Protein Cacing Tanah Sebagai Sumber Protein Alternatif dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar.

PROTEIN CACING TANAH SEBAGAI SUMBER PROTEIN
ALTERNATIF DARI PENGOLAHAN LIMBAH
RUMINANSIA BESAR

RINA TRI ASTUTI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Protein Cacing Tanah
Sebagai Sumber Protein Alternatif dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Rina Tri Astuti
NIM D14110100

ABSTRAK
RINA TRI ASTUTI. Protein Cacing Tanah Sebagai Sumber Protein Alternatif dari
Pengolahan Limbah Ruminansia Besar. Dibimbing oleh HOTNIDA CH. SIREGAR
dan SALUNDIK.
Pertambahan penduduk di Indonesia yang sangat pesat menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan protein hewani. Oleh karena itu perlu adanya sumber
protein alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein manusia. Cacing tanah
mengandung protein yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein
alternatif. Peternakan menghasilkan limbah yang jika tidak ditangani dengan tepat
dapat merusak lingkungan. Limbah dari Peternakan dapat dimanfaatkan sebagai
pakan cacing. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi cacing tanah sebagai
sumber porotein alternatif melalui pemanfaatan feses ternak ruminansia besar

sebagai pakan cacing. Penelitian dilaksanakan di Jalan Raya Dramaga km 7,
Kelurahan Marga Jaya, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang mencakup data statistik
populasi ternak di Indonesia, sensus penduduk, produksi dan konsumsi produk
peternakan. Peubah yang diamati adalah populasi cacing, kecukupan pakan cacing,
produksi protein produk peternakan, dan konsumsi protein produk peternakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cacing dapat dijadikan sebagai alternatif sumber
protein dan limbah peternakan dapat mencukupi kebutuhan pakan cacing.
Kata kunci: cacing tanah, limbah ruminansia besar, protein.

ABSTRACT
RINA TRI ASTUTI. Earthworm Protein As Alternative Sources Protein of Treatment
Ruminant Waste. Adviced by HOTNIDA C.H. SIREGAR and SALUNDIK.
Population growth in Indonesia is very rapidly led to increased demand for
animal protein. Hence the need for alternative protein sources to meet the needs of
the human protein. Earthworms contain high protein so it can be used as an
alternative protein source. Livestock waste which if not handled properly can
damage the environment. Therefore, the waste from livestock can be used as feed
worms. The purpose of this study was to determine the potential of earthworms as a
source of alternative porotein by utilizing the processing of livestock waste as feed

worms. This study was done in Raya Dramaga street Km 7, Village Marga Jaya,
District Dramaga, Bogor regency. The data used in this research is secondary data
which include statistical data of the number of cattle in Indonesian, census,
production and consumption of livestock products. Variables measured is the
population of worms, the worms feed sufficiency, protein production livestock
products, and protein consumption of livestock products. The results showed that the
worms can be used as an alternative source of protein and livestock waste can meet
the needs of feed worm.
Key words: earthworm, ruminant waste, protein.

PROTEIN CACING TANAH SEBAGAI SUMBER PROTEIN
ALTERNATIF DARI PENGOLAHAN LIMBAH
RUMINANSIA BESAR

RINA TRI ASTUTI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
Pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan junjungan
kita nabi besar Muhammad SAW, karena atas rahmat dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiahnya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan April 2015 sampai Juni 2015 adalah Protein Cacing Tanah
Sebagai Sumber Protein Alternatif dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ir Hotnida CH Siregar, MSi dan Dr Ir
Salundik, MSi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberi
saran hingga karya ilmiah selesai. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr
Ir Muladno, MSA sebagai dosen pembimbing akademik atas waktu, tenaga dan saran
selama menjalani kuliah. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penguji Dr
Tuti Suryati, SPt MSi yang telah bersedia menguji hasil karya ilmiah ini. Penulis

mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, Bapak Drs S Mulyono dan Ibu
Amriati serta kedua Kakak tercinta Ria Eka Sari Putri SS dan Rika Dwi Utami SP
yang telah memberi dukungan moril dan semangat. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Pemerintah Provinsi Riau atas Beasisawa Utusan Daerah (BUD)
yang telah diberikan dan kepada rekan sepenelitian Hesti Dinni Oktaviati. Firda
Sabrina, Fanny Aria Gusri, Mustika Delistarika, Sofia Kemalasari serta teman-teman
IPTP 48.
Bogor, Agustus 2015
Rina Tri Astuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

