INDONESIA DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN DA
INDONESIA DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PEMBANGUNA BERKELANJUTAN
Muhammad Irdhi
Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Pengantar
Indonesia merupakan Negara yang pernah mengalami berbagai macam bencana
seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung berapi,
putting beliung dan pernah mengalami tsunami. Berdasarkan data kejadian bencana di
Indonesia September 2014, bencana banjir dengan jumlah kejadian 5 kali, banjir dan tanah
longsor 1 kali, gempa bumi 2 kali, kebakaran hutan dan lahan 12 kali, letusan gunung berapi
1 kali, putting beliung 17 kali dan tanah longsor 6 kali (BNPB, 2014).
Berdasarkan data tersebut pada bulan September 2014 bencana yang banyak terjadi
adalah putting beliung, namun sampai saat ini bencana yang masih sering terjadi yaitu
kebakaran hutan dan lahan. Akibat dari kebakaran hutan, kekayaan alam Indonesia pun rusak.
Berdasarkan catatan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia,
sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya.
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam World Wildlife Fund for Nature),
dan berdasarkan statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015, luas daratan
kawasan hutan adalah 120.773.441,71 Ha (BPS 2017). Semakin berkurangnya luas hutan
Indonesia ini karena masih tingginya angka penebangan liar dan yang lebih parah lagi adalah
banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan, padahal Indonesia adalah salah satu Negara
yang memiliki luas hutan terbesar didunia dengan kekayaan berlimpah yang terkandung di
dalamnya.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah serius yang dihadapi Negara
Indonesia, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan dimusim kemarau.
Sampai saat ini kebakaran menjadi salah satu bencana yang harus segera diatasi oleh
pemerintah baik dikawasan hutan maupun bukan dikawasan hutan. Tempat yang sering
terjadi kebakaran hebat yaitu di tanah gambut yang sulit untuk ditangani karena penyebaran
1
api tidak hanya dipermukaan gambut tetapi penyebaran kebakarannya juga di bawah lapisan
tanah gambut yang susah diketahui penyebarannya. Taccomi mengatakan Indonesia pernah
mengalami bencana lingkungan terburuk yaitu kebakaran hutan yang hebat pada tahun 19971998 yang menghabiskan biaya sekitar US$ 1,62 sampai 2,7 miliar dan pencemaran kabut
asap sekitar US$ 674 sampai 799 juta dan emisi karbon sampai US$ 2,8 miliar (Fadillah dkk,
2017:215).
Di tahun 2014, dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) wilayan
yang paling banyak mengalami kasus kebakaran adalah Pulau Kalimantan dan Pulau
Sumatera. Berikut adalah Rekapitulasi titik panas di Pulau Sumatra dan Kalimantan bulan
September 2014.
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana bulan September 2014
Sementara di tahun 2015 kebakaran yang terjadi menurut pantauan Satelit MODIS
dari NASA terdeteksi ada 198 hotspot (titik api) di Pulau Sumatera tersebar di Jambi 59 titik
api, Lampung 3 titik api, Sumateta Barat 7 titik api, Sumatera Selatan 46 titik api, Riau 82
titik api, dan Sumatera Utara 1 titik api. Sedangkan di Kalimantan ada 591 titik api yaitu di
2
Kalimantan Barat 74 titik api, Kalimantan selatan 30 titik api, Kalimantan Tengah 313 titik
api, Kalimantan Timur 138 titik api, dan Kalimantan Utara 36 titik api (Syukur, 2015).
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan adalah kabut asap yang luas sehingga
mengurangi jarak pandang dan berpotensi terjadinya kecelakaan lalu lintas, transportasi udara
juga terganggun, Dari segi kesehatan dapat menimbulkan sesak napas dan tidak sedikit
masyarakat yang meninggal karena sesak napas dari udara yang terscemar tersebut dan yang
paling memperihatinkan adalah rusak dan hilangnya ekositem hutan, jika sudah seperti ini
butuh waktu yang sangat lama untuk memperbaikinya.
Secara umum penyebab terjadinya kebakaran hutan karena faktor alami dan faktor
manusia. Faktor alami biasanya terjadi karena faktor El-Nino yang menyebabkan kemarau
berkepanjangan dan kekeringan, sedikit saja ada percikan api dapat menyebabkan kebakaran.
Sedangkan faktor manusia karena banyaknya aktivitas pembukaan lahan baru menebang
hutan secara besar-besaran dan membakar lahan menggunakan api untuk konversi lahan
perkebunan sawit oleh pihak swasta karena murah dan mudah dilakukan. Dari berbagai
kebakaran hutan yang selama ini terjadi, kebanyakan dilakukan dengan sengaja sehingga
yang lebih tepat sebenarnya adalah pembakaran hutan, hanya 1% kebakaran hutan karena
faktor alam dan 99% karena faktor manusia.
Jika hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin hutan Indonesia akan mengalami
degradasi yang luar biasa, hutan hujan tropis di Indonesia akan musnah dan hal ini akan
berdampak pada pembangunan berkelanjutan yang secara umum prinsipnya bahwa apa yang
dilakukan saat ini harus memikirkan generasi yang akan datang, tanpa harus merugikan
generasi selanjutnya. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan
yang salah satunya adalah ramah lingkungan dan salah satu pilar pembangunan berkelanjutan
yaitu keberlanjutan lingkungan yaitu menjaga lingkungan supaya aman dan nyaman. Tetapi
ketika kebakaran hutan terjadi emisi karbon yang dihasilkan sangat banyak dan itu dapat
menyebabkan efek rumah kaca atau pemanasan global. Sehingga Kebakaran hutan bisa
dikatakan faktor paling potensial dalam menghambat pembangunan berkelanjutan karena
dampaknya sangan luarbiasa bagi ekosistem. Oleh karena hal tersebut pada tulisan ini akan
membahas bagaimana dampak dari kebakaran hutan terhadap pembangunan berkelanjutan.
3
Indonesia Darurat Kebakaran Hutan dan Dampaknya Terhadap Pembanguna
Berkelanjutan
Setiap pembangunan
yang dilakukan pasti
bertujuan untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat namun disisi lain juga akan meningkatkan permintaan sumber daya
alam (SDA). Oleh karena itu penggunaan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat
baik untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang harus di imbangi dengan
pelestarian lingkungan sehingga keberlanjutan sumber daya alam dapat dijaga. Dengan
demikian Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Defelopment) merupakan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya alam dengan baik untuk saat ini tanpa harus merugikan
generasi yang akan datang agar kehidupan tetap sejahtera dan kelestarian sumber daya alam
serta fungsinya tetap terjaga, karena generasi yang akan datang juga punya hak untuk
menikmati kekayaan alam.
