PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Putusan Perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN

(Studi Putusan Perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS)

Oleh Ronal Saputra

Perbuatan tidak menyenangkan adalah suatu tindak pidana yang terjadi antara individu dengan individu yang lain. Tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan memang tidak merugikan korban secara fisik tetapi sangat merugikan korban secara moril dan materiil. Korban yang dirugikan akan merasakan rasa malu, cemas, dan bahkan akan merasa takut. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku perbuatan tidak menyenangkan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan sanksi pidana. Permasalahan dalam penulisan ini adalah: a) bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan. b) apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Lingkup pembahasan penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan dalam studi putusan perkara Nomor 49 / Pid.B / 2009 / PN.GS.

Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan, berupa hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari dua orang hakim, panitera, dan dosen fakultas hukum unila, dan data sekunder bersumber dari kepustakaan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, kemudian diambil kesimpulan secara induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam putusan perkara Nomor 49 / Pid.B / 2009 / PN.GS yaitu dengan terdakwa Wahyu Bintoro harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum yaitu dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang tidak menyenangkan dengan cara menyentil mata korban dan berkata kasar. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat jiwanya, dan selama persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggung


(2)

Ronal Saputra jawaban pada diri terdakwa, sehingga terdawa dijatuhi pidana penjara selama 8 (delapan) bulan. b) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dalam studi putusan perkara Nomor.49/Pid.B/2009/PN.GS dengan terdakwa Wahyu Bintoro, ialah adanya keadaan yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi nya lagi, dan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dipersidangan dan keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan terdakwa membuat korban merasakan adanya rasa cemas atau resah, malu, dan bahkan menimbulkan adanya rasa takut.

Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar : a) Bagi hakim hendaknya dalam menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus perbuatan tidak menyenangkan selain mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis, seperti akibat yang dilakukan oleh pelaku perbuatan tidak menyenangkan terhadap masyarakat sekitar, selain itu juga dalam membuat pertimbangan hakim seharusnya memperhatikan tuntutan atas dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum. b) Bagi pembuat undang-undang hendaknya memperhatikan perkembangan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat agar undang-undang yang dibuat dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN

(Studi Putusan Perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS)

(Skripsi)

Oleh Ronal Saputra

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(4)

Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN

(Studi Putusan No.49/Pid.B/2009/PN.GS) Nama Mahasiswa : Ronal Saputra

No. Pokok Mahasiswa : 0542011260

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H, M.H NIP 19611231198903 1 023 NIP 19770601200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H, M.H. NIP 19620817198703 2 003


(5)

MENGESAHKAN 1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman,S.H., M.H. ……..………

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ………..

Penguji Utama : Hj. Firganefi, S.H., M.H. ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H.,M.S. NIP 19560901198103 1 003


(6)

MOTTO

Dalam hidup jangan pernah takut untuk bermimpi,

Karena hidup penuh dengan mimpi. Yang

terpenting kita harus selalu berusaha, bekerja keras

dan senantiasa berdoa untuk meraih segala apa

yang menjadi mimpi kita selama ini.

( Ronal Saputra)


(7)

KUPERSEMBAHKAN HASIL KARYA TERBESARKANKU KEPADA:

KEDUA ORANG TUA KU

DUA INSAN MANUSIA YANG BEGITU SANGAT AKU SAYANGI DAN KUCINTAI. BERKAT DIDIKAN, BIMBINGAN DAN DOA MEREKA

DALAM MEMBESARKAN KU SEHINGGA AKHIRNYA AKU BISA MENJADI ORANG YANG BERHASIL.

ADIK-ADIK KU

TUMBUH BERSAMA DALAM SUATU IKATAN KELUARGA, MEMBUAT AKU SEMAKIN YAKIN BAHWA MEREKALAH YANG AKAN MEMBANTU KU DISAAT AKU SUSAH MAUPUN SENANG.

SELURUH KELUARGA BESARKU

SELALU MEMBERI KU MOTIVASI, DOA DAN PERHATIAN, SEHINGGA AKU LEBIH YAKIN MENJALANI HIDUP INI.

SESEORANG

SELALU MENGISI HARI-HARI KU, TEMPAT BERKELUH KESAH, ORANG YANG SELALU MEMBERI KU SEMANGAT,

MOTIVASI DAN PERHATIANNYA.

