Proses Degumming dengan Enzim Selulase dan Xilanase pada Pembuatan Serat Bambu

PROSES DEGUMMING DENGAN ENZIM SELULASE DAN
XILANASE PADA PEMBUATAN SERAT BAMBU

ROBERTO DANIELI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Proses degumming
dengan enzim selulase dan xilanase pada pembuatan serat bambu” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Roberto Danieli
NIM F34090124

ABSTRAK
ROBERTO DANIELI. Proses degumming dengan enzim selulase dan
xilanase pada pembuatan serat bambu. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.
Proses degumming serat bambu dengan menggunakan selulase dan xilanase
sudah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis bambu yang paling
cocok digunakan dalam proses enzimatik. Bambu yang digunakan antara lain
bambu kuning, bambu tali, dan bambu hitam. Penelitian dilakukan dengan
menguji kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar lignin, hidrolisis serat, dan
analisis hasil. Hidrolisis serat menggunakan pH optimum dan suhu optimum
enzim yang diketahui berdasarkan uji aktivitas enzim. Konsentrasi selulase yang
digunakan adalah 25 U/g, sedangkan konsentrasi xilanase yang digunakan adalah
50 U/g sampai 500 U/g. Dari pengujian diperoleh bahwa bambu kuning
mempunyai kandungan selulosa dan hemiselulosa yang paling mudah terhidrolisis
dengan 393.6 ppm gula pereduksi yang terbentuk dengan perubahan selulosa
sebesar 6.40 % dan 298 ppm gula pereduksi yang terbentuk dengan perubahan

hemiselulosa sebesar 12.71 %. Konsentrasi enzim terbaik untuk menghidrolisis
bambu kuning adalah sebesar 400 U/g yang dapat menghidrolisis hemiselulosa
sebesar 54.31 % selama 24 Jam.
Kata Kunci : serat bambu, selulase, xilanase, hidrolisis, enzimatik proses

ABSTRACT
ROBERTO DANIELI. Degumming process using cellulase and xylanase in
bamboo fiber processing. Supervised by ONO SUPARNO.
Degumming process of bamboo fiber using cellulase and xylanase has been
conducted. The objectives of this study was to determine the most suitable type of
bamboo used in the enzymatic process. The species of bamboo used were bambu
kuning, bambu tali, and bambu hitam. The study was conducted by examining the
cellulose content, hemicellulose content, lignin content, fiber hydrolysis, and
analysis of results. Fiber hydrolysis using optimum pH and temperature of the
enzyme that were known by the enzyme activity assay, the cellulase enzyme
concentration of 25 U/g and xylanase enzyme concentration of 50 U/g to 500
U/g. Obtained from the testing that bambu kuning has cellulose and hemicellulose
contents which most susceptible to hydrolysis with 393.6 ppm glucose formed and
6.40 % alteration of cellulose and 298 ppm xylose formed with 12.71 % alteration
of hemicellulose. The best enzyme concentration to hydrolyze bambu kuning was

400 U/g which could hydrolyze hemicellulose content by 54.31 % in 24 hours.
Keywords : bamboo fiber, cellulase, xylanase, hydrolysis, enzymatic processes

PROSES DEGUMMING DENGAN ENZIM SELULASE DAN
XILANASE PADA PEMBUATAN SERAT BAMBU

ROBERTO DANIELI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Proses Degumming dengan Enzim Selulase dan Xilanase pada
Pembuatan Serat Bambu
Nama
: Roberto Danieli
NIM
: F34090124

Disetujui oleh

Prof Dr Ono Suparno, STP, MT
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah serat bambu,
dengan judul Proses degumming dengan enzim selulase dan xilanase pada
pembuatan serat bambu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP.,
M.T. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Dicky, Ibu Diah, dan Ibu Sri penanggung jawab laboratorium pengawasan
mutu dan laboratorium instrumen serta Ibu Rini penanggung jawab laboratorium
teknik kimia, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih disampaikan kepada dosen penguji Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, Msi dan Dr.
Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Roberto Danieli

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
BAHAN DAN METODE
Bahan
Alat
Metode
TINJAUAN PUSTAKA
Bambu
Enzim
Degumming
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bambu
Karakteristik Enzim
Hidrolisis Selulosa

Hidrolisis Hemiselulosa
Penentuan Konsentrasi Enzim Xilanase
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2
2
2
3
3
3

3
3
7
7
8
11
12
12
13
14
16
19
21
21
21
21
24
35

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6

Standar pengujian
Sifat kimia bambu
Aktivitas CMC-ase
Aktivitas enzim xilanase
Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis
Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis menggunakan enzim
xilanase
7 Komposisi bambu kuning setelah hidrolisis menggunakan enzim
xilanase

3
15
16

16
18
20
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tahapan penelitian
Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi gula pereduksi
Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi
Struktur serat bambu

Grafik gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis menggunakan
selulase
Grafik penurunan selulosa
Grafik gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis enzim xilanase
Grafik penurunan hemiselulosa
Kurva perbandingan konsentrasi enzim, gula pereduksi yang terbentuk,
dan penurunan hemiselulosa

4
13
14
15
17
18
19
20
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Gambar alat dan bahan
Standar pengujian
Data hasil uji statistik hidrolisis selulosa
Data hasil uji statistik hidrolisis hemiselulosa
Data hasil uji statistik penentuan konsentrasi xilanase