Alat
Bahan
Prosedur
Pengumpulan Data Sekunder
Peubah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Cacing Tanah Lumbricus rubellus
Populasi dan Feses Ternak Ruminansia Besar
Daya Tampung Feses
Produksi dan Konsumsi Protein Hewani Penduduk Indonesia
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

v
vi
vii
1
2
2

2
2
2
2
2
2
2
3
4
4
5
7
8
10
10
13

5

DAFTAR TABEL


1
2
3
4
5
6

Pertambahan populasi cacing dalam satu tahun
Potensi feses peternakan ruminansi besar tahun 2009-2013
Komposisi unsur hara pupuk kandang (feses sapi) dan vermikompos
Daya tampung feses dan produksi cacing tanah tahun 2009-2013
Komposisi asam amino pada tepung cacing, daging, dan ikan
Kecukupan protein cacing untuk menutupi defisit protein penduduk
Indonesia

5
5
6
7

8
9

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan produk hasil ternak semakin hari makin bertambah terkait
dengan kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani. Hal tersebut memicu
pemerintah untuk melakukan kegiatan impor karena ketidak seimbangan antara
permintaan dengan ketersediaan produk peternakan yang ada. Tahun 2012 tercatat
Indonesia mengimpor produk ternak berupa daging sebanyak 50 223 428 ton,
susu 386 116 371 ton dan telur 1 416 964 ton (Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan 2013). Faktor pemicu rendahnya produksi ternak antara lain konversi
lahan pertanian menjadi perumahan dan kawasan industri, serta harga pakan yang
mahal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah mencari sumber protein alternatif dari hewan yang tidak membutuhkan
lahan luas dan pakan yang mahal. Cacing tanah merupakan salah satu hewan yang
dapat dijadikan ternak non konvensional karena mengandung protein yang tinggi
sekitar 61%-78% (Rukmana 2000). Selain itu cacing tanah juga tidak

membutuhkan lahan yang luas, cepat berproduksi, serta makanannya berupa
limbah sehingga tidak bersaing dengan bahan makanan bagi manusia. Sifat ini
membuat cacing tanah cukup unggul untuk dijadikan ternak karena modal yang
rendah dengan waktu pengembalian modal yang cepat yaitu sekitar 1 bulan
(Maulida 2015). Keunggulan lainnya dari cacing tanah adalah mampu
memanfaatkan limbah dari berbagai sektor namun cacing itu sendiri tidak
menghasilkan limbah karena kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik. Pemanfaatan cacing tanah diharapkan dapat memecahkan masalah
kekurangan pangan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Hanya
empat spesies cacing tanah yang dibudidayakan dan dikonsumsi secara komersial
yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrilus
eugeuniae. Di Indonesia baru jenis L. rubellus saja yang dibudidayakan karena
dianggap memiliki potensi yang baik. Ditinjau dari segi produktivitasnya, cacing
L. rubellus lebih unggul daripada jenis lainnya. Seekor cacing L. rubellus mampu
menghasilkan sekitar 180 kokon per tahun setiap kokon dapat menghasilkan 1
juvenil (anak cacing). Sementara jenis lainnya berkisar 20-40 kokon per tahun.
(Samosir 2000).
Limbah peternakan dapat dijadikan sebagai pakan sekaligus media hidup
bagi cacing tanah yang menentukan peningkatan bobot badan dan produksinya.
Limbah peternakan unggas kurang baik digunakan untuk media hidup dan pakan

cacing tanah karena mengandung sekam yang tajam sehingga dapat melukai dan
menyebabkan kematian cacing tanah. Limbah ternak ruminansia lebih cocok
digunakan untuk pakan cacing karena memiliki zat organik yang sangat baik
untuk pertumbuhan cacing tanah (Maulida 2015). Sekitar satu kilogram cacing
tanah L. rubellus mampu merombak satu kilogram feses ruminansia dalam waktu
24 jam (Khairuman dan Khairul 2009), sedangkan satu ekor ternak ruminansia
besar (sapi dan kerbau) dapat menghasilkan kotoran sebanyak 30.9 kg dalam
sehari (Munadi et al. 2011). Selama ini kotoran sapi sudah mulai digunakan
sebagai pupuk kandang namun banyak juga yang tidak memanfaatkan kotoran
sapi ini. Sejalan dengan laju peningkatan produksi peternakan maka limbah
berupa kotoran ternak juga meningkat, namun pemanfaatan limbah kotoran ternak

