Analisis Genetik Dan Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai Terhadap Infestasi Kutudaun Melon, Aphis Gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae).

ANALISIS GENETIK DAN PEWARISAN SIFAT
KETAHANAN CABAI TERHADAP INFESTASI KUTUDAUN
MELON, Aphis gossypii Glover (HEMIPTERA: APHIDIDAE)

ADY DARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Genetik dan
Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai terhadap Infestasi Kutudaun Melon, Aphis
gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Ady Daryanto
NIM A253130231

RINGKASAN
ADY DARYANTO. Analisis Genetik dan Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai
terhadap Infestasi Kutudaun Melon, Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae).
Dibimbing oleh MUHAMAD SYUKUR, AWANG MAHARIJAYA dan
PURNAMA HIDAYAT.
Faktor penyebab rendahnya produktivitas cabai di Indonesia diantaranya
adalah serangan hama penyakit, kondisi tanah marginal, perubahan iklim hingga
terbatasnya kemampuan petani dalam menyediakan benih bermutu dari varietas
unggul. Kutudaun melon, Aphis gossypii, adalah salah satu hama dominan yang
menyerang pertanaman cabai di wilayah Indonesia, khususnya wilayah dataran
rendah yang hangat dan lembab. Kutudaun dapat menjadi vektor dari beberapa jenis
virus. Pengendalian secara kimia menjadi pilihan utama para petani hingga saat ini
dalam mengendalikan hama kutudaun. Faktanya kini, kutudaun melon telah resisten
terhadap beberapa jenis insektisida kimiawi. Insektisida dilaporkan dapat pula
membunuh serangga-serangga berguna lainnya seperti, polinator, parasitoid, dan

predator. Studi mengenai pewarisan sifat ketahanan terhadap infestasi kutudaun
melon perlu dilakukan guna menggali informasi genetik, sehingga mampu
menyusun strategi yang efektif serta efisien dalam program pemuliaan tanaman
cabai sehingga mampu merakit varietas cabai unggul dan tahan hama kutudaun
melon. Varietas tahan yang dipadukan dengan sistem pengendalian hama terpadu
(Integrated pest management) dapat menjadi strategi terbaik dalam hal
pengendalian hama kutudaun.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian, yaitu (1) skrining ketahanan
cabai terhadap infestasi kutudaun melon, (2) studi pewarisan sifat ketahanan cabai
terhadap infestasi kutudaun melon, dan (3) analisis silang dialel dalam menentukan
parameter genetik ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon. Penelitian
bagian (1) menggunakan genotipe-genotipe cabai koleksi Departemen Agronomi
dan Hortikultura IPB. Pertama, koloni kutudaun diambil dari pertanaman cabai
kebun percobaan Leuwikopo IPB dan diperbanyak (rearing) dalam kotak serangga
di lab Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Identifikasi spesies kutudaun dilakukan di lab Taksonomi Departemen Proteksi
Tanaman IPB. Pengujian ketahanan dilakukan pada bibit cabai berumur lima
minggu atau bibit telah mencapai 4-6 daun. Metode yang digunakan adalah choice
test untuk menduga ketahanan antixenosis dan non-choice test untuk menduga
ketahanan antibiosis. Metode choice test digunakan kembali di percobaan bagian

(2) dan (3).
Penelitian bagian (2) menggunakan satu set populasi enam generasi yang
terdiri atas tetua tahan (P1), tetua rentan (P2), F1, BCP1, BCP2, dan F2. Genotipe IPB
C20 terditeksi sebagai tetua tahan baik pada ketahanan antixenosis dan antibiosis
berdasarkan evaluasi percobaan 1 sedangkan tetua IPB C313 terditeksi sebagai
tetua rentan. Penelitian bagian (3) menggunakan lima tetua cabai yang disalingsilangkan membentuk persilangan setengah dialel (half dialell). Lima genotipe
tersebut antara lain IPB C20 sebagai tetua tahan dan IPB C3, IPB C4, IPB C5, serta
IPB C313 sebagai tetua rentan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe IPB C20 cenderung
konsisten tahan secara nyata terhadap infestasi kutudaun mulai dari pengujian (1)

hingga (3) terutama bila dibandingkan dengan genotipe IPB C313. Ketahanan cabai
terhadap infestasi kutudaun melon dikendalikan oleh banyak gen dan gen-gen
tersebut berada dalam inti sel (tidak ada pengaruh maternal). Gen pengendali
ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi tetua rentan overdominan terhadap
tetua tahan. Aksi gen pengendali sifat infestasi kutudaun melon di tanaman cabai
adalah aditif dan dominan dengan dominansi ragam dominan jauh lebih besar
dibandingkan ragam aditif. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi akan tetapi
heritabilitas arti sempit tergolong sangat rendah. Gen-gen pengendali karakter
infestasi kutudaun melon terhadap sifat kerentanan dominan lebih banyak

dibandingkan gen pengendali ketahanannya. Gen-gen ketahanan masih tersebar di
dalam beberapa genotipe selain IPB C20, sehingga metode pemuliaan yang baik
digunakan untuk meningkatkan level ketahanan adalah metode convergent
breeding melalui rekombinan transgresif dan recurrent selection.
Kata kunci: antibiosis, antixenosis, Capsicum annuum, resistensi inang, pewarisan.

SUMMARY
ADY DARYANTO. Genetic Analysis and Inheritance of Chili Pepper Resistance
to Melon Aphid, Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae). Supervised by
MUHAMAD SYUKUR, AWANG MAHARIJAYA and PURNAMA HIDAYAT.
Several factors which sharply decreased productivity of chili pepper are
disease and pest attract, land marginal, climate change, and limited access to have
good variety and seeds. The melon aphid or cotton aphid (Aphis gossypii Glover) is
one of the major pests of chili pepper. Aphid colonies can cause significant yield
loss by damaging leaves and stem tissues. They can also act as vector of many kind
of viruses. Chemical based crop protection is the major way to control aphid until
now. In fact, melon aphid has been resistant to many kind of insecticides.
Insecticides can also damage beneficial insects such as, predators, parasitoids, and
pollinators. Therefore the use of insecticides should be limited. The use of resistant
varieties may help to reduce the use of insecticides, together with Integrated Pest

