Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah

PRODUKSI PUPUK ORGANIK DARI PENGOLAHAN LIMBAH
RUMINANSIA BESAR DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN
DENGAN CACING TANAH

HESTI DINNI OKTAVIANTI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Pupuk Organik
dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan
Cacing Tanah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Hesti Dinni Oktavianti
NIM D14110040

ABSTRAK
HESTI DINNI OKTAVIANTI. Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah
Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah. Dibimbing
oleh HOTNIDA CH SIREGAR dan SALUNDIK
Limbah RPH dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keseimbangan
lingkungan. Maka dari itu, pengolahan limbah menjadi suatu produk perlu dilakukan,
misalnya produk vermikompos. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
potensi produksi pupuk organik dari pengolahan limbah RPH oleh cacing tanah
sebagai dekomposernya. Selain itu, penelitian ini juga untuk menganalisis potensi
dalam aplikasinya di bidang perkebunan dan pertanian. Penelitian dilaksanakan di
Jalan Perwira No 89, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang mencakup data
pemeliharaan cacing tanah, data statistik jumlah ternak yang dipotong di Rumah

Pemotongan Hewan, luas areal tanaman sawit di perkebunan rakyat dan perkebunan
besar, serta luas panen padi. Peubah yang diamati adalah populasi cacing, jumlah
limbah RPH, kecukupan pakan cacing, jumlah pupuk organik, kebutuhan pupuk
organik sawit dan padi. Pemodelan ARIMA dilakukan untuk memperoleh kurva laju
pertambahan produksi pupuk organik dan analisis regresi untuk memperoleh
persamaan kebutuhan pupuk organik sawit tiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa feses dan isi rumen sapi di RPH seluruh Indonesia mampu menghasilkan 43
107.84 ton pada tahun 2013 dan cacing mampu menghasilkan 1 436.93 ton biomassa
cacing tanah, serta dan 28 020.09 ton vermikompos. Produksi vermikompos dari
limbah RPH tahun 2013-2014 jauh lebih rendah dari kebutuhan perkebunan sawit,
namun mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah.
Kata kunci: cacing tanah, padi, pupuk organik, sawit

ABSTRACT
HESTI DINNI OKTAVIANTI. Production of Organic Fertilizers of Large Ruminant
Waste Treatment in Slaughterhouse with Earthworm. Supervised by HOTNIDA CH
SIREGAR and SALUNDIK
Slaughterhouse waste can give a negative effect on the environmental
balance. Therefore, the processing of waste into a product needs to be done, such as
vermicompost product. This study aimed to analyze the potential for the production

of organic fertilizer from slaughterhouse waste treatment by earthworms as
decomposer. In addition, this study also to analyze the potential for the application in
the field of agriculture and plantation. This study was done in Perwira Street No 89,
Dramaga, Bogor. The data used in this research was primary and secondary data
which includes earthworms maintenance data, statistical data of the number of cattle
slaughtered in slaughterhouse, palm plantation area in smallholder plantations and
large plantation area, and rice harvested area. Traits measured were earthworm
population, the number of slaughterhouse waste, the amount of organic fertilizer, and
organic fertilizer needs of palm and rice. ARIMA modeling performed to obtain the
curve of the rate of production of organic fertilizers and regression analysis was for

get the equation of organic fertilizer needs of palm year-1. The results showed that the
faeces and rumen contents of cattle in slaughterhouses throughout Indonesia is able
to produce 43 107.84 tonnes in 2013 and worms capable of producing 1 436.93 tons
of biomass earthworms and vermicompost and 28 020.09 tonnes. Vermicompost
production of slaughterhouse waste in 2013-2014 was much lower than the needs of
oil palm plantations, but is able to fill about 50% of the field.
Key words: earthworm, organic fertilizer, palm, rice

PRODUKSI PUPUK ORGANIK DARI PENGOLAHAN LIMBAH

RUMINANSIA BESAR DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN
DENGAN CACING TANAH

HESTI DINNI OKTAVIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Produksi Pupuk Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar
di Rumah Pemotongan Hewan dengan Cacing Tanah
Nama

: Hesti Dinni Oktavianti
NIM
: D14110040

Disetujui oleh

Ir Hotnida CH Siregar, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Salundik, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Irma Isnafia Arief, SPt, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Mei 2015 ini ialah Produksi Pupuk
Organik dari Pengolahan Limbah Ruminansia Besar di Rumah Pemotongan Hewan
dengan Cacing Tanah.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada pembimbing Ibu Ir Hotnida CH
Siregar, MSi dan Bapak Dr Ir Salundik, MSi atas waktu, tenaga, saran, dan
bimbingan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir
Komariah, MSi selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan
masukkan yang bermanfaat bagi Penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah, Ibu, Adik, dan Adi Satria atas segala doa, kasih sayang dan
bantuannya. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman satu tim penelitian
atas kerja sama dan dukungannya Rina Tri Astuti dan teman-teman IPTP 48 yang
telah mendukung selama penelitian. Terima kasih juga kepada Pemerintah atas
beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) yang diberikan selama masa kuliah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015

Hesti Dinni Oktavianti
NIM. D14110040


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
Pemeliharaan Cacing Tanah
Pengumpulan Data
Peubah yang Diamati
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Cacing

Limbah RPH dan Daya Tampung
Jumlah Pupuk Organik
Kebutuhan Pupuk Organik Sawit
Kebutuhan Pupuk Organik Padi
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

viii
viii
viii
1
1
3
3
3
3
3
3

3
3
4
4
5
6
6
7
8
9
10
11
12
15
16

1

DAFTAR TABEL
1 Pertambahan populasi cacing L. rubellus selama setahun

2 Jumlah feses dan isi rumen dari limbah RPH di Indonesia
3 Kebutuhan pupuk organik pertanian padi

6
7
10

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia
2 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia dan proyeksinya
sepuluh tahun ke depan
3 Kurva produksi pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit di
perkebunan rakyat dan besar

8
9
10

DAFTAR LAMPIRAN


1 Produksi pupuk organik dari limbah feses sapi dan rumen RPH di
Indonesia
2 Kebutuhan pupuk organik untuk sawit di perkebunan rakyat dan
perkebunan besar

