Status Kualitas Air Dan Penatagunaan Lahan Di Das Citarum Hulu Kabupaten Bandung

STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI
DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG

MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Kualitas Air dan
Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Muhammad Widyar Rahman
NIM P052100261

RINGKASAN
MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Status Kualitas Air dan Penatagunaan
Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh
MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO dan SUPRIHATIN.
Wilayah DAS Citarum hulu merupakan wilayah sungai strategis nasional
yang berada di kabupaten Bandung dengan luas 799.22 km2. Peran vital wilayah
DAS Citarum hulu dalam kaitannya dengan sumberdaya air permukaan baik di
tingkat lokal maupun regional memerlukan upaya kontinuitas perbaikan dengan
mengintegrasikan konservasi sumberdaya lahan dan air dalam perencanaannya.
Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna
lahan (2) menentukan status kualitas air (3) menentukan indikator parameter
kualitas air yang dipengaruhi oleh aktifitas tata guna lahan menggunakan
hubungan statistik.
Karakteristik hidrologi diwakili oleh koefisien rejim sungai (KRS) dan
aliran limpasan yang ditentukan menggunakan metode Rasional. Hasil analisis
hidrologi tersebut menunjukkan status KRS berdasarkan 3 sungai utama di DAS

Citarum hulu berada pada kondisi baik hingga sedang. Koefisien limpasan
tertimbang berada direntang 0.20-0.37 dengan karakteristik debit puncak berada
direntang 18.496-112.092 m3/s. Karakteristik tata guna lahan diwakili oleh Indeks
Penggunaan Lahan (IPL) dan matriks perubahan tata guna lahan. Status IPL
secara umum berada pada kondisi sedang hingga baik. Namun, matriks perubahan
lahan mengindikasikan terjadinya perubahan selama periode 10 tahun. Perubahan
tersebut menghasilkan peningkatan debit puncak limpasan sebesar 1.84 m3/detik.
Stasiun pemantauan berjumlah lima belas berdasarkan batas DAS terpilih
yang ditentukan untuk analisis kualitas air menggunakan metode STORET. Hasil
penentuan status kualitas air menunjukkan bahwa status cemar berat pada sungaisungai utama dipengaruhi oleh anak-anak sungainya dan mengindikasikan tidak
adanya peningkatan status kualitas air dalam rentang tahun 2008 hingga 2011.
Tren status kualitas air yang tercemar berat tersebut dapat menjadi indikator
adanya kesalahan penatagunaan lahan di DAS Citarum hulu.
Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air
menggunakan metode stepwise regression. Hasil analisis regresi mengindikasikan
keterkaitan proporsi pertanian dan permukiman dapat dijelaskan oleh nilai
STORET. Parameter fisika-kimia kualitas air dapat diprediksi menggunakan satu
jenis aktifitas tata guna lahan. Hasil analisis berdasarkan parameter fisika-kimia
menunjukkan keterkaitan proporsi sawah terhadap parameter pH, DO, BOD dan
COD. Proporsi hutan terhadap parameter TDS dan temperatur air pada musim

kemarau. Pada musim penghujan, keterkaitan tersebut meliputi proporsi pertanian
terhadap parameter temperatur air, BOD, COD, TP dan H2S. Proporsi
permukiman terhadap NO2- dan TDS serta proporsi sawah terhadap pH dan TSS.
Kemudian, hanya proporsi hutan yang memiliki keterkaitan terhadap parameter
DO. Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air secara
keseluruhan signifikan pada p value < 0.05.
Penentuan kalibrasi dan validasi model keterkaitan tata guna lahan dan
kualitas air berdasarkan metode PBIAS. Hasil analisis regresi pada musim
penghujan mengindikasikan korelasi individual parameter kualitas air pH dan TSS

dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 1.87%
dan 21.72%. Parameter temperatur, BOD, COD dan H2S dapat dijelaskan oleh
proporsi lahan pertanian dengan nilai PBIAS sebesar 11.22%, 0.66%, 11.80% dan
2.00%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda
menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai
PBIAS sebesar 21.43% dan 18.59%. Hasil analisis regresi pada musim kemarau
mengindikasikan parameter pH dan COD dapat dijelaskan oleh proporsi lahan
sawah dengan nilai PBIAS sebesar 4.33% dan 22.55%. Parameter TDS dan
temperatur dapat dijelaskan oleh proporsi lahan hutan dengan nilai PBIAS sebesar
28.14% dan 12.05%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang

berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik
dengan nilai PBIAS sebesar 0.72% dan 0.79%.
Keterkaitan tata guna lahan terhadap status kualitas air menunjukkan bahwa
meskipun model regresi STORET memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS
sebesar 28.45%, namun ketika diuji pada skala luas dan lokasi yang berbeda
memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
dalam mengendalikan pencemaran nonpoint source, pengelolaan kualitas air perlu
ditekankan pada setiap jenis tata guna lahan dengan mengoptimalkan fungsi dan
tujuannya melalui keseimbangan proporsi dan praktek pengelolaan lahan yang
berwawasan lingkungan. Model keterkaitan yang dibangun dapat berfungsi
sebagai alat pengelolaan dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air di DAS bagian
hulu. Hal ini dapat membantu mengajukan suatu strategi pengelolaan daerah
aliran sungai yang berkelanjutan serta dampak potensial yang ditimbulkan dari
aktifitas tata guna lahan terhadap penurunan kualitas lingkungan.
Kata kunci: kualitas air, tata guna lahan, aliran limpasan, analisis regresi,
pengelolaan sumberdaya air

SUMMARY
MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Water Quality Status and Land Use
Arrangement in the Upper Citarum Watershed, Bandung Regency. Supervised by

MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO and SUPRIHATIN.
Region Upstream Citarum river basin is one of the main national strategic
river basin located in Bandung district with an area of 799.22 km2. Vital role
Citarum upstream region in relation to surface water resources both local and
regional that required continuity improvement efforts by integrating conservation
of land and water resources planning. This study has three main objectives that
include the following: (1) to analyze hydrology and land use/cover characteristics
(2) to determine water quality status (3) to determine indicators of water quality
parameters that were influenced by land use/cover types.
Hydrologic characteristics represented by the streamflow regime (KRS) and
streamflow runoff determined using Rational method. The results indicated that
status of KRS based on three major rivers in the upper Citarum are good to
moderate condition. Weighted runoff coefficient in the range of 0.20-0.37 and
peak flow characteristics in the range of 18.496-139.037 m3/s. Land use
characteristics represented by the Land Use Index (IPL) and matrix changes in
land use. IPL status generally are in moderate to good condition. However, matrix
changes indicated that there has been a vast change in individual land use in the
meantime. The vast change of land use totally increase peakflow runoff 1.84 m3/s.
A total of 15 monitoring stations selected based on catchment boundaries
were analyzed for water quality analysis using STORET methods. The results

showed that the status of heavy polluted in each river were affected by their
tributaries and indicated no improvement in the range of 2008 to 2011. Trends in
the status of the heavily polluted water could be an indicator of the presence of
faults land use management in the region upstream Citarum.
The regression model was evaluated to demonstrate the relationship
between both variables. Stepwise multiple linear regressions demonstrated that the
relationship of agriculture and settlement land cover type was able to describe the
overall water quality status. Physico-chemicals of water quality parameters could
be sufficiently predicted using one land cover type. The results showed that paddy
field related significantly to pH, DO, BOD and COD. Forest related significantly
to TDS and temperature in dry periods. Water quality parameters over the period
of the rainy seasons including agricultural related significantly to temperature,
BOD, COD, TP and H2S. Nitrite and TDS had relationship with settlement and
paddy field had relationship with pH and TSS. Moreover, only forest had
relationship with DO in wet periods. The overall statistically relationships were
significant in p < 0.05.
Determination of calibration and validation of the relationship land use and
water quality models based on PBIAS method. The results in the wet periods
indicated the correlation of individual pH and TSS could be explained by the
proportion of paddy field with PBIAS value of 1.87% and 21.72%. Temperature,

BOD, COD and H2S parameters could be explained by the proportion of
agricultural land with PBIAS value of 11.22%, 0.66%, 11.80% and 2.00%.
Testing the model on a large scale and the different locations showed only pH and

temperature that gives good results with PBIAS value of 21.43% and 18.59%. The
results in the dry periods indicated that pH and COD parameters could be
explained by the proportion of paddy field with PBIAS value of 4.33% and
22.55%. TDS and temperature parameters could be explained by the proportion of
forest land with PBIAS value of 28.14% and 12.05%. Testing the model on a
large scale and the different locations showed only pH and temperature that gives
good results with PBIAS value of 0.72% and 0.79%.
The linkage of land use on water quality status indicated that although
STORET models give good results with PBIAS value of 28.45%, but when tested
on a large scale and different locations gives unsatisfactory results. This indicated
that water quality management needs to be emphasized in any type of land use to
optimize the functions and objectives through the balance of proportions and
environmental land management practices in control of nonpoint source pollution.
Linkage models were built to provide as a management and evaluation tools of
water resources management in the upstream watershed. These could help submit
a sustainable watershed management strategy and the potential impact arising

from activities in land use against environmental degradation.
Keywords: water quality, land use, surface runoff, analysis of regression, water
resources management

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI
DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG

MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Etty Riani, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Judul penelitian ini adalah “Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS
Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.”
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS
dan Prof. Dr. Ir. Suprihatin selaku pembimbing yang telah memberikan saran,
arahan dan motivasinya. Selain itu penghargaan penulis sampaikan kepada

instansi-instansi terkait yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda serta seluruh
keluarga atas dukungan doa, semangat dan kasih sayangnya selama menempuh
pendidikan ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Muhammad Widyar Rahman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN


v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Penelitian

1
1
3
4
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai
Pencemaran Perairan
Hidromodifikasi
Kerangka Pengelolaan DAS

6
6
7
8
8

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pengumpulan Data
Diagram Alir Penelitian
Prosedur Analisis Data
Penentuan status kualitas air
Analisis hidrologi sungai
Analisis spasial tata guna lahan
Analisis statistik keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air

11
11
11
11
12
13
13
14
16
17

4 Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kondisi Fisik Wilayah
Topografi Wilayah
Aspek Tata Guna Lahan
Hidrologi dan Sumberdaya Air
Kualitas Aliran

22
22
23
24
25
26

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik hidrologi sungai
Karakteristik spasial tata guna lahan
Status kualitas air
Keterkaitan kualitas air terhadap aktifitas tata guna lahan
Kalibrasi dan Validasi Model
Tata Guna Lahan dan Hidrologi DAS
Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air
Implikasi Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air

27
27
30
35
41
43
50
51
53

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

59
59

Saran

59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

66

RIWAYAT HIDUP

70

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13
14

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
Penentuan sistem nilai status mutu air
Luas jenis tata guna lahan (km2) setiap batas DAS
Karakteristik tata air sungai utama pada skala Sub DAS
Koefisien dan debit limpasan untuk setiap batas DAS
Persentase Indeks Tata guna lahan (IPL) berdasarkan batas DAS
Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun
2003 dan 2006
Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun
2006 dan 2011
Persentase perubahan tata guna lahan
Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2008-2011 di tujuhbelas
kecamatan yang menjadi bagian dari wilayah studi di kabupaten
Bandung
Model regresi linear berganda kualitas air terhadap proporsi luas jenis
tata guna lahan (%)
Persentase kalibrasi model kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata
guna lahan (%)
Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Ciliwung hulu berdasarkan
administrasi kecamatan
Validasi model keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan di
Sub DAS Ciliwung hulu

