Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke Wetboek (BW)

(1)

vi

Law Enforceable of Memorandum of Understanding in a Contract Based on Book III Burgerlijke Wetboek (BW)

Abstract Ali Faozi

Bond is a law connection, on a law area of asset, between two parties which eachs exist independenly (zelfstandige rechtssubjecten). It engenders first party to another to have a right on merit. The second party has an obligation in fulfilling the merit to the first party. Creditor and debitor who granting both right and obligation, are binding themself in a contract either writen or unwriten. Article 1313 of Burgerlijke Wetboek (BW) emphasized that a contract is an action on behalf one party or more who binding him/themselves to anothers. One of the most importants thing in contract is basic principles of contract namely Memorandum of Understanding (MoU). Basically, a Memorandum of Understanding is a form of freedom of arrangement that point out in article 1338 point (1) of Burgerlijke Wetboek. Arranging of MoU is a foundation in contract arrangement in future which based on agreement of all the parties. Thus, researcher is interested to analyze a problem that occure in Memorandum of Understanding. The problem identifications consisted of: the law enforceable of Memorandum of Understanding in a Contract Based on Book III Burgerlijke Wetboek. The legal consequences, if one of the parties experiencing inqualified performance against clauses in Memorandum of Understading.

This research conducted applying descriptive analysis that describing facts from primary and secondary data. Primary data is a primary regulation that used as main tools analysis and secondary data are secondary dan tertier regulation which is relating to Memorandum of Understanding (MoU).

Based on the research result, it was concluded that Memorandum of Understanding has a power to bond for the parties who involved. Moreover, it can corceive the parties to carry out the terms of Memoradnum of Understanding. Memorandum of Understanding is based on Burgerlijke Wetboek spesificly on article 1320 (1) regarding freedom of contract principles, and article 1338 verse (3) regarding goodwilling principles and law enforcement principles. If one of parties violated the terms of Memoradnum of Understanding by experiencing inqualified performance, then the opposite parties have the right to charge and claim loss based on the existing terms.


(2)

v

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK (BW)

ABSTRAK ALI FAOZI

Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas prestasi, prestasi tersebut menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama. Kreditur dan debitur yang saling memenuhi hak dan kewajibannya saling mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Salah satu hal penting dalam suatu perjanjian adalah prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan, prinsip-prinsip dasar yang hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok yang seringkali disebut sebagai Memorandum of Understanding. Pada dasarnya pembuatan memorandum of understanding adalah bentuk dari asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat (1) BW. Pembuatan memorandum of understanding adalah sebagai dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil pemufakatan para pihak. Oleh karena itu, timbul berbagai masalah yakni bagaimana kekuatan hukum memorandum of understanding dalam perjanjian berdasarkan Buku III Burgerlijke Wetboek serta akibat hukum apa yang timbul apabila salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap klausula dalam memorandum of understanding.

Penelitian dalam skripsi ini dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer, data sekunder bahan hukum sekunder serta data sekunder bahan hukum tertier yang berkaitan dengan memorandum of understanding yang dianalis secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Memorandum of understanding mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuat memorandum of understading dan para pihak wajib menjalankan isi memoradandum of understanding, karena MoU dibuat dengan memperhatikan Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian, Pasal 1338 ayat (1) BW tentang asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 ayat (3) BW tentang asas itikad baik dan asas kepastian hukum. Apabila dalam menjalankan isi memorandum of understanding salah satu pihak melakukan wanprestasi yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, pihak yang dirugikan tersebut dapat melakukan penuntutan pemenuhan perjanjian dan penuntutan penggantian kerugian.


(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat telah didukung dengan kemajuan teknologi informasi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Hal ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya dunia bisnis dan dunia usaha, serta semakin terbukanya kebebasan bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sektor perekonomian merupakan salah satu faktor terpenting dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya pembangunan nasional di Indonesia tidak terlepas dari dukungan kegiatan perekonomian di antaranya melalui sektor perdagangan.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten), yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi adalah menjadi kewajiban pihak terakhir terhadap pihak pertama 1.

Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihaknya, yaitu pihak yang berhak atas prestasi (kreditur) dan pihak yang wajib memenuhi prestasi (debitur). Kreditur dan debitur yang saling

1

Purwosujipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm 4


(4)

2

memenuhi hak dan kewajibannya saling mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum dilapangan harta kekayaan, dalam hal ini seseorang (salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada seseorang (salah satu pihak) yang lain atau kedua orang (pihak) saling berjanji melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Salah satu hal penting dalam suatu perjanjian adalah prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan, kesepakatan tersebut seringkali disebut sebagai

Memorandum Of Understanding (selanjutnya disingkat dengan MoU).

Pada dasarnya pembuatan MoU adalah bentuk dari asas kebebasan berkontrak. Pembuatan MoU adalah sebagai dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil pemufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun secara lisan. Materi yang termuat dalam MoU hanya memuat hal-hal pokok saja dan tidak mempunyai akibat hukum atau sanksi yang tegas karena hanya merupakan ikatan moral. Pada MoU tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai pengertian atau substansi MoU.

Banyak hal yang melatarbelakangi dibuatnya MoU salah satunya adalah karena prospek bisnis suatu usaha yang belum jelas serta negosiasi yang rumit dan belum ada jalan keluarnya, sehingga dibuatlah MoU. MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia, tetapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi) apa yang dipraktekkan secara internasional. MoU telah memperkaya khasanah pranata hukum di Indonesia ini, tidak diaturnya MoU dalam hukum konvensional di


(5)

3

Indonesia, banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah MoU sesuai dengan peraturan hukum positif di Indonesia, atau apakah MoU bisa dikategorikan setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam BW dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu wanprestasi di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah MoU merupakan suatu kontrak, mengingat MoU hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK (BW) .

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas maka Penulis mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan yang timbul, sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan hukum Memorandum Of Understanding

dalam perjanjian berdasarkan Buku III Burgerlijke Wetboek? 2. Akibat hukum apakah yang timbul apabila ada salah satu pihak

yang melakukan wanprestasi terhadap klausul dalam


(6)

4

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum Memorandum Of Understanding dalam perjanjian berdasarkan Buku III Burgerlijke Wetboek.

2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul apabila ada salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap klausul dalam

Memorandum Of Understanding.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teorotis maupun praktis, sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya mengenai hukum perjanjian.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pihak mengenai Memorandum Of Understanding dalam perjanjian.

E. Kerangka Pemikiran

Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alinea kedua berbunyi :

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa


(7)

5

mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur

Konsep pemikiran utilitarianisme nampak melekat dalam pembukaan alinea kedua, terutama pada makna adil dan makmur . Tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Bentham menjelaskan the great happiness for the greatest number.

Makna adil dan makmur, harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, baik yang bersifat rohani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjukan kepada seberapa besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat, dengan kata lain, seberapa besar sebenarnya hukum mampu melaksanakan atau mencapai hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat dengan penuh kesabaran oleh negara dan ditujukan pada tujuan tertentu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa makna yang tersirat dari kata adil dan makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukan bagi seluruh rakyat indonesia dalam berbagai sektor kehidupan 2.

Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

2

Otje Salman S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 156


(8)

6

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan hukum melalui pembangunan nasional.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum, maka segala kegiatan yang dilakukan di negara indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan pembangunan dalam kegiatan perekonomian yang dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menitikberatkan pada perekonomian nasioanal dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan.

Selanjutnya, transaksi tidak terlepas dari perikatan dan perjanjian. Definisi perikatan tidak terdapat dalam undang-undang, tetapi dirumuskan dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan, dalam hal ini yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi 3. Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW), yang menyatakan bahwa:

3

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 196.


(9)

7

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih .

Perjanjian tidak terlepas dari syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW yang menyatakan bahwa:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat yang pertama dan syarat yang kedua merupakan syarat subjektif, artinya jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat subjektif tersebut, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh para pihak, sepanjang perjanjian belum dibatalkan para pihak, perjanjian dapat terus berlangsung, sementara itu syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif, yang mana jika suatu perjanjian tidak memenuhi salah satu atau kedua syarat objektif tersebut maka perjanjian batal demi hukum, maksudnya sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Pada praktiknya, umumnya perjanjian dilaksanakan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract) 4. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW tentang asas kebebasan berkontrak, yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tujuan dibentuknya perjanjian baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang

4

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 1.


(10)

8

bersangkutan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir 5.

Dewasa ini sebelum membuat suatu perjanjian para pihak yang akan memberi prestasi akan membuat nota kesepahaman. Nota kesepahaman tersebut adalah Memorandum Of Understanding

(selanjutnya disebut MoU). Ada beberapa definisi tentang MoU, diantaranya sebagai berikut :

A memorandum of understanding (MoU) may be used as a confirmation of agreed upon terms when an oral agreement has not been reduced to a formal contract. It may also be a contract used to set forth the basic principles and guidelines under which the parties will work together to accomplish their goals 6. (Sebuah nota kesepahaman (MoU) dapat digunakan sebagai konfirmasi kesepakatan sebelum kontrak atau perjanjian secara lisan dibuat untuk membuat kontrak formal. Hal ini juga dapat digunakan sebagai kontrak untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar dan pedoman dimana para pihak akan bekerjasama untuk mencapai tujuan mereka)

Berdasarkan definisi tersebut, tampak bahwa MoU atau Nota Kesepakatan/Kesepahaman digunakan sebagai pernyataan kesepakatan atas persyaratan-persyaratan ketika perjanjian lisan belum dibuat dalam bentuk perjanjian formal. MoU dapat juga merupakan perjanjian/kontrak yang digunakan untuk memaparkan prinsip-prinsip dasar dan pedoman-pedoman yang mana para pihak yang akan bekerja sama untuk mencapai apa yang menjadi tujuan mereka.

5

Ibid., hlm. 139.

6

http://definitions.uslegal.com, diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Maret 2011, pukul 17.49 WIB


(11)

9

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari : 1. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analaitis, yaitu melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan hukum primer, data sekunder bahan hukum sekunder serta data sekunder bahan hukum tertier yang berkaitan dengan

Memorandum Of Understanding yang dianalisis untuk

mendapatkan suatu simpulan. 2. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Yuridis normatif, yaitu dengan cara mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma, dalam hal ini dilakukan melalui penafsiran hukum dan konstruksi hukum dan filsafat hukum 7.

3. Tahap Penelitian

Untuk memperoleh data dilakukan penelitian kepustakaan (library research) dengan meneliti data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Memorandum Of Understanding. Di samping itu meneliti data sekunder bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah dari para pakar dibidang hukum yang ada kaitannya dengan

7

Hetty Hassanah, Penyusunan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, disampaikan pada Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodology Fakultas Hukum UNIKOM, Bandung, 12 Februari, 2011, hlm. 5.


(12)

10

penelitian ini serta penelitian data sekunder bahan hukum tersier seperti artikel, koran, majalah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data melalui peraturan perundang-undangan dan artikel-artikel yang terkait serta browsing pada internet.

5. Metode Analisis Data

Seluruh data yang telah diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif yuridis, untuk mencapai kepastian hukum, memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan, dan menggali hukum yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis.

6. Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, Penulis mengambil tempat di perpustakaan dan browsing di internet.

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Unikom, di Jalan Dipatiukur Nomor 112 Bandung.

2) Perpustakaan Unpad, di Jalan Iman Bonjol Nomor 21 Bandung.

b. Website

1) http://definitions.uslegal.com 2) http://hukumonline.com 3) http://defantri.blogspot.com


(13)

11

BAB II

ASPEK HUKUM TENTANG

MEMORANDUM OF

UNDERSTANDING

DAN PERJANJIAN

A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding

Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia

Merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali orang-orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti membuat memorandum of understanding dengan pihak lainnya dalam suatu perjanjian. Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.

Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih tetap berlaku seperti


(14)

12

apabila ketentuan termaksud tersebut belum diubah atau dibuat yang baru.

Memorandum of understanding berasal dari kata memorandum

dan understanding. Memorandum didefinisikan sebagai a brief written statement outlining the terms of agreement or transaction (sebuah ringkasan pernyataan tertulis yang menguraikan persyaratan sebuah perjanjian atau transaksi), sedangkan understanding adalah an implied agreement resulting from the express terms of another agreement, whether written or oral; atau a valid contract engagement of a somewhat informal character; atau a loose and ambiguous terms, unless it is accompanied by some expression that it is constituted a meeting of the minds of parties upon something respecting which they intended to be bound (sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat) 8. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan pengertian MoU adalah perjanjian pendahuluan yang selanjutnya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara terperinci, karena itu MoU berisikan hal-hal pokok saja.

8

http://defantri.blogspot.com/2009/02/memorandum-ounderstanding.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 26 Maret 2011, pukul 18.26 WIB


(15)

13

Berdasarkan definisi MoU di atas dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam MoU, antara lain:

1. Merupakan perjanjian pendahuluan; 2. Muatan materi berisikan hal-hal pokok;

3. Muatan materi akan dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak.

Berbicara mengenai memorandum of understanding, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Ketentuan yang mangatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III BW, memiliki sifat terbuka yang artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, artinya setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MoU merupakan dan termasuk suatu perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan dalam suatu nota kesepahaman. Pasal 1338 BW menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian jika MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW, maka kedudukan dan berlakunya MoU dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang


(16)

14

mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa, tetapi hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang terdapat dalam MoU. Kedua belah pihak dalam MoU harus melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam klausula-klausula yang terdapat dalam MoU tersebut.

MoU sebagai perjanjian pendahuluan, yang mengikat pihak-pihak dan sebagai suatu kesepakatan yang memuat hal-hal pokok, serta yang harus diikuti oleh perjanjian lain, maka walaupun pengaturan MoU tunduk pada ketentuan perikatan dalam Burgerlijke Wetboek, kekuatan mengikat MoU hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain pula MoU merupakan

gentlement agreement.

Penggunaan istilah MoU harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara teoritis dokumen MoU bukan merupakan dokumen yang mengikat para pihak, dan mengikat secara hukum, harus ditindaklanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU hanya bersifat ikatan moral. Secara praktis MoU disejajarkan dengan perjanjian. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga hukum.

Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman

menjelaskan bahwa kedua pihak secara prinsip sudah memahami dan akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai isi dari MoU tersebut. Sanksi dari tidak dipenuhinya/pengingkaran dari sebuah MoU sifatnya moral dan bukan denda atau hukuman. Hal ini berbeda dengan perjanjian (kontrak) yang merupakan perbuatan hukum yang dibuat antar pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban dan berakibat pada sanksi


(17)

15

bagi pihak yang mengingkari atau lalai dalam melaksanakan perjanjian tersebut.

Persetujuan yang disepakati para pihak baik dalam suatu MoU maupun dalam perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik dan tanpa paksaan dari salah satu pihak, dan apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar oleh salah satu pihak maka perikatan perjanjian menjadi batal demi hukum.

Beberapa hal mendasar mengenai Nota Kesepahaman atau

Memorandum of Understanding (MoU) sebagai berikut, yaitu :

1. Nota kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya, baik dalam suatu negara maupun antar negara untuk melakukan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan untuk jangka waktu tertentu.

2. MoU menjadi dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan dengan memuat hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun secara lisan.

3. MoU merupakan kesepakatan awal/pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam sebuah perjanjian yang pengaturannya lebih rinci (detail), karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.

4. MoU menjadi dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi MoU harus dimasukkan ke dalam perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan ditambah pasal tentang sanksi serta


(18)

16

pilihan hukum pengadilan mana yang akan memeriksa bila terjadi wanprestasi.

B. Tinjauan Teori Tentang Perjanjian

Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Ketentuan yang mangatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III BW. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, yang saling mengikatkan diri serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi. Perikatan tersebut menimbulkan suatu hak dan kewajiban dipihak lain. Jadi, dalam perjanjian timbal-balik dimana hak dan kewajiban disatu pihak saling berhadapan di pihak lain terdapat dua perikatan.

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 BW yang mengatakan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian 2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian 3. Suatu hal tertentu


(19)

17

Kesepakatan mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing sehingga dalam melakukan perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilapan, dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).

Kecakapan maksudnya kecakapan hukum, yaitu para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu 9. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah

perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya.

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan

Suatu sebab yang halal maksudnya perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 BW, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan.

Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya suatu perjanjian yang bersifat subyektif. Apabila tidak

9


(20)

18

tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatal perjanjian maka perjanjian masih tetap berlaku. Sementara itu, suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat sahnya suatu perjanjian yang bersifat obyektif, maksudnya apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula perjanjian tidak dianggap ada.

Pada kenyataannya, banyak perjanjian tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami pergeseran dalam prakteknya.

Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat unsur-unsur perjanjian, yaitu 10:

1. Unsur Esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk dalam MoU. 2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam

perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.

3. Unsur Accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi barang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan

10


(21)

19

Pada suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam asas yang dapat diterapkan, antara lain :

1. Asas Konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat. 2. Asas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para

pihak yang membuat perjanjian.

3. Asas Kekuatan Mengikat, maksudnya para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku.

4. Asas Persamaan Hukum, yaitu setiap orang dalam hal ini para pihak dalam perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum.

5. Asas Keseimbangan, yaitu bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. 6. Asas Moral, adalah sikap moral yang baik harus menjadi

motivasi bagi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian.

7. Asas Kepastian Hukum, adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.

8. Asas Kepatutan, maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan tetapi harus sesuai dengan kepatutan.


(22)

20

9. Asas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi Pasal 1347 BW yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal tersebut merupakan perwujudan dari unsur Naturalia dalam perjanjian.

10. Asas Kebebasan Berkontrak, asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyebutkan Setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas Kebebasan berkontrak dapat di analisis dari ketentuan pasal 1338 BW. Berdasarkan pasal tersebut ada beberapa kebebasan kepada para pihak untuk 11 :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan pihak mana pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan

persyaratannya;

d. Menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis. 11. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi: Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus bisa melaksanakan substansi kontrak

11

Salim HS, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm 9


(23)

21

berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

12. Asas Kepribadian

Asas ini menentukan bahwa seorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1315 dan pasal 1340 BW. Pasal 1315 BW berbunyi Pada umumnya seseorang tidak mengadakan perikatan selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 BW berbunyi, Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.

Suatu perjanjian dalam prakteknya juga dapat berakhir, perjanjian berakhir karena:

1. Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu; 2. Undang-undang menentukan batas berlakunya

undang-undang;

3. Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan dihapus, peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa

(overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 BW. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur disebabkan karena adanya kejadian dilaur kuasanya, misalnya kerena adanya gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:


(24)

22

a. Keadaan memaksa absolut adalah keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh adanya gempa bumi, banjir bandang dan adanya lahar (force majure). Akibat keadaan memaksa absolut adalah:

1) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi sesuai dengan Pasal 1244 BW;

2) Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajiban untuk menyerahakan kontrak prestasi kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 BW.

b. Keadaan memaksa relative adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

4. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak dalam perjanjian yang bersifat semantara, misalnya dalam perjanjian kontrak;


(25)

23

5. Putusan hakim;

6. Tujuan perjanjian telah tercapai;

7. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Apabila dilihat dari sudut pandang hukum Publik, perjanjian menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.

Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian, dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.

Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak, dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak namun juga pihak ketiga.


(26)

24

BAB III

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

DALAM

PERJANJIAN

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian

Perjanjian berdasarkan Pasal 1313 BW adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian dapat menimbulkan perikatan antara pihak-pihak dalam perjanjian. Sementara itu, perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana yang satu pihak (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi.

Lazimnya suatu perjanjian adalah timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya 12.

Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan atau melaksanakan prestasi kepada kreditur. Kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian disebut dengan Schuld. Selain

12

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm 29


(27)

25

Schuld, debitur juga mempunyai kewajiban yang lain yaitu hafting,

maksudnya adalah bahwa debitur itu mempunyai berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh pihak kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut 13.

Setiap kreditur berhak atas prestasi, untuk itu kreditur mempunyai hak menagih prestasi tersebut dari debitur. Di dalam hukum perdata, di samping hak menagih (vorderings-recht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utang, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).

Schuld dan haftung itu dapat dibedakan, tetapi pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok dari haftung ini terdapat dalam Pasal 1131 BW. Pihak dalam perjanjian terjadi antara dua orang atau lebih, yang mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi. Menurut Pasal 1234 BW prestasi itu dibedakan atas:

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu.

Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Harus diperkenakan,artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1335 dan 1337 BW;

13

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hlm. 9


(28)

26

2. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas sesuai dengan Pasal 1320 ayat 3 dan 1333 BW;

3. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia.

Pada umumnya seorang debitur mempunyai unsur schuld ataupun

haftung sekaligus, akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak selalu melakat unsur tersebut pada dirinya. Keberadaan schuld dan/atau haftung pada seorang debitur, berbagai kemungkinan dapat terjadi, yaitu sebagai berikut 14 :

1. Schuld dan haftung

Sepertu telah disebutkan bahwa pada umumnya, setiap debitur pada suatu kontrak atau perjanjian terdapat baik unsur schuld

maupun unsur haftung sekaligus. Dengan demikian pada si debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasinya (schuld), tetapi dia juga mempunyai tanggung jawab yuridis sehingga hukum dapat memaksakannya untuk melaksanakan prestasinya, misalnya dengan melelang barang-barang yang dimilikinya, baik lewat Pasal 1331 BW, ataupun kerena perbuatan hukum lain, misalnya adanya ikatan jaminan hutang.

2. Schuld tanpa haftung

Adakalanya bagi debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasinya, tetapi bila dia lalai dalam memenuhi prestasinya, maka hukum tidak dapat memaksanya. Dengan

14

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Padang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung, 2007, hlm 25


(29)

27

demikian pada debitur terdapat schuld tetapi tidak ada haftung.

Contoh schuld dan haftung ini adalah ikatan yang timbul dari perikatan wajar (naturlijke verbintennis). Dalam hal ini debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar hutangnya karena tidak ada haftung. Akan tetepi jika hutang sudah dibayar, dia tidak dapat meminta kembali pembayarannya itu karena ada haftung. 3. Haftung tanpa schuld

Dapat juga terjadi terhadap debitur tertentu tidak terdapat kewajiban untuk melaksanakan prestasi (jika tidak ada schuld), tetapi terdapat tanggung jawab hukum jika hutang tidak dibayar (haftung) berupa pelelangan harta bendanya. Dalam hal ini dikatakan bahwa terhadap debitur tersebut tidak terdapat

schuld tetapi tidak ada haftung. Akan tetapi yang jelas, tidak mungkin ada haftung tanpa schuld sama sekali, yang ada hanyalah ada haftung tanpa schuld pada satu orang, tetapi

schuldnya berbeda pada orang lain. 4. Haftung dengan schuld pada orang lain 5. Schuld dengan haftung terbatas

Dalam hal ini pada seseorang debitur terdapat schuld.

Disamping itu kepada dia dibebankan juga haftung secara terbatas. Misalnya ahli waris yang mempunyai kewajiban pendaftaran, berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris tetapi hanya sebatas hartanya pewaris yang sudah diwariskan tersebut.


(30)

28

Pada dasarnya wanprestasi secara umum adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seseorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila debitur dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sepatutnya.

Tindakan debitur yang melaksanakan kewajiban dengan tidak tepat waktu atau tidak sepatutnya jelas merupakan pelanggaran bagi hak kreditur. Wanprestasi sebagai suatu perbuatan yang dapat merugikan kreditur, dapat hilang dengan alasan adanya sesuatu keadaan memaksa/overmacht. Suatu keadaan dalam suatu perjanjian dikatakan sebagai keadaan memaksa apabila keadaan tersebut benar-benar tidak dapat diperkirakan oleh si debitur. Namun, debitur harus membuktikan akan adanya keadaan memaksa di luar perhitungan atau kemampuannya

15

. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak

sebagaimana dijanjikan

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Seorang baru dikatakan wanprestasi apabila dia telah memperoleh pernyataan lalai berupa surat teguran (somasi) dari pihak kreditur. Hal ini merupakan perwujudan itikad baik kreditur untuk

15

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet III, Putra Abadin, Bandung, 1999, hlm. 17


(31)

29

menyelesaikan masalah tanpa harus melalui pengadilan. Apabila somasi ini tidak dipedulikan oleh debitur, maka kreditur berhak membawa persoalan ini ke pengadilan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensin terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka kreditur dapat memilih di antara beberapa kemungkinan tuntutan, sebagaimana disebutkan Pasal 1267 BW yaitu:

1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian. 2. Dapat menuntut pemunuhan perjanjian

3. Dapat menuntut penggantian kerugian

4. Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian 5. Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian, ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian, sedangkan kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atau kelalaian, karena pemenuhan perjanjian merupakan kesanggupan debitur untuk melaksanakanya. Mengenai hal terjadinya wanprestasi, suatu perjanjian dapat terus berjalan, tetapi kreditur juga berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan pelaksanaan prestasi disebabkan kreditur seharusnya akan mendapatkan keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.


(32)

30

Tidak setiap kerugian yang diderita oleh kreditur harus diganti oleh debitur. Undang-undang dalam Pasal 1246 BW menyatakan bahwa debitur hanya wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang memenuhi dua syarat yaitu:

1. Kerugian yang dapat diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perjanjian dibuat;

2. Kerugian yang merupakan akibat langsung dana serta merta daripada ingkar janji.

Berdasarkan hal di atas, maka tujuan dari gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi. Ganti rugi dalam gugatan wanprestasi adalah sejumlah kehilangan keuntungan yang diharapkan atau dikenal dengan

expectation loss. Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum perjanjian tidak begitu membedakan apakah suatu perjanjian tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu, kecuali tidak dilaksanakan perjanjian tersebut karena alasan

force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak

memenuhi prestasi.

Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan di mana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya kerena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak atau perjanjian, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur,


(33)

31

sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. Pasal 1244 BW menyatakan bahwa :

Jika ada alasan untuk itu,si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu,disebabkan karena suatu hal tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure

tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para pihak. Dengan demikian, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar dari para pihak ketika perjanjian tersebut dibuat.

Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum perjanjian walaupun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah melaksanakan perjanjian secara material. Dengan demikian, apabila debitur telah melaksanakan substansial performance terhadap perjanjian yang bersangkutan, maka tidak berlaku lagi doktrin exception non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.


(34)

32

B. Manfaat Memorandum of Understanding dalam Perjanjian

Pada prinsipnya, setiap memorandum of understanding yang dibuat oleh para pihak mempunyai tujuan tertentu. Memorandum of

understanding yang merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang

hanya berisi dengan hal-hal yang berkaitan yang sangat prinsip. Substansi MoU ini nantinya yang akan menjadi substansi kontrak yang akan dibuat secara lengkap dan detail oleh para pihak.

Manfaat kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sedangkan fungsi ekonomisnya adalah menggerakan hak milik sumber daya dari nilai penggunaan yang rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.

Kontrak adalah dokumen hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari para pihak yang membuatnya. Apabila terjadi perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian di antara para pihak, dokumen hukum itu akan dirujuk untuk penyelesaian perselisihan itu. Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan mudah melalui perundingan di antara para pihak sendiri karena memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit mereka menyelesaikan melalui proses litigasi di pengadilan. Isi kontrak itu yang akan dijadikan dasar oleh hakim untuk menyelesaikan pertikaian itu.

Kontrak juga berfungsi sebagai dokumen pendahuluan untuk mengamankan transaksi bisnis antara para pembisnis yang terikat pada kontrak tersebut. Suatu kontrak dalam bisnis sangatlah penting, karena pada kontrak memuat hal-hal sebagai berikut:


(35)

33

1. Perikatan apa yang dilakukan, kapan, dan dimana kontrak tersebut dilakukan;

2. Siapa saja yang saling mengikatkan diri dalam kontrak tersebut:

3. Hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak; 4. Syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;

5. Cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi perselisihan antara para pihak;

6. Kapan berakhirnya kontrak atau hal-hal apa saja yang mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa fungsi utama kontrak adalah fungsi yuridis. Fungsi yuridis kontrak adalah:

1. Mengatur hak dan kewajiban para pihak;

2. Sebagai alat kontrol bagi para pihak, apakah masing-masing pihak telah menunaikan kewajiban atau prestasinya atau belum ataukah bahkan telah melakukan wanprestasi;

3. Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila dikemudian hari terjadi perselisihan diantara para pihak, termasuk juga apabila ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan suatu kontrak dan mengharuskan kedua belah pihak untuk membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan kontrak yang dimaksud;


(36)

34

5. Mengatur tentang pola penyelesaian sengketa yang timbul antara kedua belah pihak.

Pada dasarnya, para pihak dalam suatu kontrak bebas mengatur sendiri kontrak tersebut sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 ayat 1 BW tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Bagian-bagian kontrak yang diatur dalam undang-undang pada umumnya terdiri dari:

1. Bagian kontrak esensial

Bagian kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak tersebut, yang mana tanpa bagian tersebut suatu kontrak dianggap tidak pernah ada. Misalnya bagian harga dalam kontrak jual beli;

2. Bagian kontrak natural

Bagian kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya aturan yang bersifat mengatur saja.

3. Bagian kontrak aksidential

Bagian ini adalah bagian dari kontrak yang sama sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Untuk bagian-bagian dari kontrak yang tidak secara tegas-tegas diatur dalam undang-undang, berlaku teori-teori hukum sebagai berikut:


(37)

35

Teori ini mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak yang terdapat beberapa unsur kontrak bernama seperti yang diatur dalam undang-undang, maka untuk masing-masing bagian kontrak tersebut diterapkan peraturan hukum yang relevan. Menurut teori ini, suatu kontrak haruslah dipilah-pilah terlebih dahulu, untuk dapat dilihat aturan hukum mana yang mestinya diterapkkan.

2. Teori absorbsi

Menurut teori ini, untuk suatu kontrak yang mengandung beberapa unsur kontrak bernama seperti diatur dalam undang-undang, maka harus dilihat unsur kontrak bernama yang mana yang paling menonjol, kemudian baru diterapkan ketentuan hukum yang mengatur kontrak bernama tersebut.

3. Teori sui generis

Menurut teori ini,terhadap kontrak yang mengandung berbagai unsur kontrak bernama yang harus diterapkan adalah ketentuan dari kontrak campuran yang bersangkutan.

Pentingnya suatu kontrak dalam suatu transaksi bisnis yang dapat dijadikan barang bukti bagi para pihak, maka dalam pembuatan kontrak bisnis diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu sehingga kontrak bisnis tersebut tetap berada dalam koridor hukum dan tidak melanggar perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dalam praktik di Indonesia dan juga negara yang menganut civil law, proses pembuatan kontrak sering kali melibatkan notaris.


(38)

36

Bentuk kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kontrak tertulis dan kontrak lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan dan ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian tertulis yang dalam bentuk akta ada dua bentuk, yaitu akta dibawah tangan dan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak pada hari dan tanggal yang disebut dalam akta dan tanda tangan tersebut bukan dihadapan notaris atau pejabat berwenang. Namun, ada akta dibawah tangan yang dibukukan oleh notaris, maksudnya adalah notaris menjamin akta tersebut memang benar telah ada pada hari dan tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh notaris, sedangkan akta autentik adalah perjanjian yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah Notaris, Camat, PPAT dan lain-lain. Adapun perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan cukup dengan kesepakatan para pihak.

Ada beberapa sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikuti suatu kontrak dan saat peralihan hak milik, berbeda-beda dari sistem hukum yang ada, yang terpadu dalam 3 (tiga) teori sebagai berikut:

1. Kontrak bersifat obligator

Suatu kontrak mengikat para pihak apabila sudah sah, tetapi baru menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Pada hal tersebut hak milik belum berpindah kepada pihak lain, untuk dapat memindahkan hak milik tersebut diperlukan


(39)

37

kontrak lain yang disebut kontrak kebendaan (zakelijke overseenkomst).

2. Kontrak bersifat riil

Menurut teori ini bahwa suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara riil, artinya kontrak tersebut baru mengikat jika telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Menurut teori ini kata sepakat saja belum mempunyai kekuatan hukum.

3. Kontrak bersifat final

Teori yang mengaggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak sudah mengikat dan hak milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak khusus untuk levering (kontrak kebendaan).

Burgerlijke Wetboek (BW) tidak menyebutkan secara jelas tentang pembuatan terjadinya kontrak. Pasal 1320 BW menyebutkan cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima pernawaran itu. Memorandum of understanding (MoU) yang dibuat oleh para pihak, mempunyai tujuan tertentu. Tujuan MoU adalah sebagai berikut :

1. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement

nantinya, dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dalam arti belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama


(40)

38

tersebut akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah memorandum of understanding yang mudah dibatalkan;

2. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatangani kontrak tersebut, dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu;

3. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga sementara dibuatlah MoU;

4. Memorandum of Understanding dibuat dan ditandatangani

oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasikan khusus oleh staf-staf yang lebih rendah tetapi lebih menguasai secara teknis.

Pada setiap MoU juga dicantumkan tentang jangka waktunya. Jangka waktu berlakunya MoU adalah berkaitan dengan lamanya kerja sama itu dilakukan. Memorandum of understanding tidak hanya dibuat oleh badan hukum privat saja, tetapi juga oleh badan hukum publik. MoU dapat dibagi berdasarkan negara yang membuatnya dan kehendak para pihak. MoU menurut negara yang membuatnya merupakan MoU yang dibuat antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. MoU yang dibuat menurut negaranya dibedakan menjadi :


(41)

39

1. Memorandum of understanding yang bersifat nasional

Memorandum of understanding ini merupakan MoU yang

kedua belah pihaknya adalah warga negara atau badan hukum dalam satu negara (nasional).

2. Memorandum of understanding yang bersifat internasional

Memorandum of understanding yang bersifat internasional merupakan nota kesepahaman yang dibuat antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, antara badan hukum suatu negara dengan badan hukum negara lain. Memorandum of understanding yang bersifat internasional yang dibuat antara dua negara atau lebih termasuk dalam kategori perjanjian internasional sehingga dalam implementasinya berlaku kaidah-kaidah internasional. Secara internasional, yang menjadi dasar hukum MoU di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 24 tentang Perajanjian Internasional menyebutkan perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik .

MoU yang dibuat menurut kehendak para pihak merupakan MoU yang dibuat berdasarkan persetujuan para pihak pada kekuatan mengikat


(42)

40

dari MoU tersebut. MoU berdasarkan kehendak para pihak dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut 16:

1. Para pihak membuat MoU dengan maksud untuk membina ikatan moral saja di antara para pihak, dan karena itu tidak ada pengikatan secara yuridis di antara mereka. Di dalam MoU ditegaskan bahwa MoU sebenarnya hanya merupakan bukti adanya niat para pihak untuk berunding di kemudian hari untuk membuat suatu kontrak.

2. Para pihak memang ingin mengikatkan diri dalam suatu kontrak, tetapi baru ingin mengatur kesepakatan-kesepakatan yang umum saja, dengan pengertian bahwa hal yang mendetail akan diatur kemudian dalam kontar yang lengkap. Pada MoU juga harus dibuat pernyataan tegas bahwa dengan ditandatangani MoU oleh para pihak, maka para pihak telah mengikatkan diri untuk mengatur transaksi mereka dikemudian hari.

3. Para pihak memang berniat untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu kontrak, tapi hal itu belum dapat dipastikan, mengingat adanya keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi tertentu yang belum dapat dipastikan. Dalam MoU seperti ini, harus dirumuskan klausul condition precedent atau kondisi tertentu yang harus terjadi di kemudian hari sebelum para pihak terikat satu sama lain.

16

Salim HS, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 51.


(43)

41

Berdasarkan jenis-jenis MoU di atas, perbedaan yang paling mendasar adalah berdasarkan pemberlakuan dalam suatu negara, baik yang bersifat nasional maupun internasional, karena telah mencakup MoU dari aspek kehendaknya.

Ciri utama dari memorandum of understanding adalah sebagai dasar untuk pembuatan kontrak pada masa yang akan datang, isinya singkat dan jangka waktunya tertentu. Ciri-ciri MoU secara umum, antara lain:

1. Isinya ringkas, bahkan sering sekali satu halaman saja; 2. Berisikan hal yang pokok saja;

3. Bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci;

4. Mempunyai jangka waktunya, apabila jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian yang lebih rinci, perjanjan tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para pihak;

5. Biasanya dibuat dalam perjanjian di bawah tangan; dan

6. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah penandatanganan MoU, karena dengan alasan barangkali kedua belah pihak mempunyai rintangan untuk membuat dan menandatangani perjanjian yang detail tersebut.


(44)

42

Contoh Memorandum of understanding

NOTA KESEPAHAMAN KERJASAMA

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

dengan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

Nomor: 20/KS-KY/VIII/2006

Nomor: 1445/J18.H4.FH/TU.03.04/2006

Pada hari ini Kamis tanggal dua puluh empat Agustus dua ribu enam mengambil tempat di Ball Room Hotel Lombok Raya Mataram Jalan Panca Usaha Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang bertanda tangan dibawah ini:

1. M. Busyro Muqoddas, S.H,,M.Hum., Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Komisi Yudisial Republik Indonesia yang berkedudukan di Jalan Abdul Muis Nomor 8 Jakarta Pusat, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 2. H. Zainal Asikin, S.H.,SU., Jabatan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Mataram dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Hukum Universitas Mataram yang berkedudukan di Jalan Majapahit Nomor 62 Mataram Nusa Tenggara Barat, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA selanjutnya disebut PARA PIHAK sepakat untuk mengadakan kerjasama yang berdasarkan pada prinsip


(45)

43

kemitraan dan saling memberikan manfaat dengan ketentuan sebagai berikut.

PASAL 1

TUJUAN

Kerja sama ini bertujuan untuk pengembangan institusi dan peningkatan program kerja lembaga masing-masing.

PASAL 2

LINGKUP KERJA SAMA

Ruang lingkup kerjasama ini meliputi bidang:

1. Penelitian sesuai dengan tema/topik yang disepakati oleh PARA PIHAK.

2. Pertemuan ilmiah untuk kepentingan para pihak.

3. Pertukaran informasi yang dilakukan atas dasar kesepakatan PARA PIHAK.

4. Pendidikan dan pelatihan bagi pegawai atau staf PARA PIHAK. 5. Pembangunan jaringan kerja.

6. Bidang-bidang lain yang dianggap perlu dan disepakati PARA PIHAK.

PASAL 3 PELAKSANAAN

1. Kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum


(46)

44

Of Understanding) ini dan dapat diperpanjang sesuai dengan

kesepakatan PARA PIHAK.

2. Pelaksanaan kerjasama ini akan dievaluasi setiap 6 (enam) bulan sekali.

3. Nota Kesepahaman Kerjasama ini akan ditindaklanjuti PARA PIHAK dengan menerbitkan perjanjian/kontrak kerjasama guna menentukan pelaksanaan program kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 di atas.

4. Pembiayaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kerjasama ini akan diatur dalam perjanjian/kontrak kerjasama yang akan ditentukan berdasarkan anggaran dan kemampuan PARA PIHAK. Untuk maksud tersebut PARA PIHAK setuju akan membentuk tim pelaksana yang terdiri dari perwakilan PARA PIHAK.

5. Semua perbedaan pendapat dan/atau sengketa yang timbul dalam pelaksanaan kerjasama ini akan diselesaikan oleh PARA PIHAK secara musyawarah.

PASAL 4 PENUTUP

1. Setiap perubahan dan hal ini yang belum diatur dalam Nota Kesepahaman Kerjasama ini akan diatur lebih lanjut secara tertulis dan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat PARA PIHAK yang akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Nota Kesepahaman Kerjasama ini.


(47)

45

2. Nota Kesepahaman Kerjasama ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) di atas kertas bermeterai cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-masing satu rangkap untuk PARA PIHAK.

Demikian Nota Kesepahaman Kerja Sama ini dibuat dan ditandatangani olah PARA PIHAK dengan itikad baik serta penuh rasa tanggung jawab.

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA

M. Busyro Muqqodas, S.H., M.Hum H. Zaenal Asikin, S.H.,SU

Berdasarkan subtasnsi MoU tersebut, maka dapat merumuskan struktur MoU. Struktur memorandum of understanding tersebut, antara lain:

1. Titel dari memorandum of understanding;

Title memorandum of understanding merupakan judul dari nota kesepahaman yang dibuat oleh para pihak. Judul antara

memorandum of understanding yang satu dengan

memorandum of understanding yang lain tidaklah sama. Hal ini tergantung pada subyek yang akan menandatangani

memorandum of understanding tersebut. Judul dari

memorandum of understanding harus singkat dan padat dan judul mencerminkan kesepakatan para pihak. Berdasarkan nota kesepahaman diatas judul yang dibuat adalah Nota


(48)

46

Kesepahaman Kerjasama Komisi Yudisial Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram.

2. Pembukaan memorandum of understanding;

Bagian pembukaan lazim disebut dengan opening of

memorandum of understanding. Pembukaan MoU merupakan

bagian awal dari nota kesepahaman yang dibuat oleh para pihak. Pembukaan pada contoh MoU diatas adalah Pada hari ini Kamis tanggal dua puluh empat Agustus dua ribu enam mengambil tempat di Ball Room Hotel Lombok Raya Mataram Jalan Panca Usaha Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang bertanda tangan dibawah ini.

3. Para pihak dalam memorandum of understanding;

Para pihak merupakan orang atau badan hukum yang membuat dan menandatangani MoU. Para pihak yang membuat dan menandatangani MoU diatas adalah M. Busyro Muqoddas, S.H,,M.Hum., Ketua Komisi Yudisaial Republik Indonesia, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Komisi Yudisial Republik Indonesia dan H. Zainal Asikin, S.H.,SU., Jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Fakultas Hukum Universitas Mataram.

4. Isi atau substansi kesepakatan yang dibuat oleh para pihak; Substansi merupakan isi atau hal-hal yang diinginkan oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam MoU. Substansi dari nota kesepahaman diatas adalah :


(49)

47

a. Kerja sama ini bertujuan untuk pengembangan institusi dan peningkatan program kerja lembaga masing-masing. b. Penelitian sesuai dengan tema/topik yang disepakati oleh

PARA PIHAK.

c. Pertemuan ilmiah untuk kepentingan para pihak.

d. Pertukaran informasi yang dilakukan atas dasar kesepakatan PARA PIHAK.

e. Pendidikan dan pelatihan bagi pegawai atau staf PARA PIHAK.

f. Pembangunan jaringan kerja.

g. Bidang-bidang lain yang dianggap perlu dan disepakati PARA PIHAK.

5. Penutup;

Bagian penutup merupakan bagian akhir dari MoU. Bagian penutup pada nota kesepahaman diatas adalah Demikian Nota Kesepahaman Kerja Sama ini dibuat dan ditandatangani olah PARA PIHAK dengan itikad baik serta penuh rasa tanggung jawab.

6. Tanda tangan para pihak.

Bagian tanda tangan berisikan nama yang dituliskan secara jelas dengan tanda tangan para pihak yaitu pihak pertama dengan pihak kedua.


(50)

48

BAB IV

KEKUATAN HUKUM

MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III

BURGERLIJKE WETBOEK

A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke Wetboek

Subtansi dari memorandum of understanding (MoU) berisi kesepakatan para pihak untuk melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi, pendidikan, pasar modal dan lain sebagainya. Apabila antara para pihak telah sepakat dengan persesuaian pernyataan kehendak maka MoU tersebut dapat dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. MoU tersebut telah mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan, artinya MoU tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang telah menandatangani nota kesepahaman itu. MoU mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, karena MoU itu dibuat oleh para pihak yang telah menyetujui klausula-klausula yang ada di dalam MoU tersebut.

Berdasarkan Pasal 1313 BW yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dengan demikian para pihak yang telah sepakat dengan MoU telah mengikatkan dirinya terhadap pihak lain, dan harus menjalankan isi dari MoU. Kesepakatan tersebut mengandung


(51)

49

makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing.

Asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW menjadi dasar untuk membuat MoU, mengadakan perjanjian pendahuluan dengan pihak mana pun, menentukan isi MoU, pelaksanaan MoU, persyaratan MoU dan menentukan bentuk dari MoU yaitu secara tertulis. Pasal 1338 ayat (1) BW, menyebutkan setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Para pihak dalam MoU harus mempunyai kecakapan maksudnya kecakapan hukum, yaitu para pihak yang melakukan kesepakatan dalam MoU harus telah dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu perbuatan perundang-undang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Suatu MoU yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh sesuai dengan asas pacta sunt servanda (janji itu mengikat para pihak).

Pasal 1338 ayat (3) BW yang menegaskan bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, dalam pembuatan MoU pihak-pihak harus mempunyai itikad baik dan harus melaksanakan substansi MoU berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh dan kemauan baik dari para pihak. Memorandum of understanding juga harus dibuat dengan sebab yang halal, Pasal 1335 BW menyebutkan suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Suatu MoU yang dibuat oleh para pihak harus dengan sebab yang halal yang mecerminkan sikap moral


(52)

50

baik harus menjadi motivasi bagi para pihak yang membuat dan melaksanakan isi perjanjian.

Memorandum of understanding merupakan suatu bukti awal telah

terjadinya atau tercapainya saling pengertian masalah-masalah pokok yang harus ditindaklanjuti dengan perjanjian. Kesepakatan dalam MoU bersifat ikatan moral dan juga ikatan hukum apabila ditindaklanjuti dengan perjanjian. MoU mengatur hal-hal pokok saja, maka mengikatnya pun hanya terhadap hal-hal yang pokok tersebut dan berlakunya menurut jangka waktu tertentu sesuai dengan klausula dalam MoU tersebut. Para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian yang lebih rinci dari memorandum of understanding, tetapi selama jangka waktu masih berlangsung para pihak tidak dapat membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain. MoU yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan jangka waktu berlakunya kerjasama itu dilakukan. Jangka waktu berlakunya MoU tergantung kesepakatan para pihak, dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang. Apabila jangka waktu MoU telah habis, maka MoU tersebut telah berakhir dan kekuatan mengikatnya pun telah hilang pada diri para pihak.

Berdasarkan Pasal 1338 BW, menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. MoU merupakan nota kesepakatan dan termasuk perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan untuk itu. Dengan demikian MoU yang dibuat 2 (dua) belah pihak akan mengikat kedua belah pihak tersebut, kedua belah pihak tersebut harus mematuhi semua ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dinyatakan dalam


(53)

51

klausula-klausula yang terdapat dalam MoU tersebut dan telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW, maka kedudukan dan berlakunya MoU dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai mengikat dan memaksa, tetapi hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang terdapat dalam MoU.

Memorandum of understanding pada praktiknya jarang dibuat secara akta notaris, yang dapat dijadikan akta otentik bagi para pihak, tetapi MoU secara hukum merupakan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat seperti layaknya suatu perjanjian sehingga seluruh ketentuan tentang perjanjian telah dapat diterapkan kepada para pihak. Dengan demikian apabila salah satu pihak dalam MoU tersebut tidak melaksanakan substansi memorandum of understanding, maka salah satu pihak dapat membawa persoalan itu ke pengadilan, dan pengadilan dapat memerintahkan salah satu pihak untuk melaksanakan substansi

memorandum of understanding secara konsisten.

Memorandum of understanding dapat dijadikan alat bukti dalam peradilan, karena MoU mempunyai sifat pembuktian formal dan materiil. Sifat pembuktian tersebut adalah:

1. Kekuatan pembuktian formal

MoU itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan dilaksanakan, dalam arti formal terjamin :

a. Kebenaran tanggal MoU tersebut;

b. Kebenaran yang terdapat dalam MoU tersebut; c. Kebenaran identitas dari orang-orang yang hadir; dan


(54)

52

d. Kebenaran tempat di mana MoU dibuat. 2. Kekuatan pembuktian materiil

Isi dari MoU dianggap sebagai yang benar terhadap setiap orang. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, Pasal 1871 dan Pasal 1875 BW. Isi keterangan yang termuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar di antara para pihak.

Kekuatan hukum MoU dengan perjanjian adalah sama, karena MoU dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang akan mengikatkan dirinya pada isi memorandum of understanding, dan dibuat dengan memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.

B. Akibat Hukum yang timbul Apabila Ada Salah Satu Pihak Melakukan Wanprestasi terhadap Klausula Memorandum Of Understanding

Para pihak dalam suatu perjanjian telah mengikatkan dirinya pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku, dan para pihak pun wajib saling percaya akan kerjasama yang diperjanjikan tersebut.

Memorandum of understanding (MoU)dibuat sebagai nota kesepahaman

antara para pihak yang mempunyai asas kepastian hukum yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, dan para pihak harus bisa melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.


(1)

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III

BURGERLIJKE WETBOEK (BW)

ENFORCEABLE LEGAL OF MEMORANDUM OF

UNDERSTANDING IN ACONTRACT BASED ON BOOK III

BURGERLIJKE WETBOEK (BW)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada Program Strata-1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh : ALI FAOZI 3.16.07.011

Dibawah Bimbingan : HETTY HASSANAH, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM


(2)

58

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni. Bandung. 2005

_______________________ Kompilasi Hukum Perikatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001

Munir Fuady. Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). PT. Citra Aditya. Bandung. 2007

Otje Salman S. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. PT. Refika Aditama. Bandung. 2005

Purwosutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia. Djambatan. Jakarta. 2007

R. Setiawan. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Putra Abadin. Bandung. 1999 R. Subekti. Aneka Perjanjian. Alumni. Bandung. 1985

_________ Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta. 2001

Riduan Syahrani. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Alumni. Bandung. 2004

Salim HS. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Sinar Grafika. Jakarta. 2007

________ Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Sinar Grafika. Jakarta. 2003

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Burgerlijke Wetboek

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional

WEBSITE

http://defantri.blogspot.com http://definitions.uslegal.com http://hukumonline.com


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ALI FAOZI

JL.PAMOYANAN NO.15A/66 BANDUNG PHONE : 085659599633

E-mail : incredible09_faozie@yahoo.com

IDENTITAS

Nama : Ali Faozi

Tanggal Lahir : 22 September 1988 Tempat Lahir : Brebes

Telephon : 085722250408 Agama : Islam

Alamat : Jl. Pamoyanan No.15A/66 BANDUNG E-mail : incredible09_faozie@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1. SDN Pakujati 02 1994 - 2001 2. SLTPN 1 Bumiayu 2001 - 2004 3. SMA Islam Bumiayu 2004 - 2007 4. Universitas Komputer Indonesia 2007 Now

PENDIDIKAN NON FORMAL

SAINS REMON ( Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris Dan Komputer ) MS.WORD and EXCEL.


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kuasa dan karunia-Nya, Penulis telah berhasil menyelesaikan Skripsi ini setelah melewati banyak kesulitan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Adapun judul Skripsi tersebut adalah KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK (BW)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dorongan semua pihak dalam penyusunan Skripsi ini, penulis tidak akan dapat mewujudkan tugas ini seperti sekarang. Penulis juga menyadari pula bahwa isi maupun sistematika pembahasa Skripsi ini, tidak luput dari kekurangan-kekurangan akibat keterbatasan kemampuan serta pengalaman dari penulis sendiri.

Pada proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Skripsi ini, selain itu juga dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;


(5)

iv

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., Ak., selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M. A., selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Dra. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Bapak Budi Fitriadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., selaku Dosen Wali angkatan 2007 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 10. Yth. Bapak Dr. Asep Iwan Irawan, S.H., M.Hum., selaku Dosen

Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., S.E., M.M., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

12. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;


(6)

v

14. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

Penulis juga memberikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalam ny kepada Kakak-kakak ku yang telah menyayangi ku, membesarkanku dan membinaku memberikan dukungan moral maupun materiil, NennNie yang telah setia menemaniku dan mendukungku. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu namanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman.

Bandung, Juli 2011