Keefektifan Fosfin Formulasi Cair terhadap Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera Aphididae) pada Bunga Potong Krisan
KEEFEKTIFAN FOSFIN FORMULASI CAIR TERHADAP
Aphis gossypii Glover DAN Macrosiphoniella sanborni Gillette
(Hemiptera: Aphididae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
NUR RACHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Fosfin
Formulasi Cair terhadap Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni
Gillette (Hemiptera: Aphididae) pada Bunga Potong Krisan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Nur Rachman
NIM A351130474
RINGKASAN
NUR RACHMAN. Keefektifan Fosfin Formulasi Cair terhadap Aphis gossypii
Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae) pada
Bunga Potong Krisan. Dibimbing oleh DADANG dan R YAYI MUNARA
KUSUMAH.
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang banyak diminati
oleh masyarakat karena memiliki nilai estetika dan ekonomi yang tinggi. Volume
ekspor tanaman hias Indonesia, khususnya bunga krisan, masih relatif rendah
dibandingkan dengan negara lain. Hal ini diakibatkan oleh beberapa kendala di
antaranya adalah terbawanya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga
yang diekspor. Beberapa hama dapat menyerang bunga krisan, dua di antaranya
adalah kutudaun Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette.
Salah satu perlakuan karantina untuk membebaskan komoditas pertanian dari
hama adalah fumigasi. Alternatif fumigan yang memiliki keefektifan yang baik
adalah fosfin formulasi cair. Tujuan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi
dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang efektif mematikan A. gossypii dan
M. sanborni pada bunga potong krisan serta mengevaluasi kualitas bunga yang
diperlakukan dengan fumigan tersebut.
Penelitian dilaksanakan dalam 5 tahapan: (1) Identifikasi serangga uji;
(2) Perbanyakan A. gossypii dan M. sanborni; (3) Uji pendahuluan terhadap fase
nimfa instar III dan imago; (4) Aplikasi konsentrasi dan lama pemaparan fosfin
formulasi cair terhadap fase nimfa instar III dan imago A. gossypii dan M. sanborni
dan; (5) Uji validasi konsentrasi dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang
efektif serta mengevaluasi pengaruh perlakuan terhadap kualitas bunga potong
krisan.
Uji pendahuluan menunjukkan bahwa pada konsentrasi tertinggi 300 ppm,
aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago atau nimfa instar III A. gossypii dan
M. sanborni dengan lama pemaparan 6 jam dan 12 jam belum dapat mematikan
100% serangga uji. Pada uji lanjut dengan menggunakan konsentrasi 300-700 ppm,
persentase mortalitas sebesar 100% terhadap nimfa instar III dan imago A. gossypii
berturut-turut tercapai pada konsentrasi 500 ppm dan 400 ppm, sementara
terhadap nimfa instar III dan imago M. sanborni berturut-turut tercapai pada
konsentrasi 700 ppm dan 600 ppm, dengan lama pemaparan 12 dan 15 jam. Hasil
analisis probit M. sanborni menunjukkan bahwa nilai LC50 dan LC95 terendah
ditunjukkan pada lama pemaparan 15 jam dengan nilai berturut turut 209.8 ppm
dan 397.8 ppm untuk fase imago, sedangkan untuk fase nimfa instar III 213.3 ppm
dan 539.4 ppm.
Aplikasi fosfin formulasi cair terhadap A. gossypii dan M. sanborni
menyebabkan kematian 100%, berturut-turut pada konsentrasi 500 ppm dan 700
ppm, dengan lama pemaparan 12 jam. Konsentrasi hingga 700 ppm dengan lama
pemaparan hingga 18 jam tidak berdampak buruk terhadap kualitas bunga potong
krisan.
Kata kunci: fumigasi, fumigan, konsentrasi, lama pemaparan, kematian
SUMMARY
NUR RACHMAN. Effectiveness of Liquified Phosphine against Aphis gossypii
Glover and Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae) on Cut
Flowers Chrysanthemum. Supervised by DADANG and R YAYI MUNARA
KUSUMAH.
Chrysanthemum is flowering plant that has high aesthetic and economic
values. Export volume of chrysanthemums is relatively low compared to other
countries, which could be due to damage caused by insect pest. Insect pests that
are usually found are Aphis gossypii Glover and Macrosiphoniella sanborni
Gillette. One control measures usually taken in quarantine is fumigation.
Alternative fumigant that has high effectiveness is liquified phosphine
formulations. The objectives of this study were to determine the concentration and
exposure time of liquified phosphine application against these two pests and to
evaluate the effect of fumigant on the quality of flowers.
The experiment was conducted in five stages: (1) Identification of test
insect; (2) Mass rearing of A. gossypii and M. sanborni; (3) Preliminary test on
adult and third instar nymphs; (4) Determination of liquified phosphine
concentration and exposure time to adult and third instar nymphs of A. gossypii
and M. sanborni and; (5) Validation test of effective concentration and exposure
time and evaluation of their effects on quality of flowers.
Preliminary test showed that treatment with highest concentration of 300
ppm, with 6 and 12 hours exposure time was not able to provide 100% mortality
of test insect. In a futher test that used a concentration 300-700 ppm, the
percentage of 100% mortality against third instar nymphs and adult A. gossypii
occured at a concentration of 500 ppm and 400 ppm, while third instar nymphs
and adult M. sanborni occurred at a concentration 700 ppm and 600 ppm,
respectively, with exposure time 12 and 15 hours. Probit analysis of M. sanborni
showed exposure time 15 hour resulted the lowest of LC50 and LC95 values. LC50
and LC95 values for adult were 209.8 ppm and 397.8 ppm, while third instar
nymphs were 213.3 ppm and 539.4 ppm, respectively.
Concentrations of fumigant causing 100% mortality were 500 ppm and
700 ppm against A. gossypii and M. sanborni, repectively with exposure time of
12 hours. These concentrations until 700 ppm and exposure time until 18 hours
did not cause negative impact to the quality of cut chrysanthemum flowers.
Key words : fumigation, fumigant, concentration, exposure time, mortality
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEEFEKTIFAN FOSFIN FORMULASI CAIR TERHADAP
Aphis gossypii Glover DAN Macrosiphoniella sanborni Gillette
(Hemiptera: Aphididae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
NUR RACHMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Antarjo Dikin, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai
Desember 2014 ini ialah Keefektifan Fosfin Formulasi Cair terhadap Aphis
gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae)
pada Bunga Potong Krisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dadang, MSc dan
Dr Ir R Yayi Munara Kusumah, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Dr Ir Pudjianto, MSi selaku Ketua Program Studi Entomologi dan Prof Dr Ir Sri
Hendrastuti, MSc selaku Ketua Program Studi Fitopatologi serta staf pengajar
Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis
mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Pimpinan Badan Karantina
Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada
Sekolah Pascasarjana IPB dan Kepala beserta staf Balai Uji Terap Teknik dan
Metode Karantina Pertanian atas bantuan sarana untuk pelaksanaan fumigasi
kegiatan penelitian ini. Selain itu terima kasih kepada teman-teman satu angkatan
(2013-2014) atas bantuan dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata penulis persembahkan
untuk istri tercinta serta ananda Dzakiyya Raeesa Nur Zahra
Semoga hasil karya ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Nur Rachman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Krisan dan Peranannya sebagai Sumber Devisa
Kutudaun pada Tanaman Hias dan Arti Penting Ekonomi
Morfologi Kutudaun
Biologi dan Ekologi
Strategi Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni
Fosfin Formulasi Cair sebagai Fumigan
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Penyiapan Serangga Uji
Identifikasi Kutudaun
Perbanyakan Kutudaun
Uji Pendahuluan
Uji Lanjut terhadap A. gossypii dan M. sanborni
Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Pelaksanaan Fumigasi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Identifikasi Kutudaun
Uji Pendahuluan
Uji Lanjut Perlakuan Fumigasi Fosfin Formulasi Cair terhadap
Imago dan Nimfa Instar III A. gossypii serta M. sanborni
Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ix
ix
x
1
1
2
2
3
3
4
6
7
8
9
14
14
14
14
14
15
15
16
16
17
19
20
20
20
22
24
27
29
32
32
32
33
39
73
DAFTAR TABEL
1 Kutudaun pada tanaman hias di Kecamatan Pacet, Cipanas
2 Fosfin formulasi padat yang terdaftar untuk mengendalikan hama
gudang di Indonesia
3 Sifat fisiko-kimia fosfin
4 Sifat fisiko-kimia fosfin formulasi cair
5 Rekomendasi dosis fosfin formulasi cair untuk beberapa komoditas
6 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
7 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair pada lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
8 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
9 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
10 Penduga parameter toksisitas fosfin formulasi cair terhadap mortalitas
imago dan nimfa instar III M. sanborni dengan lama
pemaparan 12 dan 15 jam
11 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada konsentrasi fosfin formulasi cair dengan beberapa lama pemaparan
12 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada konsentrasi fosfin formulasi cair dengan beberapa lama pemaparan
13 Rata-rata skor kerusakan bunga potong krisan pada pengamatan
1, 24, 48, 72, 96, dan 120 JSP
5
9
11
12
13
23
23
24
26
26
28
28
28
DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi kutudaun; (a) morfologi umum imago kutudaun, (b) panjang
antena segmen terakhir (base dan processus terminals), (c) panjang
segmen terakhir rostum (R IV+V), (d) panjang kauda, (e) panjang
segmen kedua hind tarsus (HT II) (sumber: Blackman & Eastrop 1994)
2 Ruang fumigasi
3 Perbanyakan serangga uji pada bunga krisan pot
4 Bibit krisan yang digunakan sebagai pakan kutudaun; (a) bibit krisan tipe
spray, (b) kapas basah diberikan pada bagian perakaran, (c) kotak plastik
5 Pelepasan fumigan; (a) tabung berisi fosfin formulasi cair,
(b) gun injector, (c) pelepasan fumigan pada ruang fumigasi
7
14
15
15
17
6 Pengukuran konsentrasi gas dan suhu ruang; (a) alat pengukur konsentrasi
PH3, (b) pengamatan konsentrasi, (c) alat pengukur suhu dan kelembapan
7 Pembebasan gas fumigan; (a) pembebasan gas menggunakan blower,
(b) leak detector
8 Kutudaun A. gossypii; (a) koloni A. gossypii pada bunga
Chrysantemum spp., (b) imago bersayap, (c) imago berwarna kuning,
(d) imago berwarna hijau (perbesaran 32x)
9 Nimfa A. gossypii; (a) nimfa instar I, (b) nimfa instar II, (c) nimfa
instar III, (d) nimfa instar IV (perbesaran 50x)
10 Karakteristik imago A. gossypii; (a) imago tidak bersayap, (b) antena
tuberkel, (c) terminal process antena dua kali dari dasar segmen antena
terakhir, (d) kornikel yang berwarna gelap (perbesaran 10x)
11 Kutudaun M. sanborni; (a) koloni M. sanborni, (b) imago bersayap,
(c) imago tidak bersayap (perbesaran 32x)
12 Nimfa M. sanborni; (a) nimfa instar I berwarna coklat transparan,
(b) nimfa instar II berwarna coklat kemerahan (perbesaran 50x), (c) nimfa
instar III, (d) nimfa instar IV berwarna coklat kehitaman (perbesaran 32x)
13 Perbedaan kauda nimfa dan imago M. sanborni; (a) nimfa instar IV,
(b) imago
14 Karakteristik imago M. sanborni; (a) imago tidak bersayap
(perbesaran 4x), (b) antena tuberkel, (c) kornikel dan kauda, (d) antena
segmen III, (e) femur dan tibia (perbesaran 10x)
15 Respons mortalitas; (a) imago, (b) nimfa instar III A. gossypii terhadap
beberapa konsentrasi fumigan fosfin formulasi cair. —●—12 jam,
■ 15 jam, ---♦--- 18 jam
16 Respons mortalitas; (a) imago, (b) nimfa instar III M. sanborni terhadap
beberapa konsentrasi fumigan fosfin formulasi cair. —●—12 jam,
■ 15 jam, ---♦--- 18 jam
18
18
21
21
21
21
22
22
22
25
27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Penampilan bunga potong krisan tipe spray varietas Zembla white pada
konsentrasi 700 ppm
2 Penampilan bunga potong krisan tipe standar varietas Fiji white pada
konsentrasi 700 ppm
3 Koloni kutudaun pada tanaman krisan
4 Bunga potong krisan
5 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 6 jam
6 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 12 jam
7 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 15 jam
8 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 18 jam
41
42
43
44
45
46
47
48
9 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
10 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
11 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
12 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
13 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago
M. sanborni dengan lama pemaparan 12 jam
14 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap nimfa
instar III M. sanborni dengan lama pemaparan 12 jam
15 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago
M. sanborni dengan lama pemaparan 15 jam
16 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap nimfa
instar III M. sanborni dengan lama pemaparan 15 jam
49
52
55
58
61
64
67
70
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan keanegaraman
hayati termasuk flora. Berbagai jenis tanaman hias dapat tumbuh dengan baik di
Indonesia. Empat jenis bunga yang diproduksi di Indonesia selain untuk pasar
dalam negeri namun juga untuk pasar internasional adalah mawar (Rosa spp.),
anggrek (Phalaenopsis spp.), krisan (Chrysanthemum spp.) dan sedap malam
(Polianthes spp.). Bunga krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias yang
banyak diminati oleh masyarakat karena memiliki nilai estetika dan ekonomi yang
tinggi. Tanaman hias ini berupa perdu yang dikenal juga dengan nama seruni atau
bunga emas (golden flower) yang berasal dari Daratan Cina. Perkembangan
produksi krisan di Indonesia mengalami peningkatan selama periode 2007-2013
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 37.12% per tahun (Ekanantari 2014). Total
volume ekspor bunga ini pada tahun 2012 mencapai 79.10 ton dengan nilai
US$ 1 647 127, namun mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 57.05 ton
dengan nilai US$ 772 117 (BPS 2014). Nilai ini masih relatif lebih rendah
dibandingkan negara lain, seperti Belanda, Kolombia, Ekuador, Kenya, Jerman
dan Malaysia (Van Rijswick 2015). Hal ini diakibatkan oleh beberapa kendala di
antaranya adalah terdapatnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga
yang diekspor.