12
13
25
27
29
30
32
33
34

34
41
44
49
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kerangka pemikiran
Lokasi penelitian DAS Citarum hulu
Diagram alir penelitian
Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna
lahan
Peta batas DAS wilayah studi
Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu
Peta tata guna lahan di wilayah studi
Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu
Status mutu air kelas II Sungai Citarik dan anak-anak sungainya
Status mutu air kelas III Sungai Citarik dan anak-anak sungainya
Status mutu air kelas IV Sungai Citarik dan anak-anak sungainya
Status mutu air kelas II Sungai Cikeruh dan anak sungainya
Status mutu air kelas III Sungai Cikeruh dan anak sungainya
Status mutu air kelas IV Sungai Cikeruh dan anak sungainya
Status mutu air kelas II anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
Status mutu air kelas III anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
Status mutu air kelas IV anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu

5
11
12
21
22
23
24
28
36
36
36
37
38
38
39
39
40

18 Status mutu air Sungai Citarum di stasiun pemantauan Sapan dan
Wangisagara
19 Kalibrasi model keterkaitan STORET terhadap jenis tata guna lahan
20 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata
guna lahan periode musim penghujan
21 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata
guna lahan periode musim kemarau
22 Peta tata guna lahan Sub DAS Ciliwung hulu

40
45
45
47
48

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai koefisien limpasan permukaan (C) untuk persamaan Rational
2 Hasil diagnostik analisis regresi
3 Rangkuman hasil analisis regresi

66
67
68

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya air merupakan kegiatan yang meliputi upaya
keberlanjutan terkait keberadaan air untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi
kehidupan. Sungai sebagai salahsatu sumberdaya air kondisinya semakin
mengkhawatirkan akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan
yang terjadi di segala sektor. Sejalan dengan perkembangan tersebut terjadi
perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian
sumberdaya air dan meningkatnya daya rusak air. Pada dasarnya kebutuhan
manusia akan air harus memadai dari aspek kualitas, kuantitas maupun
kontinuitasnya. Konsep keseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan
dalam pengembangan sumberdaya air sebagai upaya untuk meningkatkan
kegunaan air. Prioritas pemanfaatannya harus didasarkan pada aspek kemakmuran
dan kelestarian sumberdaya air.
Sungai secara umum dikenal memiliki beberapa kegunaan dalam setiap
sektor pembangunan seperti pertanian, industri, transportasi, pasokan air untuk
publik dan sebagainya. Sebaliknya, sungai digunakan sebagai lokasi untuk
pembuangan limbah baik limbah yang berasal dari industri dan domestik maupun
aktifitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan skala besar dari kualitas air
(Anhwange et al. 2012). Karakteristik sungai yang terus mengalami perubahan
baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya berdampak pada ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat dan industri yang terus meningkat serta
berdampak pada ekosistem di sekitar daerah aliran sungai. Hal ini menjadi
perhatian khusus dalam peningkatan dampak tersebut terhadap ekosistem karena
efek gabungan dari variasi curah hujan, topografi, vegetasi yang terbatas, dan
tanah dangkal dapat mempengaruhi kualitas aliran di sepanjang ruas sungai.
Pengelolaan kualitas air sebagai bagian dari pengendalian sumberdaya air
dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu lingkungan.
Pengendalian zat pencemar yang berasal dari berbagai sumber pencemar
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi intrinsik sumber air dan baku mutu
air yang ditetapkan. Pencemaran sungai dapat terjadi langsung dari outfalls
saluran pembuangan atau limbah industri sebagai point source dan limpasan dari
pertanian atau perkotaan sebagai non-point source. Dampak polutan pada kualitas
air sungai bergantung pada jenis polutan, beban maksimum harian dan
karakteristik sungai (Karamouz et al. 2003).
Pencemaran air dominan dapat terjadi di daerah dengan aktifitas pertanian
yang telah dilakukan secara intensif. Pencemaran nonpoint-source yang berasal
dari pertanian sebagian besar dari pelarutan bahan kimia pertanian atau terjadi
secara alami. Meskipun peningkatan produksi pangan dapat dilakukan melalui
intensifikasi, namun kecenderungan alih fungsi lahan terjadi pada ekspansi
peningkatan luas satuan lahannya (Banadda et al. 2009). Hal tersebut dilakukan
tanpa memperhatikan praktek pengelolaan lahan terutama yang berbasis
konservasi. Dampak yang terjadi dalam jangka panjang mempengaruhi kualitas
aliran sungai sebagai pencemaran nonpoint-source.

2
Pencemaran non-point source merupakan tantangan besar karena sumber
yang tersebar dan bervariasi terhadap musim dan cuaca, serta sumber ini sering
diabaikan oleh manusia (Zhang dan Wang 2012). Kesulitan pencemaran nonpointsource karena sifat dispersinya sehingga faktor penyebab tidak bisa teridentifikasi
dengan jelas. Limpasan permukaan bertanggung jawab terhadap hubungan antara
tata guna lahan dan kualitas air sebagai sumber utama pencemaran non-point
source. Limpasan yang berasal dari berbagai jenis tata guna lahan berpotensi
menjadi sumber berbagai jenis pencemar. Perubahan tata guna lahan dan praktek
pengelolaannya telah dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kunci di balik
perubahan sistem hidrologi, yang mengarah pada perubahan limpasan serta
kualitas air (Tong dan Chen 2002).
Permasalahan yang terjadi didorong oleh tekanan faktor aktifitas
antropogenik melalui pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produksi sumber
pangan. Hal tersebut menjadi dasar faktor antropogenik mengabaikan kualitas
lingkungan dalam aktifitasnya. Dilema perubahan proporsi luas dan jenis tata
guna lahan di suatu daerah aliran sungai akan mempengaruhi kualitas air.
Beberapa fungsi lanskap memiliki manfaat yang benar-benar penting bagi
manusia terutama terkait ketersediaan sumber daya alam dan jasa ekosistem,
seperti sumber pangan, tempat tinggal, dan sumberdaya air. Beberapa fungsi
tersebut dapat sinergis, dan beberapa fungsi tersebut juga dapat merugikan atau
bahkan menjadi sumber konflik. Beberapa fungsi yang secara spasial dan
temporal terpisah dapat menjadi efektif di lokasi yang sama pada waktu yang
sama. (Bolliger et al. 2011).
Pendekatan permasalahan nonpoint-source membutuhkan pemahaman
pengaruh setiap satuan lahan terhadap kualitas air. Pemilihan skala pengelolaan
yang sesuai dalam memahami pola hubungan satuan lahan dan kualitas air
tersebut sangat penting dalam mengembangkan indikator yang memadai dari
dampak aktifitas manusia terhadap kondisi sungai dan konsekuensinya (Uriarte et
al. 2011). Pendekatan analisis statistik dalam studi terkait saat ini masuk pada
generasi ketiga menggunakan GIS dan analisis multivariat untuk mengeksplorasi
tutupan lahan dan sedimen tersuspensi (Allan et al. 1997; Bolstad dan Swank
1997; Ahearn et al. 2005), nutrien (Allan et al. 1997; Sliva dan Williams 2001;
Tong dan Chen 2002; Ngoye dan Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005), parameter
DO, pH dan total fosfat (Amiri dan Nakane 2008). Pendekatan analisis statistik
dalam studi terkait berdasarkan musim (Sliva dan Williams 2001; Ngoye dan
Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005; Maillard dan Pinheiro Santos 2008;
Anhwange et al. 2012; Zhang dan Wang 2012). Penelitian terkait lainnya yang
spesifik di daerah tropis (Uriarte et al. 2011; Firdaus dan Nakagoshi 2013).
Penelitian ini membangun target indikator berdasarkan keterkaitan dampak
aktifitas tata guna lahan terhadap polutan yang dilakukan menggunakan hubungan
statistik dan penetapan kriteria kualitas air. Studi ini juga membahas signifikansi
hasil analisis empiris terhadap pengelolaan setiap satuan jenis tata guna lahan.
Meskipun ketersediaan data dapat membatasi ukuran set data yang digunakan
dalam penelitian ini, namun signifikansi hasil dapat membantu memberikan arah
dalam pengelolaan kualitas air sehingga dapat membantu mengajukan suatu
strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan serta dampak
potensial yang ditimbulkan dari aktifitas tata guna lahan terhadap penurunan
kualitas lingkungan.

3
Perumusan Masalah
Pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan yang terus meningkat di
DAS Citarum hulu menyebabkan kebutuhan pemanfaatan lahan menjadi semakin
meningkat. Aktifitas manusia memberikan respon yang tidak berwawasan
lingkungan terhadap setiap jenis tata guna lahan. Kesalahan pola aktifitas tata
guna lahan dalam jangka panjang berdampak negatif pada ekosistem perairan dan
kesehatan manusia terutama di sekitar daerah aliran sungai tersebut. Dilema
perubahan proporsi luas dan jenis tata guna lahan yang terjadi di DAS bagian hulu
menyebabkan meningkatnya lahan kritis dan menurunnya kualitas air sebagai
akibat dari pencemaran non-point source. Padahal produktifitas lahan sangat
diperlukan dalam rangka mendukung ketahanan pangan di daerah, sektor produksi
serta pengembangan wilayah. Dampak permasalahan tata guna lahan
menyebabkan ketersediaan air yang semakin terbatas dalam menunjang kegiatan
manusia. Secara hidrologis, apabila keadaan ini terus menerus terjadi akan
berdampak terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air di bagian
tengah dan hilir. Sungai Citarum memiliki fungsi penting di bagian tengah dan
hilir diantaranya mengairi ratusan ribu hektar sawah melalui jaringan irigasi
Jatiluhur, sumber air bagi penduduk kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Total
potensi air di wilayah Sungai Citarum adalah sebesar 13 milyar m3/tahun. Potensi
air yang sudah dimanfaatkan sebanyak 7.5 milyar m3/tahun (57.9%) dan yang
belum dimanfaatkan 5.45 milyar m3/tahun (42.1%) (RCMU 2011). Isu
permasalahan yang terjadi mengarah pada perlunya kesesuaian proporsi jenis tata
guna lahan dan peningkatan kualitas air. Aspek perencanaan menjadi sangat
penting terkait dengan isu permasalahan yang terjadi sehingga pola spasial dan
alat pengelolaan yang prediktif diperlukan sebagai pendekatan terhadap
permasalahan tersebut. Salahsatu alternatif pendekatan terhadap isu peningkatan
kualitas air melalui kesesuaian proporsi tata guna lahan. Asdak (2007)
menjelaskan bahwa pendekatan penyelesaian terkait pengelolaan kualitas air, ada
pertimbangan yang perlu dilaksanakan yaitu mengembangkan metode praktis
yang dapat dimanfaatkan untuk pengumpulan data/informasi yang berkaitan
dengan masalah kualitas air, identifikasi mekanisme yang mampu mengaitkan
antara data/informasi tersebut, mencari jalan keluar yang memungkinkan
kebijakan pengendalian penurunan kualitas air dapat dikaitkan dan diaplikasikan
secara efektif dengan program aksi pada tingkat lokal. Pertimbangan tersebut
memberikan dasar pemahaman tentang isu pengelolaan terkait degradasi kualitas
air karena arah alternatif pendekatan terhadap isu yang terjadi mempersyaratkan
pemahaman yang memadai tentang keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas
air di wilayah hulu. Oleh karena itu, indikator target diperlukan sebagai bentuk
keterkaitan antara tata guna lahan dan kualitas air sehingga dapat memberikan
usulan alternatif pengelolaan dalam rangka meningkatkan kualitas air di wilayah
hulu.
1. Bagaimana karakteristik hidrologi dan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu?
2. Bagaimana status mutu sungai di DAS Citarum hulu?
3. Bagaimana korelasi tata guna lahan terhadap kualitas air dan implikasinya
terhadap pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum hulu?

4
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna lahan DAS Citarum hulu.
2. Menentukan status kualitas sungai di DAS Citarum hulu.
3. Menentukan korelasi indikator parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh
tata guna lahan di DAS Citarum hulu.