15
15

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumah Pemotongan Hewan berdasarkan Permentan No 13 tahun 2010
merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat
tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat
umum (Kementan 2010). Limbah yang dihasilkan dari RPH berupa limbah padat
meliputi rumput sisa pakan, kotoran sapi, dan isi rumen, sedangkan limbah cair
meliputi air pembersih ruang potong, air pembersih intestinal, air pembersih kandang
ternak, dan darah. Limbah-limbah ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
keseimbangan lingkungan terutama penurunan kualitas air dan udara karena
berpotensi memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Langkah yang
dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi ini adalah dengan pengadaan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), namun hingga saat ini pelaksanaannya masih belum
maksimal seperti di RPH Pegirian Surabaya yang limbahnya masih menimbulkan
bau yang bahkan sampai mengganggu tempat wisata Sunan Ampel (Halwan 2015).
Selain itu, ketidakmaksimalan ini juga disebabkan oleh keterbatasan dana anggaran
bantuan seperti RPH Tembus Mantuil Banjarmasin sehingga RPH ini tidak memiliki
IPAL dan limbahnya dibuang ke drainase yang terhubung dengan sungai yang
dipakai warga untuk kebutuhan sehari-hari (Fud 2015).
Masalah-masalah serius yang timbul dari limbah ini perlu diantisipasi dengan
alternatif penanganan limbah tersebut, salah satunya adalah dengan diolah menjadi
pupuk organik misalnya vermikompos. Cara pengolahan vermikompos dengan
bantuan cacing tanah sehingga selain dampaknya untuk mengurangi masalah
lingkungan juga dapat memberikan nilai tambah untuk RPH tersebut yaitu dengan
dihasilkannya vermikompos dan cacing tanah. Jumlah ternak sapi yang dipotong di
RPH setiap tahunnya dapat mencapai angka di atas satu juta sehingga dapat dijadikan
pemicu dengan limbah yang dihasilkannya untuk produksi pupuk organik dan
budidaya cacing tanah.
Selama ini, masih banyak masyarakat yang menggunakan pupuk kimia pada
tanamannya. Padahal menurut Sutanto (2002), pertanian yang bergantung pada bahan
kimia dapat meningkatkan kerusakan atau degradasi yang terjadi di permukaan bumi,
seperti desertifikasi, penurunan keragaman hayati, salinitas, penurunan kesuburan
tanah, akumulasi senyawa kimia di dalam tanah maupun perairan, dan erosi sehingga
penggunaan pupuk organik dapat dijadikan solusi untuk mengatasi degradasi
tersebut.
Pupuk organik yang dihasilkan dengan bantuan cacing tanah dikenal
masyarakat dengan sebutan vermikompos atau kascing. Tanaman yang diberi
vermikompos akan menghasilkan dampak produktivitas yang positif. Contohnya
pemberian pupuk organik terhadap tanaman kedelai yang menghasilkan laju
petumbuhan tanaman dan berat berangkasan kering tertinggi (Sukmawati 2013).
Ciri-ciri vermikompos yang sudah matang bisa dilihat dari warnanya yang coklat
hingga kehitaman dan teksturnya yang gembur. Vermikompos ini mengubah limbah
menjadi produk yang mendukung program Go Organic yang dicanangkan sejak
tahun 2010 oleh Departmen Pertanian dengan visi mewujudkan Indonesia sebagai
salah satu produsen pangan organik terbesar di dunia (Epetani 2010). Aplikasi pupuk
organik di masyarakat dapat didistribusikan ke perkebunan sawit yang produk

2

olahannya berupa minyak kelapa sawit yang merupakan produksi perkebunan
terbesar di Indonesia yang selama ini dalam sistem pemupukannya menggunakan
pupuk anorganik, serta dapat diaplikasikan di lahan padi yang merupakan penghasil
pangan pokok yang sekarang ini sering menggunakan pupuk anorganik dan
diharapkan dapat menghasilkan beras organik untuk mendukung program Go
Organic. Hal ini dikarenakan pupuk organik dapat mengembalikan kesuburan tanah.
Cacing tanah merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang
banyak ditemukan di permukaan tanah hingga di dalam tanah. Ada beberapa jenis
cacing tanah yang banyak dibudidayakan di berbagai negara yaitu Lumbricus
rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrellus eugeniae. Di Indonesia,
jenis L. rubellus banyak dibudidayakan dan dianggap memiliki produtivitas yang
tinggi, jumlah kokonnya paling banyak dibandingkan dengan cacing lain yaitu
sebesar 106 kokon cacing-1 tahun-1 (Edwards dan Lofty 1977). Cacing L. rubellus
sering digunakan sebagai dekomposer karena berdasarkan penelitian dari Anwar
(2009), cacing ini relatif lebih efektif dibandingkan dengan Pheretima hupiensis
maupun Eudrellus sp. dalam mendekomposisi bahan organik. Vermikompos hasil
dekomposisi cacing L. rubellus memiliki kandungan C/N yang paling mendekati 30
yang menunjukkan tingkat kematangan paling tinggi dibanding kedua spesies lainnya
pada waktu pengomposan yang sama. Cacing L. rubellus dapat menekan proses
dekomposisi lebih lanjut oleh mikroba terhadap vermikompos, sehingga hara yang
terdapat dalam vermikompos dapat dipertahankan. Cacing ini diklasifikasikan ke
dalam Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opisthophora, Famili Lumbricidae,
Genus Lumbricus dan Spesies L. rubellus (Sugiri 1988). Menurut Brata (2009), L.
rubellus memiliki warna merah seragam, letak klitelum pada segmen 27-32, jumlah
segmen antara 90-150, dan panjang dapat mencapai 7-15 cm.
Permintaan cacing tanah di pasaran sangat tinggi karena selain menghasilkan
pupuk organik, cacing tanah memiliki kegunaan sebagai pakan ikan, pakan burung,
pakan unggas, obat, kosmetik, makanan, dan minuman. Menurut beberapa
pembudidaya cacing tanah di Jawa Barat, permintaan cacing untuk memenuhi
kebutuhan produk kesehatan dan kosmetik mencapai 20 ton bulan-1, serta permintaan
tertinggi datang dari luar negeri seperti dari Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan
(Infoloka 2015). Pembudidaya cacing di Jawa Timur mampu menghasilkan 7 ton
bulan-1 dan memiliki omset sekitar Rp 300 juta dengan memasok cacing tersebut ke
Dinas Perikanan Provinsi Jatim, tempat pemancingan, dan pengusaha perikanan
(Marantina 2014). Menurut hasil penelitian, penggunaan cacing tanah di bidang
peternakan dalam fungsinya sebagai pakan ayam pedaging yang berdasarkan
penelitian Resnawati (2005), penggunaan tepung cacing tanah taraf 15% dalam
ransum memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan, bobot karkas, bagian
potongan karkas, dan organ dalam ayam pedaging, serta menurut Damayanti et al.
(2009), penggunaan tepung cacing tanah sebanyak 25%-100% dalam imbuhan pakan
dapat menghambat infeksi S. pullorum pada ayam broiler. Cacing L. rubellus dapat
meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan dan pertumbuhan benih lele dumbo
(Trisnawati et al. 2014).

3

Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi produksi pupuk organik
dari pengolahan limbah RPH oleh cacing tanah sebagai dekomposernya. Penelitian
ini juga untuk menganalisis potensi dalam aplikasinya di bidang perkebunan dan
pertanian.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang didapatkan
dari pemeliharaan cacing tanah, Badan Pusat Statistik, artikel, dan internet. Data
sekunder meliputi data statistik pemotongan ternak RPH, luas areal tanaman sawit di
perkebunan rakyat dan perkebunan besar, serta luas panen padi.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jalan Perwira No 89, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Bahan yang digunakan dalam data primer adalah cacing tanah,
vermikompos, serta limbah feses dan rumen sapi, sedangkan data sekunder diambil
dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik, artikel, dan internet. Data yang
dianalisis adalah data statistik jumlah ternak yang dipotong di Rumah Pemotongan
Hewan tahun 2000-2013, luas areal tanaman sawit perkebunan rakyat dan
perkebunan besar tahun 2000-2013, serta luas panen padi tahun 2013-2014.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa berukuran panjang 20
cm dan diameter 4 inci sebanyak 20 buah sebagai wadah cacing pemeliharaan,
timbangan digital, gunting, plastik untuk menutup bagian bawah pipa, lakban untuk
mengikatnya, dan alat tulis. Peralatan yang digunakan untuk mengolah data hasil
penghitungan adalah komputer. Pengolahan data akan dibantu dengan menggunakan
perangkat lunak statistik EViews 8 dan Microsoft Excel.
Prosedur
Pemeliharaan Cacing Tanah
Plastik digunting sampai menutup bawah pipa, lalu plastik tersebut dilakban
sampai menempel pipa tersebut. Media vermikompos ditimbang sebanyak 1 200
gram dan dimasukkan ke dalam pipa. Kemudian, cacing sebanyak 10 ekor ditimbang
dan dicatat beratnya, lalu dimasukkan ke dalam pipa. Setelah itu, pakan campuran
antara feses dan rumen dengan perbandingan 1:3 ditimbang sesuai perlakuan yaitu 2,

4

5, 10, dan 15 kali bobot badan cacing tanah dengan masing-masing 5 ulangan.
Selanjutnya, diamati waktu yang dibutuhkan cacing tanah untuk merombak
campuran pakan tersebut menjadi vermikompos setiap 24 jam.
Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari penghitungan penyusutan media yang didapat
dari data pemeliharaan cacing tanah. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik, artikel, dan internet. Pemasokan data dan pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan EViews 8. Hasil
pengolahan data disajikan dalam bentuk tulisan hasil dan pembahasan.
Peubah yang Diamati
Populasi Cacing L. rubellus. Populasi cacing L. rubellus adalah jumlah cacing yang
dihasilkan tahun-1 dengan asumsi mortalitas 2% bulan-1 dan dewasa kelamin 3 bulan
(Sihombing 1999), serta pada jenis pakan campuran cacahan batang pisang dan
kotoran sapi menghasilkan 6 juvenil (anak cacing) kokon-1 bulan-1 (Samosir 2000),
pakan kotoran sapi menghasilkan 4.26 juvenil kokon-1 bulan-1, pakan kelinci
menghasilkan 4.31 juvenil kokon-1 bulan-1 (Nuh 2000), dan campuran ampas tahu
dan serbuk sabut kelapa menghasilkan 4.24 juvenil kokon-1 bulan-1 (Agustina 2002).
Populasi cacing didapatkan dengan rumus :
Jumlah Cacing Tanah = {(∑ induk cacing tanah bulan ke-i x ∑ juvenil) + (∑ juvenil
bulan ke-i)} x (100% - 2%)
Keterangan : i = 12
2% = mortalitas

Jumlah Limbah RPH. Jumlah limbah RPH adalah jumlah feses dan rumen yang
dihasilkan dari sapi yang dipotong di RPH dengan asumsi 1 ekor menghasilkan 7.5
kg feses dan 25 kg isi rumen (Padmono 2005). Jumlah limbah RPH didapatkan
dengan rumus:
Produksi Feses dan Isi Rumen Sapi (ton) = jumlah sapi x (jumlah feses sapi + jumlah
isi rumen)
Kecukupan Pakan Cacing. Kecukupan pakan cacing adalah jumlah biomassa
cacing yang dapat dipelihara pada limbah yang dihasilkan oleh limbah RPH tahun-1.
Kecukupan pakan cacing didapatkan dengan rumus :
Kecukupan Pakan Cacing (ton tahun-1) =

produksi feses dan isi rumen sapi
konsumsi cacing tanah

Produksi Pupuk Organik. Jumlah pupuk organik adalah jumlah pupuk organik
yang dihasilkan dari tahun 2000-2013. Hasil pengamatan pemeliharaan cacing tanah
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa produksi vermikompos mencapai 65% dari
bahan baku campuran feses dan isi rumen sapi. Jumlah pupuk organik didapatkan
dengan rumus:
Produksi Pupuk Organik (ton) = jumlah feses dan isi rumen sapi x 65%

