Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province

PEMODELAN SPASIAL
KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:
STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRACT
MUSTARA HADI. Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a
Case Study in District of Bengkalis, Riau Province. Under the advisory of LILIK
BUDI PRASETYO and LAILAN SYAUFINA.
Peatland is one of ecosystem types in Indonesia which plays important
role in maintaning terrestrial carbons, hydrological cycles and preserving
biodiversity. Recently, most of the peatland (forest and non forest) has been
degraded. One of the causes of degradation is fire.
This study was conducted to establish a model and map of peat fire risk in
District of Bengkalis, Riau Province. The model was established by hotspot

distribution as an indicator of fire occurrences. Environmental and infrastructure
aspects were employed as supportive factors to fire. Factors which were used to
describe the environmental aspect were landcover and vegetation types, peat
depth, and greenness level of vegetation. Factors of infrastructure aspect were the
distance of fire occurrences with road network, distance to the river network and
to the center of villages. Weighting and scoring were the basis of model
development using the method of Complete Mapping Analysis (CMA).
The model suggested that peat fire is more strongly affected by
infrastructure aspect when compared with environmental aspect with the weight
of 0.658 and 0.342 respectively. This explains that fires occurred were triggered
more by human factor rather than environmental factor. The chosen factor of
infrastructure aspect is distance from occurenced fires of road network. The
selected environmental aspects were landcover and vegetation types, peat depth
and greenness level of vegetation. Seemingly, the distance of river and center of
villages may not be the supportive factors of peat fires, as showed by the presence
of hotspots in which found mostly in the area far from the river and village center.
The model can explain the condition of average of fire occurrences with
the validation of 80%. Therefore, it can be used as the referrence in developing
and establishing of polic ies for peat fire prevention and suppression.
Keywords: peat fires, complete mapping analysis and hotspot


SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemodelan Spasial
Kerawanan Kebakaran d i Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau adalah karya ilmiah saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Mei 2006
Mustara Hadi
NIM E051030161

PEMODELAN SPASIAL
KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:
STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat pada tanggal 18 April 1976 sebagai anak bungsu dari tujuh
bersaudara pasangan Ibu Hj. Sitti Nawwaroh dan Bapak H. Usman.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Selong, Kabupaten Lombok
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas

Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja
pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
Pada Tanggal 9 Mei 2004 penulis menikah dengan Yulia Fitriani.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 ini
ialah kebakaran, dengan judul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan
Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai Ketua
Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai Anggota
Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan
selama proses penelitian hingga penyelesaian penulisan dan penyusunan karya
ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir.
Andry Indrawan, MS. yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar, Bapak Uus
Syaifullah, Ibu Anita Zaitunah, rekan -rekan Pascasarjana IPB dan Brighten

Institute yang telah banyak membantu serta menyediakan waktu untuk berdiskusi
dalam proses pengolahan data.
Penulis menyadari dorongan moril maupun spiritual dari orang-orang
terkasih telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini, untuk itu penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang
mendalam kepada Bapak, Ibu, Apih, Mama (almarhumah) dan keluarga serta istri
tercinta yang dengan sabar mendampingi, mendoakan dan membantu penulis
dengan penuh kasih sayang selama penelitian, penulisan dan penyusunan karya
ilmiah ini.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

Mustara Hadi

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xii
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot) .................................................................................... 10
Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut ...................................................... 12
Kebakaran di Lahan Gambut......................................................................... 14
Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut ............................................. 17
Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut.................................................. 19
Sistem Satelit Landsat ................................................................................... 20
Indeks Vegetasi ............................................................................................. 22
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................................ 24
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 28
Metode Penelitian.......................................................................................... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN
A
B
C
D

E
F

Verifikasi Data Hotspot........................................................................... 46
Klasifikasi Faktor Pendukung Kebakaran ............................................... 48
Sebaran dan Kerapatan Hotspot.............................................................. 53
Nilai Kerawanan ...................................................................................... 59
Validasi Model........................................................................................ 68
Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Pada Wilayah Penelitian ........ 70

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
LAMPIRAN .......................................................................................................... 81

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN ... 11
2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC
untuk penerimaan malam hari ......................................................................... 11

3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC
untuk penerimaan siang hari ........................................................................... 11
4 Luas hutan menurut jenis................................................................................. 27
5 Hasil hutan menurut jenis ................................................................................ 27
6 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek infrastruktur............................................ 35
7 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik ...................................... 35
8 Hasil analisis statistik jarak koordinat titik hotspot stasiun pengamat JICA
dan ASMC terhadap koordinat titik hotspot di lapangan ................................ 46
9 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya
terhadap jaringan jalan .................................................................................... 48
10 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya
terhadap jaringan sungai ................................................................................. 49
11 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya
terhadap pusat desa ......................................................................................... 49
12 Tipe tutupan lahan dan vegetasi serta luasannya pada wilayah penelitian ...... 50
13 Kelas ketebalan lahan gambut dan luasannya pada wilayah penelitian .......... 51
14 Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dalam wilayah
penelitian ......................................................................................................... 53
15 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing
kelas jarak dari jaringan jalan.......................................................................... 54

16 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing
kelas jarak dari jaringan sungai....................................................................... 54
17 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing
kelas jarak dari pusat desa............................................................................... 55
18 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tipe tutupan lahan dan vegetasi.......... 56
19 Hubungan kerapatan hotspot terhadap ketebalan gambut ............................... 57
20 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tingkat kehijauan vegetasi.................. 58
21 Nilai skor setiap subfaktor jarak dari jaringan jalan ........................................ 60
22 Nilai skor masing-masing subfaktor tipe tutupan lahan dan vegetasi............. 60

23 Nilai skor masing-masing subfaktor kedalaman gambut ................................ 62
24 Nilai skor masing-masing subfaktor tingkat kehijauan vegetasi ..................... 63
25 Bobot relatif faktor-faktor pembangun model................................................. 63
26 Bobot relatif aspek infrastruktur dan lingkungan fisik .................................... 65
27 Nilai skor zone rawan kebakaran pada lahan gambut ..................................... 67

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Bagan alir kerangka pemikiran ........................................................................ 9

2 Prinsip segitiga api........................................................................................... 15
3 Batas administrasi Kabuaten Bengkalis .......................................................... 24
4 Bagan alir kegiatan penelitian ......................................................................... 29
5 Tahapan pengolahan data spasial .................................................................... 32
6 Tahapan verifikasi data hotspot....................................................................... 33
7 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari
jaringan jalan ................................................................................................... 36
8 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak
dari jaringan sungai ......................................................................................... 37
9 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak
dari pusat desa................................................................................................. 38
10 Peta sebaran hotspot pembangun model pada tipe tutupan lahan
dan vegetasi..................................................................................................... 39
11 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas ketebalan gambut .......... 40
12 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas tingkat kehijauan
vegetasi............................................................................................................ 41
13 Perbandingan sebaran data jarak titik hotspot stasiun pengamat
JICA dan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan ....................................... 47
14 Sebaran data nilai total skor kerawanan kebakaran ........................................ 66
15 Jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan kebakaran................................. 68

16 Persentase jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan................................. 68
17 Persentase jumlah hotspot tahun 2004 (hotspot validasi) pada setiap
kelas kerawanan .............................................................................................. 69
18 Persentase jumlah hotspot tahun 2003 pada setiap kelas kerawanan .............. 69
19 Persentase jumlah hotspot tahun 2002 pada setiap kelas kerawanan .............. 70
20 Luas areal kelas kerawanan kebakaran ........................................................... 71
21 Persentase luas kelas kerawanan kebakaran terhadap total luas
wilayah Kabupaten Bengkalis ......................................................................... 71
22 Persentase luas setiap kelas jarak dari jaringan jalan pad a kelas
kerawanan sangat rawan .................................................................................. 72

23 Persentase luas tipe tutupan lahan dan vegetasi pada kelas kerawanan
sangat rawan.................................................................................................... 73
24 Persentase luas tingkat kehijauan vegetasi pada kelas kerawanan
sangat rawan.................................................................................................... 73
25 Persentase luas kelas kedalaman gambut pada kelas kerawanan kebakaran
dalam kategori sangat rawan ........................................................................... 74

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut Kabupaten Bengkalis .... 81
2 Jarak hotspot ASMC dan JICA terhadap hotspot hasil ground check d i
lapangan .......................................................................................................... 82
3 Data hotspot tahun 2004 stasiun ASMC yang digunakan sebagai
pembangun model kerawanan kebakaran ....................................................... 83

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki
kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran
penting dalam siklus hidrologi serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas
lahan gambut di Indonesia menempati peringkat keempat di dunia setelah Canada,
Rusia dan Amerika Serikat. Tipe lahan gambut di Indonesia merupakan tipe
lahan gambut tropis dimana lebih dari 50% gambut tropis berada di Indonesia
atau meliputi 10,8% wilayah Indonesia (Noor & Suryadiputra 2005).

Tipe

ekosistem ini menyebar di Pulau Kalimantan seluas 6,3 juta hektar, Sumatera
8,9 juta hektar dan Pap ua 10,9 juta hektar. Sedangkan menurut Noor (2002) luas
lahan gambut di Indonesia sekitar 18,4 juta hektar.

Khusus untuk Pulau

Sumatera, Provinsi Riau memiliki luasan lahan gambut terbesar dengan luas lebih
dari 4 juta hektar dengan kedalaman gambut yang bervariasi hingga dapat
mencapai kedalaman 12 meter.
Kegiatan pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut termasuk hutan di
dalamnya telah diatur pemerintah dalam berbagai produk peraturan dan
perundangan -udangan antara lain: UUD 45, Kepres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 27 tahun 1991 tentang Rawa, UU No 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan dan PP No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
atau Lahan.

Namun kenyataan yang dihadapi adalah gangguan terhadap

sumberdaya lahan gambut tidak dapat dihentikan dan terus saja berlangsung,
bahkan intensitas gangguan semakin meningkat. Lahan gambut di Provinsi Riau
juga tidak luput dari berbagai bentuk gangguan, dari 4,5 juta hektar lahan gambut
yang dimiliki Provinsi Riau, sebanyak 1,3 juta hektar lahan tersebut saat ini dalam
kondisi rusak, akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dengan baik
(Anonim 2006).

Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian
kebakaran. Kebakaran lahan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia
dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran yang terjadi pada lahan
gambut disinyalir sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan baik dalam skala
kecil maupun besar yang secara langsung menggunakan api untuk kegiatan land
clearing dan secara tidak langsung mengakibatkan gambut menjadi semakin
rentan terhadap kebakaran karena perubahan sifat fis ik gambut menjadi kering
dan tidak mampu lagi menyerap air. Kebakaran pada lahan gambut menyebabkan
terjadinya pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfer dan menjadi
penyumbang emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berpengaruh pada
penurunan kualitas lingkungan. Kebakaran lahan gambut seluas satu hektar dapat
menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon (Prabowo 2005).
Beberapa tahun terakhir kebakaran lahan gambut terjadi hampir setiap
tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang tergolong besar terjadi di
Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun
1997/1998 di Indonesia, kebakaran telah menghanguskan lahan sekitar 11,7 juta
hektar (Soeriaatmadja, 1997) dan telah menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81 –
2,57 Gt6 (Chokkalingam 2004)
Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
diperlukan dukungan teknologi yang mampu memberikan informasi yang cepat,
tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Salah satu teknologi yang
menjadi alternatif adalah teknologi remote sensing. Penggunaan remote sensing
telah cukup mampu memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam memantau
dan memperkirakan kejadian kebakaran yang telah terjadi, sedang terjadi maupun
perkiraan kejadian kebakaran pada waktu mendat ang serta dapat mengetahui
perubahan lingkungan yang terjadi akibat kebakaran selama kurun waktu tertentu.
Keberadaan satelit NOAA merupakan salah satu teknologi yang sering
dimanfaatkan oleh berbagai lembaga maupun pihak -p ihak terkait untuk memantau
kejadian kebakaran hutan dan lahan, namun sering kali setiap lembaga memiliki
perbedaan data baik dalam jumlah hotspot maupun posisi hotspot di permukaan
bumi.

Hal ini disebabkan karena stasiun pengamatan hotspot yang dijadikan

rujukan oleh setiap lembaga berb eda-beda, kenyataan inilah yang seringkali

menimbulkan kurangnya koordinasi dari setiap lembaga terkait dalam menyusun
rencana-rencana pengendalian kebakaran lahan khususnya di Indonesia.
Disinyalir bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia secara umum
disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk
berbagai bentuk usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan (perladangan
berpindah, perkebunan, HTI dan HPH). Beberapa studi menunjukkan, bahwa
hanya sebagian kecil kebakaran disebabkan oleh faktor-faktor di luar kegiatan
penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut ini tentunya didukung oleh beberapa
faktor lingkungan seperti iklim, kondisi vegetasi dan faktor lingkungan fisik
lainnya, juga didukung pula oleh faktor infrastruktur yang dapat meningkatkan
interaksi manusia dengan lahan gambut. Faktor lingkungan fisik dan infrastruktur
secara umum dapat digambarkan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Penelitian-penelitian tentang kebakaran lahan gambut yang telah dilakukan
pada dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur
baik secara terpisah maupun terintegrasi untuk menduga terjadinya kebakaran,
namun nampaknya setiap lokasi penelitian memiliki perbedaan faktor-faktor
utama yang mendukung terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari
setiap daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus agar
kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dan sedang dilakukan dapat berjalan
dengan efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Oleh karena itu
penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kebakaran di lahan gambut dari aspek
lingkungan dan infrastruktur pada wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis
yang merupakan salah satu daerah yang tergolong sebagai daerah yang selalu
mengalami kebakaran lahan gambut setiap tahun. Penelitian ini akan sangat
penting artinya bagi kegiatan pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten
Bengkalis, dimana kejadian kebakaran yang terjadi setiap tahun menimbulkan
dampak ekologi yang sangat besar yakni penu runan fungsi lahan gambut sebagai
konservasi air dan penyerap karbon. Disamping itu sangat penting juga artinya
bagi hubungan ekonomi maupun politik antar bangsa khususnya di kawasan
ASEAN, dimana negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selalu
mendapatkan kiriman asap sebagai akibat kebakaran yang juga terjadi pada lahan
gambut di Kabupaten Bengkalis yang memililiki wilayah yang paling dekat

dengan kedua negara tetangga tersebut. Pada peristiwa El-Nino tahun 1997/1998,
60 persen kabut asap pada wilayah Asia Tenggara terjadi karena kebakaan lahan
basah di Indonesia (Chokkalingam 2004)

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
- Menganalisis informasi data hotspot dua stasiun pengamat [JICA (Japan
International

Cooperation

Agency )

dan

ASMC

(ASEAN

Specialised

Meteorological Center)] sebagai rujukan bagi pembangunan model spasial dan
kegiatan pengendalian kebakaran di lahan gambut
- Mengkaji faktor-faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di
Kabupaten Bengkalis.
- Menganalisis hubungan aspek lingkungan fisik dan infrastruktur terhadap
kejadian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Menentukan model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut pada wilayah
Kabupaten Bengkalis
- Membuat peta zone kerawanan kebakaran lahan gambut Kabupaten Bengkalis

Perumusan Masalah
Kebakaran pada lahan gambut merupakan fenomena yang selalu terjadi
setiap tahun di Indonesia. Secara umum kebakaran lahan gambut terjadi secara
periodik yaitu pada akhir musim kemarau atau menjelang datangnya musim hujan
dimana masyarakat dan perusahaan HPH dan perkebunan memulai kegiatan
penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut menimbulkan kerusakan fisik secara
langsung pada gambut terutama disebabkan oleh sifat irreversible yang dimiliki
oleh gambut.

Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya peluang terjadinya

bencana alam banjir pada musim hujan dan penurunan kesuburan lahan gambut
itu sendiri.
Kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dideteksi terutama pada jenis
kebakaran di bawah permukaan.

Kebakaran bawah permukaan ini memiliki

pergerakan api yang sangat lambat dan menyebar ke segala arah karena tidak ada
pengaruh angin serta tidak terlihat adanya nyala api sehingga sulit untuk

dipadamkan. Kebakaran bawah permukaan akan menimbulkan kerusakan dan
kematian pada akar tanaman yang berarti kematian pula bagi tanaman itu sendiri.
Asap merupakan hasil dari proses pembakaran yang menimbulkan berbagai
dampak negatif baik secara nasional maupun regional. Kebakaran gambut adalah
sumber terbesar polusi asap. Hal ini disebabkan pada kebakaran gambut terjadi
proses smoldering yang menghasilkan asap dalam jumlah besar. Dampak negatif
dari polusi asap ini antara lain gangguan kesehatan berupa inpeksi saluran
pernapasan, mata dan lain-lain, gangguan navigasi transportasi darat, laut dan
udara, menurunkan produktifitas manusia dan berbagai dampak lainnya.
Kebakaran di lahan gambut juga merupakan penghasil gas-gas rumah kaca seperti
karbon dioksida, karbon monoksida, metana, hidrokarbon, non-metana dan
nitrogen oksida.

Diperkirakan kebakaran yang terjadi pada lahan gambut

menyumbang karbon sebanyak 13 – 40 % dari total pengeluaran karbon dunia
yang dihasilkan dari bahan bakar setiap tahunnya (Miettinen 2004).

Episode

kebakaran tahun 1997/1998, Indonesia menyumbang karbon sebanyak 2,6 miliar
ton yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 10 juta hektar
yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di
dunia.
Upaya pencegahan kebakaran lahan telah cukup banyak dilakukan oleh
pihak terkait baik melalui penerapan peraturan dan perundang-undangan maupun
pemanfaatan berbagai bentuk teknologi diantaranya adalah pemanfaatan satelit
untuk memantau posisi atau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Di
Indonesia pemanfaatan informasi dari satelit ternyata menimbulkan perbedaan
persepsi dari berbagai lembaga terkait dalam memantau kejadian kebakaran
dikarenakan adanya perbedaan rujukan dari masing-masing lembaga dalam
memperoleh data kebakaran (hotspot).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sangat diperlukan upaya-upaya dini
untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut untuk menghidari berbagai
dampak negatif yang telah diketahui menimbulkan kerugian yang sangat besar
baik dalam bidang sosial, ekonomi dan ekologi melalui pendekat an berbagai
faktor penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut.
Berdasarkan beberapa penelitian, kebakaran lahan gambut di Indonesia disinyalir

lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang
disebabkan oleh kejadian alam. Menurut (Saharjo dan Husaeni 1998, diacu dalam
Soewarso 2003) kebakaran karena proses alam sangat kecil dan sebagai contoh
untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui
dengan pasti faktor-faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran
lahan gambut khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan
fisiknya. Disamping itu untuk mengoptimalkan upaya pengendalian kebakaran
lahan gambut diperlukan informasi yang akurat tentang kejadian kebakaran lahan
gambut yang tentunya harus didapatkan dari rujukan yang tepat. Berdasarkan hal
tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain:
- Sumber informasi apa yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membangun
perencanaan dan usaha pengendalian kebakaran lahan gambut.
- Faktor-faktor lingkungan fisik apa saja yang menjadi faktor utama pendukung
terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Apakah aspek infrastruktur dapat menjadi pendukung terjadinya kebakaran
lahan gambut dan faktor-faktor apa saja dari aspek infrastruktur yang menjadi
pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis
- Bagaimanakah hubungan antara masing -masing faktor dan pengaruhnya dalam
mendukung terjadinya kebakaran lahan gambut.

Kerangka Pemikiran
Lahan gambut di Indonesia telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh
manusia sejak ribuan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik
untuk bertani maupun berburu. Pada akhir-akhir ini, pemanfaatan lahan gambut
oleh manusia menunjukkan tingkat pemanfaatan yang berlebihan sehingga
menyebabkan terjadinya degradasi lahan gambut baik fungsi maupun luasannya.
Degradasi luas hutan pada lahan gambut dapat dilihat dari berkurangnya
tegakan hutan gambut karena kegiatan konversi lahan dan pembalakan liar yang
terus berlangsung hingga saat ini. Sementara degradasi fungsi lahan gambut pun
tak dapat dielakkan. Dalam keadaan normal, lahan gambut memiliki peran yang
sangat besar terhadap pembenaman karbon.

Dengan luasan hanya 3% dari

permukaan bumi, lahan gambut ternyata mengandung 20%-35% dari semua

karbon yang terdapat di permukaan bumi (Anonim 2003). Peran penting gambut
lainnya adalah dalam hal konservasi air. Gambut memiliki peran yang sangat
besar dalam menyerap dan menyimpan air selama musim hujan dan pada saat
curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting
artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan kelangkaan air
pada usim kemarau.

Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dapat

berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut baik disebabkan oleh konversi,
penebangan maupun pembakaran.

Pengeringan dapat mengubah sifat gambut

hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang
telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya.
Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan lahan
gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran apalagi didukung oleh perilaku
manusia yang cenderung menggunakan api untuk membuka dan menyiapkan
lahan (land clearing) baik dalam skala kecil (perladangan) hingga skala besar
(perkebunan dan HTI) yang saat ini masih terus berlangsung.
Melihat kondisi lahan gambut Indonesia saat ini yang rentan terhadap
bahaya kebakaran terutama yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan dan
illegal logging, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan
membuat berbagai peraturan dan undang-undang untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kebakaran hutan gambut yang lebih luas. Namun peraturan
dan undang-undang tersebut nampaknya belum efektif dalam mengurangi
kejadian kebakaran lahan gambut.

Hal ini disebabkan karena kurangnya

dukungan informasi tentang faktor-faktor pemicu kebakaran lahan gambut itu
sendiri serta belum adanya kesepakatan dari berbagai lembaga yang terkait untuk
menggunakan stasiun pengamat kebakaran tertentu sebagai rujukan yang paling
baik untuk memperoleh informasi tentang kejadian kebakaran di lahan gambut.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk mengkaji dua
stasiun pengamat kebakaran yaitu JICA dan ASMC yang umum digunakan oleh
lembaga-lembaga di Indonesia dalam memantau kejadian kebakaran hutan dan
lahan. Hasil analisis baik secara spasial dan statistik diharapkan diperoleh satu
rujukan yang terbaik untuk mendapatkan informasi kejadian kebakaran di lahan
gambut yang tepat dan akurat yang akan dijadikan sebagai dasar pembangunan

model spasial. Selain itu penelitian ini juga mencoba mengkaji faktor-faktor
yang diduga sebagai pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dimana
batasan kajian pada faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik dan infrastruktur.
Kedua aspek tersebut merupakan faktor prediktor yang berhubungan satu sama
lain sehingga kajian akan dilanjutkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan
setiap komponen dari kedua aspek dalam menimbulkan kebakaran di lahan
gambut. Kebakaran lahan gambut dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel
respon.
Hasil analisis baik spasial maupun stastistik dari komponen prediktor
diharapkan mampu mendapatkan beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh
yang signifikan atau cukup besar terhadap kejadian kebakaran di lahan gambut
sehingga diperoleh model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut sebagai
masukan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya
oleh pemerintah. antara lain: Keppres No. 23 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung dan PP No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan
atau Lahan

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.

Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya faktor-faktor utama penyebab terjadinya kebakaran
pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau serta diketahuinya
stasiun pengamatan yang dinilai cukup baik sebagai rujukan dalam memantau
kejadian kebakaran lahan gambut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat
dalam hal:


Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan
penyusunan sistem pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau.



Sebagai masukan bagi Pemda dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan
dan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau.

TINJAUAN PUSTAKA

Titik Panas (Hotspot)
Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu
lebih tinggi dikanalingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh
sensor satelit data digital (JICA 2003). Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat
diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat
tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric
Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). Secara sederhana, satelit NOAA mendeteksi suatu lokasi
yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dikanaling suhu sekitarnya, suhu yang
terdeteksi berkisar antara 310 o K (37 oC) untuk deteksi malam hari dan 315 oK
(42oC) untuk deteksi pada siang hari. Titik panas tersebut akan diproyeksik an
menjadi suatu pixel pada sebuah peta (image) yang juga mewujudkan koordinat
geografisnya.

Suatu hotspot diyakini sebagai suatu kejadian kebakaran di

permukaan bumi apabila hotspot tersebut terdeteksi pada koordinat yang sama
selama 3 hari berturut-turut atau lebih (LAPAN 2004).
Lokasi dan distribusi titik panas ditentukan dengan memanfaatkan band 3
(inframerah sedang) dengan panjang gelombang 3,55 – 3,93 mm dan band 4
(inframerah panjang) dengan panjang gelombang 10,3 – 11,3 mm dari data
AVHRR/NOAA-12 (LAPAN 2005). Anderson et al. (1999) menerangkan band 3
dalam wujud gelombang infra merah-tengah sangat sensitif terhadap emisi panas
dan digunakan untuk memantau kebakaran. Titik api yang berpotensi sebagai
kejadian kebakaran muncul pada citra dalam bentuk titik-titik hitam.
Di Indonesia terdapat beberapa stasiun penerima NOAA yaitu: MoF-EU di
Palembang, MoF-JICA di Jakarta, MoF-GTZ di Samarinda dan LAPANBappedal di Jakarta. Hidayat et al. (2003) menerangkan masing-masing stasiun
pengamat memiliki nilai ambang (threshold) yang berbeda-beda dalam
mendeteksi hotspot sebagai indikasi kejadian kebakaran.
digunakan oleh LAPAN untuk mendeteksi hotspot adalah:

Nilai ambang yang

Tabel 1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN

Parameter

Nilai Ambang
(o K)
Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
322.0
sebagai kebakaran
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang
20.0
terdeteksi sebagai kebakaran
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan
245.0
Suhu amb ang albedo band 1
25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2
1.0
Pengamatan terhadap titik hotspot pada stasiun pengamat LAPAN hanya
dilakukan pada siang hari sementara pada stasiun pengamat ASMC dan JICA
dilakukan pada siang dan malam hari. Adapun nilai ambang yang digunakan oleh
ASMC seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Nilai ambang (Threshold ) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk
penerimaan malam hari

Parameter (pengelolaan data NOAA malam hari)

Nilai Ambang
(o K)
Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
314.0
sebagai kebakaran
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang
15.0
terdeteksi sebagai kebakaran
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan
245.0
Suhu ambang albedo band 1
25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2
1.0
Tabel 3 Nilai ambang (Threshold ) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk
penerimaan siang hari

Parameter (pengelolaan data NOAA siang hari)

Nilai Ambang
(o K)
Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
320.0
sebagai kebakaran
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang
15.0
terdeteksi sebagai kebakaran
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan
245.0
Suhu ambang albedo band 1
25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2
1.0
Nilai ambang yang digunakan JICA adalah 315 o K (42 oC) pada siang hari dan
310 oK (37 oC) pada malam hari.

Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun
secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya
sedikit mengalami perombakan.
Lahan gambut terbentuk dimana tanaman-tanaman yang tergenang oleh air
terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari bebagai bahan organik
tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas
dari suatu lahan gambut adalah kandungan akan bahan organik yang tinggi
dimana persentasenya dapat mencapai lebih dari 65%.
Tanah gambut tergolong kelompok tanah organik bersama-sama dengan
muck (Brady 1990).

Dijelaskan lebih lanjut, bahwa gambut dalam hal ini

diartikan sebagai deposit atau endapan organik yang sedikit atau belum
mengalami pelapukan. Sedangkan muck merupakan endapan organik yang telah
mengalami pelapukan lebih lanjut sehingga bahan tanaman asal tidak dapat
dikenal lagi.
Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK)
tinggi, kejenuhan basa rendah, kandungan K, Ca, Mg dan P rendah, kandungan
unsur mikro (Cu, Zn, Mn, dan B) rendah.

Tanah gambut memiliki sifat

penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase, memiliki daya
hantar hidrolik horizontal yang sangat besar dan vertikal yang sangat kecil,
memiliki daya tahan yang rendah sehingga tanaman mudah roboh dan memiliki
sifat mengering tak balik yang menurunkan daya retensi air dan membuatnya peka
terhadap erosi (Anonim 2004).
Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan bahan asal atau penyusunnya,
tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan pembentukan,
tingkat kematangan dan ketebalan gambut (Noor 2002). Dijelaskan lebih lan jut,
bahwa berdasarkan bahan asalnya, gambut dibagi menjadi (1) gambut lumutan
(moos peat) yaitu gambut yang terdiri atas campuran tanaman air termasuk
plankton dan sejenisnya, (2) gambut seratan (sedge peat) yaitu gambut yang
terdiri atas campuran tanaman spagnum dan rumputan dan (3) gambut kayuan
(woody peat) yaitu gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan beserta
tanaman semak di bawahnya.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi (1) gambut
eutrofik yaitu gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium
karbonat, sebagian besar berada pada daerah payau serta bersifat netral alkalin,
(2) gambut oligotrofik yaitu gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya
kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4) dan
(3) gambut mesotrofik yaitu gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik.
Berdasarkan sifat kematangannya (refiness), gambut dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu:
1 Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang
dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau
sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran
beragam.
2 Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami
perombakan dan bersifat separuh matang.
3 Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami
perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.
Noor

(2002)

juga

menjelaskan

pembagian

gambut

berdasarkan

ketebalannya yaitu:
1 Gambut dangkal yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan
organik antara 50 cm – 100 cm
2 Gambut tengahan yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik antara 100 cm – 200 cm
3 Gambut dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan
organik antara 200 cm – 300 cm
4 Gambut sangat dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan
bahan organik > 300 cm.
Karakteristik lahan gambut yang memiliki ketebalan diatas 200 cm adalah
sangat sulit untuk dikeringkan sehingga dalam kegiatan pengolahan lahan untuk
mencapai produktivitas lahan yang memadai sangat sulit tanpa adanya resiko
kehilangan gambut itu sendiri karena peristiwa oksidasi dan penyusutan
(Anderson 2000).

Dalam konteks lingkungan, gambut mempunyai peranan sebagai penyangga
(buffer) lingkungan yang berhubungan dengan fungsi gambut sebagai gatra
hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis.

Secara hidrologis, gambut berfungsi

menyimpan air dan juga sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control
water system ). Fungsi gambut tersebut sangat penting artinya dalam mencegah
terjadinya banjir pada saat curah hujan yang berlebih dan kelangkaan air pada
musim kemarau karena selama musim hujan gambut berperan dalam menyerap
dan menyimpan air sementara pada saat curah hujan rendah, gambut secara
perlahan-lahan melepask an air simpanannya (Noor 2002).

Anonim (2003)

menerangkan, dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut
mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting yaitu mengatur air di dalam dan
di permukaan tanah. Dengan sifat-sifat seperti spon, gambut mampu menyerap air
yang berlebihan dan kemudian secara kontinyu dilepas perlahan -lahan. Hal ini
menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten sehingga mampu
menghindari terjadinya banjir dan kekeringan.
Selain berfungsi sebagai penyangga lingkungan, gambut juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi atau sebagai pengganti bahan bakar minyak,
sebagai bahan mentah industri, medium tanaman, lembaran bahan isolasi dan
bahan campuran pupuk. Beberapa produk seperti amoniak, alkohol (etanol dan
metanol) dan lilin juga dapat dihasilkan dari gambut (Noor 2002).

Kebakaran di Lahan Gambut
Kebakaran hutan yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
diperkirakan sebesar 15% terjadi pada hutan gambut dimana kebakaran pada
lahan gambut menjadi penyumbang 60-90% asap akibat pembakaran yang tidak
sempurna (Noor & Suryadiputra 2005). Kebakaran hutan didefinisikan sebagai
pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari
hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, pohon mati yang tetap
berdiri (snag), log, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohonpohon (Sahardjo 1999).
Parish et al. (2006) menjelaskan, pada lahan gambut yang ada di bumi ini
diperkirakan tersimpan karbon terseterial sebanyak 550-650 miliar ton (30% dari

seluruh karbon terestrial) atau setara dengan 75% jumlah karbon di atmosfir. Bila
terjadi kebakaran, maka akan terjadi pelepasan karbon yang sangat besar ke
atmosfir. Dituliskan oleh Prabowo (2005) kebakaran hutan seluas satu hektar di
lahan gambut dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon. Diterangkan pula
oleh Miettinen (2004) kebakaran yang terjadi di Indonesia pada periode tahun
1997/1998 telah memproduksi karbon dalam jumlah besar yaitu 13 – 40 % dari
pengeluaran karbon dunia yang dikeluarkan oleh bahan bakar setiap tahunnya. Hal
ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di dunia
dan sekaligus dianggap turut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim global.
Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut maupun non gambut tidak lepas
dari tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen dan panas yang dikenal dengan prinsip
segitiga api.

(Pyne et al. 1996) menjelaskan, segitiga api digunakan untuk

menggambarkan interaksi dari faktor-faktor utama yang menyebabkan timbulnya

API

S
NA
PA

OK
SIG
EN

api (Gambar 2).

BAHAN BAKAR

Gambar 2 Prinsip segitiga api .

Berdasarkan bahan bakar dan cara menjalarnya api serta posisi api dari
tanah, kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga seperti dijelaskan oleh Brown
(1973) yaitu:
a. Kebakaran bawah permukaan (ground fire)
Kebakaran bawah permukaan mengkonsumsi bahan organik di bawah
permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa sebagai bahan

organik yang sedang terdekomposisi, telah terdekomposisi (muck) atau berupa
gambut. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah.
Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan kadang-kadang
tidak berasap sehingga sulit untuk diketahui. Api menjalar sangat pelan dan
ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini
membentuk lingkaran.
b. Kebakaran permukaan (surface fire)
Api membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan.
Biasanya semua tipe kebakaran di hutan terlebih dahulu dimulai dengan
kebakaran permukaan.

Karena jumlah bahan bakar pada permukaan

tanah/lantai hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang besar
dan dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan
cepat tetapi relatif mudah dipadamkan. Pengaruh angin pada tipe kebakaran
ini menyebabkan penjalaran api berbentuk lonjong.
c. Kebakaran tajuk (crown fire)
Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon
atau semak belukar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kebakaran
permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi dapat juga terjadi kebakaran
tajuk terlebih dahulu baru disusul dengan kebakaran permukaan karena api
dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe kebakaran ini bergerak
dari tajuk pohon ke tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit daundaun dari pohon atau semak habis terbakar.
Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menimbulkan
permasalahan antara lain:
-

Perubahan lingkungan dan iklim (suhu, kelembaban) global karena
penyusutan luas hutan dan lahan gambut

-

Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kabut asap sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, pneumonia dan
sebagainya

-

Pencemaran oleh kabut asap dapat mengganggu navigasi laut, udara dan darat
sehingga menghambat kelancaran transportasi dan komunikasi

-

Penurunan dan penyusutan keanekaragaman hayati akib at punahnya sebagian
sumber daya genetik dan plasma nutfah

-

Penurunan dan degradasi hutan dan lahan sehingga menjadi lahan terlantar/
kritis yang memerlukan biaya besar untuk merehabilitasinya (Noor 2002).

Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut
Menurut Rusdiayanto (2000) 90% penyebab kebakaran hutan adalah
(1) karena perbuatan manusia secara sengaja misalnya pembukaan lahan (land
clearing) dengan cara dibakar untuk keperluan perkebunan, pengembangan Hutan
Tanaman Industri (HTI) dan pemukiman transimigrasi serta perladangan
berpindah oleh masyarakat sekitar hutan dan (2) karena faktor ketidaksengajaan .
Sedangkan faktor yang disebabkan oleh alam misalnya kondisi alam setempat
yang berupa lahan gambut dan batu bara yang sangat mudah terbakar pada musim
kemarau.
Menurut Danny (2001) penyebab utama terjadinya kebakaran hutan adalah
karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian
alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997) bisa terjadi karena
sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan
serasah. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) kebakaran karena proses alam
tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 persen. Penyebab
kebakaran hutan sampai saat ini masih men jadi topik perdebatan, apakah karena
alami atau karena kegiatan manusia.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari
kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
1 Sistem perladangan trad isional dari penduduk setempat yang berpindah pindah
2 Pembukaan hutan oleh para pemegang ijin konsesi baik Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit
3 Penyebab

struktural,

yaitu

kombinasi

antara

kemiskinan,

kebijakan

pembangunan dan tata pemerintahan sehingga menimbulkan konflik antar
hukum adat dan hukum positif negara.

Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut tidak disebabkan oleh faktor
tunggal atau sederhana,

namun beberapa faktor independen seperti praktek

pemungutan hasil hutan, pembukaan lahan, transimigrasi, meningkatnya frekuensi
musim kemarau, konflik alokasi lahan, akses yang lebih baik, pengeringan rawarawa dan penebangan liar memberi peran dalam memperbesar resiko kebakaran
hutan dan lahan gambut (Borger & Lubis 2001).
Noor (2004) menjelaskan timbulnya api pada lahan gambut disebabkan oleh
beberapa hal antara lain:
1 Ekspansi dan konversi hutan atau lahan gambut menjadi areal perkebunan
besar dan HTI. Tata ruang bersifat eksploitatif atau tidak adanya tata ruan g
yang memberikan tempat bagi pemanfaatan lahan gambut secara noneksplotatif.
2 Pembuatan kanal-kanal berskala lebar dan panjang yang hanya digunakan
untuk pengangkutan kayu dimana sirkulasi airnya tidak dirawat dengan baik
yang menyebabkan gambut disekitar kanal menjadi kering.
3 Pembalakan hutan gambut baik yang memiliki motif ekonomi maupun yang
merasa frustrasi sebagai kompensasi konflik.
4 Perspektif yang sesat dalam melihat lahan gambut sebagai lahan non-produktif
dan lahan terlantar.
Menurut Moore dan Haase (2003) pembuatan kanal-kanal memberikan
akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang tidak tersentuh. Meningkatnya
akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebakaran pada lahan gambut juga dapat
disebabkan oleh beberapa kegiatan tradisional, seperti sistem budidaya padi sonor
(dimana padi ditanam di lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim
kemarau) dan penangkapan ikan dimana para nelayan menggunakan api untuk
menciptakan akses yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan.
Salah satu penyebab kebakaran pada lahan gambut adalah kegiatan
pembakaran lahan sebelum proses penanamam, hal ini banyak dilakukan oleh
perkebunan besar dengan tujuan untuk menaikkan pH tanah. Untuk wilayah Riau
kegiatan pembakaran tersebut dilakukan karena pada umumnya tanah di daerah

tersebut bergambut dengan pH tanah antara 3-4 dan tidak cocok untuk ditanami
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit.

Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut
Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan
cara mengkonservasi lahan gambut dalam keadaan alaminya dan memberikan
perhatian khusus terhadap aspek-asp