Manfaat Penelitian
1. Bahan masukan bagi pihak terkait baik pemerintah daerah, industri dan
masyarakat dalam rangka konservasi sumberdaya air
2. Memberikan wawasan dalam mengeksplorasi beragam alternatif strategi
pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup pada penelitian terbatas pada kajian upaya penatagunaan
sumberdaya lahan melalui pendekatan empiris berdasarkan parameter kualitas air,
hidrologi dan jenis tata guna lahan tahun 2000 hingga 2011. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi-instansi terkait dan
berbagai referensi untuk melakukan pengamatan. Parameter kualitas air yang
ditentukan pada penelitian ini berjumlah 13 parameter, meskipun pada
pemantauan yang dilakukan oleh BLHD baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten lebih dari 13 parameter. Analisis karakteristik DAS menggunakan
pendekatan karakteristik hidrologi yang meliputi aliran permukaan dan koefisien
rejim sungai. Selain itu, pendekatan kedua menggunakan spasial tata guna lahan
yang meliputi Indeks Penggunaan Lahan dan matriks perubahannya. Pada analisis
statistik, model yang terpilih melalui evaluasi pada setiap tahapan analisis statistik
dengan diberlakukan asumsi-asumsi pokok dalam analisis regresi. Model
keterkaitan parameter kualitas air dan proporsi jenis tata guna lahan yang
dibangun merupakan fenomena yang dapat dijelaskan secara statistik dan bersifat
prediktif.

Kerangka Penelitian
Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat
penting dan sebagai indikator sehatnya suatu daerah aliran sungai. Sejalan dengan
perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan
industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif
terhadap kelestarian sumberdaya air yang diindikasikan dengan semakin
meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai
berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk
di dalamnya. Pemanfaatan fungsi sungai yang tercemar setara dengan kondisi
kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi kelestarian
sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada
gilirannya akan membatasi tata guna lahan produktif. Padahal fungsi sungai

5
sebagai sumberdaya air berperan besar dalam pemenuhan baik untuk kebutuhan
masyarakat maupun kebutuhan industri, irigasi dan aktifitas pertanian lainnya.
Pada kondisi sebaliknya, perubahan tata guna lahan dengan praktek pengelolaan
lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi berdampak pada meningkatnya
aliran limpasan dan akhirnya mempengaruhi rejim aliran alami sungai. Hal ini
diindikasikan dengan aliran yang sangat tinggi pada musim penghujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Investigasi keterkaitan jenis tata guna lahan
terhadap kualitas air sangat penting dalam memprediksi potensi pencemaran di
wilayah DAS bagian hulu. Ketika peningkatan kualitas air dapat dicapai melalui
penatagunaan lahan maka dalam perencanaannya memerlukan target indikator
sebagai tonggak pada periode tertentu. Prinsip keseimbangan lingkungan
dilakukan dengan menerapkan kontrol setiap jenis tata guna lahan terhadap
potensi pencemaran yang dapat ditimbulkannya. Proses tersebut harus
diorientasikan pada perbaikan faktor aktifitas tata guna lahan sebagai fungsi dari
antropogenik. Perencanaan tata guna lahan merupakan suatu proses bagaimana
lahan dapat dialokasikan terhadap kondisi saat ini dan sebagai antisipasi kondisi
masa depan. Aspek pemantauan dan evaluasi sebagai input perencanaan dalam
membangun faktor-faktor terkait sebagai respon dari potensi dampak yang terjadi.
Oleh karena itu, peranan konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan melalui upaya pengelolaan sumberdaya air. Upaya
tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan
mengintegrasikan konservasi sumberdaya air dalam perencanaannya dan
menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas aliran sungai agar air
memadai baik dari aspek kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Kerangka
pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Kualitas aliran sungai

Perubahan perilaku tata guna lahan

Degradasi sumberdaya air

Lahan

Tata guna lahan

AIR

Kualitas air

Keterkaitan tata guna lahan
dan kualitas air

Manusia

Kuantitas air

Koefisien Rejim Sungai dan
limpasan permukaan

Evaluasi kinerja DAS

Pengembangan sumberdaya air

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Populasi
manusia

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai
Daerah aliran sungai merupakan suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat
alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk
menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang
penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum
alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Wilayah DAS sebagai
suatu sistem memiliki berbagai komponen yang saling berkaitan antara satu dan
lainnya. Komponen DAS dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (1) komponen biofisik
alamiah yang menunjukkan karakteristik setiap DAS dan (2) komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar
belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan serta tatanannya.
Sistem sungai yang komplek dapat dilihat dari berbagai komponen
penyusunnya, misalnya bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai,
morfologi sungai dan ekosistem sungai (Maryono 2003). Sistem dinamikanya
dibentuk oleh aliran dengan ketergantungan pada fluktuasi aliran setiap tahun
terhadap berbagai fitur saluran dan melengkapi siklus hidup tumbuhan dan hewan.
Sungai memberikan respon baik gangguan alam (seperti kekeringan) maupun
antropogenik (seperti bendungan) untuk mengalirkan air. Dampak manipulasi
aliran tidak hanya tercermin dari bentuk saluran sungai. Lahan basah, danau, delta,
cadangan air tanah dan laut pedalaman semua menjadi terdegradasi karena
gangguan pola alami gerakan air.
Siklus air yang terjadi pada suatu DAS melalui salah satu dari empat proses
seperti intersepsi, evaporasi, infiltrasi, dan limpasan. Jumlah air yang terkumpul
dan mengalir di sungai berasal dari curah hujan baik langsung ke saluran air atau
dari aliran limpasan permukaan, bawah permukaan dan air tanah. Limpasan
permukaan adalah kedalaman air yang mengalir secara bebas di atas permukaan
tanah setelah hujan. Limpasan permukaan bergantung pada intensitas curah hujan
dan kapasitasnya untuk jenuh secara cepat beberapa sentimeter di atas permukaan
tanah sebelum infiltrasi dan perkolasi (Musy dan Higy 2011).
Air hujan yang diintersep oleh vegetasi kemudian curah hujan yang
mencapai permukaan tanah tersebut baik bergabung dengan air yang terinfiltrasi
maupun bergerak perlahan-lahan melalui lapisan tanah ke aquifer menjadi aliran
dasar, atau bergabung dengan aliran permukaan untuk satu kali intensitas hujan
yang telah melampaui kapasitas infiltrasi tanah (bergantung pada kandungan air
tanah). Air yang mengalir mencapai sungai tersebut merupakan hasil dari curah
hujan langsung atau melalui permukaan dan limpasan bawah permukaan menuju
outlet DAS (Musy dan Higy 2011).
Nilai koefisien limpasan menjadi sangat penting sebagai salahsatu indikator
untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai
koefisien yang besar menunjukkan lebih banyak air hujan yang menjadi aliran
limpasan. Hal ini kurang menguntungkan bagi konservasi sumberdaya air karena
ketersediaan air tanah yang semakin berkurang dan berpotensi terjadinya erosi dan
banjir (Asdak 2007). Musy dan Higy (2011) menjelaskan bahwa respon hidrologis

