Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PADA INDUSTRI MEBEL SKALA MIKRO DAN KECIL
DI KABUPATEN JEPARA

MOHAMMAD SIDIQ

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di
Kabupaten Jepara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Mohammad Sidiq
NIM E151100031

RINGKASAN
MOHAMMAD SIDIQ. Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara.
Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan EFI YULIATI YOVI.
Industri mebel Jepara berskala mikro dan kecil sangat penting bagi
Kabupaten Jepara, karena mampu menciptakan lapangan kerja bagi 280-350 ribu
usia produktif. Kontribusi nyata sektor industri mebel ini pada Produk Domestik
Regional Bruto Jepara mencapai lebih 22,6% pada tahun 2010. Para pekerja di
industri mebel berperan penting di balik kondisi ini.
Kondisi tempat kerja industri mebel kayu menunjukkan kondisi yang tidak
aman. Namun upaya perlindungan terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) bagi para pekerja belum tampak.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menguraikan implementasi
kebijakan K3 di industri mebel kayu di Jepara, mengidentifikasi aktor yang

terlibat dalam kebijakan K3 dan menemukan alternatif strategi pengembangan K3.
Informan dalam penelitian ini adalah para pekerja di industri mebel,
pemilik/pengurus usaha mebel, lembaga legilatif, dinas tenaga kerja, dinas
kesehatan, puskesmas, perguruan tinggi dan LSM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan K3 belum diterapkan
pada industri mebel skala mikro dan kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhinya
antara lain terkait dengan masalah yang tidak mudah dikendalikan menyangkut
perilaku, kebijakan yang ada saat ini belum dapat menstrukturkan implementasi
dan faktor di luar kebijakan seperti kondisi sosial ekonomi pekerja. Alternatif
strategi implementasi K3 yang disarankan yakni peningkatan kesadaran para
pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang K3, peningkatan kapasitas pemda
baik kualitas maupun kuantitas dalam menjalankan fungsinya dalam implementasi
K3, pelibatan para pemilik/pengurus usaha melalui asosiasinya untuk
mengintegrasikan K3 dalam aspek bisnisnya, dan penyusunan perda tentang K3 di
Jepara.
Kata kunci: kebijakan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), industri mebel
kayu skala mikro dan kecil, Jepara

SUMMARY
MOHAMMAD SIDIQ. Policy Implementation of Occupational Safety and Health

in Jepara Small Scale and Household Furniture Industry. Supervised by DODIK
RIDHO NURROCHMAT and EFI YULIATI YOVI.
There is no doubt that small scale and household industry of wooden
furniture in Jepara is very important for Jepara District; this industry generates
employment growth for 280–350 thousands productive age. Significance
contribution of furniture industry constitutes over 22.6% to Gross Regional
Domestic Product in 2010. In the context of Jepara, the workers play pivotal role
in the overall industrial economy of the region.
The physical condition of workplace in most wooden furniture industry are
unsafe. In contrary the efforts to provide Occupational Safety and Health (OSH)
for workers are not observable.
With qualitative research approach, this study outlines the implementation
of OSH policy in wooden furniture industry in Jepara, identifies actors who
involved in the implementation process of OSH policy, and apprehends alternative
implementation strategies. Informants in this study were the workers in the
furniture industry, the owner / caretaker furniture business, legilatif institutions,
employment agencies, health departments, community health centers, university,
and NGOs.
The study results indicate that OSH protection is not implemented in small
scale and household furniture industries. Factors that influence this condition are

related to problems that are not easily controlled such as behavior of actors
involved (workers and business owners), existing policies that have not been able
to structure the OSH implementation, and other factors beyond policy e.g. socioeconomic status of workers. The proposed alternative strategies of OSH
implementation includes increasing awareness of the workers and the owners/
managers of wooden furniture industry, enhancement capacity building of
government employee for carrying out theirs functions in the implementation of
OSH, the involvement of the business owners/managers attempt to integrate OSH
through their associations in their business, and development policy instrument
appropriate for the context of furniture industry in Jepara
Keywords: policy, Occupational Safety and Health (OSH), micro small and
medium industry, wooden furniture, Jepara

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PADA INDUSTRI MEBEL SKALA MIKRO DAN KECIL
DI KABUPATEN JEPARA

MOHAMMAD SIDIQ

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS

Judul Tesis : Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara
Nama
: Mohammad Sidiq
NIM
: E151100031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik R.Nurrochmat, MSc.F.Trop
Ketua

Dr. E.Y. Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi S2
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:
18 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa
Tengah sejak bulan Maret sampai April 2012 ini ialah kebijakan, dengan judul

Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel
Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrochmat, MSc., F.Trop dan Ibu Dr. E.Y. Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc selaku
pembimbing yang telah memberikan pengarahan serta bimbingan dalam
penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku dosen
penguji pada ujian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Dr. Ir. Heri Purnomo beserta staf Center for International Forestry
Research (CIFOR) serta Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR) Project No. FST/2007/119 (CIFOR Project code: R-LIV-220-1-ACI16)
“Mahogany and teak furniture: action research to improve value chain efficiency
and enhance livelihoods”, dan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara yang
telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Mohammad Sidiq

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian









2  METODE
Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Unit Analisis
Penentuan Contoh
Pengumpulan Data
Analisis Data
Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian







10 
10 
10 

3  HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Isi dan Instrumen Kebijakan K3
Implementasi K3 pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil
Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi Kebijakan K3
pada Industri Mebel Jepara
Kesenjangan (Gap) antara Kebijakan K3 dan Implementasinya pada
Industri Mebel Jepara
Strategi Implementasi K3 untuk Industri Mebel Jepara
Pola Implementasi K3 pada Industri Mebel Jepara

14 
14 
20 
24 
33 
33 
41 
44 
46 

4  SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

47 
47 
48 

DAFTAR PUSTAKA

49 

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1. Tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan di lingkungan kerja
industri mebel skala mikro dan kecil
2. Jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang dialami 74
orang pekerja di lingkungan kerja mebel skala mikro dan kecil di
Jepara
3. Tinjauan terhadap isi kebijakan K3
4. Tinjauan terhadap instrumen kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja
5. Sumber bahaya yang teridentifikasi di lingkungan kerja mebel skala
mikro dan kecil di Jepara
6. Daftar para pihak dan perannya dalam implementasi K3 di Jepara
7. Perspektif dan posisi aktor terhadap kebijakan K3
8. Kepentingan aktor terhadap kebijakan K3
9. Kekuasaan dan kepemimpinan aktor K3 pada industri mebel Jepara
skala mikro dan kecil
10. Deskripsi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala
mikro dan kecil berdasarkan model Sabatier dan Mazmanian
11. Kombinasi SWOT yang mempengaruhi strategi implementasi
kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil

17 
18 
21 
23 
24 
35 
36 
38 
38 
41 
45 

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pendekatan penelitian implementasi kebijakan K3 pada
industri mebel Jepara skala mikro dan kecil
2. Model implementasi kebijakan Sabatier dan Mazmanian (1980)
3. Lokasi penelitian
4. Alur analisis dan interpretasi data dalam penelitian implementasi
kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil

5
6
8
11

DAFTAR LAMPIRAN
1. Karakteristik informan berdasarkan kriteria umum
2. Data jenis kecelakaan dan penyakit berdasarkan hasil wawancara

55
59

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan keselamatan kerja di Indonesia menurut Undang-Undang No 1
Tahun 1970 memberlakukan tiga unsur, yakni unsur tempat dimana dilakukan
pekerjaan bagi sesuatu usaha, unsur tenaga kerja yang bekerja, dan unsur bahaya
kerja di tempat kerja. Aturan keselamatan kerja untuk bidang kehutanan terdapat
dalam Pasal 2 ayat 2d dalam undang-undang tersebut yang berbunyi “wajib
diterapkan dalam pekerjaan pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan
kayu atau hasil hutan lainnya”.
Menurut Suma’mur (1977), pembukaan lahan dan pengerjaan hutan
merupakan kelompok pekerjaan kehutanan (industri kayu hulu), sedangkan
pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya adalah menyangkut pengubahan primer
kayu untuk kegiatan-kegiatan lain (industri pengolahan kayu hilir). Industri mebel
(furniture) termasuk ke dalam kelompok industri pengolahan kayu hilir.
Industri-industri mebel berskala mikro dan kecil1 di Jepara merupakan “urat
nadi bagi masyarakat Jepara”. Industri ini mampu menciptakan lapangan kerja dan
mempekerjakan sekitar 40–50 persen dari 700 ribu jiwa usia produktif di Jepara
(BPS dan BAPPEDA 2011). Produk mebelnya masih menjadi andalan bagi
Provinsi Jawa Tengah, di samping produk tekstil (ILO 2004) dengan kontribusi
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mebel jati pada tahun 2010 adalah
paling tinggi dibandingkan nilai PDRB industri lainnya, yakni lebih dari 22,65%
(BPS dan BAPPEDA 2011). Mereka yang ada di balik fakta ini adalah para
pekerja atau pengrajin mebel.
Fakta menunjukkan bahwa kondisi tempat kerja industri mebel umumnya
memiliki resiko kecelakaan dan gangguan kesehatan karena pengaruh dari sifat
pekerjaannya, karakteristik pekerja, dan budaya keselamatan kerja serta adanya
penggunaan mesin-mesin berbahaya dan tata letak ruang kerja yang kurang baik
(Ratnasingam et al. 2011a). Para pekerja selalu terpapar partikel debu kayu,
kebisingan dari penggunaan mesin-mesin perkakas seperti gergaji, mesin serut
listrik, gurinda dan bor, serta terpapar bahan kimia pada kegiatan pelapisan warna
pada tahapan finishing mebel, sampai diatas ambang batas yang diizinkan
(Whitehead 1982; Whysall et al. 2006; Ratnasingam et al. 2010). Selain itu
penggunaan mesin-mesin perkakas yang berhubungan dengan menangani,
menyimpan, mengangkat dan mengangkut beban secara manual yang bersifat
membahayakan keselamatan dan kesehatan pekerja (Kemenakertran 2003).
Dalam rangka melindungi hak asasi para pekerja terkait keselamatan dan
kesehatan dalam bekerja, pemerintah mengeluarkan kebijakan keselamatan kerja
agar diterapkan di setiap tempat kerja (UU No 1 Tahun 1970), pemberi kerja
wajib memberikan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kepada
pekerja/buruh (UU No 13 Tahun 2003) melalui penerapan sistem manajemen K3
1
BPS (2011) mengategorikan industri berdasarkan jumlah pekerja sebagai berikut: industri
rumah tangga (mikro) dengan pekerja 1–4 orang; industri kecil: 5–19 orang; industri menengah:
20–99 orang; dan industri besar: 100 orang atau lebih.

