"Quo Vadis" KPK & Polri?

--

--

--

---

-

---

Pikiran Rakyat
o Se/asa
5
20

6
21

o Mar OApr


.

0

Rabu

7
22

8
23

0

Kam's
9

10
24


Jumat

25

o Sabtu
12

11
26

13
27

o Me; OJun OJul 0 Ags OSep

0

Mlnggu
14

15
16
28
29
30
31

OOkt

.Nav

ODes

"Quo Vadis" KPK &Polri?
Oleh SUWANDI SUMARTIAS

E

UFORIA pemberitaan
perseteruan

antara
"KPKversus Polri"babak lanjutan, tidak hanya merepresentasikanpraksis hokum
dan politik yang sarat dengan
pertaruhan kepentingan dan
kredibilitas lembaga negara di
tingkat elite, namun juga menyisakan berbagai kenyataan,
betapa kejujuran, etika moral
dan sosial masih teramat jauh
untuk dikawaldan dianut bersama serta betapa sulit dicerna
aka! sehat. Yangada hanyalah
egosentris dan pertarungan
atas nama kelompok kekuasa- kat kebenaran jauh berada di
an dan kewenangan yang me- lubuk hati yang paling dalam,
lembaga.
sayangnya elite yang bertikai
Dampak negatif yakni ter- belum mampu duduk bersama
bentuknya berbagai opini yang dengan kepala dan hati yang
pro-kontra, tidak hanya mem- dingin danjernjh.
bingungkan masyarakat, juga
Maraknya berbagai dukungfenomena ini bak serial drama

an pada KPK seakan menjadi
dan miniatur dari praksispene- benar baik secaradefacto maugakanhokum yangterkontami- pun aspek legal,demikianjuga
nasi kepentingan praktis dan
"pembelaan"Polrisemakintergengsi yang dibalut atas nama kesan emosional dan serbasaprofesionalitas,sehinggaesensi lah, entah karena terdesak
persoalan dan solusinya dise- ataukah karena opini yang merahkan dalam wacana publik nyudutkannya. Hakim sosial
yang konfliktual. Bahkan Pre- seakan sedang diperankan bersiden SBYturut memberlkan bagaipihak,karena lambat dan
komentar atas perseteruan ini. tumpulnya lembaga hukum
Tak disadari bahwa pertarung- dan peradilan yang ada, kini
an ini berpotensi menjadi pe- pertarungan sedang ramai dibimicu konfliklebih luas. Apalagi car~
banyak orang.
mediamassa dan situs-situstak
Jlka meminjam pemikiran
mampu dibendung untuk ikut Erving Goffman (1960), kasus
meramaikannya. Situasi ini "KPK dan Polri" ibarat memenjadi objekberita yang tera- nyaksikantontonan drama bermat menarik dan aktual untuk
seri yang panjang dan menarik
dilewatkan.Khalayakpenonton banyak perhatian, karena betaatau rakyatdibuat bingung,ka- pa ban~akelite negeri teIjebak
rena ulah berbagai pihak yang dalam hI.Igkaranbirokrasi dan
multiinterpretasi.Lagi-Iagima- hokum clptaannya.MelaluiTen?Sia~am konteksini menja- ori ~ramaturgisnya, kehidupan
di subJek penuh misteri,- haki- ~~soslallaksana panggung-yang


di atasnya tempat aktor memainkan perannya sesuai dengan
keinginan yang diharapkan sebelumnya. Dengan adanya bahasa verbal ataupun nonverbal,
para pemain dapat mengendalikan kesan-kesan di atas panggung ini. Wilayah depan merupakan arena pertunjukan yang
dapat ditonton oleh khalayak
ramai. Sementara wilayah belakang ibarat tempat atau kamat
rias, yaitu di sini para aktor
akan dipersiapkan untuk me,mainkan peranannya di hadapan para penonton. Panggung
depan adalah bagian penampilan para elite individu secara
teratur berfungsi dalam mode
yang umum dan tetap untuk
mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting dan personal front,
yang selanjutnya dapat dibagi
menjadi penampilan (flppearanee) dan gaya (manner).
Persis seperti 'menyaksikan
"KPKdan Polri" di tingkat elite.
Tindakan korupsi ibarat drama
dari suatu tindakan seseorang
atau sekelompok orang terhadap orang lain dengan berbagai
cara memenuhikeinginannya
untuk tujuan mendapatkan keuntungan sepihak dengan berbagai alasan, rasionaliasasi, justifikasi (justification) untuk

mengamankan dan atau memperlancar segala urusan, termasuk memenuhi hasrat kemaruk
alias rakus. Perilaku korupsi
merupakan produk dari simbol
sosial yang menggambarkan
betapa rapuhnya tatanan sosial
dan atau ketidaktaatan, pelanggaran norma hukum, dan norma sosial serta moral dalam
praksis kehidupan.
Praksis hokum dan politik di
tingkat elite
kembali menjadi
:;;;
~

-

tontonan dan sorotan media
massa, tidak hanya karena menyangkut keterlibatan elite politik dan atau pejabat negara
dalam ranah birokrasi dan kekuasaan, juga mereka adalah
public figure penegak hukum
yang mengemban amanat dan

kepercayaan rakyat untuk menjalankan roda negara dalam koridor hokum positif yang profesional. Kini, rakyat adalah penonton aktif dan kritis yang selalu mencermati sepak teIjang
para elitenya. Yang teIjadi adalah praksis hukum dan politik
yang teralienasi dari realitas
rakyat dalam konteks kenegaraan. Rakyat disuguhi,tontonan
drama yang tak masuk aka! sehat dan tak berkesudahan.
Dialektika kekuasaan mengalami distorsi pemahaman dan
pemaknaan, tercerabut dari kedaulatan mayoritas raky~t, kekuasaan seakan mengeliminasi
diri dari nalar dan nurani sosial dan moral rakyat kebanyakan. Para elite penguasa melenggang tanpa kontrol yang seimbang dari lembaga atau forum
yang memadai. Indikator "bersih" -nya para elite kekuasaan
sangat tergantung dari interpretasi pemegang kuasa, sehingga dekonstruksi berlangsung dalam ketidakseimbangan
dan ketiadaan peran yang optimal dari lembaga yang seharusnya. Sayangnya, rakyat belum
memadai belajar demokrasi secara dewasa dan bertanggung
jawab, karena memilih para elite, bukan untuk mencari solusi,
tetapi menambah masalah. Sedangkan praksis politik dan hukum masih diliputi berbagai
motif kekuasaan dan bisnis birokrasi oleh sebagian elite negeri dan tentunya selalu digaungkan atas nama kebenaran

-

--


dan rakyat.
Dengandemikian,jika dalam
kasus "KPKdan Polri"ditemui
berbagai kejanggalan dan pelanggaran,biarlah lembagahukum dan peradilan yang memutuskannya,kecualikasus ini
menjadi titik awal untuk melangkah menuju good governance, maka perlu didukung
semua elemen dan elite negeri
dan rakyat untuk merealisasikannya dengan jalan damai
dan bertanggung jawab. Quo
vadis KPKdan Polri?***
Penulis, pengajar komunikasi Politik di Fikom Unpad.

Kllping

Humas

Un pad

2009