7
DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang terkait dengan (1) Kondisi
iklim (2) Curah hujan (distribusi spasial dan temporal, intensitas dan durasi) (3)
Morfologi DAS (bentuk, dimensi, altimetri, orientasi lereng) (4) Sifat fisik DAS
(sifat tanah, tutupan lahan) (5) Struktur jaringan drainase (ekstensi hidrolik,
dimensi, sifat hidrolik) (6) Kelembaban tanah.

Pencemaran Perairan
Kualitas air permukaan bergantung pada lingkungan sekitarnya sehingga
diharapkan dapat mendukung ekosistem perairan dan memiliki nilai estetis.
Kualitas air yang menurun disebabkan sumber pencemar sebagai akibat dari
perubahan faktor-faktor lingkungan (Asdak 2007). Pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen
lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total
bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan baik secara langsung maupun
tidak langsung sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban
pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah
aliran sungai yang masuk perairan tersebut.
Sumber pencemar terdiri atas 2 bentuk, yaitu:
1. Point sources, sumber pencemar yang membuang limbah cair ke dalam badan
air pada lokasi tertentu.
2. Nonpoint sources, terdiri atas banyak sumber yang tersebar, baik ke badan air
maupun ke air tanah pada suatu daerah yang luas.
Pencemaran air dapat menjadi makin luas, tergantung dari kemampuan
badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila
kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan
terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi trofik.
Kategorisasi dari polutan air dengan melihat dampaknya terhadap sistem sungai
sehingga dapat dibedakan menjadi tiga jenis polutan utama (Davie 2008) yaitu:
Senyawa beracun, yang menyebabkan gangguan pada aktivitas biologis
lingkungan akuatik.
Oksigen mempengaruhi keseimbangan senyawa, baik konsumsi oksigen atau
menghambat transfer oksigen antara udara dan air. Hal ini juga termasuk polusi
termal pada kondisi kelarutan oksigen dalam air akan berkurang dengan
semakin meningkatnya temperatur.
Padatan tersuspensi, partikel padat tersuspensi dalam air.
Kecepatan tiga kategori tersebut mengalami proses bergantung pada beban
polutan yang telah ada di sungai, temperatur dan pH air, jumlah air yang mengalir
di sungai dan potensi pencampuran sungai. Karakteristik aliran sungai yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh waktu, sifat aliran di sungai (misalnya bentuk dari
kurva durasi aliran), serta kecepatan dan turbulensi aliran. Hal ini menunjukkan
keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kuantitas air dalam sistem sungai
(Davie 2008).

8
Hidromodifikasi
Hidromodifikasi merupakan perubahan karakteristik hidrologi dari perairan
pesisir dan nonpesisir, yang dapat menyebabkan degradasi sumber daya air.
Hidromodifikasi terdiri atas penyaluran dan modifikasi saluran, pembangunan
bendungan, dan erosi atau hidromodifikasi juga dapat didefinisikan sebagai
modifikasi hidrograf (Mohamoud et al. 2009).
Secara luas, hidromodifikasi mencakup urbanisasi, perubahan iklim,
pengambilan air, dan transfer antar-daerah aliran sungai. Istilah ini digunakan
terhadap gangguan antropogenik pada suatu daerah aliran sungai yang mengubah
rejim aliran alami dan juga menurunkan kualitas air. Pada penelitian ini spesifik
hidromodifikasi untuk perubahan tata guna lahan. Pola perubahan keseimbangan
air suatu daerah aliran sungai dapat berubah ketika perubahan vegetasi mengubah
intersepsi curah hujan dan evapotranspirasi, air permukaan atau air tanah yang
digunakan secara konsumtif, atau air yang dialirkan ke saluran irigasi (Mohamoud
et al. 2009).
Perubahan rejim aliran alami mempengaruhi distribusi air permukaan dan
komponen aliran dasar dari debit sungai menyebabkan ketidakseimbangan
hidrologi, sehingga memiliki konsekuensi serius bagi ketersediaan air. Konrad
dan Booth (2005) mengidentifikasi empat perubahan hidrologi yang dihasilkan
dari suatu pembangunan yang berpotensi signifikan terhadap aliran ekosistem
yaitu peningkatan frekuensi debit yang tinggi, redistribusi air dari aliran dasar ke
aliran puncak, peningkatan variasi debit sungai harian, dan pengurangan aliran
minimum.
Poff et al. (1997) menjelaskan bahwa aktifitas tata guna lahan merupakan
penyebab utama yang mengubah rejim aliran. Modifikasi rejim aliran alami secara
dramatis mempengaruhi spesies air maupun riparian di sungai. Respon ekologis
yang mengubah rejim aliran bergantung pada bagaimana komponen aliran telah
berubah relatif terhadap rejim aliran alami dan bagaimana proses geomorfik dan
ekologi akan merespon perubahan relatif tersebut. Hasil dari variasi rejim aliran
sungai, aktivitas manusia yang sama di lokasi yang berbeda dapat menyebabkan
berbagai tingkat perubahan relatif terhadap kondisi yang tidak berubah sehingga
memiliki konsekuensi ekologi yang berbeda. Allan (2004) menambahkan bahwa
faktor alam mungkin penting ketika pengaruh manusia itu kecil, atau ketika
pengaruh manusia tersebar luas dan cukup seragam di seluruh wilayah studi.

Kerangka Pengelolaan DAS
Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi penyelengaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air (UU No. 7/2004
Pasal 1 pasal 7). Proses perencanaan DAS berfungsi dalam suatu kerangka dengan
menggunakan serangkaian keterkaitan, langkah-langkah untuk mengkarakterisasi
kondisi yang ada, mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah, menentukan
tujuan pengelolaan, mengembangkan strategi perlindungan atau pemulihan, dan
implementasi dan adaptasi dari tindakan yang dipilih. Hasil dari proses ini
didokumentasikan atau dirujuk dalam rencana DAS. Perencanaan DAS

9
merupakan strategi yang memberikan penilaian dan pengelolaan informasi
terhadap DAS yang didefinisikan secara geografis, termasuk analisis, tindakan,
pemangku kepentingan, dan sumber daya yang terkait untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana (USEPA 2008).
Pengelolaan sumberdaya air mengikuti prinsip lahan, air dan manusia yang
terhubung didalamnya. Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air
mengikuti kerangka kebijakan Indonesia yang lebih luas sebagaimana tertuang
dalam UU Sumber Daya Air. Undang-Undang ini menekankan bahwa
pembangunan daerah sangat penting bagi pembangunan nasional secara
keseluruhan dalam rangka meningkatkan stabilitas, kesetaraan dan pertumbuhan
bersama dengan kesejahteraan rakyat. Reformasi diarahkan untuk bergeser dari
kebijakan sektoral sempit menuju pendekatan Pengelolaan Sumber Daya Air.yang
lebih holistik dan terintegrasi, melalui tindakan-tindakan struktural (kostruksi) dan
non-struktural yang dilakukan secara efektif dan efisien (Hernowo 2011).
Misi dari kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air meliputi: (i)
Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan, (ii) Pendayagunaan sumber daya
air untuk tujuan memenuhi kebutuhan, baik kualitas dan kuantitas, (iii)
Pengendalian daya rusak air, (iv) Pemberdayaan dan intensitas peran masyarakat,
swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, (v) Peningkatan
ketersediaan dan kebutuhan sistem data dan informasi sumber daya air (Hernowo
2011).
Pengelolaan yang dilakukan di setiap DAS harus sesuai dengan misi dari
kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air. Pemantauan dan evaluasi
berbasis-hasil diperlukan dalam rangka melaksanakan misi kebijakan nasional
tersebut dan implementasinya. Pemantauan berbasis hasil adalah proses secara
terus-menerus mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang indikator kunci
dan membandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan dalam rangka
mengukur seberapa baik program atau kebijakan yang sedang dilaksanakan. Hal
ini merupakan proses yang berkesinambungan mengukur kemajuan menuju
pencapaian jangka pendek, menengah, dan panjang dengan melacak bukti
pergerakan menuju pencapaian tertentu dan penentuan target dengan
menggunakan indikator. Pemantauan berbasis hasil dapat memberikan umpan
balik mengenai kemajuan atau ketiadaan pengambil keputusan agar dapat
menggunakan informasi dalam berbagai cara untuk meningkatkan kinerja (MorraImas dan Rist 2009).
Evaluasi berbasis hasil merupakan penilaian kinerja yang direncanakan,
sedang berlangsung, atau telah selesai untuk menentukan relevansi, efisiensi,
efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Evaluasi berbasis hasil bertujuan
memberikan informasi yang nyata dan berguna, memberikan pembelajaran yang
dimasukkan ke proses pengambilan keputusan dari penerima. Evaluasi mengambil
pandangan yang lebih luas dari suatu intervensi, menanyakan apakah pencapaian
sasaran atau hasil disebabkan oleh intervensi atau jika ada beberapa penjelasan
lain untuk perubahan yang diperoleh melalui sistem pemantauan (Morra-Imas dan
Rist 2009).
Morra-Imas dan Rist (2009) juga menjelaskan bahwa sebuah sistem evaluasi
memberikan fungsi yang saling melengkapi tetapi berbeda dalam kerangka
manajemen berbasis hasil. Tujuan sebuah sistem evaluasi yaitu
Studi yang lebih mendalam dari keluaran dan dampak yang berbasis hasil.

10
Penggunaan sumber data terkait indikator yang ditelusuri.
Pemeriksaan faktor-faktor yang terlalu sulit atau mahal untuk pemantauan
secara terus menerus.
Investigasi mengapa dan bagaimana kecenderungan dilacak dengan data
pemantauan yang menuju kearah tertentu.
Evaluasi dapat memberikan berbagai tujuan dan kegunaan, dintarannya:
Membantu menganalisis pencapaian tujuan.
Mengeksplorasi mengapa mungkin ada hasil yang tidak diinginkan.
Menilai bagaimana dan mengapa hasilnya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan
tertentu.
Menjelaskan proses pelaksanaan, kegagalan, atau kesuksesan yang terjadi di
berbagai tingkatan.
Membantu memberikan pelajaran, menekankan pada wilayah pencapaian dan
potensi, dan menawarkan rekomendasi spesifik untuk perbaikan.
Pengelolaan strategis dan evaluasi merupakan proses serupa dan masingmasing memiliki keunggulan tersendiri. Keunggulan memanfaatkan kedua konsep
ini menunjukkan suatu kerangka terpadu yang menggabungkan keuntungan
kontekstual manajemen strategi dengan kedalaman analisis evaluasi. Proses
pemetaan berawal dari asumsi bahwa semua studi evaluasi harus berasal dari
konteks. Konteks ini ditentukan oleh strategi, keberhasilan strategis diidentifikasi
oleh pencapaian terkait dengan tujuan tertentu. Fokus dari kinerja strategi harus
diarahkan menuju tujuannya daripada program atau inisiatif yang dilakukan untuk
mendukungnya (Rist et al. 2011).
Darby dan Sear (2008) menjelaskan bahwa potensi penggunaan jangka
panjang dan informasi pada skala DTA dalam perencanaan perbaikan untuk
mengakomodasi ketidakpastian secara luas harus memberikan keuntungan pada
semua skema perbaikan yang tujuannya meliputi fungsi ekosistem yang lebih baik
dalam membantu pelestarian dan konservasi habitat dan biota, pendekatan
berkelanjutan terhadap kekhawatiran masyarakat tentang manajemen banjir,
abstraksi dan augmentasi aliran, serta meminimalkan bahaya erosi dan deposisi.
Hal ini dimungkinkan untuk membagi setidaknya menjadi enam kategori aplikasi
yaitu aliran, transportasi sedimen, bentuk saluran, dinamika saluran, pengaruh
antropogenik, dan model konseptual dari sistem operasi. Keuntungan manajemen
generik mengadopsi perspektif jangka waktu tertentu meliputi:
1. Menghindari impulsif atau tanggapan “spontan” individu kejadian banjir
dengan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari catatan jangka panjang
aliran dan sedimen (misalnya mengadopsi perspektif berbasis risiko pada
bahaya yang berasal dari sensitivitas alur sungai yang berubah);
2. Menekankan perencanaan pencegahan untuk mengakomodasi aspek
ketidakpastian perubahan (misalnya meningkatkan fleksibilitas manajemen
dalam kaitannya terhadap perubahan saluran jangka panjang dengan fokus
pada langkah-langkah pemulihan non-struktural dan memberikan koridor
sungai yang sesuai dalam desain perbaikannya);
3. Menghindari kesalahan rekayasa yang mahal pada kondisi “solusi” struktural
tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi, “over-engineered” dalam
kaitannya dengan bahaya, atau kesalahan lokasi (misalnya mencoba untuk
membuat perbaikan berkelanjutan dengan menggunakan penilaian terintegrasi
dari urutan jangka panjang perubahan saluran).

11

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai dengan bulan
Agustus 2013. Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Citarum Hulu Kabupaten
Bandung, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Lokasi penelitian DAS Citarum hulu

Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu: data primer dan data
sekunder yang meliputi data curah hujan, data debit air, data pemantauan kualitas
air, peta rupa bumi, peta administrasi, peta DEM (Digital Elevation Model), peta
tata guna lahan (land use). Alat yang digunakan adalah komputer dengan
perangkat lunak ArcGIS 10.0/Arcview 3.3, Global Mapper v13.00, MINITAB 16,
GPS.

Metode Pengumpulan Data
Data utama terkait pengelolaan daerah aliran sungai meliputi data kualitas
air tahun 2008-2011, data tata guna lahan tahun 2003-2011, data debit air sungai
dan curah hujan tahun 2002-2011. Data pendukung lainnya dikumpulkan melalui
studi pustaka baik berupa buku, laporan penelitian, jurnal dan data lainnya yang
berasal dari instansi-instansi terkait. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

12
Tabel 1 Data yang digunakan dalam penelitian ini
.No.

Jenis Data

Sumber Data

Tujuan

1.

Peta dasar

BAKOSURTANAL

Referensi untuk penentuan wilayah studi

2.

Topografi

SRTM resolusi 30 meter

Menentukan daerah aliran sungai dan arah
alirannya, kelerengan

3.

Peta tata guna
lahan

BAPLAN

Membangun peta aktifitas tata guna lahan

4.

Kualitas air

BLHD Prop. Jawa Barat Memahami parameter-parameter pencemar
BLHD Kab.Bandung
dominan yang berkontribusi signifikan
BLHD Kab. Bogor
terhadap dampak pencemaran air

5.

Hidrologi dan
kuantitas air

PUSAIR Bandung
PSDA Jawa Barat
BBWS Citarum

Menentukan karakteristik hidrologi DAS

Diagram Alir Penelitian
Metodologi penelitian ini mengarahkan pada proses untuk mencapai tujuan
penelitian. Alur proses penelitian tersebut berdasarkan analisis spasial dan
statistik. Alur ini sebagai panduan dalam proses penelitian ini. Diagram alir
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Akuisisi dan pembangkitan data
Sub DAS

Data kualitas air

Data peta

Parameter kualitas air

Peta

dan nilai STORET

Tata guna lahan

Analisis statistik

Keterkaitan kualitas air dan
perilaku tata guna lahan

Perubahan tata
guna lahan
Indeks
Penggunaan
Lahan

Data hidrologi dan
meteorologi

Data topografi

Debit dan curah hujan
Delineasi
sub DAS
Peta curah hujan
Peta kelerengan
Aliran limpasan

Upaya penatagunaan lahan DAS

Gambar 3 Diagram alir penelitian

Koefisien Rejim Sungai

13
Prosedur Analisis Data
Peningkatan kebutuhan setiap sektor terhadap sumberdaya air menyebabkan
perubahan pola ketersediaan air. Disamping itu, adanya sumber pencemar yang
tidak terkontrol dan cenderung tersebar menyebabkan ketidakseimbangan antara
laju penurunan kualitas air dan laju penurunan beban pencemar air. Analisis di
bawah ini mengarahkan pada suatu upaya yang diperlukan dalam pengelolaan
kualitas air.
Penentuan status kualitas air
Penentuan status kualitas air dengan metode STORET atau indeks
pencemaran air berdasarkan KepMen LH No. 115/2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air. Data pantauan kualitas air secara periodik dengan
rentang tahun 2008-2011. Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda
STORET dila