Ayat-ayat Cinta: Berdakwah dan Membantu Menyingkap Profil Mayoritas Pembaca Muslim
Ayat-ayat Cinta: Berdakwah dan Membantu Menyingkap
Profil Mayoritas Pembaca Muslim1
Oleh: Wawan Eko Yulianto
Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang bercerita tentang beberapa bulan dalam kehidupan
Fahri Abdillah Shiddiq, seorang mahasiswa Indonesia asal Jawa yang sedang menempuh pendidikan S-2 Ilmu
Tafsir di Universitas Al-Azhar di Kairo. Novel ini tidak begitu kompleks, pesannya jelas, dan enak
dijadikan bacaan yang menghibur dan mendidik. Pendeknya: mudah dibaca dan informatif. Di antara
berbagai hal, ada beberapa faktor utama yang menciptakan kenyamanan novel ini, yaitu karakterisasinya
yang sederhana, temanya yang tegas dengan moral Islami, latarnya yang cukup menggiurkan, dan sorga
dunia (atau utopia) dalam berbagai bentuk yang ditawarkannya.
Karakterisasi Ayat-ayat Cinta sangat datar, bahkan terlalu datar, nyaris tanpa kejutan. Bahkan, kita bisa
dengan mudah mengenali sifat-sifat para tokoh hanya melalui ciri-ciri fisik mereka. Tokoh-tokoh yang
digambarkan rupawan biasanya baik dan yang digambarkan tidak rupawan biasanya buruk.
Konsistensi standar kerupawanan yang digunakan si narator--yaitu cerahnya warna kulit--mau tidak mau
membuat pembaca yang peka merasakan kesan rasis. Aisha adalah seorang gadis yang cantik jelita berkulit
putih (berdarah Jerman-Turki), begitu juga Maria si gadis Koptik. Sementara itu, Bahadur adalah sosok yang
berwajah dingin dan hitam, dan berulang kali Fahri mengait-kaitka kehita a kulit Bahadur de ga ora g
“uda . Perihal kehita a i i se aki ta pak pada para polisi hita
esar ya g e a gkap da
e yiksa
Fahri. Saking konsistennya hal ini, seolah-olah Fahri memiliki asumsi bawah sadar bahwa kulit luar adalah
cermin dari inti di dalam diri.
Mungkin Anda bertanya: bagaimana dengan karakter Noura yang cukup problematis itu? Ya, memang ada
karakter yang keluar pakem (untuk ukuran novel ini), tapi cerita kemudian meluruskan penyimpangan itu. Hal
ini tampak pada karakter Noura yang akhirnya cukup problematis. Sejak awal Fahri menyoroti perbedaan
antara Noura dengan keluarganya (keluarga si Bahadur): Noura lain sendiri, kulitnya putih (dan berambut
pirang) berbeda dengan orang tua dan saudari-saudari ya ya g erkulit da erpe a pila fisik seperti
ora g “uda . “elai itu, kalau keluarga Noura e deru g era gasa dan terlibat bisnis hiburan malam (judi
dan seks komersial), Noura adalah gadis remaja baik- aik ya g elajar di Ma’had Al Azhar. “aat elaka ga
Noura melakukan manuver penyelamatan diri yang keji, kita mungkin diam-diam menghela nafas
puas: Ter yata ora g a tik juga isa keji. Ja ga terlalu puas dulu. Ayat-ayat Cinta meluruskan ceritanya:
ternyata dia tidak bergerak dengan inisiatif sendiri, dan belakangan pun akhirnya dia memutuskan untuk
mengakui kesalahannya.