5

Kebutuhan Pupuk Organik Sawit. Kebutuhan pupuk organik sawit adalah total
pupuk organik yang dibutuhkan di perkebunan sawit tahun-1, baik di perkebunan
sawit rakyat maupun perkebunan besar dengan asumsi jarak tanam 9.2 m x 9.2 m x
9.2 m dan jarak antar baris 7.97 m dengan 127 tanaman ha-1 dan pupuk yang
dibutuhkan 30 kg tanaman-1 tahun-1 (Sukmawan 2014). Kebutuhan pupuk organik
sawit didapatkan dengan rumus:
Kebutuhan Pupuk Organik (kg) = luas perkebunan sawit x (pohon ha-1 x kebutuhan
pupuk organik pohon-1)
Kebutuhan Pupuk Organik Padi. Kebutuhan pupuk organik padi adalah total
pupuk organik yang dibutuhkan di lahan padi tahun-1 dengan asumsi bahwa
kebutuhan pupuk organik ha-1 adalah 2 ton (Rambe dan Yahumri 2011). Kebutuhan
pupuk organik padi didapatkan dengan rumus:
Kebutuhan Pupuk Organik (kg) = luas sawah x kebutuhan pupuk organik ha-1
Analisis Data
Pemodelan ARIMA
Pemodelan ARIMA (EViews 8) digunakan untuk memperoleh kurva laju
pertambahan produksi pupuk organik. Model persamaan ARIMA (Suganda 2006):
y = a + AR + MA
Keterangan:

y
a
AR
MA

= produksi pupuk organik
= konstanta
= variable autoregressive
= variable moving average

Analisis Regresi Linier
Analisis regresi linier untuk memperoleh persamaan kebutuhan pupuk
organik sawit setiap tahun. Model persamaan kebutuhan pupuk organik sawit
(Walpole 1997):
y = a + bx
Keterangan:

y
a
b
x

= kebutuhan pupuk organik sawit
= konstanta
= koefisien regresi
= tahun ke

Kebutuhan pupuk organik padi dianalisis secara deskriptif karena data luasan sawah
yang diperoleh hanya 2 tahun yaitu 2013-2014.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Cacing
Cacing L. rubellus merupakan cacing yang paling banyak dibudidayakan di
Indonesia. Menurut Anwar (2009), cacing L. rubellus lebih efektif dibandingkan
dengan Pheretima hupiensis maupun Eudrellus sp. dalam mendekomposisi bahan
organik. Populasi cacing dihitung dengan menggunakan asumsi mortalitas 2% bulan1
dan dewasa kelamin 3 bulan (Sihombing 1999), serta pada jenis pakan campuran
cacahan batang pisang dan kotoran sapi menghasilkan 6 juvenil (anak cacing) bulan-1
(Samosir 2000), pakan feses sapi 4.26 juvenil bulan-1, pakan feses kelinci 4.31
juvenil bulan-1 (Nuh 2000), serta campuran ampas tahu dan serbuk sabut kelapa
menghasilkan 4.24 juvenil bulan-1 (Agustina 2002). Jumlah cacing selama satu tahun
panen dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pertambahan populasi cacing l. rubellus selama setahun
Jenis pakan
Awal tahun (kg) Akhir tahun (kg)
a
Cacahan batang pisang dan kotoran sapi (7:3)
1
420.03
Feses sapib
1
193.36
b
Feses kelinci
1
198.54
Ampas tahu dan serbuk sabut kelapac
1
191.03
a

Sumber: Samosir 2000; bNuh 2000; cAgustina 2002

Tabel 1 menunjukkan bahwa pakan cacahan batang pisang dan kotoran sapi
menghasilkan jumlah cacing terbanyak yaitu sekitar 420.03 kg tahun-1, sedangkan
pakan campuran ampas tahu dan serbuk sabut kelapa menghasilkan jumlah cacing
paling sedikit (191.03 kg tahun-1). Hal ini dikarenakan ampas tahu memiliki
kandungan protein yang tinggi bagi cacing tanah yaitu sekitar 23.62% (Duldjaman
2004) padahal menurut Sihombing (1999), syarat pakan untuk cacing adalah kurang
dari 15%. Hasil penelitian Astuti (2001) menunjukkan bahwa pakan yang memiliki
kadar protein yang sangat tinggi mengakibatkan menurunnya bobot badan cacing dan
akhirnya menimbulkan kematian karena keracunan protein. Cacahan batang pisang
memiliki kadar protein yang sesuai bagi cacing tanah yaitu 6.30% dan kadar air yang
tinggi (94.08%) sehingga dapat menjaga kelembaban media hidup cacing tanah
(Marlina 1999). Pertambahan populasi cacing pada keempat jenis pakan yang
tercantum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan feses sapi sebagai pakan
cacing tanah sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain seperti isi rumen yang
mengandung serat kasar tinggi (25.5%) (Padmono 2005) untuk meningkatkan
porositas kotoran sapi. Hasil pengamatan pemeliharaan cacing dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa campuran feses dan isi rumen sapi menghasilkan media yang
porous sehingga ketersediaan oksigen bagi cacing tanah di dalam media hidup
meningkat. Cacing tanah lebih banyak tinggal di dalam media dan memerlukan
oksigen yang cukup dalam media (Brata 2009).
Feses sapi memiliki pH 6.8-7.4 (Dahono 2012) dan pH isi rumen sapi sekitar
6.51 (Chanthakhoun et al. 2012). Campuran feses dan isi rumen sapi akan
menghasilkan pH yang termasuk dalam kisaran pH yang optimum bagi cacing tanah
yaitu 6.3-6.82 (Brata 2006). pH media hidup dan pakan sangat penting bagi cacing
tanah karena media hidup yang memiliki pH yang rendah akan mengakibatkan