Management.
Study on genetics analysis and inheritance of resistance to aphid infestation
were conducted in three steps; (1) screening several genotypes for identify the
antixenosis and antibiosis based resistance of melon aphids that may be explored as
sources of resistance in aphid resistance breeding program of chili pepper, (2)
inheritance study of chili pepper resistance to melon aphid’s infestation, (3) diallel
analysis to estimate genetics parameter of chili pepper resistance to aphid.
The experiment on step (1) used germplasm collection of chili pepper
genotypes from the Department of Agronomy and Horticulture, IPB. Melon aphids
were collected from chili pepper cultivation at Univ. farm of Bogor Agricultural
University, Indonesia following by the identification of the species to ensure that
the aphid colonies were A. gossypii Glover. Screening germplasm genotypes was
conducted during the seedling phase of chili pepper (4-6 leaves or 5 weeks after
sowing), in an insect box. Antixenosis based resistance test were conducted in a
choice test method while antibiosis based resistance test were conducted in
no-choice test method. Choice test was used in experiment step (2) and (3).
The experiment on step (2) used one set populations derived from a cross
between a resistant line (IPB C20) and susceptible line (IPB C313), that is
population of P1, P2, F1, BCP1, BCP2, and F2 respectively. The experiment on step
(3) used five parent lines for half diallel crosses. They were IPB C20 as resistant

line and IPB C3, IPB C4, IPB C5, IPB C313 as susceptible lines. Genotype IPB
C20 consistently had the lowest aphids per plant compared to other genotypes,
especially with IPB C313 by experiment (1) to (3). There were no maternal effect
and resistance were controlled by polygenic genes. The dominance degree of
susceptible lines were over dominance than resistance lines. Gene effects for
resistance to aphid’s infestation were additive and dominance. Dominance effect
larger than additive effects. Broad-sense heritability value were high but narrowsense heritability value were low. Convergent breeding and recurrent selection
would be effected to increase level of resistance to melon aphid in chili pepper
Keywords: antibiosis, antixenosis, Capsicum annuum, host plant resistance.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ANALISIS GENETIK DAN PEWARISAN SIFAT
KETAHANAN CABAI TERHADAP INFESTASI KUTUDAUN
MELON, Aphis gossypii Glover (HEMIPTERA: APHIDIDAE)

ADY DARYANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Prof Dr Ir Sobir, MS


Judul Tesis : Analisis Genetik dan Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai terhadap
Infestasi Kutudaun Melon, Aphis gossypii Glover (Hemiptera:
Aphididae)
Nama
: Ady Daryanto
NIM
: A253130231

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhamad Syukur, SP MSi
Ketua

Dr Awang Maharijaya, SP MSi
Anggota

Dr Ir Purnama Hidayat, MSc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS

Tanggal Ujian:
(18 November 2015)

Tanggal Lulus:
(

)


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat serta karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan.
Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini
ialah Analisis Genetik dan Pewarisan Sifat Ketahanan Cabai terhadap Infestasi
Kutudaun Melon, Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae)
Penelitian dan penulisan tesis ini di bawah bimbingan Prof Dr Muhamad
Syukur, SP MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr Awang Maharijaya, SP MSi
dan Dr Ir Purnama Hidayat, MSc selaku anggota Komisi Pembimbing. Di dalam
kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus
atas waktu serta kesempatan yang telah diluangkan oleh komisi pembimbing dalam
membimbing, mengarahkan, serta menjadi teladan bagi penulis. Penelitian tesis ini
didanai oleh Hibah Kompetensi DIKTI tahun 2014 dan 2015 dengan No. kontrak
51/IT3.II/LT/2014 dan 083/SP2.H/ PL/Ditlibamas/II/2015.
Penghargaan serta rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan pula
kepada:
1. Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPDN 2013-2015.
2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, dan Ketua
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan jenjang Pascasarjana IPB.

3. Prof Dr Ir Sobir, MS dan Dr Dewi Sukma, SP MSi selaku penguji luar komisi
serta perwakilan program studi pada ujian tesis atas tambahan wawasan dan
masukan sehingga tesis ini dapat disempurnakan.
4. Staf dan Pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
IPB atas segala kerjasama dan bantuannya.
5. Ayahanda Edwan Narus, Ibunda Yusnidar, dan adik ku Popy Pitriyani yang
telah memberikan kepercayaan penuh kepada penulis dalam kasih sayang serta
doa-doa indahnya.
6. Teman-teman Labdik Pemuliaan Tanaman “Family Solanaceae”: Abdul Hakim
SP, Arya Widura SP MSi, Estriana Riti SP, Faradila Putri SP, M. Alfarabi SP
MSi, Kak Marlina Mustofa SP MP, Nura SP MSi, Rudi Hermanto SP,
Siti Hapsoh SP MSi, Tiara Yudilastari SP, Tustiah Tri SP Yunandra SP, dan
Mbak Zahratul Mila SP MSi atas bantuan tenaga, sharing informasi,
persahabatan, dan ikatan kekeluargaan yang erat.
7. Teman-teman Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman angkatan 2013, “Ahayy
2013”, atas kebersamaan dan perjuangan dalam persabahatan yang hangat.
8. Ibu Iis laboran lab Taksonomi dan Muhammad Kevin, SP atas bantuan bahan,
alat, serta sharing informasi dalam identifikasi kutudaun.
9. Juanita Elina SP, Yuni Widyastuti SP, dan Nur Laela SP atas bantuan dan
support di dalam koreksi naskah hingga dukungan moril untuk penulis.
10. Forum Pascasarjana (FORSCA) AGH 2014/2015 atas kesempatan
pengembangan diri di dalam organisasi kemahasiswaan tingkat Pascasarjana.
11. Dosen mentor serta teman-teman program Summer Course dan Winter Course
2014 atas kebersamaan, kekeluargaan, motivasi, dan pengalaman Internasional.
12. Dosen mentor serta teman-teman program UCGF 2015 atas kebersamaan, dan
pengalaman Internasional.

13. Keluarga Pondok Angsa Balio tempat penulis tinggal semasa mengenyam
pendidikan di IPB: Ibu Haji Syarif dan Abdullah bin Arif SP MSi.
14. Keluarga besar Bapak Asrin Aburdin atas dukungan doa serta semangat untuk
penulis.
Akhir kata, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan di dalam
penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman serta pertanian pada umumnya dan menjadi amal ibadah bagi penulis.
Amin.
Bogor, Januari 2016
Ady Daryanto

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1

PENDAHULUAN

1

2

TINJAUAN PUSTAKA

4

3

RESISTENSI TANAMAN CABAI TERHADAP KUTUDAUN MELON,
Aphis gossypii Glover (HEMIPTERA: APHIDIDAE)
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

8
8
8
10
13
19

ANALISIS PEWARISAN SIFAT KETAHANAN CABAI TERHADAP
INFESTASI KUTUDAUN MELON, Aphis gossypii Glover
(HEMIPTERA: APHIDIDAE)
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

20
20
20
21
25
30

4

5

ANALISIS SILANG SETENGAH DIALEL POPULASI CABAI
TERHADAP INFESTASI KUTUDAUN MELON (Aphis gossypii Glover) 31
Abstrak
31
Pendahuluan
31
Bahan dan Metode
32
Hasil dan Pembahasan
38
Simpulan
45