2
(PP No 50 Tahun 2012). Namun upaya perlindungan K3 pada industri-industri
mebel skala mikro dan kecil dihadapi oleh berbagai situasi masalah, diantaranya
adalah komitmen dari pemilik usaha/pengusaha, sikap pimpinan/pengurus
perusahaan terhadap kepentingan K3, resistansi pekerja dalam hal mengubah
perilakunya dalam bekerja (Whysall et al. 2006) dan moral pekerja (Michael &
Wiedenbeck 2004). Bagaimana dengan implementasi kebijakan K3 pada industri
mebel Jepara? Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut, diperlukan sebuah
penelitian tentang implementasi K3 pada industri-industri mebel skala mikro dan
kecil di Kabupaten Jepara.
Penelitian ini penting untuk dilakukan atas dasar masalah penelitian K3 di
sektor industri kehutanan sejauh ini dilakukan pada industri-industri skala besar,
belum menyentuh pada industri skala mikro dan kecil. Penelitian Gandaseca dan
Yoshimura (2001) mengkaji implementasi keselamatan kerja, kesehatan dan
kondisi kehidupan para pekerja di 7 perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) di Indonesia, yakni di Perum Perhutani Jawa Barat, PT. Bara Induk
Sumatera Utara, PT. Hutan Musi Persada Sumetera Selatan, PT. Riau Andalan
Pulp and Paper Riau, PT. Kiani Lestari Kalimantan Timur, PT. Tanjung Redeb
Hutani Kalimantan Timur, dan PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Timur.
Beberapa studi lainnya adalah penelitian Ratnasingam et al. (2011a) menganalisis
faktor-faktor resiko kecelakaan kerja di 50 industri mebel kayu skala besar di
Malaysia; Ratnasingam et al. (2011b) mengevaluasi kecelakaan kerja di 240
industri mebel kayu skala besar di Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.
Selain itu, penelitian K3 di luar sektor kehutanan sejauh ini juga dilakukan
pada perusahaan-perusahaan skala besar seperti yang dilakukan oleh Siahaan
(2002) menganalisis gap antara aspek perencanaan dan pelaksanaan K3 pada
tingkat pembina dan pelaksana di perusahaan penerbangan; Lubis (2002)
menganalisis skoring faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja untuk mengukur
performa pengelolaan dan penilaian kebutuhan program K3 di perusahaan
pertambangan; Octarina (2004) menganalisis korelasi faktor kepemimpinan,
budaya kerja, komunikasi dengan pelaksanaan K3 di industri tekstil; Susilawaty
(2007) mengkaji proses implementasi kebijakan K3 dengan analisis kompilasi
tupoksi instansi daerah; dan selanjutnya Tarigan (2008) menganalisis
implementasi K3 di perusahaan sawit dengan fokus pada kriteria kebijakan
perusahaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan outcome dari sistem
manajemen K3.
Perumusan Masalah
Perlindungan K3 di Indonesia pada berbagai sektor pembangunan termasuk
sektor kehutanan telah dilegitimasi dalam bentuk undang-undang dan derivatnya.
Khusus sektor kehutanan, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa industriindustri mebel dan unit-unit usaha penjualan kayu bahan baku mebel skala mikro
dan kecil belum menerapkan prinsip-prinsip perlindungan K3 (Yovi et al. 2013);
perlindungan K3 di industri mebel informal (sifat pekerjaan hanya berdasarkan
perintah dan perolehan upah, dan hubungannya hanya sebatas majikan dan buruh)
masih sangat lemah dibandingkan dengan sektor formal (Yani 2006).

3

Kasus di Jepara, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dalam
bidang industri mebel skala mikro dan kecil sebagai pekerja mebel atau pengrajin.
Meskipun mereka pada umumnya bekerja pada industri skala kecil, namun
kontribusi mereka melalui industri mebel telah diakui pemerintah daerah sebagai
penyumbang ekonomi bagi kabupaten dan penyumbang nilai ekspor (Purnomo et
al. 2011). Namun pada kenyataannya, perlindungan K3 bagi para pekerja atau
pengrajin mebel Jepara masih sangat lemah (Yovi et al. 2013). Padahal
perlindungan K3 merupakan salah satu hak dasar para pekerja ataupun pengrajin
di lingkungan kerjanya yang wajib diberikan oleh pengurus/pemilik usaha (UU
No.1/1970; ILO 1981; ILO 1985; UU No. 23/1992 dan UU No. 13/2003).
Berdasarkan hal di atas, pertanyaan penelitian dalam kajian ini adalah:
1. Bagaimana implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala
mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?
2. Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan
K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?
3. Bagaimana bentuk strategi pengembangan implementasi kebijakan K3
pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menguraikan implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala
mikro dan kecil di Kabupaten Jepara,
2. Mengidentifikasi para aktor yang terlibat dalam implementasi
kebijakan K3 di tingkat Kabupaten Jepara, dan
3. Mengidentifikasi strategi implementasi kebijakan K3 pada industri
mebel kayu skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
2.
3.

Perlindungan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil sangat
lemah.
Peran pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan pekerja dapat menjadi
insentif bagi efektivitas implementasi K3 pada industri mebel skala
mikro dan kecil.
Strategi implementasi pengelolaan K3 dapat ditentukan sesuai dengan
tipologi dan kebutuhannya untuk industri mebel skala mikro dan
kecil.
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa informasi ilmiah diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang analisis implementasi kebijakan
dan berguna bagi pengembangan penelitian analisis kebijakan terkait manajemen
K3. Hal ini juga penting sebagai salah satu sumber referensi bagi pemerintah
daerah setempat dalam rangka menyusun rancangan strategi implementasi K3

4
yang diterapkan pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara,
serta dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas mebel Jepara mencapai
sertifikasi produk mebel.

2 METODE
Pendekatan Penelitian
Kerangka pendekatan penelitian ini menggunakan desain penelitian
kualitatif dengan metode studi kasus. Pendekatan ini dipilih berdasarkan
pertimbangan, bahwa data dikumpulkan dari temuan-temuan di lapangan (situasi
masalah empiris), dan dianalisis untuk memahami substansi dari objek penelitian,
yakni fenomena realitas implementasi kebijakan K3; pada latar yang spesifik,
yakni pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil; dan pada batasan waktu
untuk penggalian informasi yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti,
yakni para pekerja/pengrajin mebel, pengurus/ pemilik usaha mebel, dan pihak
pemerintah daerah yang terkait (Bungin 2009; Denzim & Lincoln 2009; Creswell
2010; Alwasilah 2011).
Kerangka pendekatan penelitian ini (Gambar 1) dinarasikan sebagai berikut.
Untuk mengenali fenomena implementasi kebijakan K3, penelitian ini mengacu
pada pendekatan teoritis fenomenologi bahwa fenomena bersifat subjektif dan
mengandung makna, dengan demikian harus digali dengan cara memahami
konseptual para pelaku, pengetahuan atau pemahaman para pelaku (Bungin 2009).
Lebih lanjut teori Erickson (1996) berpandangan bahwa ada hubungan antara
pekerja, tempat kerja, lingkungan dan kondisi sosial budaya sebagai sesuatu
yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya. Oleh karena itu
kejadian-kejadian di lapangan dikaji dengan menggali informasi secara langsung
melalui para pelaku, di tempat kerjanya dan mengamati situasi lingkungan sosial
budaya setempat.