Menurut Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan adalah proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
menyerasikan sember daya alam dan manusia dalam pembangunan. Dengan demikian ketika
keselarasan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia dapat tercapai maka akan
terciptanya keseimbangan (Jazuli, 2015:189).
Pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan ekosistem sekitar agar tidak
rusak, seperti pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam biasanya tidak
memperhatikan aspek lingkungan. Karena pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakata maka harus memperhatikan juga kepentingan
dan kebutuhan masyarakat tanpa harus melakukan pemborosan terhadap sumber daya yang
ada. Namun itulah yang menjadi tantangan Indonesia saat ini dimana pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan masih kurang, lahan-lahan pertanian banyak
yang dikonversi mejadi kawasan industri, luas hutan yang tiap tahunnya semakin berkurang
akibat dari penebangan hutan secara liar dan kebakaran hutan serta udara yang tercemar
akibat dari kebarakan hutan.
Hutan sebagai salah satau sumber kekayaan alam Indonesia setiap tahun semakin
memperihatinkan, sekitar 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap
tahunnya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam World Wildlife Fund for
4
Nature). Seperti yang tertera pada Stistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
pada tahun 2014 dibawah ini:
Sumber: Ali Said, dkk di Badan Pusat Statistik (BPS) 2016
“Pada tahun 2013, penutupan lahan dalam kawasan hutan berdasarkan hasil
penafsiran Citra Satelit Landsat 8 OLI ditafsir sebesar ± 98.072,7 juta ha (52,21
persen) untuk areal berhutan dan ± 89.768,9 juta ha (47,79 persen) untuk areal
tidak berhutan. Sementara tahun 2014, berdasarkan hasil penafsiran Citra Satelit
Landsat 7 ETM+ ditafsir sebesar ± 96.490,8 juta ha (51,35 persen) untuk areal
berhutan dan ± 91.427,5 juta ha (48,65 persen) untuk areal tidak berhutan ” (Said,
dkk, 2016:216).
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa adanya penurunan luas area hutan dan
peningkatan luas area tidak berhutan. Jika seperti ini terus berlanjut lalu bagaimana untuk
pemanfaatan keberlanjutan ekosistem daratan serta pengelola hutan secara lestari yang secara
keseluruhan ditargetkan pada tahun 2020 dan menjamin pelestarian ekosistem pegunungan,
termasuk keanekaragaman hayatinya pada tahun 2030.
Salah satu yang menjadi masalahnya adalah masih maraknya bencana kebaran hutan.
Di Indonesia, hampir setiap tahun terjadi dengan skala kecil maupun skala besar. Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Lingkungan
Hidup
dan
Kehutanan
Nomor
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan,
kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan lahan,
5
baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang menimbukan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik.
Data tahun 2014 perbandingan luas lahan terbakar di 5 propinsi di indonesia tahun
dapat dilihat sebagai berikut. Provinsi Riau mencapai lebih dari 6000 hektare. Provinsi Jawa
Timur mencapai 5000 hektare, Provinsi Kalimantan Tangah mencapai 4000 hektare, Provinsi
Jambi mencapai 3400 hektare, dan Provinsi Sumatera Utara mencapai 3200 hektare
(Purnomo dkk, 2016:68).
Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2014, wilayah
yang paling banyak mengalami kasus kebakaran adalah Pulau Kalimantan dan Pulau
Sumatera yang juga dekat dengan Negara tetangga yaitu Malaisya, maka dari itu kebakaran
hutan yang ada di Indonesia bukan hanya berdampak di wilayan Indonesia saja tapi
berdampak juga secara global karena asap yang di timbulkan dari kebakaran hutan meluas
sampai di wilayah Negara tetangga seperti Negara Malaisya dan Singapur, karena secara
fisik, keberadaan sumber udara tidak mengenal batas administratif, sehingga kemungkinan
terjadinya pencemaran lintas batas.
Salah satu Provinsi di Pulau Sumatera tiap tahun mengalami kebakaran hutan adalah
Privinsi Jambi. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jambi 2016, jumlah titik api di Provinsi
Jambi tahun 2010-2015 adalah sebagai berikut:
Sumber: Suhendri, & Purnomo, E. P. 2017. Penguatan Kelembagaan Dalam
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Muaro
Jambi Provinsi Jambi. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), 174-204.
Namun Provinsi yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan selalu menjadi
berita utama dalam topik kebakaran hutan di Pulau Sumatera adalah Provinsi Riau. Di tahun
6
2015 berdasarkan data yang telah paparkan sebelumnya dari 198 titik api di Pulau Sumatera,
82 titip api berada di Provinsi Riau. Secara keseluruhan dilihat dari titik api di Provinsi Riau,
kabupaten dengan tingkat kebakaran yang tertinggi pada lima tahun terakhir adalah, pertama
Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pelalawan yang bergatian menempati posisi teratas
dengan jumlah titik api dikisaran 400-900 titik. Disusul Kabupaten Rokan Hili dengan
kisaran 100-800 titik api, Kbupaten Indragiri Hulu 200-600 titik api dan Kabupaten Indragiri
Hilir di kisaran 100-400 titik api (Purnomo dkk, 2016:69).
Sementra Kalau dilihat dari jumlah Kecamatan rawan kebakaran yang ditetapkan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBD DAMKAR)
sebagai daerah rawan kebakaran adalah Kabupaten bengkalis yaitu Kecamatan Siak Kecil,
Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Bantan. Kabupaten bengkalis menjadi rawan
kebakaran kerana wilayahnya adalah lahan gambut yang sangat luas. Data dinas kehutanan
propinsi riau, 75% lahan kabupaten bengkalis adalah lahan gambut (Purnomo dkk, 2016:73).
Sedangkan Provinsi Riau, luas lahan gambutnya mencapai 46,1 % dari keseluruhan
luas wilayahnya dan ini yang menjadikan Provinsi Riau sebagai salah satu Provinsi yang
sangat rawan kebakaran. Fakta menunjukkan bahwa sejak tahun 1997 sampai 2015 atau
selama 17 tahun telah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang bersifat tahunan dan
menimbulkan banyak kerugian materil dan nonmaterial (Suwondo dkk, 2015:65) .