2

oleh peternak belum maksimal. Pemanfaatan limbah peternakan ruminansia dapat
menjadi peluang besar untuk pengembangan cacing sebagai ternak penghasil
protein alternatif.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi cacing tanah sebagai
sumber protein alternatif melalui pemanfaatan feses ternak ruminansia besar
sebagai pakan cacing.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup pendugaan laju
pertambahan penduduk dan konsumsi protein, dinamika populasi cacing tanah dan
kemampuannya dalam menguraikan feses sapi, dan populasi tenak ruminansia
besar.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Raya Dramaga km 7, Kelurahan Marga
Jaya, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Waktu pelaksanaan dari bulan
April hingga Juni 2015.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, alat tulis dan
modem.
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diambil dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistika, artikel ilmiah dan
internet. Data yang dianalisis adalah data statistik populasi ternak, sensus
penduduk, konsumsi, dan produksi protein di Indonesia.
Prosedur
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh
dari Badan Pusat Statistika, Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, artikel
ilmiah dan internet

3

Peubah
Populasi Cacing Tanah
Populasi cacing tanah adalah jumlah cacing yang dihasilkan tahun-1 dengan
asumsi satu butir kokon dihasilkan oleh seekor cacing tanah ekor-1 bulan-1. 6
juvenil (anak cacing) dihasilkan dari satu kokon, mortalitas cacing tanah
berdasarkan hasil pengamatan yaitu 2% bulan-1 dan dewasa kelamin dicapai umur
3 bulan-1 (Samosir 2000). Populasi cacing dihitung dengan rumus :
Mortalitas = 2% x ∑ cacing bulan ke-i
∑ juvenil bulan ke ( i +1) =( ∑ cacing bulan ke-i – 2% ∑ cacing bulan ke-i )
x 6 juvenil
Keterangan :
∑ cacing bulan ke-i : jumlah cacing pada bulan ke-i (Januari, Februari,...dst)

Produksi Feses Ruminansia Besar Dewasa
Produksi feses ruminansia besar dewasa adalah jumlah feses yang
dihasilkan ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) dewasa per tahun. Produksi
feses dihitung dengan rumus:
Produksi feses Ruminansia Besar i (ton) = proporsi ternak ruminansia dewasa i x
populasi ternak i x 30.9/kg/ekor/hari x 365 hari
Keterangan :
i : jenis ruminansia yaitu sapi potong,sapi perah,dan kerbau
Proporsi ternak ruminansia dewasa (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013):
Sapi potong 84.3%
Sapi perah 81.8%
Kerbau
86.1 %
30.9 : feses yang di eksresi ruminansia besar dewasa/ kg/ ekor/ hari (Munadi et al. 2011)

Kapasitas Tampung Feses
Kapasitas tampung feses adalah jumlah biomasa cacing tanah yang dapat
diperoleh dari budidaya cacing tanah Lumbricus rubellus pada feses ruminansia
dewasa, kapasitas tampung feses dihitung dengan rumus:
Kapasitas tampung feses

=

Produksi Tepung Cacing
Produksi tepung cacing adalah berat tepung cacing yang dihasilkan dari
biomassa cacing tanah. Produksi tepung cacing diperoleh dengan rumus :
produksi biomasa cacing tanah x 25%
Keterangan :
25% = Proporsi tepung cacing yang dihasilkan dari 1 kilogram cacing tanah segar ( Maulida
2015).

4

Produksi Protein Cacing Tanah
Produksi protein cacing tanah adalah jumlah protein yang dihasilkan dari
biomasa cacing tanah yang dibudidaya per tahun. Produksi protein cacing
diperoleh dengan rumus :
Produksi protein cacing tanah = biomasa cacing tanah x 61 %
Keterangan : 61% = kadar protein cacing tanah ( Rukmana 2000).

Produksi Protein Produk Peternakan
Produksi protein produk peternakan yaitu jumlah produk peternakan yang
diproduksi meliputi daging segar, telur dan susu. Produksi protein produk
peternakan didapatkan dengan rumus :
Produksi protein produk peternakan (ton) = ( ∑ produksi daging segar x
19.8%) + ( ∑ produksi telur x 12.8%) + ( ∑ produksi susu x 3.2%)
Keterangan :
19.8 % = Protein daging
12.8% = Protein telur
3.2% = Protein susu
Sumber: Sediaoetama (2000).

Konsumsi Protein Produk Peternakan
Konsumsi protein produk peternakan yaitu jumlah konsumsi protein asal
ternak yang dikonsumsi oleh manusia meliputi daging segar, telur dan susu.
Konsumsi protein produk peternakan didapatkan dengan rumus :
Konsumsi protein produk peternakan (ton) = ( ∑ konsumsi daging segar x
19.8%) + ( ∑ konsumsi telur x 12.8%) + ( ∑ konsumsi susu x 3.2%)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Cacing Tanah Lumbricus rubellus
Perhitungan populasi cacing tanah dalam penelitan ini diperoleh dengan
menggunakan hasil penelitian Samosir (2000), yaitu jumlah kokon yang
dihasilkan 6 butir/ekor/bulan dan 1 juvenil (anak cacing) dihasilkan dari tiap
kokon, mencapai dewasa kelamin umur 3 bulan dan tingkat mortilitas cacing
tanah 2%. Faktor lingkungan yang mempengaruhi mortalitas cacing tanah
diantaranya yaitu temperatur, kelembaban, dan pH. Temperatur yang sesuai untuk
cacing tanah berkisar 18-27oC, kelembaban yakni 50%-80%, dan pH yang sesuai
bagi cacing tanah berada pada selang 3.7 hingga 7.0 (Brata 2009). Menurut
Sihombing (2002), seekor cacing tanah dapat hidup hingga 10 tahun.

5

Perkembangan populasi satu kilogram cacing tanah Lumbricus rubellus disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Pertambahan populasi cacing dalam satu tahun
Biomasa

Januari

Jumlah individu cacing tanah (ekor)

3 000

Desember
1 260 088.29

Jumlah berat cacing tanah (kg)
1
Keterangan: asumsi 1 kilogram cacing tanah diasumsikan berjumlah 3000 ekor

420.03

Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam satu tahun satu kg cacing berkembang
menjadi 4 generasi dengan tingkat perkembangan 420.03%. Tingkat
perkembangan yang pesat ini menunjukkan pertambahan populasi cacing tanah
mengikuti deret ukur. Cacing tanah bersifat hermaprodit, namun tiap individu
akan bertelur setelah melakukan perkawinan (Rukmana 1999). Tingkat
perkembangan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan antara lain suhu,
kelembaban dan ketersediaan pakan (Brata 2009). Tingkat perkembangan juga
dipengaruhi oleh jenis pakan, menurut Maulida (2015) feses ruminansia
merupakan pakan yang paling cocok bagi cacing tanah karena feses ruminansia
mengandung mikroba pengurai serat kasar yang dapat membantu cacing tanah
menguraikan limbah organik.
Populasi dan Feses Ternak Ruminansia Besar
Permintaan pangan khususnya pangan hasil ternak selalu bertambah sejalan
dengan peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan permintaan hasil ternak
mendorong peningkatan populasi ternak dan produktivitasnya. Peningkatan usaha
peternakan ini selain memberikan dampak positif yaitu menghasilkan produk
seperti daging, susu, dan telur, juga memberikan dampak negatif berupa limbah
yang dapat mengakibatkan polusi lingkungan. Limbah ternak merupakan sisa
buangan dari suatu kegiatan usaha meliputi limbah padat dan cair seperti feses,
urine dan sisa pakan. Semakin besar skala usaha, limbah yang dihasilkan semakin
banyak. Dalam sehari, ternak ruminansia besar mampu menghasilkan feses
sebanyak 30.9 kg (Munadi et al. 2011). Limbah yang dihasilkan ternak
ruminansia selama tahun 2009 sampai 2013 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Potensi feses peternakan ruminansia besar tahun 2009-2013
Tahun

2009

2010

Jenis Ternak

Sapi potong
Sapi perah
Kerbau
Sapi potong
Sapi perah
Kerbau

Proporsi
Ternak
Dewasa
(%)

Populasi
Ternak
(000 ekor)

84.3
81.8
86.1
84.3
81.8
86.1

1 2760
475
1 933
13 582
488
2 000

Feses Ternak Dewasa
(kg/ekor-1/hari-1)
30.9
30.9
30.9
30.9
30.9
30.9

(000
ton/tahun-1)
143 913.66
5 357.29
21 801.34
153 184.59
5 503.91
22 557.00

6

Tabel 2 Potensi feses peternakan ruminansia besar tahun 2009-2013 Lanjutan

Tahun

Jenis Ternak

Proporsi
Ternak
Dewasa
(%)

Populasi
Ternak
(000 ekor)

Feses Ternak Dewasa

(kg/ekor-1/hari-1)

2011

2012

2013
Keterangan

(000
ton/tahun-1)

