Analisis dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan indonesia

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA

MASYITHOH ALKAUTSAR

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak
Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Masyithoh Alkautsar
NIM H14100016

ABSTRAK
MASYITHOH ALKAUTSAR. Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum
terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG
NURYARTONO.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam dan budaya yang
melimpah, namun tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi, meskipun
setiap tahunnya tingkat kemiskinan Indonesia mengalami penurunan. Salah satu
kebijakan di bidang ketenagakerjaan untuk mengentaskan masalah kemiskinan
adalah kebijakan upah minimum. Kebijakan Upah Minimum Provinsi dibuat
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan para pekerja sehingga merupakan
salah satu kebijakan yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di
Indonesia masih saja tinggi meskipun kebijakan UMP tersebut telah diterapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi
terhadap tingkat kemiskinan Indonesia periode tahun 2007-2012. Metode yang

digunakan adalah metode analisis data panel dengan model estimasi terbaik yaitu
fixed effect model (FEM). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), dan
tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kemiskinan. Upah Minimum Provinsi (UMP) memiliki pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode penelitian.
Kata Kunci : data panel, tingkat kemiskinan, Upah Minimum Provinsi (UMP)
ABSTRACT
MASYITHOH ALKAUTSAR. Analysis Of The Impact Of Minimum Wage Policy
On Poverty In Indonesian. Supervised by NUNUNG NURYARTONO.

Indonesia is a country with plentiful both of natural resources and culture,
but the level of poverty in Indonesia is still high, although it decreases in each
year. One of the policies in the field of labor to alleviate the problem of poverty is
the minimum wage policy. Provincial minimum wage policy was made with the
aim of improving the welfare of the workers so that is one of the policies that
ultimately expected to reduce the level of poverty in Indonesia. Facts show that
the poverty rate in Indonesia is still high despite the minimum wage policy has
been applied. The study aims to look at the impact of minimum wage policy on
poverty in Indonesian province in year 2007-2012. The method used is the

method of analysis of panel data model with the best estimate of the fixed effect
model (FEM). Regression analysis showed that the variables Gross Regional
Domestic Product (GRDP), the provincial minimum wage, and level of education
have a significant effect on the level of poverty. Provincial minimum wage has a
negative and significant effect on poverty levels in Indonesia during the study
period.
Keywords: panel data, level of poverty, provincial minimum wage

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN INDONESIA

MASYITHOH ALKAUTSAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agutus 2013 ini ialah upah
minimum dan tingkat kemiskinan, dengan judul Analisis Dampak Kebijakan
Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan dan
semangat bagi penulis yaitu:
1. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu
Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik

dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Abi, umi, kakak dan adik serta keluarga yang selalu memberikan doa,
nasihat, dan semangat
4. Fikri Al-Abqori, sebagai suami yang tidak henti memberikan dukungan
dan semangat.
5. Kepada Luqman Azis, Andri Sukrudin, Fatimah Azzahra, Nana R, Mirsad
A, Ari Pohan, selaku rekan sebimbingan dan seperjuangan dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini.
6. Sahabat-sahabat penulis, Annisa Karima, Astika Sa’diyah, Vina QA, Tisa
Amalia, Trisa M, Triana KL, Aprillia W, Nabilah, Anggita Widasari,
Anggita Widaningsih, Luthfia I, Candri R, Annisa Winditha, Anisa Ayu
Artati, Aulia Novita R yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
7. Kepada teman-teman ESP 47 dan semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.

Bogor, Oktober 2014
Masyithoh Alkautsar

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan

6

6

Upah

10

Upah Minimum

11

Produk Domestik Regional Bruto

13

Pendidikan

14

Penelitian Terdahulu


15

Kerangka Pemikiran

16

Hipotesis Penelitian

18

METODE

18

Jenis dan Sumber Data

18

Metode Analisis Data


18

Perumusan Model

19

Pemilihan Model

22

Uji Kesesuaian Model

23

Definisi Operasional Variabel

25

HASIL DAN PEMBAHASAN


26

Keadaan Kependudukan

26

Perkembangan Tingkat Kemiskinan

27

Program Pengentasan Kemiskinan

30

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

31

Perkembangan Tingkat Pendidikan

33

Perkembangan Upah Minimum Provinsi

35

Hasil Estimasi Model

38

Pemilihan Model Terbaik

39

Uji Asumsi Klasik

39

Uji Statistik

40

Model Penduga Tingkat Kemiskinan Indonesia

41

SIMPULAN DAN SARAN

48

Simpulan

48

Saran

48

DAFTAR PUSTAKA

49

LAMPIRAN

52

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1 Kondisi ketenagakerjaan Indonesia tahun 2007-2012
2 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia tahun
2007-2012
3 Perkembangan koefisien gini Indonesia tahun 2007-2012
4 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan
5 Koefisien fixed effect model