7

cacing tanah diapause, selain itu tubuh cacing tanah ketika di permukaan akan
terlihat berputar, kejang, dan mengeluarkan cairan selom dari kulit, lalu beberapa
jam setelahnya akan mati. Selain itu, bila cacing makan media yang asam, kelenjar
kalsiferus tidak bisa menetralkan asam, maka di tembolok terus berlangsung
fermentasi, lalu tembolok menjadi asam sehingga terjadi pembengkakan dan pecah.
Tubuh cacing terdiri dari 75%-90% air, jadi kehilangan air dalam tubuh merupakan
masalah utama untuk kelangsungan hidup cacing sehingga kelembaban harus sangat
diperhatikan. Bahan organik sangat mempengaruhi penyebaran cacing tanah karena
tanah yang memiliki kadar bahan organik yang tinggi akan meningkatkan jumlah
cacing tanah. Penyediaan pakan tidak hanya mempengaruhi ukuran populasi cacing,
namun juga terhadap laju pertumbuhan dan fekunditasnya yang limbah dari ternak
memiiki pengaruh lebih baik dibandingkan dengan limbah tanaman (Edwards dan
Lofty 1977).
Limbah RPH dan Daya Tampung
Limbah yang dihasilkan oleh sapi di RPH, beberapa diantaranya yaitu feses
dan isi rumen. Perhitungan pada Tabel 2 menggunakan asumsi bahwa feses yang
dihasilkan oleh sapi sebanyak 7.5 kg ekor-1 dan isi rumen 25 kg ekor-1 (Padmono
2005), serta kemampuan cacing tanah dalam mengkonsumsi campuran feses dan isi
rumen diperoleh dari pengamatan dalam pemeliharaan cacing tanah di penelitian ini
yaitu 1 kali bobot hari-1 sehingga cacing tanah mampu menghabiskan 30 kg
campuran kedua limbah tersebut. Tabel 2 menunjukkan produksi pupuk organik yang
dihasilkan dari feses dan isi rumen sapi RPH di Indonesia. Tabel 2 memperlihatkan
bahwa pada tahun 2013 penggunaan feses dan isi rumen dari limbah RPH di
Indonesia dapat menghasilkan 1 436.93 ton biomassa cacing tanah dan 28 020.09 ton
vermikompos atau berturut-turut 3.33% dan 65% dari total kedua limbah tersebut.
Tabel 2 Jumlah feses dan isi isi rumen dari limbah RPH di Indonesia

a

Feses (ton)

Isi rumen
(ton)

Total limbah
(ton)

1 538 420

11 538.15

38 460.50

49 998.65

Produksi
Cacing
(ton)
1 666.62

2001

1 586 091

11 895.68

39 652.28

51 547.96

1 718.27

33 506.17

2002

1 284 282

9 632.12

32 107.05

41 739.17

1 391.31

27 130.46

2003

1 283 009

9 622.57

32 075.23

41 697.79

1 389.93

27 103.57

2004

1 351 711

10 137.83

33 792.78

43 930.61

1 464.35

28 554.89

2005

1 292 043

9 690.32

32 301.08

41 991.40

1 399.71

27 294.41

2006

1 042 579

7 819.34

26 064.48

33 883.82

1 129.46

22 024.48

2007

1 218 560

9 139.20

30 464.00

39 603.20

1 320.11

25 742.08

2008

1 154 167

8 656.25

28 854.18

37 510.43

1 250.35

24 381.78

2009

1 286 305

9 647.29

32 157.63

41 804.91

1 393.50

27 173.19

2010

1 324 154

9 931.16

33 103.85

43 035.01

1 434.50

27 972.75

2011

1 519 178

11 393.84

37 979.45

49 373.29

1 645.78

32 092.64

2012

1 421 319

10 659.89

35 532.98

46 192.87

1 539.76

30 025.36

2013

1 326 395

9 947.96

33 159.88

43 107.84

1 436.93

28 020.09

Tahun

Jumlah sapi yang
dipotonga (ekor)

2000

Sumber: BPS (2013)

Produksi
pupuk (ton)
32 499.12

8

Feses sapi mengandung protein 0.005%, potassium 0.0006%, dan pospat
0.0025%, sedangkan isi rumen mengandung protein 10.5%, lemak 1.20%, serat kasar
25.5%, pospor 0.5%, potasium 0.4%, kalsium 0.6%, sodium 0.9%, dan magnesium
0.08% (Padmono 2005) yang menunjukkan bahwa campuran kedua limbah ini sangat
baik digunakan sebagai pakan cacing tanah karena kandungan proteinnya kurang dari
15% (Sihombing 1999). Menurut Edwards dan Lofty (1977), media yang memiliki
protein yang tinggi lebih dapat diterima dibandingkan dengan protein yang rendah.
Namun jika proteinnya terlalu tinggi maka akan menyebabkan cacing tersebut
mengalami keracunan seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Astuti (2001). Bobot
cacing tanah dalam penelitian tersebut sangat menurun dan akhirnya cacing mati
akibat keracunan protein. Kandungan serat kasar yang tinggi di dalam campuran
antara limbah feses dan isi rumen sapi memberikan dampak yang positif terhadap
aerasi media karena serat kasar ini dapat memperbaiki aerasi media sehingga
mencegah akumulasi asam dan gas-gas (Brata 2009). Hal ini menunjukkan bahwa
pakan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan pertumbuhan,
kesehatan bahkan mortalitas cacing itu sendiri.
Jumlah Pupuk Organik

Produksi pupuk organik
(ton)

Feses dan isi rumen sapi yang menimbulkan cemaran lingkungan dapat diolah
menjadi pupuk organik untuk menimimalisir cemaran lingkungan dan mengubahnya
menjadi produk yang berguna. Pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam
proses penguraian atau dekomposisi bahan organik disebut dengan kascing atau
vermikompos (Redaksi AgroMedia 2007), dalam penelitian ini digunakan bantuan
cacing L. rubellus. Penghitungannya menggunakan asumsi dari hasil pemeliharaan
cacing tanah bahwa susut media setelah pengomposan sebesar 35%. Produksi pupuk
organik dapat dilihat dari Gambar 1.
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
1998

2000

2002

2004

2006
Tahun

2008

2010

2012

2014

Gambar 1 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia
Kurva dari Gambar 1 menunjukkan bahwa pertambahan produksi pupuk
organik tidak stabil, terlihat dari grafik yang naik turun. Laju pertumbuhan produksi
pupuk organik ini dipengaruhi oleh populasi sapi yang dipotong di RPH karena
penghitungan dari produksi pupuk organik ini mengacu pada populasi sapi dan hasil
limbahnya. Sebagai contoh, produksi pupuk organik yang paling rendah berada pada
tahun 2006 karena terdapat isu daging sapi yang bercampur dengan daging celeng
maupun daging busuk yang memberikan pengaruh terhadap penurunan penjualan