Lahan gambut memang rawan terjadi kebakaran, ketika musim kemarau terkena
percikan api sedikit saja dapat menyebabkan kebakaran, dan kebakaran di lahan gambut juga
sangat susah untuk dipadamkan karena dilahan gambut tidak hanya terbakar diatas
permukaan tanah, namun dibawah tanah pun terbakan karena kalau lahan gambut mengering
bisa sampai kedalaman tertentu. Walaupun di permukaan tampak padam namun api di bawah
masih menyala dan susah untuk diprediksi arahnya.
7
Sumber: Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International: Bogor.
Ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi, yang menjadi sorotan adalah perkebunan
kelapa sawit karena sering dianggap sebagai penyebab kebakaran. Biasanya pembersihan
lahan untuk dibuka lahan perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan tebang pohon secara
besar-besaran dan biasanya juga lahan yang ada dibiarkan kering kemudian dibakar untuk
membersihkan lahan karena murah dan mudah dilakukan, namun oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab setelah dibakar dan dibiarkan begitu saja tanpa di kontrol, sehingga
terjadilah kebakaran.
Masalah lain yang timbul dari perkebunan kelapa sawit adalah jelas dari segi
kualitasnya tidak sebaik pepohonan asli daerah tersebut yang telah ditebang sebelumnya.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawitpun mempengaruhi lahan gambut disekitarya, karena
harus membuat saluran air untuk mengairi perkebunan kelapa sawit. Ketika saluran dibuat
dilahan gambut atau sekitar lahan gambut akan mempengaruhi daya serap air oleh gambut
karena didalam lahan gambut dapat menyimpah air yang banyak, apabila daya serap air
berkurang akan berakibat cepat keringnya lahan gambut dan tidak ada air yang memadamkan
api di dalam tanah. Pengalih fungsian lahan inilah yang banyak menyebabkan lahan hutan
semakin berkuran dan berpotensi terjadi kebaran.
Marongo menyatakan, lebih dari 40% hutan tropis di Asia Tenggara dikonversi untuk
produksi tanaman komersial (sekitar lima kali lebih besar dari hutan di Thailand atau
Malaysia) berada di Indonesia. Misalnya di Pulau Sumatera sebagai tempat spesies langka
yang sudah terancam habitatnya. 70% hilangnya hutan yang dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit sebagai pendorong utamanya (Rautner dkk, 2013:20).
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan sangat banyak, antara lain
terganggunya aktivitas perekonomian pembangunan, permasalahan kabut asap yang
mengganggu kegiatan penerbangan, lintas pelayaran dan bahkan transportasi darat,
penyebaran penyakit ISPA bagi masyarakat, punahnya keanekaragaman hayati baik flora
maupun fauna disekitas lokasi kebakaran, kerugian Negara secra finansian atas punahnya
fungsi sumber daya, terganggunya aktivitas pendidikan dan terganggunya produksi pertanian
akibat lemahnya intensitas matahai untuk fotosintesis (Yuliarti, 2016:16).
8
Masyarakat yang benar-benar terkena dampaknya adalah masyarakat dikawasan
tempat kebakaran, terlebih lagi masyarakat yang hidup di kaki gunung dengan tingkat
kemiskinan yang cukup tinggi dan ketergantungan terhadap hasil hutan relatif tinggi karena
dari hasil hutanlah masyarakat di kaki gunung dapat memenuhi kehidupan sehari-hari
terutama bagi masyarakat yang masih kental dengan tradisi dan budaya.
Jika seperti ini mereka tidak bisa apa-apa karena mata pencahariaan mereka telah
hilang. Walaupun mungkin dari perusahaan kelapa sawit yang dekat dengan kehidupan
mereka akan menjadikan masyarakat sekitar perkerja di perusahaan tersebut tapi itu tidaklah
seberapa karena hanya sebagian kecil yang diambil sebagai pekerja sisanya mengalami nasib
yang kurang baik.
Selain karena pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, yang menjadi
penyeba kebakaran hutan adalah adanya kekecewaan masyarakat terhadap pengelolan hutan
yang dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan hutan yang dilakukan tidak memberikan
manfaat ekonomi yang berarti bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. oleh karena tindakan
anarkispun dilakukan masyarakan untuk meluapkan kekecewaannya, tingkat pendidikan yang
rendah dan minimnya pengetahuan mereka tentang hukum juga mempengaruhi tindakan
mereka (Rasyid, 2014:49). Selain itu lahan yang dibiarkan begitu saja tanpa diurus bisa
menimbulkan kebakaran, ketika musim panas semak belukar akan mudah terbakar entah
dengan senagaja untuk membuka lahan baru atau secara tidak senagaja seperi terkena putung
rokok yang masih menyala.
Untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan serta untuk menjaga
keberlanjutan ekologi, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat
kebijakan baik pemerintah pusat mupun pemerintah daerah adalah melakukan pencegahan
dan pengendalian dengan melakukan upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan, baik melalui pendidikan formal, maupun dengan pelatihanpelatihan yang dapat meningkatkan pengetahuan personil pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan. (Suherdi, Purnomo, 2017:77).
Kemudian untuk melaksanakan pembangunan keberlanjutan ekologi, yang harus
dilakukan menurut Emil Salim adalah kemampuan menyerasikan kebutuhan dengan
kemampuan sumber daya alam, mengembangkan sumber daya manusia agar menanggapi
9
tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan dan menumbuhkan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, (Jazuli, 2015:189).
Dengan semikian upaya yang paling penting untuk mengatasi permasalahan
kebakaran hutan dan menjaga keberlanjutan ekologi adalah dengan melibatkan dan
memberdayakan masyarakat sekita untuk mengelola dan melestarikan hutan atau dengan
istilah Hutan Kemasyarakatan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan bahwa Hutan Kemasyarakatan merupakan hutan Negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Berdasarkan peraturan tersebut juga selain Hutan Kemasyarakatan ada juga yang
disebut Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yaitu hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian Sumberdaya hutan.
Artinya masyarakatlah yang harus berperan penting dalam menjaga klesetarian hutan karena
masyarakat asli di area kawasan hutan tersebut yang lebih paham tentang keadaan hutan.
Osborne dan Gabler juga mensyaratkan adanya pengalihan kepemilikian dari Birokrasi
kepada masyarakat karena sesungguhnya masyarakat paling tahu terhadap masalah dan
kebutuhan mereka (Ramdani, 2016:123).
Menurut Adihugroho dkk, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pencegahan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dorongan dan
rangsangan, insentif, kesempatan, kemampuan dan bimbingan. Dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
10
Sumber: Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International: Bogor.
