Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia

DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP
PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

DUDI SEPTIADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kebijakan
Perberasan terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016
Dudi Septiadi
NRP H453140111

RINGKASAN
DUDI SEPTIADI. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh HARIANTO sebagai Ketua Komisi
Pembimbing dan SUHARNO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama di Indonesia yang belum
terselesaikan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Beras adalah komoditas pangan utama yang mempengaruhi
kesejahteraan puluhan juta penduduk Indonesia. Beras menjadi sumber utama
kalori sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total
adalah 54.3 persen, sehingga setengah kalori bersumber dari beras. Tidak
mengherankan bila permintaan beras di Indonesia sangat besar. Porsi belanja
beras dalam pendapatan penduduk miskin masih relatif besar, maka jika terjadi
goncangan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan harga beras akan sangat
berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Begitu krusialnya masalah
kerawanan pangan (beras) sehingga ketahanan pangan bukan sekedar komoditas

ekonomi, tetapi sudah menjadi komoditas politik.
Studi ini memiliki tujuan untuk: (1) Menganalisis faktor - faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, (2) Menganalisis faktor - faktor yang
mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di Indonesia, (3) Menganalisis
dampak kebijakan perberasan terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Spesifikasi model penelitian menggunakan persamaan simultan dan diduga
dengan metode Two Stages Least Squares (2SLS). Data yang digunakan adalah
data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1981sampai 2014.
Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa penurunan harga beras eceran
mampu mengurangi kemiskinan. Tetapi pengaruhnya relatif kecil atau tidak
terlalu besar. Kenaikan 1 persen harga beras eceran riil akan meningkatkan
kemiskinan sebesar 0.037 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.124 persen
dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya variabel yang
berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Kenaikan 1 persen pertumbuhan
ekonomi akan menurunkan kemiskinan sebesar 0.090 persen dalam jangka pendek
dan sebesar 0.306 persen dalam jangka panjang. Dalam upaya mengurangi jumlah
penduduk miskin, kebijakan harga pembelian pemerintah sebaiknya diikuti
kebijakan perberasan lain, seperti kebijakan meningkatkan luas areal irigasi dan
kebijakan harga pupuk urea.
Kata kunci: pengentasan kemiskinan, beras, kebijakan perberasan


SUMMARY
DUDI SEPTIADI. Impact of Rice Policy to Poverty Reduction in Indonesia.
Supervised by HARIANTO as a chairman of the supervising commission and
SUHARNO as a mamber of the supervising commission.
Poverty is one of the major problems in Indonesia unresolved. Poverty is an
economic inability to meet the basic needs of food and non-food which is
measured from the expenditure side. Rice is the main food commodities that affect
the welfare of million people in Indonesia. Rice is a major source of calories most
of the Indonesian people. The share of rice in total calorie consumption is 54.3
percent, so that half the calories derrived from rice. Demand for rice in Indonesia
is very large. Shares of rice in the income of the poor is still relatively large, so if
the economic shocks caused by changes in the price of rice will greatly affect to
increased poverty. Food insecurity (rice) is a crucial issue, so that food security is
not just an economic commodity, but has become a political commodity.
The objective of this study was to: (1) analyze of factors affecting poverty in
Indonesia, (2) analyze of factors affecting supply and demand for rice in
Indonesia, and (3) analyze the impact of rice policy on poverty reduction in
Indonesia. Specifications of research model using simultaneous equations and
allegedly with the method Two Stages Least Squares (2SLS). The data used is

secondary data with the time span from 1981 to 2014.
The results of prediction models suggest that a decrease in the retail price of
rice is able to reduce poverty. But the effect is relatively small. Real retail rice
price increase 1 percent would increase poverty by 0.037 percent in the short term
and amounted to 0.124 percent in the long term. Economic growth to be the only
variable that significantly affect poverty. Increase economic growth by 1 percent
would reduce poverty by 0.090 percent in the short term and amounted to 0.306
percent in the long term. In an effort to reduce the number of poor people,
government purchasing price policy should be followed by other rice policy, such
a policy increase the acreage irrigation and fertilizer price policy.
Keywords: poverty reduction, rice, rice policy

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP
PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

DUDI SEPTIADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS.


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah
kemiskinan di Indonesia, dengan judul Dampak Kebijakan Perberasan terhadap
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena
bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi
pembimbing yaitu kepada Bapak Dr Ir Harianto MS sebagai Ketua Komisi
Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Suharno, M.Adev selaku Anggota Komisi
Pembimbing, serta masukan dari berbagai pihak. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016
Dudi Septiadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR LAMPRAN ......................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN................................................................................................1
Latar Belakang .....................................................................................................1
Masalah Penelitian ...............................................................................................7
Tujuan Penelitian ..................................................................................................9
Manfaat Penelitian ................................................................................................9
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .......................................................9
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................11
Definisi dan Konsep Kemiskinan .......................................................................11
Indikator Kemiskinan .........................................................................................14
Faktor Faktor yang mempengaruhi Kemiskian di Indonesia .............................15
Pendapatan Perkapita Penduduk .......................................................... 15
Kondisi Ekonomi.................................................................................. 15
Angka Ketergantungan Penduduk ........................................................ 18
Infrastruktur .......................................................................................... 18
Urgensi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan .......................21
Kebijakan Harga ................................................................................... 23
Kebijakan Tarif dan Kuota Impor ........................................................ 25
Tinjauan Penelitian Terdahulu ...........................................................................26

III. KERANGKA TEORI.......................................................................................28
Dimensi Ekonomi Beras dan Kemiskinan..........................................................28
Permintaan Beras .................................................................................. 29
Penawaran Beras .................................................................................. 31
Peningkatan Produksi Beras dan Dampaknya terhadap Kemiskinan .................31
IV. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................33
Spesifikasi Model ...............................................................................................33
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................38
Identifikasi Model ..............................................................................................38
Metode Pengujian Model ...................................................................................39
Validasi Model ...................................................................................................40
Konsep Elastisitas...............................................................................................40
Simulasi Model...................................................................................................41

Simulasi Kombinasi .............................................................................. 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 43
Keragaan Umum Hasil Estimasi Pendugaan Model Ekonometrika .................. 43
Blok Penawaran Beras Indonesia....................................................................... 44
Luas Areal Panen .................................................................................. 44
Produktivitas Padi ................................................................................. 45

Jumlah Impor Beras .............................................................................. 47
Harga Beras Impor ................................................................................ 49
Blok Permintaan Beras Indonesia ...................................................................... 50
Permintaan Beras Indonesia untuk Konsumsi ...................................... 50
Harga Beras Eceran Indonesia .............................................................. 51
Blok Kemiskinan Indonesia ............................................................................... 53
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ........................................................... 57
Validasi Model Penelitian .................................................................................. 57
Evaluasi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia . 58
Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan ... 58
Rekapitulasi Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan .................................. 66
VII. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 68
Kesimpulan ........................................................................................................ 68
Saran ................................................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 70
LAMPIRAN .......................................................................................................... 75
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 97

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi Penduduk Rawan Pangan Indonesia Tahun 2010 – 2013 ........5

Tabel 2. Nilai Elastisitas Silang Perubahan Harga Beras dan Harga Non-beras .....9
Tabel 3. Indeks Gini Indonesia (2008-2014) .........................................................17
Tabel 4. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Luas Areal Panen .........................45
Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Produktivitas ................................46
Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Jumlah Impor Beras .....................48
Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Harga Beras Impor .......................49
Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Permintaan Beras .........................51
Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Harga Beras Eceran Indonesia .....52
Tabel 10. Hasil Pendugaan Variabel Kemiskinan..................................................55
Tabel 11. Hasil Pengujian Validasi Model Penelitian ...........................................57
Tabel 12. Dampak Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah dan Luas
Areal Irigasi, Serta Menurunkan Harga Pupuk Urea .............................59
Tabel 13. Dampak Kebijakan Menurunkan Harga Pupuk Urea serta Menaikkan
Kredit Usahatani dan Luas Areal Irigasi ...............................................61
Tabel 14. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah bersama
dengan Menurunkan Harga Pupuk Urea dan Menaikkan Luas Areal
Irigasi .....................................................................................................62
Tabel 15. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah dan
Tarif Impor Bersamaan dengan Kebijakan Penurunan Harga Pupuk
Urea dan Menaikkan Kredit Usahatani .................................................64

Tabel 16. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah dan
Tarif Impor Bersamaan dengan Kebijakan Menaikkan Harga Pupuk
Urea dan Luas Areal Irigasi ...................................................................65
Tabel 17. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan Indonesia
Periode 1981 – 2014 ..............................................................................66

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 1998 – 2014 ...................3
Gambar 2 Dinamika Produksi Padi dan Impor beras Indonesia 1998-2014 (ton) ...8
Gambar 4. Kurva Lorenz........................................................................................16
Gambar 5 Diagram Keterkaitan Antar Variabel Endogen dan Eksogen ................34

DAFTAR LAMPRAN
Lampiran 1. Nama variabel yang digunakan dalam model ................................... 76
Lampiran 2. Data variabel yang digunakan dalam model ..................................... 77
Lampiran 3. Program pendugaan parameter model penelitian .............................. 81
Lampiran 4. Hasil pendugaan parameter model penelitian ................................... 84
Lampiran 5. Program validasi model penelitian .................................................... 91
Lampiran 6. Hasil validasi model penelitian ......................................................... 92
Lampiran 7. Contoh program simulasi. ................................................................. 95
Lampiran 8. Contoh hasil simulasi. ....................................................................... 96
Lampiran 1. Nama variabel yang digunakan dalam model ................................... 76
Lampiran 2. Data variabel yang digunakan dalam model ..................................... 77
Lampiran 3. Program pendugaan parameter model penelitian .............................. 81
Lampiran 4. Hasil pendugaan parameter model penelitian ................................... 84
Lampiran 5. Program validasi model penelitian .................................................... 91
Lampiran 6. Hasil validasi model penelitian ......................................................... 92
Lampiran 7. Contoh program simulasi menaikkan harga pembelian pemerintah
sebesar 20 persen. ................................................................................. 95
Lampiran 8. Contoh hasil simulasi menaikkan harga pembelian pemerintah
sebesar 20 persen. ................................................................................. 96

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah dalam perekonomian yang dialami oleh
masyarakat global. Kemiskinan menjadi isu penting karena bukan hanya dialami
oleh negara berkembang, tetapi juga dialami oleh negara-negara maju.
Kemiskinan merupakan kondisi absolut dan relatif yang menyebabkan seseorang
atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu
yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural dan
struktural (Nugroho dan Dahuri 2004). Pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan
oleh Badan Pusat Statisik dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk
miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan dibawah garis kemiskinan.
United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan kemiskinan
sebagai ketidakmampuan memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain
memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan
publik sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan wilayah tersebut. Kemiskinan
menjadi salah satu tujuan pembangunan dan dijadikan sebagai ukuran
keberhasilan pembangunan. Sehingga seringkali keberhasilan pembangunan
dilihat berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan. World Bank melaporkan
bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Sementara
Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum
dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2 maka penduduk yang tergolong
miskin mencapai 59.99 persen (World Bank 2007).
Penduduk miskin di Indonesia masih banyak bekerja dalam sub sektor
pertanian pangan. Mereka bekerja sebagai petani atau buruh tani, oleh karena itu
kebijakan pengentasan kemiskinan harus dimulai dengan perbaikan sektor
pertanian yang menjadi sarang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah tidak boleh
parsial dalam membangun pertanian, jangan hanya berkonsentrasi pada
pembangunan industri yang akhir-akhir ini justru ekspansinya memakan areal
lahan pertanian sehingga semakin menyempit. Meskipun arah pembangunan
pertanian Indonesia kearah negara yang sedang melakukan transformasi, tetapi
ambisi tersebut jangan sampai melupakan potensi sektor pertanian sebagai salah
satu sektor yang berkontribusi besar dalam PDB. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa luas lahan untuk pertanian semakin menyempit, dikarenakan telah beralih
fungsi menjadi industri manuafaktur, jasa dan perumahan. Disisi lain angka
pertumbuhan penduduk Indonesia semakin meningkat, artinya ada gap antara
permintaan pangan dan pasokan pangan. Tingginya pertumbuhan penduduk
Indonesia tidak diimbangi kapasitas produksi yang ada, masyarakat yang miskin
sangat sulit untuk membeli harga pangan pokok ketika harga yang melambung
tinggi akibat pasokan pangan (beras) yang terbatas, sehingga menciptakan
kemisknan baik di pedesaan maupun perkotaaan.

2

Secara historis dimasa orde baru Indonesia cukup berhasil dalam
penanganan masalah kemiskinan, Badan Pusat Statistik (2015) menunjukkan
bahwa dari tahun 1976-1996 persentase penduduk miskin Indonesia menurun
drastis dari 40.10 persen atau sebanyak 54.2 juta penduduk menjadi 17.47 persen
atau sebanyak 34.01 juta penduduk. Pada masa ini Indonesia dianggap sebagai
salah satu negara yang telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan persentase
penurunan yang cukup tinggi, yaitu 22.63 persen (sekitar 20.19 juta penduduk).
Capaian positif dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia ternyata tidak
bisa bertahan lama. Goncangan ekonomi Asia pada tahun 1997-1998 ternyata
berdampak kepada goncangan ekonomi dan politik di Indonesia, sehingga
kembali meningkatkan kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 1998, angka
kemiskinan meningkat menjadi 24.2 persen atau sebanyak 49.5 juta penduduk
miskin. Pulihnya pertumbuhan ekonomi memasuki era Reformasi telah membawa
pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa, sehingga terciptanya
lapangan kerja di kota-kota. Tren ini telah berkontribusi pada berkurangnya
kemsikinan dari 24 persen pada tahun 1999 menjadi 11.47 persen pada awal 2013.
Penurunan kemiskinan tidak mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Diperparah dengan masalah tingkat penurunan kemiskinan mulai melambat. Pada
tahun 2012 dan 2013, kemiskinan turun hanya sebesar 0.5 persen tiap tahun,
penurunan terkecil dalam satu dekade terakhir. Melambatnya tren penurunan
kemiskinan tidak bisa dipisahkan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dan diperkuat dengan kondisi ketimpangan pendapatan yang dialami
Indonesia.
Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan berkelanjutan selama Reformasi
telah membantu mengurangi kemiskinan dan menciptakan pertumbuhan kelas
sosial yang mapan secara ekonomi. Setelah pulih dari krisis keuangan Asia, PDB
riil per kapita Indonesia tumbuh rata-rata 5.4 persen per tahun antara 2000 dan
2014. Terdapat 45 juta orang (18 persen orang terkaya dari seluruh masyarakat
Indonesia) yang mapan secara ekonomi dan menikmati kualitas hidup lebih tinggi.
Namun kelompok penduduk Indonesia yang mapan secara ekonomi tersebut
meninggalkan 205 juta penduduk sisanya yang hidup dengan kualitas hidup lebih
rendah (World Bank 2015). Ketimpangan semakin meningkat karena sebagian
besar pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata dan hanya dinikmati
kelompok kelas menengah atas. Berdasarkan sebagian besar pengukuran,
ketimpangan di Indonesia telah mencapai tingkat yang tinggi. Pada tahun 2002,
10 persen warga terkaya Indonesia mengonsumsi sama banyaknya dengan total
konsumsi 42 persen warga termiskin, sedangkan pada tahun 2014, 10 persen
warga terkaya Indonesia mengonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen warga
termiskin Indonesia. Temuan ini tercermin pada Gambar 1, dimana Indeks Gini
yang menggambarkan ketimpangan di Indonesia sudah mancapai angka 0.41.
Artinya angka ketimpangan sudah masuk kategori sangat timpang. Ketimpangan
ini berpengaruh pada perlambatan laju pengentasan kemiskinan, dengan jumlah
orang miskin turun hanya dua persen per tahun sejak 2002, dan nyaris tidak ada
penurunan pada jumlah orang yang rentan kemiskinan.

3

Persen

Kemiskinan dan Indeks Gini Indonesia
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

32

32

33

32

35

36

17.8

15.4

33

41

41

41

24,20

19.1 18.2

11.66

16.7

11.47

13.13
Tahun

1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2013 2014
Kemiskinan

Indeks Gini

Sumber : BPS (diolah)
Gambar 1. Persentase penduduk miskin dan Ketimpangan Indonesia Periode
tahun 1998 – 2014
Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa perkembangan angka
kemiskinan Indonesia sangat berfluktuatif, meskipun ada kecenderungan
penurunan tetapi angkanya masih terbilang cukup tinggi dan trend penurunnya
menunjukkan perlambatan. Fluktuasi angka kemiskinan ditunjukkan pada tahun
2006, dimana angka kemskinan kembali naik menjadi 17.8 persen atau sebanyak
39.3 juta penduduk miskin. Angka ini naik dari tahun 2004 sebesar 16.7 persen
atau sebanyak 36.15 juta penduduk miskin. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan
harga BBM di tahun 2005 yang berdampak kepada kenaikan barang-barang pokok
lain. Implikasinya adalah penurunan daya beli masyarakat yang diikuti kenaikan
jumlah penduduk miskin di Indonesia. Terkait dengan kenaikan jumlah penduduk
miskin dari tahun 2005 ke tahun 2006 ini juga dijelaskan berdasarkan laporan
Bank Dunia (2008) menunjukkan adanya bukti pemerintah Indonesia menghadapi
trade off, dimana adanya tekanan untuk larangan impor beras untuk mencegah
penurunan harga tingkat produsen yang berimbas kepada kerugian petani, tetapi
larangan impor justru menjadi penyebab tingginya harga pangan di dalam negeri
dikarenakan kelangkaan stok pangan yang berimplikasi langsung kepada
masyarakat sebagai net consumer beras, sehingga berdampak terhadap
peningkatan angka kemiskinan dari 16.7 persen pada tahun 2005 menjadi 17.8
persen pada 2006.
Pengalaman empiris ini menunjukkan penduduk Indonesia masih banyak
yang rentan jatuh miskin apabila ada goncangan ekonomi yang berdampak kepada
penurunan daya beli. Riset yang dilakukan Bank Dunia (2015) menghasilkan
temuan yang penting terkait dengan kerentanan penduduk Indonesia terjerembab
dalam kemiskinan. Banyak penduduk Indonesia yang berhasil keluar dari
kemiskinan, tetapi masih bertahan hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Pada
tahun 2014, sekitar 28 juta penduduk termasuk kategori orang miskin dengan
berada di bawah garis kemiskinan yaitu dengan pendapatan sekitar US$ 1.30
perhari, akan tetapi 68 juta penduduk hidup sedikit di atas angka tersebut. Mereka

4

termasuk penduduk yang rentan miskin, penduduk rentan berada dibawah 1.5 kali
garis kemiskinan yaitu dengan pendapatan sekitar US$ 1.90 perhari. Guncangan
kecil bisa dengan mudah membuat mereka jatuh miskin. Masih banyak penduduk
yang keluar-masuk dari perangkap kemiskinan. Berdasarkan data tahun 2010,
hampir setengah penduduk Indonesia termasuk kategori miskin, meskipun tidak
termasuk penduduk miskin pada tahun sebelumnya. Bahkan orang yang tidak
rentan pun dapat terkena dampak buruk guncangan seperti penyakit atau
pemutusan hubungan kerja jika mereka tidak punya akses pada asuransi atau
mekanisme penanggulangan lainnya.
Guncangan dapat memengaruhi aset mendasar yang menghasilkan
pendapatan. Sebagai contoh adalah guncangan karena bencana alam yang dapat
menimbulkan kerugian ternak atau kerusakan peralatan yang dipakai untuk
mencari nafkah. Guncangan juga bisa mengurangi pendapatan yang berasal dari
aset tersebut, contohnya kekeringan dapat mengurangi hasil panen petani.
Kemudian guncangan juga dapat mengurangi manfaat pendapatan jika terjadi
perubahan harga pangan melalui penurunan daya beli masyarakat. Guncangan
juga dapat mengurangi pendapatan masa depan dengan menguras aset masa kini,
contohnya menjual mesin jahit untuk membayar biaya rumah sakit atau mencegah
pengumpulan aset untuk masa depan, contohnya tidak mendapatkan penghasilan
karena kehilangan pekerjaan.
Khusus terkait masalah pangan (beras) yang tidak bisa ditunda dalam
konsumsinya perlu dijamin baik ketersediaan maupun kemampuan untuk
mengaksesnya agar masyarakat miskin dan rentan tidak terjebak dalam
kemiskinan ketika terjadi guncangan. Seperempat penduduk Indonesia mengalami
kemiskinan setidaknya satu kali dalam tiga tahun akibat guncangan tersebut.
Temuan Bank Dunia tersebut tentu menjadi fakta yang memprihatikan karena
masih banyak penduduk Indonesia yang tidak miskin menurut data BPS tetapi
sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi goncangan, karena hidup sedikit diatas
garis kemisknan.
Temuan ini didukung Booth (2000) dalam penelitiannya yang mengkaji
kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada era kepemimpinan Presiden
Soeharto dalam kurun waktu tahun 1966 sampai dengan tahun 1998. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa nilai head count ratio Indonesia masih di atas
Malaysia dan Thailand, namun di bawah Philippines pada akhir tahun 1980-an.
Pernyataan Booth memperkuat alasan bahwa pembangunan pertanian dan
perdesaan menjadi hal penting untuk mengurangi masalah kemiskinan di
Indonesia dengan catatan program-progran pembangunan lebih diarahkan tidak
hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga kebutuhan spesifik bagi
penduduk miskin. Kemudian Timmer (1997) juga mengemukakan bahwa dampak
pertumbuhan sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan tergantung pada
distribusi pendapatan. Disisi lain, Anriquez dan Stamoulis (2007) menilai bahwa
sektor pertanian merupakan komponen penting dari ekonomi pedesaan yang
berkembang di negara-negara berkembang.
Wacana transformasi struktural yang memiliki ide untuk memindahkan
tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri nyatanya belum berhasil,
dengan masih banyaknya kemiskinan di sektor pertanian. Kegagalan ini
dibuktikan dengan penurunan share dari sektor pertanian terhadap PDB tidak
diikuti oleh penurunan yang berarti dari tenaga kerja yang bekerja di sektor

5

pertanian. Dimana menurut laporan Kementerian Pertanian (2015) kontribusi
Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dalam arti sempit (di luar perikanan dan
kehutanan) pada tahun 2014 sebesar 879.23 triliun rupiah atau 10.26 persen dari
PDB nasional yang besarnya 8568.12 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan
tahun 2010). Tidak berimbang dengan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian
pada tahun 2014 sebanyak 35.76 juta tenaga kerja atau 30.27 persen. Tidak
seimbangnya antara kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan kontribusinya
terhadap tenaga kerja menimbulkan masalah kemisikinan.
Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan masalah kerawanan pangan
yang masih melanda beberapa wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah
yang jauh dari pusat perkotaan. Kerawanan pangan ditinjau dalam dua dimensi:
(a) kedalaman dengan kategori ringan, sedang, dan berat; serta (b) jangka
waktu/periode kejadian dengan katagori kronis untuk jangka panjang dan transien
untuk jangka pendek/fluktuasi. Ditinjau dari tingkat kedalaman, kerawanan
pangan ditunjukkan dengan indikator kecukupan konsumsi kalori perkapita
perhari dengan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebesar 2000 kkal/hari. Jika
konsumsi perkapita adalah kurang atau lebih kecil dari 70 persen dari AKG
dikategorikan sangat rawan pangan, sekitar 70 hingga 90 persen dari AKG
dikategorikan rawan pangan, dan lebih dari 90 persen dari AKG termasuk
katagori tahan pangan.
Tabel 1. Klasifikasi Penduduk Rawan Pangan Indonesia Tahun 2010 – 2013
Rincian
1.Jumlah Penduduk Sangat Rawana):
a. Jumlah (juta Jiwa)
b. Persentase
2. Jumlah Penduduk Rawanb) :
a. Jumlah (juta Jiwa)
b. Persentase
3. Jumlah Penduduk Tahan Panganc) :
a. Jumlah (juta Jiwa)
b. Persentase

2010

2011

2012

2013

Pertumbuhan
(persen)
/Tahun

35.71
15.34

42.08
17.41

47.65
19.46

47.02
19.04

5.96
4.81

72.44
31.12

78.49
32.48

80.58
32.91

83.65
33.87

3.23
2.12

124.61 121.01 116.61 116.31
53.53 50.10 47.63 47.09

-1.95
-3.03

Sumber: BPS (2013), diolah BKP Kementerian Pertanian.
Catatan: (a) Konsumsi kalori perkapita perhari kurang < 70persen dari AKG; (b)
Konsumsi kalori perkapita perhari 70-90persen dari AKG; dan (c) Kosumsi kalori
perkapita perhari > 90persen dari AKG.

Berdasarkan Tabel 1, jumlah penduduk rawan pangan di Indonesia dalam
kategori sangat rawan angkanya masih cukup tinggi, jumlah tertinggi terjadi pada
tahun 2012, dimana sebanyak 47.65 juta jiwa atau 19.46 persen penduduk
Indonesia masuk kategori sangat rawan pangan. Tren rawan pangan Indonesia
dalam kategori sangat rawan mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Bahkan
pertumbuhannya 5.96 Persen pertahun. Sedangkan tren penduduk rawan pangan
dalam kategori rawan angkanya sangat tinggi sekali. Trennya terus mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2013 jumlah penduduk rawan pangan Indonesia
dalam kategori rawan sebanyak 83.65 juta jiwa atau sebanyak 33.87 persen.

6

Angka rawan tersebut sangat tinggi, dimana pertumbuhan rawan pangan
pertahunnya sebesar 3.23 persen. Peningkatan yang terjadi pada kategori
penduduk rawan dan sangat rawan pangan justru berbanding terbalik dengan
pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dalam kategori tahan pangan. Trennya
justru terus mengalami penurunan, dimana pertumbuhannya -1.95 persen
pertahun. Pada tahun 2013 jumlah penduduk tahan pangan Indonesia sebanyak
116.31 juta jiwa atau 47.09 persen penduduk Indonesia tahan pangan.
Kondisi yang memprihatinkan, berdasarkan Tabel 1 penduduk Indonesia
yang tahan pangan hanya kurang dari separuh penduduk. Sedangkan lebih dari 50
persen penduduk Indonesia hidup dalam kondisi rawan dan sangat rawan pangan.
Temuan ini sangat penting, karena menjelaskan keterkaitan yang erat antara
kondisi ketersediaan dan kemampuan akses pangan (beras) dalam hal kecukupan
gizi dan dampaknya terhadap kemiskinan. Ketika harga pangan (beras) naik
sedikit saja, maka jumlah penduduk yang rawan pangan pasti semakin banyak,
artinya jumlah penduduk miskin semakin bertambah. Daerah yang harus
mendapat perhatian penting terutama pada berbagai daerah yang terisolir dan pada
waktu-waktu tertentu terkena musim kering, musim ombak besar, dan sebagainya.
Penduduk di daerah rawan bencana tersebut, perlu ditangani secara komprehensif
sebagai upaya antisipasi timbulnya kasus kerawanan pangan dan mengantisipasi
bertambahnya penduduk miskin.
Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah
masalah produksi dan kestabilan harga. Masalah produksi pangan/pertanian yang
terjadi adalah belum dapat terpenuhinya kebutuhan pangan (beras) dalam negeri
sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah
baik di pasar lokal maupun internasional dan masalah tingkat kesejahteraan
petani yang jauh dari memadai. Masalah harga di sektor pertanian dan pangan
adalah seringnya harga pangan yang tidak stabil. Pada saat panen raya harga beras
turun drastis sehingga petani mengalami kerugian dan dikala paceklik atau terjadi
bencana, harga beras sering kali melambung tinggi. Tingginya harga beras sangat
merugikan masyarakat, baik masyarakat yang berprofesi sebagai petani maupun
non-petani, karena hampir intake kalorinya berasal dari beras. Kesetabilan harga
bisa dicapai dengan cara menjami ketersediaan beras, tetapi nyatanya produksi
beras nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Padahal selama ini kebijakan pemerintah dibidang pertanian difokuskan kepada
pencapaian swasembada pangan dan stabilitas harga (Godoy dan Dewbre 2010),
sehingga sangat penting kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada
peningkatan produksi beras.
Beras merupakan makanan utama rakyat Indonesia. Sekitar 95 persen dari
230 juta rakyat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Beras
menjadi sumber utama kalori sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada
konsumsi kalori total adalah 54.3 persen, sehingga setengah intake kalori
bersumber dari beras. Tidak mengherankan bila permintaan beras di Indonesia
sangat besar, bahkan konsumsi beras Indonesia adalah konsumsi terbesar di dunia
(Surono 2007).
Menurut Kasryno et al (2001) dalam penelitiannya
memperkirakan bahwa laju permintaan beras di Indonesia sebesar 2.3
persen/tahun.
Begitu krusialnya masalah kerawanan pangan (beras) sehingga ketahanan
pangan bukan sekedar komoditas ekonomi, tetapi sudah menjadi komoditas

7

politik. Dikatakan bagi bangsa Indonesia kornoditas beras tidak hanya komoditas
ekonomi, melainkan juga komoditas politik dimana kelangkaan beras akan dapat
berakibat pada terjadinya political unrest seperti yang terjadi pada masa
menjelang keruntuhan rejim Orde Lama (Manning 1987). Kerawanan pangan bisa
menimbulkan gejolak ekonomi kemudian disusul terjadinya gejolak politik.
Fenomena ini menandakan begitu pentingnya beras bagi keberlanjutan kehidupan
rakyat Indonesia. Relatif besarnya porsi belanja beras dalam pendapatan
penduduk miskin, menjadikan perubahan harga beras akan sangat berpengaruh
terhadap jumlah penduduk miskin. Setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen
akan menyebabkan pertambahan penduduk miskin sebesar satu persen (Malian et
al 2004).
Masalah Penelitian
Upaya pengurangan kemiskinan dalam rangka peningkatan kesejahteraan
bangsa secara berkeadilan dapat tercapai apabila strategi penanggulangan dan
pengentasan kemiskinan dilakukan secara simultan melalui beberapa indikator
pembangunan yang relevan seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat yang
dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan, sehingga akan mampu
mendorong penurunan tingkat pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Kebijakan pertanian di Indonesia untuk mengatasi kemiskinan mengalami banyak
modifikasi. Baik kebijakan yang bertujuan untuk melindungi produsen maupun
konsumen.
Secara historis, produksi padi dari tahun ketahun terus meningkat. Pada
tahun 2009 produksi padi mengalami peningkatan tertinggi, persentase kenaikan
sebesar 6.75 persen atau sebesar 4072965 ton, hanya tahun 2011 produksi
mengalami penurunan. Artinya tren produksi padi terus meningkat. Meski
produksi terus meningkat, faktanya produksi beras dalam negeri belum mampu
mencukupi kebutuhan beras untuk konsumsi dalam negeri yang meliputi
konsumsi rumah tangga, industri dan restoran/catering. Tingginya permintaan
beras dalam negeri yang lebih besar daripada penawaran beras dalam negeri
dibuktikan dengan kebijakan impor beras yang masih dilakukan pemerintah
Indonesia. Fakta ini diperparah dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang
terus bartambah, sehingga kebutuhan memenuhi permintaan beras dalam negeri
masih sangat tinggi.

8

80000000

70846465

4 751 398.00
66469394

70000000
60000000

54454937

51489694

50000000

3500000

60325925

54088468

51898852

4500000
4000000

69056126

3000000

2 750 476.20

40000000

5000000

2500000
2000000

30000000

1 810 372.30

1 428 505.70

20000000

289 689.40

474806

10000000

189 616.60

644 733.00

0
1998

844 163.70

1500000
1000000
500000

687 581.50

0
2000

2002

2004

2006

Produksi Padi

2008

2010

2012

2014

Impor Beras

Sumber: BPS (2015)
Gambar 2 Dinamika Produksi Padi dan Impor beras Indonesia 1998-2014
(ton)
Berdasarkan Gambar 2, dalam kurun waktu tahun 1998 – 2014 Indonesia
terus melakukan kebijakan impor beras. Impor beras tertinggi terjadi tahun 2000
yaitu sebanyak 4751398 ton, kebijakan impor tertinggi kedua terjadi tahun 2011
yaitu sebanyak 2750476 ton. Kebijakan impor yang rutin dilakukan pemerintah
perlu dianalisis lebih jauh, apakah kebijakan impor yang terus dilakukan
pemerintah Indonesia sudah tepat atau tidak. Apakah kebijakan ini
menguntungkan masyarakat dengan berkurangnya kemiskinan atau justru
sebaliknya.
Disaat yang sama dinamika kebijakan perberasan dari segi produsen yang
diambil pemerintah untuk meningkatkan produksi juga terus dilakukan, misalnya
dengan menerapkan kebijakan subsidi input, kebijakan harga dasar pembelian
pemerintah, kredit usahatani, peningkatan luas areal irigasi hingga tarif impor.
Kebijakan perberasan dari sisi konsumen juga dilakukan dengan memberikan
kompensasi kepada masyarakat miskin dengan program beras miskin (Raskin).
Penting untuk diketahui, bagaimana implikasi dari kebijakan-kebijakan
perberasan tersebut, apakah cukup untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani
dan mengurangi kemiskinan.
Fenomena ini penting untuk dijadikan prioritas untuk diteliti lebih lanjut
terkait dengan dinamika dari kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah
serta bagaimana responnya terhadap kondisi permintaan dan penawaran beras dan
dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Dampak langsung dari beragam
kebijakan perberasan tersebut adalah terhadap kuantitas dan harga beras.
Pengeluaran yang cukup besar untuk membeli beras menyebabkan perubahan
harga beras dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Pada saat berbagai harga
pangan non-beras meningkat, maka dampaknya terhadap konsumsi beras relatif
sangat kecil. Sebaliknya, apabila harga beras meningkat, maka pengaruhnya
terhadap konsumsi berbagai pangan non-beras cukup besar. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 2. Posisi penting beras dalam porsi makanan penduduk menjadikan

9

kebijakan stabilisasi harga beras dan kebijakan untuk menjamin akses penduduk
terhadap beras tetap menjadi perhatian utama (Harianto 2013).
Tabel 2. Nilai Elastisitas Silang Perubahan Harga Beras dan Harga Nonberas
Komoditas
1.
2.
3.
4.
5.
6.

(%∆QBeras)/
(%∆PNon-beras)
-0.017
-0.017
-0.010
0.005
-0.063

(%∆QNon-beras)/
(%∆PBeras)
-0.173
-0.265
-0.211
0.330
-0.267

Daging
Ikan
Telur
Susu
Sayuran
Buah-0.065
-0.673
buahan
Sumber : Handewi (2001)
Berdasarkan uraian masalah penelitian diatas, maka komoditas beras adalah
masalah krusial bagi masyarakat miskin, sehingga sangat penting untuk
mengetahui kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Informasi yang valid tentang perkembangan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran diperlukan untuk
menetukan formulasi kebijakan perberasan yang tepat untuk mengurangi
kemiskinan. Sehingga perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam tentang:
1. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?
2. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di
Indonesia?
3. Bagaimana dampak kebijakan perberasan dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia.
2. Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan
beras di Indonesia.
3. Menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap pengentasan kemiskinan
Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi pemerintah dalam mengembangkan
masyarakat/petani.
2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan
di Indonesia
3. Memberikan informasi/masukan bagi pemerintah dalam pengurangan
kemiskinan melalui kebijakan perberasan yang tepat.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam Penelitian ini, kemiskinan yang diteliti adalah kemiskinan di
Indonesia secara agregat. Penelitian difokuskan pada keterkaitan antara sisi
dinamika kebijakan perberasan dalam upaya mengatasi kemiskinan meliputi

10

kebijakan harga, kebijakan tarif impor, kebijakan kredit usahatani dan kebijakan
perluasan areal irigasi. Kredit Usaha tani yang dianalisis dalam penelitian
merupakan angka kredit untuk pertanian secara agregat. Tarif impor yang
dimaksud dalam penelitan merupakan tarif impor beras Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana
periode pengamatan adalah periode 1981 - 2014. Penelitian tidak membahas
program pengentasan kemiskinan secara terperinci, misal program subsidi pupuk,
Raskin, PNPM, PUAP, dll. Penelitian tidak melakukan pembedaan dalam variabel
kemiskinan antara wilayah kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Konsep Kemiskinan
Definisi dan pengertian kemiskinan yang lebih lengkap dalam arti sesuai
dengan kenyataan dan secara konseptual secara jelas dikemukakan oleh
Chambers. Menurut Chambers (1996) inti dari masalah kemiskinan sebenarnya
terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan.
Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu
sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan,
dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan
yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya
dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dari kelima dimensi
tersebut, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama.
Kerentanan, dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk
menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana
alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu.
Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau roda penggerak
kemiskinan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan
asset produksinya sehingga mereka menjadi makin rentan dan tidak berdaya.
Definisi kemiskinan juga bisa dilihat dari pendekatan berbasis hak yang
mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Kemiskinan tidak lagi dipahamianya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi
juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat. Hal ini dikarenakan Kemiskinan merupakan suatu
konsep yang cair, dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan
bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna
absolut, sedangkan disebut multidimensional selain kemiskinan itu dapat dilihat
dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik (Akhmadi 2008).
Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Dalam penelitian Sri (2010), Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu:
1. Kemiskinan absolut, Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat
pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau
kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup
secara layak. Berdasarkan konsep ini, kemiskinan diukur dengan
membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan
yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan,
pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
2. Kemiskinan relatif, Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial,
karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat
sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat
penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar

12

pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga
kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi
pendapatan. Pada penelitian ini diputuskan untuk melihat kemiskinan
sebagai kemiskinan absolut yang diukur dengan kebutuhan pokok atau
kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup
secara layak. Pada penelitian ini, diputuskan bahwa kemiskinan yang
dimaksud adalah kemiskinan absolut.
Pengentasan kemiskinan dimaknai sebagai sebuah pemunuhan hak-hak
dasar yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat
menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan
perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain
meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa
aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak
dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga
tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai
suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak.
Kemiskinan dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin.
Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani
kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan
martabatnya sebagai manusia. Bahkan konteks di Indonesia, anak-anak miskin
seringkali tidak memiliki kesempatan awal yang adil dalam hidup, sehingga
mengurangi kemampuan mereka untuk sukses di masa depan. Kemiskinan dan
ketimpangan disebabkan faktor-faktor di luar kendali individu. Anak-anak yang
lahir dari keluarga miskin sulit untuk melakukan mobilitas vertikal dalam
merubah nasib dimasa depan. Mereka sulit mengakses pendidikan tinggi terlebih
lagi pendidikan yang berkualitas agar memiliki keterampilan untuk mendapatkan
pekerjaan lebih baik dimasa mendatang. Di Indonesia pasar tenaga kerja terbagi
menjadi pekerja berketerampilan tinggi yang upahnya semakin meningkat, dan
pekerja yang tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan
tersebut sehingga terjebak dalam pekerjaan berproduktivitas rendah, informal, dan
berupah rendah. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap
kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar
masyarakat miskin.
Sedangkan menurut (BPS 2015), penduduk miskin yaitu penduduk yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan.
Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Garis
kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi kebutuhan
terdiri atas 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan
susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll). Garis
kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan