Analisis kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan dan air (suatu kasus DAS Citarum Hulu)

(1)

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT

PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN

LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR

( Studi Kasus DAS Citarum Hulu)

ANHAR DRAKEL

SEKOLAH PASCSARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum) adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2008

Anhar Drakel A155040071


(3)

ABSTRAK

ANHAR DRAKEL. Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum). (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Mengingat krusialnya peran kawasan daerah hulu DAS, termasuk DAS Citarum, dalam mengkonservasi air, maka upaya perbaikan lingkungan kawasan itu menjadi suatu keharusan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis persepsi dan kemauan membayar masyarakat (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tersebut, serta menganalisis pilihan sumber air masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, Contingent Valuation Method (CVM), dan regresi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa ketersediaan air makin memburuk, sehingga perlu adanya upaya perbaikan lingkungan untuk memperbaiki kondisi air, namun WTP saat ini relatif masih rendah.. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, dan status rumah. Sebagian besar Masyarakat masih cenderung menggunakan air sumur daripada air PDAM, atau kedua-duanya, dengan dengan berbagai alasan dan kekhawatiran.

Kata kunci: Jasa perbaikan lingkungan, Contingent Valuation Methods, regresi, dan ketersediaan sumberdaya air.


(4)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT

PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN

LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR

(Studi Kasus DAS Citarum Hulu)


(5)

ANHAR DRAKEL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan

SEKOLAH PASCSARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

Judul Tesis : Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu)


(6)

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(7)

PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian berjudul “Analisis Kemauan Membayar Masyarakat

Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu)”. ini membahas tentang aspek sosial ekonomi

dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan, dan akan dilaksanakan di wilayah kota Jakarta Timur, dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada : Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku pembimbing. Dan kepada Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D sebagai Ketua Program Studi dan Prof. Affendi Anwar MSc yang telah banyak memberi arahan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Program Studi PWD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman PWD 2004 dan semua pihak yang telah mendorong serta membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2008


(8)

Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 29 September 1974. sebagai anak kelima dari delapan bersaudara dari Ayah Hi Umar Ali Drakel dan lbu Hj. Salma Saban.

Menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1995 dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1998 di Ternate. Pada tahun yang sama penulis Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan terdaftar pada Program Studi Ekonomi, Jurusan Management Fakultas Ekonomi.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Perhimpunan Mahasiswa Ekonomi dan berbagai organisasi. Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana IPB, pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Pada tahun 2003 penulis bekerja di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Kie Raha Ternate.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP TERKAIT DAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan... 9

2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan ... 10

2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air ... 12

2.4 Penilaian Sumberdaya Alam ... 15

2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata Air ... 16

2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata Air... 18

2.7 DAS dan Hutan Sebagai Pengatur Tata Air ... 19

2.8 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem ... 21

2.9 DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya ... 22

2.10 Alih Fungsi Lahan ... 24

2.11 Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan Terhadap Sumberdaya Air... 25

2.12 Jasa Lingkungan ... 28

2.13 Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan ... 30

2.14 Jasa Ekosistem dan Masyarakat ... 31

2.15 Perspektif tentang Jasa Ekosistem dan Kompensasinya ... 32

2.16 Fokus pada Masyarakat Miskin Pedesaan ... 34

2.17 Jasa Lingkungan Ekowisata ... 35

2.18 Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan... 36

2.19 Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir ... 40

2.20 Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP... 42

2.21 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ... 46

III METODOLOGI PENELITIAN ... 52

3.1 Kerangka Pemikiran ... 52

3.2 Hipotesis ... 55

3.3 Metode Penelitian ... 55

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 55


(10)

3.8.1 Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan

Lingkungan... 59

3.8.3 Analisis Kemauan Membayar (Willingness To Pay)... 60

3.8.4 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP ... 62

3.8.5 Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia... 63

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 64

4.1 Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu secara Umum ... 64

4.2 Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu ... 64

4.3 Status Kualitas DAS Citarum ... 71

4.4 Karateristik dan Permasalahan DAS Citarum ... 71

4.4.1 Jenis Tanah ... 71

4.4.2 Iklim... 72

4.4.3 Penggunaan Lahan... 73

4.4.4 Hidrologi... 74

4.5 Sosial Ekonomi... 76

4.5.1 Jumlah Penduduk... 76

4.5.2 Tingkat Pendidikan... 76

4.5.3 Mata Pencaharian... 76

4.5.4 Kelembagaan ... 76

4.6 Kondisi Fisik DAS Citarum Hilir ... 77

4.6.1 Kondisi Geologi DAS Citarum Hilir ... 77

4.7 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 78

4.7.1 Daerah Hilir DAS Citarum ... 78

4.7.2 DKI Jakarta ... 78

4.7.2.1 Kependudukan ... 80

4.7.2.2 Pertumbuhan Penduduk ... 81

4.7.2.3 Kondisi dan Kebutuhan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta ... 84

4.7.3 Jakarta Timur ... 86

4.7.3.1 Keadaan Administrasi... 86

4.7.3.2 Geografi ... 86

4.7.3.3 Iklim dan Cuaca ... 87

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 88

5.1 Karateristik Responden ... 88

5.1.1 Jenis Kelamin Responden... 89

5.1.2 Umur Responden ... 89

5.1.3 Tanggungan Keluarga Responden ... 90

5.1.4 Tingkat Pendidikan Responden ... 91

5.1.5 Pekerjaan Reponden ... 91

5.1.6 Pendapatan Responden ... 92


(11)