Beberapa hama dapat menyerang pertanaman bunga krisan, dua di
antaranya adalah kutudaun Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni
Gillette (Hemiptera: Aphididae), yang merupakan hama penting pada
Chrysanthemum indicum dan Chrysanthemum morifolium (Dixon 1998; Rostami
et al. 2012; Valizadeh et al. 2013). Selain sebagai hama, serangga ini juga dapat
berperan sebagai vektor virus. Serangan kutudaun dapat menurunkan kualitas
bunga krisan. Dalam perdagangan bebas dan kesepakatan tentang penerapan
ketentuan sanitary and phytosanitary Organisasi Perdagangan Dunia
mempersyaratkan produk-produk yang akan diperdagangan untuk tujuan ekspor
harus bebas dari OPT yang belum ada di negara tujuan ekspor. Berdasarkan
International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM) No. 34, hama yang
dapat bersifat sebagai vektor harus dicegah penyebarannya (IPPC 2011).
Mengingat hal tersebut maka negara pengekspor perlu memperhatikan kualitas
dan kuantitas dari produk pertaniannya. Infestasi serangga pada bunga
menyebabkan negara pengimpor harus melakukan fumigasi atau menolak bunga
potong tersebut sehingga perlakuan karantina tanpa merusak bunga dibutuhkan
sesuai dengan keinginan pasar.
Fumigasi sebagai perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk
membebaskan komoditas pertanian dari OPT. Hal ini sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan kegiatan karantina tumbuhan yaitu mencegah masuk dan
tersebarnya OPT sehingga fumigasi sebagai perlakuan karantina harus dapat
membunuh serangga hama secara sempurna (zero tolerant).
Setidaknya terdapat tiga jenis fumigan yang digunakan secara luas,
pertama adalah metil bromida yang akan dihapus penggunaannya pada tahun 2015
berdasarkan pada Montreal Protocol, kedua adalah fosfin yang mudah
2
diaplikasikan serta meninggalkan residu yang rendah, dan ketiga adalah sulfur
flourida yang umumnya hanya digunakan untuk perlakuan kayu dan bukan untuk
makanan.
Fosfin merupakan fumigan yang digunakan sebagai pengendalian serangga
hama selama beberapa dekade dan merupakan alternatif fumigan metil bromida
untuk mengendalikan hama pasca panen. Fumigan ini memiliki tingkat
keefektifan yang tinggi untuk desinfestasi gandum secara massal dan komoditi
lainnya (Bell 2000). Sifat lain yang menyebabkan fosfin tersebar luas adalah
harganya yang relatif murah, mudah diaplikasikan, meninggalkan residu yang
rendah, dan dapat digunakan pada berbagai komoditi dan penyimpanan (Nayak &
Collin 2008). Fosfin diketahui merupakan fumigan yang memiliki efek
fitotoksisitas yang lebih rendah dibandingkan metil bromida, karbonil sulfida, dan
hidrogen sianida pada bunga potong (Weller & Graver 1998), namun demikian
fosfin formulasi padat memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan lama
pemaparan yang cukup panjang dan berisiko apabila diaplikasikan pada
komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013). Untuk itu dibutuhkan
alternatif fosfin formulasi padat yang memiliki keefektifan yang lebih baik dan
tidak menimbulkan dampak negatif bagi komoditas yang difumigasi, manusia,
hewan, dan lingkungan.
Pengembangan fumigan fosfin dengan gas karbon dioksida dilakukan
untuk meningkatkan daya toksisitas dari fumigan ini. Fosfin formulasi cair yang
diperdagangkan pada tabung silinder bertekanan tinggi, dengan komposisi
formulasi 2% PH3 (fosfin) dan 98% CO2 merupakan bahan fumigan yang tidak
mudah terbakar. Hingga saat ini belum diketahui konsentrasi dan lama pemaparan
yang efektif untuk pengendalian A. gossypii dan M. sanborni pada bunga potong
krisan dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan, sehingga
penelitian terhadap fosfin formulasi cair perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Menentukan konsentrasi dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang
efektif mematikan A. gossypii dan M. sanborni serta mengevaluasi kualitas bunga
yang diperlakukan fumigan tersebut.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi Badan Karantina Pertanian untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan tindakan perlakuan
fosfin formulasi cair
2. Sebagai bahan acuan bagi pembaca untuk memperluas wawasan agar dapat
mengembangkan dan mengaplikasikan penelitian ini serta dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan rujukan untuk mengadakan penelitian selanjutnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Krisan dan Peranannya sebagai Sumber Devisa
Krisan merupakan bunga potong komersial yang mudah dibudidayakan
dan dikembangkan. Bunga ini memiliki masa hidup yang paling lama
dibandingkan bunga potong lain dan dapat berbunga sesuai dengan waktu panen
yang ditentukan. Budidaya krisan pertama kali dilakukan di Cina 3000 tahun SM,
dan merupakan spesies alami dari daratan Asia Timur. Pada tahun 1735 seorang
botanis Swedia, Karl Linnaeus mengintroduksi tanaman ini ke negara-negara
barat.
Tanaman krisan termasuk famili Asteraceae, genus Chrysanthemum.
Chrysanthemum dalam bahasa yunani berasal dari kata chyros yang berarti emas
dan anthemon yang berarti bunga, sehingga bunga ini juga dikenal sebagai bunga
emas (golden flower). Tanaman krisan di Indonesia mulai dikomersialkan dan
dikembangkan pada awal 1990. Tanaman ini banyak ditanam pada area lebih dari
600 m dpl. Suhu udara terbaik yang diperlukan untuk tanaman krisan di daerah
tropis seperti di Indonesia adalah antara 20 dan 26 °C. Daerah sentra produsen
krisan di Indonesia antara lain: Cipanas, Cisarua, Sukabumi, Lembang (Jawa
Barat), Bandungan (Jawa Tengah), dan Brastagi (Sumatera Utara). Beberapa
varietas krisan yang umum di pasaran yaitu C. morifolium, C. leucanthemum,
C. sperbum, C. frutescens, dan C. indicum (Djatnika 2008).
Bunga dari genus Chrysanthemum yang paling popular adalah C. indicum
dan C. morifolium yang telah dihibridisasi menjadi Dendrathema gandiflora.
Bunga krisan untuk produksi umumnya dikenal dengan 2 tipe, yaitu bunga tipe
spray dan bunga tipe standar. Bunga tipe spray memiliki 10 sampai 20 kuncup
bunga berukuran kecil dengan diameter 2-3 cm pada satu tangkai bunga. Bunga
tipe standar hanya memiliki satu bunga pada satu tangkai bunga dan bunga
berukuran besar. Tanaman krisan membutuhkan cahaya yang lebih lama untuk
berbunga, sehingga diperlukan penambahan cahaya dari lampu. Waktu
penambahan penyinaran yang baik adalah tengah malam, antara pukul 22.30
sampai 01.00 dengan total penyinaran sekitar 150 watt pada area 9 m 2 dan lampu
dipasang setinggi 1.5 m dari permukaan tanah. Pemasangan lampu dilakukan pada
fase vegetatif tanaman, yaitu mulai 2 sampai 8 minggu setelah tanam (Djatnika
2008).
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Pada tahun 2009-2013 volume ekspor bunga ini berturutturut mencapai 36.39 ton dengan nilai US$ 656 081; 63.06 ton dengan nilai
US$ 1 397 751; 59.55 ton dengan nilai US$ 1 329 468; 79.10 ton dengan nilai
US$ 1 647 127; 57.05 ton dengan nilai US$ 772 117 (BPS 2014). Volume ekspor
bunga krisan sendiri mencapai 634.532 batang pada tahun 2012, namun
mengalami penurunan pada tahun 2013 dengan volume 127.540 batang (Barantan
2014). Negara tujuan ekspor krisan segar Indonesia pada tahun 2013 adalah
Jepang, Singapura, dan Australia, dengan persentase berturut-turut 97.4%, 2.4%,
dan 0.18% (Ekanantari 2014).
4
Kutudaun pada Tanaman Hias dan Arti Penting Ekonomi
Kutudaun merupakan salah satu organisme yang memiliki banyak
keanekaragaman spesies pada daerah beriklim sedang dan terdistribusi secara luas
di dunia (Jalalizand et al. 2012). Kutudaun merupakan serangga hama yang
bersifat polifag. Kutudaun merusak tanaman dengan cara menghisap cairan daun,
sehingga tanaman menjadi layu dan kering. Kutudaun dapat menyebabkan
kerusakan secara langsung dan tidak langsung.
Kerusakan secara langsung disebabkan oleh aktifitas makan kutudaun
yang menghisap nutrisi dari bagian tumbuhan seperti daun, batang, dan akar
sehingga mengakibatkan bagian tumbuhan tersebut kekurangan nutrisi (Cranshaw
2004). Kerusakan yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh kutudaun lebih
merugikan dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh peranannya
sebagai hama. Kerugian kutudaun sebagai hama berkisar 6-25%, sedangkan
sebagai vektor dapat mencapai lebih dari 80% (Kranz et al. 1978). Sebagian kecil
dari spesies kutudaun memiliki saliva yang beracun, namun banyak yang
merupakan vektor virus dan sangat merusak tanaman (Pedigo & Rice 2006). Besar
kecilnya angka kerugian erat kaitannya dengan umur, varietas tanaman, jenis
virus, dan sifat kutudaun (Kranz et al. 1978). Kerusakan secara tidak langsung
disebabkan oleh kontaminasi fisik seperti eksuvia kutudaun dan produksi embun
madu yang dapat menjadi media tumbuh cendawan (Sabir et al. 2012).
Kutudaun memiliki inang yang spesifik, namun ada beberapa spesies
kutudaun yang dapat hidup pada banyak spesies inang (Blackman & Eastrop
2000). Serangga hama ini memiliki penyebaran yang sangat luas pada hampir
setiap tanaman, baik itu berkayu, pohon, semak belukar, herbal, dan rumput
(Pedigo & Rice 2006). Keberadaan kutudaun pada suatu tempat dipengaruhi oleh
inang dan faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan curah hujan (Blackman &
Eastrop 1994).
Pada tanaman krisan setidaknya terdapat 6 spesies kutudaun yang
menyerang pertanaman ini, di antaranya adalah Myzus persicae, M. sanborni,
Brachycaudus helichrysi, A. gossypii, A. fabae, Aulocoitum cercumflexum (Sheela
2008). Menurut Tamaki & Allen (1969), A. gossypii dan M. sanborni merupakan
kutudaun yang memiliki kemampuan adaptasi lebih baik dibandingkan M. persicae
pada tanaman krisan. Pada tanaman hias setidaknya terdapat 8 spesies kutudaun
yang menyerang 16 spesies tanaman, terutama dari famili Acanthaceae dan
Melastomataceae yang merupakan inang paling banyak terserang kutudaun.
Sebanyak 6 spesies kutudaun yang ditemukan merupakan hama polifag yaitu
A. gossypii Glover, Aulacorthum solani Kaltenbach, Macrosiphum euporbiae
Thomas, M. persicae Sulzer, Neomyzus circumflexus Buckton, dan Taxoptera
aurantii Boyer de Fonscolombe, sedangkan dua spesies lain yang ditemukan yaitu
Greenidea ficicola Takahashi dan Indomegoura indica van der Goot bersifat
oligofag (Permatasari & Hidayat 2013). Kutudaun pada tanaman hias dapat dilihat
pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Kutudaun pada tanaman hias di Kecamatan Pacet, Cipanas
No
Spesies
kutudaun
1.
Aphis
gossypii
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Aulacorthum
solani
Greenidea
ficicola
Indomegoura
indica
Macrosiphum
euphoriae
Myzus
persicae
Neomyzus
circumflexus
Toxoptera
aurantii
Jumlah
individu
per koloni
30
Tanaman inang
Famili tanaman
Aphelandra sinclairiana
Acanthaceae
11
4
22
Chrysanthemum spp.
Clitoria ternatea
Epidendrum ibaguense
Asteraceae
Leguminosae
Orchidaceae
5
32
27
2
16
Gentianaceae
Malvaceae
Melastomataceae
Melastomataceae
Melastomataceae
14
Eustoma russelianum
Hibiscusra-sinensis
Melastoma affine
Melastoma affine
Melastomata
malabratichum
Anthurium adreanum
3
Melaleuca bracteata
Myrtaceae
105
Hemerocallis fulva
Xanthorrhoeaceae
11
Rosa spp.
Rosaceae
43
Rosa spp.
Rosaceae
12
Acanthaceae
19
Crossandra
infundibuliformis
Hemerocalis fulva
16
Anthurium adreanum
Araceae
8
4
Datura suaveolens
Alternanthera ficoides
Solanaceae
Amaranthaceae
9
Epidendrum ibaguense
Orchidaceae
16
Ficus benjamina
Moraceae
Araceae
Xanthorrhoeaceae
Sumber: Permatasari & Hidayat (2013).
Kutudaun kapas A. gossypii merupakan spesies yang polifag dan hama
pada tanaman budidaya famili Cucurbitaceae, Rutaceae, Malvaceae (Roques
2006; CABI 2014), kapas, bunga krisan (Vaquez et al. 2006), ketimun, dan
strowberi. Menurut Blackman & Eastrop (2000), A. gossypii merupakan kutudaun
yang paling sering menyerang tanaman hias. Spesies ini bersifat kosmopolitan dan
hama pertanian yang sangat penting dengan kisaran inang yang luas. Kutudaun ini
menyerang pada banyak famili tanaman, termasuk hampir seratus spesies tanaman
6
di seluruh dunia. Kutudaun ini dapat membawa 50 jenis penyakit virus ke
berbagai jenis tumbuhan inang lainnya.
Kutudaun krisan M. sanborni merupakan hama pada tanaman budidaya krisan
Dendranthema indicum, D. morifolium, D. frustescens; Cucumis melo (Cucurbitaceae);
Compositae (Anthemis, Artemisia, dan Aster) (Blackman & Eastrop 2006). Kutudaun
ini dapat membawa 5 jenis virus. Dua di antaranya merupakan virus pada tanaman
krisan (Chrysanthemum virus B dan Chrysanthemum vein mottle virus strain) (Miller &
Stoetzel 1997; Omoy et al. 2000; Zamani et al. 2003). Kutudaun krisan M. sanborni
umumnya menyerang pada bagian daun muda dan bakal bunga. Akibat serangan
tersebut kualitas bunga akan menurun. Pada serangan yang berat tanaman akan gagal
menghasilkan bunga, sehingga secara ekonomi dapat menurunkan kualitas dan nilai
jual dari bunga potong tersebut (Madjdzadeh & Mehrparvar 2009).
Morfologi Kutudaun
Imago kutudaun umumnya terdiri dari dua bentuk yaitu imago bersayap
dan imago tidak bersayap, dengan ciri khas dari kutudaun ini terdapat sepasang
kornikel pada abdomen belakang, yang berperan sebagai pertahanan (Boror et al.
1996). Imago yang bersayap biasanya muncul bila kepadatan populasi tinggi.
Serangga ini mempunyai tingkat keperidian yang tinggi, dan di daerah tropik
berkembang biak secara partenogenesis dan vivipar. Embrio dapat terbentuk tanpa
melalui proses pembuahan dan telah berkembang di dalam tubuh induknya,
sehingga imago kutudaun tampak seperti melahirkan nimfa (Kalshoven 1981).
Laju pertumbuhan kutudaun dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, faktor
lingkungan, kepadatan populasi, dan perbandingan antara serangga yang tidak
produktif dengan yang masih produktif (Dixon 1985). Secara umum morfologi
kutudaun dapat dideskripsikan pada Gambar 1.
Menurut Blackman & Eastrop (2000), kutudaun kapas A. gossypii
memiliki bentuk tubuh oval, berwarna hijau gelap, pada populasi tinggi berwarna
kuning. Memiliki kornikel berwarna gelap dengan kauda berwarna gelap atau
pucat. Aptera berukuran 0.9-1.8 mm dan alate berukuran 1.1-1.8 mm. Kutudaun
krisan M. sanborni memiliki bentuk badan lonjong, berwarna coklat kemerahan
sampai kehitaman. Memiliki kornikel dan kauda berwarna hitam, dengan kornikel
berukuran lebih pendek dibandingkan dengan kauda. Aptera berukuran 1.0-2.3
dan alate 1.8-2.6 mm.
Kutudaun berkembang biak secara partenogenisis dengan fase nimfa
terdiri dari 4 instar. Secara umum nimfa instar pertama dapat dibedakan karena
hanya memiliki 4 segmen antena. Nimfa instar kedua memiliki 5 segmen antena.
Nimfa instar ketiga tidak memiliki setae pada marginal genital plate, sedangkan
nimfa instar keempat memiliki 6 segmen antena dan setae pada marginal genital
plate. Nimfa instar kedua yang akan memiliki sayap tampak memiliki bahu,
sedangkan nimfa instar ketiga memiliki bantalan sayap kecil dan sayap yang
berkembang, dan akan lebih menonjol pada nimfa instar ke empat (Capinera 2008;
CABI 2014).
7
a
c
b
e
d
Gambar 1 Morfologi kutudaun; (a) morfologi umum imago kutudaun, (b) panjang
antena segmen terakhir (base dan processus terminals), (c) panjang
segmen terakhir rostum (R IV+V), (d) panjang kauda, (e) panjang
segmen kedua hind tarsus (HT II) (sumber: Blackman & Eastrop 1994)
Biologi dan Ekologi
Kutudaun sebagian besar bereproduksi secara aseksual baik pada betina
yang bersayap (alate) atau tidak bersayap (aptera). Kutudaun kapas A. gossypii
dan kutudaun krisan M. sanborni menunjukkan siklus hidup yang anholocyclic
(Roques 2006; Madjdzadeh & Mehrparvar 2009). Pertumbuhan populasi kutudaun
bergantung pada tanaman inangnya. Menurut CABI (2014), perbedaan yang
signifikan terjadi terhadap laju reproduksi A. gossypii yang dipelihara pada kapas,
semangka, dan kacang tanah. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada
potensi reproduksi pada kapas, semangka, wijen, dan terong. Waktu perkembangan
yang terpendek untuk A. gossypii terdapat pada kapas, sedangkan tingkat
perkembangan terpanjang terdapat pada melon. Menurut Maryam (1998), tingkat
populasi M. sanborni cenderung lebih tinggi pada krisan bunga putih
dibandingkan krisan bunga kuning.
Kutudaun A. gossypii membutuhkan 5.2 hari untuk mencapai kematangan
seksual pada kapas dengan suhu 28 °C. Suhu optimum untuk bereproduksi adalah
20-25 °C, dengan rata-rata nimfa yang dihasilkan 2.8 nimfa per hari (CABI 2014).
Pada tanaman nilam A. gossypii terdiri atas 4 instar nimfa. Rata-rata lama instar I,
II, III, IV berturut-turut adalah 1.8; 1.4; 1.2; dan 1.6 hari. Secara keseluruhan ratarata lama masa nimfa adalah 6 hari. Rata-rata masa preproduksi, produksi, dan
pasca reproduksi berturut-turut adalah 0.7; 6.9; dan 0.3 hari. Rata-rata masa imago
ialah 7.9 hari. Rata-rata masa nimfa sampai imago mati ialah 13.9 hari. Rata-rata
siklus hidup dari nimfa sampai menghasilkan nimfa lagi 6.7 hari. Rata-rata
banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh seekor imago ialah 22.8 hari dan ratarata banyaknya keturunan yang dilahirkan per hari rata-rata 3.9 ekor (Mardiningsih
& Deciyanto 1999).
Kutudaun krisan M. sanborni memiliki siklus hidup, keperidian, dan lama
hidup berturut-turut 9.75 hari, 24 ekor nimfa, dan 25 hari pada bagian daun segar,
sementara pada tanaman hidup berturut-turut 10.16 hari, 32.95 ekor nimfa, dan
8
22.9 hari (Maryam 1998). Suhu optimum perkembangan M. sanborni adalah 2225 °C, dengan rata-rata nimfa yang dihasilkan 2 nimfa per hari. Instar kedua dan
ketiga lebih tahan terhadap suhu ekstrem dibandingkan nimfa instar kesatu dan
keempat (Duan & Zhang 2004).
Menurut Dixon (1998), kutudaun kapas A. gossypii dan kutudaun krisan
M. sanborni merupakan hama penting pada pertanaman krisan. Kedua hama ini
makan pada bagian tanaman yang yang berbeda. M. sanborni pada bagian batang
yang berkembang, sedangkan A. gossypii pada bagian daun muda. Pada populasi
yang tinggi hama ini dapat menyebabkan tanaman berhenti berkembang.
Kehadiran satu spesies lain pada tanaman menghambat pertumbuhan spesies
lainnya. Ketika populasi kutu daun A. gossypii dan M. sanborni bercampur (mixed
population) kutudaun bersayap yang terbentuk memiliki persentase masingmasing populasi sebesar 55% dan 78%. Kutudaun bersayap memiliki jarak
terbang yang sangat terbatas, sementara untuk penyebaran jarak jauh disebarkan
melalui fase pradewasa dan imago melalui pengangkutan bahan tanaman yang
terinfestasi (Roques 2006).
Strategi Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni
Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni di lapangan dapat dilakukan
dengan beberapa teknik pengendalian seperti pengendalian kimiawi dengan
menggunakan insektisida, pengendalian hayati, dan pengendalian terpadu.
Kutudaun A. gossypii dan M. sanborni menjadi masalah utama pada pertanaman
krisan, karena resisten terhadap insektisida sistemik (Chambers 1986; Valizadeh et al.
2013). Pengendalian hayati yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan
cendawan Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana; parasitoid Diaretiella
rapae, Lysiphlebus spp., dan Aphidius matricariae (Hymenoptera: Brocinidae);
predator Aphidoletes aphidimyza (Diptera: Cecidomyiidae) dan Metasyrphis
corollae (Diptera: Syrphidae) (Parrella et al. 1999).
Pengendalian yang dilakukan pada produk pasca panen bunga potong
terhadap kutudaun ketika akan diperdagangkan antar negara adalah melalui karantina.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terbawanya kutudaun pada komoditas bunga
potong krisan. Salah satu perlakuan karantina yang digunakan adalah fumigasi.
Menurut Barantan (2013), fumigasi adalah suatu tindakan terhadap media pembawa
OPT menggunakan fumigan dalam ruang kedap udara dan waktu tertentu dapat
mematikan OPT. Fumigan yang digunakan untuk bunga potong krisan adalah metil
bromida (MB), fosfin formulasi padat (PH3), dan karbon dioksida (CO2) (Bond 1984;
Goerke et al. 2005; Zhang et al. 2012).
Berdasarkan Montreal Protokol penghapusan metil bromida di negara maju
ditetapkan pada tahun 2005, sedangkan di negara berkembang ditetapkan pada tahun
2015 kecuali untuk kepentingan karantina dan prapengapalan (Hidayat 2012).
Rekomendasi dari International Plant Protection Convention (IPPC) dan United
Nations Environment Programme (UNEP) penggunaan MB harus dikurangi dan pada
akhirnya dihentikan sehingga mengharuskan setiap negara melakukan penelitian
untuk mencari fumigan baru pengganti metil bromida, karena metil bromida termasuk
ke dalam bahan perusak ozon (FAO 2012). Fosfin formulasi padat penggunaannya
tidak cocok untuk komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013).
9
Fosfin Formulasi Cair sebagai Fumigan
Fosfin merupakan fumigan selain metil bromida yang terdaftar di berbagai
negara untuk desinfestasi komoditas tahan lama. Umumnya fosfin digunakan
dalam bentuk formulasi padat seperti alumunium fosfida dan magnesium fosfida.
Suhu dan kelembapan tertentu diperlukan agar fosfin dapat menguap. Fosfin
dengan bahan aktif alumunium fosfida 56% terdaftar untuk mengendalikan bubuk
kayu kering Dinoderus sp. pada rotan. Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium
fosfida dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat digunakan pada temperatur
yang rendah, misalnya 5 °C. Dalam perkembangannya fosfin juga diformulasikan
dalam bentuk gas cair. Fosfin ini disimpan dalam silinder bertekanan dengan
konsentrasi 2%. Fosfin terdaftar untuk mengendalikan berbagai jenis hama di
gudang beras dan kumbang Lasioderma serricorne pada tembakau di
penyimpanan (Hidayat 2012; Prijono 2012).
Di Indonesia terdapat enam formulasi berbahan aktif alumunium fosfida
(AlP) dan empat formulasi magnesium fosfida (Mg3P2). Alumunium fosfida
diformulasikan dalam bentuk tablet (T, 5 Formulasi) atau pelet (P, 1 formulasi)
dengan bahan aktif AlP 56-57%. Jenis formulasi magnesium fosfida yang terdapat
di Indonesia adalah tablet (2 formulasi) dan pelat (PL- plate dan PB- plate bait
masing-masing 1 formulasi) dengan bahan aktif Mg3P2 56-66% (Tabel 2).
Formulasi pelat lebih menguntungkan daripada tablet atau pelet karena pelepasan
gas fosfin lebih terkendali dan tidak meninggalkan serbuk residu (Prijono 2012).
Tabel 2 Fosfin formulasi padat yang terdaftar untuk mengendalikan hama gudang
di Indonesia
Bahan aktif
Kelompok
Formulasi
Hama sasaran
Golongan Nama
Fumigan
Fosfida Fosfin AlP 56% T, Sitophilus oryzae, S. zeamais,
57% T,
Tribolium castaneum, Rhyzopertha
57% P
dominica, Corcyra cephalonica,
dan/atau Cryptolestes spp., dan/atau
L. serricorne
MgP 60%
PL,
56% PB,
66% T
S. oryzae, S. zeamais, T. castaneum,
R. dominica dan/atau Cryptolestes
pussilus, dan/atau L. serricorne
Sumber: Prijono (2012).
Gas fosfin dihasilkan dari reaksi antara alumunium fosfida (AlP) atau
magnesium fosfida (Mg3P2) dengan uap air di udara menurut persamaan reaksi di
bawah ini (Bond 1984; Arifin et al. 2009; Soltani et al. 2013):
AlP + 3 H2O → PH3 + Al(OH)3
Alumunium fosfida + Uap air → Fosfin + Alumunium hidroksida
Mg3P2 + 6 H2O → 2 PH3 + 3 Mg(OH)2
Magnesium fosfida + Uap air → Fosfin + Magnesium hidroksida
10
Proses perubahan gas fosfin terjadi apabila alumunium fosfida atau
magnesium fosfida bereaksi dengan uap air di udara. Pada proses tersebut selain
gas fosfin dihasilkan juga senyawa alumunium hidroksida atau magnesium
hidroksida. Senyawa-senyawa ini bersifat limbah dalam fumigan fosfin. Pada
senyawa alumunium fosfida atau magnesium fosfida ditambahkan bahan pelapis.
Fungsi dari bahan pelapis ini adalah memperlambat terjadinya pelepasan gas dan
pencegahan akumulasi konsentrasi yang tinggi di udara yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebakaran. Bahan pelapis yang digunakan adalah lilin parafin dan
lapisan matriks plastik. Pada umumnya senyawa alumunium fosfida atau
magnesium fosfida mulai bereaksi setelah 2-4 jam. Dekomposisi sempurna akan
terjadi setelah 72 jam pada temperatur dan kelembapan yang sesuai. Pada
temperatur dan kelembapan yang lebih rendah dekomposisi akan lebih lama
sekitar 120 jam. Sifat fisiko-kimia fosfin dapat dilihat pada Tabel 3.
Perlakuan dengan fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan
residu pada komoditas. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu
untuk fosfin inorganik yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah 0.1 mg/kg
dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Fumigasi dengan menggunakan
fosfin harus memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimianya, serta dalam aplikasinya
membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metil bromida. Untuk
itu, yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan fumigasi dengan fosfin adalah
ketersediaan waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air
komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme pengganggu
tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi. Menurut Asean Food Handling Bureau
(AFHB) & Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR)
(1989), beberapa pertimbangan dalam memilih fosfin sebagai fumigan adalah:
a. Komoditas diperlukan dalam waktu bukan kurang dari 7 hari.
b. Keberadaan Trogoderma granarium dan penggunaan metil bromida tidak
dipersyaratkan.
c. Fumigasi harus dilakukan pada bungkil, biji berminyak, atau pakan.
d. Perkecambahan benih merupakan faktor penting.
e. Komoditas sebelumnya telah difumigasi oleh metil bromida.
f. Masalah perubahan warna terutama pada penggunaan metil bromida pada
tepung.
g. Suhu rendah kurang dari 15 °C.
h. Area yang berdekatan dengan tempat kerja dan tempat tinggal.
i. Tidak terdapat tim fumigasi yang terlatih, kompeten, dan dilengkapi alat
pelindung diri yang memadai.
11
Tabel 3 Sifat fisiko-kimia fosfin
No
Sifat
1. Rumus molekul
2. Bobot molekul (g/mol)
3. Titik didih (°C)
4. Bobot jenis (cair, kg/l)
5. Bobot jenis pada 0 °C (gas) (udara = 1.0)
6. Tekanan uap pada 30 °C (atm)
7. Faktor konversi g/m3 ke ppm (30 °C, 1 atm)
8. Batas nyala di udara (v/v)
9. Kelarutan dalam air (v/v)
10. Bau
Fosfin
PH3
34.04
-87.4
0.75 (-90 °C)
1.21
42
730
1.79%
0.2
Seperti bau karbit atau
bawang putih
Sumber: Monro (1969), Barantan (2007)
Fumigan yang umum digunakan dalam pelaksanaan tindakan karantina
tumbuhan dan prapengapalan adalah metil bromida dan fosfin formulasi padat,
namun fosfin formulasi padat memiliki beberapa kekurangan yaitu lama
pemaparan yang cukup panjang dan berisiko apabila diaplikasikan terhadap
komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013). Menurut Williams
(2000), fumigan fosfin merupakan fumigan yang paling menjanjikan.
Pengembangan fumigan fosfin dengan gas karbon dioksida dilakukan
untuk meningkatkan toksisitas dari fumigan ini. Fumigan fosfin formulasi cair
dengan periode pemaparan 15-16 jam dikembangkan untuk tujuan komersil dan
mendaftarkan fumigan ini untuk fumigasi pada bunga potong.
Fosfin formulasi cair merupakan salah satu alternatif fumigan pada
komoditas yang bermasalah apabila difumigasi dengan fosfin formulasi padat.
Fosfin formulasi cair yang diperdagangkan dikemas dalam tabung silinder
bertekanan tinggi. Kandungan gas fosfin dalam tabung silinder tidak lebih dari
5%. Pada umumnya senyawa fosfin formulasi cair yang diperdagangkan
mengandung 2% gas PH3 (fosfin) dan 98% gas CO2. Hal ini karena sifat fosfin
yang sangat mudah terbakar (flammable) (Barantan 2013). Sifat fisiko-kimia
fosfin formulasi cair disajikan pada Tabel 4. Beberapa rekomendasi dosis fosfin
formulasi cair disajikan pada Tabel 5.
12
Tabel 4 Sifat fisiko-kimia fosfin formulasi cair
No
Sifat
Fosfin formulasi cair
1. Warna
Tidak berwarna
2. Bentuk
Gas
3. Bau
Seperti aroma bawang putih
4. Titik didih
Menyublim (perubahan wujud padat
ke gas tanpa mencair terlebih dahulu)
5. Titik leleh
Menyublim (perubahan wujud padat
ke gas tanpa mencair terlebih dahulu)
6. Tekanan uap
47266mm Hg @ 25 °C
7. Densitas uap
1.53 @ 25 °C
8. Persen volatile (% wt.):100
100
9. pH
Tidak berlaku
10. Titik jenuh di udara (% Vol.):
Tidak berlaku
11. Tingkat penguapan
Tidak berlaku
12. Kelarutan dalam air
Sedikit
13. Titik nyala
Tidak mudah terbakar
14. Batas mudah terbakar
Campuran yang tidak mudah terbakar
15. Suhu nyala
Tidak berlaku
16. Suhu dekomposisi
Tidak ada
17. Koefisien partisi (rasio konsentrasi Tidak berlaku
zat terlarut dalam dua cairan yang
tercampur atau sedikit larut atau
dalam dua padatan) (n-oktananol/air)
18. Batas bau
Tidak ada
Sumber: Cytec (2009).
13
Tabel 5 Rekomendasi dosis fosfin formulasi cair untuk beberapa komoditas
No Komoditas Jenis OPT
Dosis
Konsentrasi
Lama
Suhu
PH3
pemaparan
1 Beras
70 g/m3
1000 ppm
36 jam
24.5-29.0 °C
Sitophilus
zeamays
Tribolium
castaneum
Oryzaephilus
surinamensis
2 Bahan
Rhyzopertha
50 g/m3
700 ppm
9 hari
20-24 °C
25-29 °C
simpan
dominica
5 hari
30 °C
3 hari
atau lebih
3 Kopi
Araecerus
20 g/m3
300 ppm
4 hari
fasciculatus
35 g/m3
500 ppm
3 hari
24.2-33.1 °C
3
50 g/m
700 ppm
2 hari
70 g/m3
1000 ppm
1 hari
3
4 Kakao
Ephestia sp.
20 g/m
300 ppm
4 hari
35 g/m3
500 ppm
3 hari
24.2-33.1 °C
50 g/m3
700 ppm
2 hari
70 g/m3
1000 ppm
1 hari
5 Tembakau Lasioderma
25 g/m3
350 ppm
12 hari
23-32.3 °C
serricorne
6 Buah nenas Planococcus
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
minor
7 Buah
P. minor
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
manggis
8 Anggrek
P. minor
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
Sumber : Badan Karantina Pertanian (2013).
14
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Gedung
Workshop Fumigasi dan X-ray Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina
Pertanian, Jalan Raya Kampung Utan-Setu, Desa Mekar Wangi Kecamatan
Cikarang Barat Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Agustus hingga Desember 2014.
Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah ruang fumigasi (0.75 m x
0.75 m x 0.75 m) ditutup menggunakan plastik yang terbuat dari poly vinyl
chloride (PVC), eye protection (full face mask), protective clothing (baju lengan
panjang, sepatu, dan kaus kaki), self contained breathing apparatus (SCBA),
selang monitor, timbangan digital, pengukur konsentrasi PH3 (Dräger X-am
7000), pendeteksi kebocoran (leak detector Dräger pac 7000), pengukur suhu dan
kelembapan (Quart Precision Thermo-Hygrograph Isuzu TH-27R), dan portable
blower. Bahan fumigan yang digunakan adalah fosfin formulasi cair yang
mengandung 2% fosfin (PH3) dan 98% karbondioksida (CO2) dengan selang
distribusi dan gun injector, imago dan nimfa instar III A. gossypii dan M.
sanborni, bibit krisan sebagai pakan, bunga potong krisan, kotak plastik (8 cm x 8
cm x 11 cm), dan kotak kertas (60 cm x 20 cm x 20 cm).
0.75 m
0.75 m
0.75 m
Gambar 2 Ruang fumigasi
Penyiapan Serangga Uji
Identifikasi Kutudaun
Identifikasi dilakukan dengan membuat preparat slide dari sampel
serangga uji. Tahapan pembuatan preparat kutudaun sebagai berikut: (a) kutudaun
direbus dalam alkohol 95% selama 3 menit, lalu ditusuk dibagian abdomen, (b)
kutudaun direbus dalam KOH 10% hingga menjadi transparan, (c) dilakukan
pencucian menggunakan aquades sebanyak 2 kali, (d) direndam dalam alkohol
50% selama 10 menit, (e) perendaman kembali dalam alkohol 80% selama 10
15
menit, (f) perendaman kembali dalam alkohol 95% selama 10 menit, (g)
perendaman kembali dalam alkohol 100% selama 10 menit, (h) perendaman
dalam minyak cengkeh selama 10 menit dan, (i) mounting dengan menggunakan
canada balsam atau entelan.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi kutudaun
Blackman & Eastrop (2000, 2006). Identifikasi dilakukan pada fase imago karena
pada fase tersebut morfologi kutudaun telah sempurna. Secara umum karakter
kutudaun yang menjadi ciri identifikasi adalah bentuk antena tuberkel, kauda, dan
kornikel.
Perbanyakan Kutudaun
Kutudaun (A. gossypii dan M. sanborni) dikoleksi dari lapangan, kemudian
dipelihara dan diperbanyak pada tanaman krisan. Krisan ditanam pada pot yang
ditutup kain organdi dan diletakkan di rumah kaca. Serangga uji yang digunakan
adalah nimfa instar III dan imago yang berumur relatif sama.
Gambar 3 Perbanyakan serangga uji pada bunga krisan pot
Uji Pendahuluan
Pengujian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kisaran lama
pemaparan dan konsentrasi minimal fosfin formulasi cair yang akan digunakan
pada uji lanjut. Pengujian pendahuluan dilakukan terhadap 30 ekor nimfa instar III
atau imago A. gossypii atau M. sanborni yang diinfestasikan pada bibit krisan tipe
spray (Gambar 4a). Kapas basah diberikan pada bagian perakaran untuk menjaga
kesegaran tanaman selama perlakuan (Gambar 4b), kemudian diletakkan ke dalam
kotak plastik (8 cm x 8 cm x 11 cm) (Gambar 4c).
Gambar 4 Bibit krisan yang digunakan sebagai pakan kutudaun; (a) bibit krisan
tipe spray, (b) kapas basah diberikan pada bagian perakaran, (c) kotak
plastik
16
Lama pemaparan yang ditetapkan adalah 6, 12, dan 18 jam dengan 5 taraf
konsentrasi (0, 50, 100, 200, 300 ppm) yang diulang sebanyak 3 kali. Mortalitas
serangga diamati 1 jam setelah perlakuan (JSP). Kebutuhan dosis untuk mencapai
konsentrasi yang ditetapkan diperkirakan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Perhitungan dosis awal
Dosis Kg =
Volume kotak fumigasi (m3) x konsentrasi perlakuan (ppm PH3 )
14 000
Catatan : 1 g PH3/m3 (700 ppm) = 5% CO2, 1 Kg ECO2FUME = 20 gr PH3
b. Perhitungan penambahan gas untuk mencapai konsentrasi awal
KT KA x Volume kotak fumigasi (m3)
Dosis Kg =
14 000
Keterangan : KT = Konsentrasi Target (ppm PH3), KA = Konsentrasi Awal (ppm PH3)
Uji Lanjut terhadap A. gossypii dan M. sanborni
Uji lanjut dilakukan terhadap imago dan nimfa instar III A. gossypii dan
M. sanborni pada kombinasi lama pemaparan dan konsentrasi terbaik pada uji
pendahuluan. Pada uji lanjut ini perlakuan diujikan pada masing-masing 1 ikat
bunga potong krisan tipe spray (terdiri dari 10 bung
Aphis gossypii Glover DAN Macrosiphoniella sanborni Gillette
(Hemiptera: Aphididae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
NUR RACHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Fosfin
Formulasi Cair terhadap Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni
Gillette (Hemiptera: Aphididae) pada Bunga Potong Krisan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Nur Rachman
NIM A351130474
RINGKASAN
NUR RACHMAN. Keefektifan Fosfin Formulasi Cair terhadap Aphis gossypii
Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae) pada
Bunga Potong Krisan. Dibimbing oleh DADANG dan R YAYI MUNARA
KUSUMAH.
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang banyak diminati
oleh masyarakat karena memiliki nilai estetika dan ekonomi yang tinggi. Volume
ekspor tanaman hias Indonesia, khususnya bunga krisan, masih relatif rendah
dibandingkan dengan negara lain. Hal ini diakibatkan oleh beberapa kendala di
antaranya adalah terbawanya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga
yang diekspor. Beberapa hama dapat menyerang bunga krisan, dua di antaranya
adalah kutudaun Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette.
Salah satu perlakuan karantina untuk membebaskan komoditas pertanian dari
hama adalah fumigasi. Alternatif fumigan yang memiliki keefektifan yang baik
adalah fosfin formulasi cair. Tujuan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi
dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang efektif mematikan A. gossypii dan
M. sanborni pada bunga potong krisan serta mengevaluasi kualitas bunga yang
diperlakukan dengan fumigan tersebut.
Penelitian dilaksanakan dalam 5 tahapan: (1) Identifikasi serangga uji;
(2) Perbanyakan A. gossypii dan M. sanborni; (3) Uji pendahuluan terhadap fase
nimfa instar III dan imago; (4) Aplikasi konsentrasi dan lama pemaparan fosfin
formulasi cair terhadap fase nimfa instar III dan imago A. gossypii dan M. sanborni
dan; (5) Uji validasi konsentrasi dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang
efektif serta mengevaluasi pengaruh perlakuan terhadap kualitas bunga potong
krisan.
Uji pendahuluan menunjukkan bahwa pada konsentrasi tertinggi 300 ppm,
aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago atau nimfa instar III A. gossypii dan
M. sanborni dengan lama pemaparan 6 jam dan 12 jam belum dapat mematikan
100% serangga uji. Pada uji lanjut dengan menggunakan konsentrasi 300-700 ppm,
persentase mortalitas sebesar 100% terhadap nimfa instar III dan imago A. gossypii
berturut-turut tercapai pada konsentrasi 500 ppm dan 400 ppm, sementara
terhadap nimfa instar III dan imago M. sanborni berturut-turut tercapai pada
konsentrasi 700 ppm dan 600 ppm, dengan lama pemaparan 12 dan 15 jam. Hasil
analisis probit M. sanborni menunjukkan bahwa nilai LC50 dan LC95 terendah
ditunjukkan pada lama pemaparan 15 jam dengan nilai berturut turut 209.8 ppm
dan 397.8 ppm untuk fase imago, sedangkan untuk fase nimfa instar III 213.3 ppm
dan 539.4 ppm.
Aplikasi fosfin formulasi cair terhadap A. gossypii dan M. sanborni
menyebabkan kematian 100%, berturut-turut pada konsentrasi 500 ppm dan 700
ppm, dengan lama pemaparan 12 jam. Konsentrasi hingga 700 ppm dengan lama
pemaparan hingga 18 jam tidak berdampak buruk terhadap kualitas bunga potong
krisan.
Kata kunci: fumigasi, fumigan, konsentrasi, lama pemaparan, kematian
SUMMARY
NUR RACHMAN. Effectiveness of Liquified Phosphine against Aphis gossypii
Glover and Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae) on Cut
Flowers Chrysanthemum. Supervised by DADANG and R YAYI MUNARA
KUSUMAH.
Chrysanthemum is flowering plant that has high aesthetic and economic
values. Export volume of chrysanthemums is relatively low compared to other
countries, which could be due to damage caused by insect pest. Insect pests that
are usually found are Aphis gossypii Glover and Macrosiphoniella sanborni
Gillette. One control measures usually taken in quarantine is fumigation.
Alternative fumigant that has high effectiveness is liquified phosphine
formulations. The objectives of this study were to determine the concentration and
exposure time of liquified phosphine application against these two pests and to
evaluate the effect of fumigant on the quality of flowers.
The experiment was conducted in five stages: (1) Identification of test
insect; (2) Mass rearing of A. gossypii and M. sanborni; (3) Preliminary test on
adult and third instar nymphs; (4) Determination of liquified phosphine
concentration and exposure time to adult and third instar nymphs of A. gossypii
and M. sanborni and; (5) Validation test of effective concentration and exposure
time and evaluation of their effects on quality of flowers.
Preliminary test showed that treatment with highest concentration of 300
ppm, with 6 and 12 hours exposure time was not able to provide 100% mortality
of test insect. In a futher test that used a concentration 300-700 ppm, the
percentage of 100% mortality against third instar nymphs and adult A. gossypii
occured at a concentration of 500 ppm and 400 ppm, while third instar nymphs
and adult M. sanborni occurred at a concentration 700 ppm and 600 ppm,
respectively, with exposure time 12 and 15 hours. Probit analysis of M. sanborni
showed exposure time 15 hour resulted the lowest of LC50 and LC95 values. LC50
and LC95 values for adult were 209.8 ppm and 397.8 ppm, while third instar
nymphs were 213.3 ppm and 539.4 ppm, respectively.
Concentrations of fumigant causing 100% mortality were 500 ppm and
700 ppm against A. gossypii and M. sanborni, repectively with exposure time of
12 hours. These concentrations until 700 ppm and exposure time until 18 hours
did not cause negative impact to the quality of cut chrysanthemum flowers.
Key words : fumigation, fumigant, concentration, exposure time, mortality
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEEFEKTIFAN FOSFIN FORMULASI CAIR TERHADAP
Aphis gossypii Glover DAN Macrosiphoniella sanborni Gillette
(Hemiptera: Aphididae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
NUR RACHMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Antarjo Dikin, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai
Desember 2014 ini ialah Keefektifan Fosfin Formulasi Cair terhadap Aphis
gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni Gillette (Hemiptera: Aphididae)
pada Bunga Potong Krisan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dadang, MSc dan
Dr Ir R Yayi Munara Kusumah, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Dr Ir Pudjianto, MSi selaku Ketua Program Studi Entomologi dan Prof Dr Ir Sri
Hendrastuti, MSc selaku Ketua Program Studi Fitopatologi serta staf pengajar
Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis
mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Pimpinan Badan Karantina
Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada
Sekolah Pascasarjana IPB dan Kepala beserta staf Balai Uji Terap Teknik dan
Metode Karantina Pertanian atas bantuan sarana untuk pelaksanaan fumigasi
kegiatan penelitian ini. Selain itu terima kasih kepada teman-teman satu angkatan
(2013-2014) atas bantuan dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata penulis persembahkan
untuk istri tercinta serta ananda Dzakiyya Raeesa Nur Zahra
Semoga hasil karya ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
Nur Rachman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Krisan dan Peranannya sebagai Sumber Devisa
Kutudaun pada Tanaman Hias dan Arti Penting Ekonomi
Morfologi Kutudaun
Biologi dan Ekologi
Strategi Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni
Fosfin Formulasi Cair sebagai Fumigan
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Penyiapan Serangga Uji
Identifikasi Kutudaun
Perbanyakan Kutudaun
Uji Pendahuluan
Uji Lanjut terhadap A. gossypii dan M. sanborni
Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Pelaksanaan Fumigasi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Identifikasi Kutudaun
Uji Pendahuluan
Uji Lanjut Perlakuan Fumigasi Fosfin Formulasi Cair terhadap
Imago dan Nimfa Instar III A. gossypii serta M. sanborni
Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ix
ix
x
1
1
2
2
3
3
4
6
7
8
9
14
14
14
14
14
15
15
16
16
17
19
20
20
20
22
24
27
29
32
32
32
33
39
73
DAFTAR TABEL
1 Kutudaun pada tanaman hias di Kecamatan Pacet, Cipanas
2 Fosfin formulasi padat yang terdaftar untuk mengendalikan hama
gudang di Indonesia
3 Sifat fisiko-kimia fosfin
4 Sifat fisiko-kimia fosfin formulasi cair
5 Rekomendasi dosis fosfin formulasi cair untuk beberapa komoditas
6 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
7 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair pada lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
8 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
9 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
10 Penduga parameter toksisitas fosfin formulasi cair terhadap mortalitas
imago dan nimfa instar III M. sanborni dengan lama
pemaparan 12 dan 15 jam
11 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III A. gossypii
pada konsentrasi fosfin formulasi cair dengan beberapa lama pemaparan
12 Rata-rata persentase mortalitas imago dan nimfa instar III M. sanborni
pada konsentrasi fosfin formulasi cair dengan beberapa lama pemaparan
13 Rata-rata skor kerusakan bunga potong krisan pada pengamatan
1, 24, 48, 72, 96, dan 120 JSP
5
9
11
12
13
23
23
24
26
26
28
28
28
DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi kutudaun; (a) morfologi umum imago kutudaun, (b) panjang
antena segmen terakhir (base dan processus terminals), (c) panjang
segmen terakhir rostum (R IV+V), (d) panjang kauda, (e) panjang
segmen kedua hind tarsus (HT II) (sumber: Blackman & Eastrop 1994)
2 Ruang fumigasi
3 Perbanyakan serangga uji pada bunga krisan pot
4 Bibit krisan yang digunakan sebagai pakan kutudaun; (a) bibit krisan tipe
spray, (b) kapas basah diberikan pada bagian perakaran, (c) kotak plastik
5 Pelepasan fumigan; (a) tabung berisi fosfin formulasi cair,
(b) gun injector, (c) pelepasan fumigan pada ruang fumigasi
7
14
15
15
17
6 Pengukuran konsentrasi gas dan suhu ruang; (a) alat pengukur konsentrasi
PH3, (b) pengamatan konsentrasi, (c) alat pengukur suhu dan kelembapan
7 Pembebasan gas fumigan; (a) pembebasan gas menggunakan blower,
(b) leak detector
8 Kutudaun A. gossypii; (a) koloni A. gossypii pada bunga
Chrysantemum spp., (b) imago bersayap, (c) imago berwarna kuning,
(d) imago berwarna hijau (perbesaran 32x)
9 Nimfa A. gossypii; (a) nimfa instar I, (b) nimfa instar II, (c) nimfa
instar III, (d) nimfa instar IV (perbesaran 50x)
10 Karakteristik imago A. gossypii; (a) imago tidak bersayap, (b) antena
tuberkel, (c) terminal process antena dua kali dari dasar segmen antena
terakhir, (d) kornikel yang berwarna gelap (perbesaran 10x)
11 Kutudaun M. sanborni; (a) koloni M. sanborni, (b) imago bersayap,
(c) imago tidak bersayap (perbesaran 32x)
12 Nimfa M. sanborni; (a) nimfa instar I berwarna coklat transparan,
(b) nimfa instar II berwarna coklat kemerahan (perbesaran 50x), (c) nimfa
instar III, (d) nimfa instar IV berwarna coklat kehitaman (perbesaran 32x)
13 Perbedaan kauda nimfa dan imago M. sanborni; (a) nimfa instar IV,
(b) imago
14 Karakteristik imago M. sanborni; (a) imago tidak bersayap
(perbesaran 4x), (b) antena tuberkel, (c) kornikel dan kauda, (d) antena
segmen III, (e) femur dan tibia (perbesaran 10x)
15 Respons mortalitas; (a) imago, (b) nimfa instar III A. gossypii terhadap
beberapa konsentrasi fumigan fosfin formulasi cair. —●—12 jam,
■ 15 jam, ---♦--- 18 jam
16 Respons mortalitas; (a) imago, (b) nimfa instar III M. sanborni terhadap
beberapa konsentrasi fumigan fosfin formulasi cair. —●—12 jam,
■ 15 jam, ---♦--- 18 jam
18
18
21
21
21
21
22
22
22
25
27
DAFTAR LAMPIRAN
1 Penampilan bunga potong krisan tipe spray varietas Zembla white pada
konsentrasi 700 ppm
2 Penampilan bunga potong krisan tipe standar varietas Fiji white pada
konsentrasi 700 ppm
3 Koloni kutudaun pada tanaman krisan
4 Bunga potong krisan
5 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 6 jam
6 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 12 jam
7 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 15 jam
8 Data pengukuran suhu dan kelembapan lama pemaparan 18 jam
41
42
43
44
45
46
47
48
9 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
10 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 6, 12, dan 18 jam
11 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago A. gossypii
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
12 ANOVA persentase mortalitas nimfa instar III dan imago M. sanborni
pada beberapa konsentrasi fosfin formulasi cair dengan lama
pemaparan 12, 15, dan 18 jam
13 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago
M. sanborni dengan lama pemaparan 12 jam
14 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap nimfa
instar III M. sanborni dengan lama pemaparan 12 jam
15 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap imago
M. sanborni dengan lama pemaparan 15 jam
16 Hasil analisis probit aplikasi fosfin formulasi cair terhadap nimfa
instar III M. sanborni dengan lama pemaparan 15 jam
49
52
55
58
61
64
67
70
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan keanegaraman
hayati termasuk flora. Berbagai jenis tanaman hias dapat tumbuh dengan baik di
Indonesia. Empat jenis bunga yang diproduksi di Indonesia selain untuk pasar
dalam negeri namun juga untuk pasar internasional adalah mawar (Rosa spp.),
anggrek (Phalaenopsis spp.), krisan (Chrysanthemum spp.) dan sedap malam
(Polianthes spp.). Bunga krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias yang
banyak diminati oleh masyarakat karena memiliki nilai estetika dan ekonomi yang
tinggi. Tanaman hias ini berupa perdu yang dikenal juga dengan nama seruni atau
bunga emas (golden flower) yang berasal dari Daratan Cina. Perkembangan
produksi krisan di Indonesia mengalami peningkatan selama periode 2007-2013
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 37.12% per tahun (Ekanantari 2014). Total
volume ekspor bunga ini pada tahun 2012 mencapai 79.10 ton dengan nilai
US$ 1 647 127, namun mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 57.05 ton
dengan nilai US$ 772 117 (BPS 2014). Nilai ini masih relatif lebih rendah
dibandingkan negara lain, seperti Belanda, Kolombia, Ekuador, Kenya, Jerman
dan Malaysia (Van Rijswick 2015). Hal ini diakibatkan oleh beberapa kendala di
antaranya adalah terdapatnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga
yang diekspor.
Beberapa hama dapat menyerang pertanaman bunga krisan, dua di
antaranya adalah kutudaun Aphis gossypii Glover dan Macrosiphoniella sanborni
Gillette (Hemiptera: Aphididae), yang merupakan hama penting pada
Chrysanthemum indicum dan Chrysanthemum morifolium (Dixon 1998; Rostami
et al. 2012; Valizadeh et al. 2013). Selain sebagai hama, serangga ini juga dapat
berperan sebagai vektor virus. Serangan kutudaun dapat menurunkan kualitas
bunga krisan. Dalam perdagangan bebas dan kesepakatan tentang penerapan
ketentuan sanitary and phytosanitary Organisasi Perdagangan Dunia
mempersyaratkan produk-produk yang akan diperdagangan untuk tujuan ekspor
harus bebas dari OPT yang belum ada di negara tujuan ekspor. Berdasarkan
International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM) No. 34, hama yang
dapat bersifat sebagai vektor harus dicegah penyebarannya (IPPC 2011).
Mengingat hal tersebut maka negara pengekspor perlu memperhatikan kualitas
dan kuantitas dari produk pertaniannya. Infestasi serangga pada bunga
menyebabkan negara pengimpor harus melakukan fumigasi atau menolak bunga
potong tersebut sehingga perlakuan karantina tanpa merusak bunga dibutuhkan
sesuai dengan keinginan pasar.
Fumigasi sebagai perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk
membebaskan komoditas pertanian dari OPT. Hal ini sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan kegiatan karantina tumbuhan yaitu mencegah masuk dan
tersebarnya OPT sehingga fumigasi sebagai perlakuan karantina harus dapat
membunuh serangga hama secara sempurna (zero tolerant).
Setidaknya terdapat tiga jenis fumigan yang digunakan secara luas,
pertama adalah metil bromida yang akan dihapus penggunaannya pada tahun 2015
berdasarkan pada Montreal Protocol, kedua adalah fosfin yang mudah
2
diaplikasikan serta meninggalkan residu yang rendah, dan ketiga adalah sulfur
flourida yang umumnya hanya digunakan untuk perlakuan kayu dan bukan untuk
makanan.
Fosfin merupakan fumigan yang digunakan sebagai pengendalian serangga
hama selama beberapa dekade dan merupakan alternatif fumigan metil bromida
untuk mengendalikan hama pasca panen. Fumigan ini memiliki tingkat
keefektifan yang tinggi untuk desinfestasi gandum secara massal dan komoditi
lainnya (Bell 2000). Sifat lain yang menyebabkan fosfin tersebar luas adalah
harganya yang relatif murah, mudah diaplikasikan, meninggalkan residu yang
rendah, dan dapat digunakan pada berbagai komoditi dan penyimpanan (Nayak &
Collin 2008). Fosfin diketahui merupakan fumigan yang memiliki efek
fitotoksisitas yang lebih rendah dibandingkan metil bromida, karbonil sulfida, dan
hidrogen sianida pada bunga potong (Weller & Graver 1998), namun demikian
fosfin formulasi padat memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan lama
pemaparan yang cukup panjang dan berisiko apabila diaplikasikan pada
komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013). Untuk itu dibutuhkan
alternatif fosfin formulasi padat yang memiliki keefektifan yang lebih baik dan
tidak menimbulkan dampak negatif bagi komoditas yang difumigasi, manusia,
hewan, dan lingkungan.
Pengembangan fumigan fosfin dengan gas karbon dioksida dilakukan
untuk meningkatkan daya toksisitas dari fumigan ini. Fosfin formulasi cair yang
diperdagangkan pada tabung silinder bertekanan tinggi, dengan komposisi
formulasi 2% PH3 (fosfin) dan 98% CO2 merupakan bahan fumigan yang tidak
mudah terbakar. Hingga saat ini belum diketahui konsentrasi dan lama pemaparan
yang efektif untuk pengendalian A. gossypii dan M. sanborni pada bunga potong
krisan dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan, sehingga
penelitian terhadap fosfin formulasi cair perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Menentukan konsentrasi dan lama pemaparan fosfin formulasi cair yang
efektif mematikan A. gossypii dan M. sanborni serta mengevaluasi kualitas bunga
yang diperlakukan fumigan tersebut.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi Badan Karantina Pertanian untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan tindakan perlakuan
fosfin formulasi cair
2. Sebagai bahan acuan bagi pembaca untuk memperluas wawasan agar dapat
mengembangkan dan mengaplikasikan penelitian ini serta dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan rujukan untuk mengadakan penelitian selanjutnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Krisan dan Peranannya sebagai Sumber Devisa
Krisan merupakan bunga potong komersial yang mudah dibudidayakan
dan dikembangkan. Bunga ini memiliki masa hidup yang paling lama
dibandingkan bunga potong lain dan dapat berbunga sesuai dengan waktu panen
yang ditentukan. Budidaya krisan pertama kali dilakukan di Cina 3000 tahun SM,
dan merupakan spesies alami dari daratan Asia Timur. Pada tahun 1735 seorang
botanis Swedia, Karl Linnaeus mengintroduksi tanaman ini ke negara-negara
barat.
Tanaman krisan termasuk famili Asteraceae, genus Chrysanthemum.
Chrysanthemum dalam bahasa yunani berasal dari kata chyros yang berarti emas
dan anthemon yang berarti bunga, sehingga bunga ini juga dikenal sebagai bunga
emas (golden flower). Tanaman krisan di Indonesia mulai dikomersialkan dan
dikembangkan pada awal 1990. Tanaman ini banyak ditanam pada area lebih dari
600 m dpl. Suhu udara terbaik yang diperlukan untuk tanaman krisan di daerah
tropis seperti di Indonesia adalah antara 20 dan 26 °C. Daerah sentra produsen
krisan di Indonesia antara lain: Cipanas, Cisarua, Sukabumi, Lembang (Jawa
Barat), Bandungan (Jawa Tengah), dan Brastagi (Sumatera Utara). Beberapa
varietas krisan yang umum di pasaran yaitu C. morifolium, C. leucanthemum,
C. sperbum, C. frutescens, dan C. indicum (Djatnika 2008).
Bunga dari genus Chrysanthemum yang paling popular adalah C. indicum
dan C. morifolium yang telah dihibridisasi menjadi Dendrathema gandiflora.
Bunga krisan untuk produksi umumnya dikenal dengan 2 tipe, yaitu bunga tipe
spray dan bunga tipe standar. Bunga tipe spray memiliki 10 sampai 20 kuncup
bunga berukuran kecil dengan diameter 2-3 cm pada satu tangkai bunga. Bunga
tipe standar hanya memiliki satu bunga pada satu tangkai bunga dan bunga
berukuran besar. Tanaman krisan membutuhkan cahaya yang lebih lama untuk
berbunga, sehingga diperlukan penambahan cahaya dari lampu. Waktu
penambahan penyinaran yang baik adalah tengah malam, antara pukul 22.30
sampai 01.00 dengan total penyinaran sekitar 150 watt pada area 9 m 2 dan lampu
dipasang setinggi 1.5 m dari permukaan tanah. Pemasangan lampu dilakukan pada
fase vegetatif tanaman, yaitu mulai 2 sampai 8 minggu setelah tanam (Djatnika
2008).
Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Pada tahun 2009-2013 volume ekspor bunga ini berturutturut mencapai 36.39 ton dengan nilai US$ 656 081; 63.06 ton dengan nilai
US$ 1 397 751; 59.55 ton dengan nilai US$ 1 329 468; 79.10 ton dengan nilai
US$ 1 647 127; 57.05 ton dengan nilai US$ 772 117 (BPS 2014). Volume ekspor
bunga krisan sendiri mencapai 634.532 batang pada tahun 2012, namun
mengalami penurunan pada tahun 2013 dengan volume 127.540 batang (Barantan
2014). Negara tujuan ekspor krisan segar Indonesia pada tahun 2013 adalah
Jepang, Singapura, dan Australia, dengan persentase berturut-turut 97.4%, 2.4%,
dan 0.18% (Ekanantari 2014).
4
Kutudaun pada Tanaman Hias dan Arti Penting Ekonomi
Kutudaun merupakan salah satu organisme yang memiliki banyak
keanekaragaman spesies pada daerah beriklim sedang dan terdistribusi secara luas
di dunia (Jalalizand et al. 2012). Kutudaun merupakan serangga hama yang
bersifat polifag. Kutudaun merusak tanaman dengan cara menghisap cairan daun,
sehingga tanaman menjadi layu dan kering. Kutudaun dapat menyebabkan
kerusakan secara langsung dan tidak langsung.
Kerusakan secara langsung disebabkan oleh aktifitas makan kutudaun
yang menghisap nutrisi dari bagian tumbuhan seperti daun, batang, dan akar
sehingga mengakibatkan bagian tumbuhan tersebut kekurangan nutrisi (Cranshaw
2004). Kerusakan yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh kutudaun lebih
merugikan dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh peranannya
sebagai hama. Kerugian kutudaun sebagai hama berkisar 6-25%, sedangkan
sebagai vektor dapat mencapai lebih dari 80% (Kranz et al. 1978). Sebagian kecil
dari spesies kutudaun memiliki saliva yang beracun, namun banyak yang
merupakan vektor virus dan sangat merusak tanaman (Pedigo & Rice 2006). Besar
kecilnya angka kerugian erat kaitannya dengan umur, varietas tanaman, jenis
virus, dan sifat kutudaun (Kranz et al. 1978). Kerusakan secara tidak langsung
disebabkan oleh kontaminasi fisik seperti eksuvia kutudaun dan produksi embun
madu yang dapat menjadi media tumbuh cendawan (Sabir et al. 2012).
Kutudaun memiliki inang yang spesifik, namun ada beberapa spesies
kutudaun yang dapat hidup pada banyak spesies inang (Blackman & Eastrop
2000). Serangga hama ini memiliki penyebaran yang sangat luas pada hampir
setiap tanaman, baik itu berkayu, pohon, semak belukar, herbal, dan rumput
(Pedigo & Rice 2006). Keberadaan kutudaun pada suatu tempat dipengaruhi oleh
inang dan faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan curah hujan (Blackman &
Eastrop 1994).
Pada tanaman krisan setidaknya terdapat 6 spesies kutudaun yang
menyerang pertanaman ini, di antaranya adalah Myzus persicae, M. sanborni,
Brachycaudus helichrysi, A. gossypii, A. fabae, Aulocoitum cercumflexum (Sheela
2008). Menurut Tamaki & Allen (1969), A. gossypii dan M. sanborni merupakan
kutudaun yang memiliki kemampuan adaptasi lebih baik dibandingkan M. persicae
pada tanaman krisan. Pada tanaman hias setidaknya terdapat 8 spesies kutudaun
yang menyerang 16 spesies tanaman, terutama dari famili Acanthaceae dan
Melastomataceae yang merupakan inang paling banyak terserang kutudaun.
Sebanyak 6 spesies kutudaun yang ditemukan merupakan hama polifag yaitu
A. gossypii Glover, Aulacorthum solani Kaltenbach, Macrosiphum euporbiae
Thomas, M. persicae Sulzer, Neomyzus circumflexus Buckton, dan Taxoptera
aurantii Boyer de Fonscolombe, sedangkan dua spesies lain yang ditemukan yaitu
Greenidea ficicola Takahashi dan Indomegoura indica van der Goot bersifat
oligofag (Permatasari & Hidayat 2013). Kutudaun pada tanaman hias dapat dilihat
pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Kutudaun pada tanaman hias di Kecamatan Pacet, Cipanas
No
Spesies
kutudaun
1.
Aphis
gossypii
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Aulacorthum
solani
Greenidea
ficicola
Indomegoura
indica
Macrosiphum
euphoriae
Myzus
persicae
Neomyzus
circumflexus
Toxoptera
aurantii
Jumlah
individu
per koloni
30
Tanaman inang
Famili tanaman
Aphelandra sinclairiana
Acanthaceae
11
4
22
Chrysanthemum spp.
Clitoria ternatea
Epidendrum ibaguense
Asteraceae
Leguminosae
Orchidaceae
5
32
27
2
16
Gentianaceae
Malvaceae
Melastomataceae
Melastomataceae
Melastomataceae
14
Eustoma russelianum
Hibiscusra-sinensis
Melastoma affine
Melastoma affine
Melastomata
malabratichum
Anthurium adreanum
3
Melaleuca bracteata
Myrtaceae
105
Hemerocallis fulva
Xanthorrhoeaceae
11
Rosa spp.
Rosaceae
43
Rosa spp.