24
26
30
32
34

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara terkaya dalam hal keanekaragaman
hayati. Kondisi iklim tropis berperan besar dalam menentukan spesies-spesies
tumbuhan apa saja yang dapat hidup di hutan Indonesia. Salah satu tumbuhan
yang tumbuh baik dalam kondisi iklim Indonesia adalah bambu. Pada saat ini
bambu digunakan sebagai bahan natural eco-friendly yang digunakan sebagai
bahan baku pada industri tekstil. Bambu digunakan sebagai bahan baku karena
memiliki keuntungan, yakni tanaman bambu sangat cepat tumbuh, dan bambu
memiliki bahan anti-mikrobial. Serat bambu merupakan bahan yang digunakan
sebagai bahan baku industri tekstil (Rathod dan Kolhatkar 2012)
Menurut Marilyn (2009) kain yang dibuat dari serat bambu memiliki
keuntungan seperti 100 % biodegradable oleh mikroorganisme, serta proses
dekomposisi kain bambu tidak berbahaya karena tidak menggunakan bahan kimia.
Kain bambu juga memiliki kelebihan, yaitu hangat saat musim dingin namun
sejuk saat musim panas, hal ini dikarenakan kemampuan breathable lebih baik
dibanding dengan kain biasa. Anti-mikrobial pada kain bambu lebih aman
dibandingkan dengan anti-mikrobial kimia yang biasa ditambahkan pada kain
biasa, bahan anti-mikrobial kimia cenderung dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Berdasarkan penelitian Japanese Textile Inspection Association zat anti-mikrobial
pada kain bambu juga tidak mudah hilang meskipun sudah dicuci berkali-kali.
Terdapat beberapa pendapat mengenai senyawa anti-mikrobial yang terdapat pada
bambu, ada yang menyatakan bahwa serat bambu tidak memiliki senyawa antimikrobial dan ada juga yang menyatakan bahwa anti-mikrobial pada bambu benar
keberadaannya. Penelitian Shengyuan dan Zheng (2004) menemukan bahwa
bahan anti-mikrobial yang terdapat pada serat bambu bernama anthraquinone
yang terdiri dari empat kelompok fungsional α-hidroksilasi, sedangkan penelitian
Hengshu dan Libin (2005) menyatakan bambu tidak memiliki senyawa antimikrobial, kemampuan anti-mikrobial disebabkan struktur mikro serat bambu.
Penelitian Xi dan Qin (2012) juga menyatakan bahwa serat bambu tidak memiliki
senyawa anti-mikrobial, kemampuan anti-mikrobial disebabkan oleh sifat
higroskopis bambu yang tinggi dan juga proses ekstraksi dari serat bambu. Namun
Xi dan Qin (2012) menambahkan senyawa anti-mikrobial diduga hilang saat
memisahkan zat ekstraktif pada bambu.
Ada dua cara untuk memperoleh serat bambu yaitu secara mekanis dan
secara kimiawi. Proses pemisahan serat bambu secara mekanis adalah dengan cara
menghancurkan bambu lalu dilanjutkan dengan penambahan enzim alami. Proses
pemisahan secara kimiawi adalah dengan cara menambahkan bahan kimia NaOH
dan CS2 (carbon disulfide) (Devi et al. 2007).
Masalah dari penggunaan metode secara kimia adalah penggunaan bahanbahan kimia akan berdampak buruk bagi kesehatan dan serat yang diperoleh tidak
boleh digunakan sebagai bahan tekstil seperti pakaian (Jiajia 2012). Berdasarkan
dampak yang ditimbulkan oleh metode kimia, maka metode mekanis merupakan
pilihan yang paling tepat untuk memperoleh serat bambu.
Jiajia (2012) menyatakan untuk memperoleh serat bambu dibutuhkan
beberapa jenis enzim seperti xilanase dan selulase. Penggunaan xilanase

2
bertujuan memisahkan hemiselulosa yang terdapat pada bambu. Penggunaan
selulase merupakan perlakuan untuk mengubah struktur dan permukaan selulosa,
sehingga selulosa dapat diproses lebih lanjut. Selulosa pada umumnya terdiri dari
daerah berupa crystalline dan amorphous dengan jumlah kandungan yang
bervariasi berdasarkan sumber bahan. Sebagian besar bahan-bahan reaktan hanya
bekerja pada bagian amorphous karena bagian tersebut terdapat pada permukaan
dari bagian crystalline, sehingga bagian intracrystalline tidak terpengaruh oleh
reaktan (Ciolacu et al. 2011). Penggunaan enzim selulase dapat meningkatkan
kristalinitas dari serat yang bertujuan agar serat yang dihasilkan memiliki
kekuatan yang lebih baik (Zhang 2012).
Pada proses ekstraksi serat bambu secara enzimatis, proses inkubasi
merupakan salah satu proses yang penting karena mempengaruhi energi dan
waktu yang diperlukan. Indonesia memiliki berbagai jenis bambu yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda sehingga hasil hidrolisis setiap jenis bambu
menggunakan enzim akan berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kandungan
lignin dan karakteristik selulosa yang dimiliki setiap bambu berbeda.
Perumusan Masalah
Untuk mengatasi permasalahan waktu inkubasi dalam proses pemisahan
serat bambu, maka berbagai penelitian untuk mengurangi waktu hidrolisis
dilakukan seperti pemberian pretreatment, selain itu juga dapat dilakukan dengan
pemilihan sumber serat bambu. Pemilihan dapat dilakukan dengan meneliti jenis
bambu yang mengalami hidrolisis lebih cepat dengan menggunakan enzim
sehingga dapat mempercepat waktu hidrolisis enzim.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan enzim dalam
menghidrolisis komponen serat pada bambu, untuk mengetahui jenis bambu yang
paling sesuai untuk proses pengolahan bambu dengan enzim, dan untuk
mengetahui konsentrasi enzim yang terbaik untuk memisahkan hemiselulosa dari
serat bambu.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini bagi mahasiswa adalah memberikan pengetahuan
lebih tentang hidrolisis serat bambu, faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis
dengan menggunakan enzim. Manfaat penelitian bagi industri adalah dengan
mengetahui jenis bambu yang sesuai untuk proses enzimatis, maka dapat
diketahui jenis bahan baku yang paling sesuai apabila didirikan industri kain dari
serat bambu. Manfaat lain bagi industri adalah dapat mengurangi limbah industri
bagi industri serat bambu yang menggunakan metode kimia serta menambahkan
keamanan untuk produk yang akan dibuat.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian terfokus pada analisis pada hidrolisis serat bambu
dengan menggunakan enzim selulase dan xilanase. Pengukuran sifat kimia dari
serat bambu untuk mengetahui kondisi awal serta diakhiri dengan pengukuran
gula pereduksi, kadar selulosa dan hemiselulosa untuk mengetahui proses
hidrolisis serta kondisi akhir serat.
BAHAN DAN METODE
Metode penelitian dibagi menjadi enam bagian, yaitu persiapan bahan dan
alat, pelaksanaan percobaan, pengujian sifat kimia, pengujian aktivitas enzim,
hidrolisis serat, analisis hasil. Tabel 1 menunjukkan standar pengujian yang
dilakukan pada penelitian ini.

Tabel 1 Standar pengujian
Variabel pengamatan
Kadar ekstraktif
Kadar lignin Klason
Kadar selulosa
Kadar holoselulosa
Aktivitas CMC-ase
Aktivitas xilanase

Standar pengujian
T 204 cm – 97 TAPPI (1997)
Lignin Klason (SNI 0492 – 2008)
TAPPI T 17 m-55 (1997)

TAPPI T9 m-54 (1997)
IUPAC T. K. GHOSE (1987)
IUPAC T. K. GHOSE and V. S.
BISARIA (1987)
Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa bambu yaitu
bambu kuning, bambu tali, dan bambu hitam yang diperoleh dari Desa Sukaresmi,
Ciapus Tamansari, Bogor. Bahan pembantu terdiri atas aquadest, NaOH, Na2SO3,
buffer sitrat, DNS, HNO3, CH3COOH , NaHClO2 (natrium hipoklorit),
H2SO4(asam sulfat) , dan etanol benzene. Enzim yang digunakan adalah enzim
xilanase dan enzim selulase yang diperoleh dari CV Endsany, Sukoharjo, Jawa
Tengah. Gambar bahan-bahan utama yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran
1.
Alat
Alat - alat utama yang digunakan penelitian ini adalah shaker, otoklaf,
hammer mill, oven, blender, labu erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, penangas,
gelas piala, termometer, pH meter, timbangan analitik, spektrofotometer, pipet
volumetrik, gelas piala, dan sudip. Gambar peralatan utama yang digunakan dapat
dilihat pada Lampiran 1.