6

PEMBAHASAN UMUM
Simpulan Umum
Saran Umum

46
49
49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Infestasi kutudaun melon per daun pada 21 genotipe cabai dengan
metode choice test
Rataan jumlah infestasi kutudaun melon pada enam genotipe cabai
dengan metode choice test
Rataan ukuran morfologi bibit cabai berdaun 4-6 pada enam
genotipe cabai
Korelasi infestasi kutudaun melon per daun dan per tanaman terhadap
beberapa karakter morfologi bibit cabai
Pengaruh enam genotipe cabai terhadap aspek biologi hidup
kutudaun melon
Nimfa survival, nimfa per hari, dan fekunditas kutudaun melon pada
enam genotipe cabai
Parameter genetik
Nilai potensi rasio dan jumlah faktor efektif sifat ketahanan cabai
terhadap infestasi kutudaun melon pada populasi IPB C20 x IPB C313
Nilai duga parameter genetik uji untuk skala individu karakter infestasi
kutudaun melon per tanaman, per daun, dan bersayap pada cabai
Komponen ragam dan nilai heritabilitas sifat ketahanan cabai populasi
persilangan IPB C20 x IPB C313 terhadap infestasi kutudaun melon
Skema persilangan half diallel lima galur murni cabai
Sidik ragam silang dialel
Setengah dialel ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun A. gossypii
Sidik ragam daya gabung metode Griffing II
Kuadrat tengah genotipe cabai terhadap infestasi kutudaun melon pada
karakter infestasi kutudaun per tanaman, per daun, dan bersayap
Pendugaan parameter genetik infestasi kutudaun melon pada
tanaman cabai
Uji nilai tengah dan kehomogenan ragam karakter morfologi bibit cabai
pada populasi F1 dan F1R persilangan cabai IPB C20 x IPB C313
Uji nilai tengah dan kehomogenan ragam karakter infestasi kutudaun
melon pada populasi F1 dan F1R persilangan cabai IPB C20 x IPB C313
Analisis ragam daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus
(DGK) sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon
Nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK)
sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon
Nilai rata-rata infestasi kutudaun melon per tanaman cabai P1, P2,
dan F1 cabai serta nilai heterosis dan heterobeltiosis
Nilai rata-rata infestasi kutudaun melon per daun cabai P1, P2,
dan F1 cabai serta nilai heterosis dan heterobeltiosis

14
15
16
16
18
18
24
27
29
29
33
34
34
37
38
38
41
41
42
43
44
44

DAFTAR GAMBAR
1

Bagan alir penelitian

2

Kunci spesifik identifikasi untuk kutudaun melon (A. gossypii)

10

3

Metode choice test.

11

4

Metode no-choice test

12

5.

Siklus hidup kutudaun melon pada tanaman cabai

17

6

Skema persilangan biparental, IPB C20 x IPB C313, dalam membuat
populasi enam generasi

22

Sebaran data infestasi kutudaun melon per tanaman pada populasi cabai
P1, P2, F1, dan F2

26

Sebaran data infestasi kutudaun melon per daun pada populasi cabai
P1, P2, F1, dan F2

26

Sebaran data infestasi kutudaun melon bersayap pada populasi cabai
P1, P2, F1, dan F2

27

7
8
9

3

10 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat
ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon per tanaman pada
populasi persilangan IPB C20 x IPB C313

28

11 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat
ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon per daun pada
populasi persilangan IPB C20 x IPB C313

28

12 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat
ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun bersayap pada populasi
persilangan IPB C20 x IPB C31

28

DAFTAR LAMPIRAN
1

Genotipe plasma nutfah cabai (C. annuum)

56

3

Sebaran kenormalan infestasi kutudaun melon per tanaman pada
populasi F2 cabai

57

Sebaran kenormalan infestasi kutudaun melon per daun
populasi F2 cabai

57

Sebaran kenormalan infestasi kutudaun melon bersayap pada
populasi F2 cabai

57

4
5

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura berekonomi tinggi yang
menjadi inang bagi infestasi Aphis gossypii Glov, dikenal dengan nama kutudaun
melon atau kutudaun kapas. Pemerintah menetapkan cabai sebagai sayuran
unggulan nasional yang menempati areal penanaman terluas diantara tanaman
sayuran lainnya. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Ditjen
Hortikultura, produksi cabai nasional mencapai 1.7 juta ton dengan rata-rata
produktivitas 7.2 ton ha-1 di tahun 2014 (BPS 2015) sedangkan potensi hasil yang
dapat dicapai adalah 17–21 ton ha-1 (Bahar & Nugrahaeni 2008). Faktor penyebab
rendahnya produktivitas cabai di Indonesia diantaranya adalah serangan hamapenyakit, lahan marginal, perubahan iklim hingga terbatasnya kemampuan petani
dalam menyediakan benih bermutu dari varietas unggul.
Kutudaun melon merupakan tipe hama polifag dengan kisaran inang yang
luas. Hama ini adaptif pada tanaman cabai, melon, mentimun, kapas, jeruk, kopi,
kakao, kentang, tembakau, dan beberapa tanaman-tanaman ornamental (Blackman
& Eastop 2000). Kerusakan dari infestasi kutudaun dalam jumlah besar adalah
terbentuknya embun jelaga (sooty mold). Embun jelaga merupakan hasil asosiasi
kotoran kutudaun (honeydew) dengan cendawan yang menyebabkan permukaan
daun tertutupi sehingga menghambat proses fotosintesis, daun mengguning,
keriting, serta pertumbuhan mengerdil (Tilmon et al. 2011). Kutudaun melon
dilaporkan vektor dari 50 jenis virus termasuk no-persisten virus seperti, CMV
(cucumber mosaic virus), Potyvirus (ChiVMV), dan Polerovirus pada famili
Solanaceae (Blackman & Eastop 2000; Escrius et al. 2000; Pinto et al. 2008;
Gniffke et al. 2013).
Siklus hidup kutudaun melon berlangsung singkat dan reproduksi yang
cepat. Perkembangbiakannya adalah aseksual-vivipar secara partenogenesis
(Sudarto 1985; Blackman & Eastop 2000; Henneberry et al. 2000). Pola
perkembangbiakan dan peningkatan level infestasi kutudaun sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor ekologi seperti suhu, musuh alami, dan ketersediaan nutrisi pakan
bagi kutudaun (Slosser et al. 1989; Tilmot et al. 2011). Satar et al. (2008)
melaporkan bahwa kutudaun melon dapat berkembangbiak dengan baik pada suhu
hangat. Kemampuan reproduksinya tergolong tinggi dengan rata-rata 2-3 ekor
nimfa per hari (Sudarto 1985; Henneberry et al. 2000). Musuh alami bagi kutudaun
melon antara lain imago dan larva dari Asian ladybeetle (Coccinellidae), Green
lacewing (Chrysopidae), dan Orius sp. (Anthocoridae) (Tilmot et al. 2011). Nutrisi
tanaman yang dimanfaatkan oleh kutudaun sebagai sumber pakan adalah unsur
nitrogen, karbohidrat, dan asam amino (Slosser et al. 1989; Tilmot et al. 2011).
Aplikasi pupuk berunsur nitrogen dan kalsium asetat dalam dosis tinggi akan
menyebabkan peningkatan keberadaan kutudaun perluasan daun (Slosser et al.
1989).
Terdapat tiga mekanisme pertahanan diri tanaman terhadap infestasi hama
yaitu, antixenosis (no-preference atau avoidance), antibiosis (resistensi), dan
toleransi (Niks et al. 2011; Maharijaya 2013). Antixenosis merupakan mekanisme
pertahanan diri tanaman berupa morfologi, fenologi, dan bau tidak sedap untuk
menolak kehadiran hama (Niks et al. 2011). Antixenosis dapat dievaluasi melalui
reduksi jumlah koloni hama (Hesler et al. 2007). Antibiosis atau resistensi