5

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian implementasi kebijakan K3 pada
industri mebel Jepara skala mikro dan kecil
Dalam implementasi suatu kebijakan, kenyataan menunjukkan bahwa selalu
ada kesenjangan (gap) antara tujuan yang dinyatakan dalam suatu produk
kebijakan dengan outcome yang dihasilkan dari implementasi kebijakan (Dunn
2003; Santoso 2010; Kusumanegara 2010; Nugroho 2011; Winarno 2012), atau
yang dinyatakan Santoso (2010) sebagai “missing link”. Berdasarkan pada hal itu
penelitian ini menggali informasi mengenai gap yang terjadi dalam proses
implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara.
Dengan menggunakan dasar teoritis Sabatier dan Mazmanian (1980), proses
implementasi kebijakan K3 tersebut diidentifikasi dengan menggunakan variabelvariabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi. Variabel-variabel tersebut adalah karakter situasi masalah
(berkaitan dengan mudah tidaknya masalah dikendalikan); daya dukung kebijakan
(kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi); dan faktor-faktor di
luar undang-undang ataupun peraturan yang mempengaruhi proses implementasi.

6

Gambar 2 Model implementasi kebijakan Sabatier dan Mazmanian (1980)
Ketiga kelompok variabel dari model Sabatier dan Mazmanian (1980)
tersebut (Gambar 2) sebagai berikut:
(1) Karakteristik masalah: mudah tidaknya masalah dikendalikan
a. Kesulitan teknis dari masalah
b. Kemajemukan perilaku/tingkat pemahaman kelompok sasaran
c. Prosentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
(2) Daya dukung peraturan: kemampuan kebijakan untuk menstruktur
proses implementasi
a. Penggunaan dasar teori yang memadai
b. Kejelasan dan konsistensi isi kebijakan
c. Ketepatan alokasi sumberdaya
d. Keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan dari lembaga pelaksana
f. Rekruitmen pejabat pelaksana
g. Akses dan partisipasi kelompok-kelompok luar
(3) Faktor-faktor di luar kebijakan
a. Kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan teknologi
b. Perhatian media terhadap masalah
c. Dukungan publik
d. Sikap dan sumberdaya dari kelompok terkait
e. Dukungan dari pejabat yang berwenang
f. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan dari pejabat
pelaksana

7

Dalam hal implementasi K3 di lingkungan kerja mebel, efektivitas
implementasi K3 terbentuk melalui proses keterkaitan antara aktor, aturan, dan
situasi setiap aktor mengenai persepsi, tujuan dan sumberdaya yang mereka miliki
yang membentuk outcome atas tindakan-tindakannya. Para aktor bisa berasal dari
kelompok sasaran, pejabat pelaksana, pejabat berwenang, kelompok-kelompok
luar/publik, dan komunitas (Hermans dan Thissen 2009). Pendekatan analisis
aktor secara lebih mendalam dilakukan untuk memahami eksistensi tripartit
(pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan pekerja). Analisis aktor dilakukan
dengan menggunakan pendekatan Schmeer (1999) untuk memahami perspektif,
posisi, kepentingan, penguasaan sumberdaya dan kepemimpinan dari para aktor.
Pendefinisian permasalahan kebijakan mengacu pada Dunn (2003) yang
berpandangan bahwa permasalahan kebijakan itu subjektif tergantung pada
konteks dan deskripsi peneliti; dinamis sehingga tidak terus-menerus terpecahkan;
dan dapat diformulasikan menurut individu atau kelompok yang mendefinisikan.
Seluruh hasil analisis secara deskriptif didefinisikan sebagai permasalahan
kebijakan. Sedangkan untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan K3
pada industri mebel skala mikro dan kecil, analisis SWOT digunakan untuk
mengidentifikasi faktor internal (kekuatan/Strength dan kelemahan/Weaknessess)
dan faktor eksternal (peluang/Opportunities dan ancaman/Threats), didasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang; dan
meminimalkan kelemahan dan ancaman (Start dan Hovland 2004).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah.
Kabupaten Jepara secara geografis terletak pada koordinat 110°9`48, 02" sampai
110°58`37,40" Bujur Timur dan 5°43`20,67" sampai 6°47`25, 83" Lintang Selatan
(Gambar 2).
Penelitian ini dilakukan di 6 kecamatan yang menjadi pusat kegiatan
industri-industri mebel dengan latar industri skala mikro dan kecil, dari total 16
wilayah kecamatan di Kabupaten Jepara. Nama-nama kecamatannya adalah
Kecamatan Bangsri, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Jepara, Kecamatan
Tahunan, Kecamatan Kedung, dan Kecamatan Batealit.
Kegiatan wawancara dan observasi di lapangan dilaksanakan selama 1
bulan, dimulai pada tanggal 28 Februari sampai 31 Maret 2012. Kegiatan diskusi
kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) diselenggarakan satu
bulan setelah peneliti menyusun catatan lapangan hasil penelitian, yakni pada
bulan April 2012 yang dikerjasamakan dengan Dinsosnakertran Kabupaten
Jepara.

8

Sumber: http://studioproses4.wordpress.com/jepara/gambaran-umum/fisik/geografis/
[diunduh 2013 Okt 31]

Gambar 3 Lokasi penelitian
Unit Analisis
Unit analisis (subjek) yang digunakan dalam penelitian ini adalah para
pekerja mebel, pengurus/pemilik usaha mebel, pejabat pemerintah, dan aktoraktor yang terkait lainnya sebagai individu, kelompok atau organisasi/lembaga.
Menurut Bungin (2009), unit analisis masalah kualitatif (unit analisis sosial
Ritzer) terdiri atas empat tingkat unit analisis, yaitu (1) tingkat makro–objektif
yang menjelaskan fenomena seperti birokrasi, hukum dan masyarakat; (2) tingkat
makro–subjektif yang menjelaskan nilai, norma dan budaya; (3) tingkat mikro dan
objektif yang menjelaskan pola perilaku, tindakan dan interaksi; dan (4) tingkat
mikro–subjektif yang menjelaskan persepsi, dan proses konstruksi realitas.

