PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

(1)

PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Di susun untuk memenuhi salah satu syarat memeperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

BOGY GUNANDA 20120610239

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA TAHUN 2016


(2)

PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Di susun untuk memenuhi salah satu syarat memeperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

BOGY GUNANDA 20120610239

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA TAHUN 2016


(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

Diajukan Oleh : Nama : Bogy Gunanda Nim : 20120610239

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing pada tanggal 21 Juni 2016

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Beni Hidayat, S.H,. M.Hum. Sunarno, S.H,. M.Hum. NIK. 19731231199804153030 NIK. 19721228200004153046


(4)

HALAMAN PERNYATAAN Nama : Bogy Gunanda

Nim : 20120610239

Judul Skripsi : “PENERAPAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA”

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi ini berdasarkan

hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari diri saya sendiri, baik untuk

naskah laporan maupun kegiatan programing yang tercantum sebagai bagian dari

Skripsi ini. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang

jelas.

Dengan pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila

dikemudian hari terdapat penyimpanan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang

telah diperoleh karena karya tulis ini dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan

dari pihak manapun.

Yogyakarta, 25 Agustus 2016

Penulis


(5)

HALAMAN MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau

berharap. “ (Q.S Al-Insyirah 6 - 8)

“Rahasia terbesar mencapai kesuksesan adalah tidak ada rahasia besar, siapapun Anda menjadi sukses jika Anda berusaha dengan


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillah....Alhamdulillah...Alhamdulillahirobbil’alamin....

Sujud syukurku kusembahkan kepadamu ya Allah yang Maha Agung nan Maha Tinggi nan Maha Adil nan Maha Penyayang, atas takdirmu telah kau jadikan aku manusia yang senantiasa berpikir, berilmu, beriman dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini sehingga aku banyak belajar dari setiap apa yang sudah kau berikan untuku hingga aku bisa menjadi manusia yang mengerti akan arti bersyukur dan menjadikanku manusia yang lebih baik lagi untuk kehidupanku kedapan. Semoga keberhasilan ini menjadi langkah awal bagiku untuk bisa meraih cita-cita besarku.

Lantunan Al – Fatihah beriring Shalawat dalam silahku merintih, menandakan

do’a dalam syukur yang tiada terkira, terima kasihku untukmu. Kupersembahkan sebuah

karya kecil ini untuk Ayahanda Tercinta ( Darusman) Ibundaku ( Ernawati ) dan Umiku ( Siti Muslihati), yang tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, do’a, dorongan, nasehat dan kasih sayangmu yang tiada hentinya kau berikan untukku serta pengorbananmu yang begitu luar biasa dengan jerih upayamu dan dengan hasil keringatmu hingga bisa mengantarku menuju kesuksesanku.

Dalam silah di lima waktu mulai fajar terbit hingga terbenam.. seraya tanganku

menadah”.. Yaa Allah Ya Rahman Ya Rahim.. Terimakasih telah kau tempatkan aku diantara kedua malaikatmu yang setiap waktu ikhlas menjagaku, mendidikku, membimbingku dengan baik, Ya Allah berikanlah balasan setimpal syurga firdaus untuk mereka dan jauhkanlah mereka nanti dari panasnya sengat hawa api nerakamu..

Kepada Kakakku Tercinta Fonda Darusman dan Abangku Tersayang Risky Saputra dan Tegar Wahyuda sekaligus sahabatku dalam segala hal yang selalu ada untuk selalu memberikan,memgajarkanku berbagai hal dalam hidup ini serta senantiasa memberikan bantuan, arahan dan nasehat, agar aku menjadi pribadi yang jauh lebih baik tidak hanya dimata manusia saja tapi juga dimata Allah SWT..

Kepada Kekasih Terhebatku RosaTri Mananda yang begitu setia menemaniku hingga saat ini dan selalu menjadi temanku dalam segala kegiatanku, selalu ada dalam keadaan sedih mau pun senang, terima kasih sudah begitu sabar menghadapiku dan selalu mengingatkanku disaat aku lalai akan kewajibanku.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis penjatkan atas ke hadirat Allah SWT, yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini. Shalawat beriring salam kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat beliau sekalian serta

orang-orang mukmin yang tetap istiqamah di jalan-nya.

Adapun laporan tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu

persyaratan untuk menyelesaikan kurikulum di Jurusan Hukum Adminitrasi

Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Laporan tugas

akhir ini disusun berdasarkan studi kasus, diskusi dengan pembimbing,yang

berjudul “Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam Sistem Peradilan Pajak Di Indonesia”.

Dalam melaksanakan penyusunan laporan tugas akhir, hingga selesainya

laporan penulis telah banyak mendapat bantuan dan arahan dari banyak pihak.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Trisno Raharjo, SH., M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.

2. Bapak Nasrullah, SH., S. Ag., MCL. Selaku ketua bagian Hukum

Adminitrasi Negara Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.

3. Bapak Beni Hidayat, SH., M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I penulisan

Hukum yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan


(8)

4. Bapak Sunarno, SH., M. Hum. Selaku Dosen Pembimbing II penulisan

Hukum yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan

dalam penulisan hukum ini.

5. Seluruh Dosen bagian Hukum Adminitrasi Negara yang telah memberikan

ilmu, bimbingan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studinya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Yogyakarta

atas semua ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi kehidupan sejak

penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah

Yogyakarta atas semua bantuan dan kemudahan selama penulis

menempuh Pendidikan.

8. Teristimewa terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda serta

Saudaraku yang telah memberikan bantuan, dorongan, serta doa sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum atau tugas akhir ini dengan

baik.

9. Keluarga di Riau Padang: Om in, om nanik, tante yus, tante ta, tante eni,

om eri, om al, nte adek, celok, om yazid, om adil, nte eni rosa, bu eni,

tante widya, om yus, tante dila, tante nila, tante elli, om edy, om epi, om

an bang febry, ferdian, dini, vika, deo, yoza, yoan, dan seluruh keluarga


(9)

10.Keluarga Besar RosaTri Mananda : Bapak ( Abuzar ), Mama ( Yusni ),

Uni Yanti, Uni Ria, Siska Anggraini, dan seluruh keluarga lain yang

belum tertulis dalam halaman ini.

11. Sahabat di Riau “We Are One” Almazhani, Anggra Restiawan, Atika Syafitri, Bagus Aditya Chandra, Eva Yulianti, Deny Tri Putra, Iga Putri ,

Reza Ediya, Ribut Santoso, Mia Arke Putri, Yulika Lestari.

12.Sahabat di Padang “ Ade Kurniawan, Adlian Handra, Andiko Syahdia, Afiz Darusma, Fadel Muhammad, Naufal Deyafikri, Restiara, Octaria

Novita.

13.Seluruh temen di Riau dan Padang yang tidak bisa ditulis satu persatu

dalam halaman ini.

14.Seluruh keluarga besar IPRY-Kom.INHU dan seleuruh kerabat yang tidak

bisa di tulis satu persatu dalam halaman ini.

15. Kepada sahabat sekaligus keluarga di Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta Andika Sewanto, Aditya Rizky Trinanda

Aviara Sumarsono, Afifah Nur Yusmanita, Anisa Yulianti, Ayu Aisyah

Amin, Aprian Nur Hafid, Agung Trijaya Agung, Ayudia Vicky

Rahmasari, Anggraeni Novita sari, Diana Setiawati, Dimas Agung

Perwira, Fidel Febriandika, Firyal Fakhri, Ivan Vata, Putri Maharani,

Putri Suryandari, Khairul Aziz Sitompul, Nurfadilah Sofiana, Nur Hafizal

Hasanah, Khairul Yusuf Gunawan, Sigit Dhanu Windanto, dan seluruh


(10)

16.Seluruh pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

atas semua bantuan baik materi maupun imateril.

Penulisan laporan tugas akhir ini telah diupayakan semaksimal mungkin,

namun disadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat berbagai kekurangan

yang disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Oleh

karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna

kesempurnaannya. Pada akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan taufiq dan

hidayah-Nya semoga laporan tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak.

Amin Yaa Rabbal’Alamin..

