PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Putusan Pengadilan Nomor : 155/Pid/B/2012/PNTK)

ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN TIDAK
MENYENANGKAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NOMOR :
155/Pid/B/2012/PNTK)

Oleh
Ratna Pertiwi

Ungkapan perbuatan tidak menyenangkan pada dasarnya sudah tidak asing terdengar
dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi banyak diantara masyarakat menganggap
remeh ungkapan tersebut dan dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal
sesungguhnya perbuatan tidak menyenangkan khususnya dalam perampasan
kemerdekaan seseorang sangatlah penting menurut pandangan hukum, karena hal itu
dapat membahayakan orang bahkan dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Dibalik setiap perbuatan sekecil apapun itu, apabila telah dibuktikan dalam
persidangan maka pelaku wajib untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Dari
hal ini maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
pertanggungjawaban pidana perbuatan tidak menyenangkan dengan permasalahan
sebagai berikut; bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
perbuatan tidak menyenangkan dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana perbuatan tidak menyenangkan kepada pelaku

tindak pidana.
Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris
dalam penelitian, sedangkan yang dijadikan responden adalah hakim, pengacara dan
akademisi. Penentuan sampel dilakukan dengan penunjukkan yang disesuaikan
dengan wewenang dan kedudukan sampel dihubungkan dengan permasalahan dari
pertanggungjawaban pidana perbuatan tidak menyenangkan dengan studi putusan
pengadilan nomor : 155/Pid/B/2012/PNTK.

Ratna Pertiwi

Berdasarkan pembahasan atas penelitian yang telah dilakukan, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut; yang menjadi dasar pertanggungjawaban
pidana adalah apabila pelaku tindak pidana terbukti memenuhi unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu adanya perbuatan, adanya peraturan perundangundangan yang dilanggar, dan adanya kesalahan yang dilakukan pelaku, dan juga
berdasarkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada persidangan yang menunjukkan
bahwa pelaku adalah orang yang mampu bertanggungjawab atas kesalahannya dan
hakim juga tidak menemukan sesuatu alasan penghapusan pidana bagi pelaku maka
sudah selayaknya pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perbuatan
pidananya. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK, yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan

putusan pidana adalah dilihat dari empat unsur yaitu fakta hukum dalam
persidangan, hal-hal yang memberatkan dan meringankan, rasa keadilan, serta
kayakinan dari hakim sendiri dalam memutuskan pidana bagi terdakwa dengan
sepantasnya. Hakim dengan seadil-adilnya memutuskan terhadap terdakwa dalam
putusan tersebut di atas dengan masing-masing 8 (delapan) bulan pidana perjara
dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan. Hakim dalam menjatuhkan
pidana tersebut menggunakan teori gabungan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu
selain sebagai sarana pembalasan terhadap terdakwa agar menimbulkan efek jera
juga sebagai pencegahan agar tidak terjadi hal serupa di masyarakat.
Adapun saran yang diajukan adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang haruslah
didasari dengan rasa tanggung jawab si pembuatnya. Apabila seseorang telah
terbukti melakukan tindak pidana dan terbukti dapat mempertanggungjawabkannya
maka penyesalanlah yang akan muncul dikemudian. Karena itu dalam melakukan
perbuatan dalam hal ini perbuatan pidana baiklah dipikirkan terlebih dahulu apakah
diri sendri dapat mempertanggungjawabkannya atau tidak. Sekecil apapun perbuatan
yang terjadi di masyarakat ada peraturannya. Maka sebagai bagian dari masyarakat,
haruslah berhati-hati dalam berbuat sesuatu terutama yang merugikan orang lain.
Karena pada dasarnya tidak semua orang dapat menyelesaikan perbuatan yang
merugikannya dengan cara kekeluargaan. Masyarakat yang mengerti hukum akan
menyelesaikan segala perbuatan yang merugikannya ke jalur hukum. Untuk itu

setiap masyarakat hendaknya dapat mengerti hukum agar suatu saat tidak terjerat
oleh hukum karena ketidakhati-hatian ataupun ketidaktahuan akan hukum.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN TIDAK
MENYENANGKAN
(Studi Putusan Pengadilan Nomor : 155/Pid/B/2012/PNTK)

Oleh

Ratna Pertiwi

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG

2013

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN TIDAK
MENYENANGKAN (Studi Putusan Pengadilan Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK)
(Skripsi)

Oleh
RATNA PERTIWI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

DAFTAR ISI

ABSTRAK
RIWAYAT HIDUP
MOTTO

PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………….………………………………
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup …………..….……….....………………..
1. Permasalahan ……………………………..……………….......................
2. Ruang Lingkup …………………………………………………………..
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ……………………………........................
1. Tujuan Penulisan …………………………………………......................
2. Kegunaan Penulisan …………………………………….…………….....
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………………………….........................
1. Kerangka Teoritis ……………………………………….........................
2. Konseptual ……………………………………………..………………...
E. Sistematika Penulisan ………………………………………………………..