9

daging sapi (Burhani 2006). Penjualan daging sapi yang menurun ini menunjukkan
permintaan terhadap daging juga menurun sehingga pemotongan sapi di RPH akan
menurun pula. Hal ini dibuktikan dari data BPS (2014) yang menunjukkan bahwa
pengeluaran rata-rata per kapita untuk daging menurun drastis dari tahun 2005 ke
tahun 2006 yaitu dari 2.44% ke 1.85%. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
produksi pupuk organik dari limbah feses dan isi rumen sapi sangat tergantung dari
isu yang beredar di masyarakat yang menentukan konsumsi daging sapi.
Produksi pupuk organik dari feses dan isi rumen sapi sampai tahun 2023 dapat
diprediksi dengan kurva pemodelan ARIMA berdasarkan produksi pupuk organik
tersebut tahun 2000-2013 dan menghasilkan persamaan y = 259.73-0.92 MA(1) +
produksit-1+ produksit-2 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kurva produksi pupuk organik RPH di Indonesia dan proyeksinya sepuluh
tahun ke depan
Gambar 2 memperlihatkan bahwa produksi pupuk organik akan mengalami
peningkatan sekitar 6% tahun-1 (garis biru). Garis merah menunjukkan selang
kepercayaan dari nilai dugaan tersebut. Semakin lebar selang kepercayaan, semakin
tinggi pula tingkat kesalahannya. Hal ini disebabkan karena di setiap tahun akan ada
faktor yang tidak terduga misalnya penurunan atau peningkatan populasi sapi di
tahun tersebut. Vermikompos yang dihasilkan dari proses penguraian limbah berupa
feses dan isi rumen dengan bantuan cacing dapat menghasilkan keuntungan yang
cukup besar. Jika harga vermikompos Rp 1 500,- kg-1 (Agromaret 2015), maka di
tahun 2013 akan menghasilkan omset sebesar Rp 42 030 150 000,-.
Kebutuhan Pupuk Organik Sawit
Kebutuhan pupuk organik untuk kebun sawit dihitung dengan asumsi jarak
tanam 9.2 m x 9.2 m x 9.2 m dan jarak antar baris 7.97 m dengan 127 tanaman ha-1
dan pupuk yang dibutuhkan 30 kg tanaman-1 tahun-1 (Sukmawan 2014). Kebutuhan
pupuk organik dari perkebunan sawit rakyat dan perkebunan besar serta produksi
pupuk organik (vermikompos) dari limbah feses dan isi rumen sapi disajikan pada
Gambar 3.

10

25000000
y = 949913x - 2E+09
R² = 0.9468

Pupuk (ton)

20000000

Produksi pupuk

15000000
y = 873058x - 2E+09
R² = 0.9775

10000000
5000000
0
1995

Kebutuhan pupuk sawit
di perkebunan besar

y = -126.82x + 282565
R² = 0.0285
2000

2005
Tahun

2010

Kebutuhan pupuk sawit
di perkebunan rakyat

2015

Linear (Produksi
pupuk)

Gambar 3 Kurva produksi pupuk organik, kebutuhan pupuk organik sawit di
perkebunan rakyat dan besar
Gambar 3 memperlihatkan tahun ke yang tercantum tahun mengikuti pola
persamaan regresi linier pada Gambar 3. Persamaan regresi dapat diinterpretasikan
bahwa kebutuhan pupuk di perkebunan rakyat setiap tahun meningkat sebesar 87 305
ton, sedangkan kebutuhan pupuk di perkebunan besar setiap tahun meningkat sebesar
94 991 ton. Prediksi kebutuhan pupuk di kedua perkebunan sawit memiliki koefisien
determinasi (R) sekitar 95% yang berarti kenaikan kebutuhan pupuk sangat
ditentukan oleh tahun. Hal ini dikarenakan tidak mudah merubah usaha perkebunan
ke usaha lain dari tahun ke tahun akibat investasi yang cukup besar. Sebaliknya,
produksi pupuk organik ternyata jauh dibawah kebutuhan kedua perkebunan dan
tidak dapat prediksi oleh tahun karena memiliki koefisien determinasi yang rendah
(2.85%) akibat produksi dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Aplikasi vermikompos
pada kebun sawit masih dapat dipertimbangkan karena pemberian pupuk organik di
perkebunan sawit dengan taraf dosis 30 tanaman-1 tahun-1 dapat meningkatkan
lingkar batang dan kadar hara K daun, serta mampu memperbaiki sifat fisik dan
kimia tanah (Sukmawan 2014).
Kebutuhan Pupuk Organik Padi
Pupuk organik (vermikompos) yang dibutuhkan lahan sawah dihitung dengan
menggunakan asumsi bahwa kebutuhan pupuk organik ha-1 adalah 2 ton (Rambe dan
Yahumri 2011). Kebutuhan pupuk organik lahan sawah dan produksi vermikompos
pada tahun yang sama disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kebutuhan pupuk organik pertanian padi
Tahun
2013
2014
a