Sapi potong
84.3
14 824
30.9
167 192.48
Sapi perah
81.8
597
6 733.26
30.9
Kerbau
86.1
1 305
14 718.44
30.9
15 981
180 241.71
Sapi potong
84.3
30.9
Sapi perah
81.8
612
6 902.44
30.9
Kerbau
86.1
1 110
12
519.14
30.9
12 686
sapi potong
84.3
30.9
143 079.05
sapi perah
81.8
444
30.9
5 007.65
Kerbau
86.1
1 100
30.9
12 519.14
: aSumber: Diolah dari Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013)

Sebagian peternak memanfaatkan feses sapi untuk pupuk kandang dan
budidaya cacing yang menghasilkan vermikompos, namun banyak juga yang tidak
memanfaatkannya. Budidaya cacing dapat dilakukan pada feses sapi karena feses
sapi mengandung protein 5%-10%. Kandungan protein yang baik bagi cacing
tanah berkisar antara 9%-15% (Sihombing 2002). Kandungan protein pakan
cacing terlalu tinggi akan menyebabkan bobot badan cacing menurun karena
keracunan protein dan akhirnya menyebabkan kematian pada cacing (Astuti
2001). Budidaya cacing dapat menambah nilai (value added) feses sapi karena
menghasilkan cacing yang berprotein tinggi (61%) dan meningkatkan kualitas
kompos yang dihasilkan seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi unsur hara pupuk kandang (feses sapi) dan vermikompos
Komponen
N-total

Jenis Pupuk
Vermikompos

Pupuk kandang

0.7

0.56

14.07

13.05

26

27

Fosfor (%)

0.34

0.26

Kalium (%)

0.44

0.16

Natrium (%)

0.02

0.01

Kalsium (%)

0.55

0.4

Magnesium (%)

0.25

0.18

Kadar air (%)
62.82
a
Sumber: Nurmawati S, Suhardianto A (2000)

67.38

C-organik
Nisbah C/N

7

Tabel 3 menunjukkan bahwa unsur hara pada vermikompos lebih tinggi
dibanding pupuk kandang (feses sapi). Penggunaan vermikompos dengan dosis
300 g/pot-1 mampu menghasilkan produksi selada yang sama dengan penggunaan
pupuk kandang (feses sapi) dengan dosis 700 g/pot-1 (Nurmawati dan Suhardianto
2000). Berdasarkan Tabel 3 maka kotoran ternak lebih baik digunakan terlebih
dahulu sebagai pakan cacing tanah, dari pada langsung digunakan sebagai pupuk
kandang karena proses penguraian feses oleh cacing tanah meningkatkan unsur
hara pada kascing (Tabel 3).

Daya Tampung Feses

Selain menghasilkan cacing tanah yang mengandung protein tinggi,
keuntungan lain dari pemeliharaan cacing tanah adalah biaya pakannya yang
rendah bahkan dianggap tidak ada karena memanfaatkan limbah sebagai bahan
pakan sekaligus media tempat hidup cacing. Berdasarkan populasi cacing pada
Tabel 1 dan ketersediaaan feses yang tercantum pada Tabel 2 maka dapat
diperkirakan daya tampung feses dari ternak ruminansia besar seperti yang
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Daya tampung feses dan produksi cacing tanah tahun 2009-2013
Sumber limbah
2009

2010

Tahun
2011
(000 ton)
167 192.48
6 733.26
14 718.44
188 644.50
575.59

2012

Feses sapi potong
143 913.66
153 184.59
180 24171
Feses sapi perah
5 357.29
5 503.91
6 902.44
Feses kerbau
21 801.34
22 557.00
12 519.14
Total feses
171 072.29
181 245.50
199 663.29
Daya tampung
552.59
553.65
620.55
limbah (biomasa
cacing tanah)
Produksi tepung
130.65
138.41
143.90
155,14
cacing tanah
Produksi protein
79.70
84.83
87.78
94.63
cacing tanah
a
Sumber: Diolah dari Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013)

2013
143 079.05
5 007.65
12 519.14
157 905.84
490.11

122.53
74.74

Hasil pengamatan menunjukkan 1 liter cacing tanah memiliki berat 1.1 kg,
sehingga biomasa cacing tanah yang dihasilkan dari feses pada tahun 2013
membutuhkan ruang 445 554.46 m3. Kebutuhan ruang yang luas tidak berarti
membutuhkan lahan yang luas juga karena pemeliharaan cacing tanah dapat
dilakukan secara vertikal. Terdapat beberapa kendala dalam perhitungan daya
tampung feses yaitu diantaranya tidak semua feses dapat dimanfaatkan terutama
bila ternak diangon di pastura. Selain itu lokasi ternak yang berada dari Sabang
sampai Marauke yang tidak memungkinkan untuk mengumpulkannya menjadi
satu untuk digunakan sebagai pakan cacing tanah. Salah satu cara yang dapat
digunakan adalah budidaya cacing tanah dilakukan oleh peternak, kemudian
produksi cacingnya dipasarkan ke koperasi pengumpul di tingkat kecamatan.

8

Sistem pemasaran seperti ini sudah dijalankan pada sistem pemasaran susu oleh
Koperasi Peternak Susu Indonesia (KPSI) dan tidak tertutup kemungkinan untuk
melakukan hal yang sama pada komoditi cacing tanah, misalnya dengan
membentuk Koperasi Peternak Cacing Indonesia (KPCI) agar dapat
mengumpulkan cacing tanah dalam jumlah banyak dan menjembatani para
peternak cacing dari satu lokasi dengan lokasi lain untuk memenuhi permintaan
pasar yang sangat banyak.
Penyusutan biomasa cacing tanah menjadi tepung cacing tanah yaitu sebesar
75% (Palungkun 2010), karena kadar air cacing tanah mencapai 85% dari berat
tubuhnya. kadar protein yang dimiliki cacing tanah sangat tinggi, yakni
mencapai 61%-78% dari bobot kering dihitung dari jumlah nitrogen yang
terkandung di dalamnya. Persentase ini lebih tinggi daripada protein yang terdapat
dalam daging ternak ruminansia (seperti sapi, kerbau, dan kambing) yang hanya
sebesar 65%, atau telur, dan ikan hanya sebesar 45%. Protein cacing tanah
memiliki kandungan asam amino yang lebih tinggi dengan susunan yang lebih
seimbang dibandingkan daging dan ikan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi asam amino pada tepung cacing, daging, dan ikan
Asam amino

Cacing

Arginin
Sistin
Glisin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenilalanin
Serin
Treonin
Tirosin
Valin

4.1
2.3
2.9
1.6
2.6
4.8
4.3
2.2
2.3
2.9
3.0
1.4
3.0

Total Protein
61.0
Sumber: Simandjuntak dan Waluyo (1982)

Daging
%
3.5
1.1
1.7
1.0
1.3
3.5
3.1
1.5
2.2
2.2
1.8
1.3
2.2

Ikan

51.0

60.9

3.9
0.8
4.4
1.6
3.6
5.1
6.4
1.8
2.6
2.8
1.8
3.5

a

Selain mengandung protein tinggi, tepung cacing tanah juga mengandung
energi 900-1 400 kal, abu 8%-10%, lemak tidak jenuh, kalsium, fosfor, dan serat.
Kadar lemaknya juga terbilang rendah, yakni hanya 3%-10% dari bobot
keringnya. Artinya, selain bergizi tinggi, mengkonsumsi cacing tanah juga dapat
terbebas dari resiko ancaman kolesterol.
Produksi dan Konsumsi Protein Hewani Penduduk Indonesia
Indonesia mempunyai keinginan besar serta bekomitmen untuk mewujudkan
kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Mewujudkan kemandirian pangan asal
protein hewani akan berdampak pada kesejahteraan hidup, kesetaraan dalam hal
konsumsi protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Dari segi nutrisi, protein
hewani memiliki komposisi protein yang lebih lengkap dibandingkan protein
nabati. Protein hewani merupakan protein lengkap, yaitu protein yang

9

mengandung semua jenis asam amino esensial yang berjumlah sembilan jenis.
Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh
tubuh, sehingga pemenuhan asupannya berasal dari konsumsi makanan atau
minuman. Protein nabati merupakan protein yang tidak lengkap karena hanya
mengandung beberapa asam amino esensial, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
asam amino esensial dilakukan dengan cara konsumsi beberapa jenis sumber
makanan nabati dan hewani secara bersamaan. Sebagian besar protein hewani
merupakan ikatan asam amino dengan rantai panjang, sedangkan protein nabati
sebagian besar merupakan ikatan asam amino dengan rantai pendek, sehingga
protein hewani akan lebih mudah dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan protein
nabati ( Faizal 2014). Rata-Rata konsumsi protein per kapita per hari penduduk
Indonesia pada tahun 2013 yaitu 53.08 gram.Pada kenyataannya, sampai saat ini
Indonesia masih mengandalkan pemenuhan protein hewani dari impor. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kecukupan protein cacing untuk menutupi defisit protein penduduk Indonesia
Tahun
2009

