DAMPAK KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENDIDIK (1)

DAMPAK KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PADA PEKERJA ANAK DI INDONESIA
Oleh :
Nina Triningsih dan Masaru Ichihashi
Dilaporkan Oleh :
Angga Debby Frayudha, M. Pd

A.

PENDAHULUAN
Berbicara mengenai kemiskinan tidak akan ada habisnya dari dulu sampai

sekarang dan menjadi masalah utama di dunia khususnya di negara berkembang
seperti indonesia. Kemiskinan tidak bisa lagi hanya dipahami sebagai sekedar
kondisi ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan material dasar.
Pada saat ini dapat dikatakan semua pihak yang berkepentingan dengan persoalan
kemiskinan, baik pemerintah, LSM, dan akademisi telah sepakat bahwa kemiskinan
adalah persoalan yang bersifat multidimensi. Di dalamnya antara lain mencakup
dimensi rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa
depan,


kerentanan

(vulnerability),

ketidakberdayaan,

ketidakmampuan

menyalurkan aspirasi, dan ketersisihan dalam peranan sosial. Oleh karena itu,
merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak termaafkan jika orang-orang yang
dikategorikan miskin ini, derajad kemanusiaannya diredusir dan tidak mendapatkan
hak yang sama dalam hal pendidikan dan lain-lain. Betapapun kondisi sosial
ekonominya, hal tersebut tidak dapat merubah kenyataan bahwa mereka adalah juga
manusia yang memiliki harkat dan martabat.
Dengan

memahami

kemiskinan


sebagai

persoalan

yang

bersifat

multidimensi, maka implikasinya adalah tidak ada satupun cara atau kebijakan
tunggal yang dapat menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain pendekatan
kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bisa parsial, melainkan harus pula

Email : mpyenk@gmail.com

bersifat multidimensi dan komprehensif. Dalam konteks ini, paparan mengenai
kebijakan anggaran yang memihak pada orang miskin (pro-poor budget) dan
pekerja anak harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari sekian banyak
kebijakan lain yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan. Sehingga perlu
diberi kebijakan khusus kepada keluarga miskin dan pekerja anak. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka peran pemerintah sangatlah penting guna pembuat dan

pelaksana program tersebut tercapai, serta peran masyarakat juga penting sebagai
pengawas kebijakan yang akan dilaksanakan pemerintah

B.

ISI

B.1. Program pelaksanaan otonomi daerah dan penanggulangan kemiskinan.
B.2. Kebijakan yang berpihak kepada orang miskin.
B.3. Kebijakan mengembangkan relevansi antara pendidikan dan dunia kerja
dalam era globalisasi.
B.4. Kebijakan publik dan kemiskinan
B.5. Memperkuat kemitraan internasional dan advokaso global mengenai
pekerja anak dan pendidikan.
B.6. Memperkuat program pelatihan ketrampilan.
B.7. Menggunakan data mengenai pekerja anak untuk menargetkan pekerja
anak dalam daftar rencana pendidikan.
B.8. Pemberian dana BOS bagi pekerja anak atau bagi keluarga miskin.
B.9. Pemberian bantuan siswa miskin


Email : mpyenk@gmail.com

C.

PEMBAHASAN

C.1. Program pelaksanaan otonomi daerah dan penanggulangan
kemiskinan
Sejak Januari 2001, melalui pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang besar
untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan setempat (Sulton Mawardi,
2003; Sudarno Sumarto 2003). Dalam kewenangan otonom yang dimiliki
daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara
pro-aktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik
langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya
merupakan konsekwensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah,
yakni menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien,
yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta
kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan

seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh
pemerintah pusat semata (Sulton Mawardi, 2003; Sudarno Sumarto 2003).
Dilihat dari sudut pandang tersebut, pelaksanaan otonomi daerah
mempunyai potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan
kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk
bersikap transparan dan akuntabel dalam menjalankan “good governance”.
Sekarang pemerintah daerah tidak lagi sebagai sekedar pelaksana operasional
kebijakan yang ditentukan oleh pusat (Sulton Mawardi, 2003; Sudarno
Sumarto 2003). Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan
mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat
membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan
penanggulangan kemiskinan adalah:
a. DAU diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant, sehingga
pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan

Email : mpyenk@gmail.com

dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk
kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, kini

daerah

dapat

bertindak

lebih

tanggap

dan

pro-aktif

dalam

penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari
pemerintah di atasnya (propinsi atau pusat). Hal ini penting dikemukakan
karena dalam formula pembagian DAU juga mencakup variabel jumlah
penduduk miskin. Ini berarti agenda penanggulangan kemiskinan

seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah
daerah. Salah satu contoh pemerintah daerah yang telah melaksanakan
kebijakan demikian adalah Pemerintah Kota Balikpapan. Dengan dana
APBD, Pemkot Balikpapan telah melakukan pendataan ulang jumlah
penduduk miskin menurut kriteria setempat. Berdasarkan data ini, mulai
TA 2002 program penanggulangan kemiskinan seperti pengobatan gratis,
pemberian beasiswa, dan sebagainya mulai dilaksanakan.

b. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat
diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan
biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif
maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah,
sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa
kabupaten/kota yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap
merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat,
transparan, dan murah.
c. Daerah yang kaya sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi
dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif
lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan
kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan milyaran rupiah

untuk dana pembangunan desa. Jika dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi
jumlah penduduk miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.

Email : mpyenk@gmail.com

C.2. Kebijakan yang berpihak kepada orang miskin
Seperti dikemukakan sebelumnya, kebijakan anggaran yang memihak
kepada orang miskin sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak
kebijakan yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan secara
komprehensif. Mengingat kebijakan propoor budget merupakan kebijakan
yang bersifat teknis operasional, maka supaya pemerintah (daerah) mau
menerapkan kebijakan demikian diperlukan adanya beberapa pra-syarat
kebijakan, antara lain (Sulton Mawardi, 2003; Sudarno Sumarto 2003) :
A. Kehendak Politik
Adanya komitmen kuat dan tekad keras pihak-pihak yang secara
langsung mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam
penanggulangan kemiskinan, adanya agenda pembangunan (daerah)
menempatkan upaya dan program penanggulangan kemiskinan pada
skala prioritas utama, serta kemauan untuk secara jujur dan terbuka
mengakui


kelemahan

dan

kegagalan

program

penanggulangan

kemiskinan di masa lalu, dan bertekad untuk memperbaikinya, baik pada
waktu sekarang maupun di masa mendatang.
B. Iklim yang mendukung
Ada kesadaran kolektif untuk menempatkan kemiskinan sebagai
musuh bersama yang harus diperangi, kemudian diikuti dengan langkahlangkah kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi untuk lebih
meningkatkan kepedulian, kepekaan, dan partisipasi masyarakat.
C. Tata pemerintahan yang baik (Good Governance)
Mengingat
penanggulangannya


kemiskinan
tidak

cukup

bersifat
hanya

multidimensi,
dengan

maka

mengandalkan

pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan pula kebijakan dan
program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata
lain diperlukan adanya tata pemerintahan yang baik (good governance)
dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan,