4
Metode
Metode penelitian dibagi menjadi enam bagian, yaitu persiapan bahan dan
alat, pelaksanaan percobaan, pengambilan sampel, analisis laboratorium, analisis
data dan penyusunan laporan. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar
1.
Persiapan alat
dan bahan

Pelaksanaan
percobaan

Variasi bambu

Variasi enzim

Sampling dan
analisis
laboratorium
Analisis dan
pengolahan
data
Penyusunan
laporan
Gambar 1 Tahapan Penelitian
Persiapan alat dan bahan
Peralatan terdiri atas peralatan pre-treatment seperti otoklaf, oven, dan
hammer mill. Peralatan percobaan terdiri atas magnetic stirer dan peralatan
analisis yang terdiri atas alat sampling, suhu dan pH dipersiapkan di Laboratorium
Teknologi dan Manajemen Lingkungan TIN IPB. Bahan pembantu berupa bahanbahan untuk analisis laboratorium dipersiapkan di Laboratorium Lingkungan TIN
IPB. Bahan utama yang digunakan adalah serbuk bambu yang diperoleh dari 3
jenis bambu sebanyak 1 g dengan ukuran 30 mesh. Enzim yang digunakan adalah
enzim selulase dengan konsentrasi 25 U/g dan enzim xilanase dengan konsentrasi
50 U/g sampai 500 U/g.

5

Pelaksanaan Percobaan
Percobaan utama yang dilakukan terdiri atas penelitian pendahuluan dan
penelitian utama.
a. Penelitian Pendahuluan
a.1. Karakterisasi Sifat Kimia Bambu
Pada percobaan ini bambu diperkecil ukurannya dengan menggunakan
hammer mill sampai ukuran 30 mesh, lalu dicuci dengan air untuk
menghilangkan zat-zat pengotor, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu
75oC selama satu hari. Penelitian terdiri atas pengujian sifat kimia, yaitu
kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif. Hemiselulosa
ditentukan dari selisih dari holoselulosa dan selulosa yang diteliti. Prosedur
pengujian sifat kimia dapat dilihat pada Lampiran 2. Tujuan pengujian sifat
kimia adalah mengetahui kondisi awal bambu sebelum dilakukan hidrolisis
dengan menggunakan enzim. Selain itu pengujian sifat kimia juga dilakukan
untuk mengetahui perbedaan karakteristik setiap bambu, yang mungkin
berpengaruh terhadap hidrolisis enzim.
a.2 . Karakterisasi Enzim
Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengujian aktivitas enzim
dan pengujian kondisi optimal enzim. Pengujian aktivitas enzim bertujuan
mengetahui aktivitas enzim yang digunakan sehingga dapat ditentukan
jumlah enzim yang akan digunakan. Kondisi optimal enzim dilakukan dengan
menguji aktivitas enzim pada suhu tertentu dan pH tertentu. Penentuan pH
optimal untuk enzim xilanase dan selulase dilakukan pada pH 4.5, 5.0, 5.5,
dan 6.0 pada suhu 45oC, untuk penentuan suhu optimal untuk enzim xilanase
dilakukan pada suhu 40o, 50o, dan 60oC pada pH 5.5, sedangkan untuk enzim
selulase dilakukan pada suhu 37oC dan 45oC. Prosedur pengujian aktivitas
enzim dapat dilihat pada Lampiran 2.
b. Penelitian Utama
Bambu yang digunakan dalam bentuk serbuk berukuran 30 mesh. Bahan
disterilkan dalam otoklaf dengan suhu 120oC selama 15 menit. Kemudian
sebanyak satu gram serbuk bambu disaring dan siap digunakan sebagai
substrat.
b.1. Hidrolisis Selulosa
Satu gram serbuk bambu yang telah disetrilkan ditambah 100 ml buffer
sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan 25 U/g enzim selulase. Campuran
diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian cairan dipisahkan
dan dianalisis kandungan gula pereduksi. Padatan diuji komponen kadar
selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot(%) diukur berdasarkan penurunan
massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.
b.2. Hidrolisis Hemiselulosa
Satu gram serbuk bambu yang telah disterilkan ditambah 100 ml buffer

6
sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan 50 U/g enzim xilanase.
Campuran diinkubasikan pada suhu 50oC selama 24 jam, kemudian cairan
dipisahkan dan dianalisis kandungan gula pereduksi. Padatan diuji komponen
kadar selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot (%) diukur berdasarkan
penurunan massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada
Lampiran 2.
b.3. Penentuan Konsentrasi Enzim pada Hidrolisis Hemiselulosa
Pada penentuan konsentrasi enzim, bambu yang digunakan hanya satu
jenis, yaitu bambu yang paling mudah terhidrolisis menggunakan enzim
selulase dan xilanase berdasarkan analisis gula-gula sederhana, kadar
selulosa, dan kadar hemiselulosa pada tahap hidrolisis selulosa dan hidrolisis
hemiselulosa. Satu gram serbuk bambu yang telah disterilkan ditambahkan
100 ml buffer sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan enzim xilanase
dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, dan 500 U/g.
Campuran diinkubasikan pada suhu 50oC selama 24 jam. Kemudian cairan
dipisahkan dan dianalisis kandungan gula pereduksinya. Padatan diuji
komponen kadar selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot diukur berdasarkan
penurunan massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial
yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor enzim dan jenis bambu terhadap
kadar selulosa, kadar hemiselulosa, dan gula pereduksi. Taraf untuk jenis bambu
bambu kuning, bambu hitam, dan bambu tali, sedangkan untuk taraf faktor enzim
yaitu enzim selulase dan enzim xilanase dengan pengulangan sebanyak tiga kali.
Model matematika untuk taraf tersebut adalah sebagai berikut:
Yijk
= µ + JBi + Ej + JB*Eij +Σ (k)ij
SS total = Σ Σ Σyijk2 – T ... 2/N
SS JBi = (ΣTi..2)jk – T ...2/N
SS Ej = (ΣT.j.2)jk – T ...2/N
SS JBEij = Σ Σtij.2 – SS JBi – SS Ej – T ...2/N
SS εk(ij) =SS total – SS JBi – SS Ej – SS JBEij

Dengan i = 1, 2, 3; j = 1, 2; dan k= 1, 2, 3:
Yijk
: Parameter respon dari pengaruh taraf ke-i faktor A dan pengaruh taraf
ke-j faktor B pada ulangan ke-k
µ
: Pengaruh rata-rata
JBi
: Efek sebenarnya taraf ke i (faktor jenis bambu)
Ej
: Efek sebenarnya taraf ke j (faktor enzim)
JB*Ejij : Efek kombinasi faktor taraf ke ij (faktor kombinasi jenis bambu dan
enzim)
Σ (k)ij : Galat (error) kombinasi faktor taraf ke ij dan faktor taraf ke k.
Setelah dilakukan penghitungan, akan didapatkan tabel ANOVA. Jika
Fhitung lebh besar dibandingkan dengan Ftabel maka ada pengaruh nyata antara
faktor dengan parameter yang diuji dan uji dilanjutkan dengan uji Duncan.

7

Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2007,
untuk pengolahan data statistik uji ragam Anova dan uji lanjut Duncan
menggunakan Software SPSS v16 Trial version.

TINJAUAN PUSTAKA
Bambu
Bambu (Bambuseae) adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang
mempunyai batang berongga dan beruas-ruas, jenisnya banyak sekali dan manfaat
yang diberikan pada manusia pun cukup banyak. Beragam kreasi banyak
dihasilkan dari bambu mulai dari alat musik, furniture hingga bahan bangunan
yang digunakan dalam arsitektur rumah tinggal bambu. Jaman dahulu bambu
merupakan material yang sering digunakan sebagai bahan bangunan selain kayu
dan batu, terutama di Asia. Kini seiring dengan gencarnya isu ecofriendly, banyak
arsitek yang sudah mulai melirik bambu kembali sebagai elemen dalam desain
perancangannya (Berlian 1995).
Berlian (1995) juga menyatakan salah satu alasan pemilihan bambu adalah
karena bambu sudah terkenal sebagai material alami yang elastis, kokoh, dan
mampu menahan beban tekan, tarik, geser, maupun tekuk dengan baik. Keunikan
bambu yang liat dan elastis serta bobot konstruksi yang ringan menjadikan rumah
bambu lebih tahan terhadap gempa seperti rumah-rumah yang didominasi unsur
bambu dan kayu ketika terjadi gempa. Selain itu, harganya yang relatif murah,
keberadaannya yang melimpah di alam, serta masa tumbuhnya yang cepat
menjadi kelebihan lain dibandingkan dengan material kayu. Banyak orang
berpendapat bahwa bambu adalah material yang tidak tahan lama, padahal pada
kenyataannya pernyataan tersebut tidaklah benar. Seperti halnya kayu yang
memerlukan perlakuan khusus sebelum digunakan, bambu pun membutuhkan
perlakuan khusus sebelum digunakan sebagai material bangunan agar dapat tahan
lama. Cara yang paling mudah untuk mengawetkan bambu adalah melumurinya
dengan bensin.
Tanaman bambu kini juga digunakan sebagai bahan baku untuk produksi
kain yang mendukung sumber daya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kain
yang terbuat dari serat bambu memiliki kandungan anti-bakteri dan memiliki
bakteriostatik bio-agen bernama “kun bambu”. Temuan ini divalidasi oleh
Japanese Texstile Inspection Association. Setelah lima puluh kali mencuci, kain
dari serat bambu masih memiliki kandungan anti-bakteri yang sangat baik. Serat
bambu merupakan serat yang diperoleh dari selulosa alami sehingga serat bambu
dapat terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme atau sinar matahari.
Kemampuan serat bambu yang bersifat dari alam kembali ke alam menjadi alasan
mengapa serat bambu ditetapkan sebagai sumber bahan tekstil alami baru yang
eco-friendly abad 21. Sifat fisik dan kimia dari serat bambu tidak begitu berbeda
dengan jenis kain viscose (Rathod dan Kolhatkar 2012).
Bambu tumbuh secara meluas diseluruh dunia dan jumlah komoditinya yang
tergolong besar membuat bambu menjadi bahan baku serat yang mudah diperoleh.
Hal ini yang menjadikan selulosa pada bambu memiliki potensi besar dalam

8
perindustrian serat kain (Zhang 2012).
Subyakto (2009) menyatakan sejumlah produsen kain bambu oganik di
Swiss, Kanada, Turki, Afrika Selatan, Cina dan Mauritius telah membuat pakaian
organik bambu saat ini. Produksi kainnya dibuat dari benang bambu 100% atau
dicampur dengan bahan lain seperti spandex katun atau bahkan rami. Kain bambu
sangat lembut jika dipakai dan hampir menyerupai bahan kasmir. Mutu kainnya
halus, nyaman dan mewah. Jika kita melihat kain bambu pada tingkat
mikroskopis, serat bambu memiliki permukaan halus bulat. Hal itu membuat kain
bambu ini menjadi rasa yang sempurna untuk kulit kita.
Dalam pengujian bahan oleh beberapa perusahaan, kain bambu organik
(100% serat bambu) menyerap air 1,8 kali lebih besar dari pada katun organik
(100% serat katun). Dengan demikian, handuk bambu organik memiliki daya
serap air yang lebih tinggi. Kain bambu memiliki kemampuan bernafas karena
pada penampang dari serat bambu terdapat berbagai kesenjangan pada lubang
mikro sehingga memungkinkan udara untuk masuk kedalam kain. Pakaian dari
kain bambu lebih kuat dan tahan lama. Beberapa tes menunjukkan bahwa serat
bambu memiliki abrasion-proof capacity tinggi. Kain bambu sangat baik untuk
orang yang memiliki kulit sensitif atau rentan alergi terhadap kain biasa yang
memiliki kandungan kimia tertentu. Kandungan kimia tersebut biasanya dapat
mengiritasi kulit dari pemakai. Kain bambu mencapai skor 50 pada skala UPF
(skala perlindungan ultraviolet). Ini adalah jumlah pengurangan 98% aktivitas UV
(sinar ultraviolet matahari) yang mencapai kulit (Subyakto 2009).
Bagian utama dari bambu adalah selulosa. Selulosa merupakan bahan
biopolimer terbarukan yang paling banyak di dunia. Selulosa dapat diproses
dengan berbagai cara menjadi beberapa jenis material yang berguna, termasuk
tekstil. Serat yang berasal dari selulosa dapat terdegradasi secara alami oleh
mikroorganisme atau cahaya matahari, hal ini yang menyebabkan berbagai jenis
kain yang berasal dari selulosa bersifat eco-friendly. Terdapat berbagai cara untuk
memproduksi tekstil dari selulosa, namun yang paling sering dipakai adalah
hidrolisis alkalisasi atau lyocell process. Dari proses tersebut akan diperoleh
regenerated cellulose atau viscose cellulose yang dapat dibentuk menjadi benang
dan dipintal menjadi kain. Selain itu serat bambu juga dapat diperoleh melalui
proses mekanikal. Pada proses mekanikal, serat bambu diperoleh melalui proses
degumming (Rathod dan Kolhatkar 2012).
Enzim
Lehniger (1990) menyatakan kata enzim berasal dari bahasa Yunani
“enzyme” yang berarti “di dalam sel”. Enzim didefinisikan sebagai fermen (ragi)
yang bentuknya tidak tertentu dan tidak teratur, yang dapat bekerja tanpa adanya
mikroba dan dapat bekerja di luar mikroba. Definisi tersebut berubah setelah
dilakukan penelitian lanjutan oleh Buchner pada tahun 1897. Enzim dapat
diproduksi oleh mikroba atau bahan lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Enzim
juga dapat diisolasi dalam bentuk murni. Enzim merupakan senyawa protein yang
dapat mengkatalisis seluruh reaksi kimia dalam sistem biologis. Semua enzim
murni yang telah diamati sampai saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya
bergantung kepada integritas strukturnya sebagai protein. Enzim dapat
mempercepat reaksi biologis, dari reaksi yang sederhana, sampai ke reaksi yang
sangat rumit.

9
Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat
yang bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi. Percepatan reaksi terjadi
karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan
mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat membentuk
kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai membentuk
enzim bebas dan produknya (Lehniger 1990)
E = S  ES  E + P
E = enzim
S = substrat
P = produk
Aziz (2008) menyatakan aktivitas enzim dipengaruhi banyak faktor. Faktorfaktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim. Apabila faktor
pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum, maka kerja enzim juga
akan maksimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim:
a. Substrat
Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat cocok dengan
enzim, maka kinerja enzim juga akan optimal.
b. pH (keasaman)
Enzim mempunyai sensifitas tinggi pada pH tertentu. Ada enzim yang
optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang optimal pada
kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal pada pH netral.
c. Waktu
Waktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan efektivitas
kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi, maka kerja enzim juga akan
semakin optimum.
d. Konsentrasi / jumlah enzim
Konsentrasi enzim berbanding lurus dengan efektivitas kerja enzim.
Semakin tinggi konsentrasi maka kerja enzim akan semakin baik dan
cepat.
e. Suhu
Seperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum untuk
kerjanya.
f. Produk akhir
Reaksi enzimatis selalu melibatkan dua hal, yaitu substrat dan produk
akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata dapat menurunkan
produktivitas kerja enzim.
Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat,
suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH
(tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein,
yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah.
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, karena sifat ionik gugus karboksil dan
gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. Perubahan pH atau pH yang tidak
sesuai akan menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim berubah. Selain
itu perubahan pH juga menyebabkan denaturasi enzim dan mengakibatkan
hilangnya aktivitas enzim (Meryadini et al. 2009)
Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor adalah molekul
yang menurunkan aktivitas enzim, sedangkan aktivator adalah yang meningkatkan
aktivitas enzim. Banyak obat dan racun adalah inihibitor enzim. Bahan inhibitor

10
ini akan mengubah aktivitas dari suatu enzim dengan menggabungkannya dalam
suatu jalur yang mempengaruhi ikatan substrat dan nilai turn-over-nya. Bahanbahan ini dapat berupa bahan alami maupun kimia (logam) (Anisa 2006).
Pada proses pemisahan serat bambu terdapat berbagai jenis proses
menggunakan enzim, antara lain xilanase, dan selulase. Enzim xilanase digunakan
dalam proses pemisahan hemiselulosa pada serat bambu. Enzim selulase
digunakan untuk menghidrolisis selulosa amorf menjadi gula-gula sederhana.
Hidrolisis selulosa bertujuan meningkatkan daya serap selulosa sehingga selulosa
yang akan diproses menjadi lebih lembab dan memudahkan penetrasi enzim pada
proses degumming menggunakan enzim xilanase. Perlakuan selulase juga
bertujuan mengubah struktur selulosa sehingga serat yang diperoleh memiliki
ketahanan yang lebih baik saat proses pemintalan (Jiajia 2012).
Selulosa atau β-1-4-glucan adalah polisakarida linear dan merupakan
polimer dari glukosa. Gabungan dua molekul glukosa di dalam rantai selulosa
dinamakan selobiosa. Rantai-rantai selulosa diikat oleh ikatan hidrogen dan
membentuk serat atau disebut juga mikrofibril. Serat-serat ini terikat satu sama
lain oleh hemiselulosa, polimer amorf dari gula yang berbeda dan diselimuti oleh
lignin. Mikrofibril umumnya saling terikat membentuk makrofibril. Struktur yang
ini membuat selulosa kebal terhadap perlakuan biologi dan kimia (Gandjar et al.
2006).
Enzim selulase terbentuk dari beberapa komponen enzim yang biasanya
terdiri atas 3 komponen yang bekerja secara sinergis dalam menghidrolisis
selulosa. Komponen – komponen tersebut antara lain: endoglukanase,
selobiohydrolase, dan selobiase. Pada enzim selulase yang diperoleh dari
Trichoderma reesei diketahui 60-80% adalah cellobiohydrolases, 20-36% adalah
endoglucanases, dan 1% adalah selobiases (B-glukosidase). Komponen
endoglukanases dan selobiohydrolase bekerja pada selulosa menghasilkan
selobiose, selootriose sebagai hasil reaksi. Selobiose yang dihasilkan kemudian
dihidrolisis menjadi glukosa oleh selobiase. Endoglukanase dan selobiohydrolases
mendegradasi selodextrins dan selulosa amorf; cellobiohydrolase mendegradasi
selulosa kristal lebih efektif. Oligosakarida yang terbentuk saat hidrolisis selulosa
dipercaya memiliki peran penting dalam induksi selulosa alami. Selulosa padat
biasa digunakan sebagai substrat fermentasi (Gandjar et al. 2006). Selulosa pada
umumnya terdiri dari daerah berupa crystalline dan amorphous dengan jumlah
kandungan yang bervariasi berdasarkan sumber bahan. Sebagian besar bahanbahan reaktan hanya bekerja pada bagian amorphous karena bagian tersebut
terdapat pada permukaan dari bagian crystalline, sehingga bagian intracrystalline
tidak terpengaruh oleh reaktan (Ciolacu et al. 2011). Penggunaan enzim selulase
dapat meningkatkan kristalinitas dari serat yang bertujuan agar serat yang
dihasilkan memiliki kekuatan yang lebih baik (Zhang 2012).
Yueping et al. (2009) menyatakan bahwa serat bambu termasuk kedalam
Cellulose I sama seperti serat rami, lenan, dan kapas. Selulosa I dimasukkan
kedalam jenis selulosa kristalin. Gambar 3 menunjukkan bagaimana enzim
selulase memutus rantai selulosa menjadi glukosa.