Yogyakarta...2016

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN...……….……. iii

HALAMAN PERNYATAAN……….……….. iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTATA... 9

A. Definisi Pajak dan Hukum Pajak... 9

B. Pengadilan Pajak... 17

1. Sistem Peradilan Pajak di Indonesia... 17

2. Kompetensi Pengadilan Pajak... 20

3. Urgensi Keberadaan Pengadilan Pajak... 25


(12)

Pengadilan Pajak Yogyakarta... 29

C. Tinjauan Mengenai Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan... 30

BAB III METODE PENELITIAN... 36

A. Jenis Penelitian... 36

B. Data Penelitian... 36

C. Teknik Pengumpulan Data... 38

D. Narasumber dan Responden... 39

E. Teknik Pengambilan Sampel... 40

F. Lokasi Penelitian... 40

G. Teknik Analisis Data... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS... 41

A. Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dalam Persidangan Pengadilan Pajak... ... 42

B. Hambatan Dalam Persidangan Pengadilan Pajak.. 67

BAB V PENUTUP... 77

A. Kesimpulan... 77

B. Saran... 78


(13)

DAFTAR TABEL Tabel Halaman

Tabel 1 Perbandingan Waktu Bekerja bagi Tim Majelis yang melaksanakan

SDTK di yogyakarta...47

Tabel 2 Perkembangan Pengajuan Banding atau Gugatan setelah adanya SDTK

Yogyakarta...57

Tabel 3 Rekapitulasi Berkas Disidangkan per Majelis Periode 1 Juni 2012- 31 Mei

2013...58

Tabel 4 Rata-rata Jumlah Berkas Disidangkan Periode 1 Juni 2012- 31 mei

2013...79

Tabel 5 Rata-rata jumlah berkas Disidangkan ( Berdasarkan Jenis Sengketa)

Periode 1 Juni 2012- 31 Mei 2013...60

Tabel 6 Realisasi jumlah Berkas yang Dikelola Tahun 2012 untuk Setiap Majelis

yang melaksanakan SDTK di Yogyakarta...61

Tabel 7 Produksi Putusan Tahun 2002 untuk Setiap Majelis yang Melaksanakan


(14)

HALAMAN PENGESAHAN

PENERAPAN·AS:AS SEDERl£ANA, CEFAr'DAN BlAY-A RlNCAN' .

DALAM SISTEM PERADILAN PAJ AK DI INDONESIA

Telah diseminarkan dihada pan tim penelaah pada tanggal 23 Agustus 2016

Yang terdiridart セ@

Ketua

セM

Bagus Sarnawa, S.H,.M.Hum

n セ QYVXPXRQQYY SP S Q P PS@

nggota Anggota

Beni B idayat, S.H,. M.Hum. Sunarno, S.H,. M.H um.

NUK. 19731231 199804153030 NIK. 19721228200004153046

Mengesahkan

Dekan. Fakultas 1IIlku.ID.

.

abarjo. S.H,.M.Hum.

nセY W QP TPYQYYWPRQUSPRX@


(15)

PENERAPAN ASAS SEDERHANA CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM SISTEM PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

ABSTRACT

Sidang di Luar Tempat Kedudukan (SDTK) Pengadilan Pajak di Yogyakarta menggunakan Majelis Hakim beserta Tim Paniteran dari Jakarta, selain itu sengketa pajak yang ditangani di Yogyakarta tergolong tidak terlalu rumit penyelesaiannya dan adanya perbedaan pemaknaan dari cepat atau tidak tidaknya penyelesaiannya sengketa pajak yang dilakukan di Yogyakarta. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan SDTK di Yogyakarta layak atau tidak untuk tetap dilaksanakan ditinjau dari segi asas sederhana cepat dan biaya ringan. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum empiris-normatif dan menggunakan sample penelitian menggunakan random sampling. Hasil yang ingin didapatkan dianalisis dengan metode analisis kualitatif, untuk data penelitian, dan metode deskriptif analitik, untuk interpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelenggaraanya masih kurang terakomodir, yaitu dari segi pemaknaan putusan-putusan yang ambigu, ketimpangan beban kerja yang tidak seimbang antara pusat dan SDTK, penggunaan soft file dan produktifitas hakim. Penerapan asas sederhana cepat dan biaya ringan juga diakomodir karena keberadaan SDTK memudahkan bagi wajib pajak WP untuk mendapatkan keadilan, memberikan kesan yang baik dimasyarakat setelah banyaknya kasus mafia pajak, dan mempercepat sekaligus menyelamatkan pemasukan maupun pengeluaran Kas Negara. Penulis akhirnya dapat menyimpulkan bahwa keberadaan SDTK di Yogyakarta tetap layak untuk dibuka dengan teap terus melakukan perbaikan-perbaikan.

KataKunci : Asas biaya ringan, asas cepat, asas sederhana, Pengadilan Pajak, sisitem peradilan pajak di indonesia.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas Negara yang sangat

potensial untuk pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintah, pertahanan

dan pembangunan nasional dalam dengan tujuan akhir kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Maka dari itu, sektor pajak memegang peranan penting

dalam perkembanagan kesejahteraan bangsa. Penting dan strategisnya peran

sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun yang

disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya peningkatan persentase sumbangan

perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun.1

Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari swasta

kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan

tidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjukan, digunakan untuk

membiayai pengeluaran umum dan sebagai pendorong, penghambat atau

pencegahan untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan Negara.2

Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena

undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang untuk membayar uang kepada Negara yang dapat

1 WirawanB. Ilyas dan Richard Burton, 2010, Hukum Pajak Edisi 5, Jakarta, Salemba Empat,

hlm 11.

2Rahmat Soemitro, 1992, Bandung, Peradilan Adminitrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia,


(17)

dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat

ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluran-pengeluaran Negara dan

yang digunakan sebagai alat pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan

di luar bidang keuanagan.

Pajak yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang memiliki sifat memaksa

karena memuat sanksi hukum berupa sanksi adminitrasi maupun sanksi pidana.

Sekalipun pajak bersifat memaksa, fiskus tidak boleh menyalahgunakan pajak

yang dibayar oleh wajib pajak. Pajak diperlukan oleh Negara untuk membiayai

pelaksanaan tujuan Negara yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD

1945, yang mengaskan sebagi berikut3 :

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Setiap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibuat oleh

pemerintah, paling tidak terdapat tiga sumber penerimaan Negara yang menjadi

andalan, yaitu : penerimaan dari sektor pajak, penerimaan dari sektor migas, dan

penerimaan dari sektor bukan pajak. Berdasarkan ketiga sumber tersebut,

ternayata dalam setiap APBN terlihat bahwa penerimaan terbesar Negara. Hal ini

ditandai dari tahun ke tahun penerimaan dana yang berasal dari sektor pajak

selalu dikatakan sebagai penerimaan Negara yang paling potensial dalam

3Saidi, M.D., 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelsesaian Sengketa Pajak,


(18)

pembiayaan pembangunan nasional, dibandingkan dari sektor-sektor lainnya,

seperti dari sektor migas yang sekarang ini sudah tidak dapat diharapkan lagi

sebagai sumber penerimaan keungaan Negara yang terus menerus, karena

sifatnya yang tidak bisa di perbarui.

Tidak dapat di pungkiri bahwa sulitnya fiskus melakukukan pemungutan pajak

karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak yang

merupakan suatu tantangan tersendiri bagi fiskus. Pemerintah telah memberikan

kelonggaran dengan memeberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat

Pemberitahuan Pajak ( SPT ). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang

lalai untuk membayar pajak bahkanh tidak sedikit yang cenderung menghindari

kewajiban tersebut. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang

merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang

dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak

salah satunya adalah Pengadilan Pajak.

Sengketa Pajak yang dikenal dalam Pengadilan Pajak hanya berupa Gugatan

dan Banding saja. Tidak dikenalnya Banding di dalam Pengadilan Pajak, bertolak

belakang karena para pencari keadilan pada umumnya bisa mendapatkannya

melalui Pengadilan Tinggi dalam berbagai peradilan lainnya di Indonesia.

Peradilan yang demikian merupakan suatu kekhususan yang hanya dimiliki oleh

Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak bisa dikatakan sebagai bagian dari salah satu

ciri dari Negara hukum (rechtsstaat) karena Peradilan Tata Usaha Negara


(19)

salah satu ciri dari Negara hukum. Ciri itu biasanaya ada di Negara Hukum

dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental.4

Tidak seperti PTUN, Pengadilan Pajak hanya memiliki 1 (satu) Pengadilan

saja, yaitu di Ibu Kota Negara, Jakarta, sesuai amanat Pasal 3 Undang-undang

Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU PP atau

UU Pengadilan Pajak. Meskipun Pengadilan Pajak hanya ada di Jakarta tetapi

dimungkinkan dilakukan persidangan di daerah-daerah di Indonesia, sesuai Pasal

4 pada Undang-undang yang sama. Akan tetapi adanya tempat bersidang tersebut

tidak akan menjadikannya sebagai Pengadilan Pajak, hanya sebatas pada tempat

persidangan saja. Saat ini sidang di luar tempat keduduakan (SDTK) Pengadilan

Pajak hanya terdapat di Yogyakarta, dibentuk tanggal 7 Juni 2012 melalui Surat

Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor KEP-006/PP/2012, dan Surabaya

pada tanggal 14 Maret 2013.

