Quo Vadis Parpol Islam?

KOLOM

Quo Vadis Parpol Islam?
AHMAD SYAFII MAARIF

fsp

litm
erg
er.
co
m)

Pemilu 1955, dengan mengantongi suara hampir 45%
dalam DPR. Isu sentral saat itu, terutama dalam Majelis
Konstituante, adalah tentang dasar negara untuk masa
depan Indonesia: Pancasila atau Islam. Parpol Islam
mengusulkan Islam dengan menolak dasar Pancasila yang
didukung oleh partai-partai nonsantri, sekalipun mayoritas
mereka juga menganut Islam. Karena tidak tercapai kata
sepakat, Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959

mendekritkan berlakukanya kembali UUD 1945 sebagai
pengganti UUDS 1950.
Karena cuaca politik semakin memanas, antara lain
dipicu oleh pergolakan daerah dan dominasi PKI (Partai
Komunis Indonesia) di panggung politik Indonesia dengan
dukungan Bung Karno, sebagian tokoh Masyumi
menyertai pergolakan itu. Pada bagian akhir tahun 1960,
Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dinyatakan
sebagai partai terlarang oleh Presiden. NU, PSII, dan
Perti tetap bisa bertahan karena kelihaian mereka dalam
politik penyesuaian diri. Dengan menghilangnya
Masyumi dari gelanggang, kekuatan partai Islam
melemah secara drastis. Parpol Islam yang tersisa tidak
satu pun yang membela pelarangan Masyumi ini.
Pada Januari 1973, Presiden Soeharto memaksa
penggabungan partai-partai, baik Islam mau pun bukan.
Sehingga muncul peta poliltik baru: Golkar, PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), semacam fusi parpol Islam,
PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sampai rezim Soeharto
jatuh pada 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun, semua

pemilu (baca: pemilu semu), dimenangkan oleh Golkar.
PPP pernah tampil sebagai parpol nomor dua, tetapi jauh
di bawah perolehan parpol Islam tahun 1955.
Di Era Reformasi, beberapa parpol Islam yang muncul
ke permukaan adalah: PPP, PAN (Partai Amanat
Nasional), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa), dan PBB (Partai Bulan Bintang).
Dalam pemilu 2009, dukungan mereka di DPR berada
di bawah 20%, kurang dari separo capaian parpol Islam
tahun 1955. Bagi saya, kejatuhan parpol Islam ini dari
sisi perkembangan demokrasi sangat disayangkan.
Tetapi, apa mau dikata, mereka telah gagal memunculkan
kepemimpinan yang menjanjikan untuk masa depan
Indonesia. Program-program mereka tidak ada yang prorakyat. Mereka dalam kenyataannya hanyalah berperan
sebagai partai pengiring penguasa. Jika demikian,
pertanyaan Quo Vadis Parpol Islam? menjadi relevan
untuk dipertanyakan kembali, bukan?l

De
mo

(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

Y

ang dimaksud dengan parpol Islam adalah partai
politik di Indonesia yang menjadikan Islam
sebagai dasar perjuangan atau yang mengandalkan kaum santri sebagai konstituennya. Sarekat Islam
yang berdiri pada 1912, sebagai alih bentuk dari Sarekat

Dagang Islam yang dibentuk setahun sebelumnya adalah
parpol Islam pertama di Nusantara. Dengan bergulirnya
waktu, khususnya pasca proklamasi 1945, Sarekat Islam
yang kemudian menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) masih bertahan, sekalipun pengaruhnya sudah jauh
menyusut.
Pada 7-8 Nopember 1945, di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta, beberapa tokoh puncak kaum santri mendirikan sebuah partai bernama Masyumi
(Majlis Syura Muslimin Indonesia). PSII adalah salah
satu bidan partai baru ini. Bidan lain yang terbesar adalah
Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Kelahiran
partai ini didukung oleh semua organisasi massa Islam,
kecuali Perti yang berpusat di Bukittinggi. Pada masa
awal harapan kaum santri tertumpah ruah kepada partai
ini, sebuah parpol modern dengan dasar Islam, sedang
menatap dan membingkai masa depan Indonesia.
Tetapi, partai Islam ini ternyata juga tidak kebal dari
sengketa internal dalam dirinya yang memang berasal dari
beraneka unsur itu. Pada Juli 1947, PSII memisah dari
Masyumi karena perbedaan sikap menghadapi pembentukan kabinet Amir Sjarifuddin. Tahun 1952, NU menyusul yang sekaligus menyatakan dirinya sebagai parpol
baru dengan nama Partai NU. Dengan perubahan ini, NU

yang semula adalah jam’iyyah (organisasi kemasyarakatan)
kini telah tampil sebagai parpol Islam baru di samping
Masyumi, PSII, dan Perti. Hubungan antara mereka sangat
fluktuatif, tergantung pada hitungan pragmatisme masingmasing partai. Dalam hal ini, parpol Islam setali tiga uang
dibandingkan partai yang berideologi lain.
Dengan demikian, adalah sebuah fakta keras bahwa
Islam sebagai agama yang mereka anut tidak otomatis
dapat merekat persatuan di antara mereka. Pada suatu
kesempatan saya pernah membedakan politik dan dakwah: “Politik cenderung berpecah dan memecah, sedangkan dakwah merangkul dan mempersatukan.” Fenomena
semacam ini bersifat universal terlihat dalam hampir
semua unit peradaban. Agama yang meminta umatnya
untuk tidak berpecah, kenyataan empiris membuktikan
sebaliknya.
Puncak prestasi parpol Islam di Indonesia terjadi pada

SUARA MUHAMMADIYAH 03 / 96 | 1 - 15 FEBRUARI 2011

17