9

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini memfokuskan perhatian pada tingkat
makro–objektif, perhatian pada makna data yang berasal dari masyarakat umum di
lingkungan tempat kerja mebel dan pemerintahan di Kabupaten Jepara; pada
tingkat makro–subjektif, perhatian pada data umum mengenai budaya atau nilainilai yang hidup dalam masyarakat di lingkungan tempat kerja mebel di
Kabupaten Jepara; pada tingkat mikro–objektif, perhatian pada data yang
berkaitan dengan perilaku, tindakan dan interaksi individu dan kelompok dari para
pekerja/pengrajin mebel, pengurus/pemilik usaha mebel baik sebagai individu
maupun kelompok; dan pada tingkat mikro–subjektif, perhatian pada data tentang
persepsi dari setiap aktor yang terkait sebagai individu dan kelompok.
Penentuan Contoh
Penelitian ini menggunakan teknik penarikan contoh tidak berpeluang
(nonprobability sampling), yakni metode pemilihan contoh dengan pertimbangan
tertentu/purposive sampling (Cochran 1991) dan metode snowball sampling
(Creswell 2012).
Jumlah informan kunci (key informan) yang dilibatkan dalam penelitian ini
adalah sebanyak 114 orang, terdiri atas 7 orang pada unit penjualan kayu (TPK,
logpark); 5 orang pada unit tempat penggergajian kayu (sawmill); 6 orang pada
unit usaha TPK yang terintegrasi dengan sawmill; 57 orang pada unit bengkel
kerja mebel; 12 orang pada unit bengkel finishing; 15 orang pada unit usaha mebel
skala menengah; 5 orang pada lembaga asosiasi mebel; 6 orang dari lembaga
pemerintah; dan 1 orang dari perguruan tinggi.
Jumlah informan kunci yang dilibatkan dalam FGD adalah sebanyak 20–25
orang perwakilan dari perusahaan/pengurus/pemilik usaha, pekerja, pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan perguruan tinggi. Penelusuran informasi juga
dilakukan di kantor-kantor instansi pemerintah daerah yang terkait, dan di kantorkantor lembaga-lembaga mitra CIFOR di Kabupaten Jepara.
Pemilihan contoh (lokasi) berdasarkan pada pengetahuan awal tentang
populasi yang diperoleh dari CIFOR2 sebagai narasumber ahli, atas dasar
pertimbangan bahwa lokasi-lokasi penelitian adalah pusat kegiatan industriindustri mebel dan unit-unit usaha terkait lainnya yang berskala mikro dan kecil,
serta lokasi-lokasi tersebut mewakili sentra-sentra industri mebel di wilayah
Kabupaten Jepara.
Penggalian data/informasi dilakukan mulai dari satu titik informan ke
informan berikutnya secara sambung-menyambung berdasarkan informasi baru
yang disampaikan oleh informan yang telah diwawancarai, sampai kepada
informan baru yang dapat memberikan informasi secara lengkap. Dalam hal ini
jumlah contoh bisa sedikit, tetapi juga bisa banyak tergantung pada situasi sosial
yang mendukung kecukupan informasi sesuai dengan fokus penelitian. Melalui
metode snowball sampling proses pengumpulan data dianggap sudah selesai jika
sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi.
2
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Project No.
FST/2007/119 (CIFOR Project code: R-LIV-220-1-ACI16) “Mahogany and teak furniture: action
research to improve value chain efficiency and enhance livelihoods”

10
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi Creswell
(2012) dan Patton (2002) yakni data kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk data
observasi, data wawancara, dan data dokumentasi termasuk bentuk materi
audiovisual. Berdasarkan hal tersebut data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
mencakup data kuantitatif mengenai kejadian kecelakaan dan jenis penyakit yang
timbul akibat hubungan kerja dan lingkungan kerja.
Selanjutnya penelitian ini mencakup tiga jenis data kualitatif, yaitu data hasil
wawancara berupa jawaban-jawaban dari para aktor (subjek penelitian) mengenai
pengalaman, persepsi, pendapat, perasaan dan pengetahuan tentang K3 dan
penerapannya sehari-hari; data hasil observasi berupa deskripsi pekerjaan pada
tiap tempat kerja, perilaku, tindakan, percakapan, hubungan para aktor mulai dari
pekerja/pengrajin mebel, pengusaha dan pihak pemerintah; data hasil telaah
dokumen berupa telaah isi materi kebijakan yang terkait perlindungan K3,
laporan-laporan tertulis serta literatur terkait industri mebel ukir di Kabupaten
Jepara.
Wawancara dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam (in-depth
interview), dengan cara face-to-face interview, melalui telepon, dan pertemuan
kelompok. Observasi dilakukan dengan mengamati lingkungan kerja TPK,
sawmill, workshop, dan bengkel kerja finishing; mengamati aktivitas-aktivitas
yang berlangsung dan perilaku yang dimunculkan oleh tiap aktor yang diteliti; dan
mengamati kejadian berdasarkan perspektif tiap aktor yang diteliti. Sedangkan
studi dokumentasi dilakukan dengan menelaah isi dokumen yang terkait dengan
materi kebijakan, laporan-laporan, foto-foto atau bukti gambar terkait dengan
tujuan penelitian.
Analisis Data
Alur analisis dan interpretasi data diilustrasikan pada Gambar 4. Inti dari
analisis kuantitatif adalah untuk menilai atau mengukur (Creswell 2012), dalam
penelitian ini adalah untuk menduga tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan
dan persentase terjadinya gangguan kesehatan di lingkungan kerja dan/atau akibat
kerja berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci. Sedangkan inti dari
analisis kualitatif terletak pada proses-proses untuk menggambarkan berbagai
fenomena realitas sosial yang menjadi fokus penelitian dalam bentuk naratifkualitatif, mengklasifikasikan fenomena kedalam tema-tema yang dikaji, dan
melihat bagaimana hubungannya dengan teori atau konsep (Dey 2005).
Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian
Dalam konteks analisis kualitatif, validitas tidak mengacu pada batasan
angka tertentu, melainkan berpijak pada kebenaran dan kejujuran dari deskripsi,
penjelasan, tafsiran dan kesimpulan yang dibuat oleh peneliti berdasarkan apa
yang dirasakan oleh objek (Alwasilah 2011).

11

Gambar 4 Alur analisis dan interpretasi data dalam penelitian implementasi
kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil
Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan hasil penelitian dalam penelitian
ini mengacu pada pengembangan teknik pemeriksaan oleh Bungin (2009) sebagai
berikut:
1.

Kriteria 1: kredibilitas (derajat kepercayaan) peneliti
Teknik pemeriksaan:
(1) Keikutsertaan peneliti
Peneliti mendatangi langsung tempat kejadian untuk memahami
konteks tindakan, makna gagasan/ide pelaku, dan proses interaksi
antar pelaku pada setiap latar (setting) yang sedang diamati, dan
langsung melakukan wawancara dengan informan-informan.
(2) Menemukan siklus kesamaan data
Peneliti secara konsisten menerapkan teknik snowball sampling,
yakni konsisten bahwa kegiatan pengumpulan data terus dilakukan
untuk menemukan data lainnya untuk penelusuran informasi
lanjutan, dan proses pengumpulan data dianggap sudah selesai jika
sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi.
(3) Ketekunan pengamatan
Peneliti menggunakan pendekatan perasaan dan sabar terutama pada
saat melakukan observasi pada setiap latar (setting) yang sedang
diamati dan wawancara dengan informan-informan.

12
(4) Triangulasi kejujuran peneliti
Peneliti menjalani proses penelitian bersama dengan tim proyek
CIFOR dan apa adanya terhadap hasil penelitian melalui proses
bimbingan oleh dua dosen pembimbing yang memiliki pengalaman
kuat di bidang K3 dan aspek sosial pada konteks industri mebel
kayu skala mikro dan kecil dan menengah di Kabupaten Jepara.
(5) Pengecekan melalui diskusi
Peneliti melakukan diskusi dengan berbagai kalangan yang
memahami objek penelitian diluar informan yang menjadi subjek
penelitian, yakni berdiskusi dengan pengurus dan anggota APKJ,
pengurus FRK, Ketua dan pengurus ASMINDO Kab. Jepara, pihak
akademisi dari STIENU. Peneliti juga berdiskusi dengan pihak
legislatif, yakni Komisi C DPRD Kab. Jepara, dan pihak eksekutif
di Kab. Jepara, yakni Bappeda, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi, UKM dan
Pengelolaan Pasar, Dinas Kesehatan Kab. Jepara/Puskesmas
Kecamatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
(6) Kajian kasus negatif
Peneliti melakukan sebatas peninjauan contoh dan kasus melalui
media internet dan literatur jurnal untuk melihat kecenderungan
informasi dan digunakan sebagai bahan pembanding.
2.

Kriteria 2: kredibilitas metode pengumpulan data
Teknik pemeriksaan:
(7) Triangulasi metode
Penelitian ini melakukan teknik yang berbeda dan menggabungkan
teknik-teknik pengumpulan data untuk meningkatkan kredibilitas,
yakni merancang teknik pengumpulan data melalui wawancara–
observasi–analisis dokumentasi–Focus Group Discussion (FGD).
Wawancara dilakukan untuk mengetahui opini, persepsi, penilaian,
ide/gagasan, dan ingatan dari para pelaku (subjek penelitian);
observasi dilakukan untuk merekam konteks perilaku, tindakan,
situasi pada tiap latar (setting); dan analisis dokumentasi dilakukan
untuk menggambarkan berbagai fenomena realitas sosial, buktibukti, dan fakta pembanding yang berkaitan dengan objek
penelitian. Terakhir, FGD yang dilandaskan pada temuan-temuan di
lapangan dilakukan untuk menghasilkan informasi langsung dari
berbagai sudut pandang para pihak yang mewakili kelompokkelompok subjek penelitian ataupun di luar subjek penelitian. FGD
juga dilakukan untuk verifikasi data hasil temuan di lapangan.
(8) Triangulasi sumber data
Penelitian ini membandingkan informasi yang dikumpulkan dari
hasil wawancara dibandingkan dengan informasi hasil observasi,
membandingkan informasi yang disampaikan oleh subjek secara
individu di masing-masing tempat kerja dengan informasi yang
disampaikan oleh perwakilan kelompok informan pada saat
pelaksanaan FGD, membandingkan apa yang dikatakan para

13

informan tentang situasi sosial di tempat penelitian dengan apa yang
disimpulkan dari beberapa penelitian sosial yang terkait tempat
penelitian, membandingkan keadaan dan perspektif subjek dengan
berbagai pendapat dan pandangan dari informan diluar subjek
penelitian seperti pihak-pihak asosiasi, legislatif, eksekutif,
akademisi termasuk penduduk/pengunjung dan pembeli mebel yang
ditemui di ruang pamer (showroom) mebel, dan membandingkan
hasil wawancara dengan hasil analisis dokumen atau literatur.
3.

Kriteria 3: kredibilitas teoritis dan referensi
Teknik pemeriksaan:
(9) Triangulasi teori
Penelitian ini mengurai informasi yang diperoleh dari proses
pengumpulan data di lapangan menjadi bagian-bagian kecil
berdasarkan tema-tema atau kategori yang digunakan untuk analisis
berdasar pada konsep/teori kerangka analisis implementasi
kebijakan model Sabatier dan Mazmanian (1980) dan kerangka
konseptual Hermans dan Thissen (2009) dan Schmeer (1999).
Penelitian ini juga menghubungkan tema-tema/kategori dengan
konsep-konsep sistem manajemen K3 pada lingkungan kerja.
(10) Kecukupan referensial
Penelitian ini mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya, baik
yang berasal dari pengumpulan data di lapangan maupun dari
penelusuran jurnal nasional/internasional, buku-buku literatur,
hasil-hasil penelitian orang lain, dokumentasi proyek CIFOR di
Kab. Jepara, dan penelusuran informasi melalui website.

4.

Kriteria 4: kepastian
Teknik pemeriksaan:
(11) Uraian rinci
Penelitian ini secara konsisten menggunakan alur analisis dan
interpretasi data, yakni mengurai konteks materi kebijakan;
konteks latar penelitian (lokasi); mengurai tindakan, gagasan/ide
pelaku, dan proses munculnya perilaku, tindakan dan interaksi
pelaku individual pada tingkat pelaku, kejadian dan jaringan kerja
dimana pelaku berada di dalamnya; mengurai kerangka analisis
implementasi kebijakan; kemudian menghubungkan tema-tema
untuk menggambarkan pemahaman baru.

5.

Kriteria 5: kebergantungan
Teknik pemeriksaan:
(12) Audit kebergantungan
Penelitian ini disusun melalui proses bimbingan oleh komisi
pembimbing yang mengecek mulai dari latar belakang, tujuan
penelitian, kerangka pikir penelitian, kerangka pendekatan
penelitian, metode yang digunakan, dan penentuan keabsahan
melalui sidang komisi pembimbing dan ujian komprehensif.