Hal kedua yang membuat kita bisa dengan mudah menikmati novel ini dan mengambil pelajaran darinya
adalah tegasnya moral Islami yang diangkat sebagai tema. Ayat-ayat Cinta dihantarkan oleh seorang narator
yang sangat lurus mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dia dapatkan sejak di tanah Jawa hingga di "negeri para
1
Esai ini adalah sebuah postingan blog di Timbalaning yang diunggah ke sini karena penting artinya bagi si penulis
sendiri (dan semoga juga bagi orang lain )
Nabi." Semua tindakan penting yang dia buat dalam cerita ini dilandasi dalil-dalil dan rasionalisasi yang
banyak dilandasi kisah-kisah Alquran, kisah-kisah sahabat rasul sekaligus para ulama Muslim dari segala
zaman. Bagi yang gemar mempelajari tafsir Alquran dan kisah-kisah Islami, Ayat-ayat Cinta adalah sumber
bagus yang menyerupai pengulangan kontemporer atas kisah-kisah Alquran dan para ulama. Bahkan,
adegan-adegan penting yang ada di sana pun bisa dihubungkan dengan kisah-kisah Alquran, seperti
hubungan antara perkawinan Aisha-Fahri yang menyerupai kisah Sulaiman dan Ratu Sheba, meskipun
bedanya di sini sang kaya raya adalah Ratu Sheba, dan adegan penjara pun banyak terinspirasi dari kisah Nabi
Yusuf dan para ulama Muslim yang mendapat banyak pengalaman di penjara. Mungkin bukan kebetulan
bahwasanya Habiburrahman El-Shirazy memiliki adegan penjara sebagai salah satu elemen penting dalam
novel ini. Kisah Nabi Yusuf terjadi di negeri Mesir, setidaknya begitu menurut Perjanjian Lama, yang
memberikan detil-detil lokasi awal dan akhir kisah Yusuf--Alquran tidak memberikan detil tempat, dan ada
kesan hikmah kisah itu yang lebih dijadikan penekanan.
Ketegasan prinsip dan absennya ambiguitas ini tentu membuat pembaca lebih mudah masuk ke dalam cerita
ini. Kalaupun mereka tidak bisa begitu saja menerimanya, setidaknya pembaca tidak akan menentangnya. Hal
ini terutama bagi pembaca yang pada dasarnya kurang tertarik dilema, permainan, dan ambiguitas yang
memaksa berpikir dan merenung-renung, seperti yang banyak ditawarkan dalam karya-karya sastra yang
sementara ini--karena kurangnya istilah, tanpa niat menunjukkan nilai inheren--kita se ut saja sastra
ai strea . Bagi para pe a a i i--pembaca yang lebih menginginkan informasi dan hikmah siap pakai dari
apa yang dibacanya--tentu kisah Fahri dengan keislamannya yang lurus dan tidak mau berkompromi sedikit
pun ini menjadi kisah yang menarik dan bermanfaat, bahkan inspiratif--itulah kenapa novel ini dilabeli "novel
pembangunan jiwa." Sumber-sumber yang dipakai Habiburrahman El-Shirazy jelas dan tidak ada kontradiksi
pada pribadi Fahri. Kurang apa lagi coba?
Racikan antara latar luar negeri dengan dihantarkan orang negeri ini adalah satu faktor kuat yang menjadikan
novel ini mengasyikkan dan menyamankan. Saat diceritakan oleh orang-orang yang latar budanya sama
dengan kita, kisah-kiah berlatar asing cenderung menarik. Apalagi kalau dibumbui perbandingan dengan
negeri sendiri, juga nostalgia, pasti latar yang asing itu menjadi relevan bagi kita. Pembaca masih merasakan
sesuatu yang tak biasa, tapi yang tak biasa ini masih relevan bagi mereka. Berbeda kasusnya dengan cerita
luar negeri yang diceritakan oleh orang luar negeri sendiri; yang seperti ini biasanya menciptakan jarak, dan
hanya akan menarik bagi orang yang pada dasarnya memang tertarik dengan kisah asing. Mungkin, tingginya
tingkat penjualan karya-karya catatan perjalanan maupun novel berlatar asing akhir-akhir ini bisa kita jadikan
sebagai ilustrasi di sini.
Dan, terakhir, apalagi yang lebih menyenangkan dibandingkan menikmati kehidupan di sorga, seperti yg
dialami Fahri? Kita lihat, dalam Ayat-ayat Cinta, ada sorga yang ngejawantah di bumi dalam novel ini,
terutama bagi para tokoh yang baik dan beramal sholeh. Buat kebanyakan Muslim Indonesia, memiliki
kemampuan menghafal seluruh Alquran saja itu sudah seperti sorga; begitu juga dengan pemahaman yang
mendalam tentang keseluruhan isi Quran tersebut dan bisa mengamalkannya (dan mengkotbahkannya
kepada yang membutuhkan) dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau anda juga memiliki kemampuan
akademis, ketrampilan menerjemah*, kemampuan menulis, kemampuan bahasa Inggris, Arab (formal dan
dialek mesir) dan Jerman, dan baik hati. Apalagi kalau kemampuan luar biasa ini ditambah dengan
mendapatkan berkah dicintai sekaligus empat orang gadis cantik, yang salah satunya kaya luar biasa. Pasti
dalam kondisi seperti itu, Anda sekalian akan ikut mencicipi nikmatnya hidup di sorga yang ngejawantah di
dunia. Bahkan--ini yang sebenarnya cukup membuat penasaran--pembaca perempuan pun banyak yang
tertarik dengan kisah Fahri ini, tertarik menikmati kisah seorang (dua orang?) gadis yang "memenangkan"
hati seorang lelaki nyaris sempurna--profil insan kamil?--seperti Kang Fahri ini. Padahal kalau dipikir-pikir,
bukankah kisah ini sangat falosentris, menjadikan laki-laki sebagai pusat dunia, dan menjadikan perempuan
sebagai "perhiasan dunia"? Tapi, pembaca yang tidak syu'udzon pasti senang mendengarkan dongeng
tentang (dan hanyut mengidentifikasi diri dengan) lelaki sempurna ini. Obat gampang macam apa lagi yang
le ih a jur u tuk hidup ya g sulit i i selai se uah kei daha yaris utopis seperti du ia Fahri i i?**
Semua hal ini memudahkan pembacaan, tapi juga mematikan terhadap potensi kritis novel ini sendiri. Tidak
ada yang lebih membuat nyaman hati daripada mendengar atau membaca kisah yang tidak membutuhkan
banyak pertentangan hati seperti hal-hal yang saya sebutkan di atas. Tapi, dampak negatifnya, banyak
potensi kritis (dan politis) dalam novel ini yang justru jadi terabaikan. Beberapa contohnya adalah kekritisan
novel ini terhadap dipomasi Indonesia yang seringkali lemah ketika orang-orang Indonesia bermasalah di luar
negeri. Kalau kita mau membahas lemahnya diplomasi ini, mestinya kita juga harus membahas lemahnya
daya tawar kita di luar negeri, berbeda dengan negara-negara seperti Jerman yang merupakan tokoh kuat
dalam bidang teknologi dan Amerika yang kuat dalam hal militer dan ekonomi secara umum. Dengan kata
lain, kritik seperti ini, kalau ditelaah lebih jauh, sebenarnya adalah kritik terhadap lemahnya pengelolaan
negara secara umum. Sayang, sepertinya kritik-kritik kuat semacam ini terkubur oleh banyaknya ajaran moral
Islami penting yang memadati novel sejak halaman-halaman pertama, yang menjadikan hal-hal kritis dan
politis semacam ini seperti sekadar tema sampiran yang nyasar di novel ini. Padahal, bukankah segala macam
penyiksaan dan adegan penjara itu bisa sama sekali sirna kalau diplomasi Indonesia tidak selemah sekarang?
Sekarang, bagaimana kalau kita tidak tanggung-tanggung lagi: melompat ke wilayah pembaca? Kalau melihat
kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini di pasar Indonesia, saya ingin membuat kesimpulan sementara yang cukup
lancang: novel ini membuat kita tahu mayoritas pembaca Muslim Indonesia.*** Dengan kesuksesan Ayatayat Cinta secara komersial ini (yang menurut beberapa sumber sampai mendatangkan hasil bersih sebanyak
1,5 miliar Rupiah bagi penulisnya) kita jadi tahu bahwa mayoritas pembaca Muslim Indonesia adalah orangorang yang lebih menikmati kisah utopis yang tidak memiliki kerumitan karakter dan konflik tapi bisa
dijadikan sumber rujukan tentang berbagai ajaran Islam--atau setidaknya bisa dijadikan sumber bacaan untuk
mengingat-ingat kembali sejumlah ajaran Islam penting terkait isu-isu perempuan, hubungan suami istri,
kinerja, dan sejumlah topik lain.
Kita tentu tidak tahu apakah Habiburrahman El-Shirazy merupakan penulis yang sangat mengenal audiensnya ataukah sebuah kebetulan sang novelis menulis novel yang sesuai dengan selera mayoritas pembaca
Muslim Indonesia. Yang pasti kita tahu adalah bahwa terdapat kecocokan antara faktor-faktor
pembentuk Ayat-ayat Cinta dengan mayoritas pembaca Indonesia, dan tidak ada yang bisa kita lakukan
selain memberi selamat kepada si penulis atas kecocokan dan kesuksesan finansial ini--yang saya cukup yakin
memungkinkannya melakukan banyak hal baik. Perkara fakta miris bahwa mayoritas pembaca Muslim
Indonesia adalah orang yang tidak suka berlama-lama memamah dan mencerna kisah, konflik, dan
karakterisasi yang penuh gizi tapi butuh usaha ekstra seperti yang dikandung dalam karya-karya "sastra
mainstream," kita tidak bisa apa-apa selain mengakui kebenarannya. Memang, golongan yang menikmati
"sastra mainstream" bukannya sangat sedikit, tapi dari kurang bergairahnya pasar buku sastra Indonesia kita
bisa menyimpulkan bahwa secara rasio jumlah mereka jauh di bawah jumlah penggemar karya-karya
semacam Ayat-ayat Cinta. Mungkin hanya waktu yang bisa mengubah rasio ini. Kalau memang rasio ini bisa
diubah.
Akhirul kalam, sebelum menutup esai ini, semoga juga saya tidak disalahpahami sebagai orang yang
menganggap Ayat-ayat Cinta sebagai karya yang rendah kualitasnya--yang bisa juga diartikan sebagai
rendahnya kualitas Habiburrahman El-Shirazy. Kalau ada yang sampai beranggapan begitu, maka dia salah
besar. Membuat Ayat-ayat Cinta bukanlah pekerjaan gampang; dibutuhkan seorang yang memahami
Alquran dan hadits, berbagai diskusi kontemporer penting dalam Islam, dan--tentu saja--memahami kota
Kairo, serta juga kemampuan memberikan penfasiran atas kisah-kisah Alquran dan para tokoh Islam dan
menerjemahkannya ke dalam kisah-kisah kontemporer. Semua ini bukan hal sepele. Dibutuhkan seorang
ulama atau dai untuk melakukan hal ini. Perlu dicatat dan disoroti: dibutuhkan seorang dai untuk menulis
sebuah kisah yang "mengajari" (seperti Ayat-ayat Cinta ini). Tapi, untuk menciptakan apa yang secara
gampang-gampangan saya sebut "sastra mainstream" tadi, dibutuhkan seorang penulis dengan kepekaan
atas kompleksitas dunia yang memiliki ketrampilan membuat orang lain memikirkan ambiguitas,
kemungkinan-kemungkinan tanpa akhir, dan--insya allah, kalau berhasil--membuat orang lain mendapatkan
hikmah.
Catatan:
*) Ayat-ayat Cinta adalah novel Indonesia pertama dengan tokoh utama penerjemah dan menjadikan
terjemahan sebagai salah satu elemen vital dalam cerita.
**) Pada sebuah postingan sebuah blog saya mengutipkan satu paragraf yang terdengar sangat wajar
dalam novel ini, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata benar-benar tak lebih dari sebuah sorga. Banyak
orang kaya yang bisa mengirimkan anaknya sekolah ke negara mana saja, tapi tidak banyak di antara kita
yang kaya dan memungkinkan kita hidup di mana sambil juga bisa diterima kuliah di mana saja.
***) Mungkin terlalu sembrono kalau saya langsung bilang kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini mengindikasikan
profil mayoritas pembaca Muslim Indonesia. Tapi, kalau dinalar secara sederhana saja, selain orang-orang
Islam sendiri, siapa lagi yang akan membaca sebuah kisah tentang seorang Muslim yang terang-terangan
menceramahkan Islam, dengan rujukan dari Alquran, al-hadits, kisah para sahabat Rasul dan ulama besar?
Kalau dibalik, selain umat Kristiani, berapa banyak orang Islam yang membaca, misalnya, kisah-kisah Kristiani
yang diambil dari Injil, kisah para murid Yesus, para santo dan para uskup besar dari segala penjuru dunia?
Profil Mayoritas Pembaca Muslim1
Oleh: Wawan Eko Yulianto
Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang bercerita tentang beberapa bulan dalam kehidupan
Fahri Abdillah Shiddiq, seorang mahasiswa Indonesia asal Jawa yang sedang menempuh pendidikan S-2 Ilmu
Tafsir di Universitas Al-Azhar di Kairo. Novel ini tidak begitu kompleks, pesannya jelas, dan enak
dijadikan bacaan yang menghibur dan mendidik. Pendeknya: mudah dibaca dan informatif. Di antara
berbagai hal, ada beberapa faktor utama yang menciptakan kenyamanan novel ini, yaitu karakterisasinya
yang sederhana, temanya yang tegas dengan moral Islami, latarnya yang cukup menggiurkan, dan sorga
dunia (atau utopia) dalam berbagai bentuk yang ditawarkannya.
Karakterisasi Ayat-ayat Cinta sangat datar, bahkan terlalu datar, nyaris tanpa kejutan. Bahkan, kita bisa
dengan mudah mengenali sifat-sifat para tokoh hanya melalui ciri-ciri fisik mereka. Tokoh-tokoh yang
digambarkan rupawan biasanya baik dan yang digambarkan tidak rupawan biasanya buruk.
Konsistensi standar kerupawanan yang digunakan si narator--yaitu cerahnya warna kulit--mau tidak mau
membuat pembaca yang peka merasakan kesan rasis. Aisha adalah seorang gadis yang cantik jelita berkulit
putih (berdarah Jerman-Turki), begitu juga Maria si gadis Koptik. Sementara itu, Bahadur adalah sosok yang
berwajah dingin dan hitam, dan berulang kali Fahri mengait-kaitka kehita a kulit Bahadur de ga ora g
“uda . Perihal kehita a i i se aki ta pak pada para polisi hita
esar ya g e a gkap da
e yiksa
Fahri. Saking konsistennya hal ini, seolah-olah Fahri memiliki asumsi bawah sadar bahwa kulit luar adalah
cermin dari inti di dalam diri.
Mungkin Anda bertanya: bagaimana dengan karakter Noura yang cukup problematis itu? Ya, memang ada
karakter yang keluar pakem (untuk ukuran novel ini), tapi cerita kemudian meluruskan penyimpangan itu. Hal
ini tampak pada karakter Noura yang akhirnya cukup problematis. Sejak awal Fahri menyoroti perbedaan
antara Noura dengan keluarganya (keluarga si Bahadur): Noura lain sendiri, kulitnya putih (dan berambut
pirang) berbeda dengan orang tua dan saudari-saudari ya ya g erkulit da erpe a pila fisik seperti
ora g “uda . “elai itu, kalau keluarga Noura e deru g era gasa dan terlibat bisnis hiburan malam (judi
dan seks komersial), Noura adalah gadis remaja baik- aik ya g elajar di Ma’had Al Azhar. “aat elaka ga
Noura melakukan manuver penyelamatan diri yang keji, kita mungkin diam-diam menghela nafas
puas: Ter yata ora g a tik juga isa keji. Ja ga terlalu puas dulu. Ayat-ayat Cinta meluruskan ceritanya:
ternyata dia tidak bergerak dengan inisiatif sendiri, dan belakangan pun akhirnya dia memutuskan untuk
mengakui kesalahannya.
Hal kedua yang membuat kita bisa dengan mudah menikmati novel ini dan mengambil pelajaran darinya
adalah tegasnya moral Islami yang diangkat sebagai tema. Ayat-ayat Cinta dihantarkan oleh seorang narator
yang sangat lurus mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dia dapatkan sejak di tanah Jawa hingga di "negeri para
1
Esai ini adalah sebuah postingan blog di Timbalaning yang diunggah ke sini karena penting artinya bagi si penulis
sendiri (dan semoga juga bagi orang lain )
Nabi." Semua tindakan penting yang dia buat dalam cerita ini dilandasi dalil-dalil dan rasionalisasi yang
banyak dilandasi kisah-kisah Alquran, kisah-kisah sahabat rasul sekaligus para ulama Muslim dari segala
zaman. Bagi yang gemar mempelajari tafsir Alquran dan kisah-kisah Islami, Ayat-ayat Cinta adalah sumber
bagus yang menyerupai pengulangan kontemporer atas kisah-kisah Alquran dan para ulama. Bahkan,
adegan-adegan penting yang ada di sana pun bisa dihubungkan dengan kisah-kisah Alquran, seperti
hubungan antara perkawinan Aisha-Fahri yang menyerupai kisah Sulaiman dan Ratu Sheba, meskipun
bedanya di sini sang kaya raya adalah Ratu Sheba, dan adegan penjara pun banyak terinspirasi dari kisah Nabi
Yusuf dan para ulama Muslim yang mendapat banyak pengalaman di penjara. Mungkin bukan kebetulan
bahwasanya Habiburrahman El-Shirazy memiliki adegan penjara sebagai salah satu elemen penting dalam
novel ini. Kisah Nabi Yusuf terjadi di negeri Mesir, setidaknya begitu menurut Perjanjian Lama, yang
memberikan detil-detil lokasi awal dan akhir kisah Yusuf--Alquran tidak memberikan detil tempat, dan ada
kesan hikmah kisah itu yang lebih dijadikan penekanan.
Ketegasan prinsip dan absennya ambiguitas ini tentu membuat pembaca lebih mudah masuk ke dalam cerita
ini. Kalaupun mereka tidak bisa begitu saja menerimanya, setidaknya pembaca tidak akan menentangnya. Hal
ini terutama bagi pembaca yang pada dasarnya kurang tertarik dilema, permainan, dan ambiguitas yang
memaksa berpikir dan merenung-renung, seperti yang banyak ditawarkan dalam karya-karya sastra yang
sementara ini--karena kurangnya istilah, tanpa niat menunjukkan nilai inheren--kita se ut saja sastra
ai strea . Bagi para pe a a i i--pembaca yang lebih menginginkan informasi dan hikmah siap pakai dari
apa yang dibacanya--tentu kisah Fahri dengan keislamannya yang lurus dan tidak mau berkompromi sedikit
pun ini menjadi kisah yang menarik dan bermanfaat, bahkan inspiratif--itulah kenapa novel ini dilabeli "novel
pembangunan jiwa." Sumber-sumber yang dipakai Habiburrahman El-Shirazy jelas dan tidak ada kontradiksi
pada pribadi Fahri. Kurang apa lagi coba?
Racikan antara latar luar negeri dengan dihantarkan orang negeri ini adalah satu faktor kuat yang menjadikan
novel ini mengasyikkan dan menyamankan. Saat diceritakan oleh orang-orang yang latar budanya sama
dengan kita, kisah-kiah berlatar asing cenderung menarik. Apalagi kalau dibumbui perbandingan dengan
negeri sendiri, juga nostalgia, pasti latar yang asing itu menjadi relevan bagi kita. Pembaca masih merasakan
sesuatu yang tak biasa, tapi yang tak biasa ini masih relevan bagi mereka. Berbeda kasusnya dengan cerita
luar negeri yang diceritakan oleh orang luar negeri sendiri; yang seperti ini biasanya menciptakan jarak, dan
hanya akan menarik bagi orang yang pada dasarnya memang tertarik dengan kisah asing. Mungkin, tingginya
tingkat penjualan karya-karya catatan perjalanan maupun novel berlatar asing akhir-akhir ini bisa kita jadikan
sebagai ilustrasi di sini.
Dan, terakhir, apalagi yang lebih menyenangkan dibandingkan menikmati kehidupan di sorga, seperti yg
dialami Fahri? Kita lihat, dalam Ayat-ayat Cinta, ada sorga yang ngejawantah di bumi dalam novel ini,
terutama bagi para tokoh yang baik dan beramal sholeh. Buat kebanyakan Muslim Indonesia, memiliki
kemampuan menghafal seluruh Alquran saja itu sudah seperti sorga; begitu juga dengan pemahaman yang
mendalam tentang keseluruhan isi Quran tersebut dan bisa mengamalkannya (dan mengkotbahkannya
kepada yang membutuhkan) dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau anda juga memiliki kemampuan
akademis, ketrampilan menerjemah*, kemampuan menulis, kemampuan bahasa Inggris, Arab (formal dan
dialek mesir) dan Jerman, dan baik hati. Apalagi kalau kemampuan luar biasa ini ditambah dengan
mendapatkan berkah dicintai sekaligus empat orang gadis cantik, yang salah satunya kaya luar biasa. Pasti
dalam kondisi seperti itu, Anda sekalian akan ikut mencicipi nikmatnya hidup di sorga yang ngejawantah di
dunia. Bahkan--ini yang sebenarnya cukup membuat penasaran--pembaca perempuan pun banyak yang
tertarik dengan kisah Fahri ini, tertarik menikmati kisah seorang (dua orang?) gadis yang "memenangkan"
hati seorang lelaki nyaris sempurna--profil insan kamil?--seperti Kang Fahri ini. Padahal kalau dipikir-pikir,
bukankah kisah ini sangat falosentris, menjadikan laki-laki sebagai pusat dunia, dan menjadikan perempuan
sebagai "perhiasan dunia"? Tapi, pembaca yang tidak syu'udzon pasti senang mendengarkan dongeng
tentang (dan hanyut mengidentifikasi diri dengan) lelaki sempurna ini. Obat gampang macam apa lagi yang
le ih a jur u tuk hidup ya g sulit i i selai se uah kei daha yaris utopis seperti du ia Fahri i i?**
Semua hal ini memudahkan pembacaan, tapi juga mematikan terhadap potensi kritis novel ini sendiri. Tidak
ada yang lebih membuat nyaman hati daripada mendengar atau membaca kisah yang tidak membutuhkan
banyak pertentangan hati seperti hal-hal yang saya sebutkan di atas. Tapi, dampak negatifnya, banyak
potensi kritis (dan politis) dalam novel ini yang justru jadi terabaikan. Beberapa contohnya adalah kekritisan
novel ini terhadap dipomasi Indonesia yang seringkali lemah ketika orang-orang Indonesia bermasalah di luar
negeri. Kalau kita mau membahas lemahnya diplomasi ini, mestinya kita juga harus membahas lemahnya
daya tawar kita di luar negeri, berbeda dengan negara-negara seperti Jerman yang merupakan tokoh kuat
dalam bidang teknologi dan Amerika yang kuat dalam hal militer dan ekonomi secara umum. Dengan kata
lain, kritik seperti ini, kalau ditelaah lebih jauh, sebenarnya adalah kritik terhadap lemahnya pengelolaan
negara secara umum. Sayang, sepertinya kritik-kritik kuat semacam ini terkubur oleh banyaknya ajaran moral
Islami penting yang memadati novel sejak halaman-halaman pertama, yang menjadikan hal-hal kritis dan
politis semacam ini seperti sekadar tema sampiran yang nyasar di novel ini. Padahal, bukankah segala macam
penyiksaan dan adegan penjara itu bisa sama sekali sirna kalau diplomasi Indonesia tidak selemah sekarang?
Sekarang, bagaimana kalau kita tidak tanggung-tanggung lagi: melompat ke wilayah pembaca? Kalau melihat
kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini di pasar Indonesia, saya ingin membuat kesimpulan sementara yang cukup
lancang: novel ini membuat kita tahu mayoritas pembaca Muslim Indonesia.*** Dengan kesuksesan Ayatayat Cinta secara komersial ini (yang menurut beberapa sumber sampai mendatangkan hasil bersih sebanyak
1,5 miliar Rupiah bagi penulisnya) kita jadi tahu bahwa mayoritas pembaca Muslim Indonesia adalah orangorang yang lebih menikmati kisah utopis yang tidak memiliki kerumitan karakter dan konflik tapi bisa
dijadikan sumber rujukan tentang berbagai ajaran Islam--atau setidaknya bisa dijadikan sumber bacaan untuk
mengingat-ingat kembali sejumlah ajaran Islam penting terkait isu-isu perempuan, hubungan suami istri,
kinerja, dan sejumlah topik lain.
