisar pada bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini dikarenakan pada saat penanaman tebu membutuhkan air yang cukup sehingga tebu baru bisa ditanam pada musim hujan untuk mendapatkan air. Bibit yang akan ditanam sebaiknya sudah melalui seleksi terlebih dahulu. Bibit yang telah disiapkan lalu ditanam mendatar dengan posisi mata disamping dan ditutup tanah sedalam diameter tebu yang sekitar 2 cm.

Kegiatan yang dilakukan setelaha penanaman adalah pemeliharaan tebu meliputi pemupukan, penyulaman, pembumbunan, penyiangan dan klentek. Pemupukan dilakukan bersama – sama waktu menanam agar pertumbuhan akar maupun tunas lebih cepat dan kuat. Hal ini dilakukan dengan cara bibit diletakkan pada alur bibit dan diikuti dengan pemberian pupuk lalu ditutup dengan tanah. Penyulaman dapat dilakukan setelah satu bulan tanam. Pembumbunan biasanya dilakukan 3 kali yang berguna untuk menggemburkan tanah dan untuk menutupi pupuk. Penyiangan merupakan pembersihan gulma yang biasanya dilakukan sebelum pemupukan. Sedangkan klentek merupakan legiatan perontokkan daun kering dari tebu. Setelah tebu berumur 11 – 12 bulan tebu ditebang atau dipanen.

Tebu keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Budidaya tebu kepras dimulai setelah tebu ditebang. Setelah tebu ditebang, daun – daun yang tak terpakai dikumpulkan dan dibakar. Hal ini dilakukan agar mempermudah pengeprasan. Pengeprasan tebu yaitu memotong batang tebu bekas tebangan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dengan menggunakan cangkul dan tanah dibuat seperti bedengan. Pengeprasan sampai kedalaman sekitar 20 cm dari atas permukaan tanah dimaksudkan supaya tebu yang nanti akan tumbuh merupakan tebu anakan pertama dari tebu induknya sehingga tebu yang nanti akan tumbuh diharapkan masih memiliki kualitas yang tak jauh berbeda dari tebu induknya. Kualitas tebu yang baik dilihat dari besarnya


(39)

kandungan gula yang dapat dihasilkan oleh tebu tersebut. Setelah satu bulan dari pengeprasan, tanaman tebu akan tumbuh anakan (tunas) lalu di pedhot oyot. Kegiatan pedhot oyot atau putus akar yaitu memutuskan akar lama yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar baru. Jarak pedhot oyot 15 cm dari tebu serta 15 cm untuk arah sebaliknya dengan menggunakan ganco. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan tebu yang meliputi penyiangan, penyulaman, pemupukan, pembumbunan dan klitek seperti pada tebu tanam (Lestari, 2008).

Nuryanti (2007) dalam penelitiannya mengkaji aspek finansial usahatani tebu mandiri di Yogyakarta dan Jawa Tengah menyimpulkan bahwa tanaman keprasan lebih lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan. Lebih menguntungkannya pola keprasan ini diduga menghambat upaya peningkatan produktivitas melalui introduksi varietas baru.

2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering

Usahatani tebu di Indonesia berdasarkan lahan yang digunakan didapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tebu lahan kering dan tebu lahan sawah. Sebagian besar pengusahaan tebu di Indonesia berjenis lahan sawah dimana pada lahan tersebut tersedia cukup air karena adanya air irigasi. Sedangkan pengusahaan tebu pada lahan kering masih sangat terbatas (Hafsah, 2003). Dalam pengusahaanya, ada yang mengusahakannya sebagai usaha pokok dan ada juga sebagai usaha sampingan.

Raswati (1997) dalam penelitiannya menyatakan 57.5 persen petani tebu di wilayah kerja PG Meritjan Kediri mengusahakan tebu sebagai usaha sampingan dengan alasan pengusahaan tanaman lain seperti palawija dan padi lebih menguntungkan. Alasan pengusahaan tebu menurut petani di daerah tersebut adalah adanya peraturan pemerintah yang mewajibkan petani menanam tebu dengan sistem sistem glebagan. Berbeda dengan petani di wilayah kerja PG Gempolkrep Mojokerto, dimana 75 persen menyatakan bahwa mereka mengusahakan tebu sebagai usaha pokok. Keadaan ini dipengaruhi kondisi wilayah yang sering dihadapkan pada masalah ketersediaan air sehingga usahatani tebu dipandang lebih memungkinkan karena membutuhkan air yang relatif tidak banyak. Kondisi ini sama dengan yang terjadi pada petani yang berada di wilayah kerja PG. Modjopanggoong Tulung Agung (Setiadji, 1997).


(40)

Pengusahaan tebu di lahan sawah mulai mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, sedangkan pengusahaan tebu di lahan kering cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin kuatnya persaingan dari sektor-sektor yang mampu membayar sewa lahan dan dan keuntungan yang lebih besar, seperti pengalihan lahan untuk tanaman lain, industri maupun perumahan (Susila dan Sinaga, 2005b). Fenomena ini juga terjadi akibat adanya Inpres No. 5 tahun 1998 yang membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu dan bebas memilih komoditas yang akan diusahakan. Dikeluarkannya Inpres ini sekaligus menghapus Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI adalah sistem pengusahaan tebu di mana pengusahaan tebu tidak lagi diusahakan oleh pabrik gula dengan sistem sewa lahan, tetapi diusahakan oleh petani dengan sistem bagi hasil sedangkan pabrik gula hanya sebagai pembimbing dan pengolah tebu menjadi gula (Saptana et al., 2004). TRI merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu. Akan tetapi dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 1998 ternyata tidak serta merta membuat petani di beberapa daerah yang sebelumnya menanam tebu langsung beralih ke tanaman lain.

Penelitian Januarsini (2000) menggambarkan dua fenomena diatas, dimana hasil penelitian menunjukkan 42.5 persen petani di wilayah kerja PG Prajekan menyatakan akan tetap mengusahakan tebu. Alasan petani masih mengusahakan tebu adalah: (1) usahatani tebu masih sangat menguntungkan khususnya apabila dikelola dengan baik; (2) lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan tanaman lain; (3) petani merasa pendapatan tebu relatif besar dan diterima sekaligus sehingga dapat dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan uang yang relatif besar. Sementara itu, petani yang tidak lagi mengusahakan tebu sebesar 57.5 persen dengan alasan: (1) berusahatani tebu tidak menguntungkan, (2) siklus panen tebu terlalu lama sehingga petani berlahan sempit lebih memilih usahatani yang cepat memperoleh hasil, dan (3) timbulnya ketidakpercayaan pada pihak yang terkait yaitu pabrik gula dan KUD.


(41)

2.2. Efisiensi Produksi Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Efisiensi merupakan aspek yang penting karena dapat bertindak sebagai alat ukur untuk pemilihan terhadap alternatif pada penarikan keputusan produksi (Bishop dan Toussaint, 1958). Penarikan keputusan produksi seringkali menjadi keharusan bagi petani mengingat dalam aktivitas usahatani seringkali terjadi gap produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan. Senjang produktivitas tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor yang sulit untuk diatasi oleh manusia (petani) seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungam, misalnya iklim. Perbedaan hasil yang disebabkan oleh dua faktor tersebut menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya senjang produktivitas antara lain : (1) adanya kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, (2) kendala sosial ekonomi seperti perbedaan besar biaya dan penerimaan usahatani, kurangnya biaya usahatani, harga produksi, faktor kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko berusahatani dan sebagainya (Soekartawi, 2002).

Beberapa penelitian tentang efisiensi produksi tebu antara lain Dlamini et al. (2000), Babalola et al. (2009), Fernandez dan Nuthall (2009) dan Jasila (2010). Dlamini et al. (2000) melakukan penelitian efisiensi teknis petani tebu rakyat di Vuvulane dan Big Bend, Swaziland, Afrika Selatan dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas. Variabel bebas yang digunakan dalam fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas adalah lahan, tenaga kerja, pupuk dan herbisida. Sementara itu, efek inefisiensi teknis dilihat dengan menggunakan persamaan dan variabel bebas yang dimasukkan dalam persamaan, antara lain umur, lama pendidikan, pendapatan off-farm, dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi teknis untuk petani Vuvulane bernilai antara 37.5 – 99.9 persen dengan nilai rata-rata 73.6 persen. Sedangkan efisiensi untuk petani Big Bend bernilai antara 71 – 94.4 persen dengan nilai rata-rata 86.7 persen. Faktor yang berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis adalah pendidikan formal dan pendapatan off-farm untuk daerah Vulvulane serta


(42)

pendapatan off-farm untuk daerah Big Bend. Akan tetapi, semua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata.