11
Selulosa

Selulase

Glukosa

Gambar 2 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi glukosa (Held 2012)
Hemiselulosa merupakan heteropolimer polisakarida yang keberadaannya
terbanyak kedua setelah selulosa. Kandungan hemiselulosa pada tanaman berkisar
antara 20-30% berat kering kayu. Keberadaan hemiselulosa belum banyak
dimanfaatkan dibandingkan dengan selulosa. Karena hemiselulosa dapat
diperbarui, memungkinkan dimanfaatkan menjadi produk yang ekonomis. Xilan
adalah polisakarida yang merupakan komponen utama hemiselulosa yang
memiliki tulang punggung rantai D-silopiranosa dengan ikatan glikosidik β-1,4.
Kandungan xilan pada limbah pertanian seperti jerami padi berkisar 20-30% berat
kering (Rao et al.1999)
Xilanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan
menghidrolisis xilan atau polimer dari xilosa. Xilanase dapat diklasifikasikan
berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan
endoxilanase. Eksoxilanase mampu memutus rantai polimer xilosa (xilan) pada
ujung reduksi, sehingga menghasilkan xilosa sebagai produk utama dan sejumlah
oligosakarida rantai pendek. Enzim ini mengandung sedikit aktivitas transferase
sehingga potensial dalam industri penghasil xilosa. Aktifitas enzim ditingkatkan
dengan penambahan induser (Rao et al. 1999). Gambar 4 menunjukkan
bagaimana xilanase memutus rantai xilan menjadi xilosa.
Xilan

Xilanase

Xilosa

Gambar 3 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi glukosa (Held 2012)
Degumming
Degumming adalah proses menghilangkan zat perekat/gum bukan selulosa
yang melengket pada serat. Pada bambu zat perekat/gum diperoleh berupa xilan.
Pada umumnya bambu memiliki kandungan xilan sebesar 20-30%. Kandungan

12
xilan pada bambu dipisahkan agar serat bambu terlepas dalam helaian-helaian
sehingga dapat dipintal. Secara tradisional, proses degumming dilakukan dengan
secara kimia yaitu, dengan memasak bambu dengan menggunakan larutan alkali.
Beberapa macam cara degumming, antara lain menggunakan NaOH 0.5% , NaOH
38oBe, Na2CO3, sabun, campuran NaOH 32% dan sabun, campuran Na2CO3,
sabun dan Ca(OH)2 sampai dengan penggunaan NaOH 3% yang dicampur dengan
Na-sulfit 3% dan Na-tripolifosfat 3% serta bahan pembasah (teepol) sebanyak 3%
(Winarto 2003).
Cara biologis dalam proses degumming, yakni dengan cara enzimatis
menghilangkan bahan perekat/gum pada bambu. Bahan perekat/gum pada bambu
berupa xilan (Gambar 5) sehingga untuk memisahkan xilan dari bambu digunakan
enzim xilanase. Dari hasil-hasil penelitian dan uji coba diketahui bahwa
degumming cara enzimatis menghasilkan serat berkualitas lebih baik dibanding
dengan cara kimia. Degumming cara enzimatis ini masih terus dikembangkan dan
kini aplikasinya masih dalam skala kecil. Tantangan yang dihadapi pada proses
degumming enzimatis adalah waktu yang masih cukup lama, yakni 5-7 hari.
Selain itu, cara enzimatis walaupun lebih ramah lingkungan masih tetap
menimbulkan masalah lingkungan yang perlu diatasi, yakni berupa bau dan
limbah organik. Namun mutu serat yang lebih baik dengan prosesnya yang
sederhana dan aplikasinya yang bisa dilakukan dengan peralatan sederhana dan
tidak rumit menjadikan teknologi enzimatis/ mikrobiologis untuk degumming
serat bambu perlu dikembangkan (Winarto 2003).

Gambar 4 Struktur serat bambu (Held 2012)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bambu
Informasi sifat bambu dapat dilihat dari sifat kimia bambu. Sifat kimia
menunjukkan dari bambu terdiri atas kadar holoselulosa, selulosa, hemiselulosa,
lignin klason, dan zat ekstraktif. Tabel 2 menunjukkan sifat kimia dari bambu
kuning, bambu hitam, dan bambu tali. Kadar zat ekstraktif bambu pada pelarut
etanol benzena 2:1 adalah sebesar 3.77 %. Jika dibandingkan dengan zat ekstraktif
bambu yang biasanya diantara 5-9% (Fatriasari 2008), zat ekstraktif bambu
kuning yang diperoleh tergolong kecil. Kadar holoselulosa yang diperoleh adalah
sebesar 69.57%. Fatriasari (2008) menyatakan pada umumnya bambu memiliki
kadar holoselulosa antara 70-80%, berdasarkan data tersebut bambu kuning yang
diamati tidak memiliki kadar holoselulosa yang jauh berbeda seperti pada
umumnya. Kadar lignin yang diperoleh tergolong kecil, yaitu sebesar 21.23%

13
dibandingkan dengan kadar lignin bambu pada umumnya yang sekitar 25-30%
(Fatriasari 2008). Bambu hitam memiliki kandungan zat ekstraktif lebih tinggi
dibandingkan dengan bambu kuning, yaitu sekitar 4.12%. Kandungan
Holoselulosa yang dimiliki bambu hitam lebih rendah dibandingkan dengan
bambu Kuning, yaitu sekitar 64.43% kandungan Hemiselulosa bambu hitam juga
lebih kecil dari bambu kuning, yaitu sebesar 21.16%. Bambu Hitam memiliki
kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan bambu kuning, yaitu sekitar
24.33%. Bambu tali memiliki kandungan zat ekstraktif paling tinggi dibandingkan
dengan dua jenis bambu lainnya yaitu sekitar 4.45%. Kandungan holoselulosa
pada bambu tali merpakan yang paling rendah, yaitu 63.23%, dan hemiselulosa
sekitar 20.78%. Kandungan lignin bambu tali merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan dengan dua jenis bambu lainnya yaitu sekitar 24.87%.
Tabel 2 Sifat-sifat kimia bambu
Sifat Kimia
Zat ekstraktif (%)
Kadar holoselulosa (%)
Kadar selulosa (%)
Kadar hemiselulosa (%)
Kadar lignin Klason(%)