ALMAMATERKU UNIVERSITAS LAMPUNG

TEMPAT AKU MENIMBA ILMU, DISINILAH AKU MENDAPAT KAN ILMU PENGETAHUAN DAN TENTUNYA PROSES PENCAPAIAN


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung tanggal 06 September 1986. Sebagai anak pertama dari pasangan Hayumi dan Mardiah. Pendidikan di Taman Kanak-kanak Wates, Lampung Tengah diselaikan penulis pada tahun 1992. Pendidikan di Sekolah Dasar Wates, Lampung Tengah diselesaikan tahun 1998. Pendidikan di Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMP Negeri 01 Trimurjo, Lampung Tengah diselesikan pada tahun 2001. Dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 03 Metro diselesaikan tahun 2004.

Pada Tahun 2005 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Lampung. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan ( PKL ) di Kantor Dinas PU Bina Marga Provinsi Lampung.


(9)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadiratAllah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Perbuatan Tidak Menyenangkan (Studi Putusan Perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS)” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dengan segala keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu perlu koreksi dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, saran dan partisipasi dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan yang baik ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak H. Adius Semenguk, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembimbing utama


(10)

atas segala saran, petunjuk, serta bimbingan dan masukan-masukan yang sangat berguna dan sangat membantu dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H., selaku pembimbing kedua, yang dengan kedisiplinan dan kesabaran, meluangkan waktu dan memberi nasehat, saran, petunjuk serta bimbingan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Hj. Firganefi, S.H.,M.H., selaku pembahas I, atas seluruh masukan dan saran-saran selama penyusunan sekripsi ini.

6. Bapak Ahmad Irzal F, S.H., selaku pembahas II, atas saran dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama penyusunan sekripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas ilmu yang diberikan, dan untuk seluruh Staf Administrasi Fakutas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas semua bantuannya.

8. Walidi dan Umah tercinta, yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan do’a, dukungan moril maupun materiil, dan senantiasa menanti keberhasilan penulis, dan tentunya adik-adik penulis yaitu Vera dan Riyan yang telah memberikan do’a dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Papa Yus dan Mama Meri, yang telah memberikan do’a serta dukungan moril dan materiil, Nenek ndut, Atu Yesi dan Kiai Eka, Uni Rika, Ences Nita dan Mas Ian, Yenni, Anti dan Yolanda,yang telah memberikan do’a, perhatiannya dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan sekripsi ini, serta keponakan penulis yaitu Abang Rio dan Nadine yang ganteng dan cantik.


(11)

10. Atu dan Yang atu, siti, Makwo, Wan Ajo, Mak Atu, Umitah, Tante Lies, dan Bik Cik Anggun, serta Rajo Umi dan Ayah Rajo, Pak Cik Ali yang telah memberikan do’a dan Perhatiannya.

11. Seluruh Paman dan Bibi penulis yaitu Buyah dan ibu, Bati dan Ibuk, Puang dan Umi, Umitah dan Ayah tuan, Mami Noni, Mama is, Ibu Bandar yang telah memberikan do’a dan Motivasinya, dan tentunya sepupu-sepupu penulis yaitu Kanjeng Ana, Kiay Ita, Entes Yanti, Sumbah, Kiay Boss, Kiay Bandar, Mbak Desi dan Kak Jodi, Acik, Veri, Silvi, Billi, Ayu, Angga, Abit, Tiara, Intan terima kasih atas do’a dan perhatiannya.

12. For my love Dian Febriyanti, terima kasih atas perhatian, do’a dan semangatnya serta selalu senantiasa menanti keberhasilan penulis.

13. Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Hukum, Sutris, Hadi, Topik, Tio, Susanto, adi, Tison, Bobi, Buyung, Beli, dan edo terima kasih atas bantuan dan kerja samanya.

14. Serta semua pihak-pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Bandar Lampung, Juli 2010 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pengertian Tindak Pidana ... 14

C. Tujuan Pemidanaan ... 18

D. Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan ... 24

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 29

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31

E. Analisis Data .. ... 32 DAFTAR PUSTAKA


(13)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 33 B. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak

menyenangkan ... 34

C. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan ... 45 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 51 B. Saran ... 52 LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya ketenangan dan kenyamanan dalam melaksanakan aktivitas. Jaminan ini adalah tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum, khususnya pihak kepolisian yang menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan dari masyarakat. Karena Hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial .

Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain, hal ini sudah sepantasnya karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka masing-masing sehingga mereka selalu dan akan memerlukan bantuan dari orang lain. Dalam interaksi tersebut, akan banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan antara masing-masing individu. Perbedaan yang semakin meruncing antara individu kemudian dapat memicu timbulnya konflik individu.


(15)

2

Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dipahami karena pada hakekatnya manusia antara satu dengan yang lain tidak memiliki persamaan. Yang menjadikan masalah adalah bagaimana individu-individu itu menaggapinya, terkadang individu-individu tersebut melibatkan emosi dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka yang terlibat dalam konflik seringkali tidak dapat menahan diri, sehingga sering kali terlepas ucapan-ucapan yang tidak pantas untuk diucapkan bahkan seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang menyerang kemerdekaan orang lain atau sering kita kenal dengan “perbutan tidak menyenagkan”. Perbuatan tidak menyenangkan ini seringkali lebih disebabkan oleh karena para individu tersebut terbawa emosi sehingga mereka lupa telah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak meraka lakukan.

Perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya, jika perbuatan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut. Memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh korban, atau korban mengalami sakit hati (perasaan). Berarti dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang perorang, oleh karena itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap “kemerdekaan orang”.

Sebagai contoh ialah putusan perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS. Dimana majelis hakim memvonis Wahyu Bintoro melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP, dengan


(16)

3 hukuman penjara selama delapan bulan. Majelis hakim menganggap Wahyu Bintoro telah dengan sengaja melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan kepada korban Rubiyanto, dengan cara menyentil mata korban dan berkata dengan nada emosi dihadapan banyak orang. Disini dapat dilihat bahwa sebenarnya perbuatan yang memaksakan sesuatu kepada orang lain, dengan kekerasan secara fisik agar orang lain tersebut mengakui sesuatu yang diperbuatnya atau pun tidak diperbuatnya adalah termasuk tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Tetapi dalam Putusan perkara Nomor.49/Pid.B/2009/PN.GS Jaksa dalam dakwaannya telah melakukan kekeliruan dalam menentukan pasal dakwaan. Jaksa menganggap perbuatan terdakwa termasuk dalam Pasal 335 ayat(1) karena terdakwa melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan yaitu menyentil mata korban dan berkata kasar. Padahal inti dari Pasal 335 ayat (1) KUHP adalah melakukan suatu perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dan melakukan sesuatu paksaan dengan memakai ancaman kekerasan. Pasal 335 ayat (1) KUHP dikenal sebagai suatu perbuatan yang tidak menyenangkan dalam arti khusus karena perbuatan tersebut hanyalah sebatas perbuatan yang memaksa untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, atau dengan ancaman kekerasan saja tetapi kekerasan tersebut belum terjadi.

Perbuatan tidak menyenangkan diatur dalam Pasal 335 KUHP :

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ke-1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang


(17)

4 tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Ke-2. Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Pada Pasal ini yang harus dibuktikan adalah:

Ke-1. Ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.

Ke-2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasaan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu maupun orang lain. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti dalam bentuk skripsi bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan berdasarkan KUHP dengan mengambil judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perbuatan Tidak Menyenangkan ( Studi Putusan Perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS )”.

B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam hal ini adalah :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan?


(18)

5 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan? 2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana dan hukum acara pidana, tentang pertanggungjawaban terhadap pelaku perbuatan tidak menyenangkan dalam studi putusan perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Gunung sugih. C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada pelaku pidana perbuatan tidak menyenangkan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengkajian ilmu hukum mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.

b. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan memperluas pengetahuan bagi pihak penegak hukum dalam hal ini ialah


(19)

6 majelis hakim dalam memberikan putusannya mengenai pertanggungjawaban tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan tidak menyenangkan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka-kerangka yang sebenarnya merupakan abstrak dari hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang relevan untuk penelitian, (Soerjono Soekanto, 1998: 125).

Tindakan yang menyerang kemerdekaan atau kebebesan seseorang adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum, atau tindakan pidana yang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Kemerdekaan atau kebebasan seseorang adalah merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia (HAM). Salah satu contoh pelanggaran terhadap kemerdekaan atau kebebasan seseorang yang sering kita dengar adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Setiap tindak pidana yang terjadi akan selalu mendapatkan sanksi hukum yang tegas, baik tindak pidana yang berupa kejahatan maupun pelanggaran. Bedanya pada kejahatan akan mendapatkan sanksi yang lebih berat bila dibandingkan pada pelanggaran. Hal ini disebabkan karena efek atau sebab yang ditimbulkan berbeda.


(20)

7 Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu bisa dipidana karena sesuai asas tiada tanpa kesalahan “Nulla Foena Sinna Culva (Green Straff Zonder Schuld)”, yang artinya adalah untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Istilah “Schuld” yang diartikan dengan “kesalahan” dikemukakan oleh Andi Hamzah (2000 : 77) yang mengutip dari pendapat Simon yang dirumuskan sebagai berikut :

“Kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga orang tersebut dapat dicela karena perbuatannya”.

Menurut pendapat Pompe (Roeslan Saleh, 1983: 77) yang di rumuskan sebagi berikut :

“Kesalahan ini dapat dicela (verwijt baarheid) dan dapat dihindari perbuatan yang dilakukan itu (vermijd baarheid)”.

Menurut Andi Hamzah (2000 : 79) mengutip pendapat Moeljatno bahwa untuk adanya kesalahan yang menyebabkan dipidananya terdakwa harus terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Melakukan perbuatan pidana

b. Di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab c. Berupa kesalahan kesengajaan atau kealpaan


(21)

8 Menurut Suharto R.M. (1996 : 106) kesalahan merupakan suatu pengertian psikologis karena dasar kesalahan dicari hubungan batin orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian orang beranggapan bahwa kesalahan dalam hukum pidana adalah sama dengan kesengajaan dan kealpaan, yang berarti ada hubungan batin antara orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya.

Kesalahan dan Pertanggungjawaban pidana dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti yang luas (Andi Hamzah, 1991 : 130), yaitu :

a. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat

b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan (culpa)

c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya di pertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat

Seperti telah kita ketahui bahwa dalam KUHP saat ini belum diberikan rincian secara jelas mengenai pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana, melainkan hanya merupakan aturan pemberian pidana yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana. Kedudukan hakim sebagai pelaksana keadilan ditunjang dari pengetahuan yang cukup tentang pemidanaan terutama untuk mencapai pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum hakim menjatuhkan hukuman pada pelaku tindak pidana. berkenaan dengan penjatuhan pidana.


(22)

9 Adapun pedoman penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dicantumkan dalam konsep KUHP 2008 Pasal 55 Ayat (1) yaitu sebagai berikut :

Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana c. Sikap batin pembuat tindak pidana

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana e. Cara melakukan tindak pidana

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana g. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban j. Pemaafan dari korban dan atau keluarganya.

Peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 :

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Hakim mempunyai kebebasan untuk memilih berat ringannya hukuman yang dijatuhkan berdasarkan adanya pedoman penjatuhan pidana tersebut, sebab di dalam undang-undang hanya menetapkan hukuman minimum dan maksimum


(23)

10 saja. Namun kebebasan hakim tersebut bukanlah merupakan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. 2. Konseptual

Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah, (Soerjono Soekanto, 1986 : 32).

Konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. Uraian ini ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman yaitu :

a. Pertanggungjawaban Pidana adalah sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana (Roeslan saleh, 1981:75).

b. Tindak pidana adalah suatu tindakan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan kitab undang-undang hukum pidana dan undang-undang lainnya, (Andi Hamzah, 1994:88).

c. Perbuatan tidak menyenangkan adalah perbuatan yang melanggar hukum, yang memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, atau suatu perbuatan lain maupun perlakuan tidak menyenangkan ( KUHP Pasal 335 ayat (1) ). d. Pelaku adalah Orang yang melakukan suatu perbuatan (Roeslan Saleh,


(24)

11 E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran menyeluruh dalam skripsi ini.

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi tentang latar belakang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, permasalahan dan ruang lingkup penilitian, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis, dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar terhadap pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang dalam hal ini adalah pengertian tentang pidana, pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian hukum pidana, serta pengertian perbuatan tidak menyenangkan.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisikan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang berisikan uraian tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perbuatan tidak menyenangkan dan


(25)

12 pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan penyelesaian kasus pidana tetang perbuatan tidak menyenangkan.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang berisikan kesimpulan dari penulisan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yang dinamakan juga criminal liability atau responsibility yaitu merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana. Jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana belum tentu bisa dipidana atas perbuatannya, hingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar adanya perbuatan pidana itu adalah asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa suatu masalah perbuatan itu adalah terlarang dan diancam dengan pidana sedangkan dasar dari dipidananya pembuat adalah asas green straf zonder schuld, yaitu asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan


(27)

14

tingkah lakunya dan keinsyafannya atas mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab, bila memenuhi tiga syarat yaitu:

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan (Ruslan Saleh, 1983 : 80)

Kemampuan bertanggungjawab harus ada :

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai denagan hukum dan yang melawan hukum. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi. (Moeljatno, 1983:165)

B. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana merupakan pengertian dasar hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret (Heni Siswanto, 2005: 35).


(28)

15

Istilah “Tindak Pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut:

a. Delik (Delict)

b. Peristiwa Pidana, (E.Utrecht) c. Perbuatan Pidana, (Moeljatno)

d. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum e. Hal yang diancam dengan hukum

f. Perbuatan-perbuatan yang di ancam dengan hukum

g. Tindak pidana. (Sudarto dan diikuti oleh pembentuk UU sampai sekarang) (Roeslan Saleh, 1983 :79)

Lebih lanjut, pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebut tindak pidana. Timbul pertanyaan istilah manakah yang paling tepat. Untuk menjawabnya, perlu diuraikan beberapa pendapat ahli Hukum Pidana.

a. Simon menerangkan strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersipat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

b. Van Hamel merumuskan sebagai berikut : Perbuatan pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan sebagai berikut: Perbuatan pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakuakan kesalahan”.


(29)

16

c. Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”. (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 55)

d. Moeljatno, Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. (Moeljatno, 1987 :54)

e. Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1) Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2) Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (dalam Bambang Poernomo, 1981 : 86), (Tri Andrisman, 2006 : 53-54).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

1) Suatu perbuatan yang melawan hukum

2) Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian

3) Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika Ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras

Pada hakikatnya perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karna perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibatnya yang dimbulkan. Karenanya, perbuatan pidana adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Jadi untuk menyimpulkan fakta yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana hal


(30)

17

yang harus diperhatikan agar sesuatu dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana adalah.

Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari pandangan/aliran monistis dan pandangan/aliran dualistis. Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat) 2) Diancam dengan pidana

3) Melawan hukum

4) Dilakukan dengan kesalahan

5) Orang yang mampu bertanggung jawab. (Sudarto, 1990 : 40)

Menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

1) Perbuatan (manusia)

2) Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil: sebagai konskuensi adanya asas legalitas)

3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil: perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat)


(31)

18

4) Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur perbuatan ini terletak pada orang yang berbuat. (Heni Siswanto, 2005 : 36)

Perlu diperhatikan menurut Sudarto mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan di atas. Meski berbeda pandangan dalam merumuskan hal tersebut antara yang satu dengan yang lainnya, namun hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pasti bagi orang lain. (Tri Andrisman, 2006 : 53-54)

Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

C. Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dalam setiap penjatuhan pidana (Lamintang, 1984 : 23), yaitu :

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri 2. Untuk membuat orang jera untuk melakukan kejahatan

3. Untuk membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yaitu penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Pembicaraan mengenai tujuan pemidanaan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai teori-teori pemidanaan, karena melalui teori-teori tersebut akan diketahui dasar-dasar pembenaran dalam penjatuhan pidana.


(32)

19

Adapun teori-teori tentang tujuan pemidanaan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok teori yaitu :

1. Teori Absolut/Teori Pemidanaan (refributive theory)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Dasar dari pembenaran teori ini terletak pada ada atau tidaknya kejahatan itu sendiri. Dengan kata lain di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai.

Ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. Sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (dalam Muladi, 1998 : 11) di bawah ini :

“...Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan kebaikan lain, baik si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.


(33)

20

Pidana menurut Immanuel Kant adalah suatu tuntutan kesusilaan. Disamping Kant perlu disebut Hegel yang memandang pidana sebagai suatu pengingkaran terhadap ketertiban hukum dari negara yang merupakan perwujudan dari cita susila. Namun sekarang pembalasan bukan menjadi tujuan akhir dari pemidanaan, melainkan sebagai penyeimbang antara perbuatan dan pidana. Hakim hanya menetapkan batas dari pidana, pidana tidak boleh melampaui batas kesalahan si pembuat.

2. Teori Relatif/Teori Tujuan (utilitarian theory)

Menurut teori ini, memidana bukan semata-mata untuk memenuhi tuntutan keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana itu tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan.

Beda ciri-ciri pokok karakteristik antara teori absolut (retributive) dan teori relative (utulitarian) dikemukakan secara rinci oleh Karl C. Cristiansen (Muladi, 1998 : 17) sebagai berikut :

1. Pada teori absolut :

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar.

e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik dan memasyarakatkan kembali si pelanggar.


(34)

21

2. Pada teori relatif :

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat bukti untuk pencegahan kejahatan

e. Pidana melihat ke muka pidana, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan, biasa dibedakan antara istilah prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih berguna bagi masyarakat.


(35)

22

3. Teori Gabungan (integrative theory)

Menurut teori ini, tujuan pemidanaan bersifat plural karena merupakan penggabungan antara teori absolut dan relatif. Artinya menghubungkan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan. Pada umumnya pidana adalah selalu perlindungan terhadap masyarakat pembalasan atas perbuatan tindak hukum, pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Mengenai pedoman pemidanaan juga berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Secara garis besar aliran-aliran dalam hukum pidana dibagi dalam dua aliran yaitu :

1. Aliran Klasik

Pidana dan pemidanaan aliran ini pada awal timbulnya sangat membatasi kebebasan hakim, untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi. Aliran ini berpijak pada 3 (tiga) asas, yaitu :

a. Asas legalitas, bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang.

b. Asas kesalahan, bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.

c. Asas pengimbalan, bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal


(36)

23

dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan, (Muladi dan Barda Nawawi, 1998 : 26-27).

2. Aliran Moderen

Aliran ini sering disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh di masih dapat diperbaiki. (Muladi dan Barda Nawawi, 1984 : 32).

Aliran ini bertitik tolak pada pandangan determinisme, karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Pertanggungjawaban seseorang berdasar kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat.

Ketentuan pemidanaan tercantum dalam Pasal 10 KUHP, dimana dibedakan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas :

a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda

e. Pidana tambahan (yang ditambahkan dengan UU No.20 Tahun 1946)

Sedangkan pidana tambahan antara lain : a. Pencabutan hak-hak tertentu


(37)

24

b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim.

D. Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan

Tindak pidana adalah suatu kejahatan atau perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai oleh ancaman dan sanksi-sanksi yang semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan begitu pula dalam KUHP. Tindak pidana sering disebut dengan istilah kejahatan. Sebab kejahatan merupakan suatu masalah dalam masyarakat karena kejahatan sebagai perbuatan manusia mengalami perkembangan sebagaimana dari perkembangan masyarakat itu sendiri.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya ada dua macam tindak pidana yaitu, kejahatan dan pelanggaran. Hal ini dikarenakan pembentuk undang-undang melakukan pembedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran berdasarkan kualifikasi tindak pidana yang sungguh-sungguh (kejahatan) dan tindak pidana kurang sungguh-sungguh (pelanggaran).

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) membagi tindak pidana kejahatan menjadi beberapa bagian yaitu:

1. Tindak pidana terhadap ketertiban umum yang mencakup keamanan negara, martabat kepala negara, para kepala negara sahabat, kewajiban dan hak kenegaraan, tata tertib dan keamanan umum, penguasa umum, peradilan, keuangan, materai, dan cap.

2. Tindak pidana terhadap kesusilaan.

3. Tindak pidana terhadap orang yang mencakup kehormatan, rahasia, kekerdekaan pribadi, nyawa, badan, dan harta.


(38)

25

Salah satu dari bentuk tindak pidana atau kejahatan terhadap kemerdekaan pribadi adalah perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam KUHP yaitu Bab XVIII, Kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Sementara kejahatan terhadap nyawa di atur dalam bab berikutnya yaitu Bab XIX, secara kenyataannya jika kita tafsirkan letak bab pengaturannya ini dalam KUHP, maka bermakna bahwa “kemerdekaan” adalah lebih penting dari pada nyawa, apa gunanya nyawa jika kita tidak punya kemerdekaan, atau tidak punya kebebasan. Oleh karena itu mengenai kemerdekaan termasuk salah satu hak azasi manusia yang sangat utama, penting, dan terhormat dan diatur secara khusus dan terhormat pula dalam konstitusi berbagai negara.

Lain halnya dalam hukum atau dalam pengertian hukum pidana, perbuatan yang tidak menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya jika perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan. Memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh korban, korban mengalami sakit hati atau perasaan; berarti dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang perorang, oleh karena itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap “kemerdekaan orang”. Perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana telah disebut diatas di atur dalam Bab. XVIII tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang.


(39)

26

Pasal 335 KUHP:

(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama satau tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Ke-1 : barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2 : barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau

membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

(2). Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya di tuntut atas pengaduan orang yang terkena.

Sebagaimana telah disebutkan diatas, mengapa masalah perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut dimasukkan dalam KUHP yaitu menyangkut kemerdekaan orang, juga dari nilai filsafat hukum yang terkandung didalamnya dapat di tafsirkan adalah agar jangan terjadi perbuatan yang balas membalas atau perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting) antara pelaku dengan korban; hukum positif menciptakan cara membuat keseimbangan yaitu untuk menetralisir perasaan yang tidak enak tersebut, perlu campur tangan institusi penengah yaitu peradilan agar pihak yang lemah terlindungi, pihak yang kuat disadarkan.

Perbuatan tidak menyenangkan dapat dikatakan sebagai kejahatan yang merugikan orang lain, sementara dalam realitanya secara fisik tidak terlihat dan tidak tampak secara factual korban telah dirugikan. Mengenai hal ini banyak pendapat yang berbeda menjelaskan apa dan bagaimana perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut. Untuk memudahkan pemahaman kita maka mari kita


(40)

27

simak yurisprudensi tentang penerapan Pasal 335 KUHP tersebut dalam praktek peradilan kita.

Mahkamah Agung (MA) R.I. dalam menerapkan Pasal 335 KUHP yaitu perbuatan pidana tentang perbuatan yang tidak menyenangkan menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan; unsur paksaan menurut Mahkamah Agung tidak selalu di terjemah dalam bentuk paksan fisik, akan tetapi dapat pula dalam bentuk paksaan psychis. Masalahnya bagaimana mengetahui ada atau tidaknya paksaan psychis tersebut. Mahkamah Agung R.I. dalam Putusannya No. : 675 K/Pid/1985 tanggal 04 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende No. : 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, telah memberi kwalifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu : “Dengan Sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu”. Artinya ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang korban tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psychis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut.


(41)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian yang digunakan adalah content analysis dengan mengidentifikasikan dan menginventarisasi ketentuan-ketentuan normatif dan pelaksanaannya di lapangan secara empiris. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara normatif dan empiris.

a) Pendekatan normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

b) Pendekatan empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum pidana yang berkaitan dengan proses Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Perbuatan tidak menyenangkan.


(42)

29 B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan, yaitu :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di lapangan. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan Hakim di lingkungan Pengadilan Negeri Kelas IA Gunung Sugih.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur, dan peraturan perundang-undangan.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat antara lain. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), undang-undang nomor 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, seperti peraturan pemerintah, rancangan undang-undang KUHP, keputusan presiden, putusan hakim No.49/Pid.B/PN.GS dan petunjuk pelaksana maupun teknis yang berkaitan dengan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti hasil penelitian, bibliografi, ensiklopedia, artikel-artikel dan kamus.


(43)

30 C. Penentuan Populasi dan Sampel

1) Populasi adalah jumlah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian. Dalam penulisan ini populasinya adalah aparat penegak hukum, yang berwenang dalam menangani tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Gunung Sugih.

2) Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi. Sampel ditentukan secara Purposive Sampling yang berarti sampel yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili permasalahan yang hendak dijawab dan dicapai. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah :

1) Hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 2 orang 2) Panitera di Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 1 orang

3) Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 orang

Jumlah : 4 orang D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kegiatan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan


(44)

31 cara membaca, menelaah, mencatat, menganalisa dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

b. Studi lapangan (field research) dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara terhadap responden yang telah direncanakan sebelumnya, dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dahulu.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Seleksi data yaitu memeriksa kembali mengenai, kelengkapan kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevasinya sebagai peneliti.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut jenisnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematika data yaitu menyusun data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(45)

32 E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh, lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(46)

51

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam putusan

perkara Nomor 49/Pid.B/ 2009/PN.GS yaitu dengan terdakwa Wahyu Bintoro harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum yaitu dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang tidak menyenangkan dengan cara menyentil mata korban dan berkata kasar. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat jiwanya, dan selama persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban pada diri terdakwa, sehingga terdawa dijatuhi pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana

perbuatan tidak menyenangkan dalam studi putusan perkara

No.49/Pid.B/2009/PN.GS dengan terdakwa Wahyu Bintoro, ialah adanya keadaan yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa mengakui terus terang dan


(47)

52 menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dipersidangan dan keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan terdakwa membuat korban merasakan adanya rasa cemas atau resah, malu, dan bahkan menimbulkan adanya rasa takut.

B.Saran

1. Bagi hakim, hendaknya dalam menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus

perbuatan tidak menyenangkan selain mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis, seperti akibat yang dilakukan oleh pelaku perbuatan tidak menyenangkan terhadap korban.

2. Bagi pembuat undang, disarankan dalam membuat rumusan

undang-undang agar dapat memperhatikan perkembangan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat agar undang-undang yang dibuat dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2000. KUHP dan KUHAP (Edisi digabungkan dalam satu buku).

Rineka Cipta. Jakarta.

Moeljatno. 2002. Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawaban Pidana. Bina

Aksara. Jakarta

R.M., Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Sinar Grafika. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawaban Pidana.

Aksara Baru. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia

Press. Jakarta

Soedarto. 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Universitas Lampung,. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas

Lampung. Unila Press. Bandar Lampung

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2008

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


(1)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1) Populasi adalah jumlah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian. Dalam penulisan ini populasinya adalah aparat penegak hukum, yang berwenang dalam menangani tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Gunung Sugih.

2) Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi. Sampel ditentukan secara Purposive Sampling yang berarti sampel yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili permasalahan yang hendak dijawab dan dicapai. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah :

1) Hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 2 orang 2) Panitera di Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 1 orang 3) Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 orang Jumlah : 4 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kegiatan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan


(2)

cara membaca, menelaah, mencatat, menganalisa dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

b. Studi lapangan (field research) dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara terhadap responden yang telah direncanakan sebelumnya, dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dahulu.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Seleksi data yaitu memeriksa kembali mengenai, kelengkapan kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevasinya sebagai peneliti.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut jenisnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematika data yaitu menyusun data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(3)

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh, lalu diolah kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana dalam putusan perkara Nomor 49/Pid.B/ 2009/PN.GS yaitu dengan terdakwa Wahyu Bintoro harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena terdakwa telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum yaitu dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang tidak menyenangkan dengan cara menyentil mata korban dan berkata kasar. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat jiwanya, dan selama persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban pada diri terdakwa, sehingga terdawa dijatuhi pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dalam studi putusan perkara No.49/Pid.B/2009/PN.GS dengan terdakwa Wahyu Bintoro, ialah adanya keadaan yang meringankan terdakwa yaitu terdakwa mengakui terus terang dan


(5)

menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dipersidangan dan keadaan yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan terdakwa membuat korban merasakan adanya rasa cemas atau resah, malu, dan bahkan menimbulkan adanya rasa takut.

B. Saran

1. Bagi hakim, hendaknya dalam menjatuhkan putusan khususnya dalam kasus perbuatan tidak menyenangkan selain mempertimbangkan pertimbangan yuridis yang terungkap di persidangan dengan memperhatikan unsur-unsur dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan pertimbangan non yuridis, seperti akibat yang dilakukan oleh pelaku perbuatan tidak menyenangkan terhadap korban.

2. Bagi pembuat undang, disarankan dalam membuat rumusan undang-undang agar dapat memperhatikan perkembangan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat agar undang-undang yang dibuat dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2000. KUHP dan KUHAP (Edisi digabungkan dalam satu buku).

Rineka Cipta. Jakarta.

Moeljatno. 2002. Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawaban Pidana. Bina

Aksara. Jakarta

R.M., Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Sinar Grafika. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawaban Pidana.

Aksara Baru. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia

Press. Jakarta

Soedarto. 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Universitas Lampung,. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas

Lampung. Unila Press. Bandar Lampung

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2008

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia,