Kedudukan Dan Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Ditinjau Dari Segi Hukum Perikatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM
MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU
DARI SEGI HUKUM PERIKATAN DALAM KITAB
UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
KARTIKA APRILIA SIRAIT
NIM : 060200294
Departemen : Hukum Keperdataan Program : Kekhususan Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan dalam bentuk skripsi ini dapat juga terselesaikan oleh penulis.
Skripsi penulis ini berjudul : “KEDUDUKAN DAN KEKUATAN
HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERIKATAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dengan dapat menyelesaikan sebaik – baiknya, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih ada kekurangan dan masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat berbangga hati menerima masukan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Dengan selesainya tulisan ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Hasim Purba, S.H, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.
(3)
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing II dan sebagai Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Civitas Akademi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orangtua saya Drs. R. Sirait dan R. Br. Nadeak, S.Pd, M.Pd yang selaku mendidik, memberi nasihat dan dorongan yang berarti untuk menjadikan saya orang yang berguna.
7. Kakanda Sanly Novita Sirait, S.E, S.H dan adinda Trinita Yulinda Sirait yang telah mendukung pendidikan hingga selesainya pendidikan saya.
8. Teman – teman seperjuangan yang telah mendukung pendidikan hingga selesainya pendidikan saya.
Akhir kata penulis berharap apa yang telah penulis sajikan dalam skripsi ini dapat memenuhi fungsinya dan bermanfaat bagi pembaca yang ingin memperdalam ilmunya terutama di bidang hukum keperdataan.
Medan, September 2011
Penulis,
(4)
ABSTRAKSI
KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERIKATAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA OLEH :
KARTIKA APRILLIA SIRAIT NPM : 060 200 294
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Penelitian yang berjudul “Kedudukan dan Kekuatan Hukum
Memorandum Of Understanding Ditinjau dari Segi Hukum Perikatan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Kontrak” yang bertujuan antara lain :
pertama untuk mengetahui pengaturan dan doktrin-doktirn mengenai hukum perdata, kedua untuk mengetahui kedudukan hukum dari M.O.U ditinjau dari hukum perdata. Ketiga untuk mengetahui akibat jika ada salah satu pihak atau debitur melakukan pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam M.O.U. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum secara yuridis normatif dengan tahapan yakni yang pertama melakukan pendekatan masalah secara yuridis normatif terhadap data yang diperoleh, yang kedua menggunakan teknik pengumpulan data, yang ketiga analisa bahan hukum dengan metode kualitatif .
(5)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ………..…... 1
B. Perumusan Masalah ………... 13
C. Tujuan Penulisan …...…………..………... 14
D. Manfaat Penulisan ……….………... 14
E. Metode Penelitian ………... 15
F. Sistematika Penulisan ……….. ………... 16
BAB II : PENGATURAN DAN DOKTRIN-DOKTIRN MENGENAI HUKUM KONTRAK ………...…… 18
A. Pengertian Kontrak ..………... 18
B. Doktrin-doktrin Hukum Kontrak ..………... 26
C. Penyusunan Kontrak………... 33
D. Pola Pengaturan Kontrak dalam KUH Perdata …….……….... 36
E. Doktrin Mengenai Wanprestasi Dalam Kontrak………..…... 39
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM KONTRAK ………...… 43
A. Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.U) ……... 43
(6)
BAB IV : AKIBAT JIKA ADA SALAH SATU PIHAK ATAU DEBITUR MELAKUKAN PENGINGKARAN TERHADAP KLAUSUL
KLAUSUL DALAM M.O.U ………... 54
A. Wanprestasi Dalam Kontrak Ditinjau dari Peraturan Perundangan dan Doktrin Hukum Kontrak……….... 54
B. Akibat Bila Terjadi Suatu Pengingkaran Substansi dari M.O.U ………....……... 56
BAB V : PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan………....………... 62
B. Saran………....……. 63
(7)
ABSTRAKSI
KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU DARI SEGI HUKUM PERIKATAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA OLEH :
KARTIKA APRILLIA SIRAIT NPM : 060 200 294
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Penelitian yang berjudul “Kedudukan dan Kekuatan Hukum
Memorandum Of Understanding Ditinjau dari Segi Hukum Perikatan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Kontrak” yang bertujuan antara lain :
pertama untuk mengetahui pengaturan dan doktrin-doktirn mengenai hukum perdata, kedua untuk mengetahui kedudukan hukum dari M.O.U ditinjau dari hukum perdata. Ketiga untuk mengetahui akibat jika ada salah satu pihak atau debitur melakukan pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam M.O.U. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum secara yuridis normatif dengan tahapan yakni yang pertama melakukan pendekatan masalah secara yuridis normatif terhadap data yang diperoleh, yang kedua menggunakan teknik pengumpulan data, yang ketiga analisa bahan hukum dengan metode kualitatif .
(8)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi telah menjadi fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia bisnis. Perekonomian dunia semakin terbuka dan mengarah pada suatu kesatuan global. Lalu lintas barang dan jasa telah melewati batas-batas negara. Barang dan jasa yang diproduksi tidak hanya dikonsumsi oleh negera tersebut, namun sudah dikonsumsi oleh negara-negara lain. Globalisasi telah membuat batas-batas geografis dan teritorial suatu negara menjadi semakin kabur. Globalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi saling tergantung dalam jaringan internasional meliputi transportasi, distribusi, komunikasi, dan ekonomi yang melampaui garis batas teritorial negara. Kegiatan produksi dan konsumsi sudah menjadi suatu “kegiatan bersama” di muka bumi ini.
Globalisasi ekonomi membuat proses produksi dan konsumsi barang dan jasa menjadi suatu “kerja internasional” yang melibatkan banyak negara. Dalam memproduksi barang, suatu negara memerlukan banyak sumberdaya yang diperolehnya dari berbagai negara. Pertimbangan yang dipakai dalam mencari berbagai sumberdaya adalah pertimbangan ekonomis.
Salah satu bentuk globaliasasi ekonomi adalah tumbuhnya bisnis dalam skala global. Dewasa ini, perusahaan-perusahaan berskala multinasional yang memiliki jaringan bisnis global berkembang semakin banyak. Perusahaan-perusahaan seperti IBM, Coca Cola, Philip Morris, Sony, Toyota, General Motor, DHL, UPS, Caltex, adalah beberapa perusahaan yang beroperasi di banyak
(9)
negara. Setelah berhasil mengembangkan bisnis di negara asal, mereka kemudian melebarkan bisnisnya memasuki pasar global.
Pada posisi lain, globalisasi dapat dipandang sebagai ancaman bagi perekonomian suatu negara. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dianggap memiliki daya saing yang lebih kuat dibandingkan perusahaan nasional. Perusahaan multinasional pada umumnya memiliki keunggulan sumberdaya manusia, teknologi, dan modal yang sulit ditandingi perusahaan lokal. Dikhawatirkan ekspansi perusahaan multinasional akan dapat mematikan industri dalam negeri. Kondisi tersebut menimbulkan pro-kontra yang panjang diantara pelaku-pelaku ekonomi.
Para pendukung globalisasi berpendapat bahwa dengan tidak adanya hambatan perdagangan internasional, akan membawa kemakmuran bagi perekonomian dunia. Negara-negara di dunia akan terspesialisasi untuk membuat produk yang paling ekonomis. Negara yang secara ekonomis tidak memungkinkan memproduksi suatu barang dengan murah, tidak perlu memproduksi barang tersebut. Pada akhirnya konsumen dunia yang akan diuntungkan karena memperoleh produk dengan harga yang paling murah.
Globalisasi membawa implikasi timbulnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas dipandang dapat mematikan perusahaan domestik. Banyaknya perusahaan lokal yang pailit akan memnyebabkan bertambahnya pengangguran dan menurunnya daya beli konsumen. Konsumen pun tidak akan mampu membeli barang-barang kebutuhannya. Pada titik ini globalisasi dipandang berdampak negatif.
(10)
dalam mencukupi kebutuhannya sendiri jika negara tersebut mengabaikan sektor luar negeri. Globalisasi ekonomi telah dipandang sebagai fakta yang tidak dapat dihindari oleh semua negara di dunia. Kesiapan negara-negara di dunia dalam menghadapi era globaliasasi akan menentukan “survive” tidaknya ekonomi suatu negara.
Globalisasi adalah suatu proses sosial dan budaya yang dimulai dengan berinteraksinya suatu bangsa dengan bangsa lain. Interaksi sosial buadaya tersebut membawa pengaruh bagi bangsa-bangsa di dunia. Kebudayaan suatu bangsa menyerap berbagai pengaruh kebudayaan lain. Terjadi banyak penyerapan atas unsur-unsur budaya seperti nilai, adat istiadat, kebiasaan, kesenian, dan bahasa dalam suatu kebudayaan. Saat ini fenomena globalisasi mengalami proses percepatan, bangsa-bangsa di dunia saling berinteraksi dan bertukar kebudayaan.
Proses globalisasi mengalami perkembangan yang amat cepat karena adanya dorongan-dorongan sebagai berikut :1
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara global sudah tidak lagi mempertimbangkan faktor geografis dalam bisnisnya. Mereka lebih tertarik
1. Dorongan Pasar
Pasar dunia merupakan pasar yang amat besar. Banyak perusahaan berlomba untuk meperebutkannya. Perusahaan-perusahaan tersebut mengabaikan batas-batas negara dalam operasinya. Banyak anak perusahaan, saluran pemasaran global dan regional didirikan untuk ekspansi pasar. Upaya tersebut didukung strategi pemasaran global untuk memenuhi permintaan pasar global.
2. Dorongan Biaya
1
Basu Swastha, Dr., SE., MBA., Ibnu Sukotjo W., SE., Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern) , Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 12.
(11)
untuk mencari faktor-faktor produksi yang memberikan ongkos yang paling murah. Penguasaan atas sumberdaya yang murah memungkinkan mereka untuk bersaing dalam persaingan global
3. Dorongan Pemerintah
Proses globalisasi semakin cepat dengan adanya perjanjian internasional untuk melakukan liberalisasi perdagangan internasional, seperti GATT, WTO, NAFTA, AFTA, APEC, dan Masyarakat Uni-Eropa, semakin memberikan fasilitas bagi globalisasi. Pemerintah-pemerintah di dunia memiliki kepentingan untuk memajukan perekonomiannya dan berupaya untuk mengikuti trend perdagangan bebas agar perekonomiannya maju dan tidak terkucil.
4. Dorongan Persaingan
Perluasan jaringan global antar industri terkait berlangsung sangat cepat. Persaingan bisnis global dari tahun ke tahun semakin ketat. Perusahaan yang berupaya memasuki bisnis global semakin bertambah banyak. Untuk memenangkan persaingan, beberapa perusahaan mencoba membetuk kerja sama demi mengalahkan pesaingnya, dikenal dengan aliansi startegis.
5. Dorongan Lain
Proses globalisasi tidak akan mengalami percepatan apabila tidak ditunjang teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi dewasa ini membuat komunikasi antarwilayah menjadi lebih cepat, on-line , mudah, luas, dan handal. Perangkat-perangkat komunikasi seperti PC, internet, facsimile machines , handphone , satelit, dan jaringan serat optik, memungkinkan kemudahan arus informasi antar belahan bumi.
(12)
Globalisasi memang membawa kesejahteraan dan pertumbuhan, namun hanya bagi segelintir orang karena sebagian besar dunia ini tetap menderita. Ketika budaya lokal makin hilang akibat gaya hidup global, tiga perempat penghuni Bumi ini harus hidup dengan kurang dari dua dollar sehari. Satu miliar orang harus tidur sembari kelaparan setiap malam. Satu setengah miliar penduduk bola dunia ini tidak bisa mendapatkan segelas air bersih setiap hari. Satu ibu mati saat melahirkan setiap menit (UNDP, 2004).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, diskusi di Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) pada bulan Januari tahun 2008 menempatkan penanganan kemiskinan secara resmi sebagai agenda eksekutif puncak bisnis dunia. Korporasi diminta berperan mengurangi kemiskinan dan mendorong pencapaian sasaran pembangunan milenium (millennium development goals/MDGs) melalui bisnis mereka. Lewat Global Governance Initiative bisnis diyakinkan: Bisnis akan untung jika ikut mendorong pembangunan, khususnya mengatasi kemiskinan. Rupanya ada perubahan pendapat di antara pimpinan puncak bisnis dunia. Mereka kini melihat daerah-daerah miskin di dunia sebagai lahan bisnis.
Dunia bisnis terhenyak mendengarnya. Komunitas bisnis dunia melihat gagasan ini sebagai visi baru reformasi bisnis dan korporasi zaman ini, yaitu memanfaatkan kesempatan untuk mendulang untung dengan menjual produk dan jasa kepada empat miliar orang miskin di dunia sambil meningkatkan kualitas hidup mereka. Menunjuk listrik-isasi di Nikaragua, konstruksi skala kecil di Meksiko, dan yodium-isasi garam di India, bisnis terbukti bisa menangguk untung dengan menjual produk dan jasa kepada mereka yang berpenghasilan rendah,
(13)
sekaligus memperbaiki kualitas hidup mereka. Korporasi transnasional seperti Unilever, Phillips, Hewlett Packard, Dupont, dan Johnson & Johnson juga sudah mengembangkan model dan strategi bisnis baru yang menarget pasar menengah ke bawah.
Kuncinya pada perubahan cara penentuan harga (pricing). Secara konvensional, harga adalah biaya produksi dan distribusi ditambah marjin laba. Strategi baru ini persis kebalikannya. Ketahui dulu berapa kekuatan pembeli untuk membayar, lalu kurangi dengan marjin laba dan baru hitung bagaimana produk bisa diproduksi dan dipasarkan dalam budget itu. Maka, selain konsekuensi teknis produksi dan pemasaran, pasar pun perlu dibangun dan tak bisa hanya sekadar di penetrasi seperti kata buku ekonomi.
Keadaan ekonomi global yang demikian ini tentu akan mempersempit ruang ekspor Indonesia, khususnya ke Amerika, Jepang, dan Singapura yang menyerap sekitar 70 persen dari ekspor nasional. Sementara itu, kekuatan daya beli dalam negeri juga tampak batuk-batuk. Memang ada yang tetap pertumbuhannya positif, seperti Indofood, Unilever; penjualannya yang meningkat terbatas pada barang-barang yang memang benar-benar dibutuhkan sehari-hari seperti sabun dan pasta gigi. Sementara itu, konsumsi rokok selama dua bulan terakhir ini menurun 10 persen. Keadaan ini menunjukkan daya beli yang terbatas di masyarakat semakin dikonsentrasikan untuk kebutuhan sehari-hari yang benar-benar tidak dapat di elakkan.
Daya beli masyarakat domestik yang sudah sangat terbatas ini akan semakin turun dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) yang memang tidak terelakkan. Apalagi mulai tahun depan praktis subsidi BBM akan
(14)
dihilangkan, yang tentu akan menaikkan harga kebutuhan pokok sehari-hari. Akan tetapi dalam kaitan ini, pasar di Timur Tengah tetap potensial untuk digarap. Sebab, meskipun jumlah penduduknya tidak terlalu banyak, daya belinya masih lumayan. Thailand dalam hal ini sudah lebih cepat dari kita dan sedang bernegosiasi dengan negara di Timur Tengah untuk mengadakan perjanjian perdagangan bebas (free trade). Indonesia seharusnya memiliki akses yang lebih besar untuk pasar di Timur Tengah bagi komoditas, seperti kayu lapis, minyak sawit, produk tekstil dan sarung, teh dan kopi serta rempah-rempah.