1
7
7

7
8
8
8
9
9
16
17

II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.

Tindak Pidana …….………….....................................................................
Pelaku Perbuatan Pidana ………………………………...….……………...
Pertanggungjawaban Pidana ………………………………….....................
Sanksi Pidana terhadap Pelaku Perbuatan Tidak
Menyenangkan ……………………………………………..………………

E. Dasar Pertimbangan Putusan Pengadilan …………………...………………

19
21
23
31
33

III. METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.

E.

Pendekatan Masalah …………………………………..………………….
Sumber dan Jenis Data ………………………………..…........................
Penentuan Populasi dan Sampel ……………………...…………………..
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ……….…………………...

1. Prosedur Pengumpulan Data ………………………….......................
2. Prosedur Pengolahan Data ……………………………......................
Analisis Data ………………………………………………………………

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden …………………………………………………..
B. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku
Perbuatan Tidak Menyenangkan …………………………………………..
C. Dasar Pertimbangan bagi Hakim dalam Menjatuhkan
Putusan Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan kepada
Pelaku ………………………………………………..…………………….
D. Analisis Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan Tidak
Menyenangkan Berdasarkan Pertimbangan Hakim dalam
Menjatuhkan Putusan Pidana ………………………………………………

37
37
38
39
39

40
41

42
43

48

52

V. PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………...
B. Saran ……………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA

56
57

Judul Skripsi


: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN
(Studi Putusan Pengadilan Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK)

Nama Mahasiswa

: Ratna Pertiwi

No. Pokok Mahasiswa

: 091011363

Bagian

: Hukum Pidana

Fakultas

: Hukum


Menyetujui
1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.
NIP 19541112 198603 1 003

Eko Raharjo, S.H., M.H.
NIP 19610406 198903 1 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
NIP 19620817 198703 2 003

MOTTO :

!
!

"
"

#

$
!%

&'

( )'
)'*"

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji
Ketua

: Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.

…………

Sekretaris/Anggota

: Eko Raharjo, S.H., M.H.

…………

Penguji Utama

: Tri Andrisman, S.H., M.H.

…………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP 19621109 198703 1 003

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 10 April 2013

PERSEMBAHAN

!

"
!

! #

$

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 April 1991,
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Bandiyo dan Ibu Ustilah.
Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Al-Hidayah Sukarame Bandar
Lampung yang diselesaikan pada tahun 1997, kemudian melanjutkan ke Sekolah
Dasar Negeri 1 Surabaya Kedaton Bandar Lampung dari tahun 1997 sampai dengan
tahun 2003, setelah itu melanjutkan kembali studi pada Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri 12 Bandar Lampung dari tahun 2003 sampai tahun 2006, dan
mengakhiri sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 15 Bandar Lampung dari
tahun 2006 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima dan terdaftar
sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan penulis memilih
Hukum Pidana sebagai minat konsentrasi dalam penjurusan perkuliahan. Pada tahun
2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Puramekar
Kecamatan Gedung Surian Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung.

SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan
penulis mengcakpan penghargan dan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana.
3. Ibu Rohaini, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan iklas
memberikan bimbingan dan bantuannya selama penulis menempuh masa studi.
4. Bapak Prof. Dr. Sunarto. DM, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi,
mengarahkan, dan mendukung penulis selama penulisan skripsi ini.
5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
berkenan menuangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi,
mengarahkan, dan mendukung penulis dengan penuh kesabaran sehingga proses
penyelesaian skripsi ini berjalan dengan baik.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, kritik,
saran, serta masukan yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Ibu Dona Raisa M, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran serta masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak
memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum kepada penulis.
9. Terima kasih kepada orang tuaku, Bandiyo, S.H. dan Ustilah kupersembahkan
atas kasih sayang, dukungan dan doa yang kalian berikan sehingga
terselesaikanlah skripsiku ini. Terima kasih atas semua cinta, kasih sayang,
didikan serta pelajaran yang kalian berikan, yang sangat berguna dalam
perjalanan menuju proses kedewasaan ini.
10. Kakakku Dimas Hanugrah Putra dan adikku Galang Yudha Perwira yang selalu
memberikan kebahagiaan dalam keluarga sehingga perasaan sedihku berubah
menjadi kebahagiaan.
11. Sahabat-sahabat terbaikku : Anderia Sakti, Tian Terina, dan Annisa Prima CH,
terima kasih karena telah memberikan persahabatan yang baik dalam menjalani
suka dan duka bersama.
12. Saudara-saudara Mahusaku : Mozes D Tonapa, Chandra Bangkit S, M. Rodi
Maiza, M. Thariq Ch, Yohanes Aritonang, dan seluruhnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, terima kasih atas kenangan yang tak terlupakan selama
masa kuliah.

13. Teman-teman KKN desa Puramekar : Jasmine Hanafi, Septi Amelia, Alicia
Larasati, Widhi Astuti, Leoni Febriani, Feby Liestya, Zemy Herda, dan
seluruhnya, terima kasih atas kebersamaan selama 40 hari dalam menjalani suka
cita dari pengalaman baru yang tak terlupakan.
14. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung ankatan 2009 yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih karena telah memberikan
kebersamaan, kerjasama, pertemanan, dan kebahagiaan yang takkan terlupakan.
15. Koresponden dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Pengacara, dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini.
16. Almamaterku tercinta yang telah memberikan banyak kenangan dan wawasan
yang berharga.
Penulis hanya bisa memanjatkan doa, semoga semua kebaikan, ketulusan, dan
bantuan yang diberikan kepada penulis diberikan balasan yang lebih besar oleh Allah
SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin
Bandar Lampung,
Penulis

April 2013

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana pada dasarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
Strafbaar feit yang memiliki banyak istilah lain yaitu delik, peristiwa pidana,
perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam
dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum, dan tindak
pidana. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.17
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Didalam
KUHP dikenal istilah strafbaar felt, sedangkan dalam kepustakaan dikenal dengan
istilah delik. Pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana,
perbuatan pidana dan tindak pidana.18
Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan

18

Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hlm. 69.
Bambang Poernomo, Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1982, hlm. 86.

orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di
Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menyebut kata pidana ada
beberapa sarjana menyebutkan tindak pidana, perbuatan pidana atau delik.
Untuk mengetahui pengertian tindak pidana, maka akan diuraikan pendapat sarjana
yang lain baik pengertian perbuatan pidana, tindak pidana atau “strafbaar felt”.
Pengertian dati strafbaar felt menurut Pompe antara lain:19
a. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar felt” adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan
diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif merumuskan “strafbaar” adalah suatu kejadian
yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang
dapat dihukum.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) istilah umum yang dipakai
adalah tindak pidana karena bersifat netral, dan pengertian tersebut meliputi
perbuatan pasif dan aktif. Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian tindak pidana
mempunyai arti perbuatan melawan hukum atau melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.

19

Ibid, hlm. 91.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas jelaslah bahwa dalam perbuatan tindak
pidana tersebut didapatkan unsur-unsur adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya
orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar
peraturan perundang-undangan yang disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana
tertentu. Dengan demikian, dalam perbuatan pidana harus mengandung unsur-unsur
penyebab dan orang-orang yang terlibat didalam perbuatan tersebut.
B. Pelaku Perbuatan Pidana
Pelaku perbuatan pidana merupakan orang yang melakukan perbuatan melawan
hukum yang dikenai sanksi pidana akibat dari perbuatannya tersebut. Agar seseorang
pelaku perbuatan pidana dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, maka
orang tersebut harus mempunyai suatu kewajiban, yaitu kewajiban untuk bertindak
hati-hati (duty of care) terhadap orang lain agar tidak menimbulkan perbuatan
pidana.20
Unsur kewajiban kehati-hatian merupakan syarat pelaku pidana dapat dikatakan
melakukan sesuatu kelalaian, dengan alasan orang normal lainnya juga akan
melakukan hal yang sama apabila dalam kondisi serupa. Yang termasuk kriteria
orang normal yang dimaksudkan adalah manusia normal pada umumnya, dengan
pengecualian:21
a. Kebutaan pelaku;
b. Keadaan mental pada umumnya;
20
21

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 87.
Ibid, hlm. 88.

c. Kegilaan pelaku;
d. Keterbelakangan mental pelaku;
e. Pelaku adalah anak dibawah umur;
f. Kebiasaan masyarakat;
g. Keadaan darurat atau mendesak;
h. Antisipasi pelaku terhadap perbuatan dari pihak lain;
i. Kurang kesadaran/mabuk dari pelaku;
j. Pengetahuan umumnya, orang ahli atau spesialis memiliki tanggung jawab yang
lebih besar dari orang biasa, sepanjang keahliannya tersebut berhubungan dengan
tindakan yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab professional seorang ahli
lebih tinggi dari orang biasa pada umumnya, dan diatur dalam hukum yang
mempunyai kaidah yuridis tersendiri;
k. Sifat dari perbuatannya, yang timbul secara alami dengan sendirnya.
Kewajiban yang juga harus dilaksanakan pelaku perbuatan pidana yaitu apabila
perbuatannya tersebut mengakibatkan penderitaan mental bagi korban. Contoh dari
penderitaan mental karena perbuatan pidana antara lain rasa sakit, rasa malu, tekanan
jiwa/stres, jatuhnya nama baik, rasa takut yang berlebihan, dan lain-lain.22
Pada umumnya tanggung jawab yang dilakukan akibat dari penderitaan mental dari
perbuatan pidana selain menerima sanksi pidana adalah ganti kerugian. Ganti
kerugian ini biasanya berupa pemberian sejumlah uang kepada korban dari perbuatan
pidana, dalam prakteknya biasa disebut dengan istilah ganti rugi “immaterial”. Ganti
22

Ibid, hlm. 97.

kerugian ini tidak dapat diperhitungkan secara matematis tetapi lebih merupakan dari
kebijakan hakim, dengan syarat jumlah ganti rugi tersebut haruslah wajar. Kewajaran
dari ganti rugi tersebut bergantung kepada banyak hal, antara lain:23
a. Beratnya beban mental yang dipikul oleh korban;
b. Status dan kedudukan dari korban;
c. Situasi dan kondisi dimana perbuatan tersebut terjadi;
d. Situasi dan kondisi mental dari korban;
e. Situasi dan kondisi mental dari pelaku;
f. Latar belakang pelaku melakukan perbuatan pidananya tersebut;
g. Jenis perbuatan pidana, yaitu apakah karena kesengajaan, kelalaian, atau
tanggung jawab mutlak.

C. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah kewajiban terhadap segala sesuatu fungsi
menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain. Van
Hammel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dari
kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:24
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Mamahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat.
c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat
23
24

Ibid.
P.A.F Lamintang, Op Cit, hlm. 108.

disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung
pengertian kemampuan atau kecakapan.
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu
adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang
berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap delinquent adalah
karena

perbuatannya

sendiri

yang

membuat

orang

tersebut

harus

bertanggungjawab.25
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang
yang

melakukan

perbuatan

pidana

merupakan

masalah

kemampuan

bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana
haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang
normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuranukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.26
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran
tersebut

tidak

berlaku

baginya

tidak

ada

gunanya

untuk

diadakan

pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4
KUHP yang berbunyi sebagai berikut:27

25

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, KonPress, Jakarta, 2012, hlm. 56.
Andi Hamzah, Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia , Jakarta, 1986,
hlm. 78.
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ctk. Politea, Bogor, 1996, hlm. 73.

1. Barang

siapa

mengerjakan

sesuatu

perbuatan,

yang

tidak

dapat

di

pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena
kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan di rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun
untuk diperiksa.
3. Yang di tentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.
Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak
memiliki kualifiksi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau
dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan.
Adalah cukup bahwa perbuatan telah membawa efek yang menunjukkan hubungan
eksternal antara pebuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku
dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan
pertanggungjawaban absolut. 28
Sedangkan menurut Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak
cukup dengan dilakukan perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata dalam asas hukum yang tidak

28

Ibid.

tertulis, tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne
schuld keine strafe).29
Perbuatan pidana hanya untuk menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan oleh
Undang-Undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga
dipidana, tergantung pada persoalan apakah ia dalam melakukan perbuatannya
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan itu
memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana akan dikenai pidana apabila mempunyai kesalahan.
Menurut

Roeslan

Saleh

yang

mengikuti

pendapat

Moelijatno

bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan
adalah :30

1.

Kemampuan bertanggung jawab

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab
harus ada:

-

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal);

-

Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak).

29
30

Pipin Syarifin, Op Cit., hlm. 73.
Roeslan Saleh, Op Cit, hlm, 80.

1.

Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa)

a. Kesengajaan (dolus/opzet)
Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana:31
1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (opzet als oogmerk) atau
dolus directus. Merupakan kesengajaan biasa yaitu perbuatan si pembuat
bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn).
Mempunyai dua akibat yaitu akibat yang memang dituju si pembuat dan akibat
yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan
dimana akibat itu pasti timbul atau terjadi.
3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet) atau dolus
eventualis. Ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benarbenar terjadi.
b. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa)
Kurang hati-hati/kealpaan (culpa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya,
tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam
kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu
kurang berhati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi.32

P.A.F Lamintang, Op Cit, hlm. 60.
Ibid.

3.

Alasan penghapus pidana

Terdapat 2 (dua) alasan penghapus pidana yaitu :33

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri
orang itu, dan
b. Alasan tidak dapat diprtanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar
orang itu.

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan
penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan
dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan
atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana , yaitu :34

1. Alasan pembenar yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada
pemidanaan.
2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan yaitu menyangkut pribadi si
pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum. Di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga
tidak dipidana.
33

Roeslan Saleh, Op Cit, hlm.80.
Ibid.

Dalam hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak pidana dapat
dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf
yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan keadaan orang
tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44, 48, dan 49
ayat (2) KUHP.
Pasal 44 KUHP berbunyi:
a. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau targanggu karena
penyakit, tidak dipidana.
b. Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling
lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
c. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan
Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 44 KUHP berbunyi barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana.
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi:
a. Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun

orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat
itu yang melawan hukum.
b. Pembelian terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak
dipidana.
Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana.
Pasal 51 KUHP berbunyi:
a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
b. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
dalam lingkungan pekerjaannya.
Menurut Van Hammel, pada delik-delik yang oleh undang-undang telah disyaratkan
bahwa delik-delik itu harus dilakukan dengan sengaja, opzet itu hanya dapat
dtujukan kepada:35
a. Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan
untuk tidak melakukan sesuatu.
b. Tindakan untuk melakukan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.
c. Dipenuhi unsur-unsur selebihnya dari delik yang bersangkutan.

35

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 284.

Tindakan kesengajaan (dolus/opzet) sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh
pelaku karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum
pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.
Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana dalam
hukum pidana ada 2 (dua) macam yaitu yang dilakukan karena kesengajaan
(dolus/opzet) dan kealpaan (culpa). Pertanggungjawaban pidana yang terjadi akibat
kealpaan

atau

kurang

hati-hati

hukumannya

juga

tidak

seberat

seperti

pertanggungjawaban pidana yang disebabkan oleh kesengajaan, karena tindak pidana
kealpaan terjadi diakibatkan dengan ketidaksengajaan.
Suatu perbuatan yang oleh hukum peraturan telah disebut secara tegas sebagai suatu
pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang melakukan
perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi karena tidak disebutkan
oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, ia menjadi tidak terhukum.
D. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Perbuatan Tidak Menyenangkan
Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) kepada
mereka yang melakukan pelanggaran norma. Sanksi mempunyai tugas agar norma
yang sudah ditetapkan ditaati dan dilaksanakan. Sanksi merupakan alat pemaksa agar
seseorang menaati norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Adapun sanksi
dari pelanggaran norma-norma adalah sebagai berikut:36

36

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 48.

a. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesusilaan ialah bahwa pelanggar akan
dikucilkan dari pergaulan masyarakat.
b. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan ialah bahwa pelanggar kelak akan
mendapat siksa di akhirat.
c. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan ialah bahwa pelanggar akan
mendapatkan perlakuan yang tidak terhormat dalam pergaulan masyarakat.
d. Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum ialah bahwa pelanggar akan
mendapatkan sanksi sebagai alat pemaksa yaitu diserahkan kepada pemerintah
atau penguasa.
Dari sanksi di atas tampak bahwa sanksi norma lainnya, yaitu menyerahkan
pelanggaran kepada penguasa. Sanksi norma hukum mencakup sanksi norma hukum
tata negara, administrasi negara, dan sanksi norma hukum pidana.
Seperti telah dikatakan di atas, sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman
pidana, dan mempunyai peran agar aturan yang sudah ditetapkan itu diataati. Jika
sanksi itu merupakan alat pemaksa yang berfungsi sebagai alat preventif, dan
sekaligus sebagai alat refresif bila terjadi suatu pelanggaran hukum.
Berkenaan dengan perbuatan tidak menyenangkan maka bagi pelakunya dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Bab XVIII tentang Kejahatan.
Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP yang rumusannya
berbunyi:

