Cuaca Kebakaran Hutan Kaitannya dengan Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia

CUACA KEBAKARAN HUTAN KAITANNYA DENGAN UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA

Achmad S. Thoha, S.Hut
Program Ilmu Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam.
Keanekaragaman kekayaan alam ini hampir sebagian besar dijumpai di kawasan hutan. Fungsi hutan yang telah diketahui selama ini adalah fungsi produksi, fungsi hidrologi, fungsi ilmu pengetahuan, fungsi wisata dan budaya serta pertahanan keamanan. Pemanfaatan hutan ini ditujukan antara lain untuk peningkatan devisa negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat pentingnya fungsi dan peranan hutan tersebut maka diperlukan usaha perlindungan agar hutan tetap terjamin kelestariannya.
Dalam mengelola hutan, pihak pengelola tidak akan lepas dari masalah gangguan keamanan pada hutan. Pada hutan tanaman, selain gangguan hama penyakit dan pencurian, kebakaran hutan merupakan masalah yang mengakibatkan kerugian baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi.
Kebakaran hutan dalam waktu singkat dapat mengakibatkan kerugian yang besar dibandingkan faktor perusak hutan yang lain. Penyebab kebakaran hutan dapat bermacammacam baik dari alam maupun karena kegiatan manusia. Kebakaran hutan akibat perbuatan manusia merupakan penyebab terbesar dari peristiwa kebakaran hutan di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah dan mobilitas penduduk sehingga kontak antara hutan dan penduduk makin tinggi. Selain itu kebutuhan akan lahan garapan dan kesempatan kerja juga makin meningkat sehingga menjadikan aksesibilitas manusia terhadap hutan makin mudah. Para peladang berpindah sering dituduh sebagai penyebab terjadinya kebakaran di hutan alam, karena pembukaan lahannya dilakukan dengan jalan membakar areal yang akan ditanam (prescribed burning).
Dalam usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan diperlukan suatu manajemen pengendalian kebakaran hutan (forest fire management). Salah satu upaya untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan ini yaitu dengan melakukan Penilaian Bahaya Kebakaran Hutan (Fire Danger Rating). Metode Penilaian Bahaya Kebakaran telah banyak dikembangkan untuk menilai tingkat bahaya kebakaran. Indeks Kekeringan Keeetch-Byram (KBDI) baru-baru ini dikembangkan untuk menilai bahaya kebakaran hutan di Kalimantan Timur. Menurut Deeming (1995) sistem ini dinilai dapat diandalkan sebagai model yang diusulkan dalam sistem penilaian bahaya kebakaran. Keuntungan KBDI terletak pada pengumpulan data yang semuanya bisa diperoleh di stasiun klimatologi, yang berupa rata-rata curah hujan tahunan, curah hujan harian dan temperatur harian maksimum. Selain itu KBDI dapat dihitung secara manual dan persamaannya diprogram ke dalam kalkulator atau komputer.

II. CUACA KEBAKARAN HUTAN Chandler et. al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim
kebakaran hutan dengan bebrbagai cara yang saling berhubungan yaitu : 1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. 2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran.

mempengaruhi

©2001 Digitized by USU Digital Library

1

3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar. 4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.

Menurut Fuller (1991), karena cuaca sangat mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir akan menyebabkan kebakaran.
Faktor-faktor cuaca seperti suhu, kelembaban, stabilitas udara serta kecepatan dan arah angin secara langsung mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor-faktor lain seperti jangka musim yang lama berpengaruh pada pengeringan bahan bakar, sehingga secara tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan.
Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran.
Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Selain pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar dan cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dan cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus.
Cuaca api didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang mempengaruhi awal terjadi kebakaran, sifat-sifat kebakaran dan pengendalian kebakaran. Musim kebakaran adalah jangka waktu tertentu dimana kebakaran banyak terjadi, menjalar dan mengakibatkan kerusakan yang cukup parah sehingga memerlukan organisasi pengendali kebakaran (Brown dan Davis, 1973).
III. PENGARUH FAKTOR-FAKTOR IKLIM PADA KEBAKARAN HUTAN A. Radiasi Matahari
Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan bahan bakar yang dipengaruhi oleh radiasi matahari yang berfluktuasi dalam sehari semalam. Suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari (Schroeder dan Buck, 1970).
Fuller (1991) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan. Penyinaran matahari, selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara di bawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerrah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.
Variabel utama yang mengontrol kadar air bahan bakar pada bahan bakar mati adalah curah hujan, kelembaban relatif dan suhu. Angin dan penyinaran matahari merupakan faktor penting pada pengeringan bahan bakar, dimana pengaruhnya pada perubahan suhu bahan bakar dan suhu dan kelembaban relatif pada udara yang berbatasan langsung dengan permukaan bahan bakar
B. Suhu Udara Suhu bahan bakar adalah salah satu faktor yang menentukan kemudahannya untuk
terbakar dan tingkat terbakarnya. Suhu dicapai dengan penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk udara yang meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler et. al. 1983).

©2001 Digitized by USU Digital Library

2

Temperatur udara bergantung pada intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan cepat mengeringnya bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).
Menurut Young dan Giesse (1991), suhu udara merupakan faktor cuaca penting yang menyebabkan kebakaran. Suhu udara secara konstan merupakan faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar.
Menurut Saharjo (1997), pada pagi dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20oC ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30 – 35oC, sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
C. Kelembaban Udara Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi

tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air, maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli metereologi menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humidity (kelembaban relatif) yang didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama.
Kelembaban nisbi atau kelembaban udara di dalam hutan sangat mempengaruhi pada mudah tidaknya bahan bakar yang ada untuk mengering, yang berarti mudah tidaknya terjadi kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).
Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar hutan, terutama peranan air hujan. Di dalam musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air bahan bakar.
Menurut Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90 – 95 % ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relatif 70 – 80 % dan kadar air bahan bakar cukup rendah (< 30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin (Saharjo, 1997).
D. Presipitasi Air yang dikandung udara berada dalam tiga wujud, yaitu sebagai uap air tidak
terlihat dan bereaksi seperti gas lain, sebagai cairan yang berbentuk tetesan pada berbagai ukuran, sebagai padatan berbentuk kristal-kristal es yang jatuh sebagai salju, hujan batu es atu hujan bercampur es atau salju (Chandler et. al. 1983).
Daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban dan keadaan bahan bakar. Bila keadaan bahan bakar tinggi, sulit terjadi kebakaran (Dirjen PHPA, 1994).
Penelitian Triani (1995) yang mengadakan penelitian di KPH Banyawangi selatan menunjukkan hasil perhitungan indeks kekeringan berkisar 0 – 800 (menurut Kingston dan Ramadhan). Pada bulan dengan sedikit curah hujan, indek kekeringan cukup tinggi, sebaliknya pada bulan dengan curah hujan tinggi, indek kekeringan rendah, bahkan mencapai angka nol. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan mempengaruhi kadar air bahan bakar.
Hal yang sama juga dijelaskan dalam Syaufina (1988), bahwa di Semarang, Jawa Tengah, puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan Agustus dan September. Data observasi selama 5 tahun menunjukkan bahwa kebakaran hutan meningkat seiring dengan

©2001 Digitized by USU Digital Library

3

menurunnya curah hujan dan puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan. Pada saat itu, tanaman jati menggugurkan daun-daunnya, sehingga ketersediaan bahan bakar menjadi meningkat dalam jumlah sedangkan kadar air yang menurun secara drastis. Kondisi tersebut membuat bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar.
E. Angin Menurut Chandler et. al. (1983), angin merupakan salah satu faktor penting dari
faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan mensuplay udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.
Lebih lanjut Deeming (1995) mengemukakan bahwa tiupan angin, akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalaran dan kecepatan perkembangan api akan meningkat dengan makin besarnya tiupan angin.
Sedangkan menurut Suratmo (1985), angin menentukan arah dan menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api, tetapi besar kecilnya api ditentukan oleh kadar air bahan bakar. IV. NILAI BAHAYA KEBAKARAN (FIRE DANGER RATING)
Penilaian bahaya kebakaran hutan (fire danger rating) adalah suatu sistem manajemen pemberantasan yang disesuaikan atau diintegrasikan dengan pengaruh atau akibat faktor-faktor bahaya kebakaran yang dinyatakan dalam satu atau lebih nilai kualitatif atau nilai indeks dari keperluan cara perlindungan (Suratmo 1985).

Fire Danger Rating pada penerapannya dapat dijadikan acuan dalam sistem penanggulangan dini (early warning system). Menurut Arba’i dan Deddy (1996), sistem penanggulangan dini merupakan rangkaian kegiatan pelaporan dan penanggulangan kebakaran dengan memanfaatkan jaringan komunikasi satelit, perangkat telekomunikasi di dekat stasiun pengamat cuaca lapangan lainnya. Tujuannya untuk mendeteksi lokasi sumber kebakaran atau peluang yang berpotensi menimbulkan kebakaran. Tindakan itu kemudian dilanjutkan dengan langkah mencegah terjadinya kebakaran hutan yang tidak terkendali.
Menurut Suratmo (1985) untuk menentukan nilai bahaya kebakaran hutan, diperlukan sejumlah elemen bahaya kebakaran hutan yang terdiri atas elemen tetap (iklim, radiasi matahari, keadaan vegetasi, jumlah dan sifat bahan bakar, tanah, topografi, altitude, penyebab kebakaran, nilai kerusakan, gejala yang nampak serta organisasi tim pemberantas kebakaran) dan elemen tidak tetap (kadar air bahan bakar, angin, temperatur udara, tekanan udara, keadaan udara lapisan atas, hujan, air tanah serta kelembaban).
Untuk keperluan dan konsep praktis dalam manajemen kebakaran hutan, Fire Danger Rating dapat digambarkan dalam peta yang memuat zona-zona tingkat bahaya kebakaran tertentu yang dapat meramalkan kebakaran hutan dalam setahun, dari permulaan, penyebaran dan selama periode perlindungan yang diperlukan (Kingston dan Ramadan, 1981).
Tujuan penilaian bahaya kebakaran menurut Deeming (1995) adalah untuk menyediakan informasi mengenai daya nyala vegetasi pada daerah yang rawan untuk mendukung upaya kegiatan pencegahan dan deteksi kebakaran, kesiap-siagaan tenaga pemadam kebakaran dan tindakan yang perlu segera diambbil bila ada laporan kebakaran.

©2001 Digitized by USU Digital Library

4

Di beberapa negara nilai bahaya kebakaran hutan sering digunakan sebagai petunjuk dalam tindakan pencegahan kebakaran hutan. Nilai bahaya kebakaran hutan dapat dipakai untuk menentukan kegiatan-kegiatan patroli, deteksi dari udara, pengawasan dan persiapan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kebakaran (Chandler et. al. 1983).
Pada dasarnya dikenal tiga macam cara penilaian bahaya kebakaran hutan (Suratmo, 1985), yaitu: 1. Fire Danger Meter Method
Sistem ini disusun berdasarkan penelitian elemen-elemen: angin, kadar air bahan bakar, kelembaban udara, waktu (tanggal) musim kebakaran, gejala-gejala yang tampak dan penyebab kebakaran. Elemen-elemen tersebut dikombinasikan dan dibuat tujuh belas kelas bahaya kebakaran. 2. Cumulative Relative Humidity Methode Dasar penyusunan sistem ini adalah korelasi dari kumulatif kelembaban udara dengan sifat-sifat kebakaran hutan. Nilai bahaya kebakaran hutan dibagi atas empat kelas. 3. Canadian Fire Danger Tables Sistem ini didasarkan pada derajat penguapan sebagai indikator kadar air bahan bakar. Elemen yang diukur untuk penyusunan tabel bahaya kebakaran hutan hanya dua yaitu curah hujan dan angin. Nilai bahaya kebakaran hutan dibagi menjadi 17 Kelas.
V. INDEKS KEKERINGAN KEETCH BYRAM (KBDI) Indeks kekeringan adalah jumlah yang mewakili pengaruh bersih (net)
evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kekembaban kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala (flammability) bahan-bahan organik pada tanah (Keetch dan Byram, 1988)
Hasil analisis keadaan klimatologi daerah Samarinda dan Balikpapan selama tahun 1978-1995 menunjukkan bahwa kebakaran hutan besar pada periode 1982-1983, 19911992 dan 1994 terjadi hanya pada saat keadaan curah hujan berada pada kisaran tertentu. Indeks Kekeringan Keetch Byram (KBDI) dinilai dapat diandalkan sebagai model yang diusulkan dalam sistem penilaian bahaya kebakaran hutan (Deeming, 1995).
Model KBDI dibuat berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini : * Laju hilangnya kelembaban di daerah kawasan hutan akan bergantung pada kerapatan
vegetasi yang menutupi kawasan tersebut. Pada gilirannya, kerapatan vegetasi yang menutupi dan kapasitas penguapannya, merupakan fungsi dari nilai rata-rata curah hujan tahunan. Selanjutnya, vegetasi tersebut pada akhirnya akan menyesuaikan dengan sendirinya dalam memanfaatkan lebih banyak kelembaban di sekitarnya. * Hubungan vegetasi dengan curah hujan mendekati kurva eksponensial dimana laju hilangnya kelembaban merupakan fungsi dari rata-rata curah hujan tahunan. Oleh karena itu, laju hilangnya kelembaban akan menurun dengan semakin menurunnya kerapatan vegetasi, dan dengan menurunnya rata-rata curah hujan tahunan. ∗ Laju hilangnya kelembaban dari tanah ditentukan oleh hubungan evapotranspirasi. ∗ Hilangnya kelembaban tanah seiring dengan waktu diperkirakan dengan bentuk kurva eksponensial dimana kelembaban titik layu digunakan sebagai tingkat kelembaban yang terendah. Oleh karena itu, laju penurunan (drop) yang diharapkan pada kelembaban tanah terhadap titik layu pada kondisi yang sama, adalah cukup proporsional terhadap jumlah ketersediaan air dalam lapisan tanah untuk waktu tertentu. ∗ Kedalaman lapisan tanah pada saat kekeringan berlangsung adalah saat kekeringan berlangsung adalah saat dimana tanah memiliki nilai kapasitas lapang sebesar 8 inchi. Meskipun seleksi 8 inchi agak berubah-ubah, namun nilai numerik yang tepat tidak begitu penting. Kadar kelembaban yang terjadi pada kapasitas lapang 8 inchi tersebut

©2001 Digitized by USU Digital Library


5

cukup masuk akal untuk penggunaan pengendalian kebakaran hutan sebab di banyak negara, permukaan vegetasi menguapkan banyak air seluruhnya terjadi pada musim panas. ∗ KBDI hanya memerlukan data-data seperti : Rata-rata curah hujan tahunan, curah hujan harian dan temperatur harian maksimum yang kesemuanya tersedia di stasiun pengamat cuaca lapangan terbang.
Kelebihan KBDI sebagai alat untuk menilai tingkat bahaya kebakaran hutan antara lain (Deeming, 1995) : 1. KBDI dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1968 dan telah diterapkan
penggunaannya dengan beberapa modifikasi yang dilakukan oleh orang-orang Australia dan negara lain. Di Indonesia KBDI telah diterapkan oleh IFFM (Integrated Forest Fire Management), lembaga kerja sama Jerman dan Indonesia, di Kalimantan Timur dengan KBDI sistem metrik. 2. KBDI hanya membutuhkan data curah hujan 24 jam, temperatur maksimum 24 jam dan rata-rata curah hujan tahunan yang diperoleh dari stasiun pengamat cuaca. 3. KBDI dapat dihitung secara manual dan persamaan hitungnya cukup mudah untuk diprogram ke dalam kalkulator maupun komputer. 4. Instrumen yang diperlukan dalam stasiun pengamat cuaca adalah catatan pengukur curah hujan, termograf dan instrumen pelindung. 5. KBDI harus dihitung setiap saat dilakukan pengamatan cuaca, namun tidak harus dihitung tiap hari. Oleh karena itu dapat dihitung sekali dalam seminggu. IV. PENUTUP Cuaca kebakaran hutan sangat terkait dengan penggunaan nilai bahaya kebakaran (Fire Danger Rating). Pemahaman tentang cuaca kebakaran hutan akan sangat menunjang penggunaan Fire Danger Rating dalam upaya pencegahan kebakaran hutan. Faktor-faktor iklim yang diperlukan dalam penetapan nilai bahaya kebakaran hutan adalah radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, presipitasi dan angin.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan hendaknya dilalukan secara terpadu antara pencegahan dan pemberantasan kebakaran. Upaya yang paling efisien adalah kegiatan pencegahan kebakaran hutan. Salah satunya adalah penerapan sistem peringatan dini bahaya kebakaran hutan. Fire Danger Rating sangat dianjurkan bisa dikuasai oleh petugas lapangan untuk dapat mengantisipasi secara dini adanya bahaya kebakaran. Dengan antisipasi secara dini, kalaupun terjadi kebakaran hutan diharapkan tidak mengakibatkan kerugian yang besar.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Arba’I M dan Deddy. 1996. Sistem Peringatan Dini dalam Penaggulangan Kebakaran Hutan. Bapedal Pusat. Jakarta.
Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1992. Mengendalikan Api Lahan. Penerbitan Nomor 3 Januari 1992.
Brown, A.A. and K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control Use. Mc Graw-Hill, Inc. USA.
Chandler, C.P. Cheney, L. Trabaud and D. Williams. 1983a. Fire in Forestry Vol. I Forest Fire Behaviour and Effects. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
______1983b. Fire in Forestry Vol. II Forest Fire Management and Organisation. John Wiley and Sons, Inc. Canada

©2001 Digitized by USU Digital Library

6

Deeming. John E. 1995. Pengembangan Sistem Penilaian Kebakaran Hutan di Propinsi Kalimantan Timur. Laporan Akhir Disampaikan kepada Deutsche Desellschaft Fuer Technische Zusammenaebeit (GTZ) GmbH. Postfach 51 80 65726 Eschborn. Republik Federal Jerman. Tidak Dipublikasikan.
Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1994a. Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 244/Kpts/DJ VI/1994 Tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
______ 1994b. Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 243/Kpts/DJ VI/1994 Tentang Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Fuller, M. 1991. Forest Fore An Introduction to Wildland Behaviour, Management, Firefighting and Prevention. John Wiley and Sons Inc. Canada.
Keetch, J. J. Byram. 1988. A Drought Index for Forest Control. US Department of Agriculture Forest Science Southestern Forest Experiment Station Asheville. North Carolina.
Kingston, B. and S. Ramadhan. 1981. Forest Fire Management. Food Agriculture Organization of United Nations in Cooperation with Directorate General of Forestry of The Government of Indonesia. Bogor.
Saharjo,, B.H. 1997. Mengapa Hutan dan Lahan Terbakar. Harian Republika. 29 September 1997.
Schroeder, M.J. and C. C. Buck. 1970. Fire Weather. Agriculture Handbook 360. US Department of Agriculture Forest Service. USA
Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Syaufina. L. 1988. Pola Penyebaran Kebakaran Hutan berdasarkan Musim di Jawa Tengah. Skripsi Mahasiswa Jurusan Manajeman Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Triani., W. 1995. Keterkaitan Kebakaran Hutan dengan Faktor-faktor Iklim di KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa timur. Skripsi Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Young R.A. and R.L. Giese. 1991. Introduction to Forest Fire. John Wiley and Sons Inc. Toronto Canada.

©2001 Digitized by USU Digital Library

7