Pada tiap-tiap tempat persidangan di luar tempat kedudukan akan ditempatkan

pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak tersebut merupakan pegawai yang ditunjuk

dari Sekretariat Pengadilan Pajak. Akan tetapi adanya Pegawai Sekretariat

Pengadilan Pajak yang ditempatkan pada masing-masing tempat persidanagan

tidak menjadikannya sebagai tempat pengurusan adminitrasi karena

kepengurusannya tetap menjadi tanggung jawab dari Sekretariat tetap menjadi

tanggung jawab dari Sekretariat Pengadilan Pajak di Jakarta sebagai Ibu Negara

saat ini. Selain itu, Mejelis Hakim yang menyidangkan didatangkan langsung dari

4Sekeretariat Jenderal MPR RI, 2006, Panduan Permasyarakatan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1954 ( Sesuai dengan urutan Bab,Psal, dan Ayat), Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, Hlm 47


(20)

Jakarta pada tiap persidanagan yang dilaksanakan seminggu sekali pada hari

sidang (harsinom) kamis. Tidak hanya Majelis Hakim yang didatangkan langsung

tetapi Tim Kepaniteraannya, memang ditunjuk khusus untuk Majelis Hakim

tersebut, juga didatangkan bersamaan dengan Majelis Hakim. Tim Kepaniteraan

ini memang bekerja di Jakarta dan berbeda dengan pegawai pada Sekretariat

Pengadilan Pajak yang ditempatkan di masing-masing tempat persidangan.

Kekhususan lainnya yaitu terdapat perbedaan puncak koordinasi di dalam

tubuh Pengadilan Pajak. Hakim-hakim dari Pengadilan Pajak, seperti yang sudah

penulis sebutkan, berada di bawah naungan Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN) karena memang sengketa yang diajukan sama dengan sengketa di

PTUN, yaitu kebijakan yang dibuat oleh aparatur Negara. Sehingga dapat

dipastikan bahwa puncak dari hakim-hakim Pengadilan Pajak ialah Mahkamah

Agung (MA), sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada di

Indonesia. Akan tetapi Kepaniteraan Pengadilan Pajak termasuk

pegawai-pegawai pada Sekretariat Pengadilan Pajak dan Kepaniteraan Pengadilan Pajak

berada di bawah nauangan Kementerian Keuangan.

Adanya kekhususan tersebut pada tubuh Pengadilan Pajak tidak lantas

membuat dan mengijinkan Pengadilan Pajak mengesampingkan asas

sederhana,cepat dan biaya ringan karena setiap persidanagan yang ada di muka

bumi ini akan selalu menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas cepat

artinya acara dalam persidangan harus di selesaikan dengan cepat tanpa

melakukan hal-hal yang tidak efisien, asas sederhana memiliki maksud bahwa


(21)

ringan ialah biaya harus ditekan seminimal mungkin agar para pencari keadilan

bisa menjangkau biaya perkaranya. Berdasarkan pengertian-pengertian

sebelumnya, maka tidak mengherankan lahirnya asas tersebut guna menopang

perlindungan hukum bagi para pencari keadilan.

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan, memiliki variable-variable yang

berdiri sendiri, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Adanya variable-variable

tersebut memang semestinya dijabarkan secara terpisah antara satu dengan yang

lainnya. Apalagi dari uraian-uraian penulis mengenai keunikan-keunikan yang

terdapat pada Pengadilan Pajak dibandingkan peradilan-peradilan yang ada di

Indonesia mengundang tanya besar pada diri penulis apakah dengan

keberagamaan tersebut tetap memberikan ruang pada variable cepat, variable

sederhana dan variable biaya ringan yang dirasakan oleh para pencari keadilan.

Oleh karena itu pada penelitian hukum kali ini. Penulis ingin mengupas

lebih mendalam dari sisi asas sederhana, asas cepat dan asas biaya ringan. Hal ini

didasarkan pada informasi di lapangan yang didapatkan penulis bahwa pada

penyelesaian Sengketa Pajak masih terdapat perkara yang penyelesainnya

memakan waktu yang lama, melebihi ketentuan yang ada di dalam peraturan

undang-undang, yaitu 12 (dua belas) bulan dan bisa ditambah 3 (tiga) bulan

dengan alasan tertentu. Sehingga penulis menetapkan bahwa tidak semua

variable-variable yang terdapat pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan bisa


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka ada

bebarapa permasalahan yang ingin penulis ketahui jawabannya melalui

penelitian, yaitu :

1. Bagaimana penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam

sistem peradilan pajak di Indonesia ?

2. Apa yang menjadi hambatan dalam proses pengadilan pajak tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Jika dilihat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan maka, tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan

dalam sistem peradilan pajak di indonesia.

2. Untuk mengatahui apa saja yang menjadi hambatan dalam proses

persidangan pengadilan pajak tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini :

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan pemikiran dalam melakukan pengamatan terhadap

penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam sistem


(23)

b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam melakukan penulisan

secara ilmiah yang dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa

skripsi.

c. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terutama berkenaan

dengan penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam

peradilan pajak di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Penulis mengharapkan agar dapat memberikan sumbangan

pemikiran mengenai perananan asas sederhana, cepat dan biaya

ringan dalam sistem peradilan di indonesia.

b. Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan

oleh semua pihak baik itu bagi pemerintah, masyarakat, umum,

tenaga kerja maupun pihak-pihak yang bekerja di bidang hukum,

khususnya dalam penerapan asas sederhana,cepat dan ringan


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Definisi Pajak dan Hukum Pajak

Sebelum membahas mengenai Pengadilan Pajak tentu harus mengerti apakah

pajak itu. Dalam semua undang-undang tentang pajak, tidak ada satu pun yang

menjelaskan mengenai definisi pajak ini. Salah satu yang menyebutkan mengenai

definisi pajak adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak, yang dalam pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa :”Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea dan Cukai, dan

pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam Pasal 1 angka 2 ini tidak terlalu menjelaskan definisi dari pajak,

karena hanya menyebutkan jenis-jenis pajak saja, tetapi disini tidak disebutkan

apa arti pajak itu sendiri. Apabila melihat pada pendapat para ahli, ternyata

definisi pajak ini sendiri bermacam-macam.

Menurut P.J.A Adriani Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarna menurut


(25)

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang

berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. 1

Menurut Hofstra menyatakan Pengertian pajak sebagai “sumbangan paksaan dari rumah tangga (keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak mempunyai

jasa timbal balik pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang

dipungut berdasarkan peraturan umum, lain dari pada sebagai hukuman karena

melanggar hukum pidana.2

Sementara itu, Rachmat Soemitro menyatakan definisi pajak sebagai :

Peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan

Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie)

yang secara langsung ditunjukan, yang diguanakan untuk membiayai pengeluaran

umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah

untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara.3

Dari definisi para ahli tentang pajak di atas, seperti yang disimpulkan oleh

Rochmat Soemitro pajak mempunyai tujuan untuk memasukan uang

sebanyak-sebanyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara.

Apabila melihat pada definisi Adriana dan Hofstra diatas, maka yang

tergambar adalah bahwa pajak hanya sebatas mempunyai fungsi budgeter, namun

1R. Santoso Brotodiharjo, 2003, edisi keempat Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, Rafika

Aditama, Hlm 2

2Wiratni Ahmadi, 2005, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Kaitan Penyelesaian

Snegketa Pajak, Bandung, Rafika Aditama, hlm 2


(26)

apabila melihat pada definisi dari Rochmat Soemitro disitu tergambarkan bahwa

selain mempunyai fungsi budgeter pajak juga mempunyai fungsi mengatur (

regulerend ). Sebagaimana ditegaskan oleh Rochmat Soemitro pajak ini bukan

semata-mata untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara,

melainkan juga dapat digunakan alat untuk mencapai tujuan tertentu.4

Hal penting yang dikemukakan dalam membahas “Peradilan Pajak”, yakni mengenai pajak dan hukum pajak. Hukum Pajak, merupakan penggabungan dari

konsep hukum dan pajak, yang masing-masing memiliki pengertian sendiri5

Memang diakui bahwa banyak bagian Hukum Pajak yang didasarkan atas

hukum lain. Namun kenyataan tersebut tetaplah tidak memberikan arti bahwa

Hukum Pajak berderajat lebih rendah daripada Hukum Adminitrasi Negara.