Luas lahan
sawah (ha)a
27 670
27 587

Kebutuhan
pupuk (ton)
55 340
55 174

Sumber: Kementan (2014); bAngka sementara

Vermikompos
(ton)
28 020.09
29 048.98b

Pemenuhan kebutuhan
(%)
50.63
52.65

11

Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi vermikompos dari limbah berupa feses
dan isi rumen sapi mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah terhadap
pupuk organik. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik memiliki potensi untuk
ditingkatkan jika dilihat dari data pupuk organik yang dihasilkan dari limbah RPH
mampu memenuhi setengah dari kebutuhan pupuk organik untuk lahan padi di
Indonesia. Peningkatan penggunaan vermikompos pada lahan sawah memiliki
beberapa keuntungan karena dibandingkan dengan kompos, menurut Sinha et al.
(2011), vermikompos memiliki beberapa keunggulan diantaranya hampir tidak
berbau, cacing tanah memberikan nutrien dari limbah organik untuk meningkatkan
nilai pada produk akhir dan membuat mereka bio-available, mengembangbiakkan
mikroba yang bermanfaat di produk akhir, menghancurkan mikroba berbahaya di
produk akhir sehingga membuatnya bebas patogen dan higienis, menghilangkan
bahan kimia beracun dari produk kompos, merendahkan emisi gas rumah kaca oleh
pengomposan limbah, dan menggunakan energi yang rendah dalam proses
pengomposan.
Sifat-sifat tersebut sangat berdampak positif terhadap produksi padi yang
merupakan bahan makanan utama penduduk Indonesia. Hasil penelitian Rambe dan
Yahumri (2011) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk 2 ton ha-1 mampu menekan
penggunaan pupuk anorganik 4%-16,7% dan menghemat biaya pupuk 4%-12%,
selain itu meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas padi jika dibandingkan
dengan pupuk anorganik yang hanya sebesar 6.5 ton ha-1 musim tanam-1 padahal
dengan pupuk organik dapat menghasilkan 7.4 ton ha-1 musim tanam-1 (Santoso
2012).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Limbah berupa feses dan isi rumen sapi di RPH seluruh Indonesia
menghasilkan 43 107.84 ton campuran feses dan isi rumen pada tahun 2013 dan bila
diuraikan cacing mampu menghasilkan 1 436.93 ton biomassa cacing tanah, serta 28
020.09 ton vermikompos. Produksi vermikompos hingga tahun 2023 dapat dihitung
berdasarkan persamaan y = 259.73-0.92 MA(1) + produksit-1 + produksit-2. Produksi
vermikompos dari limbah RPH tahun 2013-2014 jauh lebih rendah dari kebutuhan
perkebunan sawit, namun mampu memenuhi sekitar 50% kebutuhan lahan sawah.
Saran
Perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang kandungan nutrisi vermikompos
yang dihasilkan dari limbah pemotongan sapi di RPH. Aplikasi penggunaan
vermikompos pada lahan sawah perlu diteliti pengaruhnya produktivitas padi dan
efisiensi biaya.

12

DAFTAR PUSTAKA
Agromaret. 2015. Mahakam farm [internet]. [diunduh 18 Mei 2015]. Tersedia pada
http://agromaret.com/96687/mahakam_farm.
Agustina R. 2002. Pengaruh taraf ampas tahu dalam media serbuk sabut kelapa
terhadap produksi kokon, juvenil, omega 3 dan pada cacing tanah (Lumbricus
rubellus). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anwar EK. 2009. Efektivitas cacing tanah Pheretima hupiensis, Edrellus sp. dan
Lumbricus sp. dalam proses dekomposisi bahan organik. J Tanah Trop.
14(2):149-158.
Astuti ND. 2001. Pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah Lumbricus
rubellus dalam media kotoran sapi yang mengandung tepung darah. [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah ternak yang dipotong di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) menurut provinsi dan jenis ternak (ekor), 20002013
[internet].
[diunduh
22
Mei
2015].
Tersedia
pada
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1513.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas areal tanaman perkebunan rakyat menurut
jenis tanaman, 2000-2013 [internet]. [diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1513.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis
tanaman, Indonesia (000 Ha), 1995-2013 [internet]. [diunduh 22 Mei 2015].
Tersedia pada http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1513.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Persentase pengeluaran rata-rata per kapita
sebulan menurut kelompok barang, Indonesia, 1999, 2003-2014 [internet].
[diunduh 8 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/vie
w/id/937.
Brata B. 2006. Pertumbuhan tiga spesies cacing tanah akibat penyiraman air dan
pengapuran yang berbeda. JIPI. 8(1): 69-75.
Brata B. 2009. Cacing Tanah: Faktor Mempengaruhi Pertumbuhan dan
Perkembangbiakan. Bogor (ID) : IPB Pr.
Burhani R. 2006. Harga daging sapi mulai naik jelang lebaran [internet]. [diunduh 8
Juni 2015]. Tersedia pada http://www.antaranews.com/berita/44699/hargadaging-sapi-mulai-naik-jelang-lebaran.
Chanthakhoun V, Wanapat M, Anusorn C, Phongthorn K. 2012. Comparison of
ruminal fermentation characteristics and microbial populastion in swamp
buffalo and cattle. J Live Sci. 143:172-176.
Dahono.2012. Pembuatan kompos dan pupuk cair organik dari kotoran dan urin sapi.
LPTP. hlm 1-12.
Damayanti E, Ahmad S, Hardi J, Tri U. 2009. Pemanfaatan tepung cacing tanah
(Lumbricus rubellus) sebagai agensia anti-pullorum dalam imbuhan pakan
ayam broiler. JITV. 14(2): 83-89.
Duldjaman M. 2004. Penggunaan ampas tahu untuk meningkatkan gizi pakan domba
lokal. Media Peternakan. 27(3): 07-110.
Edwards CA, JR Lofty. 1977. Biology of Earthworm. London (GB): Chapman and
Hall.

13

[Epetani]. 2010. Memantau gaung gerakan “Go Organik 2010” [internet]. [diunduh
16 Juni 2015]. Tersedia pada http://epetani.pertanian.go.id/berita/memantaugaung-gerakan-go-organik-2010-220.
Fud. 2015. Anggaran bantuan RPH menggantung [internet]. [diunduh 16 Juni 2015].
Tersedia pada http://www.radarbanjarmasin.co.id/banua2-2/banjarmasin/5542proposal-ipal-rph-tak-jelas-rimbanya.html.
Halwan M. 2015. Ngeri, wisata religi sunan ampel surabaya tercemar bau kotoran
babi [internet]. [diunduh 16 Juni 2015]. Tersedia pada http://www.suaraislam.com/read/index/13378/Ngeri--Wisata-Religi-Sunan-Ampel-SurabayaTercemar-Bau-Kotoran-Babi.
Infoloka. 2015. Peluang cerah budidaya cacing, permintaan ekspor sangat tinggi
[internet]. [diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada http://infoloka.com/peluangcerah-budidaya-cacing-permintaan-ekspor-sangat-tinggi.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah
Pemotongan Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Jakarta (ID):
Kementan.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2014. Produksi, luas panen, dan produktivitas
padi dan palawija di Indonesia [internet]. [22 Mei 2015]. Tersedia pada
www.pertanian.go.id/.../tabel-1-prod-lspn-prodvitas-padi-palawija.pdf.
Marantina. 2014. Bisnis cacing, Adam kantongi Rp 300 juta sebulan [internet].
[diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada http://bisniskeuangan.kompas.com/re
ad/2014/09/26/103751826/Bisnis.Cacing.Adam.Kantongi.Rp.300.Juta.Sebulan.
Marlina N. 1999. Konversi data hasil analisis proksimat ke dalam bahan segar.
Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak.
Neraca. 2014. Perkebunan sawit rakyat minta diperhatikan [internet]. [diunduh 18
Mei 2015]. Tersedia pada http://www.neraca.co.id/article/45134/perkebunansawit-rakyat-minta-diperhatikan.
Nuh H. 2000. Pengaruh jenis media campuran kotoran sapi, kotoran kelinci dan
cacahan batang pisang terhadap produktifitas dan kualitas nutrisi cacing tanah
(Lumbricus rubellus). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nyoman W, Budiarsa SW, Mahendra MS. 2008. Studi pengaruh air limbah
pemotongan hewan dan unggas terhadap kualitas air sungai Subak Pakel I di
Desa Darmasaba Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung. Ecotrophic.
3(2):55-60.
Padmono D. 2005. Alternatif pengolahan limbah Rumah Potong Hewan – Cakung. J
Tek Ling. 6(1):303-310.
Rambe SSM, Yahumri. 2011. Efisiensi penggunaan pupuk dan lahan dalam upaya
meningkatkan produktivitas padi sawah. Di dalam: Rambe SSM, Yahumri,
editor. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Prosiding Seminar
Nasional Budidaya Pertanian; 2011 Juli 7; Bengkulu, Indonesia. Bengkulu
(ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. hlm 180-188.
Redaksi AgroMedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. Purwa DR, editor. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
Resnawati H. 2005. Respon ayam pedaging terhadap ransum yang engandung tepung
cacing tanah (Lumbricus rubellus). Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner; 2005; Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : Balai Penelitian Ternak.
hlm 715-720.

14

Rohim AM, Napoleon A, Momon SI, Silvia R. 2011. Pengaruh vermikompos
terhadap perubahan kemasaman (pH) dan P-tersedia tanah. []. Jurusan Tanah
dan Program Studi Agroekoteknologi. Ogan (ID): Universitas Sriwijaya.
Samosir CMF. 2000. Studi performans produksi cacing tanah dari tiga spesies yang
berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Santoso NK. 2012. Analisis komparasi usaha tani padi organik dan anorganik di
Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sambirejo Kabupaten Sragen. [sripsi].
Fakultas Pertanian dan Bisnis. Salatiga (ID): Universitas Kristen Satya
Wacana.
Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya.
Bogor (ID): Pustaka Wira Usaha Muda.
Sinha RK, Sunil H, Sunita A, Krunal C, Dalsukh V. 2011. Earthworms-The Wste
Managers: Their Role in Sustainable Waste Management Converting Waste
into Resource while Reducing Greenhouse Gases. New York (US): Nova
Science.
Suganda D. 2006. Analisis harga CPO di pasar fisik medan dan pasar berjangka
Malaysia serta Rotterdam. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sugiri N. 1988. Zoo Avertebrata. Vol 2. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Sukmawan Y. 2014. Peranan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur satu tahun pada tanah marginal.
[tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sukmawati. 2013. Respon tanaman kedelai terhadap pemberian pupuk organik,
inokulasi, FMA dan varietas kedelai di tanah pasiran. Media Bina Ilmiah. 7(4):
26-31.
Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Trisnawati Y, Suminto, Agung S. 2014. Pengaruh kombinasi pakan buatan dan
cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap efisiensi pemnafaatan pakan,
pertumbuhan dan kelulushidupan lele dumbo (Clarias gariepinus). J Aquacult
Man and Technol. 3(2):86-93.
Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.

15

LAMPIRAN
Lampiran 1 Produksi pupuk organik dari limbah feses sapi dan isi rumen RPH di
Indonesia
Jumlah sapi yang
Isi Isi rumen
Produksi Pupuk
Tahun
Feses (ton)
dipotong (ekor)
(ton)
(ton)
2000
1 538 420.00
11 538.15
38 460.50
32 499.12
2001
1 586 091.00
11 895.68
39 652.28
33 506.17
2002
1 284 282.00
9 632.12
32 107.05
27 130.46
2003
1 283 009.00
9 622.57
32 075.23
27 103.57
2004
1 351 711.00
10 137.83
33 792.78
28 554.89
2005
1 292 043.00
9 690.32
32 301.08
27 294.41
2006
1 042 579.00
7 819.34
26 064.48
22 024.48
2007
1 218 560.00
9 139.20
30 464.00
25 742.08
2008
1 154 167.00
8 656.25
28 854.18
24 381.78
2009
1 286 305.00
9 647.29
32 157.63
27 173.19
2010
1 324 154.00
9 931.16
33 103.85
27 972.75
2011
1 519 178.00
11 393.84
37 979.45
32 092.64
2012
1 421 319.00
10 659.89
35 532.98
30 025.36
2013
1 326 395.00
9 947.96
33 159.88
28 020.09
a

Sumber: BPS(2013)

Lampiran 2 Kebutuhan pupuk organik untuk sawit di perkebunan rakyat dan
perkebunan besar
Perkebunan Kebutuhan Pupuk Perkebunan Besar Kebutuhan Pupuk
Tahun
Rakyat (ha)a
(ton)
(ha)a
(ton)
2000
119 0200
4 534 662
2 991 300
11 396 853
2001
156 6000
5 966 460
3 152 400
12 010 644
2002
180 8400
6 890 004
3 258 600
12 415 266
2003
185 4400
7 065 264
3 429 200
13 065 252
2004
222 0300
8 459 343
3 496 700
13 322 427
2005
235 6900
8 979 789
3 593 400
13 690 854
2006
253 6500
9 664 065
3 748 500
14 281 785
2007
257 1200
9 796 272
4 101 700
15 627 477
2008
288 1900
10 980 039
4 451 800
16 961 358
2009
306 1400
11 663 934
4 888 000
18 623 280
2010
338 7300
12 905 613
5 161 600
19 665 696
2011
375 2500
14 297 025
5 349 800
20 382 738
2012
413 7600
15 764 256
5 995 700
22 843 617
2013
441 5800
16 824 198
6 170 700
23 510 367
a

Sumber: BPS (2013)

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 6 Oktober 1993 dari ayah
Ngajiman dan ibu Nuryanti. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun
2011 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Rembang dan pada tahun yang sama Penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN undangan
dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai staf divisi
kewirausahaan HIMAPROTER IPB tahun 2013/2014 dan staf divisi keputrian
FAMM AL AN’AM tahun 2013/2014.