14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Jepara adalah Kota Ukir
Jepara menjadi Kota Ukir adalah atas dasar kerajinan mebel ukir itu berbasis
kearifan lokal yang melanjutkan tradisi budaya leluhur dan warisan sejarah
(Gustami 2000). Hal ini terbukti bahwa warisan seni ukiran di Jepara sudah ada
sejak berabad yang lalu, dimulai dari Jaman Ratu Shima (jaman hindu), Ratu
Kalinyamat (awal jaman islam), Raden Ajeng Kartini (jaman modern), sampai ke
jaman Ibu Tien Soeharto pada masa orde baru (Gustami 2000). Pada zaman
Majapahit, perkembangan teknologi perkayuan Jepara telah mewariskan bentuk
tradisi ukiran kayu rumah Kudus (Kurniawan 2010).
Jepara menjadi terkenal di Indonesia dan di dunia karena mebel Jepara
mengalami proses promosi yang cukup lama. Hal ini dibuktikan bahwa pada
tahun 1853 mebel ukir Jepara sudah dipamerkan di kota Batavia; dan pada tahun
1898 ukiran Jepara dipamerkan oleh R.A. Kartini pada pameran karya wanita di
Den Haag, Belanda (Kurniawan 2010). Selanjutnya pada masa orde baru, upaya
promosi terus dilakukan untuk memperkenalkan motif-motif baru atau desain baru
di berbagai pameran, seperti di Pekan Raya Jakarta tahun 1985 (Margono 2010);
pameran tunggal mebel Jepara di Bali tahun 1989 dan pameran rutin baik di
tingkat nasional maupun internasional yang dikelola oleh Asmindo Jepara
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Jepara dalam bentuk Pameran Produk
Ekspor sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini, pameran Asean Furniture Show
atau Internasional Furniture Fair Singapore dari tahun 2003–2008; pameran
International Furniture Fair and Craft Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 (Fauzi
2010).
Konteks Sosial–Ekonomi Industri Mebel Jepara
Industri-industri mebel Jepara hampir semuanya berupa perusahaan keluarga
yang dijalankan oleh saudara sendiri, dan setidaknya melibatkan dua atau tiga
keluarga atau garis keturunan (Roda et al. 2007). Dari industri-industri semacam
itu terdapat 14.091 unit industri mebel skala kecil di Jepara, setidaknya terdapat
12.202 unit bengkel kerja mebel, 763 unit TPK, 158 unit samwill, dan 210 unit
gudang/tempat finishing mebel (Roda et al. 2007). Namun dalam kurun waktu
kurang dari 5 tahun, jumlah industri mebel Jepara mengalami penurunan menjadi
setidaknya 11.022 unit industri mebel skala kecil, dengan jumlah bengkel kerja
mebel 8.281 unit pada tahun 2010 (Irawati et al. 2013). Hal itu terjadi diantaranya
karena kenaikan harga bahan baku tidak diikuti secara siginifikan oleh harga jual
produk akibatnya banyak pengrajin kecil gulung tikar dan terbebani hutang
(Sujarot 2012); dan ketatnya operasi kayu sehingga banyak pencuri, penjarah dan
penadah yang ditangkap akibatnya banyak pengrajin yang menggunakan kayu
ilegal/hasil penjarahan mengalami penurunan omset dan mengalami kerugian
(Margono 2010).

15

Pemerintah mengakui eksistensi industri mebel Jepara memiliki nilai tambah
tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja serta memberikan kontribusi cukup
penting terhadap perekonomian Jepara dan wilayah sekitarnya 25–27% (Purnomo
et al. 2010; Purnomo et al. 2014). Selanjutnya Parlinah (2010) mengidentifikasi
dari data Bappeda dan BPS Kabupaten Jepara bahwa pada tahun 2006, sektor
industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jepara yaitu sebesar 27 persen dari
Rp 5,67 triliun (harga berlaku tahun 2000) atau dari Rp 3,55 rriliun (harga konstan
selama tahun 2000).
Banyak kalangan menilai, secara umum masa keemasan mebel Jepara
pernah terjadi pada saat peristiwa lonjakan permintaan (booming), yakni pada saat
di Indonesia mengalami peristiwa krisis ekonomi global (Purnomo et al. 2010).
Namun demikian peristiwa itu hanya membawa keberuntungan bagi para
eksportir, tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para pengusaha mikro
dan kecil yang skala usahanya relatif sempit dan sebagian besar diantara mereka
sangat tergantung pada perusahaan yang lebih besar, karena mereka terikat dengan
sistem sub kontrak, bahkan para pengrajin lokal hanya bekerja sebagai buruh yang
mengerjakan pesanan bagi pengusaha-pengusaha yang lebih besar (Handayani et
al. 2003).
Konteks Politik Industri Mebel Jepara
Secara umum komitmen politik untuk pengembangan industri mebel telah
dilakukan oleh Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dan tertuang dalam Peraturan Presiden RI No.
28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional yang berkomitmen
mengembangkan klaster industri prioritas berupa industri kayu dan barang kayu
yang berbasis pada potensi lokal dengan cara memberikan ruang bagi tumbuh dan
berkembangnya usaha mikro, kecil dan menengah, melalui pendanaan,
pembangunan sarana dan prasarana, mengadakan dan menyebarluaskan informasi
usaha, mengembangkan pola kemitraan, penyederhanaan birokrasi perizinan
usaha, memberikan kesempatan tempat usaha dan lokasi sentra, mengembangkan
promosi dagang, dan pengembangan kelembagaan terkait pelayanan usaha.
Dimensi politik pengembangan industri mebel jepara dijelaskan oleh pihak
DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jepara bahwa sesuai UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, otonomi daerah merupakan kewenangan yang
dimiliki pemerintah Kabupaten Jepara untuk berkepentingan dengan industri
mebel, termasuk yang berskala mikro dan kecil, karena kelompok industri ini
dapat memberikan dampak pada peningkatan kemampuan ekonomi wilayah.
Dalam konteks politik di Jepara, eksistensi industri mebel skala mikro dan
kecil sangat jelas peranannya yakni sebagai media interaksi mutualisme (yang
saling menguntungkan) diantara para pemangku kepentingan; industri mebel
Jepara sebagai sponsor utama kegiatan pembangunan dan dari peran itu eksistensi
industri mebel Jepara dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan di Kabupaten
Japara; dan sejak produk mebel ukir Jepara mendapatkan pengakuan Hak atas