2
merupakan kemampuan tanaman untuk membatasi dan mereduksi
perkembangbiakan hama setelah terjadi kontak dengan tanaman. Antibiosis pada
serangga tercermin dari tingginya mortalitas (kematian), rendahnya laju
perkembangbiakan larva atau nimfa, dan menurunnya kemampuan reproduksi
hama (fecundity) (Li et al. 2004; Hesler et al. 2007; Niks et al. 2011). Tanaman
dengan resistensi antibiosis memiliki nilai negatif terhadap reproduksi kutu daun,
dengan demikian pengendalian serangan kutudaun secara efektif dapat dilakukan
(Mensah et al. 2008). Seperti halnya resistensi, toleransi ialah perbedaan
kemampuan inang untuk merespon serangan hama dan membatasi kerusakan yang
lebih luas per unit keberadaan hama tersebut (Hesler et al. 2007; Niks et al. 2011).
Hingga saat ini, upaya pengendalian kutudaun bertumpu pada aplikasi zat
kimia (insektisida). Resistensi kutudaun terhadap insektisida menjadi kendala yang
komplek di dalam pengendalian kutudaun. Kutudaun telah mengalami resistensi
terhadap insektisida dengan bahan aktif pyrethroid seperti, cypermethrin,
alphacypermethrin, zetacypermethrin, cybuthrin, fen-propathrin, bifenthrin, dan
lambdacyhalothrin (Ahmad et al. 2003). Informasi pewarisan sifat ketahanan
kutudaun melon telah dilaporkan pada tanaman melon dan mentimun. Ketahanan
melon terhadap A. gossypii dilaporkan dikendalikan oleh gen-gen minor atau
poligenik (Boissot et al. 2010). Liang et al. (2015) menyatakan bahwa ketahanan
mentimun terhadap infestasi A. gossypii dikendalikan oleh satu gen mayor aditifdominan dan poligenik aditif-dominan sedangkan informasi pewarisan sifat
ketahanan kutudaun pada cabai belum dilaporkan.
Salah satu solusi yang efektif dan efisien dalam mengendalikan hama
kutudaun adalah menggunakan varietas tahan. Varietas tahan dapat menjadi solusi
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam menggendalikan
perkembangbiakan kutudaun, oleh karena itu penting mengetahui informasi genetik
serta pola pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun sehingga
mampu merakit varietas tahan. Informasi tersebut juga bermanfaat di dalam
mendukung pertanian yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendapatkan informasi ketahanan
genotipe-genotipe cabai koleksi IPB untuk merakit cabai unggul tahan terhadap
kutudaun melon. (2) Mendapatkan informasi kendali genetik pewarisan sifat
ketahanan cabai terhadap kutudaun melon.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan adalah (1) Terdapat setidaknya satu genotipe cabai
yang tahan, medium tahan, dan rentan terhadap kutudaun melon untuk dijadikan
tetua persilangan. (2) Terdapat minimal satu gen pengendali ketahanan cabai
terhadap kutudaun dengan pola pewarisan aksi gen aditif atau dominan.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kendali
genetik serta pola pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap kutudaun melon
sehingga mampu mendukung dan membantu program pemuliaan tanaman di dalam
perakitan varietas cabai unggul tahan terhadap kutudaun.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Tujuan penelitian dan hipotesis dijawab dengan melakukan serangkaian
percobaan (Gambar 1). Kegiatan secara keseluruhan meliputi beberapa percobaan
yaitu: (1) Skrining ketahanan plasma nutfah cabai terhadap kutudaun melon. (2)
Studi pewarisan ketahanan cabai terhadap kutudaun melon. (3) Analisis silang
dialel untuk menentukan parameter genetik ketahanan cabai terhadap kutudaun.
Plasma nutfah cabai koleksi
lokal dan introduksi

1

Identifikasi spesies dan
pembiakan A. gossypii

Skrining ketahanan cabai
terhadap A. gossypii
Choice test (Antixenosis)
No-choice test (Antibiosis)

Hibridisasi genotipe uji cabai
terpilih untuk studi genetika

2

3
Evaluasi Silang Half diallel

Evaluasi Silang Bi-parental






Heritabilitas arti luas
Heritabilitas arti sempit
Aksi gen
Derajat dominansi
Jumlah faktor efektif







Heritabilitas arti luas
Heritabilitas arti sempit
Aksi gen
Sebaran gen pada tetua
DGU dan DGK

: Metode
: Out put

Kendali genetik dan pewarisan
sifat ketahanan terhadap hama
kutudaun melon

Metode seleksi efektif dan
efisien dalam perakitan cabai
unggul tahan hama kutudaun
Gambar 1 Bagan alir penelitian

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Kutudaun Aphis gossypii
Biologi hidup serangga secara umum meliputi siklus hidup, fekunditas
(keperidian), reproduksi, dan ketahanan hidup pada inang. Kutudaun hidup secara
berkoloni pada daun dan batang tanaman inang. Umumnya kutudaun memiliki
siklus hidup yang kompleks. Kompleksitas tersebut terlihat dari kemampuan
reproduksi secara seksual (telur) dan aseksual (partenogenesis), memiliki
polimorfisme warna tubuh, kemampuan hibernasi dan aestivasi (dorman pada
kondisi buruk di musim panas), kemampuan merubah tubuh dari tidak bersayap
(apterous) menjadi bersayap (alatae), serta memiliki dua tipe inang yaitu, inang
primer dan inang alternatif (Tilmon et al. 2011).
Terdapat dua tipe siklus hidup kutudaun yaitu, holocyclic dan anholocyclic.
Holocyclic merupakan siklus hidup kutudaun dengan kombinasi
perkembangbiakan seksual dan aseksual sedangkan anholocyclic adalah siklus
hidup kutudaun tanpa melalui perkembangbiakan seksual (mating) atau hanya
berkembangbiak secara aseksual melalui vivipar-partenogenesis. Siklus hidup
holocyclic terjadi pada kutudaun di wilayah beriklim subtropis dan dingin
sedangkan anholocyclic terjadi pada kutudaun di wilayah tropis (William & Dixon
2007). Siklus hidup anholocyclic menjadi siklus yang efektif bagi
perkembangbiakan kutudaun untuk memperbanyak jumlah koloni selanjutnya
menginfestasi inang, sehingga pengendaliannya menjadi lebih sulit dilakukan.
Perubahan tipe reproduksi aseksual menjadi seksual disebabkan oleh
perubahan ekstrim pada suhu dan panjang hari. Suhu rendah dan panjang hari yang
lebih panjang di musim gugur memacu terekspresinya nimfa kutudaun berkelamin
jantan (William & Dixon 2007). Perubahan tubuh kutudaun menjadi bersayap
(alatae) disebabkan oleh karena kontak fisik diantara individu kutudaun akibat
padatnya populasi dan juga disebabkan oleh memburuk ketersediaan pakan (nutrisi)
pada tanaman inang sehingga mendorong kutudaun untuk terbang berpindah inang
(William & Dixon 2007). Nimfa kutudaun tumbuh dengan cepat menjadi imago
(dewasa). Di dalam kurun waktu kurang dari satu minggu nimfa menjadi dewasa
serta secara langsung mampu bereproduksi secara aseksual.
Siklus hidup (development time) kutudaun A. gossypii pada tanaman inang
berlangsung singkat dan cepat dengan kemampuan reproduksi yang tinggi.
Dilaporkan pada tanaman cabai hanya dalam kurun waktu 5-6 hari sedangkan di
tanaman terong berlangsung lebih panjang yaitu, 5-10 hari (Parencia 1978; Sudarto
1985). Siklus hidup kutudaun A. gossypii pada tanaman mentimun adalah 4 hari
(Van Steenis & E1-Khawass 1995). Periode reproduksi A. gossypii pada tanaman
cabai berkisar 14-24 hari sedangkan di tanaman terong selama 7-12 hari. Rata-rata
banyaknya nimfa yang dihasilkan setiap hari pada tanaman cabai dan terong adalah
3 ekor per hari (Sudarto 1985) dan di mentimun 6 ekor per hari (Van Steenis & E1Khawass 1995). Fekunditas adalah kemampuan seekor kutudaun untuk
menghasilkan progeni baru selama masa hidupnya. Fekunditas seekor kutudaun
dilaporkan sebanyak 25 ekor pada terong, 54 ekor pada cabai (Sudarto 1985) dan
66 ekor pada mentimun (Van Steenis & E1-Khawass 1995).
Kemampuan hidup atau lama hidup (longevity time) imago kutudaun
A. gossypii pada tanaman cabai dapat mencapai 19 hari dan 13 hari pada tanaman

5
terong sedangkan ketahanan hidup seekor kutudaun dari sejak instar 1 hingga mati
pada tanaman cabai 23 hari dan 18 hari pada tanaman terong (Sudarto 1985).
Ekologi Kutudaun Aphis gossypii
Level infestasi kutudaun melon (A. gossypii) dipengaruhi oleh faktor-faktor
ekologi antara lain, musuh alami, suhu, dan ketersediaan nutrisi. Musuh alami
kutudaun antara lain larva dan imago dari Asian ladybeetle (Coccinellidae), Green
lacewing (Chrysopidae), dan Orius sp. (Anthocoridae) (Tilmon et al. 2011).
Kemampuan bertahan hidup dan pola perkembangbiakan kutudaun A. gossypii
sangat bergantung pada kondisi suhu. Suhu optimal bagi A. gossypii untuk dapat
hidup dan berkembangbiak adalah 25 - 30 oC (Kersting et al. 1999; Henneberry et
al. 2000; Satar et al. 2008). Satar et al. (2008) menyatakan bahwa rata-rata net
produksi (Ro) seekor A. gossypii tertinggi pada suhu 22.5 oC (68.38 kutudaun) dan
rata-rata net produksi terendah pada suhu 32.5 oC (0.22 kutudaun), sedangkan
Kersting et al. (1999) melaporkan bahwa rata-rata net produksi tertinggi pada suhu
25 oC (44.7 kutudaun). Mortalitas tertinggi pada A. gossypii dilaporkan terjadi pada
suhu dingin, 15 oC dan 17.5 oC, dan panas ekstrim yaitu > 32.5 oC (Kersting et al.
1999; Satar et al. 2008). Suhu juga mempengaruhi produksi embun madu
(honeydew) pada kutudaun. Henneberry et al. (2000) melaporkan bahwa produksi
honeydew pada suhu 26.7 oC lebih besar dibandingkan di suhu 15.6 oC dan 32.2 oC.
Nutrisi tanaman yang banyak dilaporkan memiliki korelasi positif dengan
kelimpahan kutudaun adalah unsur nitrogen. Sudarto (1985) menyatakan bahwa
biologi kutudaun (fekunditas, lama hidup, ketahanan hidup, serta periode
reproduksi) dipengarui oleh kandungan gizi yang terdapat pada tanaman inang
seperti nitrogen. Tanaman inang dengan kandungan gizi tinggi menyebabkan
adaptasi kutudaun lebih baik dibandingkan dengan tanaman bergizi rendah. Hal
berbeda disampaikan oleh Blua dan Perring (1992) bahwa populasi A. gossypii pada
tanaman labu (Cucurbita pepo) yang terjangkit virus Zucchiini yellow mosaic virus
(ZYMV) lebih tinggi dibandingkan pada tanaman sehatnya.
Metabolit sekunder diduga pula memiliki peran ketahanan tanaman
terhadap serangga herbivora. Senyawa 6-methyl-5-hepten-2-one adalah salah satu
senyawa volatil yang diduga kuat berhubungan dengan rendahnya preferensi
A. gossypii pada hasil skrining cabai paprika varietas Hibrida green belt di Brazil
(da Costa et al. 2011). Chlorogenic acid dan Kaempferol dilaporkan sebagai
metabolit sekunder yang berperan mereduksi serangan hama kutudaun, ulat daun,
kumbang daun, dan leafhopper (Leiss et al. 2011).
Kerusakan oleh Kutudaun Aphis gossypii
Kutudaun merupakan serangga herbivora dengan pergerakan yang lambat.
Kutudaun hidup pada bagian bawah (abaxial) dari daun-daun tanaman inang.
Di saat infestasi besar dapat pula ditemukan pada cabang, batang, bunga, dan
cabang buah tanaman inang. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kutudaun sebagai
serangga herbivora secara langsung berupa bekas tusukan akibat aktivitas makan
dan secara tidak langsung ialah terbentuknya embun jelaga (sooty mold) dan
sebagai vektor virus. Tipe alat mulut menusuk menghisap kutudaun pada infestasi
rendah tidak menyebabkan gangguan serius bagi tanaman inang. Akan tetapi saat
infestasi kutudaun diatas ambang batas ekonomi, kelimpahan kutudaun menjadi

6
masalah bagi per tanaman budidaya. Infestasi berat pada fase bibit (seedling)
dilaporkan dapat menyebabkan daun tanaman kapas menjadi keriting atau belok
serta menyebabkan bibit kerdil serta akhirnya mati. Sedangkan ketika infestasi
berat yang terjadi selama masa generatif dapat menyebabkan daun-daun yang lebih
tua menguning serta rontok dan dapat menyebabkan malformasi pada kapas
(Parencia 1978). Berlandier et al. (2010) menyatakan bahwa ambang ekonomi bagi
per tanaman canola adalah saat tanaman terinfestasi 20 persen oleh koloni kutudaun
sehingga perlu dilakukan pengendalian kimiawi. Ambang batas ekonomi tanaman
kapas adalah saat 30% populasi tanaman terinfestasi oleh kutudaun A. gossypii
(Stam et al. 1994). Infestasi A. gossypii pada tanaman okra dilaporkan dapat
mereduksi hasil hingga 57% (Shannag et al. 2007).
Kerusakan tidak langsung yang disebabkan oleh kutudaun ialah
terbentuknya embun jelaga (sooty mold). Embun jelaga merupakan hasil asosiasi
kotoran kutudaun (honeydew) dengan cendawan. Embun jelaga menyebabkan
permukaan daun tertutupi sehingga menghambat proses fotosintesis. Selanjutnya
daun menguning dan keriting akibat cairan daun yang dihisap, dan pada akhirnya
menyebabkan pertumbuhan tanaman mengerdil (Tilmon et al. 2011). Pada tanaman
kapas, embun madu yang berasosiasi dengan embun jelaga menyebabkan sticky
cotton sehingga menimbulkan masalah besar di pabrik tekstil pemintalan benang
dan menurunkan kualitas dari produk yang dihasilkan (Reed 2000). Seekor
kutudaun dapat menghasilkan eksresi gula sebesar 2.68 mikrogram per hari
(Henneberry et al. 2000). Kerusakan tidak langsung lainnya yang utama dari
infestasi kutudaun adalah kemampuannya menjadi vektor virus. Blackman dan
Enstrop (2000) menyatakan terdapat 50 jenis virus yang dapat ditularkan oleh A.
gossypii. Jumlah yang lebih besar dilaporkan oleh Satar et al. (1999) sebanyak 76
jenis virus.
A. gossypii menjadi vektor virus dari Cucumber mosaic virus (CMV),
Tobacco etch virus (TEV), Pepper mottle virus (PepMoV), Pepper veinal mottle
virus (PVMV), Chilli veinal mottle virus (Chi VMV), Pepper yellow mosaic virus
(PepYMV) dan Potato virus Y (PVY) (da Costa et al. 2011).Virus mosaik kuning
(BCMV: Bean common mosaic virus) dapat ditularkan secara non-persisten oleh
A. gossypii dan A. craccivora pada tanaman kacang panjang. Damayanti et al.
(2010) menyatakan bahwa efektivitas A. gossypii untuk menularkan BCMV sebesar
70-100%, sedangkan A. crassivora mampu menularkan BCMV dari tanaman sakit
ke tanaman sehat sebesar 90-100%.
Kutudaun telah banyak dilaporkan mengalami resistensi terhadap
insektisida kimiawi. Hal ini yang menyebabkan pengendalian kutudaun menjadi
sulit dilakukan. Insektisida berbahan aktif pyrethroid dalam mengendalikan ulat
daun dilaporkan dapat memacu pertumbuhan populasi kutudaun (Reed 2000).
Carletto et al. (2009) melaporkan bahwa A. gossypii resisten terhadap insektisida
berbahan aktif dimethoate (Organophosphate) dan cypermethrin (Pyrethroid) yang
disebabkan oleh adanya mutasi pada gen acetylcholinesterase (S431F).
Resistensi Tanaman terhadap Serangan Hama (Antixenosis, Antibiosis,
Toleransi)
Pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap serangga herbivora
merupakan suatu potensi perakitan varietas tanaman dalam mengurangi
penggunaan insektisida dan sebagai modal penting di dalam konsep integrated pest

7
management (IPM). Terdapat tiga mekanisme ketahanan tanaman terhadap
serangga herbivora yaitu, antixenosis (avoidance), antibiosis (resistensi), dan
toleransi (Niks et al. 2011; Maharijaya 2013). Antixenosis atau avoidance
merupakan mekanisme pertahanan diri berupa morfologi, fenologi, dan bau tidak
sedap dari bagian tanaman untuk menolak kehadiran hama penggangu (Niks et al.
2011; Mensah et al. 2008).
Antixenosis dapat dievaluasi melalui reduksi jumlah koloni hama (Hesler et
al. 2007) dan preferensi kutudaun terhadap suatu genotipe (Kumar et al. 2011).
Mustard aphid (Lipaphis erysimi K.) memiliki preferensi lebih tinggi terhadap
Brassica rapa dibandingkan Brassica fruticulosa (Kumar et al. 2011). Preferensi
kisaran inang dari kutudaun juga dipengaruhi oleh kemampuan daya adaptasi
kutudaun itu sendiri. Sudarto (1985) melaporkan bahwa kutudaun asal tanaman
cabai hanya dapat bertahan hidup 3 hari pada tanaman tomat dan 2 hari pada
tanaman tembakau sedangkan pada tanaman cabai dan terong kutudaun dapat
beradaptasi dan bertahan hidup masing-masing berurutan selama 23 hari dan 17
hari setelah diinfestasikan.
Antibiosis atau resistensi merupakan kemampuan tanaman untuk
membatasi dan mereduksi perkembangbiakan patogen setelah terjadi kontak
dengan tanaman. Antibiosis pada serangga tercermin dari tingginya mortalitas
(kematian), rendahnya laju perkembangbiakan larva dan menurunnya kemampuan
reproduksi hama (fecundity) (Li et al. 2004; Hesler et al. 2007; Mensah et al. 2008;
Niks et al. 2011). Tanaman dengan resistensi antibiosis memiliki nilai negatif
terhadap reproduksi kutudaun, dengan demikian pengendalian serangan kutudaun
secara efektif dapat dilakukan (Mensah et al. 2008). Seperti halnya resistensi,
toleransi merupakan perbedaan kemampuan tanaman untuk merespon serangan
hama dan membatasi kerusakan yang lebih luas per unit keberadaan hama tersebut
(Hesler et al. 2007; Niks et al. 2011).
Antixenosis dapat dievaluasi melalui metode choice test yaitu, melalui
evaluasi preferensi kutudaun pada sejumlah genotipe tanaman di fase muda
(seedling) dan dalam kurun waktu tertentu (Diaz-Montano et al. 2006; Hesler et al.
2007; Hesler dan Dashiell 2011; Turanli et al. 2012; Souleymane et al. 2013).
Antibiosis dievaluasi melalui metode no-choice test yaitu, pengujian pada bagian
tanaman atau seluruh bagian tanaman terhadap kemampuan kutudaun untuk dapat
bereproduksi, berkembangbiakan, dan bertahan hidup (Li et al. 2004; DiazMontano et al. 2006; Hesler et al. 2007; Kumar et al. 2011).

8

3 RESISTENSI TANAMAN CABAI TERHADAP KUTUDAUN
MELON, Aphis gossypii Glover (HEMIPTERA: APHIDIDAE)
Abstrak
Kutudaun melon (Aphis gossypii Glover) adalah salah satu hama
pengganggu utama tanaman cabai dan vektor dari 22 virus di Solanaceae. Hingga
saat ini, pengendalian yang dilakukan berbasis bahan kimia berupa insektisida.
Namun kini, kutudaun melon dilaporkan telah resisten terhadap insektisida.
Insektisida juga membunuh serangga-serangga bermanfaat lainnya seperti,
predator, parasitoid, dan polinator. Perakitan varietas inang resisten adalah salah
satu cara terbaik dalam strategi pengendalian kutudaun. Terdapat tiga tipe
ketahanan terhadap hama: antixenosis, antibiosis, dan toleransi. Belum dilaporkan
mengenai varietas cabai tahan terhadap kutudaun di Indonesia. Tujuan dari
penelitian ini adalah melakukan skrining dan identifikasi ketahanan antixenosis
melalui metode choice test dan juga antibiosis melalui metode no-choice test pada
plasma nutfah cabai koleksi Lab Pemuliaan Tanaman IPB. Bibit cabai ditumbuhkan
hingga berdaun 4-6 lalu diinfestasikan dengan dua ekor kutudaun tidak bersayap
pada percobaan antixenosis dan dievaluasi setelah 12 hari infestasi. Daun terpisah
(detached leaf) digunakan untuk pengujian in vitro ketahanan antibiosis. Daun
cabai yang digunakan adalah daun ke-3 atau ke-4 yang telah membuka sempurna
dari pucuk. Daun tersebut diletakkan pada sebuah kontainer tertutup (6.3 cm x 5
cm) berventilasi jaring serangga (50 mess). Percobaan antixenosis menunjukkan
genotipe IPB C20 sebagai genotipe yang mampu menekan perkembangan koloni
kutudaun per daun, total kutudaun per tanaman, dan kutudaun bersayap. Pengujian
antibiosis menunjukkan adanya perbedaan respon diantara genotipe uji terhadap
karakter-karakter biologi kutudaun. IPB C20 menyebabkan terganggunya biologi
kutudaun yaitu, lama hidup, periode reproduksi, progeni kutudaun per hari, dan
fekunditas kutudaun secara nyata dibandingkan IPB C313. Selain itu, terdapat
korelasi positif antara karakter panjang daun dan posisi daun terhadap total
kutudaun per tanaman. Ketahanan antixenosis dan antibiosis yang teridentifikasi
memberikan peluang dilakukannya pemuliaan cabai unggul tahan terhadap hama
kutudaun serta sebagai opsi tambahan di dalam strategi manajemen hama pada
pertanaman cabai.
Kata kunci: antixenosis, antibiosis, Capsicum annuum, choice test, no-choice test

Pendahuluan
Kutudaun Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae) atau disebut juga
kutudaun kapas atau melon (cotton aphid or melon aphid), merupakan salah satu
hama penting pada tanaman cabai di dataran rendah (Messelink et al. 2013). Hama
ini bersifat polifag, memiliki banyak inang seperti cabai, mentimun, melon, labu,
kapas, jeruk, kopi, kakao, kentang, tembakau, dan beberapa tanaman-tanaman
ornamental (Blackman & Eastop 2000). A. gossypii menyerang dengan cara
menusuk dan mengisap cairan sel-sel epidermis, mesofil daun, dan jaringan floem
dengan menggunakan stiletnya. Kerusakan akibat infestasi kutudaun dalam jumlah

9
besar adalah terbentuknya embun jelaga (sooty mold) pada tanaman inang. Embun
jelaga adalah hasil asosiasi kotoran kutudaun (honeydew) dengan cendawan.
Embun jelaga menyebabkan permukaan daun tertutupi sehingga menghambat
proses fotosintesis, daun menguning, keriting, dan pertumbuhan tanaman
mengerdil akibat cairan daun yang dihisap oleh kutudaun (Tilmon et al. 2011).
Siklus hidup A. gossypii berlangsung singkat, reproduksi secara vivipar
(melahirkan), dan partenogenesis atau aseksual (Sudarto 1985; Blackman & Eastop
2000; Henneberry et al. 2000). Hal tersebut menyebabkan melimpahnya koloni
kutudaun yang dapat merusak tanaman. Populasi kutudaun yang berlimpah tanpa
adanya pengendalian pada tanaman cabai dilaporkan dapat menyebabkan
penurunan hasil panen 56-65% (Fereres et al. 1996). Kutudaun juga mampu
mentransmisi 22 jenis virus pada famili Solanaceae (Hook & Fereres, 2006),
termasuk non-persisten virus seperti CMV (Cucumber mosaic virus), Potyvirus
(ChiVMV), dan Polerovirus (Escrius et al. 2000; Pinto et al. 2008).
Manajemen dan pengendalian kutudaun telah dilakukan dengan cara
kimiawi, musuh alami, dan budidaya. Hingga saat ini, pengendalian kimiawi
menjadi pilihan utama para petani untuk pengendalian hama kutudaun. Akan tetapi,
insektisida juga menyebabkan matinya serangga-serangga yang menguntungkan
seperti predator, parasitoid, dan pollinator. Disamping itu, aplikasi bahan kimia
juga menjadi isu serius bagi kesehatan dan lingkungan manusia. Carletto et al.
(2009) melaporkan A. gossypii resisten terhadap insektisida berbahan aktif
dimethoate (organophosphate) dan cypermethrin (pyrethroid). Varietas resisten
dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam
mengendalikan perkembangbiakan kutudaun. Oleh karena itu, dinilai penting untuk
melakukan identifikasi ketahanan tanaman cabai sehingga mampu mendukung
pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Terdapat tiga mekanisme pertahanan diri tanaman terhadap serangan hama
yaitu, antixenosis (non-preferensi), antibiosis (resistensi), dan toleransi (Niks et al.
2011; Maharijaya 2013). Antixenosis merupakan mekanisme pertahanan diri
berupa morfologi, fenologi, dan bau tidak sedap dari bagian tanaman untuk
menolak kehadiran hama pengganggu (Niks et al. 2011). Antixenosis dapat
dievaluasi melalui reduksi jumlah koloni hama (Hesler et al. 2007). Antibiosis
merupakan kemampuan tanaman untuk membatasi dan mereduksi
perkembangbiakan hama setelah terjadi kontak dengan tanaman. Antibiosis pada
serangga tercermin dari tingginya mortalitas, rendahnya laju perkembangbiakan
larva, dan menurunnya kemampuan reproduksi hama (Li et al. 2004; Hesler et al.
2007; Niks et al. 2011). Seperti halnya resistensi, toleransi ialah perbedaan
kemampuan tanaman untuk merespon serangan hama dan membatasi kerusakan
yang lebih luas per unit keberadaan hama tersebut (Hesler et al. 2007; Niks et al.
2011). Namun pada kenyataannya ketiga mekanisme pertahanan tersebut tidak
mudah dipisahkan (Maharijaya & Vosman 2015). Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi ketahanan genotipe-genotipe cabai koleksi IPB dalam
merakit cabai unggul tahan terhadap kutudaun melon.

10

Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman,
Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Lab. Taxonomi Departemen Proteksi
Tanaman, sejak bulan April 2014 hingga bulan Juni 2015.
Bahan Tanaman
Materi genetik yang digunakan adalah dua puluh satu genotipe cabai
(Capsicum annuum L.) yang terdiri dari delapan cabai besar, tujuh cabai rawit, dan
enam cabai keriting (Lampiran 1) dari plasma nutfah cabai koleksi Laboratorium
Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Faperta IPB dan AVRDC. Tanaman ditumbuhkan dari benih yang disemai di dalam
tray plastik bersel 50. Pertama kali, dua benih disemai di dalam setiap sel tray
plastik yang berisi media persemaian (campuran tanah, serabut kelapa, dan pupuk
kandang; 1:1:1) dan dijadikan satu bibit perlubang setelah dua minggu semai.
Selama percobaan tidak dilakukan penyemprotan insektisida guna menghindari
pengaruh residu kimiawi terhadap bibit percobaan. Bibit berumur lima minggu atau
berdaun 4-6 diletakan di dalam kotak serangga (insect proof box) untuk dilakukan
infestasi kutudaun
Populasi Kutudaun
Kutudaun A. gossypii diambil dari lahan per tanaman cabai di lapangan
percobaan Leuwikopo, IPB, Darmaga Bogor. Kutudaun melon dewasa (imago)
dibiakkan pada tanaman cabai rentan. Identifikasi spesies dilakukan untuk
memastikan bahwa spesies kutudaun yang diisolasi adalah A. gossypii
menggunakan panduan kunci identifikasi karya Blackman dan Eastop (2000).
Kunci spesifik identifikasi untuk kutudaun melon adalah kornikel berwarna hitam,
kauda berwarna gelap pucat (kauda lebih terang dibandingkan kornikel), dan
lekukan diantara antena kepala (tubercles antennal tidak berkembang dengan baik
(Gambar 2).

a
a

b

b

b

c

Gambar 2 Kunci spesifik identifikasi untuk kutudaun melon (A. gossypii).
a. Tubercle antennal, b. Kornikel (siphunculi), & c. Kauda

11
Blackman dan Eastop (2007) menyatakan bahwa kauda atau ekor merupakan organ
yang membantu pemercikan honeydew. Honeydew sendiri terekskresi dari rektum
(anus). Kutudaun melon dewasa (imago) dibiakkan pada tanaman cabai rentan
(susceptible) dan diperbanyak di kotak kedap serangga (insect proof box) pada
kisaran suhu dan kelembaban ruang (suhu 28 ± 2 0C; RH 65 ± 10 %). Pemeliharaan
rutin dilakukan dengan memindahkan kutudaun dewasa ke tanaman cabai rentan
lainnya disaat populasi kutudaun sudah padat atau tanaman sudah terlihat sakit.
Skrining Ketahanan Plasma Nutfah Cabai Terhadap Kutudaun Melon
Dua puluh satu plasma nutfah cabai diskrining pada fase bibit, berdaun 4-6
atau lima minggu setelah semai (Gambar 3). Dua ekor kutudaun melon tidak
bersayap (apterous) diinfestasikan menggunakan kuas halus ke daun dari bibit
cabai. Kutudaun dibiarkan berpindah, makan, dan bereproduksi secara bebas
(choice test). Pada hari ke-12 dilakukan identifikasi terhadap jumlah kutudaun yang
ada di setiap genotipe dan kerusakan pada fase bibit (seedling) (Mensah et al. 2008).
Rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan kelompok
lengkap teracak (RKLT) dengan genotipe cabai sebagai perlakuan. Jumlah genotipe
yang digunakan sebanyak 21 genotipe dengan dua ulangan, sehingga terdapat 42
satuan percobaan. Setiap genotipe terdiri atas lima tanaman uji. Total populasi
tanaman adalah 210 tanaman.
Seleksi dilakukan terhadap enam genotipe uji dengan kriteria infestasi
kutudaun melon per daun yaitu, (i) sangat rendah: 8-21 kutudaun, (ii) rendah: 2235 kutudaun, (iii) medium rendah: 36-49 kutudaun, (iv) medium: 50-63 kutudaun,
(v) medium tinggi: 64-77 kutudaun, (vi) tinggi: 78-91 kutudaun, dan (vii) sangat
tinggi: 92-105. Genotipe-genotipe terseleksi diujikan kembali dan disiapkan
menjadi tetua persilangan untuk percobaan selanjutnya.
a

b

c

Gambar 3 Metode choice test. a. bibit disiapkan pada tray sel 50,
b. kotak kedap hama, c. evaluasi infestasi kutudaun

12
Pengujian Ketahanan Antixenosis Genotipe Cabai terhadap Kutudaun Melon
Pengujian antixenosis menggunakan metode choice test, seperti halnya pada
tahap skrining plasma nutfah. Kutudaun melon dibiarkan berpindah untuk makan
dan bereproduksi secara bebas. Enam genotipe terpilih berdasarkan skrining adalah
IPB C5, IPB C12, IPB C20, IPB C145, dan IPB C313. Observasi dilakukan pada
hari ke-12 setelah infestasi dengan menghitung jumlah kutudaun melon per daun,
per tanaman, dan bersayap. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah RKLT
dengan genotipe cabai sebagai perlakuan. Genotipe yang digunakan sebanyak enam
genotipe yang diulang tiga kali, sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Setiap
genotipe terdiri atas lima tanaman sehingga akan terdapat 90 tanaman. Karakter lain
yang akan diikutsertakan dalam penelitian ini adalah panjang daun, lebar daun,
tinggi tanaman, dan preferensi kutudaun melon terhadap posisi daun (atas, tengah,
dan bawah
Pengujian Ketahanan Antibiosis Genotipe Cabai terhadap Kutudaun Melon
Antibiosis dievaluasi mengunakan metode no-choice test, helai daun segar
(detached leaf), dari bibit berusia sama dengan percobaan choice test (Gambar 4).
Daun cabai yang digunakan adalah daun ke-3 atau ke-4 dari pucuk yang telah
membuka sempurna. Daun tersebut diletakkan pada sebuah kontainer tertutup
(6.3 cm x 5 cm) yang diberi ventilasi udara dengan jaring kedap serangga (50 mess)
dan pelembab (kapas lembab) untuk menjaga turgositas daun. Kondisi lingkungan
yang diperlukan ialah suhu 28 ± 2 °C, dan kelembaban udara (RH) 65 ± 10 %
berdasarkan metode Satar et al. (2008). Observasi dilakukan setiap hari hingga
semua kutudaun mati. Infestasi awal diletakkan 1-2 ekor imago dewasa selama 24
jam untuk mendapatkan 3-5 nimfa kutudaun yang pertama dilahirkan. Nim