Bambu Kuning
3.77±0.02
69.57±0.07
47.33±0.11
22.24±0.08
21.23±0.04

Bambu Hitam
4.12±0.01
64.43±0.08
43.27±0.09
21.16±0.03
24.33±0.07

Bambu Tali
4.45±0.01
63.23±0.07
42.45±0.05
20.78±0.03
24.87±0.06

Karakteristik Enzim
Aktivitas enzim merupakan kemampuan enzim dalam mendegradasi
substrat. Tabel 3 menunjukkan konsentrasi enzim selulase pada suhu tertentu.
Enzim selulase memiliki konsentrasi enzim sebesar 250 U/g. Dapat dilihat, enzim
selulase bekerja dengan optimal pada suhu 37oC dan pH 5.5. Pada suhu 45oC,
konsentrasi yang diperoleh adalah sebesar 221 U/g. Tabel 4 menunjukkan
konsentrasi enzim xilanase pada suhu tertentu. Enzim xilanase memiliki
konsentrasi enzim sebesar 550 U/g. Konsentrasi enzim xilanase pada suhu 40oC
sebesar 437 U/g, sedangkan konsentrasi enzim xilanase pada suhu 60oC sebesar
492 U/g, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi optimal enzim xilanase yang
digunakan adalah pada suhu 50oC dan pH 5.5.
Tabel 3 Aktivitas CMC-ase
Parameter
Suhu (pH 5,5)
37oC
45oC
pH (45oC)
4.5
5.0
5.5
6.0

Konsentrasi Enzim
250 U/g±12
221 U/g±17
205 U/g±11
218 U/g±15
221 U/g±13
215 U/g±11

14
Tabel 4 Aktivitas Enzim Xilanase
Parameter
Suhu (pH 5,5)
40oC
50oC
60oC
pH (45oC)
4.5
5.0
5.5
6.0

Konsentrasi Enzim
437 U/g±21
550 U/g±27
492 U/g±18
497 U/g±19
505 U/g±24
521 U/g±22
517 U/g±18

Hidrolisis Selulosa

Kadar Gula Pereduksi (ppm)

Hidrolisis selulosa menggunakan enzim selulase menghasilkan produk
berupa glukosa dalam bentuk gula pereduksi. Gambar 5 menunjukkan perbedaan
jumlah gula pereduksi hasil hidrolisis menggunakan enzim selulase. Berdasarkan
data tersebut dapat diketahui bahwa bambu kuning lebih mudah terhidrolisis
dengan menggunakan enzim selulase dibandingkan dengan bambu hitam maupun
bambu tali. Hidrolisis bambu kuning menghasilkan gula pereduksi rata-rata
sebesar 393.67 ppm, sedangkan untuk bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki
perbedaan yang terlalu jauh dimana bambu hitam menghasilkan gula pereduksi
sebesar 266.22 ppm dan bambu tali sebesar 275.06 ppm.
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

393.67

Bambu Kuning

266.22

275.06

Bambu Hitam

Bambu Tali

Jenis Bambu

Gambar 5 Gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis menggunakan selulase
Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis selulosa (Lampiran 3) diperoleh
signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima adanya
pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa jenis bambu mempengaruhi hasil hidrolisis enzim selulase (kadar gula
pereduksi). Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji
lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Uji Duncan menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu
kuning memiliki kandungan selulosa yang paling mudah terhidrolisis oleh enzim
selulase dibandingkan dengan bambu lainnya, sedangkan bambu hitam dan bambu
tali menghasilkan gula pereduksi yang cenderung sama.

15
Menurut Purba (2009) proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: enzim, ukuran partikel, suhu, pH, waktu hidrolisis,
perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan.
Selain itu hidrolisis juga dipengaruhi oleh karakteristik substrat dan kandungan
pada substrat tersebut. Pada hidrolisis ini kandungan yang mempengaruhi
hidrolisis adalah lignin. Ikatan silang dari struktur aromatik lignin dapat
memperlambat penetrasi oleh enzim sehingga mempengaruhi proses hidrolisis
(Safaria et al. 2013). Perbedaan hasil hidrolisis pada bambu-bambu tersebut
disebabkan oleh kandungan lignin. Kandungan lignin pada bambu hitam dan
bambu tali cukup tinggi dibandingkan dengan kandungan lignin bambu kuning
(Tabel 2), sehingga enzim selulase lebih sulit menghidrolisis selulosa.
Jiajia (2012) menyatakan perlakuan enzim dapat mengakibatkan perubahan
struktur dan permukaan dari serat. Enzim selulase mengubah permukaan serat
menjadi lebih lembut dan lebih lentur sehingga, daya putus serat dan daya pintal
menjadi lebih baik.
Hidrolisis selulosa menggunakan enzim selulase mengakibatkan penurunan
pada jumlah selulosa yang terkandung pada bambu yang dapat dilahat pada Tabel
5. Penurunan persentase selulosa pada bambu dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan grafik dapat dilihat penurunan selulosa pada bambu kuning lebih
tinggi dibandingkan dengan bambu hitam maupun bambu tali. Penurunan selulosa
pada bambu kuning adalah rata-rata sebesar 6.40 %, sedangkan penurunan
selulosa pada bambu hitam sebesar 5.55% dan bambu tali sebesar 5.49%.
Tabel 5 Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis
Jenis bambu
Bambu kuning
Bambu hitam
Bambu tali

