V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti
Berdasarkan kedalaman lapisan bahan organik maka gambut dapat dibedakan antara lain : 1 gambut dangkal dengan ketebalan 50-100 cm; 2
gambut sedang dengan ketebalan 100-200 cm; 3 gambut dalam dengan ketebalan 200-300; 4 gambut sangat dalam dengan ketebalan lebih dari 300 cm
Noor, 2001. Luas lahan gambut dengan berbagai ketebalan di Kabupaten Bengkalis-Meranti tertera pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas dan ketebalan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti
Ketebalan Gambut cm Luas
ha 50-100
56.346 7,1
100-200 271.307
33,9 200-300
261.294 32,6
300 211.071
26,4 Total
800.018 100,0
Sumber : Hasil perhitungan dari Bapeda Kabupaten Bengkalis 2007
Lokasi penyebaran lahan gambut tersebut pada setiap Kecamatan antara lain : Kecamatan Bukit Batu sekitar 120.181 ha; Merbau 110.920 ha; Pinggir
99.778 ha; Siak Kecil 86.456 ha; Tebing Tinggi 74.573 ha; Rupat 66.261 ha; Rangsang 52.489 ha; Bengkalis 41.584 ha; Mandau 40.356 ha; Tebing Tinggi
Barat 39.954 ha; Bantan 33.031 ha; Rangsang Barat 20.521 ha dan Rupat Utara 13.914 ha Bapeda Kabupaten Bengkalis, 2007.
Karaketristik utama satuan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti dikelompokkan menjadi tiga yaitu d1, d2, dan d3 Tabel 16. Terdapat tiga sub
grup kubah gambut antara lain : 1 kubah gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan, terpengaruh air asin D.2.3.2; 2 kubah gambut oligotropik yang
terpengaruh air asin D.2.2.2 dan 3 kubah gambut oligotropik air tawar D.2.1.3. Semua sub grup ini berkembang dari bahan organik pada endapan
permukaan tua berumur kuarter pleistosen dengan bentuk wilayah datar sampai sedikit cembung atau cekung, lereng 0 – 2 dan tinggi tempat bervariasi 1 - 30 m
dari permukaan laut. Kondisi lingkungan demikian sisa tumbuhan sulit hancur dan menumpuk sebagai gambut dengan atau tanpa hancuran endapan tanah mineral.
Tabel 16. Karakteristik utama satuan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis- Meranti
No. Uraian
Keterangan 1.
Satuan lahan d1 Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami
pemadatan D.2.3.2 Kubah Gambut yang terpengaruh air asin D.2.2.2
Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut Kedalaman 50-100 cm; pelapukan : saprik
Sub Stratum : sedimen marin Drainase : terhambat
Banjir : sewaktu-waktu Luas : 10.252,17 ha 12,5
2. Satuan lahan d2
Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan D.2.3.2
Kubah gambut yang terpengaruh air asin D.2.2.2 Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut
Kedalaman 100-200 cm; pelapukan : saprik
Sub Stratum : sedimen marin Drainase : terhambat
Banjir : sewaktu-waktu Luas : 61.780,49 ha 72,5
3. Satuan lahan d3
Kubah Gambut yang telah diolah, mengalami pemadatan D.2.3.2.
Kubah gambut oligotropik air tawar D.2.1.3. Unit hidrologi : berada pada sisi kubah gambut
Kedalaman 200-300 cm; pelapukan : saprik Sub Stratum : sedimen marin
Drainase : terhambat Banjir : sewaktu-waktu
Luas : 10.097,07ha 12,3
Sumber :Hasil analisis dari Bapeda Kabupaten Bengkalis 2007
Ketebalan gambut bervariasi antara 0,5 - 4 m, dimana tingkat dekomposisi gambut adalah sapris dan diperkirakan komposisi abunya tidak kaya
akan unsur-unsur hara oligotropik. Bahan mineral di bawah gambut tersebut umumnya sedimen marin. Pada satuan lahan d3 gambut dalam dengan ketebalan
200-300 cm dan satuan d2 gambut tengahan dengan ketebalan 100-200 cm membentuk kubah gambut dome dan termasuk gambut ombrogen pada bagian
tengahnya. Sedangkan satuan lahan d1 gambut dangkal dengan ketebalan 50-100 cm merupakan gambut topogen yang terbentuk di rawa belakang dan sisi kubah
gambut, yang sangat dipengaruhi air payau dan sewaktu-waktu tergenang air.
Hidrotopografi adalah dinamika permukaan air tanah di suatu kawasan gambut. Di kawasan gambut yang mempunyai kubah maka air tanah mengikuti
topografi kubah. Unit hidrologi gambut adalah suatu hamparan gambut tertentu yang merupakan satu kesatuan membentuk suatu kubah gambut yang berfungsi
menampung, menahan atau menyimpan air tawar dan menyalurkan air tersebut ke kaki kubah dan sungai secara alami, selanjutnya dialirkankan ke daerah
sekitarnya. Dengan demikian kawasan gambut berfungsi sebagai pengendali banjir, pencegah kekeringan danatau sebagai penyangga untuk mencegah
terjadinya intrusi air laut. Komponen unit geomorfologi di Kabupaten Bengkalis- Meranti adalah kubah gambut, yang terdiri atas kaki kubah dan puncak kubah
seperti dipaparkan pada Tabel 17. Tabel 17. Tipe hidrotofografi lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti
Satuan Lahan Tipe Luapan
Uraian d1
B Lahan yang hanya terluapi air pasang pada saat musim
hujan d2
BC Pada saat pasang besar termasuk tipe luapan B dan bila
pasang kecil muka air tanah turun sehingga termasuk tipe luapan C
d3 C
Lahan tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari 50 cm muka
air tanah berada pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah
Sumber : Hasil analisis dari Bapeda Kabupaten Bengkalis 2007
Klasifikasi tipe pasang pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis- Meranti digolongkan pada tipe pasang B, BC dan C. Hidrotopografi dan tipe
luapan air serta posisi satuan kawasan merupakan dasar untuk menilai kecocokan peruntukan kawasan dan kelayakan kawasan rawa gambut dikonversi menjadi
kawasan budidaya. Tipe luapan air mencerminkan kombinasi keadaan hidrotopografi dan fluktuasi muka air sungai akibat pengaruh pasang surut air
laut. Faktor hidrologi dapat dijadikan acuan dalam menentuan karakteristik
fisiografi lahan gambut yakni dengan tipe pasang air A, B, C, dan D dan posisi kawasan levee dan backswamp. Klasifikasinya didasarkan pada terjadinya
luapan pada saat pasang besar spring tide dan pasang kecil neap tide dari air laut serta kedalaman muka air tanah. Tipe luapan A adalah yang selalu terluapi air
pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Lahan bertipe luapan B
hanya terluapi air pasang pada musim hujan. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi mempengaruhi muka air tanahnya dengan kedalaman kurang dari
50 cm. Lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm.
Tipe luapan BC pada umumnya terdapat pada satuan lahan d-2, yang rata- rata muka air tanah berada pada kedalaman 20-30 cm. Kondisi ini disebabkan
oleh lahan gambut mempunyai retensi air tinggi. Sehingga muka air tanah tidak jauh dari permukaan tanah pada saat pasang kecil terjadi. Sedangkan tipe luapan C
terdapat pada satuan lahan d-3, dimana air pasang tidak masuk ke saluran sekunder sehingga kebutuhan air pertanian hanya dapat mengandalkan dari curah
hujan. Dengan demikian pengelolaan air di satuan lahan ini perlu perhatian khusus karena pada musim kemarau air tanah turun sampai kedalaman 50 cm.
Fluktusai air tanah atau air genangan di lahan gambut menunjukkan bahwa pada areal yang telah didrainase sub grup D.2.2.2 dan D2.3.2 muka air berkisar
10-20 cm dari permukaan tanah, semakin ke hulu sub grup D.2.1.3 muka air tanah kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah. Agar gambut tetap bersifat
lembab atau basah, maka dalam tindakan mendrainase lahan gambut harus mempertahankan muka air 25 cm dengan asumsi pada ketinggian tersebut masih
terdapat aliran kapiler dari air tanah untuk membasahi gambut yang ada di atasnya. Hal ini berhubungan dengan kondisi redoks dan mempertahankan sifat
kehidrofilikan gambut atau minimal mempertahankan agar kawasan gambut tetap mempunyai tipologi luapan C.
Konversi ekosistem lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan profil lahan gambut tersebut. Kondisi ini
terlihat dari perubahan profil horizon dan kedalaman gambut. Terjadi perubahan kedalaman horizon humik menjadi semakin dangkal dengan pertambahan usia
perkebunan kelapa sawit Tabel 18. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan gambut menuju kondisi saprik. Hal ini dapat dilihat dari
warna gambut menjadi hitam kemerahan pada lapisan 0 – 33 cm. Hasil selengkapnya dipaparkan pada Lampiran 1, 2 dan 3.
Tabel 18. Perubahan profil lahan gambut di perkebunan kelapa sawit
Hutan Rawa Gambut Sekunder
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman cm
Oe 0 - 20
Hitam kemerahan 10 R 2.51, humik Oe
20 - 50 Merah sangat kusam 10 R 2.52; hemik
Oei 50 - 75
Merah sangat kusam 10 R 2.52; hemik-fibrik Oi
75 - 120 Hitam kemerahan – merah sangat kusam 2.5 YR 2.51-2;
fibrik Oi
120 - 480 Merah sangat kusam 10 R 2.52; -fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit Usia 3 th
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman cm
Oe 0 - 18
Hitam kemerahan 10 R 2.51, humik Oi
18 - 42 Hitam kemerahan 2.5 YR 2.51; fibrik
Oi 42 - 84
Merah sangat kusam 2.5 YR 2.52; fibrik Ao
84 - 106 Coklat kemerahan gelap 5YR 2.52; liat berdebu, masif
A 106
Kelabu kehijauan terang 10 Y 72, liat; masif
Perkebunan Kelapa Sawit Usia 3- 9 th
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman cm
Oe 0 - 10
Coklat kemerahan 5YR 2.51, humik Oi
10 - 30 Coklat kemerahan gelap 5YR 2.52; hemik
Oi 30 - 80
Hitam kemerahan 10 R 2.51; fibrik Oi
80 - 130 Hitam kemerahan 10 R 2.51; fibrik
Oi 130
Coklat kemerahan gelap 5YR 32; fibrik
Perkebunan Kelapa Sawit 10 th
Horizon Uraian
Simbol Kedalaman cm
Oa 0 - 33
Hitam kemerahan 10 R 2.51, humik Ao
33 - 43 Coklat gelap 7.5 YR 32, liat berdebu, masif
A1 43 - 100
Merah lemah – coklat olive ringan 10 R 54 – 2.5 Y 53, liat, matang
A2 100
Kelabu kecoklatan ringan 10 YR 62, liat, matang
Andresse 1988 diacu dalam Noor 2001 menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kematangan dan warna kenampakan gambut. Pada tingkat
kematangan saprik berwarna coklat tua, coklat hitam dan hitam. Pada tingkat kematangan hemik berwarna coklat tua dan coklat kemerahan. Sedangkan pada
tingkat kematangan fibrik berwarna coklat muda kekuningan, coklat tua dan coklat kemerahan.
Berdasarkan pengaruh luapan pasang yang terjadi, sebagian lahan gambut berada di wilayah terluapi secara langsung oleh pasang dan sebagian lepas dari
pengaruh pasang. Wilayah yang terluapi pasang menurut klasifikasi lahan rawa termasuk ke dalam tipe luapan B. Sedangkan yang tidak terluapi dapat termasuk
ke dalam tipe luapan C dan D Noor, 2001; Barchia, 2002. Sedangkan Sabiham 1988 membagi fisiografi lahan rawa menjadi 5 zona antara lain : 1 zona
deposit air payau sampai air laut; 2 zona deposit air sungai sampai air payau; 3 zona deposit air sungai; 4 zona gambut ombrogen; 5 bukit.
Hasil pengukuran terhadap parameter biofisik pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti Riau, dipaparkan pada
Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik biofisik lahan gambut pada agroekologi perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti.
Lokasi Pengamatan
Sifat Fisik Sifat Kimia
Salinitas mmhos cm
-1 1
Muka Air Tanah
cm Kadar
Air Kadar
Abu pH
C-org H
2
O KCL
Hutan Sekunder Rawa Gambut Hutan
20 133,74
0,87 4,13
2,98 60,95
0,03 Perkebunan Kelapa Sawit Gambut Transisi
Sawit 3 th 74
145,63 1,52
4,03 3,15
56,95 0,17
Sawit 3- 9 th 68
124,98 3,12
4,02 3,12
48,38 0,14
Sawit 10 th 28
123,30 7,99
4,10 3,43
11,57 0,14
Perkebunan Kelapa Sawit Gambut Pantai Sawit 3 th
38 155,90
4,39 3,98
3,25 32,42
2,31 Sawit 3-9 th
30 134,88
5,91 4,00
3,50 23,70
2,17 Sawit 10 th
23 125,15
7,32 4,25
3,60 15,49
2,11
Sumber :
1
Hasil analisis dari PPLH Unri 2003 dan Bapeda Bengkalis 2007 Keterangan : Salinitas air tawar 0.05 mmhos cm
-1
; air payau 0.05 - 3 mmhos cm
-1
; air saline 3 - 5 mmhos cm
-1
; n : jumlah lokasi pengamatan Lokasi pengamatan berbeda
Berdasarkan fisiografi lahan maka perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkalis-Meranti termasuk dalam tipologi gambut pantai dan gambut transisi.
Karakteristik biofisik lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan antara gambut transisi dan pantai. Konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan
kelapa sawit menyebabkan perubahan karakteristik biofisik lahan gambut. Ketebalan bahan organik, kedalaman air tanah, C-organik dan kadar air semakin
menurun. Sedangkan pH dan kadar abu mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur perkebunan kelapa sawit.
Biomassa tumbuhan menunjukkan adanya perbedaan antara hutan rawa gambut sekunder dengan perkebunan kelapa sawit, baik pada gambut transisi
maupun pantai. Pada hutan rawa gambut sekunder biomassa ditemukan sebesar 103,28 ton ha
-1
, perkebunan sawit umur 3 th 19,85 - 25,65 ton ha
-1
, perkebunan umur 3 – 9 th berkisar antara 26,94 – 102,76 ton ha
-1
. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit umur 10 th ditemukan sebesar 116,62 - 132,63 ton ha
-1
Gambar 10.
Keterangan : Lokasi pengamatan berbeda
Gambar 10. Perbandingan biomassa t ha
-1
tumbuhan pada hutan rawa gambut dengan perkebunan kelapa sawit.
Biomassa kelapa sawit akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, dimana pada umur 10 th besarnya biomassa sudah menyamai
hutan rawa gambut sekunder. Perkebunan kelapa sawit yang berada pada gambut transisi mempunyai biomassa lebih besar dari gambut pantai. Penambahan
biomassa tanaman kelapa sawit yang cukup besar disebabkan oleh laju penangkapan karbon melalui fotosintesis yang tinggi. Corley 1985 diacu dalam
Barchia 2009 menyebutkan bahwa laju serapan CO
2
oleh tanaman sawit mencapai 3 g m
-2
jam
-1
. Produksi biomassa kelapa sawit dapat mencapai 28 – 30 ton ha
-1
pada umur tanaman 6,5 – 17,5 th Barchia, 2009. Melling et al. 2005 menyebutkan bahwa alih fungsi lahan gambut untuk
kelapa sawit dapat menurunkan emisi CO
2.
Potensial emisi CO
2
dari hutan rawa gambut mencapai 7850 g CO
2
m
-2
th
-1
, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
20 40
60 80
100 120
140
3 th 3-9 th
10 th 3 th
3-9 th 10 th
Huta n Sekunder
Kebun Sa wit Ga mbut Tra nsisi Kebun Sa wit Ga mbut Pa nta i
B io
m a
ss a
t o
n h
a
-1
Fisiogra fi La ha n Gambut
mencapai 5706 g CO
2
m
-2
th
-1
. Hal ini disebabkan oleh tingginya respirasi tanah pada hutan rawa gambut yang mencapai 7817 g CO
2
m
-2
th
-1
, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO
2
m
-2
th
-1
dan 5652 g CO
2
m
-2
th
-1
. Hirano et al. 2007 menyatakan bahwa emisi CO
2
hutan rawa gambut lebih besar dari pada perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini disebabkan oleh tingkat
humifikasi dari lapisan gambut dan tingginya respirasi akar akibat banyaknya biomassa di belowground hutan rawa gambut. Handayani 2009 menyebutkan
bahwa terdapat kecenderungan emisi CO
2
akan semakin berkurang dengan pertambahan umur kelapa sawit.
Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci dalam pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan usaha untuk
melestarikan lingkungan Handayani, 2009; Las et al. 2009. Dengan demikian pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dapat diusahakan
dengan melakukan pengelolaan tata air yang baik. Ketebalan gambut mempunyai hubungan yang erat dengan kandungan
karbon dan penambahan biomassa kelapa sawit. Handayani 2009 menyebutkan bahwa semakin tebal gambut maka kandungan karbon C akan semakin
meningkat dengan tingkat korelasi yang tinggi R
2
=0,938. Selanjutnya terdapat hubungan yang sangat signifikan R
2
=0,964 pertambahan umur kelapa sawit dengan peningkatan biomassa t ha
-1
seperti ditunjukkan oleh Gambar 11.
a b Gambar 11. Hubungan ketebalan gambut dengan kandungan karbon a dan umur
tanaman sawit dengan peningkatan biomassa b. Tingkat kedalaman gambut bervariasi, dimana semakin kearah kubah
gambut dome pada fisiografi lahan gambut pedalaman akan semakin
y = 223.9lnx - 1385. R² = 0.938
100 200
300 400
500 600
1000 2000
3000 4000
5000
K a
n d
u n
g a
n C
to n
- 1
Ketebalan Gambut cm y = 10.27lnx - 1.462
R² = 0.964
5 10
15 20
25 30
35
5 10
15 20
25 B
io m
a ss
a to
n h
a
-1
Umur Tana man Sawit th
meningkat. Kedalaman gambut di perkebunan kelapa sawit pada gambut transisi berkisar 30 – 40 cm, sedangkan pada gambut pantai antara 44 – 440 cm dan hutan
rawa gambut sekunder 440 cm Gambar 12. Kedalaman air tanah pada lahan gambut juga memiliki nilai yang
bervariasi antar tipologi lahan gambut. Pembukaan lahan dengan melakukan perubahan pada tata air dengan membuat drainase kanalisasi menyebabkan
terjadinya perubahan kedalaman muka air tanah. Terbukanya lahan gambut mempercepat dekomposisi dari kondisi an aerobik menjadi aerobik. Semakin lama
umur perkebunan sawit semakin rendah muka air. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan laju dekomposisi pada lahan gambut.
b b Gambar 12. Ketebalan gambut cm, kedalaman air tanah cm, kadar air pada
lahan gambut transisi a dan pantai b di perkebunan kelapa sawit serta hutan rawa gambut sekunder.
Kondisi muka air tanah pada gambut pantai di perkebunan sawit berkisar 23 – 38 cm, sedangkan pada gambut transisi antara 28 – 74 cm dan pada hutan
rawa gambut sekunder sebesar 20 cm Gambar 12. Pada kondisi alami memperlihatkan muka air tanah yang relatif terjaga dan stabil.
Kadar air di lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit mempunyai nilai yang berbeda, pada gambut pantai umur tanam 3 th 155,9 , umur tanam
3 – 9 th 134,88 dan umur tanam 10 th 125,15 . Sedangkan pada gambut transisi umur tanam 3 th 145,63 umur tanam 3 – 9 th 124,98 dan umur
tanam 10 th 123,3 serta pada hutan rawa gambut sebesar 133,74 Gambar 12.
100 200
300 400
500 600
700 800
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Transisi Ketebalan Gambut cm
Kedalaman Air Tanah cm Kadar Air
100 200
300 400
500 600
700 800
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Pantai Ketebalan Gambut cm
Kedalaman Air Tanah cm Kadar Air
Semakin lama umur tanam perkebunan sawit akan semakin rendah kadar air pada lahan gambut pantai dan transisi. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan
tingkat kematangan gambut yang terjadai pada perkebunan sawit tersebut. Noor 2001 menyebutkan bahwa kemampuan menjerap absorbing dan memegang
retaining air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan memegang air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik,
sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik. pH H
2
O dan pH KCl pada lahan gambut pantai, transisi dan hutan rawa gambut sekunder mempunyai nilai yang berbeda. Pada gambut pantai nilai pH
H
2
O pada umur tanam sawit 3 th 3,98, umur tanam sawit 3 – 9 th 4,00 dan umur tanam 10 th 4,25. Untuk pH KCl pada umur tanam sawit 3 th 3,25, umur
tanam sawit 3 – 9 th 3,50 dan umur tanam 10 th 4,60. Sedangkan pada gambut transisi nilai pH H
2
O pada umur tanam sawit 3 th 4,03, umur tanam sawit 3 – 9 th 4,02 dan umur tanam 10 th 4,10. Untuk pH KCl pada umur tanam sawit 3
th 3,15, umur tanam sawit 3 – 9 th 3,12 dan umur tanam 10 th 3,43 Gambar 13.
a b Gambar 13. Nilai pH H
2
O dan pH KCl pada lahan gambut transisi a dan pantai b di perkebunan kelapa sawit serta hutan rawa gambut sekunder.
Bila dibandingkan nilai pH H
2
O di hutan sekunder rawa gambut dengan lahan gambut pantai dan transisi mempunyai nilai pH yang tidak terlalu berbeda.
Sedangkan nilai pH KCl 2,98 pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil dibandingkan dengan lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Nilai pH gambut
pada hutan sekunder rawa gambut lebih kecil dibandingkan lahan perkebunan
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Transisi
pH H2O pH KCl
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Pantai
pH H2O pH KCl
kelapa sawit pada gambut transisi. Sedangkan pH pada lahan gambut transisi lebih rendah dibandingkan gambut pantai. Andriesse 1988 diacu dalam Barchia
2009 menyebutkan bahwa pH gambut yang berada di sekitar kubah peatdome lebih rendah dibandingkan dengan gambut yang berada di kawasan pinggir atau
mendekati sungai. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh air sungai atau payau yang mempunyai pH dan kualitas air yang lebih baik. Keadaaan ini dapat juga
dipengaruhi oleh tingkat ketebalan gambut. Subagyo et al. 1996 menyebutkan bahwa tingkat keasaman gambut dalam relatif lebih tinggi dari pada gambut
dangkal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0 – 5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1 – 3,9.
Kandungan C-organik pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur tanam dan tipe fisiografi lahan serta hutan
sekunder rawa gambut. Perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai kandungan C-organik berkisar antara 15,49 – 32,42. Pada lahan gambut transisi
kandungan C-organik berkisar antara 11,57 – 56,95 dan pada hutan sekunder rawa gambut 0,87 Gambar 14.
a b Gambar 14. Kadar C-organik , kadar abu pada lahan gambut transisi a
dan pantai b di perkebunan kelapa sawit. Menurut Barchia 2002; Riwandi 2001 kandungan C-organik pada tanah
gambut termasuk tinggi berkisar antara 54,3 – 57,84 . Sedangkan Sabiham dan Ismangun 1997 menyebutkan bahwa kandungan rata-rata C-organik pada lahan
gambut sebesar 57,23 . Kadar abu pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar umur tanam dan tipe fisiografi lahan serta
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Transisi C-Org
Kadar Abu Ketebalan Gambut cm
50 100
150 200
250 300
350 400
450 500
3 th 3-9 th
10 th Hutan Sekunder
Kebun Sawit Gambut Pantai C-Org
Kadar Abu Ketebalan Gambut cm
hutan sekunder rawa gambut. Perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut pantai kandungan kadar abu berkisar antara 4,39 – 7,32. Pada lahan gambut
transisi kadar abu berkisar antara 1,52 – 7,99 dan pada hutan sekunder rawa gambut 6,15 Gambar 14.
Sabiham dan Ismangun 1997 menyebutkan bahwa kadar abu pada lahan gambut di Kalimantan Tengah ditemukan sebesar 0,94 dan di Sumatera
Selatan sebesar 5,10 . Andresse 1974 diacu dalam Riwandi 2001 menyebutkan bahwa kadar abu gambut
≤ 10 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar abu gambut berkisar antara 1,852 - 3,984 untuk gambut
fibrik, 2,275 - 4,696 gambut hemik dan 3,505 - 5,900 gambut saprik Handayani, 2009. Terdapat hubungan kehilangan C-organik gambut dengan
kadar air yang semakin tinggi, yang menyebabkan kehilangan C-organik semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang tinggi menyebabkan terjadinya
kondisi reduktif dalam gambut yang memacu produksi dan emisi CO
2.
Ketebalan gambut berhubungan sangat kuat dengan kadar C-organik R
2
= 0,703, dimana semakin besar tingkat kedalaman gambut akan semakin tinggi kadar C-organik.
Terdapat hubungan yang liner antara ketebalan gambut cm, kandungan C-organik dan kadar abu pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit
Gambar 15.
a b
Gambar 15. Hubungan antara kadar abu dengan C-organik dan ketebalan gambut cm dan kadar abu pada lahan gambut.
Semakin tinggi ketebalan gambut pada perkebunan kelapa sawit maka semakin rendah kadar abu R
2
= 0,797. Kadar C-organik berhubungan negatip
y = -44.0lnx + 193.6 R² = 0.946
10 20
30 40
50 60
70 80
90
10 20
30 40
50 60
70 C
-O rg
a n
ik
Ka da r Abu
y = -21.9lnx + 140.6 R² = 0.797
10 20
30 40
50 60
70 80
90
100 200
300 400
500 600
K a
d a
r A
b u
Ketebalan Gambut cm
dengan kadar abu, dimana semakin tinggi kadar C-organik akan semakin rendah kadar abu R
2
= 0,946 pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.
5.2. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut