Bila Perbuatan "Menyenangkan" Hasilnya "Tidak Menyenangkan"

Bila Perbuatan “Menyenangkan” Hasilnya “Tidak Menyenangkan”
SUTRISNO BUDIHARTO (OPINI-K OMPASIA NA; 5 Desember 2013)
Judul yang Saya pilih di atas setidaknya telah menjadi buah bibir masyarakat “media
sosial” ketika seorang tokoh ternama dilaporkan ke polisi. Isi pembicaraan bukan hanya
menyangkut soal pasal hukum atau standar moral para pihak yang terlibat, tapi sampai
menukik jauh ke dalam wilayah “sakral” yang menyangkut gejala perilaku seksual di abad
ini. Di antara komentar yang muncul di “media sosial”, ada yang bernada bercanda
(termasuk dijadikan bahan humor berbau porno), tapi ada juga yang sedih karena merasa
prihatin.
Mau tak mau, Saya harus dapat memakluminya. Kenapa? Karena tema sentral kehidupan
dunia yang paling gampang menarik perhatian publik setidaknya ada tiga hal penting; yakni
harta, tahta dan cinta (seks). Sedang pokok persoalan dalam kasus ini berkaitan erat dengan
seksualitas. Jadi wajarlah kalau kasus itu sempat menjadi bahan pembicaraan di media sosial
(entah itu di facebook, twitter termasuk kompasiana) dengan nada cukup beragam. Terlebih,
tokoh ternama yang dilaporkan ke polisi adalah figur yang selama ini berkaitan erat dengan
nilai- nilai estetik seni-budaya (yang kerap bersinggungan juga dengan nilai- nilai moralitas).
Manusia dan Insting Libidinal
Jika mencermati reaksi masyarakat yang dilontarkan di media sosial online atau berita media
massa, rasanya Saya seperti terseret arus paradoksal kisah hidup manusia. Bedanya, kisah
paradoksal ini bukan hanya berdasar fiksi (karya imajinasi) saja, tapi didasari sebuah
peristiwa yang diberitakan terbuka di depan publik setelah adanya fakta laporan polisi. Ada

yang menduga kasus ini mengandung unsur pemerkosaan atau kekerasan seksual. Tapi ada
juga yang berasumsi, ini merupakan “kasus asmara” yang terjadi berdasarkan rasa suka sama
suka. Dengan kata lain, terjadi perbuatan menyenangkan tapi berakhir dengan hal yang tidak
menyenangkan.
Lantas, mana yang benar dan siapa yang harus divonis bersalah? Dalam tulisan ini, Saya tak
mau ikut- ikutan mencampuri urusan polisi atau hakim yang memiliki “wewenang resmi”
dalam menentukan vonis (siapa yang salah dan siapa yang harus dihukum). Tapi polemik dari
kasus ini telah memancing ingatan Saya pada istilah “insting libidinal” yang pernah Saya
tangkap ketika membaca buku tokoh psikoanalis Sigmund Freud (1856-1939). Saya tak
bermaksud ingin sok pintar, sok ilmiah, sok moralis atau ingin sok hebat dan sebagainya.
Tapi Saya hanya ingin menukil pendapat psikoanalis Sigmund Freud bahwa perilaku manusia
dipengaruhi oleh hasrat seksualitas (eros) yang melekat pada setiap manusia.
Singkat kata, “hasrat seksualitas” dalam bawah sadar manusia dapat mendorongnya menjadi
“liar” (nafsu yang tak terkendali). Tak pandang bulu siapa manusianya dan apa profesinya
(entah itu pemuka agama, politisi, penyair maupun gelandangan sekalipun) sama-sama bisa
terseret oleh “arus keindahan” dari hasrat seksual. Bila keliaran hasrat seksual ini kelewat
batas, risikonya akan berbenturan dengan batasan etika, kultur masyarakat atau norma agama.
Terlebih, bila ada pihak yang merasa menjadi ‘korban’, bukan tak mungkin dampaknya dapat
berujung pada kasus pidana atau sanksi-sanksi sosial lainnya. Dan Saya sangat yakin bahwa
“kasus asmara” yang berkaitan dengan hasrat seksualitas ini tampaknya akan selalu

melahirkan dilema di tengah dunia ini manakala manusia tak mampu mengendalikan hasrat
seksualnya sendiri hingga menimbulkan pihak yang dikorbankan.

Dari Pelajar Hamil, Kawin Kontrak dan Dampak Masa Depan
Karena itu, akan lebih bijaksana rasanya jika setiap manusia dapat mengelola “insting
libidinal” tersebut agar jangan sampai menimbulkan ‘korban’ di salah satu pihak. Munculnya
kasus pelajar hamil yang kerap menghiasi berita media massa dewasa ini merupakan fakta
nyata bahwa “insting libidinal” dapat melahirkan dilema cukup pelik pada generasi muda.
Sebab, kasus pelajar hamil itu memang dapat menentukan suram- tidaknya masa depan
mereka nanti. Jika salah dalam memberikan sanksi, justru dapat membuat para pelakunya
terjerumus pada kekeliruan lain yang jauh lebih gelap.
Sekali lagi, tulisan ini tak bermaksud menyudutkan tokoh ternama ata u tokoh tak ternama
yang pernah tersandung “kasus asmara”. Saya juga tak bermaksud mengkait-kaitkan masalah
ini dengan aneka isme para intelektual (entah itu penganut liberal sekulerisme atau isme-isme
yang lainnya). Saya hanya ingin menegaskan bahwa hasrat seksual yang tak terkendali
memang dapat menimbulkan korban dan membuat suram masa depan para korbannya.
Ketika menjalankan tugas jurnalistik pada dekade 1990-an lalu, Saya pernah menemui fakta
sangat pahit yang harus dihadapi para siswa sejumlah sekola h karena menjadi korban kasus
“kawin kontrak”. Ironinya, aktor utama dalam kasus ini adalah seorang guru yang sekaligus
dianggap pemuka agama. Dalam kasus tersebut, para pelaku “kawin kontrak” dapat

menjalankan hubungan seks dengan bebas selama ikatan kawin kontrak mereka masih
berjalan dalam masa tertentu dengan landasan “emas kawin” (mahar) yang telah disepakati
kedua pihak. Para pelaku berpendapat, hubungan seks dalam ikatan “kawin kontrak” tersebut
dibenarkan menurut tafsir ajaran agama yang mereka paha mi. Tapi pemuka agama yang
dianggap sebagai dalang pelaku kawin kontrak tersebut akhir dapat dipidanakan dan
dipenjarakan setelah para orangtua siswa melaporkan kasusnya kepada polisi.
Beberapa tahun kemudian setelah vonis pengadilan ditetapkan, Saya menye mpatkan diri
untuk berkunjung ke rumah orang tua para korban kawin kontrak itu. Apa yang terjadi? Ada
seorang ibu yang menangis ketika Saya datang bersilaturahmi ke rumahnya. Bukan Saya
yang membuat ibu itu menangis, tapi adalah masa depan anaknya yang me njadi tidak jelas
setelah menjadi korban kawin kontrak tersebut. Betapa tidak? Di antara korban kawin
kontrak itu ada yang hamil dan memiliki anak, tapi tidak pernah tahu siapa bapaknya.
Antara Cinta dan Has rat Seksual
Sekali lagi, apa yang Saya tulis di sini, tidak punya tendensi untuk menyudutkan siapa pun
atau penganut paham isme apapun. Kalau bicara isme dan tafsir ajaran agama, mungkn akan
menghabiskan tempat di ruang media ini. Tujuan Saya saya menulis ini cukup sederhana saja
bahwa hasrat seksual itu wajib dikelola secara bijaksana agar tidak sampai menimbulkan
korban di pihak lain. Kencing di sembarang tempat saja dapat meninggalkan bau pesing yang
kurang sedap bukan kepalang. Apalagi, kalau mengumbar hasrat seksual seenaknya di
sembarang tempat, dampaknya tentu jauh lebih tidak sedap lagi.

Idealnya sih, “hasrat seksual” itu dipelihara dengan ikatan cinta sejati, kasih sayang tulus,
serta komitmen dan konsistensi dalam menjaga kepentingan kedua pihak. Hanya saja, untuk
mencapai tataran ideal itu memang tidak gampang, tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Sebab, merindukan cinta sejati itu sama halnya merindukan keadilan. Merindukan
cinta sejati dapat diibaratkan bagai ingin memeluk air; yang sering terasa “hanya basah dan
menggigil”. Butuh komitmen dan konsistensi kuat untuk mendapatkannya, meski harus
ditebus dengan hati yang sering dipatah-patahkan oleh aneka macam tantangan dan cobaan.
Yang jelas, dalam arus globalisasi di tengah kultur tradisional masyarkat Indonesia dewasa

ini tampaknya akan sering terjadi gesekan-gesekan kultural dengan hadirnya budaya liberal
yang lebih blak-blakan.(twitter: @SutBudiharto)