Yield (%)
96.23±0.05
95.88±0.12
95.55±0.08

Selulosa awal (%)
47.33±0.11
43.27±0.09
42.45±0.05

Selulosa akhir (%)
46.03±0.01
42.62±0.07
43.95±0.05

8
Penurunan Selulosa(%)

7

6.40

6

5. 55

5.49

Bambu Hitam

Bambu Tali

5
4
3
2
1
0
Bambu Kuning

Jenis Bambu

Gambar 6 Penurunan selulosa

16
Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis penurunan selulosa (Lampiran 3)
diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima
adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat
disimpulkan jenis bambu berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar selulosa.
Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu
uji Duncan dan yang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tidak jauh berbeda dengan data gula pereduksi, dari uji duncan
menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning mengalami
penurunan selulosa terbesar dibandingkan dengan jenis bambu lain, sedangkan
penurunan selulosa pada bambu tali dan bambu hitam tidak berbeda.
Penurunan jumlah selulosa pada bambu berbanding lurus dengan jumlah
gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa dengan enzim selulase.
Semakin tinggi gula pereduksi yang dihasilkan maka makin tinggi pula penurunan
selulosa pada bambu. Penurunan selulosa pada bambu kuning lebih tinggi
dibandingkan dengan bambu yang lain karena pada hidrolisis selulosa, selulosa
pada bambu kuning lebih banyak terhidrolisis oleh enzim selulase.
Hidrolisis Hemiselulosa
Hidrolisis hemiselulosa (xilan) menggunakan enzim xilanase menghasilkan
produk xilosa berupa gula pereduksi. Gambar 7 menunjukkan perbedaan jumlah
gula pereduksi hasil hidrolisis menggunakan enzim xilanase. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa kandungan hemiselulosa bambu kuning juga lebih mudah
terhidrolisis dibandingkan dengan jenis bambu yang lain. Gula pereduksi yang
dihasilkan pada hidrolisis bambu kuning adalah sebesar 297.67 ppm, sedangkan
pada bambu hitam, gula pereduksi yang dihasilkan sebesar 211.67 ppm, dan gula
pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis bambu tali sebesar 194 ppm. Seperti
halnya hidrolisis selulase, hidrolisis xilanase juga dipengaruhi oleh kandungan
lignin dalam bambu yang dapat menghambat penetrasi enzim xilanase, oleh
karena itu bambu kuning dengan kandungan lignin terendah dapat terhidrolisis
dengan mudah dengan enzim xilanase.
Kadar Gula pereduksi (ppm)

350
297.67
300

250

211.67

200

194.00

150
100
50
0
Bambu Kuning

Bambu Hitam
Jenis Bambu

Bambu Tali

Gambar 7 Gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis enzim xilanase

17
Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis hemiselulosa (Lampiran 4)
diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima
adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa jenis bambu mempengaruhi hasil hidrolisis enzim xilanase
(kadar gula pereduksi). Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka
dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Dari uji duncan menunjukkan bahwa semua bambu memiliki perbedaan
yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning memiliki
kandungan hemiselulosa yang paling mudah terhidirolisis oleh enzim xilanase
dibandingkan dengan jenis bambu lainnya, dan bambu tali memiliki kandungan
hemiselulosa yang paling sulit terhidrolisis oleh enzim xilanase.
Sama halnya dengan enzim selulase, enzim xilanase juga dipengaruhi oleh
lignin. Lignin dapat memperlampat penetrasi enzim pada substrat sehingga
mempengaruhi proses hidrolisis. Xilan lebih sulit terhidrolisis dibandingkan
dengan selulosa karena jumlah kandungan xilan yang kecil. Xilan pada
permukaan kembali mengendap sehingga sebagian xilan yang terletak lebih jauh
di dalam tidak terjangkau oleh enzim (Wedin et al. 2007).
Hidrolisis hemiselulosa menggunakan enzim xilanase mengakibatkan
penurunan pada jumlah hemiselulosa yang terkandung pada bambu yang dapat
dilihat pada Tabel 6. Gambar 8 menunjukkan penurunan kandungan hemiselulosa
setelah hidrolisis dengan menggunakan enzim xilanase. Penurunan kandungan
hemiselulosa pada bambu tidak begitu berbeda dibandingkan dengan data hasil
hidrolisis hemiselulosa. Bambu kuning mengalami penurunan kandungan
hemiselulosa yang paling tinggi dibanding dengan jenis bambu yang lain yaitu
sebesar 12.71%, bambu hitam mengalami penurunan kandungan hemiselulosa
sebesar 8.48%, dan bambu tali mengalami penurunan kandungan hemiselulosa
sebesar 7.85 %.
Tabel 6 komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis menggunakan enzim
xilanase
Jenis bambu
Bambu kuning
Bambu hitam
Bambu tali

Yield (%)
95.29±0.10
97.01±0.19
97.28±0.19

Hemiselulosa
awal (%)
22.24±0.08
21.16±0.03
20.78±0.03

Hemiselulosa
akhir (%)
21.21±0.04
20.84±0.08
20.62±0.08

Selulosa
akhir (%)
48.63±0.01
45.29±0.01
44.56±0.01

18

Penurunan Hemselulosa (%)

16
14

12.71

12
10

8.48

7.85

8
6
4
2
0
Bambu Kuning

Bambu Hitam

Bambu Tali

Jenis Bambu

Gambar 8 Penurunan hemiselulosa
Sebagai bahan baku bambu memiliki selulosa, hemiselulosa, dan lignin
sebagai bahan penyusun utama. Ketiga kandungan memiliki total kandungan lebih
dari 90% dari kandungan yang terdapat pada bambu. Lignin dan hemiselulosa
adalah kandungan utama yang ingin dipisahkan melalui proses degumming.
Bambu memiliki kandungan hemiselulase rata-rata 20 – 30 %. Hemiselulase pada
bambu pada sebagian besar mengandung β -D-xilan, sehingga penggunaan
xilanase merupakan metode yang paling tepat dalam proses degumming (Aoyama
1999).
Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis penurunan hemiselulosa
(Lampiran 4) diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan
h(1) diterima adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data
tersebut dapat disimpulkan perubahan kadar hemiselulosa berpengaruh nyata
terhadap jenis bambu yang dihidrolisis. Untuk mengetahui data mana yang
berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Dari uji Duncan menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu
kuning mengalami penurunan hemiselulosa terbesar dibandingkan dengan jenis
bambu lain, sedangkan penurunan selulosa pada bambu tali dan bambu hitam
cenderung sama.
Penurunan jumlah hemiselulosa pada bambu berbanding lurus dengan
jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis hemiselulosa dengan enzim
xilanase. Semakin tinggi gula pereduksi yang dihasilkan maka makin tinggi pula
penurunan hemiselulosa pada bambu. Penurunan hemiselulosa pada bambu
kuning lebih tinggi dibandingkan dengan bambu yang lain karena pada hidrolisis
hemiselulosa, hemiselulosa pada bambu kuning lebih banyak terhidrolisis oleh
enzim xilanase.
Berdasarkan data yang diperoleh, bambu kuning merupakan jenis bambu
yang paling cocok untuk pembuatan serat kain bambu dengan menggunakan
metode mekanis, dikarenakan bambu kuning memiliki kandungan selulosa dan
hemiselulosa yang mudah terhidrolisis dengan menggunakan enzim komersial

19
dibandingkan dengan bambu hitam maupun bambu kuning. Dengan menggunakan
bambu kuning sebagai bahan dalam pembuatan serat, maka proses degumming
akan lebih cepat dibandingkan dengan jenis bambu yang lain sehingga serat yang
dihasilkan dapat diperoleh lebih cepat, penggunaan enzim dapat dikurangi dan
biaya energi inkubasi juga dapat dikurangi.
Penentuan Konsentrasi Enzim Xilanase
Pada pembuatan serat kain bambu secara mekanis, hemiselulosa merupakan
salah satu kandungan yang perlu dihilangkan, sehingga dilakukan pengujian untuk
mengetahui konsentrasi enzim xilanase yang terbaik untuk memisahkan
h