1. Sengketa Pajak

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No.14 tahun 2002 Sengketa Pajak

adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak

atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan

kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanan penagihan berdasarkan

Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

4Ibid hlm 3

5Dewi Kania Sugihaerti A, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung, Refika


(27)

Bahwa rumusan Pasal 1 angka 5 UUPP, sengketa pajak ini diakibatkan

keluarnya keputusan dari pejabat yang berwenang. Selain itu perbedaan

kepentingan dan penafsiran antara Wajib Pajak dengan fiskus terhadap

Undang-undang perpajakan ditambah dengan adanya celah dalam

undang-undang dapat menimbulkan terjadi perselisihan anatar wajib pajak dan

aparat pajak mengenai besarnya jumlah pajak yang terutang.

Perselisihan itu mengenai “ dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan”, bukan mengenai jumlah pajaknya meskipun jumlah utang pajak tergantung daripada besarnya yang

digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.6

Terjadinya Sengketa Pajak awali dengan adanya ketidaksamaan

persepsi/pemahaman atau perbedaan pendapat meliputi7 :

a. Antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak ( aparat Direktorat

Jenderal Pajak ) atas penetapan pajak terutang untuk pajak-pajak

pusat yang dikelola oleh Direktur Jenderal Pajak, atau

b. Antara Wajib Pajak dan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan

Daerah ( aparat Dinas Pendapatan Daerah ) setempat (

Propinsi/Kabupaten/Kota) atas penetapan pajak terutang untuk

pajak-pajak daerah,atau

6Bohari, 2004, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, RajaGrafindo Perkasa, hlm 136

7Atep Adya Barata, 2003, Meminimalisasi dan Menghindari Sengketa Pajak dan Bea Cukai,


(28)

c. Antara orang ( perseorangan atau badan hukum)/ Wajib Pajak dan

Direktur Jenderal Bea dan Cukai ( aparat Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai dan sanksi

adminitrasi, serta Pajak Penghasilan Pasal 22-Impor, Pajak

Pertambahan Nilai-impor,dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah-Impor.

2. Upaya Hukum atas Sengketa Pajak

Sebagai negara hukum tentu saja harus ada perlindungan hukum bagi

wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak. Dalam undang-undang

perpajakan memberikan suatu upaya yang dapat ditempuh oleh wajib

pajak untuk menuntut haknya dalam mencari keadilan dalam hal sengketa

pajak.

Penyelesaian sengketa pajak yang timbul anatar Wajib Pajak dengan

Dirjen Pajak diselsaikan melalui dua bentuk penyelesaian.

Pertama,penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh pihak yang terlibat

dalam sengketa itu sendiri yakni Dirjen pajak. Adapun bentuknya melalui

keberatan dan permohonan pembetulan. Kedua, penyelesaian yang

diselsaikan oleh pihak/instansi yang tidak terlibat dalam sengketa yakni


(29)

banding dan gugatan tersebut para pihak dapat mengajukan PK ke MA

untuk hak yang sifatnya khusus.8

Penyelesaian pertama menurut Wiratni Ahmadi di atas maksudnya

adalah penyelesaian sengketa melalui peradilan adminitrasi tidak murni

atau quasi peradilan (peradilan semu) yang jenisnya merupakan peradilan

doleansi.

Jadi atas suatu perbedaan pendapat antara wajib pajak dan fiskus

mengenai utang pajak, wajib pajak pertama kali dapat mengajukan

keberatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UU No. 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah

diubah terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007.

Dalam hal ini keberatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak hanya dapat

diajukan Kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :

1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

4) Surat Ketetapan Pajak Nihil

5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

8Wiratni Ahmadi, 2006, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Kaiatan Penyelesaian Sengketa


(30)

Dan keberatan ini harus diajukan secara tertulis dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan sejak tanggal surat,tangal pemotongan atau pemungutan dalam

bahasa Indonsia dan dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang

atau jumlah pajak yang dipotong atau di pungut atau jumlah rugi menurut

penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Walaupun demikian, pengajuan keberatan ini tidak menunda

kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Setelah

upaya keberatan, bila ternyata upaya keberatannya ditolak oleh Direktur

Jenderal Pajak Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya

kepada Pengadilan Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara

tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu

3(tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat

keputusan tersebut. Pengajuan permohonan banding juga tidak menunda

kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Atas putusan dari Pengadilan Pajak wajib pajak masih bisa

mengajukan permohonan peninjauan kembali PK ke Mahkamah Agung

MA, berdasarkan Pasal 89 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak. Permohonan Peninjauan Kembali PK sebagaimana


(31)

kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Dan permohonan

peninjauan kembali juga tidak menangguhkan atau menghentikan

pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

Berdasarkan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, Permohonan peninjauan

kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu

kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui

setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti

yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan

bersifat menentuakn, yang apabila diketahui pada tahap

persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan

putusan yang berbeda.

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus

berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;

4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan yang

nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan


(32)

B. Pengadilan Pajak

1. Sistem Peradilan Pajak di Indonesia

Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan adminitrasi yang

bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai

peradilan adminitrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak

yang berselisih harus administrator (pejabat admintarsi), yang menjadi

terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya,

dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau

hukum admintrasi.9

Pasal 2 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan

bahwa: Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang

mencari keadilan terhadap sengekta pajak. Dengan demikian Pengadilan

Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.

Dalam penjelasan Pasal 2 UU Pengadilan Pajak dinayatakan bahwa:

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan tata cara Perpajakan sebagaiamana telah beberapa kali diubah terkahir

dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002, dan merupakan Badan

Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun


(33)

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun

penjelesannya, tidak mencantumkan satu pasal pun yang menyebutkan

bahwa pengadilan pajak berada di bawah salah satu lingkungan peradilan

empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilam militer,

peradilan agama, peradilan adminitrasi Negara/tata usaha Negara, yang

dikenal dalam kekuasaan kehakiman. Sedangkan Pasal 5 UU No. 14 tahun

2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam

Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan

pembinaan organisasi, admintrasi, dan finansialnya dilakukan oleh

Departemen Keuangan.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 Paal 24 (2) menyatakan bahwa di

Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang keuasaan kehakiman tertinggi,

yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan

peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Dari UUD

1945 tersebut di atas menggabarkan bahwa dalam system peradilan di

Indonesia kekuasaan tertinggi yang menyelenggarakan peradilan dipegang

oleh keuasaan kehakiman dan dipimpin oleh Mahkamah Agung.

Pasca amandemen keempat Undang-undang Dasar Republik Indonesia


(34)

tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-undang Nomr 14

tahun 1970 tantang Ketentuang-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 1999

dan Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut Kedudukan Pengadilan Pajak

secara eksplisit dinatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu

lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 25.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus

sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

undang-undang.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia,


(35)

Pengadilan Perikanan yang berada di lingkungan Peradilan Umum, serta

Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain itu, Pasal 9A Undang-unang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, menyebutkan Di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.

Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferesiansi atau spesialisasi di lingkunagn Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian

dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”. Dengan demikian sangat jelas bahwa ketiga undang-undang itu memasukan Pengadilan Pajak dalam lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Kompetensi Pengadilan Pajak

Istilah kompetensi berasal dari bahasa latin di abad menengah “competentia”, yang berarti “hetgen aan iemend toekomt” yaitu apa yang menjadi wewenang seseorang. Dalam bahasa Indonesia istilah itu sering


(36)

diterjemahkan dengan kewenangan, kekuasaan atau hak, yang dikaitkan

dengan badan yang menjalankan kekuasaan kehakiman.10

Jadi kompetensi itu merupakan pemberian kekuasaan, kewenangan

atau hak kepada badan dan atau pengadilan yang melakukan peradilan. Hal

itu penting agar suatu permohonan gugatan yang disampaikan kepada

badan atau peradilan dapat diperiksa dan diputus oleh badan yang

berwenang.11

Wewenang atau kekuasaan pengadilan tercakup dua hal yaitu :

1. Attributie (pemberian), yaitu apakah Pengadilan Negeri

pada umumnya (dan) bukan lain macam pengadilan atau

badan kekuasaan (yang) berkuasa memeriksa perkara

semacam yang dimaksudkan dalam permohonan gugat;

2. Distributie (pembagian), apakah Pengadilan Negeri yang

disebut dalam permohonan gugat (dan) bukan Pengadilan

Negeri lain (yang) berkuasa memeriksa perkara tertentu,

yang dimaksudkan permohonan gugat.12

Kompetensi absolut oleh R. subekti dan R. Tjitrosoedibio

sebagaiamana dikutip oleh Sjahran Basah diberi arti sebagai uraian tentang

kekuasaan atau wewenang sesuatu jenis pengadilan. Sedangkan

10Sjahran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi di Indonesia,

Bandung, Alumni, hlm 65

11Ibid


(37)

kompetensi relatif ialah menetapkan pembagian kekuasaan diantara

badan-badan pengadilan dari satu jenis.13

a) Kompetensi absolut

Seperti umumnya diketahui, sebuah institusi pengadilan mempunyai

kompetensi (kewenangan mengadili) absolut. Yang dimaksud kompetensi

absolute adalah kewenangan suatu lembaga pengadilan untuk memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan sengketa atau persoalan hukum tertentu

apabila dihadapkan dengan kewenangan dari lembaga pengadilan dari

lembaga peradilan lainnya yang mempunyai wilayah hukum sama.