5.2 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan

Lingkungan ... 94

5.2.1 Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air ... 94

5.2.2 Persepsi Responden terhadap Keluhan Air... 95

5.2.3 Persepsi Responden terhadap Peranan ... 96

5.2.4 Persepsi Responden terhadap Kesetujuan ... 96

5.3 Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (WTP) ... 98

5.3.1 Deskriptif Kemauan Membayar dan WTP ... 98

5.3.2 Hasil Analisis Pelaksanaan CVM ... 100

5.3.2.1 Pembentukan Pasar Hipotetik ... 100

5.3.2.2 Memperoleh Nilai Penawaran ... 100

5.3.2.3 Menghitung Dugaan Rataan WTP ... 101

5.3.2.4 Menentukan WTP Agregat atau WTP Total ... 102

5.3.2.5 Menduga Kurva Penawaran Total... 102

5.3.2.6 Mengevaluasi CVM ... 103

5.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP... 103

5.4.1 Deskripsi Variabel Penelitian pada fungsi WTP ... 103

5.5 Hasil Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP ... 105

5.6 Hasil Analisis Persepsi tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia... 109

5.6.1 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM ... 111

5.6.2 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM ... 113

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

6.1 Kesimpulan ... 115

6.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 116


(12)

(13)

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kriteria alokasi sumberdaya air ... 14

2. Neraca kebutuhan air dan pemenuhan sumber air dari DAS Citarum ... 27

3. Jenis data dan metode pengumpulan data ... 56

4. Jumlah sampel berdasarkan jumlah rumah tangga di Kecamatan Pulo Gadung ... 58

5. Variabel penelitian yang mempengaruhi WTP ... 58

6. Matriks pendekatan studi ... 59

7. Penggunaan lahan di wilayah das citarum ... 66

8. Perubahan penggunaan lahan di DAS Citarum hulu 1989-2001 .... 68

9. Luas satuan tanah menurut kepekaannya terhadap erosi di DAS Citarum ... 72

10.Curah hujan dan type iklim di DAS Citarum ... 73

11.Jenis penggunaan lahan di DAS Citarum ... 74

12.Letak dan luas masing-masing sub das di DAS Citarum ... 75

13.Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun menurut Kabupaten/Kota ... 81

14.Jumlah dan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta tahun 2003 ... 82

15.Perkembangan penduduk DKI Jakarta periode sensus penduduk (dalam 000) ... 85

16.Luas wilayah dan jumlah kelurahan ... 87

17.Hasil perhitungan statistik variabel analisis kemauan membayar (WTP) sampel penelitian... 101

18.Distribusi wtp sampel diatas harga air yang berlaku... 101

19.Menentukan wtp agregat (TWTP) populasi ... 102

20.Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tentang jasa perbaikan lingkungan ... 106


(15)

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan... 36

2. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian ... 54

3. Penggunaan Lahan di DAS Citarum ... 66

4. Penurunan Debit Air di Waduk Cirata ... 68

5. Fluktuasi Air Masuk dan Keluar Jatiluhur, 2003 ... 70

6. Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 89

7. Persentase Responden Berdasarkan Umur ... 90

8. Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga ... 90

9. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 91

10.Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 92

11.Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan ... 93

12.Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran ... ... 93

13.Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air ... 94

14.Persentase Persepsi Responden terhadap Keluhan Air Minum ... 95

15.Persentase Persepsi Responden terhadap Peranan Untuk Perbaikan lingkungan ... 96

16.Persentase Persepsi terhadap Kesetujuan Untuk Perbaikan Lingkungan ... 97

17. Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu... 97

18. Persentase Responden Berdasarkan Kesetujuan Masyarakat Hulu 98

19.Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar ... 99

20.Persentase Sebaran WTP ... 99

21.Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP)... 103

22.Persentase Tingkat Pendidikan ... 103

23.Persentase Umur ... 104

24.Persentase Pekerjaan ... 104

25.Persentase Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih... 109

26.Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM ... 109

27.Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air Sumur .... 111

28.Persentase Harapan Akan Adanya Perbaikan Oleh Pemerintah ... 111

29.Persentase Alasan Responden yang menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah ... 112

30.Persentase Akibat yang Dirasakan Responden karena Rendahnya Kualitas Air PDAM... 112

31.Persentase Jenis kekhawatiran yang dikemukakan responden atas Rendahnya Kualitas Air ... 113

32.Persentase Alasan responden menyatakan kuantitas Air PDAM rendah... 113

33.Persentase Akibat yang dirasakan Responden karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM ... 114


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 121

2. Peta Penggunaan Lahan Das Citarum ... 122

3. Peta Kajian Konservasi di Hulu DAS Citarum ... 123

4. Kuesioner ... 124

5. Data Analisis Responden ... 125


(17)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Arahan pembangunan nasional jangka panjang sebagaimana tersirat dalam program pembangunan nasional (Propenas) tahun 2000-2005 menekankan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa aktivitas-aktivitas manusia dalam pembangunan yang dilaksanakan selain mampu membawa perubahan, juga mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem. Kegiatan pembangunan yang tidak mengindahkan asas-asas ekologi akan menimbulkan masalah lingkungan hidup.