Yang pertama yaitu pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal mengolah lahan
di sekitar hutan, dengan demikian masyarakat akan ikut menjaga hutan dan lahan dari
kebakaran, karena jika terjadi kebarakan maka lahan mereka juga akan ikut terbakar. Yang
kedua dengan memberikan insentif kepada masyarakat dalam bentuk pengenbangan produk
yang dihasilkan masyarakat seperti kerajinan, kompos dan lain-lain, serta pengembangan
ekonomi yang ramah lingkungan seperti budidaya ikan dan sebagainya. Kemudian yang
ketiga yaitu adanya rangsangan dan dorong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran. Cara yang dilakukan melalui
peningkatan kesadaran sejak dini, meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi hutan dan
lahan gambut serta upaya pencegahan atau mengurangi terjadinya sumber api di lahan
gambut dan memberikan pemahanan tentang hukum dan kebijakan yang berlaku.
Selanjutnya yang keempat peningkatan kemampuan masyarakat melalui pelatihan
dan penyuluhan seperti penyuluhan tentang teknik-teknik dalam penyiapan lahan agar tidak
terjadi kebarakaran serta pelatihan tentang cara pengendalian kebakaran. Dan yang terakhir
adalah bimbingan yang dilakukan oleh pikah-pihak terkait seperti badan penanggulangan
bencana, dinas kehutanan untuk membentuk kesadaran masyarakat dan membantu
masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Penutup
Hutan sebagai salah satau sumber kekayaan alam Indonesia harus terus dijaga dan
dilestarikan agar dapat dinikmati manfaatnya baik untuk sekarang ini maupun untuk generasi
yang akan datang. Namun kebakaran hutan dan lahan masih menjadi persoalan besar di
Indonesia karena akibat yang ditimbulkannya berdampak besar pada kehidupan ekosistem
hutan. Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan sebagai tempat hewan langka dan terancam
punah seharusnya dijaga dengan baik, tetapi apa yang terjadi jika setiap tahun Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan menjadi kawasan kebakaran hutan terbesar di Indonesia atau
lebih tepatnya adalah pembakaran hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
11
Hal ini tidak sejalan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang salah
satunya adalah ramah lingkungan dan salah satu pilar pembangunan berkelanjutan yaitu
keberlanjutan lingkungan yaitu menjaga lingkungan supaya aman dan nyaman. Jika seperti
ini terus, untuk pemanfaatan keberlanjutan ekosistem daratan serta pengelola hutan secara
lestari yang secara keseluruhan ditargetkan pada tahun 2020 dan menjamin pelestarian
ekosistem pegunungan, termasuk keanekaragaman hayatinya pada tahun 2030 tidak akan bisa
berjalan dengan baik.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan, sedangkan pembukaan lahan baru untuk industri mensyaratkan untuk merusak
lingkungan karena inilah yang sering terjadi, penebangan hutan secara besar-besaran,
membersihkan lahan dengan cara membakar. Hal ini sering terjadi karena kebijakan
pemerintah semarta-mata untuk pertumbuhan ekonomi saja, sehingga dengan alasan
pertumbuhan ekonomi, lingkungan menjadi korbannya. Dari segi hukum juga yang biasanya
terjadi adalah tumpul keatas, tajam kebawah. Ketika masyarakat biasa yang melakukan
penebangan hutan dan sejenisnya langsung di hukum, sedangkan kerusakan lingkungan yang
di akibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar sangat susah disentuh oleh hukum.
Untuk menjaga dan melestarikan hutan, yang paling penting harus dilakukan adalah
melibatkan masyarakat dan memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan di
daerah dan dalam pengelolaan hutan. Karena yang lebih pahan tentang hutan dan lahar adalah
masyarakat lokal dan yang lebih pahan tentang kebutuhan mereka adalah mereka sendiri.
Masyarakat lokal yang biasanya menggantungkan hidup kepada hutan pasti akan menjaga
hutan terlebih lagi masyarakat yang masih kental akan budaya dan tredisi. Maka dari itulah
keterlbatana masyarakan lokal sangat penting dalam melestarikan hutan. Bukan kepada pihak
swasta yang hanya mencari keutungan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.
12
Daftar Pustaka
Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut. Wetlands International: Bogor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Info Bencana: Informasi Kebencanaan
Bulanan Teraktual. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Badan Pusat Statistik. 2017. Luas Kawasan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia
Menurut
Provinsi
Berdasarkan
SK
Menteri
Kehutanan.
(online),
(https://www.bps.go.id/linktabelstatis/view/id/1716, diakses 14 Mei 2017).
Fadillah, N., Basuni, S., & Sunarminto, T. 2017. Pengendalian Kebakaran Hutan Oleh
Masyarakat Peduli Api (MPA) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Media
Konservasi, 21(3), 216-224.
Jazuli, A. 2015. Dinamika Hukum Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Dalam
Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal RechtsVinding, 4(2), 181-197.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan.
Purnomo, E. P., dkk. 2016. Ekologi Pemerintahan: Tata Kelola Kelembagaan Birokrasi
Dalam Menangani Kebakaran Hutan, Pengelolaan Sawit Serta Peranan Elit Lokal.
LP3M UMY: Yogyakarta.
Ramdani, R. 2016. Pendelegasian Kewenangan Dalam Pengelolaan Hutan: Studi Kasus
Kelompok Tani Hutan (KTH) Kemasyarakatan Sedyo Makmur Kecamatan Semanu,
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Administrasi Publik,
1(2), 188-131.
Rasyid, F. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara,
1(4), 47-59.
13
Rautner, M., Leggett, M., & Davis Frances. 2013. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi.
Global Canopy Programme: Oxford.
Said, A., dkk. 2016. Potret Awan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals) di Indonesia. Badan Pusat Statistik.
Suhendri, & Purnomo, E. P. 2017. Penguatan Kelembagaan Dalam Pencegahan dan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi
Jambi. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), 174-204.
Suwondo, dkk. 2015. Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan: Penguatan Program
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) Berbasis Masyarakat . Badan
Penerbit Universitas Riau: Riau.
Syukur, M. 2015. BNPB: Kebakaran Hutan Sering Terjadi karena Hukum Lemah, (online),
(m.liputan6.com/news/read/2307345/bnpb-kebakaran-hutan-sering-terjadi-karenahukum-lemah, diakses 15 Mei 2017).
World
Wildlife
Fund
for
Nature.
Kehutanan.
(online),
(http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesie
s/kehutanan/, diakses 14 Mei 2017).
Yuliarti, V. 2016. Peran Dinas Kota Pekanbaru Dalam Menanggulangi Dampak Kabut Asap
Kebakaran Hutan di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19 (1). 1634.