Dalam kaitannya dengan Kompetensi absolut Pengadilan Pajak,

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

mengatur hal ini dalam dua pasal, yakni Pasal 31 dan Pasal 32.14

Pasal 31 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

menyatakan bahwa Pengadilan Pajak Mempunyai tugas dan wewenang

memeriksa dan memutus sengekta pajak. Berdasarkan Pasal 31 ayat (2)

Undang-undang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak dalam hal banding

hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan

keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

13Ibid hlm 67


(38)

Sementara menurut Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002

tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa :

(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang

memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang

bersengketa dalam siding-sidang Pengadilan Pajak.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Ketua.

Berdasarkan kedua Pasal tersebut maka jelaslah kompetensi

Pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Dalam

menyelesaikan sengketa pajak ini Pengadilan Pajak memiliki kewenangan

dalam dua macam upaya hukum, yaitu Gugatan dan Banding.

Selain mengenai banding dan gugatan seperti diatas, yang juga

menjadi kewenangan absolut Pengadilan Pajak adalah melakukan

pengawasan terhadap kuasa hukum kepada para pihak yang bersengketa di

Pengadilan Pajak.15

b) Kompetensi Relatif

Berbeda dari kompetesni absolut yang menghadapkan kewenagan

mengadili dari suatu pengadilan dengan kewenangan mengadili dari suatu

pengadilan dengan kewenangan mengadili dari lingkungan peradilan lain,


(39)

maka kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili pengadilan

dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang

berbeda. Dalam kaitan hal tersebut, kedudukan dan wilayah hukum dari

sebuah lembaga pengadilan memegang peranan yang sangat penting.

Untuk Pengadilan Pajak sendiri mengenai hal ini diatur dalam Pasal 3 dan

Pasal 4 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.16

Pasal 3 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak menyatakan bahwa : “ Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedududkan di ibukota Negara.”

Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa “Sidang Pengadilan Pajak dilakaukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain.”

Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa : “tempat sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Ketua.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 tersebut dapat dilihat bahwa

kedudukan Pengadilan Pajak adalah ibukota Negara, yaitu Jakarta. Tetapi

apabila melihat ketentuan Pasal 3 UU PP dan dibandingkan dengan

ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 UU BPSP terdapat perbedaan. Pasal 3 ayat 1 UU BPSP menyatakan bahwa : “Dengan Undang-undang ini dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang berkedudukan di ibu kota negara

dan apablia dipandang perlu dapat dibentuk Badan Penyelsaian Sengekta


(40)

Pajak yang tingkatnya sama dengan tempat lain.” Sementara Pasal 4 UU BPSP menyatakan bahwa: “Sidang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dilakukan di tempat kedudukan atau di tempat lain dalam daerah hukumnya.”

Apabila melihat ketentuan Pasal 3 UU BPSP maka dapat dimungkinkan

terjadinya sutu kompetensi relative, yaitu antara BPSP yang berkedudukan

di ibukota Negara dengan BPSP di tempat lain yang tingkatnya sama.

Sementara dalam ketentuan UU PP tidak membuka kemungkinan adanya

pembukaan Pengadilan Pajak di tempat lain yang setingkat dengan yang di

Jakarta maupun yang merupakan pengadilan di bawahnya.17

3. Urgensi Keberadaan Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak bukanlah lembaga yang baru, karena berdasarkan

UU Nomor 14 Tahun 2002, keberadaan Pengadilan Pajak saat ini adalah

kelanjutan dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak ( BPSP ).18

Keberadaan lembaga peradilan pajak di tanah air tidak bisa dilepaskan

dari konsep Negara Hukum yang menghendaki adanya supremasi hukum

dan penegakan hukum oleh lembaga-lembaga peradilan. Salah satu

lembaga peradilan yang bertugas melakukan penegakan hukum tersebut

adalah Lemabaga Peradilan Pajak.19

17Ibid hlm 86

18Dewi Kania Sugiharti, op cit., hlm 56

19Galang Asmara, 2006, Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan Dalam Hukum Pajak di


(41)

Pengadilan pajak di bentuk berdasarkan Pasal 24 dan 25 UUD 1945

Amandemen ketiga Jo. UU Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah di

ubah dengan UU Nomor 35 tahun 1999 dan diubah kembali dengan UU

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman Jo. UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Konsiderens UU Nonor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak ini sendiri menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum,

sehingga keberadaan lembaga peradilan salam suatu negara hukum ini

sangat penting karena tanpa adanya suatu lembaga peradilan yang diberi

kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum ini

menjadi tidak berfungsi bagi masyarakat.

Dalam pelaksanaanya, proses pemungutan pajak ini tidak semudah

sebagaimana yang tertulis dalam Undang-undang, karena ternyata dalam

pelaksanaanya sering ditemui adanya permasalahan yang terkadang justru

sangat kompleks. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena beberapa hal,

diantaranya :

1. Perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi

yang berlangsung semakin cepat diiringi perkembangan

teknologi yang semakin maju;

2. Perbedaan penafsiran anatar Wajib Pajak dengan Fiskus


(42)

3. Adanya celah dalam undang-undang ( loop hole)

4. Adanya perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan

Pemerintah dalam Pelaksnaan peraturan perpajakan dimana

wajib pajak tentunya menginginkan agar jumlah pajak yang

dibayarnya sekecil mungkin sedangkan pemerintah ( dalam

hal ini) dituntut untuk dapat memasukan dana

sebanyak-banyaknya ke kas negara melalui penerimaan pajak.

Ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Fiskus ( pejabat pajak yang

berwenang) tidak selalu dapat diterima atau disetujui oleh Wajib Pajak

yang bersangkutan. Oleh sebab itu, undang-undang pajak yang berlaku di

indonesia menjamin hak setiap Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan

sampai tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan terhadapnya.

Bahkan, saat ini masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan kembali

atas putusan banding ke Mahkamah Agung, yang tidak hanya berlaku bagi

Wajib Pajak namun juga bagi Fiskus

Atas perselisihan itu, wajib pajak tentu menginginkan suatu

perlindungan hukum sebagai pencari keadilan. Bahwa manusia itu

mempunyai hak yang tidak boleh diselewengkan oleh pemerintah dan

absolutusme dalam pemerintah harus didobrak.. Bahwa berdasarkan teori

perjanjian masyarakat ( social contract) yang ada pokoknya menyatakan


(43)

memberikan kekuasaan dan rakyat akan mematuhinya selama hak-hak

rakayat tidak diselewengkan.

Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002, pengadilan pajak

adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi

wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap

sengketa pajak.

Pasal 2 UU PP mengandung arti bahwa Pengadilan Pajak merupakan

instrumen yang dapat digunakan sebagai sarana bagi pencari keadilan

untuk mendapatkan keadilan, yaitu untuk melindungi kepentingan waib

pajak, dengan kaitannya dalam hubungan antara para pihak yang

bersengketa di pengadilan pajak. Dimana di dalamnya melibatkan

pemerintah selaku fiskus dan rakyat selaku wajib pajak atau penanggung

pajak.20

Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sengketa pajak

yang dijadikan objek sengketa adalah keputusan atau tindakan pemerintah

yang tercermin dari keputusan atau tindakan dari Pejabat pada jajaran

Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai maupun pejabat

yang berwenang lainnya yang dipermasalahkan oleh rakyat selaku wajib

pajak atau penanggung pajak.

Jadi fungsi pengadilan pajak di sini adalah sebagai suatu badan

peradilan yang memeberikan perlindungan bagi wajib pajak atau

20Y Sri Pudyatmoko, 2005, Pengadilan dan Penyelsaian sengketa di Bidang Pajak, Gramedia


(44)

penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak yang

dialaminya.