(1) Diancam dengan pidana penjara lama satu tahun atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah;
Ke-1: Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan
atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan,
baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perbuatan tidak menyenangkan
tersebut dimasukkan dalam KUHP, hal ini karena menyangkut kemerdekaan
ditafsirkan ialah agar jangan terjadi perbuatan balas membalas atau main hakim
sendiri antara pelaku dan korban. Hukum positif menciptakan cara membuat
keseimbangan yaitu untuk menetralisir perasaan yang tidak enak tersebut, perlu
campur tangan institusi penengah yaitu peradilan agar pihak yang lemah terlindungi,
dan pihak yang kuat disadarkan.

E. Dasar Pertimbangan Putusan Pengadilan
Menjatuhkan suatu putusan perlu ada dasarnya, sebab kalau tidak (menjatuhkan
putusan tanpa alasan-alasan yang kuat), dapat berakibat fatal. Antara lain putusan itu
tidak akan dipatuhi secara iklas oleh yang dikenal putusan, karena hati nurani dan
perasaan keadilannya tidak sesuai dengan putusan itu. Kalaupun ia patuhi hanyalah

karena terpaksa dan hatinya akan selalu menentang, sementara masyarakat tidak
akan pernah menjadikannya pegangan disebabkan tidak adilnya putusan tersebut.
Mengenai putusan pengadilan ini, disebutkan dalam Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 53
ayat (2) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi sebagai berikut:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
“Penetapan dan pututsan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang
tepat dan benar”.

Ketentuan putusan pengadilan ini tidak hanya diadasarkan pada dasar hukum tertulis
juga harus didasarkan pada sumber hukum tak tertulis. Oleh karena itu, untuk dapat
memutus suatu perkara dengan adil, tidak bisa kita mengabaikan aspirasi yang
sedang tumbuh dalam masyarakat. Dengan kata lain, berhasilnya kita menumbuhkan
wibawa hukum banyak bergantungan pada kemampuan hakim kmembaca keadaan
lingkungan social. Artinya, para hakim harus mampu menyerap aspirasi masyarakat
dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
Mengenai pelaksanaan putusan pengadilan pada Pasal 270 KUHAP ditegaskan
sebagai berikut:

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya”.

Sebagaimana tersebut pada Pasal 270 KUHAP di atas, jaksalah yang melaksanakan
putusan pengadilan. Dalam pelaksanaan keputusan pengadilan ini dengan tegas
KUHAP menyebut “Jaksa”, berbeda pada penuntutan seperti penahanan, ini berate
jaksa yang tidak menjadi penuntut umum utuk suatu perkara boleh melaksakan
keputusan pengadilan.
Penuntut umum dan hakim dalam persidangan, berusaha untuk membuktikan dan
memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak
memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang tindak
pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal
yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan
perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.
Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat
putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Menurut Sudarto, perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan
penghukuman, yaitu:37
“Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai
menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk
suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi
juga hukum perdata. OIeh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka
istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana,
yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana
oleh hakim”.
Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam 3
(tiga) kelompok teori, yaitu:38
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah
Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat
dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus
dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua
perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat
hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman
harus dijatuhkan.

P.A.F Lamitag, Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm. 49.
Hermien Hadiati Koeswati, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, PT. Citra Adtya, Jakarta, 1995, hlm. 45.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan
karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu sendirilah yang menjadi tujuan
penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan
yang daripada pemidanaan itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai
tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan
tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi
umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi umum, orang akan menahan diri
untuk melakukan kejahatan. Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya
menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah
dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi
mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya
sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan / Modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut dan teori
retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan
jasmani juga psikologis dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan
pendidikan.

III. METODE PENELITIAN

A.

Pendekatan masalah

Penulisan skripsi ini mengunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan
dengan pokok bahasan. Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengumpulkan
data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek dengan
cara observasi dan wawancara dengan responden dan narasumber yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
B.

Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian dilapangan.
Data primer ini didapatkan dengan cara melakukan wawancara dengan aparat
penegak hukum yang terkait dengan kedudukan korban tindak pidana
penganiayaan dalam pembuktian perkara pidana.

38

2.

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data
sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Analisis Putusan Hakim
terhadap Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan.

3.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antar lain:
KUHP, KUHAP,dan sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan
Analisis Putusan Hakim terhadap Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan
Tidak Menyenangkan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahanbahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti bibliografi, ensiklopedi, kamus dan
sebagainya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

39

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari seluruh unit analisa yang ciri-cirinya akan
diduga.38 Karena masalah perbuatan tidak menyenangkan ini menyangkut masalah
penegakan hukum dan eksistensi hukum pidana terhadap masyarakat, maka yang
menjadi populasi adalah para penegak hukum dan instansi terkait yang menangani
masalah ini,tokoh masyarakat, dan akademisi hukum.
Penentuan sample, digunakan metode “proposional purposive sampling”, yaitu
penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan
yang telah ditetapkan serta seuai ciri-ciri tertentu pada masing-masing responden
yang di pandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi.
Berdasarkan metode sampling tersebut diatas, maka yang menjadi sample responden
dalam penelitian ini adalah :
1. Dosen Fakultas Hukum jurusan Pidana

: 1 orang

2. Advokad atau Pengacara

: 1 orang

3. Hakim Pengadilan Negeri Kelas I Tanjung Karang

: 1 orang +

Jumlah
D.

3 orang

Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur
38

Masri Singarimbun, Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES, Jakarta,
1989, hlm, 152.

40

serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundangundangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan
berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitiaan.

2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah diperoleh
sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan

permasalahan yang diteliti

dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompokkelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benarbenar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
sehingga mempermudah interpretasi data.

41

d. Sistematika yaitu data yang telah diklasifikasikan kemudian ditempatkan
sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

E.

Analisis Data

Data yang diolah kemudian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara
mendeskripsikan data dalam bentuk uraian kalimat. Untuk mengambil kesimpulan
maka digunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada
fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan guna menjawab
permasalahan yang telah dikemukakan.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas penelitian yang telah dilakukan sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut;
1. Berdasarkan perkara Nomor: 155/Pid/B/2012/PNTK, yang menjadi dasar
pertanggungjawaban pidana adalah apabila pelaku tindak pidana terbukti
memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana yaitu adanya perbuatan, adanya
peraturan perundang-undangan yang dilanggar, dan adanya kesalahan yang
dilakukan pelaku, dan juga berdasarkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada
persidangan yang menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang mampu
bertanggungjawab atas kesalahannya dan hakim juga tidak menemukan
sesuatu alasan penghapusan pidana bagi pelaku maka sudah selayaknya
pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.
2. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor :
155/Pid/B/2012/PNTK, yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan pidana adalah dilihat dari empat unsur yaitu fakta hukum
dalam persidangan, hal-hal yang memberatkan dan meringankan, rasa

keadilan, serta kayakinan dari hakim sendiri dalam memutuskan pidana bagi
terdakwa

dengan

sepantasnya.

Maka

dengan

seadil-adilnya

hakim

memutuskan terhadap terdakwa dalam putusan tersebut diatas dengan
masing-masing 8 (delapan) bulan pidana perjara dengan masa percobaan
selama 10 (sepuluh) bulan. Hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut
menggunakan teori gabungan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu selain
sebagai sarana pembalasan terhadap terdakwa agar menimbulkan efek jera
juga sebagai pencegahan agar tidak terjadi hal serupa di masyarakat.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis memberikan
beberapa saran yang diharapakn dapat berguna:
1. Perbuatan yang dilakukan setiap orang haruslah didasari dengan rasa
tanggung jawab si pembuatnya. Apabila seseorang telah terbukti melakukan
tindak pidana dan terbukti dapat mempertanggungjawabkannya maka
penyesalanlah yang akan muncul dikemudian. Karena itu dalam melakukan
perbuatan dalam hal ini perbuatan pidana baiklah dipikirkan terlebih dahulu
apakah diri sendri dapat mempertanggungjawabkannya atau tidak.
2. Sekecil apapun perbuatan yang terjadi di masyarakat ada peraturannya. Maka
sebagai bagian dari masyarakat, haruslah berhati-hati dalam berbuat sesuatu
terutama yang merugikan orang lain. Karena pada dasarnya tidak semua
orang dapat menyelesaikan perbuatan yang merugikannya dengan cara

kekeluargaan. Masyarakat yang mengerti hukum akan menyelesaikan segala
perbuatan yang merugikannya ke jalur hukum. Untuk itu setiap masyarakat
hendaknya dapat mengerti hukum agar suatu saat tidak terjerat oleh hukum
karena ketidakhati-hatian ataupun ketidaktahuan akan hukum.

I.

A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan
berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Demikianlah penegasan yang terdapat
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia
sebagaimana digariskan adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia dan menjamin kedudukan yang sama dan sederajat bagi setiap warga
negara dalam hukum dan pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep
Negara hukum ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yaitu: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
Penegakan hukum akan dapat terlaksana dengan baik, benar dan adil apabila hukum
tidak

dipengaruhi

oleh

kepentingan-kepentingan

politik

atau

kepentingan-

kepentingan lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
“independent judiciary”, menjadi ideologi universal masa kini dan masa datang. Hal

2

ini merupakan konsepsi ideologi yang dicetuskan bersamaan dengan revolusi yang
melahirkan aliran “Trias Politica”. Lahirnya faham Trias Politica sekaligus
memperkuat konsepsi “Negara Hukum” dan “Negara Demokratis” dengan semboyan
“Supremasi Hukum” (the law issupreme). Hukum berada di atas segala-galanya.
Pengoreksi supremasi hukum diberikan fungsi dan kewenangannya kepada
kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh penguasa (executive power).1
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
kekuasaan

Kehakiman

adalah

kekuasaan

negara

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hal ini memberi kewenangan
kepada badan peradilan menjadi “Katup Penekan” atau “preassure valve” atas setiap
pelanggaran hukum yang dilakukan siapa dan pihak manapun tanpa kecuali.
Kewenangan itu, meliputi pelanggaran atas segala bentuk perbuatan yang tidak
konstitusional (unconstitusional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan
(reasonableness). Sehubungan dengan kewenangan kekuasaan kehakiman dengan
sendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai “tempat
terakhir” atau “the last resort” dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan (to
inforce the treeth and justice).2

1

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka, Al-Hikmah, Jakarta, 1998, hlm. 38.
Noor shofa, Peran Hakim dalam Melaksanakan Fungsi dan Kewenangan Peradilan, al-hikmah,
Jakarta, 1996, hlm. 64.
2

3

Lembaga pengadilan merupakan tumpuan dan harapan bagi semua pihak, karena di
tangan pengadilanlah (hakim) dipastikan berhak atau tidaknya seseorang terhadap
sesuatu, putus atau tidaknya hubungan seseorang, melanggar atau tidaknya sesorang.
Demikianlah misi pengadilan, yaitu untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban dan kepastian hukum. Dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan
sehingga dapat memberikan pengayoman bagi masyarakat banyak bergantung pada
profesionalisme hakim, di samping pada aspek moral dan etika hakim, putusan yang
dijatuhkan harus mengandung tiga hal yang sangat essensial, yaitu keadilan
(Gerechtigheit), kemanfaatan (Zwechtighelt) dan kepastian (Rechsecherheit).
Menurut Leon Duguit, Hukum adalah semua aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan dan daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh
anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yang
dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran
itu.3 Jadi pada dasarnya hukum mengatur semua tingkah laku anggota masyarakat
baik sekecil apapun itu. Dalam kehidupan sehari-hari tidak asing kita dengar
ungkapan perbuatan tidak menyenangkan, akan tetapi banyak diantara kita
menganggap remeh ungkapan tersebut dan dianggap sebagai hal biasa, padahal
sesungguhnya masalah tersebut sangat besar menurut pandangan hukum. Dalam
hukum atau dalam pengertian hukum pidana pada khususnya, perbuatan tidak
menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya jika perbuatan yang tidak
menyenangkan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang
Mathedu Unila, Pengertian Hukum, diakses dari http://mathedu.unila.blogspot.com/2011/12/
pengertian-hukum.html pada tanggal 13 Februari 2013, pukul 12.29.

4

menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan, memang akibat
perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, akan tetapi ada
perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh si penderita atau korban, oleh
karenanya dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak menyenangkan
sebagai ancaman terhadap kemerdek