2010

2011

2012

(000 ton)
Produksi protein hewani
167,63
175.35
186.90
208.94
Konsumsi protein hewani
205.28
237.30
243.17
237.47
Defisit
-37.65
-61.95
-56.27
-28.52
79.70
84.83
87.78
94.63
Protein cacing tanah
42.05
22.88
31.51
66.11
Surplus
a
Sumber: Diolah dari Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013)

2013
220.50
243.59
-23.10
74.74
51.64

Tabel 6 menunjukkan defisit produksi protein hewani terhadap konsumsi
protein hewani yang terjadi pada tahun 2009 hingga tahun 2013. Defisit ini
dikompensasi melalui impor daging, susu, dan telur pada tahun 2012 tercatat
Indonesia impor produk ternak berupa daging sebanyak 50 223 428 ton, susu 386
116 371 ton dan telur 1 416 964 ton (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan
2013). Hasil perhitungan menunjukkan defisit protein ini seyogyanya dapat
dipenuhi melalui budidaya cacing tanah yang dapat dijadikan sumber protein
alternatif, bahkan dapat menghasilkan surplus protein.
Di beberapa negara cacing tanah dikonsumsi karena diyakini mempunyai
khasiat, di Australia ada masyarakat yang melahap cacing mentah untuk
menyegarkan badan, di Filipina cacing tanah digunakan sebagai bahan untuk
membuat perkedel, di Jepang dibuat sebagai bahan minuman segar (Vermijuice)
yang berkhasiat menyembuhkan sakit kepala, di Eropa cacing tanah dibuat
menjadi wormburger, crispy earthworm, dan verre de terre, dan di Indonesia
daerah Cipanas, Jawa Barat ada sebuah keluarga yang mengolah cacing tanah
menjadi omelet. Sejauh ini, mengkonsumsi cacing tanah bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia merupakan hal yang tabu, selain itu palatabilitasnya rendah
karena sebagian besar penduduk Indonesia merasa geli jika harus mengkonsumsi
cacing tanah. Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: Kep139/MUI/IV/2000, menyatakan bahwa mengkonsumsi cacing tanah haram
hukumnya karena cacing tanah memanfaatkan pakan dari limbah dan kotoran

10

ternak, oleh karena itu alternatif dalam pemanfaatan cacing tanah yaitu dapat
diekspor ke daerah yang tidak mengharamkan konsumsi cacing tanah atau diolah
menjadi pakan ternak unggas dan non ruminansia serta pakan ikan (pellet).
Kebutuhan pakan sumber protein dari peternak unggas dan pembudidaya ikan di
Indonesia yang cukup banyak merupakan peluang bagi usaha pengolahan cacing
tanah menjadi bahan pakan ternak. Di samping kaya protein (61%-78%), cacing
tanah juga mengandung beberapa asam amino yang sangat penting bagi unggas
seperti arginin (4.1 %), dan tyrosin (1.4 %). Kedua asam amino ini jarang ditemui
pada bahan pakan lainnya. Oleh karena itu, cacing tanah memiliki potensi baik
untuk mengganti tepung ikan dalam ransum unggas dan dapat menghemat
pemakaian bahan dari biji-bijian sampai 70 persen. Meski demikian, penggunaan
cacing tanah dalam ransum unggas disarankan tidak lebih dari 20 % total ransum
(Faizal 2014).
Pemanfaatan cacing tanah untuk ransum unggas relatif mudah karena
diberikan dalam bentuk segar, atau dijadikan tepung cacing untuk dicampurkan
bersama bahan-bahan penyusun ransum unggas lainnya seperti jagung, dedak,
konsentrat, dan sebagainya.Selama ini sumber protein dalam penyusunan ransum
unggas dan ikan masih berasal dari tepung ikan yang diimpor. Pada tahun 2013
tercatat Indonesia mengimpor tepung ikan sebanyak 34 578.41 ton ( Data Statistik
Kelautan dan Perikanan 2013). Seiring dengan kenaikan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat maka harga tepung ikan pun semakin tidak
terjangkau. Ditinjau dari kandungan proteinnya ternyata tepung cacing tanah
masih lebih baik dibanding tepung ikan (Tabel 4).

SIMPULAN
Jika seluruh feses ruminansia besar (sapi,kerbau) di Indonesia pada tahun
2013 digunakan sebagai media dan pakan cacing tanah akan menghasilkan 490.
110 ton biomassa cacing tanah yang akan menghasilkan 122. 530 ton tepung
cacing tanah atau 74.740 ton protein.

SARAN
Cacing tanah yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah ruminansia besar
sebaiknya dikembangkan lagi sebagai bahan baku pangan atau pakan karena
mampu menghemat devisa dari impor sumber protein.
Sistem pemasaran cacing dapat dikembangkan seperti sistem pemasaran
susu melalui Koperasi Peternak Cacing Indonesia (KPSI).

DAFTAR PUSTAKA
Astuti ND. 2001. Pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah Lumbricus
rubellus dalam media kotoran sapi yang mengandung tepung darah.
[skripsi]. Jurusan Kedokteran Hewan. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

11

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010 [internet]. [diunduh 27 Mei 2015].
Tersedia pada http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267
[SIDATIK] Sistem Informasi Diseminasi Data Statistik Kelautan dan Perikanan.
Volume impor menurut komoditi per provinsi 2012, 2013, dan2014.
[internet].
[diunduh
10
Juni
2015].
Tersedia
pada
http://statistik.kkp.go.id/index.php/statistik/c/431/0/0/0/0/Volume-dan NilaiImpor - Menurut - Komoditi – per – Provinsi – HS – 2012 / ?
pulau_id=&subentitas_id=448&view_data=1&tahun_start=2012&tahun_to
=2014&tahun=2015&filter=Lihat+Data+%C2%BB
[MUI] Majelis Ulama Indonesia. Makan dan budidaya cacing dan jangkrik.
[internet]. [diunduh 10 Juni 2015]. Tersedia pada http://mui.or.id/wpcontent/uploads/2014/11/14.-Makanan-dan-Budidaya-Cacing-dan jangkrik.
pdf
Brata B. 2009. Cacing Tanah: Faktor Mempengaruhi Pertumbuhan dan
Perkembangbiakan. Bogor (ID) : IPB Pr.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Buku Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan Livestock and Animal Healt Statistics
2013. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan Kementerian Pertanian RI
Faizal A. 2014. Protein hewani dan protein nabati [internet]. [ diunduh 28 Juni
2015]. Tersedia pada http://elearning.unsri.ac.id/mod/forum/discuss.php
Khairuman, Khairul A. 2009. Mengeruk Untung dari Beternak Cacing. Jakarta
(ID) : AgroMedia Pustaka.
Maulida AAA. 2015. Budidaya Cacing Tanah Unggul ala Adam Cacing. Jakarta
(ID): AgroMedia Pustaka.
Munadi, Santoso D. 2011. Potensi ternak sapi sebagai penghasil pupuk kandang di
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas. Di dalam: Rahayu S, Abdul
RA, Susanto A, Sodiq A, Indrasanti D, Haryoko I, Ismoyowati, Sumarmono
Juni, Muatip K, Iriyanti N, Yuwono P, Samadi, Setya AS, Suhubdy,
Widyastuti T, Zainal AMJ, editor. Prospek dan Potensi Sumber Daya
Ternak Lokal Dalam Menunjang Ketahanan Pangan Hewani; 2011 Okt 15;
Purwokerto, Indonesia. Purwokerto (ID): Unsoed Press. Hlm 239-244.
Nurmawati S, Suhardianto A. 2000.Studi Perbandingan penggunaan pupuk
kotoran sapi dengan pupuk kascing terhadap produksi tanaman selada
(Latca Sativa var.crisva). [Laporan Penelitian].Jurusan Biologi. Jakarta
(ID). Universitas Terbuka
Palungkun R. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta
(ID) : Penebar Swadaya.
Samosir CMF. 2000. Studi performans produksi cacing tanah dari tiga spesies
yang berbeda (Eisenia foetida, Lumbricus rubellus, dan Perionyx exavatus).
[skripsi]. Jurusan Peternakan. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sediaoetama, AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi jilid 1. Jakarta
(ID) Dian Rakyat.
Sihombing DT H. 2002. Satwa Harapan I. Pengantar Ilmu dan Teknologi
Budidaya Wirausaha Muda. Bogor.Simandjuntak AK, Waluyo D.1982.
Cacing Tanah Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta (ID):Penebar
Swadaya

12

Simandjuntak AK, Waluyo D.1982. Cacing Tanah
Pemanfaatannya. Jakarta (ID) Penebar Swadaya.

Budidaya

dan

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Juli 1993 di Pekanbaru. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. S. Mulyono dan
Amriati. Penulis mengikuti pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) pada tahun
1998 di TK Raudhah Pekanbaru. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan
pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 005 Bukit Raya, dan lulus pada tahun
2004. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
1 Pekanbaru, dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 10 Pekanbaru dan lulus pada tahun 2011.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan
Daerah (BUD) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif
sebagai staf divisi Ruminansia HIMAPROTER IPB tahun 2013/2014