Dalam penjelasan UU pengadilan pajak juga disebutkan bahwa

pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang

perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib pajak,

sehingga dapat mengakibatkan timbulnya Sengketa pajak antara Wajib

Pajak dan pejabat yang berwenang.

4. Tempat sidang di Luar Kedudukan Pengadilan Pajak Yogyakarta

Persidangan sengketa-sengketa pajak kini tidak sebatas dilaksanakan

di Ibu Kota Negara saja, sesuai amanat Pasal 3 Undang-undang Nomor

14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU PP

atau UU Pengadilan Pajak, tetapi dimungkinkan dilakukan di

daerah-daerah di Indonesia, sesuai Pasal 4 ayat (1) pada undang-undang yang

sama. Meskipun begitu, tidak berarti akan dibentuk Pengadilan Pajak – Pengadilan Pajak di daerah-daerah melainkan hanya dibentuk tempat

persidangannya saja yang yang saat ini hanya terdapat di Yogyakarta,

dibentuk tanggal 7 Juni 2012 melalui Surat Keputusan ketua

Pengadilan Pajak Nomor KEP-006/2012, dan Surabaya pada tanggal

14 Maret 2013. Rencananya pada tahun depan akan dibuka Tempat

Sidang Pengadilan Pajak di Medan, salah satu dari 5 (lima) kota besar

yang direncanakan menjadi Tempat Sidang Pengadilan Pajak, yaitu


(45)

selanjutnya yang akan dibuka, akan tetapi Bandung, dan Makassar

masih belum bisa dipastikan apakah akan dibuka atau tidak.

C. Tinjauan menegenai Asas Sederhana,cepat dan biaya ringan

1. Asas Cepat

Asas secara bahasa artinya dasar hukum, dasar ( suatu yang

menjadi tumpuan berrfikir atau berpendapat, dasar cita-cita (

perkumpulan atau organisasi).21 Cepat secara bahasa artinya waktu

singkat. Dalam waktu singkat : segera, tidak banyak seluk buluknya (

tidak banyak pernik)22 atau yang pantas mengacu pada tempo, cepat

atau lambatnya penyelesaian perkara23.

Kata cepat menunjukan kepada jalannya peradilan. Terlalu banyak

formalitas merupakan hamabatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal

ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di persidangan

sampai pada penandatanganan putusan oleh hakim dan

pelaksanaannya. Tidak jarang suatu perkara tertunda-tunda sampai

bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian

tidak datang atau minta mundur. Bahkan perkaranya dilanjutkan oleh

ahli warisnya. Maka cepat jalannya peradilan akan meningkatlan

21 Sedursono, 1992, Kamus Hukum, PT Rineka Cipata, Jakarta, Hlm 36

22 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Indonesia, 1990, Kamus besar bahasa indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, hlm 792.

23Setiawan, 1992 Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung, Hlm


(46)

kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat

kepada pengadilan.

Namun demikian, penyelesaian yang cepat ini senantiasa harus

berjalan di atas aturan hukum yang benar, adil dan teliti.24 Asas Cepat

ini bukan bertujuan untuk menyuruh hakim memeriksa dan memutus

perkara misalnya dalm tempo satu jam atau setengah jam. Yang di

cita-citakan ialah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan

jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan

sederhanaan hukum acara itu sendiri, tetapi jangan di

lambat-lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional

dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan

sepatutnya kepada masing-masing pihak yang berperkara sesuai Audi

alterm Petern.25 Selain itu proses beracara yang cepat harus ditinjau

dari kewajiwaan dan kemanusiaan, nilai kebenaran dan keadilan akan

berubah menjadi kebencian dan dendam apabila selama pemeriksaan

persidangan pihak yang berperkara diperlakukan tidak senonoh dan

tidak manusiawi. Perlakuan pelayanan yang kasar dan merendahlan

derajat mertabat seseorang ( human dignity ) dengan sendirinya

meracuni rasa kebenaran dan keadilan. Hukum sesorang dengan

hukuman yang berat, maka dia akan tulus dan ikhlas menerima

hukuman itu, apabila selama pemeriksaan dilayani dan diperlakukan

24 Sudikno Martukusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia,Bandung, hlm 36

25 A.Mukti Arto, 2001, Mencari Keadilan ( Kritik dan solusi Terhadao praktik Peradilan Di


(47)

secara manusiawi. Sebaliknya, jatukanlah hukuman yang ringan akan

tetapi dalam proses persidangan kasar, bengis dan tiak manusiawi,

bukan rasa keadilan yang bersemi dalam kalbu sanubari.26

2. Asas sederhana

Asas sederhana artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan

tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat

mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti ( tidak

berubah-berubah) dan penyelesainya dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan

pasti. Dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan

para pihak yang menghendaki acara yang sederhana.27 Sederhana mengacu

juga pada complicated tidaknya penyelesaian Perkara.28

Yang dimaksud sederhana menurut Sudikno Martokusumo adalah

acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit

dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan

dalam beracara di muka pengadilan, makin baik. Terlalu banyak formalitas

yang sukar dipahami atau peraturan-peraturan yang berwahyu arti (

dubious), sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang

menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau

ketakutan untuk beracara dimuka peradilan.29

26Ibid, Hlm 64

27M. Yahya Harahap, 2003, kedudukan, Kewenangan dan acara Peradilan Agama (

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989). Sinar Grafika Offseet,Jakarta, Hlm 71

28 A.Mukti Arto, Op. Cit., hlm 426


(48)

Asas sederhana hanya dapat ditegakkan dan keadilan hanya bisa

dirasakan apabila proses pemeriksaan didepan pengadilan dilakukan

dengan kecermatan dan ketelitian, sehingga dihasilkan putusan hakim

yang secara kualitatif benar bermutu dan memenuhi rasa keadilan

masyarakat.30 Bukan berarti pemeriksaan perkara dilakukan seperti ban

berputar. Tidak demikian maknanya. Asas ini bukan bertujuan untuk

menyuruh hakim untuk memeriksa dan memutus perkara dalam tempo

satu atau setengah jam. Yang dicita-citakan ialah suatu yang relatif tidak

memakan jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan

sederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang sederhana,

jangan dipersulit oleh hakim ke arah proses yang berbelit-belit dan

tersendat-sendat.31

3. Asas Biaya Ringan

Secara bahasa biaya artinya uang yang dikeluarkan untuk

mengadakan (mendirikan, melakukan, dan sebagainya) sesuatu, ongkos

(administrasi ; ongkos yang dikeluarkan untuk pengurusan surat dan

sebagainya), biaya perkara seperti pemanggilan saksi dan materai32.

Sedangkan ringan disini mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang

harus dikeluarkan oleh pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya

di depan pengadilan.33 Biaya ringan dalam hal ini berarti tidak dibutuhkan

biaya lain kecuali benar-benar diperlukan secara riil untuk penyelesaian

30 Setiawan, 1992, Op. Cit., hlm 359

31 M.Yahya Harahap, Op. Cit., hlm 70-71

32 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,. Op. Cit, hlm 113


(49)

perkara. Biaya harus ada tarif yang jelas dan seringan-ringannya. Segala

pembayaran di pengadilan harus jelas kegunaanya dan diberi tanda terima

uang. Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang tersebut kepada

yang bersangkutan dengan mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara

sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.34

Menurut pasal 121 HIR (1) penetapan biaya perkara dilakukan

sesudah surat gugatan dibuat itu telah didaftarkan oleh panitera di dalam

daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari dan jam,

waktu perkara itu akan diperikasa di muka pengadilan. Dalam pasal 121 (4) HIR menentukan “mendaftarkan dalam daftar seperti yang dimaksud dalam ayat pertama, tidak boleh dilakukan sebelum oleh penggugat ayat

pertama, tidak boleh dilakukan sebelum oleh penggugat dibayar lebih

dahulu kepada panitera sejumlah uang yang besarnya untuk sementara

diperkirakan oleh Ketua Pengadilan Negeri menurut keadaan perkara,

untuk ongkos kantor panitera, ongkos pemanggilan serta pemberitahuan

yang diwajibkan kepada kedua pihak dan harga materai yang akan

diperhitungkan. Jumlah yang dibayar lebih dahulu itu akan diperhitungkan kemudian”.

Mengenai peradilan secara cuma-cuma atau prodeo diatur

dalampasal 237 HIR. Dalam Peradilan Tata Usaha juga diatur bahwa

penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk

sengketa dengan cuma-cuma. Permohonan diajukan pada waktu penggugat


(50)

mengajukan gugatannya di sertai surat keterangan tidak mampu dari

kepala desa atau lurah di tempat kediaman pemohon. Dalam keterangan

tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu

membayar perkara pasal 60 ayat 1,2,3 Undang-undang No 5 tahun 1986.

Pemohon sebagimana dimaksud dalam pasal 60 harus diperiksa dan

ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan

ini diambil tingkat pertama dan terakhir. Penetapan pengadilan yang telah

mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode dalam ini diartikan sebagai suatu cara yang harus dilakaukan

untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan

penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji suatu pengetahuan yakni usaha dimana dilakukan dengan

menggunakan metode-metode tertentu. Dalam melakukan penelitian ini agar

terlaksana dengan maksimal maka penelitian ini menggunakan beberapa

metode sebagai berikut :

A. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini termasuk dalam penelitian hukum empiris

adalah penelitian terhadap identifikasi hukum, yang dilakukan dengan cara

menggali informasi melalui wawancara (interview), pengamatan dan

Observasi dengan orang-orang yang berkaitan yang dianggap mempunyai

kaitan dengan obyek penelitian.

B. Data penelitian

Data yang digunakan dalam peneltian ini meliputi data primer dan data

sukender yang terdiri dari :

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari tempat

persidangan pengadilan pajak yang berada di gedung keuangan negara


(52)

mendukung data sekunder. Data primer yang diperoleh melalui wawancara

bebas terpimpin. Wawancara yaitu cara memperoleh informasi dengan

mempertanyakan langsung pada pihak-pihak yang dianggap terkait dengan

penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi dokumen berupa

bahan kepustakaan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yang

mencakup peraturan perundang-undangan terkait dengan topik

masalah yang dibahas yaitu :

1. Undang-undang Dasar Republik Inodonesia 1945

sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga

Undang-undang Dasar Republik Inodonesia Tahun 1945

selanjutnya di sebut UUD 45.

2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak.

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002

Nomor 14, Tambahan Lembar Negara Nomor 4189)

selanjtnya disebut UU Pengadilan Pajak atau UU PP.

4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga


(53)

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 28,

Tambahan Lembar Negara Nomor 4740 selanjutnya disebut

UU KUP.

5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman ( Lembaran Negara Republik Inidonesia Tahun

2009 Nomor 48, Tamabahan Lembar Negara Nomor 5049)

selanjutnya disebut UU Kekuasan Kehakiman.

6. Surat Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor

KEP-006//PP/2012.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer meliputi buku-buku teks, bahan-bahan

hukum yang bersumber dari literature-literature, jurnal ilmiah dan

lain-lain.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia,

ensiklopedia, surat kabar, tabloid dan artikel-artikel dari internet yang

berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara (interview), pengamatan, dan Observasi,

dengan menggunakan pedoman wawancara yang sesuai


(54)

Responden dalam hal ini adalah Kepada Hakim atau staf

Pengadilan Pajak, Kepada Ahli Hukum, dan Kepada orang

atau individu yang sedang menjalankan proses pengadilan

pajak.

2. Studi kepustalaan, artinya dalam kegiatan penelitian ini

juga mempelajari berbagai bahan hukum yang ada pada

buku-buku, makalah, peraturan perundang-undangan,

dokumen lain yang mempunyai kaitan dengan kegiatan

penelitian ini.

D. Narasumber dan Responden

Adalah seseorang atau individu yang akan memberikan respon

terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Responden ini

merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan

data yang dibutuhkan, dalam penelitian terdiri dari :

a. Narasumber

1. Panitera Pengadilan Pajak Yogyakarta

2. Pejabat pada Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding (PKB)

Kanwil Direktoriat Jenderal Pajak D.I.Yogyakarta

b. Responden

1. Ping Astono ( Pemohon Banding/Penggugat)

2. Cahya Kartika Kencana ( Termohon Banding/Tergugat)


(55)

E. Teknik Pengambilam Sample

Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini adalah sample

random sampling, pengambilan sample secara acak sederhana, ialah

sebuah sample yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian

atau satuan elemen dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk

dipilih menjadi sample.

Pengambilan sample yang dilakukan di Gedung Keuangan Negara

Yogyakarta dengan sebagai Tempat Bersidang di luar tempat Kedudukan

Pengadilan Pajak. Sehingga kantor ini dianggap tempat yang tepat untuk

pengambilan sampel dalam penelitian ini.

F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekretariat Pengadilan Pajak yang

menempati ruangan di Gedung B Kantor Perwakilan Kementerian

Keuangan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tempat Sidang

Pengadilan Pajak di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak sekaligus

Sekretariat Pengadilan Pajak Yogyakarta.

G. Teknik Analisis Data

Data–data yang diperoleh selama penelitian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut :

1. Metode kualitatif : yaitu menyusun dan memilih data yang

diperoleh dengan mengadakan kualitatif menurut kepentingan


(56)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Asas Sederhana,Cepat dan Biaya Ringan Dalam Persidangan Pengadilan Pajak di Luar Tempat Kedudukan di Yogyakarta

Pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan

mengadili sengketa pajak dengan penerapan asas cepat, sedehana, dan biaya

ringan dalam sistem peradilan pajak di indonesia. Salah satu pelaksanaan asas

cepat, sedehana, dan biaya ringan dengan adanya pelaksanaa persidangan

pajak di luar tempat kedudukan pengadilan pajak di yogyakarta.

Sidang di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak (SDTK)

dimaksudkan untuk lebih mendekatakan diri, Pengadilan Pajak, kepada para

pencari keadilan. Hal senada juga diamini di dalam bagian menimbang huruf

a dari Surat Keputusan Pengadilan Pajak Nomor : KEP-006/PP/2012 tentang

Penunjukan Majelis hakim Pemeriksa dan Pemutus Sengekta Pajak untuk

Melaksanakan Persidangan di Yogyakarta yang menyatakan bahwa untuk

memperlancar dan mempercepat penanganan sengketa pajak maka tempat

sidang dapat dilakukan di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak. 1

SDTK di Yogyakarta merupakan Pilot Project SDTK di Indonesia setelah

kurang lebih 10 ( sepuluh) tahun berdirinya Pengadilan Pajak. Rencana

1Hasil wawancara dengan Bapak M.Akhsanul Fata, Panitera Pengganti Majelis IVB Pengadilan


(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak Tahun Pajak Pokok Sengketa 'v1enurut Terbanding

\1enurut )emohon 3anding

vienurut ·.1ajelis

Put6048IIPPIM.lYB/ 16f20 I

-PPN 2007

bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi Pajak Masukan sebesar Rp.25.349.220. yang tidak disetujui Pemohon Banding;

bahwa Tim peneliti berpendapat koreksi atas pajak masukan yang nyata-nyata dipergu nakan untuk emnghasilkan barang yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (pajak masukan untuk perkebunan) sebesar Rp.25.349.220 sudah selesai dengan ketentuan pasal _ ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan nomor

575/KMK.04/2000

dan dipertegas dalam angka 6 huruf b SE-90/P

J/20

II. dengan demikian peneliti sependapat dengan pemeriksa dan mengusulkan agar koreksi pajak masukan terse but tetap dipertahankan;

bahwa sementara pajak masukan Pemohon Banding yang lain merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan karen a kegiatan usaha Pemohon Banding juga merupakan kegiatan uasana terpadu dengan produk akhir CPO dan Palm Kernel yang bukan merupakan barang strategis sehingga tas penyerahannya terutang PPN. Karena terutang PPN, maka PPN Masukannya dapat dikreditkan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis, yang menjadi pokok sengketa a quo Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp.25 .349.220,00;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Maje!is atas Laporan Hasil Pemerik.:A.

055/WPJ.071KP.0600/2012

tanggal 13 Maret 2012 yang diterbitkan ッ [セ ィ@ セ lセ@ Pajak Modal Asing Lima, diketahui alasan Terbanding melakukan ko

sebesar Rp.25.349 .220,00 adalah dikarenakan terdapat pajak masukan :i:r -kena pajak atau jasa ken a pajak yang nyata-nyata digunakan

untuk

ヲイ セ@

barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dan . dapat dikreditkan;

bahwa dalam Surat Uraian Bandingnya dan persidangan, Terbanding menj elaskan bahwa: I. Pajak Masukan tersebut dikoreksi karena Pajak Masukan tersebut merupakan Pajak

Masukan yang terkait dengan TBS

2. Pajak Masukan yang terkait dengan TBS tersebut dikoreksi dengan pertimbangan bahwa TBS merupakan barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2001 jo. PP Nomor 31 Tahun 2007


(2)

bahwa Pemohon Banding dalam Surat Bandingnya pada pokoknya menyatakan bahwa pajak masukan yang lain IDet'1.!pakan pajak masukan yang dapat dikreditkan karena kegiatan usaha juga merupakan kegiaian l:--aha terpadu dengan produk akhir CPO dan Palm Kernel yang bukan merupakan barang 5U3Rgis sehingga tas penyerahannya terutangPPN. Karena terutang

PPN, maka PPN ヲ|Q セM オォュョZ。@ da pat dikreditkan ; .

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan bahwa : a. tidak ada peuyerahan ke na pajak atas TBS

b. sesuai dengan basil pemeriksaan Pemohon Banding tidak pernah membuat faktur pajak atas penyeraban TBS dan hal ini telah dibenarkan oleh pemeriksa bahVlia tidak ada kewajiban pembnataIJ faktur pajak pada saat TBS diolah menjadi CPO atau PK

c. sesuai dengan K..\IK 575 maka apabila tidak ada peredaran atas PPN yang dibebaskan maka PPN masukan yang harus diperhitungkan kembali (dikoreksi paling lambat pada bulan keriga setelah berakhimya tahun buku) adalah nihil

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis dalam sidang atas bukti-bukti dan penjelasan para pihak diketahui bahwa :

1. Pemohon Banding mempunyai usaha kelapa sawit.

2. Pemohon Banding mempunyai unit perkebunan dan unit pengolahan.

3. kegiatan usaha Pemohon Banding juga merupakan kegiatan usaha terpadu dengan produk akhir CPO dan Palm Kernel

bahwa Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tent.ang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 mengatur sebagai berikut:

Ayat(l)

Dengan Peraturan Pell7erintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut

sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dib ebaskan dari

pengenaan pajak, untuk :

a.

kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

c.

impor Barang Kena Pajak tertentu;

d pemanjaalan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean;

e. pemanjaatan Jasa Kena Pajak tertenlu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean.

Ayat(2)

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa

Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat

dikreditkan.


(3)

Ayat(3)

Pajak Masukan yang dibayar unluk perolehan Barang Kena Pajak dan alau perolehan Jasa

Kena Pajak yang alas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Perlambahan Nilai,

lidak dapat dikredilka1l.

"

.

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan NiJai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem'::rintah Nomor 31 Tahun 2007, an tara Jain diatur sebagai berikut :

Pasal 1 angka 1 huruf c

Dalam Peraturan Pemerintah illi yang dimaksud dengan :

Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :

c.

barang hasil pertanian.

Pasal 1 angka 2 huruf a

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang :

a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;

yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk

yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah

proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;

Pasal 2 ayat (2) huruf c

Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:

d.

barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam rasal

1

angka

1

huruf

c;

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nitai;

Pasal3

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan

dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal

1

angka

1

yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,

tidak dapat dikreditkan;

bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan dalam persidangan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut diatas, Majelis berkesimpulan bahwa berdasarkan PasaJ 16B ayat (3) Undang-undang PPN, pajak masukan tidak dapat dikreditkan apabila terjadi penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN;


(4)

bahwa Pasal 3 Kepuhlsan Menteri Keuangan Nornor

575/KMK.04/2000

tanggal 26

Desernber 2000 rnenyebutkan:

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 ayat

(2)

dan Pasal

2

ayar

(2)

diperhitungkan kembali dengan Pajak

Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak paling lambat pada bulan ketiga

setelah berakhimya tahun bukll.

bahwa dalarn penjelasan Pasal ::I Keputusan Menteri Keuangan Nornor :

5751K.lV1K.04/2000

tanggal 26 Desernber 2000 disebutkan

:Penghitungan kembali Pajak Masukan yang tidak

dapat dikreditkan sebagaimmza dimaksud dalam Pasal 1 ayat

(2)

dan · Pasal

2

ayat (2)

dilakukan pada akhir tahlln buku,

... ;

bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Majelis berkesirnpulan bahwa Penghitllngan

kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 1

ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) dilakukan pada akhir tahun buku, yaitu Masa Pajak Juni 2008; bahwa berdasarkan uraian diatas, Majelis berkesimpulan bahwa Pernohon Banding telah benar dalarn rnenghitung pajaknya yang dilaporkan dalarn SPT Masa PPN sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, sehingga

koreksi Terbanding atas pajak masukan yang dapat

diperhitungkan sebesar Rp.25.349.220,00 tidak dapat dipertahankan;

bahwa dalarn sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak; Menirnbang

bahwa dalarn sengketa banding ini tidak terdapat sengketa rnengenai sanksi adrninistrasi,

\1enirnbang keclIali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk rnengabulkan

Menirnbang sebagian pern1ohonan banding Pernohon Banding, sehingga DPP dan Pajak Masukan 'yang

dapat diperhitungkan dihitung kern bali rnenjadi sebagai berikut : DPP rnenurut Keputusan Terbanding .. ... .... Rp

Koreksi yang tidak dapat dipertahankan .... ... Rp

DPP rnenurut Majelis ... .. ... ... Rp Pajak Masukan rnenurut Keputusan Terbanding Rp

Koreksi positifyang tidak dapat dipertahankan

Rp

12.508.869.187,00 0,00 12.508.869.187,00

957.455 .109,00

25.349.220,00

Pajak Masukan rnenurut Majelis ... Rp 982.804.329,00

\1engingat Undang-undang Nornor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan


(5)

Memutuskan

Mengablilkan sebagiall

permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:

KEP-939/WPJ.07/2013 tanggal 28 Mei 2013,

tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Agustus 2007 Nomor: 00002/207/07/058112 tanggal 16 Maret 2012, atas nama PT XXX, sehingga Pajak dihitung kembali menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN

- Ekspor ... .. ... ... .. .. ... ... .... .... .. ... .. ... .... . Rp 0,00 - Penyerahan yang PPN harus dipungut sendiri ... ... . Rp 10.436.694.840,00 - Penyerahan yang PPN-nya dipungut pemungut PPN Rp... ... 0,00 - Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut ... ... ... ... . . Rp 0,00 - Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN .. ... . Rp 2.072.174.347,00 Jumlah ... ... ... .. .... ... ... ... ... ... . Rp 12.508.869.187,00 Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN .. .. ... . Rp 0,00 Jumlah seluruh penyerahan .... .. .. ... ... ... ... .. .. ... .. Rp 12.508.869.187,00 Penghitungan PPN kurangllebih bayar

Pajak Keluaran yang harus dipungut sen .... .... ... .. .... . Rp 1.043 .669.484,00 Dikurangi:

- PPN yang disetor dimuka dalam masa pajak yang sama ... . Rp 0,00 - Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan ... .... ... . Rp 982.804.329,00 - Dibayar dengan NPWP sendiri ... .. ... .. Rp 0,00 - Lain-lain ... ... ... .. .. ... ... ... .. ... .. .. .. ... ... ... ... .. .... . Rp 0,00 JUlnlah .. .. ... ... .. .. ... .. ... ... ... ... . Rp 982.804.329,00 Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan .. .... .. ... ... ... . Rp 982.804.329,00 Jumlah perhitungan PPN kurang/(Iebih) bayar ... ... . Rp 60.865.155,00 Kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak Rp 49.445.736,00 berikutnya

PPN yang kurang/(Iebih) dibayar ... .. ... ... ... ... ... ... . Rp 110.310.891,00 Sanksi Administrasi:

Bunga Pasal13 (2) KUP ... ... ... . : .. .... .. ... .. ... ... ... . . Rp 29.215 .274,00 Kenaikan Pasal 13 (3) KUP ... .. .. ... .. ... ... .. ... . Rp 49.445 .736,0 0 Jumlah Sanksi Administrasi ... ... .... ... ... .. ... . Rp 78 .661.010,00 PPN yang masih harus dibayar ... .. .. ... .... ... .. ... ... ... . . Rp 188.971.901,00 Demikian diputus di Jakarta pada hari Kamis tanggal 6 November 2014 berdasarkan Musyawarah Majelis IVB Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Idawati, SH, M.Sc --- sebagai Hakim Ketua, Drs. Seno S.B . Hendra, Mt\tl --- sebagai Hakim Anggota, Hadi Rudjito, SH --- sebagai Hakim Anggota, Muhammad Akhsanul Fata --- sebagai Panitera Pengganti,

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Kamis tanggal 26 Maret 2015 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri


(6)