Email : mpyenk@gmail.com

legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya. Secara lebih
spesifik, hal ini antara lain ditandai dengan adanya keterbukaan,
pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi
yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, dan koordinasi lintas lembaga
dan lintas pelaku yang baik.
Turkewitz (2001) melalui studi empirisnya di beberapa negara
menyimpulkan adanya hubungan yang kuat antara karakter suatu regim
pemerintahan dengan capaian berbagai indikator pembangunan.
Kesimpulan dari studi ini antara lain adalah:
a. Makin efektif suatu pemerintahan, makin rendah tingkat kematian bayi.
b. Makin rendah tingkat korupsi di birokrasi pemerintahan, makin tinggi
tingkat melek huruf orang dewasa.
c. Makin baik kondisi penegakan hukum suatu negara, makin rendah
tingkat kematian bayi.
d. Makin sedikit regulasi yang diciptakan pemerintah, makin tinggi
tingkat pendapatan per kapita.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka jelas bahwa untuk
mencapai terciptanya kebijakan pro-poor budget diperlukan adanya
kebijakan awal seperti pro-poor policy (kebijakan umum yang memihak
pada orang miskin), pro-poor institutions (adanya institusi-institusi –
khususnya institusi pemerintah – yang memihak orang miskin), dan yang
lebih penting lagi adalah adanya pro-poor government (pemerintahan
yang memihak orang miskin). Tanpa adanya pra-syarat kebijakan seperti
ini, sulit mengharapkan pemerintah (daerah) untuk mempunyai kebijakan
anggaran yang bersifat pro-poor.
C.3. Kebijakan mengembangkan relevansi antara pendidikan dan dunia
kerja dalam era globalisasi.
Relevansi pendidikan (efisiensi eksternal) suatu sistem pendidikan
antara lain diukur dari keberhasilan dalam memasok tenaga-tenaga terampil
dalam jumlah yang memadai bagi sektor-sektor pembangunan (Tilaar, 2004:

Email : mpyenk@gmail.com

152). Akan tetapi sangat kasat mata bahwa meningkatnya angka
pengangguran di Indonesia karena kualitas sumber daya manusia Indonesia
sebagai hasil dari sistem pendidikan Indonesia selama ini sangat rendah.
Sistem pendidikan di Indonesia selama ini memiliki kecenderungan
menghantar peserta didik untuk memiliki banyak pengetahuan tetapi kurang
terampil dalam dunia kerja.
Ada dua hal penting yang dapat dikemukan di sini soal relevansi
pendidikan dan dunia kerja. Pertama, soal ketrampilan tenaga kerja Indonesia.
Banyak tenaga kerja Indonesia di kirim ke luar negeri akan tetapi bukan
tenaga ahli (spesialis), tetapi lebih pada tenaga kerja dengan pengetahuan dan
keterampilan terbatas. Bila dibandingkan dengan Filipina, tenaga kerja
mereka yang di kirim ke luar negeri adalah tenaga kerja terdidik dan terlatih.
Sehingga tidak heran devisa terbesar negara Filipina adalah dari sektor tenaga
kerja yang di kirim ke luar negeri. Kedua, soal relevansi lulusan pendidikan
dengan kekuatan sumber-daya alam Indoenesia. Sumber daya alam Indonesia
yang terbesar adalah dari sektor pertanian dan perikanan (laut dan darat).
Akan tetapi sistem pendidikan Indonesia saat ini secara umum tidak
memberikan perhatian terhadap kemampuan dan keterampilan (kompetensi)
untuk mengolah sumber daya alam. Sekolah-sekolah kejuruan dan teknik
sangat kurang dibandingkan dengan sekolah umum. Di Perguruan Tinggi,
minat mahasiswa pada bidang pengelolaan sumber daya alam seperti
pertanian, perikanan, perkebunan dan kelautan sangat jauh dibandingkan
dengan minat mahasiswa yang masuk pada bidang ekonomi dan hukum.
Kebijakan yang menutup sekolah-sekolah menengah kejuruan menjadi
sekolah umum pada tingkat SMP sampai SMA barangkali perlu ditinjau
kembali. Dalam konteks ini mestinya perlu dikembangkan dan diperbanyak
sekolah-sekolah kejuruan dan teknik perikanan, pertanian, perkebunan dan
kelautan sampai di perguruan tinggi.

Email : mpyenk@gmail.com

C.4. Kebijakan Publik dan kemiskinan
(Lembaga Penelitian SMERU, 2003) Tujuan akhir kebijakan dan
strategi penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan masyarakat dari
kemiskinan dan mengangkat harkat dan martabat mereka agar menjadi
warganegara dengan seluruh hak dan kewajibannya. Untuk itu salah satu
strategi mendasar yang patut ditempuh adalah memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi orang miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam
proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menciptakan suatu kondisi
pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat,
termasuk penduduk miskin (pro-poor growth). Oleh karenanya kebijakan dan
program pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah
seharusnya dititik-beratkan pada sektor ekonomi riil yang secara langsung
maupun tidak langsung menyentuh kehidupan sebagian besar orang miskin,
seperti pertanian, perikanan, usaha kecil menengah, dan sektor informal.
Landasan paradigma kebijakan pembangunan yang selama ini lebih banyak
menciptakan konglomerasi, perlu dirubah menjadi paradigma kebijakan yang
lebih memihak kepada kelompok masyarakat “pinggiran”. Pemberdayaan
perekonomian rakyat, pencabutan berbagai peraturan dan kebijakan
pemerintah (daerah) yang mempersempit akses ekonomi masyarakat miskin,
penghentian pungutan-pungutan terhadap petani, nelayan, peternak dan
sebagainya adalah beberapa contoh kebijakan yang berdampak positif
terhadap masyarakat miskin. Ilustrasi empiris mengenai aspek ini disajikan
pada Kotak 1. Selain itu, pemberian prioritas tinggi bagi pembangunan sarana
sosial dan fisik yang penting bagi masyarakat miskin seperti jalan desa,
irigasi, sekolah, air bersih, sanitasi, pemukiman, puskesmas, merupakan
katalisator untuk mengangkat tingkat kesejahteraan mereka. Sekalipun
demikian, kebijakan-kebijakan sektoral maupun lintas sektoral seperti ini
tentunya menjadi kurang efektif dan efisien jika tidak dilandasi oleh
kebijakan makro ekonomi yang mampu menciptakan perekonomian yang
stabil, sehingga laju inflasi rendah, dan iklim usaha menjadi semakin
kondusif. Beberapa penanggulangan kemiskinan diantaranya :

Email : mpyenk@gmail.com

a.

Deregulasi perdagangan komoditi pertanian
Pajak dan retribusi daerah perlu dimasukkan sebagai elemen kebijakan
pro-poor budget karena secara empiris hal ini telah terbukti penting.
Sebelum era deregulasi, khususnya deregulasi melalui UU No. 18, 1997
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan beberapa butir kesepakatan
dalam LoI (1998), sektor ekonomi di perdesaan mengalami distorsi yang
cukup besar akibat berbagai regulasi – baik regulasi pungutan maupun
non pungutan – yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Mengingat sektor adalah ladang penghidupan bagi
sebagian besar penduduk miskin, maka dampak distorsi tersebut secara
langsung mempengaruhi pendapatan mereka. Jika paket kebijakan
tersebut dilaksanakan, maka peluang bagi terciptanya kondisi pro-poor
growth menjadi bertambah besar. Tetapi sayangnya, hingga saat ini
pemerintah kurang menerapkan kebijakan yang mampu mendukung
terciptanya propoor growth tersebut.

b.

Memberikan upah minimum yang layak kepada pekerja
Tujuan kebijakan penetapan upah minimum adalah untuk meningkatkan
upah para pekerja yang masih berpendapatan di bawah upah minimum.
Namun beberapa kajian telah menunjukkan bahwa kebijakan upah
minimum tidak hanya berdampak pada upah pekerja dengan tingkat upah
di sekitar upah minimum, tetapi juga berdampak pada seluruh distribusi
upah. Sehubungan dengan itu, bukti empiris menunjukkan bahwa
kebijakan upah minimum pada akhirnya berdampak pada tingkat
penyerapan tenaga kerja. Tabel 1 menunjukkan elastisitas total
penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum bersifat negatif dengan
besaran –0,112. Ini berarti untuk setiap kenaikan 10% upah minimum riil
akan mengakibatkan pengurangan total penyerapan tenaga kerja di sektor
formal lebih dari 1%. Kecuali pekerja “white collar”, elastisitas
penyerapan segmen pekerja yang lain (perempuan, usia muda,
berpendidikan rendah, penuh waktu, paruh waktu, dan pekerja kasar)

Email : mpyenk@gmail.com

semuanya menunjukkan angka negatif. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa satu-satunya kelompok pekerja yang diuntungkan oleh kebijakan
upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja adalah pekerja kerah
putih, dengan elastisitas 1,0. Artinya, kenaikan 10% upah minimum riil
akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja kerah putih sebesar 10
persen pula.
c.

Memberikan subsidi minyak tanah atau gas kepada rumah tangga
Harga eceran minyak tanah sejak lama telah mendapat subsidi yang
tinggi dari pemerintah, dan jumlahnya terus meningkat sehingga makin
membebani APBN. Berbagai upaya untuk mengurangi subsidi tersebut
gagal karena adanya penolakan keras oleh elemen-elemen masyarakat.
Alasan yang selalu dikemukakan untuk mempertahankan subsidi adalah
karena konsumen terbesar minyak tanah adalah masyarakat miskin, dan
jika subsidi untuk minyak tanah dicabut maka masyarakat miskin yang
akan paling terkena dampaknya.
Data SUSENAS mencatat bahwa masing-masing kelompok sosioekonomi rumah tangga mempunyai pola konsumsi minyah tanah yang
berbeda. Dengan demikian jelas bahwa proporsi subsidi untuk minyak
tanah jauh lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya daripada oleh
rumah tangga miskin. Fakta ini berlawanan dengan pendapat umum
selama ini yang menyatakan sebagian besar minyak tanah dikonsumsi
oleh kelompok masyarakat miskin.

C.5. Memperkuat kemitraan internasional dan advokasi global
mengenai pekerja anak dan pendidikan
Kemitraan internasional seperti Gugus Tugas Global mengenai
Pekerja Anak dan Pendidikan untuk Semua dan Proyek Memahami Kerja
Anak menyediakan potensi untuk memperpanjang kerjasama antar badanbadan PBB dan lainnya yang menaruh perhatian pada upaya mengatasi
pekerja anak. Proyek ini akan menyediakan dukungan bagi penelitian dan

Email : mpyenk@gmail.com

advokasi dalam kerjasama bagi kemitraan-kemitraan semacam itu (Patrick
Quinn, 2010).
C.6. Memperkuat program pelatihan ketrampilan
Tanpa akses ke pendidikan dasar, anak-anak dapat menjadi rentan.
Namun, bagi anak-anak yang lebih tua dan putus sekolah, kembali ke sekolah
mungkin bukanlah sebuah pilihan. Anak-anak ini, remaja yang telah
mencapai usia minimum untuk bekerja, mungkin akan lebih tertarik pada
peluang untuk mengembangkan keterampilan kerja dan hidup melalui
pelatihan kejuruan. Berdasarkan pada pengalaman ILO dalam pelatihan
kejuruan,

proyek

akan

mengembangkan

materi-materi

baru

guna

menyediakan panduan bagi mereka yang peduli untuk mengembangkan
programprogram pengembangan keterampilan bagi anakanak putus sekolah
yang lebih tua.
C.7. Menggunakan data mengenai pekerja anak untuk menargetkan
pekerja anak dalam daftar rencana pendidikan
Sebuah pernyataan resmi baru-baru ini dari Kelompok Tingkat Tinggi
Pendidikan untuk Semua (Education for All High Level Ministerial Group)
baru-baru ini menyatakan bahwa “Pemerintah nasional harus mengidentifi
kasi, menargetkan dan merespons kebutuhan dan situasi dari mereka yang
terpinggirkan secara fl eksibel. Data yang baik mengenai kelompok penduduk
yang terpinggirkan dalam pengaturan pendidikan formal dan non-formal,
serta mereka yang putus sekolah, harus dikumpulkan, dianalisis dan
digunakan.” Dalam sepuluh tahun terakhir ini, basis pengetahuan mengenai
pekerja anak telah dikembangkan secara signifi kan. Namun, saat ini, hanya
sedikit hubungan antara analisis data mengenai pekerja anak yang
dikumpulkan melalui survei rumah tangga dan pertimbangan perencanaan
pendidikan. Kemungkinan untuk memanfaatkan data ini lebih baik guna
mendukung perencanaan pendidikan semakin diakui dan kerja ini akan
dikembangkan melalui proyek ini.

Email : mpyenk@gmail.com

C.8.

Pemberian dana BOS
(Kemendikbud, 2009) BOS adalah program pemerintah yang pada

dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi nonpersonalia
bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.
Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia
yang diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. (Petunjuk Teknis Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) Sekolah menengah Atas, 2013) Pemerintah
mencanangkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang
dimulai pada tahun 2013. Salah satu tujuan PMU adalah memberikan
kesempatan kepada seluruh masyarakat terutama yang tidak mampu secara
ekonomi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah. Untuk mencapai
tujuan PMU tersebut, pemerintah telah menyusun program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Pada tahun 2013, telah disiapkan anggaran
sebesar 2,3 triliun rupiah yang akan disalurkan kepada Sekolah Negeri dan
Swasta diseluruh Indonesia. Tujuan digulirkannya program BOS ini adalah
membantu sekolah memenuhi biaya operasional non personalia dan
membantu siswa miskin memenuhi kebutuhan biaya pendidikan dalam
kerangka program PMU. Dalam kasus kebijakan pendidikan ( Program BOS
). Ini berarti bahwa salah satu cara untuk mengurangi pekerja anak adalah
dengan memberikan beberapa subsidi (dana ) untuk pendidikan , dan dengan
demikian anak-anak akan lebih mungkin untuk pergi ke sekolah. Dengan kata
lain, itu akan meningkatkan partisipasi anak-anak untuk bersekolah.
Pendidikan juga merupakan investasi jangka panjang. Memberikan
pendidikan yang baik kepada anak-anak berarti mempersiapkan masa depan
yang lebih baik bagi mereka.

C.9.

Pemberian dana bantuan siswa miskin
(Panduan Pelaksanaan Bantuan Siswa Miskin APBNP, 2013) Untuk

mencegah dampak negatif krisis ekonomi bagi masyarakat miskin dalam

Email : mpyenk@gmail.com

mengakses pendidikan, sejak tahun 1998, melalui program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) Bidang Pendidikan, pemerintah memberikan Bantuan secara
besarbesaran kepada siswa dari keluarga miskin yaitu sebanyak 1,8 juta siswa
SD/MI, 1,65 juta siswa SMP/MTs, dan 500 ribu siswa jenjang sekolah
menengah. Sejak tahun 2001 jumlah penerima Bantuan terus ditingkatkan
dengan adanya tambahan sumber biaya dari Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM). Meskipun program JPS telah
berakhir pada tahun 2003, Pemerintah tetap melanjutkan pemberian Bantuan
tersebut melalui PKPS BBM yang kemudian diteruskan dengan program
Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Program JPS mendapat respon yang positif dari masyarakat dan secara
signifikan berhasil mencegah siswa dari putus sekolah. Namun demikian
program tersebut memiliki beberapa kelemahan terutama dalam penetapan
sasaran bantuan terutama di tingkat kabupaten/kota dan sekolah. Kelemahan
lain yaitu satuan biaya bantuan per siswa.Meskipun satuan biaya per siswa
per bulan terus mengalami peningkatan, satuan harga tersebut sudah tidak lagi
memadai karena daya beli masyarakat tidak lagi sebesar tahun-tahun
sebelumnya karena inflasi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Melalui pemberian bantuan siswa miskin (BSM) yang lebih luas
dengan jumlah yang lebih besar sebagai bantuan untuk memenuhi biaya
pribadi siswa melangsungkan pendidikannya sampai dengan selesai. Kondisi
ini sangat memungkinkan siswa dari keluarga miskin melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi sehingga dengan diberikannya
BSM kepada siswa dari keluarga miskin akan dapat meningkatkan angka
melanjutkan dari angka sebesar 97,93%. tersebut. Selain itu

Email : mpyenk@gmail.com

D.

PENUTUP

Kemiskinan merupakan salah satu tragedi terbesar kemanusiaan, dan sampai
sekarang tragedi ini belum bisa ditanggulangi secara tuntas, bahkan di beberapa
kawasan justru menunjukkan gejala yang makin parah. Oleh karena itu upaya
memerangi kemiskinan merupakan tugas mulia kemanusiaan. Selain karena alasan
kemanusiaan dan moral, memerangi kemiskinan merupakan upaya yang sangat
rasional ditinjau dari banyak kepentingan. Antara lain hal itu dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi (melalui peningkatan produktivitas), demokratisasi,
mengurangi konflik dalam masyarakat, dan sebagainya.
Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin atau pekerja anak untuk
mendapatkan pendidikan bermutu harus berangkat dari asumsi bahwa kebijakan
pendidikan akan efektif jika berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat terutama dari segi ekonomi akan menentukan daya
jangkau masyarakat dalam mengakses pelayanan pendidikan yang senantiasa
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Pelayanan pendidikan tidak bisa hanya membenahi internal system
pendidikan itu sendiri. Kebijakan yang harus dilakukan haruslah mencakup
kebijakan internal dan juga eksternal system pendidikan.Langkah-langkah
kebijakan eksternal yang perlu diambil pemerintah, meniscayakan pentingnya
pembenahan lingkungan struktural dengan mendorong penguatan daya beli
masyarakat. Diperlukan upaya yang efektif dalam pemberdayaan ekonomi.
Kebijakan yang berpola lampu pijar –nyala terang hanya di sekitar bola lampu
atauelitis yang berpihak pada modal besar yang terkonsentrasi di wilayah kegiatan
ekonomi tertentu, harus dihindarkan karena berpotensi pada penciptaan
ketimpangan dan kemiskinan struktural. Pemihakan kebijakan kepada masyarakat
miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu, memerlukan komitmen yang kuat
dalam berusaha mengurangi tingkat kesenjangan, baik kesenjangan antar penduduk
maupun antar wilayah.

Email : mpyenk@gmail.com

E.

DAFTAR PUSTAKA

BKPK, SMERU. 2001. “Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan”.
SMERU. 2002. Dampak Upah Minimum terhadap Kesempatan Kerja. SMERU
News No. 01, Januari-Maret.
Dwidjowidjoto, Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang. Jakarta : Elex Media Komputindo
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/eywx1363633283.pdf Diakses tanggal
20 september 2013 jam 8:03
http://www.unicef.org/indonesia/News33.pdf. kebijakan pend anak di ind
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/Artikel3BAHANPENGAYAAN
KEBIJAKANPENDIDIKANUNTUKORANGMISKINDIJAWATIMURx.pdf.
kebijakan untuk masy miskin di jatim, diakses tanggal 20 september 2013 jam 8:09
http://www.smeru.or.id/report/other/propoorbudget/propoorbudget.pdf. kebijakan
publik yg memihak orang miskin, diakses tanggal 20 september 2013 jam 8:16
http://124.81.93.52/pengumuman/JUKNIS%20BSM%20SMA%202013.pdf
petunjuk dana bos, diakses tanggal 20 september 2013 jam 8:20
http://www.tolantiga.co.id/v1/wp-content/uploads/2009/05/child-labourpolicy.pdf. pt tolan tiga, diakses tanggal 20 september 2013 jam 8:27
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/projectdocumentation/wcms_185140.pdf.

mengentaskan

pekerja anak melalui pend. Diakses tanggal 20 september 2013 jam 8:36

Email : mpyenk@gmail.com