Kita tentu tidak tahu apakah Habiburrahman El-Shirazy merupakan penulis yang sangat mengenal audiensnya ataukah sebuah kebetulan sang novelis menulis novel yang sesuai dengan selera mayoritas pembaca
Muslim Indonesia. Yang pasti kita tahu adalah bahwa terdapat kecocokan antara faktor-faktor
pembentuk Ayat-ayat Cinta dengan mayoritas pembaca Indonesia, dan tidak ada yang bisa kita lakukan
selain memberi selamat kepada si penulis atas kecocokan dan kesuksesan finansial ini--yang saya cukup yakin
memungkinkannya melakukan banyak hal baik. Perkara fakta miris bahwa mayoritas pembaca Muslim
Indonesia adalah orang yang tidak suka berlama-lama memamah dan mencerna kisah, konflik, dan
karakterisasi yang penuh gizi tapi butuh usaha ekstra seperti yang dikandung dalam karya-karya "sastra
mainstream," kita tidak bisa apa-apa selain mengakui kebenarannya. Memang, golongan yang menikmati
"sastra mainstream" bukannya sangat sedikit, tapi dari kurang bergairahnya pasar buku sastra Indonesia kita
bisa menyimpulkan bahwa secara rasio jumlah mereka jauh di bawah jumlah penggemar karya-karya
semacam Ayat-ayat Cinta. Mungkin hanya waktu yang bisa mengubah rasio ini. Kalau memang rasio ini bisa
diubah.
Akhirul kalam, sebelum menutup esai ini, semoga juga saya tidak disalahpahami sebagai orang yang
menganggap Ayat-ayat Cinta sebagai karya yang rendah kualitasnya--yang bisa juga diartikan sebagai
rendahnya kualitas Habiburrahman El-Shirazy. Kalau ada yang sampai beranggapan begitu, maka dia salah
besar. Membuat Ayat-ayat Cinta bukanlah pekerjaan gampang; dibutuhkan seorang yang memahami
Alquran dan hadits, berbagai diskusi kontemporer penting dalam Islam, dan--tentu saja--memahami kota
Kairo, serta juga kemampuan memberikan penfasiran atas kisah-kisah Alquran dan para tokoh Islam dan
menerjemahkannya ke dalam kisah-kisah kontemporer. Semua ini bukan hal sepele. Dibutuhkan seorang
ulama atau dai untuk melakukan hal ini. Perlu dicatat dan disoroti: dibutuhkan seorang dai untuk menulis
sebuah kisah yang "mengajari" (seperti Ayat-ayat Cinta ini). Tapi, untuk menciptakan apa yang secara
gampang-gampangan saya sebut "sastra mainstream" tadi, dibutuhkan seorang penulis dengan kepekaan
atas kompleksitas dunia yang memiliki ketrampilan membuat orang lain memikirkan ambiguitas,
kemungkinan-kemungkinan tanpa akhir, dan--insya allah, kalau berhasil--membuat orang lain mendapatkan
hikmah.
Catatan:
*) Ayat-ayat Cinta adalah novel Indonesia pertama dengan tokoh utama penerjemah dan menjadikan
terjemahan sebagai salah satu elemen vital dalam cerita.
**) Pada sebuah postingan sebuah blog saya mengutipkan satu paragraf yang terdengar sangat wajar
dalam novel ini, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata benar-benar tak lebih dari sebuah sorga. Banyak
orang kaya yang bisa mengirimkan anaknya sekolah ke negara mana saja, tapi tidak banyak di antara kita
yang kaya dan memungkinkan kita hidup di mana sambil juga bisa diterima kuliah di mana saja.
***) Mungkin terlalu sembrono kalau saya langsung bilang kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini mengindikasikan
profil mayoritas pembaca Muslim Indonesia. Tapi, kalau dinalar secara sederhana saja, selain orang-orang
Islam sendiri, siapa lagi yang akan membaca sebuah kisah tentang seorang Muslim yang terang-terangan
menceramahkan Islam, dengan rujukan dari Alquran, al-hadits, kisah para sahabat Rasul dan ulama besar?
Kalau dibalik, selain umat Kristiani, berapa banyak orang Islam yang membaca, misalnya, kisah-kisah Kristiani
yang diambil dari Injil, kisah para murid Yesus, para santo dan para uskup besar dari segala penjuru dunia?