14
PEMBANGUNA BERKELANJUTAN
Muhammad Irdhi
Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Pengantar
Indonesia merupakan Negara yang pernah mengalami berbagai macam bencana
seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung berapi,
putting beliung dan pernah mengalami tsunami. Berdasarkan data kejadian bencana di
Indonesia September 2014, bencana banjir dengan jumlah kejadian 5 kali, banjir dan tanah
longsor 1 kali, gempa bumi 2 kali, kebakaran hutan dan lahan 12 kali, letusan gunung berapi
1 kali, putting beliung 17 kali dan tanah longsor 6 kali (BNPB, 2014).
Berdasarkan data tersebut pada bulan September 2014 bencana yang banyak terjadi
adalah putting beliung, namun sampai saat ini bencana yang masih sering terjadi yaitu
kebakaran hutan dan lahan. Akibat dari kebakaran hutan, kekayaan alam Indonesia pun rusak.
Berdasarkan catatan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia,
sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya.
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam World Wildlife Fund for Nature),
dan berdasarkan statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015, luas daratan
kawasan hutan adalah 120.773.441,71 Ha (BPS 2017). Semakin berkurangnya luas hutan
Indonesia ini karena masih tingginya angka penebangan liar dan yang lebih parah lagi adalah
banyaknya kasus kebakaran hutan dan lahan, padahal Indonesia adalah salah satu Negara
yang memiliki luas hutan terbesar didunia dengan kekayaan berlimpah yang terkandung di
dalamnya.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah serius yang dihadapi Negara
Indonesia, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan dimusim kemarau.
Sampai saat ini kebakaran menjadi salah satu bencana yang harus segera diatasi oleh
pemerintah baik dikawasan hutan maupun bukan dikawasan hutan. Tempat yang sering
terjadi kebakaran hebat yaitu di tanah gambut yang sulit untuk ditangani karena penyebaran
1
api tidak hanya dipermukaan gambut tetapi penyebaran kebakarannya juga di bawah lapisan
tanah gambut yang susah diketahui penyebarannya. Taccomi mengatakan Indonesia pernah
mengalami bencana lingkungan terburuk yaitu kebakaran hutan yang hebat pada tahun 19971998 yang menghabiskan biaya sekitar US$ 1,62 sampai 2,7 miliar dan pencemaran kabut
asap sekitar US$ 674 sampai 799 juta dan emisi karbon sampai US$ 2,8 miliar (Fadillah dkk,
2017:215).
Di tahun 2014, dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) wilayan
yang paling banyak mengalami kasus kebakaran adalah Pulau Kalimantan dan Pulau
Sumatera. Berikut adalah Rekapitulasi titik panas di Pulau Sumatra dan Kalimantan bulan
September 2014.
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana bulan September 2014
Sementara di tahun 2015 kebakaran yang terjadi menurut pantauan Satelit MODIS
dari NASA terdeteksi ada 198 hotspot (titik api) di Pulau Sumatera tersebar di Jambi 59 titik
api, Lampung 3 titik api, Sumateta Barat 7 titik api, Sumatera Selatan 46 titik api, Riau 82
titik api, dan Sumatera Utara 1 titik api. Sedangkan di Kalimantan ada 591 titik api yaitu di
2
Kalimantan Barat 74 titik api, Kalimantan selatan 30 titik api, Kalimantan Tengah 313 titik
api, Kalimantan Timur 138 titik api, dan Kalimantan Utara 36 titik api (Syukur, 2015).
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan adalah kabut asap yang luas sehingga
mengurangi jarak pandang dan berpotensi terjadinya kecelakaan lalu lintas, transportasi udara
juga terganggun, Dari segi kesehatan dapat menimbulkan sesak napas dan tidak sedikit
masyarakat yang meninggal karena sesak napas dari udara yang terscemar tersebut dan yang
paling memperihatinkan adalah rusak dan hilangnya ekositem hutan, jika sudah seperti ini
butuh waktu yang sangat lama untuk memperbaikinya.
Secara umum penyebab terjadinya kebakaran hutan karena faktor alami dan faktor
manusia. Faktor alami biasanya terjadi karena faktor El-Nino yang menyebabkan kemarau
berkepanjangan dan kekeringan, sedikit saja ada percikan api dapat menyebabkan kebakaran.
Sedangkan faktor manusia karena banyaknya aktivitas pembukaan lahan baru menebang
hutan secara besar-besaran dan membakar lahan menggunakan api untuk konversi lahan
perkebunan sawit oleh pihak swasta karena murah dan mudah dilakukan. Dari berbagai
kebakaran hutan yang selama ini terjadi, kebanyakan dilakukan dengan sengaja sehingga
yang lebih tepat sebenarnya adalah pembakaran hutan, hanya 1% kebakaran hutan karena
faktor alam dan 99% karena faktor manusia.
Jika hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin hutan Indonesia akan mengalami
degradasi yang luar biasa, hutan hujan tropis di Indonesia akan musnah dan hal ini akan
berdampak pada pembangunan berkelanjutan yang secara umum prinsipnya bahwa apa yang
dilakukan saat ini harus memikirkan generasi yang akan datang, tanpa harus merugikan
generasi selanjutnya. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan
yang salah satunya adalah ramah lingkungan dan salah satu pilar pembangunan berkelanjutan
yaitu keberlanjutan lingkungan yaitu menjaga lingkungan supaya aman dan nyaman. Tetapi
ketika kebakaran hutan terjadi emisi karbon yang dihasilkan sangat banyak dan itu dapat
menyebabkan efek rumah kaca atau pemanasan global. Sehingga Kebakaran hutan bisa
dikatakan faktor paling potensial dalam menghambat pembangunan berkelanjutan karena
dampaknya sangan luarbiasa bagi ekosistem. Oleh karena hal tersebut pada tulisan ini akan
membahas bagaimana dampak dari kebakaran hutan terhadap pembangunan berkelanjutan.
3
Indonesia Darurat Kebakaran Hutan dan Dampaknya Terhadap Pembanguna
Berkelanjutan
Setiap pembangunan
yang dilakukan pasti
bertujuan untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat namun disisi lain juga akan meningkatkan permintaan sumber daya
alam (SDA). Oleh karena itu penggunaan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat
baik untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang harus di imbangi dengan
pelestarian lingkungan sehingga keberlanjutan sumber daya alam dapat dijaga. Dengan
demikian Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Defelopment) merupakan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya alam dengan baik untuk saat ini tanpa harus merugikan
generasi yang akan datang agar kehidupan tetap sejahtera dan kelestarian sumber daya alam
serta fungsinya tetap terjaga, karena generasi yang akan datang juga punya hak untuk
menikmati kekayaan alam.
Menurut Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan adalah proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
menyerasikan sember daya alam dan manusia dalam pembangunan. Dengan demikian ketika
keselarasan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia dapat tercapai maka akan
terciptanya keseimbangan (Jazuli, 2015:189).
Pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan ekosistem sekitar agar tidak
rusak, seperti pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam biasanya tidak
memperhatikan aspek lingkungan. Karena pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakata maka harus memperhatikan juga kepentingan
dan kebutuhan masyarakat tanpa harus melakukan pemborosan terhadap sumber daya yang
ada. Namun itulah yang menjadi tantangan Indonesia saat ini dimana pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan masih kurang, lahan-lahan pertanian banyak
yang dikonversi mejadi kawasan industri, luas hutan yang tiap tahunnya semakin berkurang
akibat dari penebangan hutan secara liar dan kebakaran hutan serta udara yang tercemar
akibat dari kebarakan hutan.
Hutan sebagai salah satau sumber kekayaan alam Indonesia setiap tahun semakin
memperihatinkan, sekitar 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap
tahunnya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam World Wildlife Fund for
4
Nature). Seperti yang tertera pada Stistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
pada tahun 2014 dibawah ini:
Sumber: Ali Said, dkk di Badan Pusat Statistik (BPS) 2016
“Pada tahun 2013, penutupan lahan dalam kawasan hutan berdasarkan hasil
penafsiran Citra Satelit Landsat 8 OLI ditafsir sebesar ± 98.072,7 juta ha (52,21
persen) untuk areal berhutan dan ± 89.768,9 juta ha (47,79 persen) untuk areal
tidak berhutan. Sementara tahun 2014, berdasarkan hasil penafsiran Citra Satelit
Landsat 7 ETM+ ditafsir sebesar ± 96.490,8 juta ha (51,35 persen) untuk areal
berhutan dan ± 91.427,5 juta ha (48,65 persen) untuk areal tidak berhutan ” (Said,
dkk, 2016:216).
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa adanya penurunan luas area hutan dan
peningkatan luas area tidak berhutan. Jika seperti ini terus berlanjut lalu bagaimana untuk
pemanfaatan keberlanjutan ekosistem daratan serta pengelola hutan secara lestari yang secara
keseluruhan ditargetkan pada tahun 2020 dan menjamin pelestarian ekosistem pegunungan,
termasuk keanekaragaman hayatinya pada tahun 2030.
Salah satu yang menjadi masalahnya adalah masih maraknya bencana kebaran hutan.
Di Indonesia, hampir setiap tahun terjadi dengan skala kecil maupun skala besar. Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Lingkungan
Hidup
dan
Kehutanan
Nomor
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan,
kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan lahan,
5
baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang menimbukan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik.
Data tahun 2014 perbandingan luas lahan terbakar di 5 propinsi di indonesia tahun
dapat dilihat sebagai berikut. Provinsi Riau mencapai lebih dari 6000 hektare. Provinsi Jawa
Timur mencapai 5000 hektare, Provinsi Kalimantan Tangah mencapai 4000 hektare, Provinsi
Jambi mencapai 3400 hektare, dan Provinsi Sumatera Utara mencapai 3200 hektare
(Purnomo dkk, 2016:68).
Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2014, wilayah
yang paling banyak mengalami kasus kebakaran adalah Pulau Kalimantan dan Pulau
Sumatera yang juga dekat dengan Negara tetangga yaitu Malaisya, maka dari itu kebakaran
hutan yang ada di Indonesia bukan hanya berdampak di wilayan Indonesia saja tapi
berdampak juga secara global karena asap yang di timbulkan dari kebakaran hutan meluas
sampai di wilayah Negara tetangga seperti Negara Malaisya dan Singapur, karena secara
fisik, keberadaan sumber udara tidak mengenal batas administratif, sehingga kemungkinan
terjadinya pencemaran lintas batas.
Salah satu Provinsi di Pulau Sumatera tiap tahun mengalami kebakaran hutan adalah
Privinsi Jambi. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jambi 2016, jumlah titik api di Provinsi
Jambi tahun 2010-2015 adalah sebagai berikut:
Sumber: Suhendri, & Purnomo, E. P. 2017. Penguatan Kelembagaan Dalam
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Muaro
Jambi Provinsi Jambi. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), 174-204.
Namun Provinsi yang paling sering mengalami kebakaran hutan dan selalu menjadi
berita utama dalam topik kebakaran hutan di Pulau Sumatera adalah Provinsi Riau. Di tahun
6
2015 berdasarkan data yang telah paparkan sebelumnya dari 198 titik api di Pulau Sumatera,
82 titip api berada di Provinsi Riau. Secara keseluruhan dilihat dari titik api di Provinsi Riau,
kabupaten dengan tingkat kebakaran yang tertinggi pada lima tahun terakhir adalah, pertama
Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Pelalawan yang bergatian menempati posisi teratas
dengan jumlah titik api dikisaran 400-900 titik. Disusul Kabupaten Rokan Hili dengan
kisaran 100-800 titik api, Kbupaten Indragiri Hulu 200-600 titik api dan Kabupaten Indragiri
Hilir di kisaran 100-400 titik api (Purnomo dkk, 2016:69).
Sementra Kalau dilihat dari jumlah Kecamatan rawan kebakaran yang ditetapkan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBD DAMKAR)
sebagai daerah rawan kebakaran adalah Kabupaten bengkalis yaitu Kecamatan Siak Kecil,
Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Bantan. Kabupaten bengkalis menjadi rawan
kebakaran kerana wilayahnya adalah lahan gambut yang sangat luas. Data dinas kehutanan
propinsi riau, 75% lahan kabupaten bengkalis adalah lahan gambut (Purnomo dkk, 2016:73).
Sedangkan Provinsi Riau, luas lahan gambutnya mencapai 46,1 % dari keseluruhan
luas wilayahnya dan ini yang menjadikan Provinsi Riau sebagai salah satu Provinsi yang
sangat rawan kebakaran. Fakta menunjukkan bahwa sejak tahun 1997 sampai 2015 atau
selama 17 tahun telah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang bersifat tahunan dan
menimbulkan banyak kerugian materil dan nonmaterial (Suwondo dkk, 2015:65) .