26
27
30
41
46

DAFTAR GAMBAR
1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen)
2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang)
3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh
Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah)
4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)
5 Kerangka pemikiran penelitian
6 Provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia tahun
2007-2012 (ribu jiwa)
7 Provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia
tahun 2007-2012 (persen)
8 Provinsi dengan PDRB terbesar di Indonesia tahun 2007-2012 (miliar
rupiah)
9 Tingkat kemiskinan dan nilai PDRB provinsi-provinsi di Indonesia
tahun 2012
10 Provinsi dengan rata-rata lama sekolah terbesar di Indonesia tahun 2007
dan 2012 (tahun)
11 Tingkat kemiskinan dan nilai rata-rata lama sekolah provinsi-provinsi
di Indonesia tahun 2012
12 Provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terbesar di Indonesia
tahun 2007-2012 (rupiah)
13 Tingkat kemiskinan dan upah minimum provinsi-provinsi di Indonesia
tahun 2012

1
2
3
9
17
28
29
32
33
34
35
37
38

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tingkat kemiskinan berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2007-2012
(persen)
2 Produk Domestik Regional Bruto berdasarkan provinsi di Indonesia
tahun 2007-2012 (miliar rupiah)
3 Rata-rata lama sekolah berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 20072012 (tahun)
4 Upah Minimum Provinsi Indonesia tahun 2007-2012 (rupiah)
5 Uji Chow
6 Uji Hausman
7 Hasil estimasi model tingkat kemiskinan

52
53
54
55
56
56
57

8 Uji normalitas
9 Uji multikolinearitas
10 Uji heteroskedastisitas

57
58
58

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tingkat
Kemiskinan
(persen)

Kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur kondisi sosial ekonomi dalam
menilai keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah di suatu daerah.
Banyak sekali masalah-masalah sosial yang bersifat negatif timbul akibat
tingginya tingkat kemiskinan (Saputra 2011). Program-program pembangunan
yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya
pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian,
masalah kemiskinan sampai saat ini terus menjadi masalah yang berkepanjangan
(Ritonga 2014).
Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase jumlah penduduk miskin
terhadap jumlah penduduk total di suatu daerah. Tingkat kemiskinan erat
hubungannya dengan disparitas kemiskinan di suatu daerah. Usaha pemerintah
dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, dan merupakan
program prioritas bagi pemerintah Indonesia. Gambar 1 menunjukkan bahwa
tingkat kemiskinan Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012 mengalami penurunan.
Tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 16.58 % pada tahun 2007 dan berkurang
menjadi 11.60 % pada tahun 2012. Provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat
kemiskinan tertinggi dari tahu 2007 hingga 2012 adalah Provinsi Papua. Tahun
2012 tingkat kemiskinan Provinsi Papua sebesar 31.11%.

20
15
10
5
0

16.58

2007

15.42

2008

14.15

13.33

12.36

11.60

2009
2010
Tahun

2011

2012

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 1 Tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2007-2012 (persen)
Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini
memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (BPS 2013).
Indonesia terus mengalami krisis kesejahteraan dengan jumlah penduduk
miskin mencapai puluhan juta jiwa. Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2013 mengalami penurunan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 37.17 juta jiwa.

2

Jumlah Penduduk
Miskin (Juta
Orang)

Angka ini pada tahun 2008 berkurang hingga menjadi sekitar 34.96 juta jiwa.
Tahun 2009 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 2.43 juta jiwa
yaitu berkurang hingga menjadi 32.53 juta jiwa. Tahun 2010 jumlah penduduk
miskin terus mengalami penurunan hingga menjadi 31.02 juta jiwa. Tahun 2011
jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 0.97 % dari tahun 2010 menjadi 30.02
juta jiwa. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 sekitar 29.13 juta jiwa.
Provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia dari tahun
2007 hingga 2012 adalah Provinsi Jawa Timur. Tahun 2012 jumlah penduduk
miskin di Provinsi Jawa Timur sebesar 5 071 ribu jiwa.

40

37.17

34.96

32.53

31.02

30.02

29.13

2007

2008

2009
2010
Tahun

2011

2012

20
0

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013

Gambar 2 Jumlah penduduk miskin tahun 2007-2012 di Indonesia (juta orang)
Tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin yang terus menurun dari
tahun 2007 hingga 2012 mengindikasikan adanya keberhasilan dari beberapa
program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah. Meskipun
mengalami penurunan, angka kemiskinan di Indonesia pada periode penelitian
masih tergolong tinggi. Tingginya angka kemiskinan tersebut disebabkan oleh
masalah pendidikan dan keterampilan yang rendah. Pendidikan dan keterampilan
yang rendah menyebabkan kondisi buruh di Indonesia saat ini masih jauh dari
kata sejahtera. Saat ini rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia hanya lulusan
SD dan SMP dengan kemampuan yang rendah. Hal tersebut otomatis berdampak
pada rendahnya nilai upah yang diterima pekerja (Kusuma 2014).
Menurut Muttaqin (2012) kemiskinan di Indonesia yang terlihat rendah dan
semakin menurun namun tidak terasa kesejahteraannya disebabkan oleh
rendahnya standar kemiskinan yang digunakan oleh Indonesia. Standar garis
kemiskinan nasional sebesar Rp243 729, artinya penduduk yang miskin adalah
penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata per bulan di bawah Rp243 729
atau per harinya di bawah Rp8 124, sedangkan standar internasional adalah $2 per
hari. Menurut Woyanti (2013) tingginya angka kemiskinan antara lain disebabkan
oleh kurang meratanya pembangunan perekonomian hingga ke daerah-daerah
yang jauh dari jangkauan pemerintah.
Penyebab kemiskinan adalah kesejahteraan atau daya beli masyarakat yang
rendah. Daya beli yang rendah dapat disebabkan oleh produktivitas kerja yang
rendah sehingga pekerja menerima upah yang rendah dan tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Masalah kemiskinan merupakan masalah yang
masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia dan harus diselesaikan.
Salah satu kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang
berhubungan langsung dengan pendapatan atau daya beli seseorang adalah
kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum dibuat dengan tujuan

3
melindungi para buruh agar upah yang diterima tetap sesuai dengan kebutuhan
hidup minimum para buruh tersebut. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum bahwa
untuk melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling
rendah sebagai akibat ketidakseimbangan pasar kerja, perlu penyelarasan
kebijakan upah minimum dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi guna mewujudkan keberlangsungan usaha dan peningkatan
kesejahteraan pekerja/buruh.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa perkembangan rata-rata Upah Minimum
Provinsi dari tahun 2007-2012 terus mengalami peningkatan . Nilai rata-rata Upah
Minimum Provinsi di Indonesia pada tahun 2007 adalah Rp667 900. Nilai tersebut
meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp743 200 dan pada tahun 2009 nilai ratarata UMP mencapai Rp830 700. Tahun 2010 rata-rata UMP terus mengalami
kenaikan menjadi Rp908 800, kemudian pada tahun 2011 nilainya adalah
Rp988000. Tahun 2012 nilai rata-rata UMP adalah sebesar Rp 1 085 400. Upah
Minimum Provinsi yang selalu meningkat disebabkan oleh adanya penyesuaian
terhadap tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan
hidup layak di provinsi tersebut mengalami peningkatan.
Provinsi yang memiliki UMP terbesar pada tahun 2012 adalah Provinsi
Papua yaitu sebesar Rp1 585 000. Tingkat kemiskinan di Papua termasuk yang
terbesar sehingga perlu ditetapkan UMP yang besar pula. Tahun 2007 hingga
tahun 2012 tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan namun angka
kemiskinan sebesar 31.11 % masih tergolong tinggi. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh sulitnya akses untuk mencapai daerah Provinsi Papua tesebut.

Upah Minimum
Provinsi (Ribu
Rupiah)

1500
1000

667.90

743.20

830.70

908.80

2007

2008

2009

2010

988.80 1 085.40

500
0

2011

2012

Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014

Gambar 3 Perkembangan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di seluruh
Indonesia tahun 2007-2012 (ribu rupiah)
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Putri dan Yuliarmi (2013)
menunjukkan bahwa upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dari tahun 2007-2011. Selanjutnya Woyanti
(2013) melakukan penelitian yang hasilnya adalah UMP memberikan pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah
dengan koefisien sebesar 5 174.27. Hal ini berarti kenaikan UMP sebesar
Rp100000 per bulan akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan , yakni
angka kemiskinan akan meningkat sebesar 5 174 jiwa.
Kebijakan upah minimum merupakan kebijakan yang dirancang untuk
melindungi upah pekerja/buruh agar tidak merosot pada tingkat yang paling
rendah dan selanjutnya diharapkan berdampak pada berkurangnya tingkat

4
kemiskinan. Kebijakan upah minimum yang bertujuan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan, sering kali menimbulkan kontroversi. Hal tersebut dapat dilihat dari
adanya perselisihan antara kelompok pengusaha yang memandang tuntutan upah
minimum sebagai beban dan tidak kompatibel dengan upaya pemerintah dalam
mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sementara serikat
pekerja menghendaki kenaikan upah minimum yang signifikan (Sumarsono
2009).
Penelitian yang dilakukan oleh SMERU (2001) menunjukkan bahwa hanya
40 % unit usaha di Indonesia yang membayarkan upahnya sesuai dengan upah
minimum. Hasil penelitian SMERU lainnya adalah kebijakan upah minimum
hanya menguntungkan pekerja yang terdidik saja karena perusahaan cenderung
mensubstitusi tenaga kerja dengan mesin. Kebijakan upah minimum mempunyai
hubungan yang negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan.
Kebijakan upah minimum tidak hanya menyangkut kesejahteraan buruh/pekerja
saja, namun juga menyangkut kesanggupan pengusaha untuk membayar.
Kenaikan upah minimum yang tidak diiringi oleh peningkatan produktivitas kerja
dari buruh/pekerja akan membuat pengusaha mengalami kerugian. Pengusaha
yang mengalami kerugian akan gulung tikar dan akhirnya berpengaruh pada
kesejahteraan pengusaha tersebut serta para pekerja yang bekerja di perusahaan
tersebut.
Penelitian yang dilakukan USAid dan Bappenas (2013) dalam Aria (2014)
menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia relatif rendah dan
tidak sebanding dengan kenaikan upah yang diterimanya. Penelitian tersebut
menemukan bahwa seorang tenaga kerja di sebuah industri sepatu yang menyerap
tenaga kerja dan berpotensi ekspor hanya mampu menghasilkan rata-rata 0.8
pasang sepatu per hari. Sementara upahnya pada 2013 mencapai rata-rata US$
242 per bulan. Di China, dengan tingkat upah US$ 235 per bulan, seorang pekerja
rata-rata dapat menghasilkan 1.1 pasang sepatu tiap harinya. Produktivitas tenaga
kerja di Indonesia sendiri dari tahun 2008 hingga 2012 mengalami kenaikan.
Tahun 2008 produktivitas tenaga kerja di Indonesia adalah sebesar Rp161 396 000
dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp234 010 000 (BPS 2013).
Latar belakang di atas menjadikan penelitian ini sangat penting untuk
dilakukan karena menyangkut kesejahteraan para buruh dan pengusaha yang
masih dipertanyakan akibat adanya efek dari UMP terhadap tingkat kemiskinan.
Jika kebijakan UMP tidak dapat mengurangi angka kemiskinan berarti terdapat
masalah dalam penerapan UMP tersebut. Melihat betapa pentingnya efek yang
dapat ditimbulkan dari kebijakan upah minimum, maka penelitian ini dilakukan
untuk melihat dampak UMP terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun
2007-2012.

Perumusan Masalah
Tingkat kemiskinan Indonesia yang masih cukup tinggi membuat
pemerintah berupaya untuk membuat berbagai kebijakan yang dapat mengurangi
tingkat kemiskinan tersebut. Salah satu kebijakan di bidang ketenagakerjaan
adalah kebijakan upah minimum regional yang bertujuan positif yaitu agar