Rosaceae
12
Acanthaceae
19
Crossandra
infundibuliformis
Hemerocalis fulva
16
Anthurium adreanum
Araceae
8
4
Datura suaveolens
Alternanthera ficoides
Solanaceae
Amaranthaceae
9
Epidendrum ibaguense
Orchidaceae
16
Ficus benjamina
Moraceae
Araceae
Xanthorrhoeaceae
Sumber: Permatasari & Hidayat (2013).
Kutudaun kapas A. gossypii merupakan spesies yang polifag dan hama
pada tanaman budidaya famili Cucurbitaceae, Rutaceae, Malvaceae (Roques
2006; CABI 2014), kapas, bunga krisan (Vaquez et al. 2006), ketimun, dan
strowberi. Menurut Blackman & Eastrop (2000), A. gossypii merupakan kutudaun
yang paling sering menyerang tanaman hias. Spesies ini bersifat kosmopolitan dan
hama pertanian yang sangat penting dengan kisaran inang yang luas. Kutudaun ini
menyerang pada banyak famili tanaman, termasuk hampir seratus spesies tanaman
6
di seluruh dunia. Kutudaun ini dapat membawa 50 jenis penyakit virus ke
berbagai jenis tumbuhan inang lainnya.
Kutudaun krisan M. sanborni merupakan hama pada tanaman budidaya krisan
Dendranthema indicum, D. morifolium, D. frustescens; Cucumis melo (Cucurbitaceae);
Compositae (Anthemis, Artemisia, dan Aster) (Blackman & Eastrop 2006). Kutudaun
ini dapat membawa 5 jenis virus. Dua di antaranya merupakan virus pada tanaman
krisan (Chrysanthemum virus B dan Chrysanthemum vein mottle virus strain) (Miller &
Stoetzel 1997; Omoy et al. 2000; Zamani et al. 2003). Kutudaun krisan M. sanborni
umumnya menyerang pada bagian daun muda dan bakal bunga. Akibat serangan
tersebut kualitas bunga akan menurun. Pada serangan yang berat tanaman akan gagal
menghasilkan bunga, sehingga secara ekonomi dapat menurunkan kualitas dan nilai
jual dari bunga potong tersebut (Madjdzadeh & Mehrparvar 2009).
Morfologi Kutudaun
Imago kutudaun umumnya terdiri dari dua bentuk yaitu imago bersayap
dan imago tidak bersayap, dengan ciri khas dari kutudaun ini terdapat sepasang
kornikel pada abdomen belakang, yang berperan sebagai pertahanan (Boror et al.
1996). Imago yang bersayap biasanya muncul bila kepadatan populasi tinggi.
Serangga ini mempunyai tingkat keperidian yang tinggi, dan di daerah tropik
berkembang biak secara partenogenesis dan vivipar. Embrio dapat terbentuk tanpa
melalui proses pembuahan dan telah berkembang di dalam tubuh induknya,
sehingga imago kutudaun tampak seperti melahirkan nimfa (Kalshoven 1981).
Laju pertumbuhan kutudaun dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, faktor
lingkungan, kepadatan populasi, dan perbandingan antara serangga yang tidak
produktif dengan yang masih produktif (Dixon 1985). Secara umum morfologi
kutudaun dapat dideskripsikan pada Gambar 1.
Menurut Blackman & Eastrop (2000), kutudaun kapas A. gossypii
memiliki bentuk tubuh oval, berwarna hijau gelap, pada populasi tinggi berwarna
kuning. Memiliki kornikel berwarna gelap dengan kauda berwarna gelap atau
pucat. Aptera berukuran 0.9-1.8 mm dan alate berukuran 1.1-1.8 mm. Kutudaun
krisan M. sanborni memiliki bentuk badan lonjong, berwarna coklat kemerahan
sampai kehitaman. Memiliki kornikel dan kauda berwarna hitam, dengan kornikel
berukuran lebih pendek dibandingkan dengan kauda. Aptera berukuran 1.0-2.3
dan alate 1.8-2.6 mm.
Kutudaun berkembang biak secara partenogenisis dengan fase nimfa
terdiri dari 4 instar. Secara umum nimfa instar pertama dapat dibedakan karena
hanya memiliki 4 segmen antena. Nimfa instar kedua memiliki 5 segmen antena.
Nimfa instar ketiga tidak memiliki setae pada marginal genital plate, sedangkan
nimfa instar keempat memiliki 6 segmen antena dan setae pada marginal genital
plate. Nimfa instar kedua yang akan memiliki sayap tampak memiliki bahu,
sedangkan nimfa instar ketiga memiliki bantalan sayap kecil dan sayap yang
berkembang, dan akan lebih menonjol pada nimfa instar ke empat (Capinera 2008;
CABI 2014).
7
a
c
b
e
d
Gambar 1 Morfologi kutudaun; (a) morfologi umum imago kutudaun, (b) panjang
antena segmen terakhir (base dan processus terminals), (c) panjang
segmen terakhir rostum (R IV+V), (d) panjang kauda, (e) panjang
segmen kedua hind tarsus (HT II) (sumber: Blackman & Eastrop 1994)
Biologi dan Ekologi
Kutudaun sebagian besar bereproduksi secara aseksual baik pada betina
yang bersayap (alate) atau tidak bersayap (aptera). Kutudaun kapas A. gossypii
dan kutudaun krisan M. sanborni menunjukkan siklus hidup yang anholocyclic
(Roques 2006; Madjdzadeh & Mehrparvar 2009). Pertumbuhan populasi kutudaun
bergantung pada tanaman inangnya. Menurut CABI (2014), perbedaan yang
signifikan terjadi terhadap laju reproduksi A. gossypii yang dipelihara pada kapas,
semangka, dan kacang tanah. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada
potensi reproduksi pada kapas, semangka, wijen, dan terong. Waktu perkembangan
yang terpendek untuk A. gossypii terdapat pada kapas, sedangkan tingkat
perkembangan terpanjang terdapat pada melon. Menurut Maryam (1998), tingkat
populasi M. sanborni cenderung lebih tinggi pada krisan bunga putih
dibandingkan krisan bunga kuning.
Kutudaun A. gossypii membutuhkan 5.2 hari untuk mencapai kematangan
seksual pada kapas dengan suhu 28 °C. Suhu optimum untuk bereproduksi adalah
20-25 °C, dengan rata-rata nimfa yang dihasilkan 2.8 nimfa per hari (CABI 2014).
Pada tanaman nilam A. gossypii terdiri atas 4 instar nimfa. Rata-rata lama instar I,
II, III, IV berturut-turut adalah 1.8; 1.4; 1.2; dan 1.6 hari. Secara keseluruhan ratarata lama masa nimfa adalah 6 hari. Rata-rata masa preproduksi, produksi, dan
pasca reproduksi berturut-turut adalah 0.7; 6.9; dan 0.3 hari. Rata-rata masa imago
ialah 7.9 hari. Rata-rata masa nimfa sampai imago mati ialah 13.9 hari. Rata-rata
siklus hidup dari nimfa sampai menghasilkan nimfa lagi 6.7 hari. Rata-rata
banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh seekor imago ialah 22.8 hari dan ratarata banyaknya keturunan yang dilahirkan per hari rata-rata 3.9 ekor (Mardiningsih
& Deciyanto 1999).
Kutudaun krisan M. sanborni memiliki siklus hidup, keperidian, dan lama
hidup berturut-turut 9.75 hari, 24 ekor nimfa, dan 25 hari pada bagian daun segar,
sementara pada tanaman hidup berturut-turut 10.16 hari, 32.95 ekor nimfa, dan
8
22.9 hari (Maryam 1998). Suhu optimum perkembangan M. sanborni adalah 2225 °C, dengan rata-rata nimfa yang dihasilkan 2 nimfa per hari. Instar kedua dan
ketiga lebih tahan terhadap suhu ekstrem dibandingkan nimfa instar kesatu dan
keempat (Duan & Zhang 2004).
Menurut Dixon (1998), kutudaun kapas A. gossypii dan kutudaun krisan
M. sanborni merupakan hama penting pada pertanaman krisan. Kedua hama ini
makan pada bagian tanaman yang yang berbeda. M. sanborni pada bagian batang
yang berkembang, sedangkan A. gossypii pada bagian daun muda. Pada populasi
yang tinggi hama ini dapat menyebabkan tanaman berhenti berkembang.
Kehadiran satu spesies lain pada tanaman menghambat pertumbuhan spesies
lainnya. Ketika populasi kutu daun A. gossypii dan M. sanborni bercampur (mixed
population) kutudaun bersayap yang terbentuk memiliki persentase masingmasing populasi sebesar 55% dan 78%. Kutudaun bersayap memiliki jarak
terbang yang sangat terbatas, sementara untuk penyebaran jarak jauh disebarkan
melalui fase pradewasa dan imago melalui pengangkutan bahan tanaman yang
terinfestasi (Roques 2006).
Strategi Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni
Pengendalian A. gossypii dan M. sanborni di lapangan dapat dilakukan
dengan beberapa teknik pengendalian seperti pengendalian kimiawi dengan
menggunakan insektisida, pengendalian hayati, dan pengendalian terpadu.
Kutudaun A. gossypii dan M. sanborni menjadi masalah utama pada pertanaman
krisan, karena resisten terhadap insektisida sistemik (Chambers 1986; Valizadeh et al.
2013). Pengendalian hayati yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan
cendawan Verticillium lecanii dan Beauveria bassiana; parasitoid Diaretiella
rapae, Lysiphlebus spp., dan Aphidius matricariae (Hymenoptera: Brocinidae);
predator Aphidoletes aphidimyza (Diptera: Cecidomyiidae) dan Metasyrphis
corollae (Diptera: Syrphidae) (Parrella et al. 1999).
Pengendalian yang dilakukan pada produk pasca panen bunga potong
terhadap kutudaun ketika akan diperdagangkan antar negara adalah melalui karantina.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terbawanya kutudaun pada komoditas bunga
potong krisan. Salah satu perlakuan karantina yang digunakan adalah fumigasi.
Menurut Barantan (2013), fumigasi adalah suatu tindakan terhadap media pembawa
OPT menggunakan fumigan dalam ruang kedap udara dan waktu tertentu dapat
mematikan OPT. Fumigan yang digunakan untuk bunga potong krisan adalah metil
bromida (MB), fosfin formulasi padat (PH3), dan karbon dioksida (CO2) (Bond 1984;
Goerke et al. 2005; Zhang et al. 2012).
Berdasarkan Montreal Protokol penghapusan metil bromida di negara maju
ditetapkan pada tahun 2005, sedangkan di negara berkembang ditetapkan pada tahun
2015 kecuali untuk kepentingan karantina dan prapengapalan (Hidayat 2012).
Rekomendasi dari International Plant Protection Convention (IPPC) dan United
Nations Environment Programme (UNEP) penggunaan MB harus dikurangi dan pada
akhirnya dihentikan sehingga mengharuskan setiap negara melakukan penelitian
untuk mencari fumigan baru pengganti metil bromida, karena metil bromida termasuk
ke dalam bahan perusak ozon (FAO 2012). Fosfin formulasi padat penggunaannya
tidak cocok untuk komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013).
9
Fosfin Formulasi Cair sebagai Fumigan
Fosfin merupakan fumigan selain metil bromida yang terdaftar di berbagai
negara untuk desinfestasi komoditas tahan lama. Umumnya fosfin digunakan
dalam bentuk formulasi padat seperti alumunium fosfida dan magnesium fosfida.
Suhu dan kelembapan tertentu diperlukan agar fosfin dapat menguap. Fosfin
dengan bahan aktif alumunium fosfida 56% terdaftar untuk mengendalikan bubuk
kayu kering Dinoderus sp. pada rotan. Fosfin dalam bentuk formulasi magnesium
fosfida dapat melepaskan fosfin lebih cepat dan dapat digunakan pada temperatur
yang rendah, misalnya 5 °C. Dalam perkembangannya fosfin juga diformulasikan
dalam bentuk gas cair. Fosfin ini disimpan dalam silinder bertekanan dengan
konsentrasi 2%. Fosfin terdaftar untuk mengendalikan berbagai jenis hama di
gudang beras dan kumbang Lasioderma serricorne pada tembakau di
penyimpanan (Hidayat 2012; Prijono 2012).
Di Indonesia terdapat enam formulasi berbahan aktif alumunium fosfida
(AlP) dan empat formulasi magnesium fosfida (Mg3P2). Alumunium fosfida
diformulasikan dalam bentuk tablet (T, 5 Formulasi) atau pelet (P, 1 formulasi)
dengan bahan aktif AlP 56-57%. Jenis formulasi magnesium fosfida yang terdapat
di Indonesia adalah tablet (2 formulasi) dan pelat (PL- plate dan PB- plate bait
masing-masing 1 formulasi) dengan bahan aktif Mg3P2 56-66% (Tabel 2).
Formulasi pelat lebih menguntungkan daripada tablet atau pelet karena pelepasan
gas fosfin lebih terkendali dan tidak meninggalkan serbuk residu (Prijono 2012).
Tabel 2 Fosfin formulasi padat yang terdaftar untuk mengendalikan hama gudang
di Indonesia
Bahan aktif
Kelompok
Formulasi
Hama sasaran
Golongan Nama
Fumigan
Fosfida Fosfin AlP 56% T, Sitophilus oryzae, S. zeamais,
57% T,
Tribolium castaneum, Rhyzopertha
57% P
dominica, Corcyra cephalonica,
dan/atau Cryptolestes spp., dan/atau
L. serricorne
MgP 60%
PL,
56% PB,
66% T
S. oryzae, S. zeamais, T. castaneum,
R. dominica dan/atau Cryptolestes
pussilus, dan/atau L. serricorne
Sumber: Prijono (2012).
Gas fosfin dihasilkan dari reaksi antara alumunium fosfida (AlP) atau
magnesium fosfida (Mg3P2) dengan uap air di udara menurut persamaan reaksi di
bawah ini (Bond 1984; Arifin et al. 2009; Soltani et al. 2013):
AlP + 3 H2O → PH3 + Al(OH)3
Alumunium fosfida + Uap air → Fosfin + Alumunium hidroksida
Mg3P2 + 6 H2O → 2 PH3 + 3 Mg(OH)2
Magnesium fosfida + Uap air → Fosfin + Magnesium hidroksida
10
Proses perubahan gas fosfin terjadi apabila alumunium fosfida atau
magnesium fosfida bereaksi dengan uap air di udara. Pada proses tersebut selain
gas fosfin dihasilkan juga senyawa alumunium hidroksida atau magnesium
hidroksida. Senyawa-senyawa ini bersifat limbah dalam fumigan fosfin. Pada
senyawa alumunium fosfida atau magnesium fosfida ditambahkan bahan pelapis.
Fungsi dari bahan pelapis ini adalah memperlambat terjadinya pelepasan gas dan
pencegahan akumulasi konsentrasi yang tinggi di udara yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebakaran. Bahan pelapis yang digunakan adalah lilin parafin dan
lapisan matriks plastik. Pada umumnya senyawa alumunium fosfida atau
magnesium fosfida mulai bereaksi setelah 2-4 jam. Dekomposisi sempurna akan
terjadi setelah 72 jam pada temperatur dan kelembapan yang sesuai. Pada
temperatur dan kelembapan yang lebih rendah dekomposisi akan lebih lama
sekitar 120 jam. Sifat fisiko-kimia fosfin dapat dilihat pada Tabel 3.
Perlakuan dengan fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan
residu pada komoditas. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu
untuk fosfin inorganik yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah 0.1 mg/kg
dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Fumigasi dengan menggunakan
fosfin harus memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimianya, serta dalam aplikasinya
membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metil bromida. Untuk
itu, yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan fumigasi dengan fosfin adalah
ketersediaan waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air
komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme pengganggu
tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi. Menurut Asean Food Handling Bureau
(AFHB) & Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR)
(1989), beberapa pertimbangan dalam memilih fosfin sebagai fumigan adalah:
a. Komoditas diperlukan dalam waktu bukan kurang dari 7 hari.
b. Keberadaan Trogoderma granarium dan penggunaan metil bromida tidak
dipersyaratkan.
c. Fumigasi harus dilakukan pada bungkil, biji berminyak, atau pakan.
d. Perkecambahan benih merupakan faktor penting.
e. Komoditas sebelumnya telah difumigasi oleh metil bromida.
f. Masalah perubahan warna terutama pada penggunaan metil bromida pada
tepung.
g. Suhu rendah kurang dari 15 °C.
h. Area yang berdekatan dengan tempat kerja dan tempat tinggal.
i. Tidak terdapat tim fumigasi yang terlatih, kompeten, dan dilengkapi alat
pelindung diri yang memadai.
11
Tabel 3 Sifat fisiko-kimia fosfin
No
Sifat
1. Rumus molekul
2. Bobot molekul (g/mol)
3. Titik didih (°C)
4. Bobot jenis (cair, kg/l)
5. Bobot jenis pada 0 °C (gas) (udara = 1.0)
6. Tekanan uap pada 30 °C (atm)
7. Faktor konversi g/m3 ke ppm (30 °C, 1 atm)
8. Batas nyala di udara (v/v)
9. Kelarutan dalam air (v/v)
10. Bau
Fosfin
PH3
34.04
-87.4
0.75 (-90 °C)
1.21
42
730
1.79%
0.2
Seperti bau karbit atau
bawang putih
Sumber: Monro (1969), Barantan (2007)
Fumigan yang umum digunakan dalam pelaksanaan tindakan karantina
tumbuhan dan prapengapalan adalah metil bromida dan fosfin formulasi padat,
namun fosfin formulasi padat memiliki beberapa kekurangan yaitu lama
pemaparan yang cukup panjang dan berisiko apabila diaplikasikan terhadap
komoditas dengan kadar air yang tinggi (Barantan 2013). Menurut Williams
(2000), fumigan fosfin merupakan fumigan yang paling menjanjikan.
Pengembangan fumigan fosfin dengan gas karbon dioksida dilakukan
untuk meningkatkan toksisitas dari fumigan ini. Fumigan fosfin formulasi cair
dengan periode pemaparan 15-16 jam dikembangkan untuk tujuan komersil dan
mendaftarkan fumigan ini untuk fumigasi pada bunga potong.
Fosfin formulasi cair merupakan salah satu alternatif fumigan pada
komoditas yang bermasalah apabila difumigasi dengan fosfin formulasi padat.
Fosfin formulasi cair yang diperdagangkan dikemas dalam tabung silinder
bertekanan tinggi. Kandungan gas fosfin dalam tabung silinder tidak lebih dari
5%. Pada umumnya senyawa fosfin formulasi cair yang diperdagangkan
mengandung 2% gas PH3 (fosfin) dan 98% gas CO2. Hal ini karena sifat fosfin
yang sangat mudah terbakar (flammable) (Barantan 2013). Sifat fisiko-kimia
fosfin formulasi cair disajikan pada Tabel 4. Beberapa rekomendasi dosis fosfin
formulasi cair disajikan pada Tabel 5.
12
Tabel 4 Sifat fisiko-kimia fosfin formulasi cair
No
Sifat
Fosfin formulasi cair
1. Warna
Tidak berwarna
2. Bentuk
Gas
3. Bau
Seperti aroma bawang putih
4. Titik didih
Menyublim (perubahan wujud padat
ke gas tanpa mencair terlebih dahulu)
5. Titik leleh
Menyublim (perubahan wujud padat
ke gas tanpa mencair terlebih dahulu)
6. Tekanan uap
47266mm Hg @ 25 °C
7. Densitas uap
1.53 @ 25 °C
8. Persen volatile (% wt.):100
100
9. pH
Tidak berlaku
10. Titik jenuh di udara (% Vol.):
Tidak berlaku
11. Tingkat penguapan
Tidak berlaku
12. Kelarutan dalam air
Sedikit
13. Titik nyala
Tidak mudah terbakar
14. Batas mudah terbakar
Campuran yang tidak mudah terbakar
15. Suhu nyala
Tidak berlaku
16. Suhu dekomposisi
Tidak ada
17. Koefisien partisi (rasio konsentrasi Tidak berlaku
zat terlarut dalam dua cairan yang
tercampur atau sedikit larut atau
dalam dua padatan) (n-oktananol/air)
18. Batas bau
Tidak ada
Sumber: Cytec (2009).
13
Tabel 5 Rekomendasi dosis fosfin formulasi cair untuk beberapa komoditas
No Komoditas Jenis OPT
Dosis
Konsentrasi
Lama
Suhu
PH3
pemaparan
1 Beras
70 g/m3
1000 ppm
36 jam
24.5-29.0 °C
Sitophilus
zeamays
Tribolium
castaneum
Oryzaephilus
surinamensis
2 Bahan
Rhyzopertha
50 g/m3
700 ppm
9 hari
20-24 °C
25-29 °C
simpan
dominica
5 hari
30 °C
3 hari
atau lebih
3 Kopi
Araecerus
20 g/m3
300 ppm
4 hari
fasciculatus
35 g/m3
500 ppm
3 hari
24.2-33.1 °C
3
50 g/m
700 ppm
2 hari
70 g/m3
1000 ppm
1 hari
3
4 Kakao
Ephestia sp.
20 g/m
300 ppm
4 hari
35 g/m3
500 ppm
3 hari
24.2-33.1 °C
50 g/m3
700 ppm
2 hari
70 g/m3
1000 ppm
1 hari
5 Tembakau Lasioderma
25 g/m3
350 ppm
12 hari
23-32.3 °C
serricorne
6 Buah nenas Planococcus
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
minor
7 Buah
P. minor
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
manggis
8 Anggrek
P. minor
14.28 g/m3
200 ppm
7 jam
26-30 °C
Sumber : Badan Karantina Pertanian (2013).
14
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Gedung
Workshop Fumigasi dan X-ray Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina
Pertanian, Jalan Raya Kampung Utan-Setu, Desa Mekar Wangi Kecamatan
Cikarang Barat Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Agustus hingga Desember 2014.
Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah ruang fumigasi (0.75 m x
0.75 m x 0.75 m) ditutup menggunakan plastik yang terbuat dari poly vinyl
chloride (PVC), eye protection (full face mask), protective clothing (baju lengan
panjang, sepatu, dan kaus kaki), self contained breathing apparatus (SCBA),
selang monitor, timbangan digital, pengukur konsentrasi PH3 (Dräger X-am
7000), pendeteksi kebocoran (leak detector Dräger pac 7000), pengukur suhu dan
kelembapan (Quart Precision Thermo-Hygrograph Isuzu TH-27R), dan portable
blower. Bahan fumigan yang digunakan adalah fosfin formulasi cair yang
mengandung 2% fosfin (PH3) dan 98% karbondioksida (CO2) dengan selang
distribusi dan gun injector, imago dan nimfa instar III A. gossypii dan M.
sanborni, bibit krisan sebagai pakan, bunga potong krisan, kotak plastik (8 cm x 8
cm x 11 cm), dan kotak kertas (60 cm x 20 cm x 20 cm).
0.75 m
0.75 m
0.75 m
Gambar 2 Ruang fumigasi
Penyiapan Serangga Uji
Identifikasi Kutudaun
Identifikasi dilakukan dengan membuat preparat slide dari sampel
serangga uji. Tahapan pembuatan preparat kutudaun sebagai berikut: (a) kutudaun
direbus dalam alkohol 95% selama 3 menit, lalu ditusuk dibagian abdomen, (b)
kutudaun direbus dalam KOH 10% hingga menjadi transparan, (c) dilakukan
pencucian menggunakan aquades sebanyak 2 kali, (d) direndam dalam alkohol
50% selama 10 menit, (e) perendaman kembali dalam alkohol 80% selama 10
15
menit, (f) perendaman kembali dalam alkohol 95% selama 10 menit, (g)
perendaman kembali dalam alkohol 100% selama 10 menit, (h) perendaman
dalam minyak cengkeh selama 10 menit dan, (i) mounting dengan menggunakan
canada balsam atau entelan.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi kutudaun
Blackman & Eastrop (2000, 2006). Identifikasi dilakukan pada fase imago karena
pada fase tersebut morfologi kutudaun telah sempurna. Secara umum karakter
kutudaun yang menjadi ciri identifikasi adalah bentuk antena tuberkel, kauda, dan
kornikel.
Perbanyakan Kutudaun
Kutudaun (A. gossypii dan M. sanborni) dikoleksi dari lapangan, kemudian
dipelihara dan diperbanyak pada tanaman krisan. Krisan ditanam pada pot yang
ditutup kain organdi dan diletakkan di rumah kaca. Serangga uji yang digunakan
adalah nimfa instar III dan imago yang berumur relatif sama.
Gambar 3 Perbanyakan serangga uji pada bunga krisan pot
Uji Pendahuluan
Pengujian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kisaran lama
pemaparan dan konsentrasi minimal fosfin formulasi cair yang akan digunakan
pada uji lanjut. Pengujian pendahuluan dilakukan terhadap 30 ekor nimfa instar III
atau imago A. gossypii atau M. sanborni yang diinfestasikan pada bibit krisan tipe
spray (Gambar 4a). Kapas basah diberikan pada bagian perakaran untuk menjaga
kesegaran tanaman selama perlakuan (Gambar 4b), kemudian diletakkan ke dalam
kotak plastik (8 cm x 8 cm x 11 cm) (Gambar 4c).
Gambar 4 Bibit krisan yang digunakan sebagai pakan kutudaun; (a) bibit krisan
tipe spray, (b) kapas basah diberikan pada bagian perakaran, (c) kotak
plastik
16
Lama pemaparan yang ditetapkan adalah 6, 12, dan 18 jam dengan 5 taraf
konsentrasi (0, 50, 100, 200, 300 ppm) yang diulang sebanyak 3 kali. Mortalitas
serangga diamati 1 jam setelah perlakuan (JSP). Kebutuhan dosis untuk mencapai
konsentrasi yang ditetapkan diperkirakan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Perhitungan dosis awal
Dosis Kg =
Volume kotak fumigasi (m3) x konsentrasi perlakuan (ppm PH3 )
14 000
Catatan : 1 g PH3/m3 (700 ppm) = 5% CO2, 1 Kg ECO2FUME = 20 gr PH3
b. Perhitungan penambahan gas untuk mencapai konsentrasi awal
KT KA x Volume kotak fumigasi (m3)
Dosis Kg =
14 000
Keterangan : KT = Konsentrasi Target (ppm PH3), KA = Konsentrasi Awal (ppm PH3)
Uji Lanjut terhadap A. gossypii dan M. sanborni
Uji lanjut dilakukan terhadap imago dan nimfa instar III A. gossypii dan
M. sanborni pada kombinasi lama pemaparan dan konsentrasi terbaik pada uji
pendahuluan. Pada uji lanjut ini perlakuan diujikan pada masing-masing 1 ikat
bunga potong krisan tipe spray (terdiri dari 10 bung