Bibliografi Pertambangan Indonesia

Bibliografi Pertambangan Indonesia
Buku:
Alex Hunter, Industri Perminyakan Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Indonesia Raya, 1974.
Bachrawi Sanusi, Hasil Tambang, Minyak dan Gas Bumi Indonesia. Jakarta: UI-PRESS,
1991.
Sukanto Reksohadiprodjo, Industri Perminyakan dan Gas Bumi di Indonesia. Yogyakarta:
BPFE, 1986.
Artikel dalam Jurnal:
George S. Gibb, “Review: History of the Royal Dutch by F. C. Gerretson”, dalam The
Business History Review, Vol. 33, No. 2, 1959.
Purnawan Basundoro, “Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba Usaha Pertambangan
Minyak di Indonesia 1945-1960”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 7, No. 1, 2004.
Kajian tentang pertambangan -terutama minyak dan batubara- menjadi ruang
kosong bagi sejarawan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih sedikitnya
sejarawan untuk menggeluti kajian di bidang ini. Spekulasi tersebut dirasa wajar, mengingat
dari hasil pencarian literatur oleh penulis, tulisan tentang pertambangan masih sangat sedikit
ditulis oleh sejarawan Indonesia. Terlebih ketika literatur tersebut tidak terdapat penjelasan
detail dari perspektif historis, dan lebih banyak membahas dari segi ilmu terapan dan
ekonomi. Terlepas dari itu, di sini penulis akan mencoba menuliskan hasil dari studi literatur
tentang masalah pertambangan Indonesia.
Tulisan Purnawan Basundoro yang berjudul Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri:

Pancaroba Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia 1945-1960, ingin mencoba
menjelaskan seputar sentimen nasionalisme ekonomi bangsa Indonesia terhadap Belanda
melalui tinjauan atas nasionalisasi perusahaan minyak asing. Secara lebih lanjut, tulisan
tersebut juga membahas perspektif dari perusahaan asing dalam upaya penyelamatan dari
pengambilalihan.
Ekonomi nasional yang menggelora pasca kemerdekaan Indonesia menurut
Purnawan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan modal asing pada saat itu. Untuk mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional pemerintah Indonesia mengalami
beberapa kendala. Pertama, ialah jumlah orang Indonesia masih sedikit dalam melaksanakan
kebijakan untuk mendorong perkembangan suatu kelas usaha golongan pribumi dan
mempercepat perbaikan ekonomi. Kedua, perusahaan-perusahaan milik asing dan kelompok

masyarakat Tionghoa masih mendominasi sektor-sektor ekonomi modern. Dari dua masalah
tersebut, pemerintah Indonesia yang baru berdiri untuk sementara waktu masih membiarkan
modal asing menjalankan aktivitas ekonominya di Indonesia.
Dari backgorund tentang penanaman modal asing di Indonesia, Purnawan
membawa penjelasan lebih lanjut mengenai seputar usaha pertambangan minyak. Perlu
diketahui, investasi asing tahun 1956-1965 sebagian besar ditanam oleh perusahaanperusahaan minyak, yakni Shell, Stanvac, dan Caltex. Namun investasi asing itu mulai
memudar ketika Soekarno menjalankan “politik jalan lain”. Maksud dari “politik jalan lain”
ini adalah usaha-usaha untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan negara maupun swasta

asing dengan jalan paksa pada 1950-an. Lebih lanjut usaha yang dilakukan oleh Soekarno
untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing menurut Purnawan sudah dilakukan jauh
sebelum “politik jalan lain” itu dijalankan. Usaha-usaha tersebut kebanyakan tidak dilakukan
secara resmi oleh pemerintah, melainkan melalui berbagai elemen masyarakat yang sedang
semangat terhadap euphoria nasionalisme. Purnawan memberikan terminologi “laskar
minyak” untuk kelompok yang menguasai kilang-kilang minyak asing yang kemudian
dioperasikan olehnya. Laskar minyak ini sebenarnya adalah bekas pekerja lapangan dan
pengilangan di zaman kolonial.
Secara keseluruhan, tulisan Purnawan dari segi temporalnya berpusat pada pasca
revolusi (1950-1960).