Perkembangan dunia bisnis di Indonesia dan dunia usaha di mulai semenjak tahun 1967, ketika pemerintah mulai memacu pertumbuhan perekonomian nasional dengan mengeluarkan kebijakan penanaman modal asing melalui diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. sehingga dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut dunia bisnis di Indonesia mengalami suatu masa keemasan, di mana banyaknya para investor asing yang datang ke Indonesia untuk menanamkan modalnya.
Banyaknya pihak asing yang masuk ke Indonesia dalam rangka menjalankan praktek bisnisnya membuat banyaknya perubahan mengenai hal-hal baru yang terjadi di dalam praktek hukum bisnis di Indonesia. Hal ini terjadi pula dalam masalah kontrak bisnis. Para pihak investor asing dalam hal ini banyak menganggap bahwa di Indonesia mengenai masalah kontrak masih merupakan hal yang asing sehingga tidak banyak jenis-jenis variasi atau macam-macam kontrak yang ada di Indonesia.
Fenomena bahwa hukum kontrak dianggap sebagai “keranjang sampah” 2 2
Munir Fuady,Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal. 3.
(15)
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Yang di maksud dengan fenomena hukum kontrak sebagai keranjang sampah adalah banyak hal tentang dan sekitar kontrak tidak diatur baik dalam undang-undang ataupun dalam yurisprudensi. Kalaupun diatur, tidak selamanya bersifat memaksa, dalam arti para pihak dapat mengenyampingkannya dengan aturan yang dibuatnya sendiri oleh para pihak. Pengaturan sendiri oleh para pihak ini dituangkan dalam kontrak tersebut berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam hal ini pengaturan sendiri dalam kontrak tersebut sama kekuatannya dengan ketentuan undang-undang. Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, yurisprudensi dan kepatutan jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan seperti keranjang sampah saja.
Banyak pebisnis tidak menyadari bagaimana pentingnya peran seorang konsultan hukum dalam suatu negosiasi transaksi bisnis. Sehingga, mereka baru datang ke konsultan hukum setelah timbul sengketa. Padahal dalam banyak hal, sengketa tersebut umumnya dapat dielakkan jika saja permulaan proses pembuatan kontrak sudah diikutsertakan konsultan hukum. Keadaan seperti ini sangat sering terjadi dewasa ini. Baik jika terjadi negosiasi antara sesama pebisnis domestik, apalagi jika salah satu pihaknya adalah pihak asing, pihak domestiklah yang perlu ekstra hati-hati. Karena biasanya pihak asing tersebut sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan hukumnya, sehingga kedudukannya dari segi hukum benar-benar aman dan kuat. Umumnya, dalam suatu kontrak, semakin kuat kedudukan salah satu pihak, semakin besar pula ancaman terhadap pihak lainnya.3
3
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra Ditya Bakti Bandung, 1999, (selanjutnya disebut Munir Fuadi II), hal. 1.
(16)
Masalah lemahnya jaminan perlindungan hukum Indonesia terhadap kepentingan bisnis pihak mitra Indonesia merupakan akibat dari lemahnya sistem hukum kontrak yang berlaku di Indonesia di mana banyak hal-hal baru yang tidak diatur dalam sistem hukum di Indonesia terutama mengenai kontrak.
Pihak Indonesia, umumnya memiliki kesempatan sangat kecil untuk menegosiasikan kepentingannya. Transaksi yang berlaku adalah transaksi take it
or leave it, mau menerima atau tidak, dan karena alasan-alasan tertentu, pihak
mitra Indonesia harus mengusahakan perlindungan hukum sendiri, sementara ketentuan hukum nasional belum mengakomodasikan kebutuhan itu.
Sebab-sebab lain yang berpengaruh terhadap lemahnya perlindungan hukum tersebut dikarenakan kurang progresinya Indonesia dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas perlindungan hukum yang disediakan oleh hukum internasional.
Kendatipun kini terdapat perkembangan yang sangat menggembirakan yaitu dengan aktifnya keterlibatan Indonesia dalam pendesainan dan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang bersifat melindungi pelaku bisnis, seperti GATT Anti-Dumping Code, dan beberapa konvensi internasional penting lainnya seperti Convention of the law applicable to international sales of goods (1995) dan penandatanganan WTO Agreement.4
4
Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 1997, hal 39.
Harus disadari bahwa perjanjian-perjanjian itu yang misalnya WTO sebenarnya terbatas, yaitu sebatas transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan dalam kerangka WTO. Dalam hal penyelesaian sengketa, juga ditentukan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa (Disputes
Settlement Body) WTO hanya berurusan dengan sengketa-sengketa yang timbul
(17)
berkaitan dengan perjanjian yang bersifat privat yang dibuat untuk suatu transaksi antar perusahaan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk masalah-masalah yang bersifat privat, yang berkaitan dengan transaksi bisnis internasional, tetap berlaku hukum kontrak. Oleh karena itu, subyek bisnis, tetap mengusahakan perlindungan sendiri melalui kontrak yang dibentuk dari akibat-akibat perilaku curang mitra bisnisnya.5
Rumusan yang berlaku umum adalah semakin banyak detil dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut. Karena kalau
Agar suatu negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk-beluk bisnis disertai dengan konsultan hukum, mereka yang mewakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek bisnisnya, sementara konsultan hukum akan melihat aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada para konsultan hukum sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasinya. Misalnya, kalau negosiasi mengenai kontrak joint venture produksi barang-barang elektronik, maka konsultan hukum tersebut juga harus mengerti tentang bisnis elektronik yang bersangkutan. Tidak perlu mendetail, tetapi cukup dasar-dasarnya saja. Disamping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, seorang konsultan hukum juga harus dituntut untuk bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Bahkan dewasa ini, bagi seorang konsultan hukum yang datang ke meja negosiasi diharapkan pula untuk bisa memakai komputer sendiri, sehingga jalan dan hasil negosiasi dapat lebih cepat dan mulus.
(18)
kepada masalah sekecil-kecilnya sudah disetujui, kemungkinan untuk timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin. Karena itu tidak mengherankan jika dalam dunia bisnis terdapat kontrak yang jumlah halamannya puluhan bahkan ratusan lembar. Hanya saja demi alasan praktis terkadang kontrak sengaja dibuat tipis. Hal ini dilakukan karena yang dilakukan baru hanya ikatan dasar, di mana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara detailnya dibicarakan dikemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam ini sering disebut sebagai Memorandum of Understanding (Selanjutnya disingkat M.O.U).
Sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan M.O.U. M.O.U merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. M.O.U penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah setelah pihak-pihak memperoleh M.O.U sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau
(19)
tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan.6
6
Ibid.
Banyak hal yang melatarbelakangi dibuatnya M.O.U salah satunya adalah karena prospek bisnis suatu usaha dirasa belum jelas benar dan dengan negosiasi yang rumit dan belum ada jalan keluarnya, sehingga dari pada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah M.O.U.
Apa yang namanya M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia. Tetapi dewasa ini sering dipraktekkan dengan meniru (mengadopsi) apa yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan kita memberlakukan M.O.U itu telah ikut memperkaya khasanah pranata hukum di Indonesia ini.
Dengan tidak diaturnya M.O.U di dalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah M.O.U sesuai dengan peraturan hukum positif di Indonesia, atau apakah M.O.U bisa dikategorikan setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah M.O.U merupakan suatu kontrak, mengingat M.O.U hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.
Dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Kedudukan dan Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding Ditinjau dari Segi Hukum Perikatan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.