Lahan gambut memang rawan terjadi kebakaran, ketika musim kemarau terkena
percikan api sedikit saja dapat menyebabkan kebakaran, dan kebakaran di lahan gambut juga
sangat susah untuk dipadamkan karena dilahan gambut tidak hanya terbakar diatas
permukaan tanah, namun dibawah tanah pun terbakan karena kalau lahan gambut mengering
bisa sampai kedalaman tertentu. Walaupun di permukaan tampak padam namun api di bawah
masih menyala dan susah untuk diprediksi arahnya.
7
Sumber: Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International: Bogor.
Ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi, yang menjadi sorotan adalah perkebunan
kelapa sawit karena sering dianggap sebagai penyebab kebakaran. Biasanya pembersihan
lahan untuk dibuka lahan perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan tebang pohon secara
besar-besaran dan biasanya juga lahan yang ada dibiarkan kering kemudian dibakar untuk
membersihkan lahan karena murah dan mudah dilakukan, namun oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab setelah dibakar dan dibiarkan begitu saja tanpa di kontrol, sehingga
terjadilah kebakaran.
Masalah lain yang timbul dari perkebunan kelapa sawit adalah jelas dari segi
kualitasnya tidak sebaik pepohonan asli daerah tersebut yang telah ditebang sebelumnya.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawitpun mempengaruhi lahan gambut disekitarya, karena
harus membuat saluran air untuk mengairi perkebunan kelapa sawit. Ketika saluran dibuat
dilahan gambut atau sekitar lahan gambut akan mempengaruhi daya serap air oleh gambut
karena didalam lahan gambut dapat menyimpah air yang banyak, apabila daya serap air
berkurang akan berakibat cepat keringnya lahan gambut dan tidak ada air yang memadamkan
api di dalam tanah. Pengalih fungsian lahan inilah yang banyak menyebabkan lahan hutan
semakin berkuran dan berpotensi terjadi kebaran.
Marongo menyatakan, lebih dari 40% hutan tropis di Asia Tenggara dikonversi untuk
produksi tanaman komersial (sekitar lima kali lebih besar dari hutan di Thailand atau
Malaysia) berada di Indonesia. Misalnya di Pulau Sumatera sebagai tempat spesies langka
yang sudah terancam habitatnya. 70% hilangnya hutan yang dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit sebagai pendorong utamanya (Rautner dkk, 2013:20).
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan sangat banyak, antara lain
terganggunya aktivitas perekonomian pembangunan, permasalahan kabut asap yang
mengganggu kegiatan penerbangan, lintas pelayaran dan bahkan transportasi darat,
penyebaran penyakit ISPA bagi masyarakat, punahnya keanekaragaman hayati baik flora
maupun fauna disekitas lokasi kebakaran, kerugian Negara secra finansian atas punahnya
fungsi sumber daya, terganggunya aktivitas pendidikan dan terganggunya produksi pertanian
akibat lemahnya intensitas matahai untuk fotosintesis (Yuliarti, 2016:16).
8
Masyarakat yang benar-benar terkena dampaknya adalah masyarakat dikawasan
tempat kebakaran, terlebih lagi masyarakat yang hidup di kaki gunung dengan tingkat
kemiskinan yang cukup tinggi dan ketergantungan terhadap hasil hutan relatif tinggi karena
dari hasil hutanlah masyarakat di kaki gunung dapat memenuhi kehidupan sehari-hari
terutama bagi masyarakat yang masih kental dengan tradisi dan budaya.
Jika seperti ini mereka tidak bisa apa-apa karena mata pencahariaan mereka telah
hilang. Walaupun mungkin dari perusahaan kelapa sawit yang dekat dengan kehidupan
mereka akan menjadikan masyarakat sekitar perkerja di perusahaan tersebut tapi itu tidaklah
seberapa karena hanya sebagian kecil yang diambil sebagai pekerja sisanya mengalami nasib
yang kurang baik.
Selain karena pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, yang menjadi
penyeba kebakaran hutan adalah adanya kekecewaan masyarakat terhadap pengelolan hutan
yang dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan hutan yang dilakukan tidak memberikan
manfaat ekonomi yang berarti bagi masyarakat sekitar kawasan hutan. oleh karena tindakan
anarkispun dilakukan masyarakan untuk meluapkan kekecewaannya, tingkat pendidikan yang
rendah dan minimnya pengetahuan mereka tentang hukum juga mempengaruhi tindakan
mereka (Rasyid, 2014:49). Selain itu lahan yang dibiarkan begitu saja tanpa diurus bisa
menimbulkan kebakaran, ketika musim panas semak belukar akan mudah terbakar entah
dengan senagaja untuk membuka lahan baru atau secara tidak senagaja seperi terkena putung
rokok yang masih menyala.
Untuk mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan serta untuk menjaga
keberlanjutan ekologi, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat
kebijakan baik pemerintah pusat mupun pemerintah daerah adalah melakukan pencegahan
dan pengendalian dengan melakukan upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan, baik melalui pendidikan formal, maupun dengan pelatihanpelatihan yang dapat meningkatkan pengetahuan personil pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan. (Suherdi, Purnomo, 2017:77).
Kemudian untuk melaksanakan pembangunan keberlanjutan ekologi, yang harus
dilakukan menurut Emil Salim adalah kemampuan menyerasikan kebutuhan dengan
kemampuan sumber daya alam, mengembangkan sumber daya manusia agar menanggapi
9
tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan dan menumbuhkan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, (Jazuli, 2015:189).
Dengan semikian upaya yang paling penting untuk mengatasi permasalahan
kebakaran hutan dan menjaga keberlanjutan ekologi adalah dengan melibatkan dan
memberdayakan masyarakat sekita untuk mengelola dan melestarikan hutan atau dengan
istilah Hutan Kemasyarakatan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan bahwa Hutan Kemasyarakatan merupakan hutan Negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Berdasarkan peraturan tersebut juga selain Hutan Kemasyarakatan ada juga yang
disebut Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yaitu hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian Sumberdaya hutan.
Artinya masyarakatlah yang harus berperan penting dalam menjaga klesetarian hutan karena
masyarakat asli di area kawasan hutan tersebut yang lebih paham tentang keadaan hutan.
Osborne dan Gabler juga mensyaratkan adanya pengalihan kepemilikian dari Birokrasi
kepada masyarakat karena sesungguhnya masyarakat paling tahu terhadap masalah dan
kebutuhan mereka (Ramdani, 2016:123).
Menurut Adihugroho dkk, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pencegahan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dorongan dan
rangsangan, insentif, kesempatan, kemampuan dan bimbingan. Dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
10
Sumber: Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International: Bogor.
Yang pertama yaitu pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal mengolah lahan
di sekitar hutan, dengan demikian masyarakat akan ikut menjaga hutan dan lahan dari
kebakaran, karena jika terjadi kebarakan maka lahan mereka juga akan ikut terbakar. Yang
kedua dengan memberikan insentif kepada masyarakat dalam bentuk pengenbangan produk
yang dihasilkan masyarakat seperti kerajinan, kompos dan lain-lain, serta pengembangan
ekonomi yang ramah lingkungan seperti budidaya ikan dan sebagainya. Kemudian yang
ketiga yaitu adanya rangsangan dan dorong untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran. Cara yang dilakukan melalui
peningkatan kesadaran sejak dini, meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi hutan dan
lahan gambut serta upaya pencegahan atau mengurangi terjadinya sumber api di lahan
gambut dan memberikan pemahanan tentang hukum dan kebijakan yang berlaku.
Selanjutnya yang keempat peningkatan kemampuan masyarakat melalui pelatihan
dan penyuluhan seperti penyuluhan tentang teknik-teknik dalam penyiapan lahan agar tidak
terjadi kebarakaran serta pelatihan tentang cara pengendalian kebakaran. Dan yang terakhir
adalah bimbingan yang dilakukan oleh pikah-pihak terkait seperti badan penanggulangan
bencana, dinas kehutanan untuk membentuk kesadaran masyarakat dan membantu
masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Penutup
Hutan sebagai salah satau sumber kekayaan alam Indonesia harus terus dijaga dan
dilestarikan agar dapat dinikmati manfaatnya baik untuk sekarang ini maupun untuk generasi
yang akan datang. Namun kebakaran hutan dan lahan masih menjadi persoalan besar di
Indonesia karena akibat yang ditimbulkannya berdampak besar pada kehidupan ekosistem
hutan. Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan sebagai tempat hewan langka dan terancam
punah seharusnya dijaga dengan baik, tetapi apa yang terjadi jika setiap tahun Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan menjadi kawasan kebakaran hutan terbesar di Indonesia atau
lebih tepatnya adalah pembakaran hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
11
Hal ini tidak sejalan dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang salah
satunya adalah ramah lingkungan dan salah satu pilar pembangunan berkelanjutan yaitu
keberlanjutan lingkungan yaitu menjaga lingkungan supaya aman dan nyaman. Jika seperti
ini terus, untuk pemanfaatan keberlanjutan ekosistem daratan serta pengelola hutan secara
lestari yang secara keseluruhan ditargetkan pada tahun 2020 dan menjamin pelestarian
ekosistem pegunungan, termasuk keanekaragaman hayatinya pada tahun 2030 tidak akan bisa
berjalan dengan baik.
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan, sedangkan pembukaan lahan baru untuk industri mensyaratkan untuk merusak
lingkungan karena inilah yang sering terjadi, penebangan hutan secara besar-besaran,
membersihkan lahan dengan cara membakar. Hal ini sering terjadi karena kebijakan
pemerintah semarta-mata untuk pertumbuhan ekonomi saja, sehingga dengan alasan
pertumbuhan ekonomi, lingkungan menjadi korbannya. Dari segi hukum juga yang biasanya
terjadi adalah tumpul keatas, tajam kebawah. Ketika masyarakat biasa yang melakukan
penebangan hutan dan sejenisnya langsung di hukum, sedangkan kerusakan lingkungan yang
di akibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar sangat susah disentuh oleh hukum.
Untuk menjaga dan melestarikan hutan, yang paling penting harus dilakukan adalah
melibatkan masyarakat dan memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan di
daerah dan dalam pengelolaan hutan. Karena yang lebih pahan tentang hutan dan lahar adalah
masyarakat lokal dan yang lebih pahan tentang kebutuhan mereka adalah mereka sendiri.
Masyarakat lokal yang biasanya menggantungkan hidup kepada hutan pasti akan menjaga
hutan terlebih lagi masyarakat yang masih kental akan budaya dan tredisi. Maka dari itulah
keterlbatana masyarakan lokal sangat penting dalam melestarikan hutan. Bukan kepada pihak
swasta yang hanya mencari keutungan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.
12
Daftar Pustaka
Adinugroho, W, C., dkk. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut. Wetlands International: Bogor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Info Bencana: Informasi Kebencanaan
Bulanan Teraktual. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Badan Pusat Statistik. 2017. Luas Kawasan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia
Menurut
Provinsi
Berdasarkan
SK
Menteri
Kehutanan.
(online),
(https://www.bps.go.id/linktabelstatis/view/id/1716, diakses 14 Mei 2017).
Fadillah, N., Basuni, S., & Sunarminto, T. 2017. Pengendalian Kebakaran Hutan Oleh
Masyarakat Peduli Api (MPA) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Media
Konservasi, 21(3), 216-224.
Jazuli, A. 2015. Dinamika Hukum Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Dalam
Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal RechtsVinding, 4(2), 181-197.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan.
Purnomo, E. P., dkk. 2016. Ekologi Pemerintahan: Tata Kelola Kelembagaan Birokrasi
Dalam Menangani Kebakaran Hutan, Pengelolaan Sawit Serta Peranan Elit Lokal.
LP3M UMY: Yogyakarta.
Ramdani, R. 2016. Pendelegasian Kewenangan Dalam Pengelolaan Hutan: Studi Kasus
Kelompok Tani Hutan (KTH) Kemasyarakatan Sedyo Makmur Kecamatan Semanu,
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Administrasi Publik,
1(2), 188-131.
Rasyid, F. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara,
1(4), 47-59.
13
Rautner, M., Leggett, M., & Davis Frances. 2013. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi.
Global Canopy Programme: Oxford.
Said, A., dkk. 2016. Potret Awan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals) di Indonesia. Badan Pusat Statistik.
Suhendri, & Purnomo, E. P. 2017. Penguatan Kelembagaan Dalam Pencegahan dan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi
Jambi. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), 174-204.
Suwondo, dkk. 2015. Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan: Penguatan Program
Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) Berbasis Masyarakat . Badan
Penerbit Universitas Riau: Riau.
Syukur, M. 2015. BNPB: Kebakaran Hutan Sering Terjadi karena Hukum Lemah, (online),
(m.liputan6.com/news/read/2307345/bnpb-kebakaran-hutan-sering-terjadi-karenahukum-lemah, diakses 15 Mei 2017).
World
Wildlife
Fund
for
Nature.
Kehutanan.
(online),
(http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesie
s/kehutanan/, diakses 14 Mei 2017).
Yuliarti, V. 2016. Peran Dinas Kota Pekanbaru Dalam Menanggulangi Dampak Kabut Asap
Kebakaran Hutan di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19 (1). 1634.
14