Di akhir kesimpulannya Purnawan memberikan anggapan bahwa

nasionalisasi perusahaan minyak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia merupakan satusatunya nasionalisasi melalui jalur diplomasi. Sumber energi minyak menjadi alat tawar
untuk mempertahankan minyak itu sendiri.
Tulisan Purnawan memang lebih menitikberatkan pada nasionalisasi perusahaan
minyak, namun saya melihat sesuatu yang lain dari tulisan selanjutnya. Buku yang ditulis
Alex Hunter dengan judul Industri Perminyakan Indonesia merupakan tinjauan pemahaman
atas sejarah, struktur, dan persoalan-persoalan seputar Industri perminyakan di Indonesia
hingga tahun 1971. secara lebih lanjut, Hunter melacak awal dari eksplorasi minyak di

Hindia-Belanda yang dimulai sejak 1871. Menurutnya orang-orang Belanda pada sekitaran
tahun tersebut telah melakukan kegiatan memperoleh minyak untuk disaring menjadi minyak
lampu. Kegiatan pertambangan minyak mulai benar-benar dilakukan ketika A. J. Zylker pada
1883 memperoleh sebuah konsensi untuk mengebor minyak di daerah Langkat, Sumatera
Utara. Namun konsensi untuk melakukan kegiatan pertambangan tersebut olehnya dijual
kepada kalangan finansil, pada akhirnya berdirilah Royal Dutch Company for the Working of

Petroleum Wells in the Netherlands Indies yang kemudian menjadi Royal Dutch Company.
Perusahaan ini pada 1907 bergabung dengan Shell Transport and Trading Company yang
beroperasi di Kalimantan Timur. Kemudian dua perusahaan tersebut berganti nama menjadi
Royal Dutch-Shell, menjadi perusahaan minyak nomor dua paling besar di dunia.
Perspektif historis mengenai eksplorasi minyak hingga memulai tambangnya di
Hindia-Belanda dijelaskan oleh Hunter dengan cukup rinci. Hingga penjelasannya sampai
pada 1965 (nasionalisasi perusahaan minyak), menurut saya, Hunter tidak berpihak mengenai
hubungan-hubungan runcing antara perusahaan-perusahaan asing dengan pemerintah
Indonesia. Masalah ini sebelumnya telah dijelaskan dalam tulisan Purnawan mengenai
“Politik Jalan Lain”. Namun perlu diperhatikan, nasionalisasi perusahaan minyak dalam
tulisan Hunter mengakibatkan hilangnya kesempatan-kesempatan di bidang eksplorasieksplorasi baru serta ekspor hasil produksi minyak selama lima belas tahun pertama
Indonesia berdiri.
Setelah perspektif historis dan juga penjelasan mengenai nasionalisasi perusahaan

minyak, hal yang juga penting dalam tulisan Hunter ialah pokok-pokok perkembangan
industri perminyakan Indonesia selama lima tahun pertama Pertama Pemerintahan Orde
Baru. Periode Orde Baru menurut Hunter sebagai fase baru dalam eksplorasi perminyakan,
terlebih eksplorasi hingga di lepas pantai. Pada periode ini juga Hunter menjelaskan peran
PERTAMINA sebagai perusahaan minyak dan gas milik negara yang memainkan peranan
penting dalam upaya melakukan kontrak-kontrak dengan perusahaan asing untuk hal
eksplorasi minyak.
Saya menelusuri sumber-sumber yang digunakan oleh Hunter dalam membangun
kerangka tulisannya. Buku History of The Royal Dutch, ditulis oleh F. C. Gerreston yang
menjadi sumber dalam buku Hunter dirasa menjadi sumber penting untuk menelusuri jejak
Pertambangan Minyak Indonesia pada periode kolonial. Namun saya tidak menemukan buku
tersebut, hanya mendapatkan review bukunya saja di JSTOR yang ditulis oleh George S.
Gibb. Hasil review Gibb tentang buku History of The Royal Dutch, menggambarkan buku
tersebut sebagai suatu penjelasan yang cukup komprehensif tentang sejarah organisasi
perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dunia. Hadirnya The Royal Dutch tidak
bisa dilepaskan dari hubungan “paralel” dengan peristiwa yang sebelumnya terjadi. Dari yang
saya tangkap atas hasil review tersebut, buku

History of the Royal Dutch menelusuri


sejarahnya hingga perkembangan Revolusi Industri di Eropa. Revolusi Industri memang
pada saat itu dari segi energi lebih banyak menggunakan batu bara. Akan tetapi sumber

energi yang lain mulai ditemukan. Di sini minyak bumi menjadi “ladang baru” dalam
pemanfaatan energi. The Royal Dutch menjadi salah satu cikal bakal dari “The Seven
Sisters”, sebutan untuk tujuh perusahaan yang menguasai industri minyak di dunia pada awal
abad ke-20.

Saya juga mendapatkan buku Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia yang
ditulis oleh Sukanto Reksohadiprodjo. Penjelasan tentang industri minyak dalam buku
tersebut tidak historis, dan malah lebih pada pembicaraan ekonomi, ekologi, dan politik.
Namun dalam buku tersebut aspek gas bumi saya anggap menarik karena merupakan bahan
pertambangan baru yang mulai digali pada 1960-an. Sukanto memperkirakan bahwa potensi
produksi sumber daya gas bumi Indonesia pada 1984 adalah sekitar 110 Trilyun kaki kubik
(TSCF) dan diperkiran mampu memenuhi energi Indonesia selama lebih dari 70 tahun lagi.
Aspek ekonomi dari buku tersebut terlihat dari bagaimana si penulis ini mampu
berspekulasi bahwa minyak dan gas bumi menjadi sumber devisa negara. Anggapan itu
diperkuat dengan data yang menunjukkan sektor minyak yang menyumbangkan 68% dari
penghasilan devisa pada tahun fiskal 1985/1986. lebih lanjut sisa dari pembahasan dalam
buku ini hanyalah seputar rencana ekonomi dalam upaya menjalankan industri minyak dan

gas bumi secara teknis.
Buku lain yang menarik untuk dikaji ialah Hasil Tambang, Minyak dan Gas Bumi
Indonesia yang ditulis oleh Bachrawi Sanusi. Sama halnya seperti tinjauan buku sebelumnya,
tulisan Bachrawi lebih berfokus pada aspek ekonomi dari hasil tambang, minyak dan juga gas
bumi. Buku tersebut tidak melihat hasil-hasil tambang sebagai penyumbang devisa terbesar
saja, tapi juga melihat hasil-hasil tambang sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri, baik
berupa bahan baku maupun kebutuhan energi bagi perkembangan industri –rumah tangga,
transportasi, perdagangan, dan lain-lain. Temporal dalam buku tersebut lebih berfokus pada
dekade awal hingga akhir dekade ke dua masa pemerintahan Orde Baru. Secara lebih lanjut,
bangkitnya sektor pertambangan di Indonesia sejalan dengan kebijakan Orde Baru yang
membuka kesempatan modal asing untuk melakukan kerja sama ataupun kegiatan usaha di
Indonesia.
Pertambangan secara umum dijelaskan dalam buku ini sebagai pertambangan nonmigas yang meliputi aspal, batubara, bauksit, mangan, nikel, pasir besi, biji tembaga, timah,
emas, perak, dan lainnya. Dalam buku ini dijelaskan satu persatu dari jenis-jenis tambang
non-migas, baik itu awal mula eksplorasi, tempat pertambangannya, serta produksi yang

dihasilkan dalam periode PELITA IV. Selain itu, Penjelasan tentang pertambangan migas juga
mirip seperti yang telah dijelaskan dalam pertambangan non-migas. Tapi dari data produksi
yang dihasilkan, buku tersebut memakai data dari PELITA V.
Dua buku terakhir yang dibahas memang menjelaskan secara umum tentang

pertambangan di Indonesia. Lebih-lebih keduanya memakai perspektif ekonomi dalam
menjelaskan sektor-sektor pertambangan sebagai industri strategis. Agaknya hanya tulisan
Alex Hunter yang secara historis dapat menjelaskan perkembangan pertambangan –terutama
perminyakan- Indonesia dari periode kolonial hingga Orde Baru. Namun literatur yang secara
khusus membahas pertambangan Indonesia pada periode kolonial sepertinya sulit untuk
didapat.