5
pekerja/karyawan yang menempati tingkatan paling rendah dapat memperoleh
upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup minimum di daerah tempat tinggalnya.
Kebijakan upah minimum regional ditempatkan sebaga isu sentral oleh banyak
pihak (pemerintah, serikat buruh, dan LSM) dikarenakan kebijakan ini merupakan
satu-satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang secara langsung dan eksplisit
dikaitkan dengan upah buruh. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah
kebijakan UMP yang selama ini dijalankan oleh pemerintah sudah efektif atau
belum, melihat angka kemiskinan Indonesia yang masih saja tinggi. Berdasarkan
hal tersebut, maka permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan kemiskinan di Indonesia?
2. Bagaimana dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan perkembangan kemiskinan di Indonesia.
2. Menganalisis dampak Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat dan kegunaan
sebagai berikut, yaitu:
1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini sebagai bahan referensi dalam
melakukan penelitian yang berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan di
Indonesia.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam
membuat kebijakan yang berkaitan dengan upah minimum regional.
3. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru dan
pemahaman mengenai dampak kebijakan Upah Minimum Provinsi dan faktorfaktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul Analisis Dampak Kebijakan Upah Minimum
terhadap Tingkat Kemiskinan Indonesia ini dilakukan di 33 provinsi yang ada di
Indonesia dari tahun 2007 hingga 2012. Penelitian ini fokus untuk melihat
dampak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan memperlihatkan
faktor-faktor lain selain UMP yang memengaruhi tingkat kemiskinan Indonesia.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan
Definisi Kemiskinan
Kemiskinan dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni aspek kebutuhan hidup
yang layak, aspek penghasilan, aspek kesempatan atau opportunity, aspek keadaan
atau kondisi, dan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan (Todaro
2003). Kemiskinan berdasarkan aspek kebutuhan hidup yang layak adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan adanya kekurangan
barang dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan hidup standar yang layak. Ini
merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar
kebutuhan dasar. Kemiskinan dari aspek penghasilan dilukiskan sebagai
kurangnya pendapatan atau penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
pokok.
Kemiskinan berdasarkan aspek kesempatan atau opportunity adalah
kemiskinan yang terjadi karena ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan
kesempatan sosial seperti keterampilan yang memadai, informasi yang berguna,
jaringan sosial, dan sumber modal. Kemiskinan dari aspek keadaan atau kondisi
dilihat sebagai suatu keadaan yang dicirikan dengan kondisi kurang makan dan
gizi, kekurangan pakaian, perumahan tidak memadai, pendidikan yang rendah,
dan sedikitnya kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan. Kemiskinan
berdasarkan aspek penguasaan terhadap sumber-sumber pendapatan merupakan
keterlantaran yang disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Kemiskinan merupakan masalah multi dimensional yang ditandai dengan
ketidakberdayaan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar standar atas
tiga masalah kehidupan. Pertama, masalah kekurangan materi yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barangbarang dan pelayanan dasar. Kedua, masalah kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Ketiga, masalah kurangnya penghasilan dan kekayaan yang
memadai (Woyanti 2013).
Sudantoko dan Hamdani (2009) menjelaskan berbagai definisinya tentang
kemiskinan. Kemiskinan terbagi-bagi menjadi kemiskinan relatif, kemiskinan
absolut,
kemiskinan
struktural,
kemiskinan
dengan
pendekatan
pendapatan/pengeluaran, kemiskinan dengan pendekatan rata-rata per kapita, dan
kemiskinan dengan pendekatan BKKBN. Kemiskinan relatif merupakan kondisi
masyarakat karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu
menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Standar minimum yang digunakan untuk menentukan
apakah seseorang miskin secara relatif disusun berdasarkan kondisi hidup suatu
negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk
“termiskin” misalnya 20 % atau 40 % dari total penduduk yang telah diurutkan
menurut pendapatan atau pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif
miskin.

7
Ukuran relatif kemiskinan sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau
pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini “orang miskin
selalu hadir bersama kita”. Garis kemiskinan relatif berbeda-beda setiap negara.
Garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat
kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang sama.
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan. Ukuran finansial dalam bentuk uang merupakan
terjemahan dari kebutuhan pokok minimum. Istilah garis kemiskinan diartikan
sebagai nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar sedangkan penduduk miskin
ialah penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan absolut tetap dalam hal standar hidup, garis kemiskinan
absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Jika seseorang akan
mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau
memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan, garis kemiskinan
absolut sangat penting dan dapat digunakan. Bank Dunia menggunakan dua batas
ukuran yang merupakan garis kemiskinan absolut, yaitu : a) US$ 1 per hari
dimana diperkirakan ada sekitar 1.2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah
ukuran tersebut; b)US$ 2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup
kurang dari batas tersebut (Sudantoko dan Hamdani 2009).
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur, dimana kemiskinan menggejala oleh sebab tatanan sosial yang tak adil.
Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal
memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta
meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap
ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara
dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah
satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi,
misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau
Christmas, dan sebagainya.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor
adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat
dengan indikator kemiskinan. Contohnya adalah kemiskinan yang terjadi pada
suku-suku terasing, seperti suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di
pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi. Kemiskinan dengan pendekatan
pendapatan/pengeluaran menggunakan konsep kebutuhan dasar yang di dalamnya
terdapat komponen kebutuhan dasar dan karakteristik kebutuhan dasar serta
hubungan keduanya dengan kemiskinan.
Kemiskinan dengan pendekatan rata-rata per kapita dari waktu ke waktu
mengalami perkembangan dalam penerapannya. Tingkat konsumsi menurut
golongan umur dan jenis kelamin serta skala ekonomi dalam konsumsi biasanya
belum termasuk dalam pertimbangan pada pendekatan rata-rata per kapita ini.
Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar 1 dolar dalam bentuk satuan
PPP per kapita per hari. Negara maju seperti Eropa Barat menetapkan 1/3 dari
nilai PDB per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan. Garis kemiskinan
Indonesia didekati dengan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan
2100 kilokalori per kapita per hari ditambah pengeluaran minimum bukan

8
makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang kesehatan, pendidikan, transpor
dan barang-barang lainnya).
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menerapkan
konsep dan definisi kemiskinan pada tahun 1999 dengan melakukan pendekatan
keluarga secara lengkap. Konsep pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kesejahteraan keluarga. Lima tahapan kriteria keluarga menurut BKKBN, yaitu
Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I(KS I), Keluarga Sejahtera
II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III
Plus). Kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah
Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I). Ada lima
indikator keluarga Sejahtera I, yaitu :
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masingmasing.
2. Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih.
3. Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah,
sekolah, bekerja, dan bepergian.
4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi
ke sarana/ petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.
Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari 5
(lima) indikator di atas.
Menurut Kuncoro (2003) penyebab kemiskinan dipandang dari segi
ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam
jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib
yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga,
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga teori ini
bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).
Gambar 4 menunjukkan gambar mengenai teori lingkaran setan kemiskinan.
Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurang modal
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan
rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi akan
berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Tinggi rendahnya tingkat
kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua sektor utama, yakni: tingkat
pendapatan nasional rata-rata dan distribusi pendapatan yang merata. Tingkat
pendapatan nasional rata-rata yang tinggi tidak akan berarti bila terdapat
banyaknya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Tingkat pendapatan nasional
rata-rata yang tinggi harus diikuti oleh distribusi pendapatan yang merata agar
kemiskinan tidak semakin meluas (Todaro 2003).

9

Ketidaksempurnaan pasar,
keterbelakangan, ketertinggalan

Kekurangan modal

Investasi rendah
Produktivitas rendah

Tabungan rendah

Pendapatan rendah

Sumber : Kuncoro, 2003

Gambar 4 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)

Ukuran Kemiskinan
BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Ukuran kemiskinan dapat dilihat dari Garis Kemiskinan (GK), Head Count Index
(HCI-P0 ), Indeks Kedalaman Kemiskinan, dan Indeks Keparahan Kemiskinan
(Sudantoko dan Hamdani 2009).
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Head Count Index (HCI-P0), adalah
persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Tingkat
kemiskinan dinyatakan dengan Head Count Index (HCI-P0).
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran
rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran
penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty
Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi
ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

10
Upah
Definisi Upah
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I Ketentuan Umum
pasal 1, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam
perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat
merugikan perusahaan. Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi tinggi
rendahnya upah adalah penawaran dan permintaan tenaga kerja, organisasi buruh,
kemampuan untuk membayar, produktivitas tenaga kerja, biaya hidup, dan
pemerintah (Prastyo 2010).

Teori Upah
Menurut Mankiw (2007) penyebab ketiga dari kekakuan upah selain
undang-undang upah minimum dan pembentukan serikat adalah teori upah efisiensi. Terdapat empat teori upah-efisiensi, teori yang pertama
menyatakan bahwa upah yang tinggi membuat para pekerja lebih produktif.
Pengaruh upah terhadap efisiensi pekerja dapat menjelaskan kegagalan
perusahaan untuk memangkas upah meskipun terjadi kelebihan penawaran tenaga
kerja. Meskipun akan mengurangi tagihan upah perusahaan pengurangan upah
akan memperendah produktivitas pekerja dan laba perusahaan.
Teori upah-efisiensi yang kedua, menyatakan bahwa upah yang tinggi
menurunkan perputaran tenaga kerja. Pembayaran upah yang tinggi oleh
perusahaan akan mengurangi frekuensi pekerja yang keluar dari pekerjaan,
sekaligus mengurangi waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menarik dan
melatih pekerja baru. Teori upah-efisiensi yang ketiga menyatakan bahwa kualitas
rata-rata tenaga kerja perusahaan bergantung pada upah yang dibayar
kepada karyawannya. Jika perusahaan mengurangi upahnya, maka pekerja terbaik
biasanya mengambil pekerjaan ditempat lain, meninggalkan perusahaan dengan
pekerja yang tidak terdidik yang memiliki lebih sedikit alternatif.
Teori upah-efisiensi yang keempat menyatakan bahwa upah yang
tinggi meningkatkan upaya pekerja. Teori ini menegaskan bahwa perusahaan
tidak dapat memantau dengan sempurna upaya para pekerja,dan para pekerja
harus memutuskan sendiri sejauh mana mereka akan bekerja keras. Semakin
tinggi upah, semakin besar kerugian bagi pekerja bila mereka sampai dipecat.
Pembayaran upah yang lebih tinggi oleh perusahaan akan memotivasi lebih
banyak pekerja agar tidak bermalas-malasan dan dengan demikian meningkatkan
produktivitas mereka. Meskipun keempat teori upah-efisiensi ini secara rinci
berbeda, namun teori-teori tersebut menyuarakan topik yang sama: karena
perusahaan beroperasi lebih efisien jika membayar pekerjanya dengan upah yang
tinggi, maka perusahaan dapat menganggap bahwa mempertahankan upah diatas
tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan adalah menguntungkan.

11
Teori klasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimalkan
keuntungan, tiap-tiap perusahaan menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian
rupa. Faktor-faktor produksi yang dipergunakan tersebut akan menerima atau
mendapatkan imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor
produksi tersebut. Tenaga kerja memperoleh upah senilai dengan pertumbuhan
hasil marjinalnya (Simanjuntak 1998).

Perubahan Tingkat Upah
Perubahan tingkat upah akan memengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi
perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik maka akan
menyebabkan dua efek yaitu efek skala produksi atau scale effect dan efek
substitusi atau substitution effect (Sumarsono 2009). Naiknya tingkat upah akan
meningkatkan biaya produksi perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan
pula harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan
memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu
mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang
bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen
menurunkan jumlah produksinya. Turunnya target produksi, mengakibatkan
berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala
produksi atau scale effect.
Apabila upah naik (dengan asumsi harga barang-barang modal lainnya tidak
berubah) maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat
modal untuk proses produksinya. Pengusaha menggantikan kebutuhan akan
tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lainlain. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya pergantian /
penambahan penggunaan mesin-mesin disebut efek substitusi atau substitution
effect.

Upah Minimum
Definisi Upah Minimum
Upah minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para
pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam
lingkungan usaha atau kerjanya (UU No. 13 Tahun 2003). Menurut Keputusan
Menteri No.1 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, upah minimum adalah upah bulanan
terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku
bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi
sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan.

12
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun
2013 Tentang Upah Minimum, upah minimum adalah upah bulanan terendah
yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh
gubernur sebagai jaring pengaman. Upah minimum terdiri atas :
1. Upah Minimum Provinsi yang selanjutnya disingkat UMP, yaitu upah
minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.
2. Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah
upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.
3. Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP adalah
upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi.
4. Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat
UMSK adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah
kabupaten/kota.
Menurut Rachman dalam Prastyo (2010) tujuan penetapan upah minimum
dapat dibedakan secara mikro dan makro. Secara mikro tujuan penetapan upah
minimum yaitu (a) sebagai jaring pengaman agar upah tidak merosot, (b)
mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan, dan (c)
meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat paling bawah. Secara makro
penetapan upah minimum bertujuan untuk (a) pemerataan pendapatan, (b)
peningkatan daya beli pekerja dan perluasan kesempatan kerja, (c) perubahan
struktur biaya industri sektoral, (d) peningkatan produktivitas kerja nasional,
peningkatan etos dan disiplin kerja, (e) memperlancar komunikasi pekerja dan
pengusaha dalam rangka hubungan bipartite.

Teori Upah Minimum
Upah minimum dapat dipengaruhi oleh jenis pasar kerja yang berlaku
(Woyanti 2013). Pasar kerja adalah sarana pertemuan antara penjual dan pembeli
tenaga kerja, dimana penjual tenaga kerja atau pencari kerja akan menerima upah
setelah mencurahkan waktunya kepada pembeli tenaga kerja. Sebaliknya pembeli
tenaga kerja atau lembaga/perusahaan akan mengeluarkan uang atau upah kepada
tenaga kerja sebagai kompensasi atas usaha jasa yang telah diserahkannya dalam
proses produksi menghasilkan barang dan jasa. Pasar kerja terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu pasar persaingan sempurna, pasar monopsoni, dan pasar monopoli.
Pasar persaingan sempurna dicirikan oleh jumlah pencari kerja dan jumlah
perusahaan yang sama banyak. Sama banyak di sini tidak mengacu pada jumlah
fisik, melainkan mengacu pada tingkat independensinya, sebab di antara tenaga
kerja dan perusahaan tidak ada ketergantungan. Masing-masing pihak secara
individual tidak memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah. Kondisi ini
menyebabkan penentuan upah didasarkan pada kekuatan keseimbangan antara
penawaran dan permintaan tenaga kerja.
Pasar monopsoni adalah pasar tenaga kerja yang terdiri dari banyak pencari
kerja, namun hanya terdapat satu perusahaan yang membutuhkan jasa pekerja
dalam arti perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam satu asosiasi perusahaan
yang membuat perilaku seragam di antara anggotanya. Perusahaan-perusahaan
tersebut memiliki kekuatan nyata dalam pasar untuk menentukan upah. Hal ini
sering menyebabkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja dengan upah yang rendah.

13
Pasar monopoli adalah pasar tenaga kerja yang di dalamnya terdapat banyak
perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tetapi hanya ada satu pekerja yang
menginginkan pekerjaan. Umumnya tenaga kerja menyatukan diri dalam serikat
pekerja yaitu serikat buruh yang kuat. Hal tersebut menjadikan serikat buruh
memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat upah dalam pasar tenaga kerja.
Upah pekerja dalam situasi ini adalah upah maksimum.

Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Upah Minimum
Menurut Kaufman (2000) tujuan utama ditetapkannya upah minimum
adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan
kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat
penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat
tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga
kesejahteraan meningkat dan terbebas dari kemiskinan.

Produk Domestik Regional Bruto
Definisi Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi yang dijadikan salah satu
indikator ekonomi suatu daerah. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada
setiap tahun. PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan
jasa tersebut dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu
sebagai dasar.
Pergeseran struktur ekonomi dapat dilihat dengan mengukur PDRB atas dasar
harga berlaku sedangkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke
tahun digunakan PDRB atas dasar harga konstan. Terdapat tiga pendekatan yang
digunakan untuk menghitung angka-angka PDRB (Maulia 2014) yaitu pendekatan
produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan produksi adalah jumlah nilai tambah atas
barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Unit-unit produksi tersebut
dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), antara lain: 1. Pertanian; 2.
Pertambangan dan penggalian; 4. Listrik, gas dan air bersih; 5. Konstruksi; 6.
Perdagangan, hotel dan restoran; 7. Pengangkutan; 8. Keuangan, Real Estat dan jasa
perusahaan; 9. Jasa-jasa. Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan pendapatan
balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi pada jangka waktu tertentu (dalam satu tahun). Balas jasa faktor produksi
yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan.
Semuanya belum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. PDRB
dalam pendekatan ini mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan pendekatan pengeluaran adalah
semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: 1. Pengeluaran konsumsi rumah
tangga dan lembaga swasta nirlaba, 2. Pengeluaran konsumsi pemerintah, 3.

14
Pembentukan modal tetap domestik bruto, 4. Perubahan inventori, 5. Ekspor neto
(ekspor dikurangi impor).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan ketiga pendekatan tersebut
akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan
jumlah barang dan jasa akhir yang akan dihasilkan dan harus sama pula dengan
jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang dihasilkan dengan cara
ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup
pajak tak langsung neto.

Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi
pengurangan tingkat kemiskinan. Hasil PDRB yang menyebar di setiap golongan
masyarakat termasuk di golongan penduduk miskin merupakan syarat bagi
pengurangan penduduk miskin. (Siregar dan Wahyuniarti 2008). Penelitian yang
dilakukan Woyanti (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara PDRB dan tingkat kemiskinan. Produk Domestik Regional Bruto yang
meningkat akan mengurangi tingkat kemiskinan sehingga percepatan peningkatan
PDRB penting untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan
oleh Prastyo (2010) juga menunjukkan hubungan negatif antara PDRB dan tingkat
kemiskinan.

Pendidikan
Definisi Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan
pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang restruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hasil pendidikan formal
diakui setelah peserta didik lulus ujian sesuai standar nasional pendidikan.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri (Prastyo 2010).

15
Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Pendidikan
Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan
memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan
keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat
manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan.
Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya
mencerdaskan bangsa (Suryawati 2005)
Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa
pendidikan yang diukur dengan jumlah penduduk yang lulus pendidikan SMP,
SMA, dan diploma memiliki pengaruh besar dan signifikan terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan modal
manusia melalui pendidikan merupakan indikator penting untuk menurunkan
jumlah penduduk miskin. Menurut Prastyo (2010) semakin tinggi tingkat
pendidikan, maka pengetahuan dan keahliannya akan meningkat, sehingga akan
mendorong produktivitas kerjanya. Akhirnya seseorang yang memiliki
produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang
diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya.

Penelitian Terdahulu
Hudaya (2009) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisis data
panel. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT), Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf (AMH).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel TPT, PP, dan AMH memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki korelasi yang positif dengan tingkat
kemiskinan, sedangkan Pendapatan Perkapita (PP), dan Angka Melek Huruf
(AMH) memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat kemiskinan.
Putri dan Yuliarmi (2013) melakukan penelitian tentang beberapa faktor
yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bali dengan analisis data panel.
Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tingkat kemiskinan
sebagai variabel dependen, dan pertumbuhan ekonomi, Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK), pendidikan (rata-rata lama sekolah), dan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) sebagai variabel independennya. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, UMK, dan
pendidikan 9rata-rata lama sekolah) memiliki pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Bali pada tahun 2007-2011.
Prastyo (2010) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun
2003-2007. Analisis yang digunakan adalah analisis data panel dengan fixed effect
model (FEM). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah tingkat
kemiskinan sebagai variabel dependen, sedangkan pertumbuhan ekonomi, upah
minimum, pen