Babalola et al. (2009) dalam penelitiannya di Jigawate Nigeria membandingkan antara petani yang masuk dalam program pemerintah untuk meningkatkan produksi tebu (Millinieum Village Commision Program – MVCP) dengan petani yang tidak masuk dalam program tersebut (non-MVCP). Penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas dengan variabel bebas adalah luas lahan, tenaga kerja dalam kelurga, tenaga kerja dalam keluarga bibit, pupuk, pestisida dan irigasi. Sedangkan efek inefisiensi teknis antara lain pengalaman, dummy penyuluhan, pendidikan, dummy akses terhadap kredit, dummy keanggotaan dalam kelompoktani,dummy partisipasi dalam program, dummy zona ekologi, dummy kerapatan tanaman, dummy varietas.

Efisiensi teknis untuk petani MVCP adalah 60.97 persen sedangkan untuk petani non-MVCP adalah 70.32 persen. Variabel bebas yang berpengaruh nyata (α

1 persen, α 5 persen, dan α 10 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja luar

keluarga, benih, pupuk, pestisida dan irigasi untuk petani MVPC. Sedangkan untuk petani non-MVPC yang berpengaruh nyata (α 1 persen, dan α 5 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, bibit dan pupuk. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis untuk petani MVPC adalah dummy zona ekologi (α 1 persen), dan partisipasi dalam program (α 5 persen). Variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis petani

non-εVPC adalah pendidikan (α 5 persen), dummy kerapatan tanaman (α 10 persen),

dan variabel yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis adalah pengalaman

(α 1 persen), dummy penyuluhan (α 1 persen), dummy kelompoktani (α 5 persen),

dan dummy partisipasi dalam program (α 5 persen).

Fernandez dan Nuthall (2009) dalam penelitiannya mengidentifikasi sumber inefisiensi teknis dalam produksi tebu di wilayah Negros Tengah, Filipina. Analisis dilakukan dengan menggunakan Data Envelompent Analysis (DEA). Dari hasil penelitian ini diketahui untuk nilai Pure Technical Efficiency (PTE) adalah 0.7580; Scale Efficiency (SE) adalah 0.9884 dan Overall Technical Efficiency (OTE) adalah 0.7298. Penggunaan input yang sudah efisien adalah lahan, bibit dan power (listrik). Sedangkan untuk pupuk dan tenaga kerja tidak berpengaruh


(43)

nyata. Faktor yang menentukan efisiensi teknis adalah pengalaman, akses kredit dan ukuran usahatani.

Jasila (2010) menganalisis pengaruh kredit ketahanan pangan terhadap efisiensi usahatani tebu di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani tebu di daerah penelitian adalah lahan, pupuk N, tenaga kerja, dummy KKP, pendidikan dan ukuran usahatani. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa pengalaman dan pola tanam berpengaruh positif terhadap tingkat inefisiensi teknis tetapi tidak berpengaruh nyata. Berkaitan dengan pola tanam, penelitian ini menjelaskan bahwa jika petani tebu menanam dengan pola non-kepras akan menghasilkan produksi yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan hasil pada tanaman tebu kepras. Hal ini terjadi karena anakan pada tanaman non-kepras lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman kepras, sehingga produksi tebu yang dihasilkan tanaman kepras lebih banyak. Petani hanya dianjurkan untuk melakukan keprasan maksimal sampai pada kepras ke tiga.

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu

Kemitraan dalam produksi tebu sering dilakukan antara petani dengan pabrik gula. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan bimbingan teknis budidaya sehingga memperbaiki proses produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil.

Dwijayanti (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan prosedur pelaksanaan kemitraan antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu, (2) mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kemitraan di Pabrik Gula Candi Baru, dan (3) mengetahui harmonisasi kemitraan yang terjadi antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu mitra, dalam kaitannya dengan perjanjian kemitraan dan menganalisa perbedaan biaya usahatani,


(44)

penerimaan dan pendapatan antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani (TRKSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Pabrik Gula Candi Baru menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan yang ditetapkan oleh PG Candi Baru sebagai persyaratan bagi petani dalam bermitra dirasakan tidak memberatkan pihak petani. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi Pabrik Gula Candi dalam pola kemitraan dengan para petani anatar lain adalah tebang-angkut yang terkadang tidak tepat waktu, masalah penyediaan bahan baku dalam memenuhi kapasitas giling PG serta masalah dalam perkreditan dimana terdapat petani yang terlambat dalam melakukan pembayaran apabila mengalami gagal panen.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata petani TRKSU lebih besar dibandingkan biaya produksi rata-rata petani TRM yaitu sebesar Rp. 31 111 488,5 dan sebesar Rp. 28 457 398. Hal ini dikarenakan adanya beban bunga sebesar 12 persen yang dibebankan kepada petani TRKSU atas pinjaman modal yang diberikan oleh Pabrik Gula. Akan tetapi, penerimaan rata-rata petani TRKSU lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan rata-rata-rata-rata petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 57 766 309.25 dan Rp. 49 340 676.67. Hal ini dikarenakan produksi rata-rata dan tingkat rendemen petani TRKSU lebih tinggi dibanding petani TRM. Pendapatan petani TRKSU pun lebih besar dibandingkan petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 26 654 820.74 dan Rp. 20 883 278.28 per hektarnya.

Peningkatan pendapatan akibat adanya kemitraan petani juga dapat dilihat pada penelitian Najmudirohman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati Jawa Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai petani mitra adalah 1.42, dan petani yang tidak bermitra adalah 1.20. Sedangkan R/C atas biaya total untuk petani mitra adalah 1.37 sedangkan untuk petani non mitra adalah 1.16. Kedua penelitian diatas memberikan kesimpulan yang sama yaitu pola kemitraan cenderung menguntungkan petani.

Kemitraan juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi para petani tebu melalui pembinaan atau penyuluhan maupun dengan bantuan saprodi sesuai


(45)

dengan petunjuk dari pabrik gula. Akan tetapi, hasilnya sering tidak sesuai harapan sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Msuya dan Ashimogo. Msuya dan Ashimogo (2007) melakukan analisis efisiensi produksi terhadap petani tebu plasma (bermitra dengan pabrik) dan non-plasma (tidak bermitra dengan pabrik) di Mtibwa di Tanzania dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglass. Variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, total input (bibit, pupuk, pestisida dan keranjang panen) dan peralatan. Sedangkan variabel yang digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya efek inefisiensi teknis antara lain usia, pendidikan, dummy daerah Mtibwa, dummy daerah Diongoya, dummy daerah Kangga, dummy keaslian penduduk, pengalaman dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk plasma adalah 76.43 persen, dan 80.65 persen untuk non plasma. Variabel bebas pada petani plasma yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, tenaga kerja luar keluarga dan total input (α 1 persen dan α 10 persen). Sedangkan pada petani non-plasma, variabel luas lahan dan total input yang

berpengaruh nyata (α 1 persen dan α 5 persen). Faktor yang berpengaruh nyata

terhadap inefisiensi teknis pada petani plasma adalah umur (α 10 persen). Sedangkan untuk petani non plasma tidak ada variabel yang berpengaruh nyata.

Skema kemitraan yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula dapat berbeda antara satu tempat lain. Govereh et al. (1999) dalam penelitiannya terhadap usahatani tebu rakyat di Kenya menemukan bahwa selama proses persiapan lahan, input, pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh pabrik, sedangkan petani hanya bertanggungjawab dalam penanaman dan perawatan. Unggul (2009) menjabarkan bentuk kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan pihak PG Madukismo. Kerjasama antara PG dengan petani dalam menjalankan usahatani tebu dilakukan dengan memberikan jaminan pendapatan minimum (JPM). Petani yang memperoleh JPM adalah petani yang melakukan adopsi inovasi kelembagaan dengan menjalankan usahatani Tebu Rakyat Kemitraan (TR Kemitraan) dan usahatani Tebu Kerjasama usaha (TRKSU). Besaran JPM yang diterima petani disesuaikan dengan potensi lahan. Pada pelaksanaan usahtani TR KSU yang harus dilaksanakan pada lahan sawah kelas I,


(46)

JPM yang diterima lebih besar daripada pelaksanaan usahatani yang tidak pada lahan kelas I. Sementara petani yang menjalankan usahatani Tebu Rakyat Mandiri (TR Mandiri) tidak memperoleh JPM.

Kemitraan antara petani tebu dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang berupa program Tebu Rakyat (TR) terdiri atas dua macam yaitu Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB). Program TRK merupakan program dimana bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (avalis) memberikan kredit modal kerja. Sementara Tebu Rakyat Bebas (TRB) adalah suatu program dimana petani bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang tanpa kredit. Kemitraan petani TRK diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan program kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula. Pabrik gula akan memeriksa dan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak mendapatkan kredit. Petani anggota TRK harus memenuhi syarat-syarat mendapatkan kredit, yaitu: lahan bebas sengketa dan hak milik serta akses ke lahan lancar dapat dilalui truk. Petani mendapatkan kredit modal kerja berupa bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan biaya tenaga kerja dari bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dengan kewajiban membayar bunga kredit per tahun pada saat bagi hasil.

Pada kemitraan TRB, hubungan kemitraan diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula tanpa kredit. Pabrik gula akan melakukan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak untuk mengadakan kemitraan. Petani anggota TRB boleh melakukan sewa lahan dengan pihak lain dan apabila akses ke lahan sulit dijangkau petani masih boleh mengikuti program TRB. Petani tebu anggota TRB mengusahakan sendiri segala keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan tenaga kerja.

Sriati et al. (2008) dalam penelitiannya memberikan perbandingan antara petani TRK dan TRB sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban Petani Tebu Rakyat Kredit dan Bebas

Hak yang diperoleh sebagai petani TRK yaitu: (1) mendapatkan paket kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang sesuai luas garapan yang telah disetujui, (2) memperoleh 66 persen gula hasil tebu yang diolah, tetes


(47)

2.5 persen dan natura 10 persen, (3) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam berusahatani tebu, (4) dijamin dalam pengembalian kredit oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, dan (5) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu. Hak yang diperoleh sebagai petani TRB yaitu: (1) memperoleh 65 persen gula hasil tebu yang diolah, (2) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor terutama pada masalah dalam usahataninya, dan (3) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, serta rendemen tebu.

Kewajiban yang harus dipenuhi para petani Tebu Rakyat Kredit (TRK), yaitu: (1) mengelola usahatani tebu sebaik-baiknya dan mematuhi bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula, (3) mengembalikan bunga kredit setelah selesai giling dan membayar biaya tebang angkut, (4) menyarahkan fotokopi bukti kepemilikan lahan. Kewajiban yang harus dipenuhi petani tebu rakyat bebas (TRB), yaitu : (1) mengelola usahatani dengan baik, tidak harus mengikuti bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian atau seluruh hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. TRB juga hanya membayar biaya tebang angkut setelah selesai giling.

b. Hak dan Kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang

PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam kemitraannya dengan petani tebu anggota TRK dan TRB selaku pabrik gula juga memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini sehingga berjalan dengan lancar. Pada hubungan kemitraan, hak petani tebu anggota TRK dan TRB merupakan kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, sedangkan kewajiban petani TRK dan petani TRB merupakan hak dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

c. Kemitraan dalam Hal Pengolahan

Proses pengolahan tebu menjadi gula pasir merupakan rangkaian proses sejak diterimanya bahan baku dari kebun sampai menjadi produk gula. Penentuan waktu tebang dan pengangkutan hasil sampai ke tempat timbangan pabrik gula


(48)

dilakukan dengan musyawarah oleh pabrik gula dengan petani tebu anggota TRK dan TRB. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal penebangan dan pengangkutan sampai pengolahan terdapat perbedaan antara petani tebu anggota TRK dan petani tebu anggota TRB

Tebu hasil usahatani TRK ditimbang di penimbangan pabrik gula dan petani ikut menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik (rendemen sementara), disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan untuk setiap lahan garapan. Petani TRK wajib menyerahkan seluruh hasil tebunya ke pabrik gula dan pabrik gula wajib menerima dan mengolah tebu tersebut. Petani anggota TRK tidak diperkenankan menyerahkan tebunya ke pabrik gula lain yang bukan mitranya

Tebu hasil usahatani TRB ditimbang di penimbangan PG dan petani menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik gula, disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan dengan menggunakan sistem rendemen rata-rata. Petani TRB menyerahkan tebu sesuai dengan yang mereka inginkan untuk diolah menjadi gula. Namun dalam hal ini pabrik gula akan lebih mengutamakan mengolah tebu TRK terlebih dahulu baru TRB.

Hasil analisis chi-square untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK dalam penelitian ini menunjukkan bahwa modal, akses ke lahan, dan pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi petani untuk menjalin kemitraan dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sedangkan dari hasil analisis pendapatan tani menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata petani TRK lebih besar dari pendapatan rata-rata petani TRB yaitu Rp 15 969 443.23 untuk petani TRK dan Rp 13 591 636.84 untuk petani TRB. Demikian pula dengan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) usahatani tebu yang menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang berarti usahatani menguntungkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sriati et al. (2008) tidak menganalisis sampai tahap tingkat efisiensi baik efisiensi petani Tebu Rakyat Kredit (TRK) maupun Tebu Rakyat Bebas (TRB).


(49)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1.Konsep Usahatani

Ilmu usahatani menurut Soekarwati (2002) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara-cara petani memperoleh dan mengkombinasikan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengolahan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Suratiyah (2008) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu :

1. Lahan

Lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu, lahan memiliki beberapa sifat, di antaranya adalah : luasnya relatif atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan cara membeli, menyewa, membuka lahan sendiri, wakaf, menyakap atau pemberian negara.

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani yang bertugas menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Dalam usahatani, tenaga kerja dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia digolongkan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani didasari oleh tingkat kemampuannya. Kualitas kerja manusia sangat dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam kegiatan usahatani digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan hari kerja total (HK total). Tenaga kerja


(1)

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal data file = be15.dat

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function

The dependent variable is logged

the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.11252995E+01 0.45525965E+00 0.24717753E+01 beta 1 0.35801985E+00 0.62839249E-01 0.56973921E+01 beta 2 0.17066722E+00 0.62044179E-01 0.27507370E+01 beta 3 0.88291286E-01 0.32751634E-01 0.26957826E+01 beta 4 0.57930408E-01 0.52893249E-01 0.10952326E+01 beta 5 0.81955598E-01 0.27501447E-01 0.29800468E+01 beta 6 0.55030893E-01 0.33458775E-01 0.16447372E+01 beta 7 0.22044641E+00 0.53584246E-01 0.41140153E+01 sigma-squared 0.64109082E-02

log likelihood function = 0.32469247E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.14097773E+01 0.30680189E+00 0.45950737E+01 beta 1 0.31629331E+00 0.41418724E-01 0.76364813E+01 beta 2 0.12018843E+00 0.67319652E-01 0.17853394E+01 beta 3 0.98925822E-01 0.23222186E-01 0.42599703E+01 beta 4 0.65947801E-01 0.47016820E-01 0.14026427E+01 beta 5 0.87404078E-01 0.22164403E-01 0.39434439E+01 beta 6 0.31215185E-01 0.23485986E-01 0.13290983E+01 beta 7 0.22940619E+00 0.36121597E-01 0.63509427E+01 delta 0 0.48788702E+00 0.14530846E+00 0.33575955E+01 delta 1 -0.98870962E-02 0.83150749E-02 -0.11890568E+01 delta 2 -0.13165693E-01 0.48278186E-02 -0.27270479E+01 delta 3 -0.37680971E-01 0.57335699E-01 -0.65719913E+00 delta 4 -0.66672765E-01 0.39202617E-01 -0.17007223E+01 sigma-squared 0.40897887E-02 0.93164326E-03 0.43898656E+01 gamma 0.83453316E+00 0.32665362E+00 0.25547954E+01 log likelihood function = 0.38431760E+02


(2)

LR test of the one-sided error = 0.11925025E+02 with number of restrictions = 6

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 26

(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 25

number of time periods = 1 total number of observations = 25 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates :

firm year eff.-est. 1 1 0.88104102E+00 2 1 0.81859483E+00 3 1 0.96899398E+00 4 1 0.89017796E+00 5 1 0.78379373E+00 6 1 0.89630389E+00 7 1 0.84709514E+00 8 1 0.82252780E+00 9 1 0.95047798E+00 10 1 0.90371437E+00 11 1 0.87802376E+00 12 1 0.94581829E+00 13 1 0.87916838E+00 14 1 0.77761114E+00 15 1 0.80315776E+00 16 1 0.97890377E+00 17 1 0.97280257E+00 18 1 0.87511129E+00 19 1 0.89342480E+00 20 1 0.97015727E+00 21 1 0.81707346E+00 22 1 0.83677116E+00 23 1 0.95360738E+00 24 1 0.98605718E+00 25 1 0.99423542E+00


(3)

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c)

instruction file = terminal data file = dkk.dat

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function

The dependent variable is logged

the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.15440051E+01 0.46793448E+00 0.32996181E+01 beta 1 0.42613847E+00 0.91171269E-01 0.46740435E+01 beta 2 0.11360838E+00 0.76558514E-01 0.14839418E+01 beta 3 0.15052761E+00 0.61566694E-01 0.24449520E+01 beta 4 0.10703631E+00 0.45933411E-01 0.23302495E+01 beta 5 0.11056273E+00 0.55037942E-01 0.20088457E+01 beta 6 0.84397240E-01 0.33713600E-01 0.25033589E+01 beta 7 0.89084102E-01 0.84543338E-01 0.10537093E+01 sigma-squared 0.15472786E-01

log likelihood function = 0.37628723E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.20394995E+01 0.30421241E+00 0.67041959E+01 beta 1 0.55093465E+00 0.60785878E-01 0.90635303E+01 beta 2 0.12016586E+00 0.60369790E-01 0.19904966E+01 beta 3 0.96342695E-01 0.42833794E-01 0.22492216E+01 beta 4 0.74462100E-01 0.35451134E-01 0.21004152E+01 beta 5 0.18974768E-01 0.47702811E-01 0.39777043E+00 beta 6 0.77273864E-01 0.27200450E-01 0.28409038E+01 beta 7 0.10364420E+00 0.58234502E-01 0.17797731E+01 delta 0 0.14128724E+01 0.42741785E+00 0.33055998E+01 delta 1 -0.11105117E+00 0.32442649E-01 -0.34229995E+01 delta 2 -0.47779960E-01 0.36128036E-01 -0.13225175E+01 delta 3 -0.63273331E-01 0.12069558E+00 -0.52423902E+00 delta 4 -0.70554883E-01 0.36684484E-01 -0.19232895E+01 sigma-squared 0.27689456E-01 0.76227733E-02 0.36324649E+01 gamma 0.82420335E+00 0.12448732E+00 0.66207817E+01 log likelihood function = 0.50700034E+02


(4)

LR test of the one-sided error = 0.26142622E+02 with number of restrictions = 6

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 25

(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 50

number of time periods = 1 total number of observations = 50 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates :

firm year eff.-est.

1 1 0.96152540E+00 2 1 0.98633879E+00 3 1 0.94394561E+00 4 1 0.94757844E+00 5 1 0.91603614E+00 6 1 0.95048974E+00 7 1 0.89708886E+00 8 1 0.89959506E+00 9 1 0.97002195E+00 10 1 0.98081918E+00 11 1 0.79257478E+00 12 1 0.97610233E+00 13 1 0.91502807E+00 14 1 0.98113340E+00 15 1 0.98390955E+00 16 1 0.90351562E+00 17 1 0.95737161E+00 18 1 0.97412812E+00 19 1 0.94630991E+00 20 1 0.93752719E+00 21 1 0.92265887E+00 22 1 0.93182673E+00 23 1 0.89752538E+00 24 1 0.95986865E+00 25 1 0.91631662E+00 26 1 0.96834327E+00 27 1 0.92507060E+00 28 1 0.91236473E+00 29 1 0.96317185E+00 30 1 0.84674076E+00 31 1 0.97126014E+00 32 1 0.94502985E+00


(5)

36 1 0.96640407E+00 37 1 0.96959190E+00 38 1 0.97736977E+00 39 1 0.96842303E+00 40 1 0.97630763E+00 41 1 0.97941484E+00 42 1 0.73179721E+00 43 1 0.97320053E+00 44 1 0.98113669E+00 45 1 0.96248794E+00 46 1 0.98110321E+00 47 1 0.93762116E+00 48 1 0.80761845E+00 49 1 0.98026332E+00 50 1 0.95761285E+00


(6)