(20)
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi oleh pelaksanaan peneliti. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada permasalahan hal yang diluar permasalahan.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka akan dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Sejauh mana pengaturan dan doktrin-doktrin mengenai hukum perdata? 2. Bagaimana kedudukan hukum dari M.O.U ditinjau dari hukum perdata ? 3. Akibatnya jika ada salah satu pihak atau debitur melakukan pengingkaran
terhadap klausul-klausul dalam M.O.U ?
Selama ini secara awam dalam dunia bisnis orang hanya mengenal apa yang disebut dengan perjanjian yang pasti terikat dengan ketentuan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi :
Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian yakni orangnya yang menyangkut kehendak dan keadaan diri dari si pembuat perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut sebagai syarat obyektif, karena mengenai obyek atau mengenai isi dari suatu perjanjian.
(21)
Akan tetapi banyak orang memahami bahkan tidak mengetahui tentang keberadaan dari M.O.U dan peranannya dalam dunia bisnis. Banyak orang mengira M.O.U dipersamakan dengan kontrak, akan tetapi tidak sedikit pula yang menganggap M.O.U berbeda dengan kontrak. Oleh karena itu dalam skripsi ini, akan dikaji secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori yang ada untuk mengetahui mengenai kedudukan dan kekuatan hukum dari M.O.U itu sendiri.
C. Tujuan Penulisan
Alasan pemilihan judul ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum dari M.O.U dan untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum dari M.O.U jika ada salah satu pihak melakukan pengingkaran terhadap klausul-klausul yang ada dalam M.O.U.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang hukum kontrak terutama dalam masalah M.O.U di mana penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai kedudukan dan kekuatan hukum dari M.O.U yang merupakan hal baru di negara In donesia yang diharapkan pula dapat berguna bagi peneliti berikutnya, bagi civitas akademika Universitas Sumatera Utara, serta bagi masyarakat yang khususnya berkecimpung di dunia bisnis.
Manfaat secara umum yaitu sebagai syarat-syarat yang telah ditentukan dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam mencapai gelar Sarjana Hukum.
(22)
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Perundang-undangan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis adalah pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangan yang berlaku khususnya tentang segala segi hukum yang mengatur mengenai perjanjian. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang hanyalah menggunakan data sekunder dengan penyusunan kerangka secara konsepsionil.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder. Pengertian dari data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber lain atau dari hasil kepustakaan antara lain buku, dokumen, artikel, serta literatur lainnya yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual. Data sekunder ini kemudian dibagi menjadi 2 (dua) bahan hukum, yakni :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.7
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa doktrin-doktrin atau pendapat-pendapat para sarjana ilmu hukum kontrak.
7
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. V, IND-HILL-CO, Jakarta, 2001, hal. 13.
(23)
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan cara membaca buku-buku dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasannya.
4. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu dipadukan dengan teori-teori yang mendukung dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Pertanggungjawaban sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang di dalamnya menguraikan tentang pendekatan masalah, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data, serta diuraikan pula mengenai pertanggungjawaban sistematika.
Bab II. Pembahasan mengenai bagaimana pengaturan dan teori-teori mengenai hukum kontrak yang berlaku saat ini.
(24)
ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan doktrin-doktrin atau pendapat-pendapat para pakar ilmu hukum kontrak. Bab IV. Pembahasan mengenai bagaimana kekuatan hukum dari M.O.U jika
ada salah satu pihak yang melakukan pengingkaran jika ditinjau dari segi Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Bab V. Penutup. Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama kedua, maupun permasalahan yang ketiga agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum kontrak bisnis.
(25)
BAB II
PENGATURAN DAN DOKTRIN-DOKTRIN MENGENAI
HUKUM KONTRAK
A. Pengertian Kontrak
Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory
agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi,
atau menghilangkan hubungan hukum.8
Ada pula yang memberikan definisi mengenai kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut.9
Definisi lain mengenai kontrak yaitu suatu perjanjian tertulis antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan lain sebagainya, dimana persetujuan tersebut mempunyai sanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu kegiatan.10
Adapun isi dari pasal 1313 KUH Perdata memberikan pengertian kepada kontrak sebagai : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.”
Dalam KUH Perdata tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pengertian kontrak, akan tetapi substansi yang terkandung dalam kontrak adalah suatu perjanjian, jadi secara garis besar pasal 1313 KUH Perdata merupakan salah satu landasan dari hukum kontrak.
8
Munir Fuadi I, Op.Cit., hal. 4.
9
Ibid.
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal. 458.
(26)
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris “Contract” yang berarti perjanjian. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis atau komersil dalam hubumgam hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas11
Inti definisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary bahwa kontrak dilihat sebagai persetujuan para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian
. Jadi dengan kata lain kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak, sedangkan perjanjian dapat saja berarti social agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil. Pengertian kontrak komersil itu sendiri adalah kesepakatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih untuk melakukan transaksi bisnis.
12
Treitel menyatakan definisi kontrak sebagai berikut : “A contract is an
agreement giving rise to obligations which are enforced or recognized by law”
. Persyaratan kontrak biasanya dilengkapi dan dibatasi oleh hukum, dukungan dan pembatasan hukum tersebut berfungsi melindungi pihak yang mengadakan kontrak dan mendefinisikan hubungan khusus diantara mereka seandainya ketentuannya tidak jelas, mendua arti atau bahkan tidak lengkap.
KUH Perdata memberi kebebasan berkontrak kepada pihak–pihak membuat konrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan sama–sama mengikat, asalkan memenuhi syarat–syarat yang diatur dalam pasal 1320 BW. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
13
11
Disertasi, Y. Sogar Simamora, Op. Cit, h 26
12
Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Inominat di Indonesia, cet 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h 16
13
G. H. Treitel, Law of Contract, Sweat Maxwel, London, 1995, hal 1
(27)
Selanjutnya, Charles L. Knapp dan M. Crystal mengartikan Hukum kontrak Law
of Contract is : “ Our society’s legal mechanism for protecting the expectation that arise from the making of agreements for the future exchange of various types of performance, such as the compeyance of property ( tangible and untangible ), the performemance of service, and the payment of money14
Kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasiomal. Fungsinya sangat penting menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji–janji para pihak dapat terlaksana dan terpenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran maka terdapat kompensasi yang harus dibayar. Kontrak dengan demikian merupakan sarana untuk memastikan apa yang hendak dicapai oleh para pihak dapat diwujudkan
.
Definisi di atas kurang lebih mengandung pengertian bahwa kontrak adalah sebuah perjanjian yang mengikat para pihak. Tidak semua perjanjian dapat dikatakan sebagai kontrak, yang membedakan adalah adanya keistimewaan kontrak yang tidak dimiliki oleh semua perjanjian yaitu kewajiban hukum yang bersifat mengikat para pihak. Jika sebuah perjanjian tidak mengandung “perikatan” tersebut, maka perjanjian itu bukan kontrak, Hukum kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat untuk melindungi harapan–harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan dimasa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkutan kekayaan ( yang nyata maupun tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang.
15
14
Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Inominat di Indonesia, cet 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 3
15
Disertasi, Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah..h 26
(28)
setiap orang menginginkan keamanan, sehingga seseorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya16. Selain itu, kontrak mempunyai fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan ( hak milik ) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi17
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing–masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang– undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Hukum kontrak pada dasarnya merupakan payung bagi kontraktan dalam penutupan setiap jenis kontrak
.
18
. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji ( wanprestatie ),
Dengan demikian penulisan ini menggunakan acuan definisi kontrak sebagai kontrak komersil (selanjutnya hanya disebut sebagai kontrak), merupakan hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, untuk saling mengikatkan diri memenuhi hak dan kewajiban para pihak yang telah disepakatinya untuk melakukan transaksi bisnis.
16
Munir Fuady, Hukum Kontrak, dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, buku kesatu ,cet 3 , Citra Aditya Bakti, Bandung. 2002, h 11
17
Salim H. S, Op.Cit, h 35
18
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2, Maret 2003
(29)
1. Subyek Kontrak
Subyek kontrak merupakan pelaksana dari suatu kontrak. Kontrak terjadi disebabkan oleh adanya hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang berada pada posisi berlawanan, dimana satu pihak menjadi pihak “kreditur” dan pihak lainnya sebagai “debitur”. Kreditur adalah pihak yang berhak atas sesuatu ( prestasi ), sedangkan debitur adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu ( prestasi ) tersebut.
Selain itu terdapat pengaturan mengenai kontrak dalam Pasal 1313 BW yang menentukan bahwa : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sehingga suatu pernyataan sepihak saja tidak pernah akan menimbulkan perjanjian, haruslah terdapat subyek hukum dengan subyek hukum lain yang membuat perjanjian.
Sebagai subyek kontrak, kreditur dan debitur mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perjanjian, yaitu satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi dan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan prestasi. Setiap pihak dapat memposisikan dirinya baik sebagai pihak kreditur maupun debitur, tergantung dilihat dari sisi mana. Contoh : dalam kontrak jual beli, jika dilihat dari sisi pengadaan barang, pembeli adalah kreditur yang berhak atas barang yang diperjual belikan dan penjual adalah debitur yang wajib memenuhi pengadaan barang tersebut. Sedangkan jika dilihat dari sisi pembayaran, pembeli adalah debitur yang memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran atas barang dan penjual adalah kreditur yang berhak atas pembayaran tersebut. Kreditur dan debitur terdiri dari:
(30)
1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan, yaitu : a. Natuurlijke person atau manusia tertentu;
b. Recht persoon atau badan hukum.
2. Seorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan / hak orang lain tertentu.
3. Person yang dapat diganti ( verbagbaar ), yaitu berarti kreditur yang
menjadi subyek semula telah ditetapkan dalam perjanjian, sewaktu– waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur atau debitur baru, perjanjian ini berbentuk “aan order” atau perjanjian atas order / atas perintah dan perjanjian “aan toonder” atau perjanjian atas nama atau kepada pemegang / pembawa pada surat – surat tagihan utang.
Dalam mengadakan perjanjian atau kontrak setiap subyek hukum haruslah memenuhi persyaratan–persyaratan tertentu. Misalnya, untuk subyek hukum “natuurlijke person” atau biasa disebut “orang”, kecakapannya diatur dalam Pasal 1320 BW, yaitu harus dewasa dan tidak di bawah pengampuan. Sedangkan untuk subyek hukum “badan hukum” haruslah memenuhi persyaratan formal suatu badan hukum. Badan hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama selayaknya orang, namun dalam pelaksanaannya digerakkan oleh organ badan hukum.
(31)
2. Obyek Kontrak
Obyek perikatan adalah prestasi19
a. Menyerahkan sesuatu, bisa memberikan ( te geven )benda atau memberikan sesuatu untuk dipakai ( genoit /gebruik – pemakaian );
. Prestasi adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi, wujud dari prestasi adalah Pasal 1234 BW :
b. Melakukan sesuatu ( te doen );
c. Tidak melakukan sesuatu ( niet te doen ).
“Memberikan sesuatu” ialah kewajiban seseorang untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Memberi sesuatu dapat diartikan baik penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis, misalnya : pinjam pakai, sewa menyewa20
“Berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi berwujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif, misalnya memotong rumput, membersihkan halaman
.
21
“Tidak berbuat sesuatu” yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan yang menutupi pemandangan atau supaya membiarkan saja orang mengambil air dari sumurnya
.
22
Menurut Purwahid Patrik, untuk sahnya perjanjian diperlikan syarat–syarat .
19
Purwahid Patrik, Patrik, Purwahid, Dasar – dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994. hal.3
20
Ibid
21
Ibid
22
(32)
tertentu mengenai obyek kontrak, yaitu23 1. Obyeknya harus tertentu
:
Dalam Pasal 1320 sub 3 BW, dijelaskan obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
2. Obyeknya harus diperbolehkan
Menurut Pasal 1335 jo 1337 BW, kontrak tidak memiliki kekuatan mengikat jika obyeknya palsu atau mengenai hal–hal yang terlarang. Dikatakan terlarang jika dilarang oleh Undang Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
3. Obyeknya dapat dinilai dengan uang
Sebagaimana definisi yang ditentukan untuk perikatan, yaitu suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
4. Obyeknya harus mungkin ( untuk dilaksanakan )
Pelaksanaan dari obyek kontrak juga harus dimungkinkan, orang tidak dapat mengikatkan diri kalau obyeknya tidak mungkin dilaksanakan dan umum sudah tidak membenarkan hal ini.
Mengenai mungkin tidaknya pelaksanaan prestasi, dibedakan ketidakmungkinan menjadi dua yaitu, ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul perikatan, karena perjanjian tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya melakukan perjalanan Surabaya–Bandung dengan mengendarai sebuah mobil ditempuh hanya dalam waktu 7 jam. Sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perjanjian atau menyebabkan perjanjian batal,
23
(33)
karena hanya anggapan debitur yang bersangkutan.
B. Doktrin-Doktrin Hukum Kontrak
Sumber hukum merupakan segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan-aturan-aturan yang kalau dilanggar akan menimbulkan sanksi yang nyata dan tegas.
Adapun sumber hukum formal yang berlaku dalam hukum positif indonesia adalah : 24
a. Undang-undang (Statue) b. Kebiasaan (Custom)
c. Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudentie) d. Traktat (Treaty)
e. Pendapat Ahli Hukum (dotrin)
Pengertian dari doktrin sendiri adalah pendapat atau teori-teori dari para ahli hukum. Kedudukan doktrin sendiri dalam prakteknya sangatlah penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan hukum oleh hakim. Dalam mengambil keputusan, hakim seringkali mengutip pendapat atau teori dari seorang atau beberapa orang ahli hukum mengenai kasus yang dihadapinya, apalagi jika ahli hukum tersebut juga menyatakan mengenai bagaiaman penyelesaian suatu kasus sampai dengan selesai. Jadi dengan kata lain kedudukan doktrin merupakan sebuah sumber hukum yang sangat berpengaruh bagi keputusan-keputusan hakim selain undang-undang.25
Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal berbagai doktrin atau teori, yang masing-masing mencoba menjelaskan berbagai segmen dari kontrak
24
Cst. Kansil dan Christine Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hal. 19
25
(34)
bersangkutan.
Berikut ini dikenal beberapa teori hukum kontrak sesuai dengan kelompoknya masing-masing dengan memakai kriteria tertentu, yaitu sebagai berikut :26
1. Teori-teori dasar yang klasik.
2. Teori-teori berdasarkan formulasi kontrak.
3. Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak. 4. Teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum 5. Teori liberal tentang kontrak.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara spesifik sebagai berikut dibawah ini :
1. Teori-teori dasar klasik
Terdapat beberapa teori dasar yang klasik, yang merupakan tempat berpijak dari suatu kontrak, yaitu sebagai berikut :
a. Teori benda
Menurut teori benda ini, kontrak adalah suatu benda (thing) yang telah ada keberadaannya secara objektif sebelum dilakukan pelaksanaan (performance) dari kontrak tersebut.
Dengan demikian. Suatu kontrak adalah suatu benda yang dibuat, disimpangi, atau dibatalkan oleh para pihak. Teori ini merupakan teori yang mendasarkan pada formulasi kontrak, misalnya kontrak dibuat dalam bentuk tertulis, sehingga seolah-olah yang menjadi benda yang dinamakan kontrak tersebut adalah kertas-kertas yang bertuliskan kontrak yang ditandatangani
26
(35)
oleh masing-masing pihak tersebut. b. Teori pelaksanaan
Teori ini mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu kontrak adalah pelaksanaan (enforcement) dari kontrak yang bersangkutan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan atau badan penyelesaian sengketa lainnya. Sebab, yang menjadi tujuan utama dari setiap pembuatan kontrak adalah bahwa untuk mendorong para pihak untuk membayar hutangnya, melaksanakan janjinya dan bertindak secara benar dalam hubungan dengan kontrak antara para pihak tersebut, sehingga untuk itu perlu tindakan-tindakan yang dapat memberikan efek yang dapat menghalang-halangi atau mencegah terjadinya wanprestasi. Sehingga pelaksanaan kontrak tersebut (termasuk pemberian sanksi bagi pihak yang mengingkari kontrak) dalam hukum kontrak sama pentingnya dengan perlindungan hak milik.
c. Teori prinsip umum
Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efektifitas secara umum dari kontrak itu sendiri. Jadi, sungguh pun banyak kontrak yang sudah ada pengaturannya yang detil dalam perundang-undangan atau dalam draft-draft model kontrak yang diterima umum, atau yang diatur sendiri oleh para pihak berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, tetapi secara umum tetap tidak menyimpang secara signifikan dari prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam konsep-konsep kontrak.
2. Teori-teori berdasarkan formulasi kontrak
(36)
kontrak terdapat empat teori yang mendasar, yaitu : a. Teori kontrak de facto
Kontrak de facto (implied in-fact), yakni yang merupakan kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.
b. Teori kontrak ekspresif
Ini merupakan teori yang sangat kuat daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekspresif) oleh para pihak-pihak yang bersangkutan, sejauh memenuhi syarat-syarat mengenai sahnya suatu kontrak (ditandai dengan adanya suatu penawaran dan penerimaan), dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak tersebut.
c. Teori promissory estoppel
Teori promissory estoppel atau disebut juga dengan detrimental reliance mangajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak.
d. Teori kontrak quasi
Teori kontrak quasi (quasi contract atau implied in law) ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada.
(37)
3. Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak
Dilihat dari prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak, terdapat berbagai teori kontrak sebagai berikut :
a. Teori hasrat (Will Theory)
Teori ini mempunyai akar dalam hukum romawi dan mempunyai kemajuan pesat dalam hukum negara-negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental. Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya hasrat dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku, dan klausul dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut.
Jadi menurut teori ini, yang terpenting dari suatu kontrak bukan apa yang dilakukan para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan. Yang terpenting adalah “manifestasi atau pemberitahuan” dari kehendak para pihak. Jadi suatu kontrak mula-mula dibentuk dahulu (berdasarkan kehendak), sedangkan pelaksanaan atau tidak dilaksanakannya suatu kontrak adalah persoalan belakangan.
b. Teori sama nilai (Equivalent Theory)
Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent). Pengertian equivalent ini kemudian berkembang lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat teknik dan konstruktif. Teknik dan konstruktif di sini maksudnya adalah teknik pembuatan dan konstruksi atau susunan kontrak.
c. Teori tawar menawar (Bargain Theory)
(38)
Teori ini merupakan perkembangan dari teori “sama nilai” (equivalent
theori) dan sangat mendapat tempat dalam negara-negara yang menganut
sistem Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.
d. Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory)
Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana. Dengan kata lain masing-masing pihak sudah mengetahui resiko masing-masing jika terjadi pengingkaran terhadap kontrak yang dibuat.
4. Teori Holmes tentang tanggung jawab hukum yang berkenaan dengan kontrak. Teori-teori Holmes (ahli hukum terkenal dari Amerika) pada prinsipnya mendasari pada dua prinsip sebagai berikut :
a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal eksternal ke dalam aturan, dan
b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban.
Karena itu, teori Holmes tentang kontrak mempunyai intisari sebagai berikut :
a. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak.
b. Kontrak merupakan suatu cara mengalokasikan resiko, yaitu resiko
wanprestasi.
(39)
c. Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab yang eksternal. Yaitu tanggung jawab dari pelaksanaan kontrak tersebut.
5. Teori Liberal tentang kontrak
Pada prinsipnya teori liberal tentang kontrak mengajarkan bahwa setiap orang menginginkan keamanan. Sehingga seseorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya. Akan tetapi orang juga perlu suatu kerja sama, dan kerja sama ini dapat dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan melalui kepercayaan dan perjanjian. Jadi, suatu perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara moral komitmen tersebut harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu komitmen tersebut, tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan.
Jadi berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu kontrak timbul diawali dengan suatu hasrat atau keinginan para pihak untuk mengikatkan dirinya guna menghindarkan diri dari suatu resiko, yaitu resiko
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersangkutan. Dijelaskan
lebih lanjut bahwa daya ikat suatu kontrak terjadi jika antara kedua belah pihak tersebut memberikan suatu prestasi yang berimbang. Berimbang maksudnya antara pihak yang satu dengan pihak yang lain saling memenuhi prestasi masing-masing. Draft pembuatan suatu kontrak diatur sendiri oleh para pihak, akan tetapi secara umum tetap mengacu pada konsep-konsep kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Suatu kesepakatan tidak bisa disebut suatu kontrak apabila tidak terdapat suatu sanksi didalamnya. Dengan kata lain peranan sanksi moral tidak berlaku untuk kontrak.
(40)
C. Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :27
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu 1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (M.o.U); c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan). 2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal; b. Perbaikan naskah; c. Penulisan naskah akhir; d. Penandatanganan. 3. Pasca Kontrak
a. Pelaksanaan; b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
27
(41)
proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(42)
(1) Judul; (2) Pembukaan; (3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital); (5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut : Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai berikut :
1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli.
3. Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini : dengan
(43)
menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini : Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya, Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan. Misalnya :Dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada). Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal pelaksanaannya di lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga memerlukan penafsiran-penafsiran.
D. Pola Pengaturan Kontrak dalam KUH Perdata
Sumber hukum utama dari suatu kontrak yang berbentuk perundang-undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku ketiga yang berkaitan dengan
(44)
kontrak adalah sebagai berikut :28
1. Pengaturan tentang perikatan perdata
2. Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari kontrak (Pasal 1313 – 1351) 3. Pengaturan tentang hapusnya perikatan
4. Pengaturan tentang kontrak-kontrak tertentu (Pasal 1457 –1864)
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara spesifik sebagai berikut dibawah ini :
1. Pengaturan tentang Perikatan Perdata
Pengaturan tentang perikatan perdata ini merupakan pengaturan perikatan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku untuk perikatan yang terbit karena undang-undang. Pengaturan tentang perikatan perdata (pada umumnya) ini terdiri antara lain diatur dalam pasal 1233 – 1312 KUH Perdata.
2. Pengaturan Tentang Perikatan yang Timbul dari Kontrak
Telah disebutkan bahwa suatu perikatan dapat timbul, baik karena adanya kontrak maupun karena undang-undang. Perikatan timbul karena suatu kontrak menurut KUH Perdata diatur dalam Bab Kedua Buku Ketiga, yang pengaturannya disebutkan dalam pasal 1313 – 1351 KUHPerdata.
3. Pengaturan tentang Hapusnya Perikatan
Tentang hapusnya perikatan, termasuk hapusnya perikatan yang terbit karena suatu kontrak, diatur dalam KUH Perdata dalam Bab IV Buku Ketiga yakni disebutkan dalam pasal 1381- 1456
28
(45)
4. Pengaturan tentang Kontrak-Kontrak tertentu
Disamping yang tersebut di atas, terdapat pula ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur tentang kontrak-kontrak tertentu, atau yang sering disebut juga dengan kontrak bernama. Perlu juga ditegaskan di sini bahwa di samping kontrak-kontrak tertentu yang disebutkan dalam KUH Perdata seperti kontrak jual-beli, sewa, tukar menukar, dan lain-lain, masih banyak kontrak-kontrak tertentu lain yang tidak termasuk dalam kontrak-kontrak-kontrak-kontrak tertentu versi KUH Perdata, Misalnya kontrak leasing, franchise, lisensi, dan lain sebagainya. Kontrak-kontrak tertentu yang diatur dalam KUH Perdata, yakni diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII antara lain dalam pasal 1457 sampai dengan pasal 1864.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dalam hal ini pengaturan mengenai kontrak dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III KUH Perdata. Akan tetapi dikecualikan dari pasal 1352-1380 KUH Perdata. Dalam hal ini mengapa penulis tidak memasukkan pasal 1352-1380 KUH Perdata sama sekali tidak berlaku untuk kontrak, dikarenakan dalam pasal-pasal tersebut mengatur mengenai perikatan yang lahir karena undang-undang. Pasal tersebut sangat kontradiktif dengan kontrak itu sendiri, dimana suatu kontrak yang dibuat malah melahirkan undang-undang. Jadi dengan kata lain kontrak tidak dilahirkan dari undang-undang tetapi kontraklah yang melahirkan undang-undang. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1338 (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
(46)
E. Doktrin Mengenai Wanprestasi Dalam Kontrak
Mengenai pengertian prestasi dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1234 KUH Perdata yaitu berupa :
1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu
Sementara itu, dengan wanprestasi yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.14)
Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya. Model-model wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut15)
(1) Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi
:
(2) Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi
(3) Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi
Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi dalam ilmu hukum kontrak dikenal suatu doktrin yaitu “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” (Substansial Performance). Yang dimaksud dengan doktrin tersebut adalah sungguh pun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna,
14)
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999, hal.36.
15)
(47)
tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material”.15)
Untuk kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi secara substansial, berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh atau sering disebut dengan istilah strict preformance rule, full preformance dan perfect tender
rule.
Hal itu dimisalkan, A mengikat
kontrak dengan B untuk mendirikan bangunan, misalnya A dalam membangun rumah ia tinggal memasang kunci bagi bangunan tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dilakukannya, maka dapat dikatakan ia telah melakukan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak belum dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara material.
Akan tetapi tidak semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan prestasi secara substansial. Untuk kontrak jual beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan
16)
Untuk mengetahui apakah suatu kontrak telah terlaksana secara substansial atau tidak, dapat diberlakukan beberapa kriteria, yaitu antara lain17)
(1) Kelayakan kompensasi
:
Dalam hal ini akan dilihat apakah tersedia kompensasi yang cukup
15)
Ibid., hal. 90.
16)
Ibid.
17)
(48)
memuaskan terhadap pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Apabila tidak cukup baik tersedia kompensasi atau sulit menghitung ganti rugi, maka pelaksanaan kontrak substansial akan sulit diakui. Jadi dalam hal yang demikian, pelaksanaan kontrak akan dianggap tidak substansial, sehingga dianggap tidak terlaksananya kontrak yang material.
(2) Hilangnya keuntungan yang diharapkan
Dalam hal ini, semakin besar keuntungan yang hilang dari adanya pelaksanaan kontrak yang tidak sempurna, semakin besar pula kemungkinan
wanprestasi yang material atau substansial terhadap kontrak yang
bersangkutan. Sehingga kalau kerugian kepada yang dirugikan tersebut besar, sulit dikatakan terjadi pelaksanaan kontrak yang substansial.
(3) Bagian kontrak yang dilaksanakan
Untuk dapat dikatakan bahwa pihak tertentu telah melaksanakan kontraknya secara substansial, dapat diukur dari bagian prestasi yang telah dilakukan. Semakin besar bagian prestasi yang dilakukan, maka semakin besar kemungkinan substansialnya pelaksanaan kontrak yang bersangkutan.
(4) Kesengajaan untuk tidak melaksanakan kontrak
Apabila ada bagian kontrak yang tidak dilaksanakan dengan kesengajaan (bukan karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsur itikad baik), unsur kesengajaan mana biasanya terlihat dari dengan sengaja mengabaikan kontraknya, atau dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standar, dapat dikatakan bahwa dia belum melaksanakan kontrak secara substansial.
(49)
(5) Kesediaan untuk memperbaiki prestasi
Jika pihak yang melakukan prestasi dapat memperbaiki dan mempunyai kemauan untuk memperbaiki prestasinya, maka dalam hal ini dapat dianggap tidak terjadi bukan suatu wanprestasi yang bersifat material.
Berdasarkan uraian di atas penulis menarik suatu kesimpulan yaitu suatu pemenuhan prestasi harus dilaksanakan secara penuh (strict performance rule) misalnya kontrak jual-beli dimana apabila seorang penjual menyerahkan barang dengan tidak sesuai dengan kontrak, maka pihak pembeli dapat menolak barang tersebut. Dikecualikan dari hal tersebut ada suatu Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial (Substantial Performance) dimana apabila tidak adanya suatu unsur kesengajaan dan dengan ketidaksengajaan tersebut kemudian ada kompensasi bagi yang dirugikan dan dalam hal ini hal-hal substansial atau hal-hal yang menjadi pokok atau materi dari kontrak telah dilaksanakan telah dilaksanakan maka hal tersebut dianggap belum terjadi wanprestasi.
(50)
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI
HUKUM KONTRAK
A. Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.U)
Memorandum adalah suatu peringatan, lembar peringatan, atau juga suatu lembar catatan.29 Memorandum juga merupakan suatu nota/ surat peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk komunikasi yang berisi antara lain mengenai saran, arahan dan penerangan.30
Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head Agreement,
Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai
arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah M.O.U.
Terhadap suatu M.O.U, selain istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan. Tetapi, walaupun begitu istilah M.O.U tetap merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya.
31
Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan ke dalam berbagai istilah yang bervariasi, yang tampak belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah seperti “Nota Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”.
29
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hal. 594.
30
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 319.
31
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti Bandung 2002, (Selanjutnya disebut Munir Fuadi III), hal. 90.
(51)
Sebenarnya M.O.U itu sama saja dengan kesepahaman-kesepahaman lainnya. Bidangnya juga bermacam-macam, bisa mengenai perdagangan, jual-beli, perjanjian antar negara, penanaman modal, ataupun bidang-bidang lainnya. Bahkan paling tidak secara teoritis, M.O.U dapat dibuat dalam bidang apapun.32
Ada beberapa alasan mengapa dibuat M.O.U terhadap suatu transaksi bisnis, yaitu :33
a. Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak.
b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, dibuatlah M.O.U yang akan berlaku untuk sementara waktu. c. Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih
perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal menandatangani suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah M.O.U.
d. M.O.U dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (direktur) dari suatu perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih dahulu dan tidak dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-stafnya yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis.
Adapun yang merupakan ciri-ciri dari suatu M.O.U adalah sebagai berikut :34 a. Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja
b. Berisikan hal yang pokok saja
32
Ibid.
33
Ibid.
34
(52)
c. Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci.
d. Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1 bulan, 6 bulan atau setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka M.O.U tersebut akan batal, kecuali diperpanjang dengan para pihak.
e. Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai. f. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk
membuat suatu perjanjian yang lebih detil setelah penandatanganan M.O.U Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian M.O.U secara umum merupakan suatu nota dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan M.O.U sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka. M.O.U sengaja dibuat dan tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja. M.O.U sengaja dibuat ringkas karena pihak yang menandatangani M.O.U tersebut merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal, akan tetapi daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah M.O.U.
M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional kita, sehingga banyak yang mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan dari M.O.U itu sendiri, apakah itu merupakan suatu kontrak atau hanya suatu dokumen sederhana mengenai kesepahaman-kesepahaman yang terjadi antar pihak.
B. Kedudukan M.O.U
(53)
dikatakan sebagai kontrak atau bukan, maka disini akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai asas-asas yang berlaku dalam hukum kontrak. Asas-asas tersebut antara lain :35
(1) Hukum kontrak bersifat mengatur
Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a. Hukum memaksa (dwingend recht, mandatory law) b. Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law)
Hukum tentang kontrak pada prinsipnya tergolong kepada hukum yang mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam kontrak mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Asas kebebasan berkontrak
Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya adalah bahwa para pihak bebas membuat kontrak dan mengaturnya sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :
(a) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak (b) Tidak dilarang oleh undang-undang (c) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku (d) Adanya suatu itikad baik
35
(54)
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open
system) dari hukum kontrak tersebut.
(3) Asas pacta sun servanda
Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak.
(4) Asas konsensual dari suatu kontrak
Hukum kita juga menganut asas konsensual. Maksudnya asas konsensual ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kesepakatan, tentunya selama syarat sahnya kontrak lainnya sudah terpenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah punya akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak.
(5) Asas obligator dari suatu kontrak
Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator. Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik, dipergunakan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan. Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan “penyerahan” (levering).
Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya suatu kontrak dan saat peralihan hak milik ini, berbeda-beda dari masing-masing
(55)
sistem hukum yang ada, yang terpadu ke dalam 2 (dua) teori sebagai berikut : (a) Kontrak bersifat riil
Teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat mengajarkan dimana suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara riil. Artinya, kontrak tersebut mengikat jika telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata sepakat saja belum punya arti apa-apa menurut teori ini. Prinsip transaksi yang bersifat “terang” dan “tunai” dalam hukum adat Indonesia merupakan perwujudan dari prinsip kontrak riil ini.
(b) Kontrak bersifat final
Teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak telah mengikat dan milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak khusus.
Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai :
(1) Materi/ substansi dalam M.O.U
Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal-pasal M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam M.O.U tersebut yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U disebutkan mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek, dimana kedua belah pihak menyetujui untuk saling bekerja sama dalam pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah
(56)
perjalanan salah satu pihak ingin membatalkan kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak berprospek bagus. Dengan adanya pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan pihak lain yang bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut merasa telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran-anggaran yang dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai
wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan, dimana
salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U tersebut, maka M.O.U yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah dinyatakan dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.36
Akan tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal M.O.U disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur pula dalam perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi dalam M.O.U mengatur hal-hal yang demikian, maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut kontrak
36
(57)
apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka M.O.U semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final dalam pembuatannya.37
(2) Ada tidaknya sanksi
Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak.38
Karena adanya bermacam-macam pendapat mengenai kedudukan dari M.O.U, maka dikenal dua macam pendapat sebagai berikut :39
1. Gentlemen Agreement
Pendapat ini mengajarkan bahwa M.O.U hanyalah merupakan suatu
gentlement agreement saja. Maksudnya kekuatan mengikatnya suatu M.O.U tidak
sama dengan perjanjian biasa, sungguh pun M.O.U dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam praktek jarang M.O.U dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat golongan ini menyatakan bahwa M.O.U mengikat sebatas pada pengakuan moral belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.
2. Agreement is Agreement
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detil ataupun
37
Ibid., hal. 32.
38
Ibid., hal. 11
39
(1)
peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam beritikad buruk. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi : “Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure sering dibeda-bedakan sebagai berikut :53
(1) Force majeure yang obyektif
Force majeure yang bersifat obyektif ini terjadi atas benda yang merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan karena yang terkena adalah benda yang merupakan obyek dari kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
(2) Force majeure yang subyektif
Sebaliknya, force majeure yang bersifat subyektif terjadi manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan obyek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi.
(2)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa :
1. Kedudukan M.O.U ada dua macam yaitu :
a. Tidak bersifat kontrak (Gentlement Agreement)
Teori yang mendukung adalah teori Holmes dimana disebutkan bahwa sanksi moral tidak berlaku dalam kontrak. Jadi dalam hal ini M.O.U yang mempunyai sanksi moral bukanlah suatu kontrak. Dan menurut asas dalam kontrak bahwa disebut kontrak apabila sifatnya sudah final. Jadi dalam hal ini M.O.U yang dalam materinya menyebutkan mengenai perlunya perjanjian lanjutan setelah penandatanganan M.O.U ini, maka M.O.U yang semacam ini bukanlah suatu kontrak, karena sifatnya tidak final.
b. Bersifat sebagai kontrak (Agreement is Agreement) Dalam hal ini teori yang mendukung antara lain :
a) Teori hilangnya keuntungan, dimana dianggap ada kontrak jika dalam suatu kesepakatan yang terjadi akan menimbulkan hilangnya keuntungan bagi salah satu pihak jika wanprestasi.
b) Teori Kepercayaan Merugi, dimana dalam hal ini dianggap suatu kontrak apabila terjadi suatu kerugian secara materiil jika salah satu pihak wanprestasi.
(3)
c) Teori Promisory Estopel, dimana jika ada penawaran dan ada penerimaan dalam suatu kesepakatan, maka sejak saat itu ada suatu perjanjian yang mengikat.
d) Teori Kontrak Quasi , dimana dalam hal ini walaupun tidak disebutkan secara jelas mengenai apakah itu kontrak atau bukan, akan tetapi jika syarat-syarat mengenai kontrak sudah terpenuhi maka itu sudah disebut sebagai kontrak.
2. Untuk M.O.U yang sifatnya bukan merupakan suatu kontrak maka tidak ada sanksi apapun bagi yang mengingkarinya kecuali sanksi moral yaitu misalnya adanya black list bagi pihak yang mengingkari isi dari M.O.U. Sedangkan untuk M.O.U yang sifatnya merupakan suatu kontrak atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata, maka apabila terjadi suatu wanprestasi terhadap substansi dalam M.O.U ini maka pihak tersebut harus memenuhi prestasi yang telah diingkarinya atau ia akan dikenai sanksi dari perundang-undangan yang berlaku. Suatu M.O.U yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang memaksa (sanksi) bisa mempunyai sanksi. Hal itu tentunya tidak terlepas dari teori ratifikasi. Jadi dalam hal ini dengan adanya ratifikasi dari M.O.U tersebut akan membuat M.O.U tersebut menjadi suatu kontrak yang sempurna apabila dalam ratifikasi kontrak baru tersebut telah mengandung unsur sanksi dan pembuatannya telah final.
B. Saran
(4)
1. Agar terjadi kejelasan dalam hukum mengenai sifat sebuah kesepakatan yang dibuat, jika apa yang disepakati adalah hal yang sangat penting maka hendaknya dibuat dihadapan notaris, karena akan memberikan legalitas yang tinggi pada akta yang dibuat.
2. Apabila terjadi pengingkaran terhadap substansi dari M.O.U yang sifatnya hanya merupakan kesepakatan biasa yang hanya mempunyai sanksi moral didalamnya, maka hendaknya pebisnis langsung melakukan black list terhadap pihak yang mengingkari tersebut dan tidak melakukan deal-deal kerjasama lagi dengan pihak tersebut. Apabila terjadi pengingkaran terhadap substansi dari M.O.U yang sifatnya sudah merupakan kontrak atau setingkat dengan perjanjian, maka hendaknya pebisnis menyelesaikannya masalah tersebut di dalam pengadilan karena akan memberikan kepastian hukum dalam penggantian kerugiannya.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
G. H. Treitel, Law of Contract, Sweat Maxwel, London, 1995.
HS. Salim , Perkembangan Hukum Kontrak Inominat di Indonesia, cet 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 1997.
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra Ditya Bakti Bandung, 1999.
__________,Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
__________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti Bandung 2002.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. V, IND-HILL-CO, Jakarta, 2001.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1977.
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2, Maret 2003
(6)
B. Peraturan Perundang – Undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Staatsblad 1847 Nomor 23 Tentang Pemberlakuan BW Nederland di Indonesia. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
C. Websites