Latar Belakang Eksistensi Small Claim Court dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.

A. Latar Belakang

Small Claim Court telah lama berkembang baik dinegara-negara yang bersistem hukum Common Law maupun negara-negara dengan sistem hukum Civil law. Bahkan tumbuh dan berkembang pesat tidak hanya di negara maju seperti America, Inggris, Kanada, Jerman, Belanda tetapi juga dinegara-negara berkembang baik dibenua Amerika Latin, Afrika dan Asia. Hal ini dikarenakan forum penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan yang efisien, cepat dan biaya perkara murah bagi perkara yang jumlah nilai perkaranya kecil diperlukan dalam dunia bisnis. Pembentukan suatu forum demikian sangat dibutuhkan terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, untuk meningkatkan kepercayaan para investor dalam dan luar negeri guna mengembangkan dunia bisnis. Sengketa bisnis memerlukan penyelesaian secara cepat dan sederhana sehingga biaya perkara relatif lebih sedikit dengan hasil penyelesaian dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa menimbulkan masalah baru atau memperpanjang sengketa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, baik melalui pengadilan litigasi maupun melalui proses di luar pengadilan non litigasiperdamaian, namun untuk penyelesaian sengketa bisnis lebih disukai melalui cara non litigasi meskipun seingkali tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas, sehingga cara non litigasi bukan juga merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang tepat guna. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan litigasi dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh di simpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena dimungkinkannya melanjutkan perkara ke pengadilan tingkat yang lebih tinggi upaya hukum; meskipun terdapat asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Di sisi lain, peyelesaian sengketa secara non litigasi secara damai yang didasarkan pada kesepakatan para pihak, ternyata hasilnya tidak memiliki kekuatan mengikat secara formal bagi para pihak , meskipun undang-undang mengharuskan agar kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk akta tertulis dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Selain itu, dalam sistem hukum acara perdata yang berlaku, bahwa terhadap akta hasil kesepakatan yang telah dicapai tersebut tidak dapat langsung dimohonkan ke pengadilan untuk dijadikan putusan perdamaian hakim acta van dading , melainkan untuk itu para pihak harus tetap menempuh pengajuan gugatan ke pengadilan dengan melampirkan akta kesepakatan dimaksud, baru kemudian dalam persidangan diputus oleh hakim berdasarkan akta perdamain yang telah dicapai para pihak di luar pengadilan tersebut, dengan putusan perdamaian hakim acta van dading. Cara penyelesaian sengketa non litigasi lainnya adalah melalui arbitrase yang bersifat yudisial melalui proses peradilan meskipun Arbitrase bukan merupakan badan peradilan melainkan adalah lembaga penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya, melalui lembaga arbitrase juga seringkali tidak mencapai penyelesaian sengketa bisnis secara efektif dan efisien, karena sekalipun telah ada pengaturan yang jelas tentang kompetensi mengadili yang absolut antara Pengadilan dengan Arbitrase, para pihak yang bersengketa seringkali masih juga mengajukan sengketanya ke pengadilan dan pengadilan memeriksa serta memutus perkara tersebut. Karenanya penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif dan tidak efisien lagi. Upaya yang juga telah dilakukan untuk mengatasi penyelesaian sengketa perdata secara berlarut larut adalah dengan dibentuknya mekanisme mediasi di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mewajibkan seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan kecuali undang-undang menentukan lain harus di mediasikan terlebih dahulu di pengadilan. Tapi ini pun tidak efektif dan tidak mencapai sasaran untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Demikian pula halnya dengan keberadaan Pengadilan Niaga, yang meskipun dari namanya sebagai terjemahan dari comersial court dapat diartikan sebagai pengadilan yang menyelesaikan masalah-masalah sengketa perniagaan, tetapi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, kompetensi dari Pengadilan Niaga terbatas pada Kepailitan dan sengketa HaKI, bukan pengadilan atas sengketa bisnis secara keseluruhan. Dari pemikiran di atas, maka dirasakan perlu adanya suatu bentuk prosedur penyelesaian sengketa bisnis, seperti yang dikenal di negara-negara yang menganut sistem common law dengan memberikan kewenangan pada pengadilan untuk menyelesaikan perkara didasarkan pada besar kecilnya nilai objek sengketa, sehingga dapat tercapai penyelesaian sengketa bisnis secara cepat, sederhana dan murah, melalui mekanisme yang dinamakan small claim court. Berdasarkan penelitian Bank Dunia The world Bank-International Finance Corporation-Doing Business 2011 salah satu faktor hambatan dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia adalah penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang tidak effisien, jangka waktu penyelesaian yang lama dan biaya perkara yang tinggi serta biaya pengacara yang tinggi. Selain alasan di atas small claim court sangat dibutuhkan bagi penyelesaian sengketa yang timbul dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh pengusahan mikro, kecil dan menengah UMKM. Perkembangan UMKM di Indonesia terus meningkat, krisis keuangan global mengintensifkan fokus kebijakan pada usaha kecil dan menengah sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia UMKM merupakan bisnis perusahaan yang telah memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sekitar 60 dari produk domestic bruto. The Central Bureau of Statistics, Indonesia, 2010 UMKM juga merupakan perusahaan yang menyediakan lapangan kerja terbesar, membuka mata pencaharian bagi lebih dari 90 tenaga kerja dari suatu negara. 2 Small claim court juga menawarkan kepada konsumen untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui sistem pengadilan yang cepat bagi perolehan ganti rugi bagi mereka. Small claim court merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa konsumen untuk mendapatkan kompensasi dalam jumlah yang tidak besar yang timbul dari suatu transaksi jual beli barang atau jasa. 3 Menyadari bahwa sistem pengadilan biasa sering di luar jangkauan konsumen rata-rata dengan nilai klaim yang rendah, sejumlah besar negara maju telah memperkenalkan prosedur pengadilan disederhanakan untuk klaim kecil. Prosedur-prosedur ini dirancang sebagai alternatif tradisional informal dispute resolution untuk proses pengadilan sipil, yang memungkinkan individu untuk menyelesaikan sengketa dan pemulihan hak dengan biaya dan beban tidak proporsional dengan jumlah klaim mereka. Menjadi independen, mengikat dan dapat dilaksanakan, small claim court menawarkan konsumen manfaat utama dari sistem peradilan tanpa biaya tinggi, delay dan kompleksitas prosedur prosedural berhubungan dengan pengadilan biasa. Dua puluh negara berikut telah menanggapi menyederhanakan prosedur pengadilan bagi klaim yang nilai perkaranya kecil, seperti: Australia, Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia , Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Prosedur-prosedur ini bervariasi secara signifikan antara negara dan bahkan antar daerah di negara yang sama. Variasi dapat dilihat pada jenis prosedur; jenis sengketa dan klaim yang dapat diadili; biaya perkara yang 2 The International Finance Corporation IFC- Indonesia. Small Enterprise Development Policies in Indonesia: An Overview. October 2007 dalam Doing Business in Indonesia 2012 A COPUBLICATION OF THE WORLD BANK AND THE INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION, Washington, hlm 19. 3 CONSUMER DISPUTE RESOLUTION AND REDRESS IN THE GLOBAL MARKET PLACE OECD , page 6 Copyright OECD, 2006. dibebankan kepada para pihak; dan aksesibilitas secara keseluruhan kepada konsumen consumer friendliness.

B. Permasalahan