16
Kekayaan Intelektual (HAKI) Indikasi Geografis3 dari Kementerian Hukum dan
Perundang-undangan (Arya L 5 April 2014, komunikasi pribadi).
Berkaitan dengan identitas produk, industri-industri mebel di Jepara bersifat
mengelompok dalam bentuk sentra di beberapa lokasi membentuk identitas sesuai
jenis produk mebel yang mayoritas diproduksi dan diperdagangkan dengan
tingkat spesialisasi tergolong tinggi (Roda et al. 2007). Di Jepara terdapat
setidaknya 4 sentra industri mebel besar (Roda et al. 2007). Sentra-sentra mebel
tersebut adalah sentra ukir relief, sentra industri patung dan ukir, sentra industri
gebyok, dan sentra-sentra kecil lainnya seperti sentra kursi yuyu, kursi betawi,
lemari, pembatas ruang bermotif ukir (sketsel) dan lain-lain. Sedangkan sentra
perdagangannya terletak di wilayah Ngabul, Senenan, Tahunan, Pekeng,
Kalongan dan Pemuda (Amin SM 5 April 2014, komunikasi pribadi).
Kecelakaan dan Penyakit di Lingkungan Industri Mebel
Data angka kecelakaan kerja4 di industri mebel skala mikro dan kecil Jepara
tidak pernah tersedia. Para pemilik usaha di lingkungan industri mebel skala
mikro dan kecil tidak pernah mendata kejadian kecelakaan kerja secara
terdokumetasi. Informasi kecelakaan kerja pada umumnya disampaikan secara
lisan oleh pekerja ataupun pengurus/pemilik usaha, dan mereka hanya
menunjukkan bukti-bukti bekas luka atau cacat di bagian tubuh akibat kecelakaan
kerja yang dialaminya.
Para pekerja ataupun pengurus/pemilik usaha menyebutkan bahwa di tempat
penjualan kayu (TPK), para pekerja pernah terjatuh dari atas truk, tertimpa kayu,
terjepit kayu, terkena gigitan/sengatan hewan berbisa, dan terkena gergaji mulai
dari luka sayat sampai bagian jari tangan terputus. Di bengkel kerja mebel/brak
(workshop) jari ataupun tangan pekerja pernah terkena perkakas ukir mebel
seperti mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap,
gergaji; terkena paparan zat kimia; tersengat listrik; dan terluka bakar. Sedangkan
di lokasi bengkel kerja finishing para pekerja pernah tertimpa mebel, terjepit kayu,
terkena paparan debu dan zat kimia.
Berdasarkan data kecelakaan kerja yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha di beberapa tempat kerja
mebel diperoleh angka tingkat kekerapan (frequency rate) yang menunjukkan
bahwa para pekerja tersebut dalam setahun mengalami kejadian kira-kira 3–6
kecelakaan pada setiap 8.000 jam orang kerja (Tabel 1).
3
Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari
suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menentukan adanya kualitas, reputasi dan
karakteristik termasuk faktor alam dan manusia yang dijadikan atribut barang tersebut (Peraturan
Pemerintah No 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis).
4
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,
termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi
dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan
yang biasa atau wajar dilalui (Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja). Berdasarkan Permenaker No PER.03/MEN/98 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan
dan Pemeriksaan Kecelakaan, kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak
diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. Dalam pengertian
ini kecelakaan terdiri atas kecelakaan kerja, kebakaran atau peledakan atau bahaya pembuangan
limbah, dan kejadian berbahaya lainnya.

17

Tabel 1 Tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan di lingkungan kerja industri
mebel skala mikro dan kecil

Tempat Kerja

TPK

Jenis
Kecelakaan
Kerja
Kuku kaki lepas
Jari putus/luka

Sawmill

TPK & Sawmill

1,5

Jumlah
Rata-rata
Hari Tidak
Kerja
(n=74)

Tingkat
Kekerapan
(FR)

3

1

20

Terjepit kayu/alat

3,2

9,2

Jumlah n = 7

5,7

32,2

Kuku tangan lepas

1

5

Jari putus/luka

1

38

Terjepit kayu

1

3

Jumlah n = 5

3

46

Kuku tangan lepas

1

12,5

Kuku kaki lepas

1

4

1,5

46,7

Terjepit kayu

1

6

Jumlah n = 6

Jari putus/luka

Bengkel Kerja Mebel

Jumlah
Rata-rata
Kejadian per
Tahun
(n=74)

3,5

56,7

Terkena gergaji

1

20

Terkena pahat/alat

1

7

Jari putus/luka

1

22

Lelah/letih

1

1,3

Jumlah n = 57

4

50,3

5,71 (6)

3,05 (3)

3,60 (4)

4,08 (4)

Keterangan: satu juta jam adalah jumlah jam kerja dari 500 karyawan yang
bekerja 40 jam seminggu dan 50 minggu pertahun (SNI 13-6618-2001).
Sumber: hasil wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha di
beberapa tempat kerja mebel di Jepara.
Data tentang penyakit yang timbul kerena hubungan kerja5 juga tidak
terdokumentasi secara baik di tingkat unit industri, namun berdasarkan hasil
wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha menyebutkan
bahwa jenis penyakit yang timbul selama mereka bekerja di lingkungan kerja
mebel adalah sesak nafas, encok, usus turun, batuk dan paru-paru (Tabel 2).
Kepres No 22/1993 menunjukkan bahwa berbagai penyakit yang timbul
karena hubungan kerja itu terjadi akibat pajanan zat seperti debu, persenyawaan
yang beracun; kebisingan, gerakan mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang
persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi); radiasi elektro magnetik dan
mangion; penyebab fisik, kimia atau biologik; virus, bakteri atau parasit; dan
bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.
5
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja. Terdapat 31 jenis kategori penyakit yang timbul karena hubungan
kerja (Kepres No 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja).

18
Tabel 2 Jenis penyakit yang t