Era otonomi yang ditandai dengan desentralisasi kegiatan pembangunan berdasarkan wilayah administratif, sering kali berdampak pada konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam tidak dibatasi oleh wilayah administratif, melainkan terintegrasi secara biofisik maupun sosial eknomi. Ramdan, et al. 2003 mengatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam tidak mengenal batas administrasi, melainkan integrasi secara ekosistem maupun sosial ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air, terutama sumberdaya milik bersama seperti daerah aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) secara umum paradoksial dengan batas DAS.

Perubahan lingkungan akibat dari meningkatnya pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, sehingga menyebabkan luas kawasan lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun 2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235,819.82 ha (48%) dan sawah berkurang sebesar 167,525.32 ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting lagi penyebabnya, karena semakin marak penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi, sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di wilayah DAS Citarum, dimana jumlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang (26,59% dari seluruh penduduk Jawa Barat) pada tahun 2000. Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS


(18)

Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi hutan dan lahan. Degradasi hutan dan lahan tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air (dapat dilihat secara visual) dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari hasil analisis laboratorium. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk dan terjadi pergerakkan diberbagai sektor ekonomi sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. (hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl), jenis tanah yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi), topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25%, vegetasi (tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi).

Gejala perubahan lingkungan tersebut di atas mempunyai dampak terhadap ketersediaan air, misalnya terjadi penurunan sumberdaya air pada wilayah DAS sebagai satu kesatuan ekosistem hulu dan hilir, oleh karena aktivitas alih fungsi lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu dapat memberi dampak pada daerah hilir, misalnya bentuk perubahan fluktuasi debit air, banjir, transpor sedimen serta material terlarut lainnya, demikian pula erosi yang terjadi pada lahan di wilayah hulu yang berlansung intensif menyebabkan terangkutnya lapisan tanah yang subur pada saat musim hujan. Kondisi ini dapat mengakibatkan lahan kering berubah menjadi lahan kritis, sehingga menyebabkan produktivitas lahan maupun pendapatan petani akan menurun, serta terjadi kelangkaan air untuk pertanian dan konsumsi rumah tangga pada musim kemarau. Penurunan ketersediaan air dari DAS Citarum Hulu sebagai akibat dari perubahan lahan dan air akan diperparah dengan rusaknya kondisi lingkungan pada wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan telah terjadi dengan adanya pengurangan areal hutan.

Sumberdaya air merupakan sumberdaya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan


(19)

3

kegiatan untuk pembangunan, telah meningkatnya sumberdaya air. Dilain pihak, ketersediaan sumberdaya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dikategorikan berada dalam kondisi kritis.

Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu kebutuhan domestik, pertanian (irigasi) dan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan maka kebutuhan air akan meningkat pula baik di perkotaan maupun dipedesaan. Untuk kebutuhan air dari PJT II Jatiluhur dengan sumber mata air utama dari DAS Citarum Hulu, diproyeksikan tidak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan dari berbagai sektor pada tahun 2025. hal ini juga sebagaimana diungkapkan oleh Ansofino (2005) bahwa apabila dalam mempertimbangkan semua bentuk kompensasi penggunaan air oleh pengguna di hilir ke pengguna di hulu terutama pemilik lahan beririgasi, maka penentuan harga yang optimal, ternyata lebih menjamin kelestarian sumberdaya air kedepan. Hal ini dibuktikan dengan hasil optimasi pengambilan sumberdaya air di wilayah DAS Citarum dengan mempertimbangkan nilai lahan beririgasi, menunjukan bahwa ketersediaan air tanah maupun air permukaan masih mencukupi sampai periode perencanaan sampai 2013. yang ditandai dengan ketinggian air tanah tidak mengalami penurunan sampai pada tahun 2008, dan tetap relatif stabil sampai pada tahun 2029. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data tersebut bahwa akan terjadi pola pengembangan sumberdaya air dengan semakin banyaknya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air tidak diimbangi dengan konservasi terhadap wilayah hulu maka akan terjadi penurunan terhadap ketersediaan air.

Daerah hulu suatu DAS merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah di bawahnya (hilir), antara lain sebagai daerah resapan air. Oleh karena itu, perencanaan DAS Hulu menjadi fokus perenacanaan. Perencanaan yang terpadu dari daerah hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu sehingga dapat mengurangi bencana banjir akibat dari musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Perkembangan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang pesat, yang ditandai dengan peningkatan permintaan terhadap lahan, juga


(20)

terjadi di kawasan DAS yang diperuntukannya sebagai kawasan konservasi. Perubahan kawan hutan dan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman mengakibatkan terjadi kerusakan lingkungan dan semakin berkurangnya daerah resapan air hujan, sebaliknya daerah kedap air semakin bertambah. Banyaknya lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan semakin meningkatnya sedimen dan terjadi penurunan tanah pada saat musim hujan akan menyebabkan terjadi kedangkalan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan terjadi banjir pada wilayah hilir, hal ini juga menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan akibat meningkatnya jumlah limbah yang dibuang ke sungai yang semakin meningkat. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap semakin menurunnya fungsi kawasan DAS sebagai kawasan konservasi.

Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air di hilir. Oleh karena salah satu karakteristik DAS adalah adanya keterkaitan yang kuat atau dapat dikatakan sebagai suatu hubungan sebab akibat antara wilayah hulu dengan wilayah hilir, yang diikat sistem tata air berupa sungai. Sehingga apabila aktivitas di wilayah hulu berupa penebangan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan banjir di wilayah hilir. Sebaliknya upaya konservasi dan rehablitasi hutan di wilayah hulu akan memperbaiki tata air di hulu sampai hilir.

Jadi, pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS akan dikendalikan oleh sistem perekonomian yang ada di wilayah hulu, karena pengelolaan air di hulu berkaitan dengan kehilangan wilayah tangkapan air akibat kerusakan hutan, kehilangan keindahan hutan yang beragam, dan gangguan fungsi fungsi hidrologi hutan sebagai akibat dari penebangan hutan di areal konservasi dan hutan lindung,


(21)

5

baik oleh masyarakat setempat yang miskin maupun oleh pemerintah yang memberikan izin pengelolaan hutan kepihak pengusaha tetapi tanpa kendali.

Berbagai perubahan lingkungan dalam pembangunan memberikan isyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena perilaku manusia dalam pembangunan berdampak terhadap sumberdaya alam dan ekosistem global, oleh karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya kedepan, sehingga dapat menciptakan keselarasan dalam pembangunan ekonomi.

1.2 Perumusan Masalah

Air adalah sumberdaya yang dinamik sebagai sumber kehidupan segala mahluk di dunia, sehingga memberikan implikasi yang relatif pelik dan khas dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Pada setiap titik pada daerah alirannya, potensi daya yang dimiliki baik dalam kuantitas ataupun kualitasnya berfluktuasi menurut waktu. Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki arti penting dalam upaya konservasi tanah dan air. Badan Pengelolaan Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pembatas alam topografi dimana semua air yang jatuh di daerah tersebut diterima, ditampung dan dialirkan melalui satu outlet tertentu. Disis lain DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain khususnya hubungan antara hulu dan hilir. Keberlansungan pengelolaan DAS dan konservasi tanah dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan tercapainya manfaat sosial ekonomi dan terpeliharanya fungsi lingkungan.

Kondisi sosial ekonomi di daerah Gunung Wayang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah di daerah tersebut. Oleh karena itu, salah satu indikator kerusakan lingkungan, lahan dan air adalah kemiskinan, hal ini terlihat dari indek kemiskinan manusia di Jawa Barat tahun 1995 adalah 26,3% kemudian meningkat menjadi 26,9% (Bapenas, 2001). Petani yang miskin akan menggunakan lahan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya lahan tersebut. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dan tingkat hidup petani disebabkan kemiskinan yang merupakan sumber kerusakan lingkungan. Sehingga untuk memperbaiki kondisi lingkungan di daerah tersebut, terlebih dahulu harus


(22)

meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, memang ada keterkaitan antara berkurangnya jumlah lahan hutan dengan meningkatnya indeks kemiskinan manusia di Jawa Barat sebagaimana diungkapkan oleh Kramadibrata dan Kastaman (2003). Berkaitan dengan itu maka salah satu kebijakan pemulihan kerusakan di wilayah hulu DAS Citarum adalah dari aspek sosial dan ekonomi, dimana masyarakat harus diberikan insentif sebagai jasa lingkungan. Oleh karena berdasarkan data dan fakta yang ada, telah mengambarkan bahwa ada keterkaitan antara penyusutan penawaran air di hilir dengan berkurangnya luas hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS yang disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di wilayah hulu, dimana terjadi penebangan hutan lindung dan hutan konservasi.

Akibat kegiatan konservasi lahan menurut Sumaryanto (1994) bahwa hilangnya kesempatan kerja petani dan pendapatan kerja yang dihasilkan, irigasi yang dibangun dengan biaya besar tidak difungsikan dengan semestinya, dan hancurnya beberapa kelembagaan lokal yang selama ini menunjang pembangunan pertanian. Dengan adanya akibat kegiatan konservasi tersebut maka petani alternatif lain untuk mencukupi kebutuhan mereka dengan cara menebang hutan, baik hutan konservasi maupun hutan produksi.

Oleh karena peran kawasan daerah hulu DAS sangat besar dalam menkonservasi air, upaya perbaikan lingkungan khususnya mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan dengan penutupan tajuk, harus mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Pada daerah DAS Citarum Hulu khususnya di Gunung Wayang, menurut studi yang telah dilakukan oleh Bina Mitra (2003) bantuan yang telah diberikan hanya berupa bantuan fisik seperti pelebaran aliran sungai yang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk setempat. Perencanaan yang terpadu dari hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu. Salah satu bentuk kajian yang diperlukan untuk mendukung penyusunan sistem pengelolaan DAS yang baik ialah mempelajari kemauan masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam membayar kompensasi terhadap penyedia jasa lingkungan di hulu DAS Citarum yang bersedia melakukan perbaikan lingkungan.


(23)

7

Bertolak dari kondis aktual yang telah diuraikan di atas, maka dapat dihimpun beberapa masalah yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, yaitu :

1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan.

2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia.

1.3 Tujuan Penelitian

Setelah memperhatikan kenyataan yang terdapat pada latar belakang dan perumusan masalah, maka dibuatlah beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu :

1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan.

2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia.

1.4 Manfaat Penelitian

Peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Pemerintah dan Stakeholder. Peneliti juga berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pembanding bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian yang lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk kemauan membayar masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan di DAS Citarum. Air yang dimaksudkan merupakan air permukaan yang berasal dari DAS Citarum yang pendistribusiannya melalui PDAM dan air tanah. Sedangkan ketersediaan air yang dimaksudkan merupakan bentuk ketersediaan air secara kualitas dan kuantitas air. Aspek ekonomi yang dikaji berdasarkan masyarakat yang menggunakan jasa air yang berasal dari DAS Citarum dan air tanah., dalam hal ini lebih ditekankan pada wilayah hilir (kota) sebagai pengguna air terbesar.


(24)

Analisis penelitian ini ditekankan pada analisis persepsi untuk jasa lingkungan dan analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang yang mempengaruhinya, analisis persepsi terhadap kondis sumber air PDAM dan air tanah.


(25)

II TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP

TERKAIT DAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan

Anwar (1999), mengemukakan bahwa mengingat sifat-sifat yang melekat pada air sebagaimana yang telah diuraikan di depan, maka dipertanyakan bagaimanakah sebenarnya pengalokasian sumberdaya air tersebut agar dapat berdaya guna dan berhasil guna yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Sumber dari ketidakefisienan dalam alokasi sumberdaya air adalah karena secara fisik terjadi saling ketergantungan yang menjadi penyebab eksternalitas. Eksternalitas menyebabkan biaya yang dilihat pihak swasta berbeda dengan biaya sosial yang ditanggung masyarakat.

Mengingat sifat sumberdaya air yang sebagian bersifat milik indifidu dan sebagian menunjukkan sifat barang umum serta untuk menghindari dan mengatasi inefisiensi pengelolaan sumberdaya air yang berupa kegagalan pasar dan kemubaziran dalam pemanfaatannya, maka campur tangan Pemerintah menjadi perlu. Lebih lanjut Anwar (1999), menjelaskan campur tangan Pemerintah tersebut antara lain :

1. Peraturan-peraturan, seperti pencegahan pembuangan limbah atau sampah-sampah pertanian, rumah tangga dan industri kepada badan-badan air yang sekarang masih dianggap sebagai sumberdaya milik bersama.

2. Pembangunan proyek-proyek bagi kepentingan umum seperti proyek pencegahan banjir, bangunan irigasi, dan penggelontoran.

3. Memberi hak-hak penggunaan air yang jelas, dimana hak-hak tersebut dapat ditransfer, sehingga rentang dari dampak fisik yang ditimbulkannya dapat bertumpang tindih dengan tanggung jawab yang diakui secara hukum. Dengan demikian, seseorang yang diakui kepemilikannya dapat berhak menerima pembayaran kompensasi jika biaya yang ditanggungnya meningkat apabila terjadi pemompaan air oleh pihak lain.

4. Melaksanakan kebijaksanaan pajak atau subsidi, untuk mengoreksi agar biaya swasta akan tepat mencapai tingkat biaya sosial.


(26)

5. Melakukan pengendalian terhadap sumberdaya air yang mengandung eksternalitas secara terpusat, dengan harapan agar pengelolaan tunggal ini dapat menginternalisasikan dampak ekternal dalam penghitungan biayanya. 6. Mendirikan dan mengoperasikan pemanfaatan sumberdaya air oleh perusahaan

air minum, perusahaan pembangkit tenaga listrik dan lain-lain.

Pengalokasian sumberdaya air adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, pemerataan, menyelesaikan konflik-konflik yang timbul, peran serta masyarakat, pengendalian air setempat yang banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat sosio-kultural serta politik yang ada. Terjadinya ketidakpastian atas aspek yang bersifat legal, fisik dan hak pemakaian juga perlu diperbaiki. Demikian juga harus diusahakan agar terdapat fleksibilitas dalam mekanisme alokasi (baik secara teknis dan kelembagaan) sehingga penggunaan sumberdaya air dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan antar wilayah, antar berbagai penggunaan dan antar para pengguna dalam berbagai waktu dengan biaya rendah.

Anwar (1999), menjelaskan bahwa peranan swasta dalam arti luas dalam pengembangan sumberdaya air pada masa yang akan datang sudah saatnya untuk tampil karena keberadaannya sudah dikehendaki oleh masyarakat. Peningkatan peran swasta ini memerlukan fasilitas dalam sebuah kerangka sistem legal (perundang-undangan) dan pengaturan, sehingga sumberdaya air dapat didayagunakan secara lebih efisien dan konsumen tidak merasa dirugikan.

Perubahan strategi pembangunan kearah berkelanjutan mengandung arti bahwa sumberdaya air harus dialokasikan kearah pemanfaatan air dengan efisiensi yang semakin lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, dengan semakin langkanya sumberdaya air, maka air akan merupakan sumberdaya terpenting yang dapat menimbulkan berbagai konflik dalam penggunaannya. Oleh karena itu, sumberdaya air tersebut harus dipergunakan untuk menghasilkan sebesar-besarnya manfaat kepada masyarakat luas dengan mengurangi kemubaziran, serta alokasi sumberdaya tersebut kearah yang berkeadilan sosial.

2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan

Keberadaan air di Indonesia sebagai kebutuhan dasar dijamin oleh konstitusi sebagaimana dalam Pasal 33 UUD 1945. Penjaminan itu lebih dipertegas lagi


(27)

11

dalam RUU tentang Sumberdaya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa "negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Secara Internasional perspektif air sebagai kebutuhan dasar ini dipertegas lagi oleh Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar. Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan bukan hanya sebagai komoditi ekonomi.

Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, air juga dalam pandangan umum dipandang sebagai barang umum yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama yang dikelola secara kolektif bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya RUU Sumberdaya Air dan deklarasi PBB tentang pengelolaan sumberdaya air, agaknya pandangan umum tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air tidak hanya sekedar barang umum tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.

Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya air tersebut didasarkan pada nilai ekonomi intrinsik yang dimiliki oleh air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air serta dibutuhkannya investasi untuk penyediaan air bersih sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara. Hingga saat ini perdebatan mengenai pro dan kontra tentang paradigma pengelolaan sumberdaya air masih merupakan suatu diskusi yang panjang. Sulit untuk menyatakan secara terang-terangan bahwa air adalah barang umum atau air adalah barang ekonomi.

Sanim (2003), menjelaskan bahwa penilaian terhadap air akan menjadi lebih kompleks jika cara pandang pemanfaatan sumberdaya air didasarkan atas filosofis yang melingkupinya. Lebih lanjut Sanim (2003), menjelaskan ada dua basis cara pandang dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu: antropocentrisme dan

ecocentrisme. Dalam cara pandang antropocentrisme manusia adalah pemilik semua yang ada dimuka bumi ini sehingga setiap keputusan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya. Sistem nilai ekonomi muncul dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, sehingga dalam memperlakukan sumberdaya alam


(28)

cenderung eksploitatif dan destruktif. Dalam cara pandang ecocentrisme dimana ekonomi setara dengan ekologi setiap elemen ekosistem (manusia, hewan, tumbuhan) memiliki kedudukan sederajat dalam mendapatkan kepentingannya.

Sistem ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam dikaitkan dengan intrinsic value yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti ekonomi. Cara pandang mana yang akan dipegang dan dianut dalam pengelolaan sumberdaya air akan sangat tergantung pada kepentingan dari domain yang ada pada suatu negara. Selain itu, akan sangat tergantung pula pada bagaimana

stakeholders memperlakukan sumberdaya air sebagai dasar bagi pembangunan secara keseluruhan, termasuk pembangunan untuk sumberdaya manusianya.

Secara rinci Sanim (2003), juga menjelaskan bahwa kerangka pemanfaatan sumberdaya air, apakah akan menganut antropocentrisme atau ecocentrisme akan sangat tergantung pada tiga domain, yaitu : ruang sektor masyarakat, ruang sektor swasta, dan ruang sektor publik. Jika ruang sektor masyarakat dilandaskan pada

antropocentrisme maka air akan dipandang sebagai public goods and global commons dengan konsekuensi pemanfaatan yang tidak efisien tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan dan keberadaan sumberdaya air tersebut. Sebaliknya jika dilandaskan pada ecocentrisme maka efisiensi dan keberlanjutan menjadi pusat perhatiannya.

Untuk ruang sektor swasta, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan di sektor swasta, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi, dalam domain ini kerangka filosofis balik antropocentrisme maupun ecocentrisme jelas-jelas harus diperhatikan. Untuk ruang sektor publik, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan publik, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan oleh Pemerintah daerah atau regionalisasi, dalam domain ini kerangka filosofis baik antropocentrisme maupun ecocentrisme juga tetap harus menjadi bahan pertimbangan.

2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air

Air haruslah dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk mendapatkannya memerlukan pengorbanan baik waktu maupun biaya. Sebagaimana barang ekonomi yang lain, air mempunyai nilai bagi penggunanya.


(29)

13

Nilai air bagi pengguna adalah jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumberdaya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari tambahan setiap meter kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan (Briscoe, 1996). Sumberdaya air dapat dialokasikan secara efisien dengan menggunakan prinsip nilai guna batas yang sama bagi setiap penggunaan (Suparmoko, 1995).

Secara ekonomi, sumberdaya air tergolong ke dalam sumberdaya milik bersama. Sumberdaya ini biasanya akan mengalami masalah apabila dieksploitasi secara tidak terkendali atau melebihi daya dukung regenerasinya. Munculnya berbagai masalah adalah akibat sulit ditegaskan hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya yang bersangkutan. Sedangkan syarat sumberdaya dapat dikelola secara efisien, yaitu jika sistem kepemilikan terhadap sumberdaya itu dibangun di atas sistem hak-hak kepemilikan yang efisien. Syarat-syarat hak-hak kepemilikan yang efisien, antara lain : (1) Universality, artinya semua sumberdaya memiliki secara privat dan semua entitlement terspesifikasikan dengan jelas. (2) Exclusivity, artinya semua manfaat dan biaya yang disebabkan oleh kepemilikan harus kembali kepada pemiliknya. (3) Transferability, artinya semua hak kepemilikan harus dapat dipindahtangankan secara sukarela. (4) Enforceability, artinya semua hak kepemilikan harus bebas dari gangguan pihak luar.

Sumberdaya air sering menghadapi permasalahan seperti disebutkan diatas, sehingga sering mengarah kepada sumberdaya air yang bersifat akses terbuka (Fauzi, 2004). Sulit ditegaskan hak-hak atas sumberdaya air itu sendiri, antara lain terkait dengan : mobilitas air, skala ekonomi yang melekat, penawaran air yang berubah-ubah, kapasitas daya asimilasi dari badan air, dapat dilakukannya penggunaan secara beruntun, penggunaan yang serbaguna, berbobot besar dan memakan tempat, dan nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air.

Keadaan diatas, lebih lanjut menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas. Yaitu terjadi, jika ada pihak lain yang menanggung manfaat atau biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Dengan perkataan lain, eksternalitas menimbulkan manfaat dan biaya yang dinilai oleh pihak swasta dengan manfaat dan biaya yang dinilai oleh masyarakat. Dengan adanya eksternalitas ini menurut Randal (1987), menjelaskan pada penentuan harga dari unit sumberdaya secara


(30)

tidak efisien. Artinya, harga-harga yang menjadi standar pertukaran tidak mencerminkan sifat kelangkaan dari sumberdaya tesebut.

Untuk itu didalam ekonomi sumberdaya air ada beberapa alokasi sumberdaya air yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air adalah alokasi dan distribusi air. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana penawaran air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai untuk konsumsi dan kelompok non konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, indsutri, pertanian, kehutanan, kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi, baik melalui transpormasi penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara lansung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumberdaya air sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan (Fauzi, 2004), Tabel 1, ada tiga kriteria alokasi sumberdaya air beserta tujuan yang dikemukakan oleh Fauzi, (2004). Tabel 1 Kriteria Alokasi Sumberdaya Air

Kriteria Tujuan

Efficiensi

• Biaya penyediaan air yang rendah

• Penerimaan per unit sumberdaya air yang tinggi

• Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Equity

•Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat

Sustainability

• Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah

(ground water depletion)

• Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran air

Sumber : Fauzi, 2004.

Selain kriteria pada Tabel 1, Howel et al., (1996) menambahkan kriteria alokasi sumberdaya air antara lain :

1. Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan.

2. Keterjaminan bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin.

3. Akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat.


(31)

15

Untuk itu lebih lanjut Fauzi (2004), menjelaskan beberapa kriteria pada Tabel 1, yaitu pengelolaan sumberdaya air, khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Namun secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing system, water pricing,

alokasi public, dan user based allocation. Namun alokasi air yang cocok diterapkan terhadap kota-kota besar adalah water pricing dan Alokasi berbasis pasar (water market), berikut masing-masing mekanisme alokasi :

1. Queuing system : sistem antrian ini mengacu pada dua sistem alokasi yang cukup dominan, yakni Riparian Water Rights dan Prior Appropriation Water Rights. Istilah Riparian sebenarnya mengacu pada daerah yang berada atau berdekatan dengan sungai maupun danau. Tapi sistem riparian ini banyak memiliki kelemahan karena alokasi air tidak berdasarkan kriteria ekonomi, sehingga sering menimbulkan ekksternalitas pada sumberdaya yang bersifat

common property. Kedua adalah Prior Appropriation Water Rights di dasarkan pada prinsip bahwa hak atas kepemilikan air diperoleh melalui penemuan maupun kepemilikan bersifat mutlak, artinya pemilik hak atas air diperbolehkan untuk tidak membagi pemanfaatan atas air kepada pihak lain.

2. Water Pricing : sebagaimana dikemukakan diatas, sistem alokasi yang

berdasarkan pada antrian banyak menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan air karena ketiadaan kriteria ekonomi. Maka melalui sistem penentuan harga yang tepat melalui water pricing yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang lebih bijaksana.

2.4 Penilaian Sumberdaya Alam

2.4.1 Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam

Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungnnya melalui indera-indera yang dimilikinya, atau pengetahuan tentang lingkungannya yang diperoleh melalui interpretasi data indera (Saparinah, 1976). Persepsi adalah proses pemberian arti (kognisi) terhadap lingkungan oleh seseorang, dan karena aetiap orang memberi arti kepada stimulus, maka indifidu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda, demikianlah terjadilah persepsi itu (Saparinah, 1976).


(32)

Berdasarkan batasa-batasan tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian persepsi merupakan penilaian, penglihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologis yang selektif terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Saparinah (1976) mengemukakan ada 4 karakteristik dari faktor-faktor pribadi atau sosial yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu :

1. Faktor ciri khas dari obyek ransangan, faktor ini terdiri dari :

a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari stimulus (ransangan) seperti nilai bagi obyek yang mempengaruhi cara stimulus tersebut dipersepsi.

b. Arti emosional, yaitu : sampai seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi indifidu yang bersangkutan.

c. Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu stimulus yang mengakibatkan stimulus tersebut dipersepsi lebih akurat.

d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut.

2. Faktor pribadi, termasuk dalam ciri khas indifidu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain.

3. Faktor pengaruh kelompok, dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi arah terhadap tingkah laku seseorang.

4. Faktor latar belakang kultural, orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama karena latar belakang kultural yang saling berbeda.

2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air

Anwar (1999), mengatakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggung jawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap


(33)

17

isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, subtitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar.

Purwonugroho (2003), menjelaskan bahwa sesungguhnya kekeringan, banjir, dan tanah longsor merupakan potret dari buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Fenomena bencana yang terjadi itu hanyalah tanggapan-tanggapan alami dari adanya perubahan-perubahan keseimbangan sistem alam dalam skala DAS. Ketika komponen penyusun DAS mengalami perubahan, keseimbangan alamiah akan timpang, sehingga timbul fenomena-fenomena alam yang seringkali merugikan manusia yang menghuni di dalam DAS. Saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, pada tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, tahun 1994 menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 42 DAS, tahun 2000 menjadi 58 DAS, dan tahun 2002 menjadi 60 DAS. Respon dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir. Namun sebaliknya, ketika kemarau, mudah terjadi kekeringan, sehingga menimbulkan kerugian yang luas biasa.

Supriadi (2000), menjelaskan bahwa kawasan hulu mempunyai peranan penting yaitu sebagai tempat penyedia sumberdaya air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman, dan lain-lain. Di lain pihak kemampuan pemanfaatan lahan bagian hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif ke daerah sumberdaya air yang ada di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara


(34)

ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai.

2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air

Faktor-faktor utama yang secara umum berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan bersumber pada dua faktor utama, yaitu (1) faktor kelembagaan berupa kebijakan pemerintah dalam bentuk perundangan, dan kelembagaan masyarakat berupa konvensi dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, dan (2) faktor non-kelembagaan, termasuk di dalamnya aspek pasar (Saefulhakim, 1999).

Kesimpulan tersebut diturunkan dari hasil penelitian terhadap fenomena konversi lahan di tujuh provinsi di Indonesia, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali dan Lampung, dan Sumatera Selatan. Ketujuh provinsi tersebut dianggap sebagai lumbung beras utama Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum faktor kelembagaan berkontribusi 70% dalam mendorong konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang berakibat pada kerusakan lahan pertanian (Winoto et al,.

1996). Kelembagaan berupa aturan perundangan memiliki rata-rata bobot yang lebih tinggi (60%) dalam mempengaruhi fenomena konversi lahan dibandingkan faktor non-kelembagaan.

Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen, Saefulhakim (1995), merumuskan beberapa faktor penting pendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain sebagai berikut :

1. Perkembangan standar tuntunan hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan pendapatan.

2. Struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sector

pertanian dengan output sektor-sektor non-pertanian.

3. Struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaan/pengusahaan lahan, sistem infrastruktur, dan sistem kelembagaan 4. Kemandekan perkembangan teknologi intensifikasi yang tidak hanya terjadi di


(35)

19

5. Pola spasial aksesibilitas

6. Tingginya resiko dan ketidakpastian

7. Sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan

Anwar (1999), mengemukakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggungjawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, substitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar.

Beberapa ketidakmampuan sistem pengorganisasian ekonomi tercermin diantaranya dalam bentuk kekeliruan kebijaksanaan yang membuat terjadinya distorsi dari bekerjanya sistem pasar yang efisien melalui subsidi kapital, batas pagu sukubunga, subsidi pestisida, subsidi enegi, pengurangan pajak, kuota dan beberapa hak-hak dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada segolongan penduduk. Kegagalan pasar dan kelangkaan sumberdaya alam tersebut tercermin dari terjadinya akses terbuka, tidak jelasnya hak-hak, terjadinya eksternalitas dan sifat-sifat dari barang bebas (publis good), pasar yang bersifat monopoli, tingginya biaya-biaya transaksi, konsesi-konsesi pengusahaan sumberdaya jangka pendek, keputusan sistem pasar yang bersifat jangka pendek dan banyaknya sumberdaya alam yang tidak dinilai.

2.7 DAS dan Hutan sebagai Pengatur Tata Air

Manan (1985), mengemukakan bahwa DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan


(36)

air hujan yang jatuh diatasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya kedalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Kegiatan tataguna lahan yang merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air, akan tetapi perubahan vegetasi dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi lain ialah hal yang umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam (Asdak, 2002). Dalam pengelolaan DAS haruslah diorientasikan kepada segi-segi konservasi tanah dan air dengan titik berat kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, baik dari kalangan petani industri dan lainnya.hasil akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS ialah kondisi tata air yang stabil dari wilayah DAS tersebut.

Penutupan hutan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perubahan iklim dan air. Hutan mengintersepsi butir hujan, mengurangi limpasan permukaan, meningkatkan kelembaban nisbi dan menghambat erosi tanah, serta pengeringan permukaan. Dari pengaruh-pengaruh hutan tersebut, yang terpenting adalah pengaruh pasokan air ke sungai-sungai dan keteraturan lainnya (Lee,1998). Asdak (2002), mengemukakan bahwa hutan memegang peranan penting dalam proses hidrologi dimana dengan adanya vegetasi maka ketika turun hujan akan meningkatkan infiltrasi sehingga mereduksi volume aliran air dan besarnya debit sungai pada saat banjir. Vegetasi ini memiliki sifat dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungan dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah dan pada akhirnya akan mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan tanah. Ada tiga pengaruh penting dari adanya hutan, yaitu : (1) Hutan menahan tanah di tempatnya, (2) Tanah hutan menyimpan air lebih banyak, (3) Hutan menyebabkan tingginya peresapan.

Suparmoko (1989), mengemukakan bahwa air merupakan produk penting dari hutan. Tanah di hutan merupakan busa raksasa yang mampu menahan air hujan sehingga meresap perlahan-lahan ke dalam tanah. Banyak daerah yang menggantungkan diri terhadap persediaan air dari hutan dengan sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tetapi bila pohon-pohon di hutan di tebang, maka


(37)

21

tanah lansung terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan akan lansung mengalir ke sungai dan menyebabkan erosi serta banjir

Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mengalirkan air dari hasil penurunan dari tempat ketinggian ke laut. Dalam perjalanannya sungai dapat melewati berbagai daerah seperti daerah pertanian, permukiman, perkotaan dan industri. Dengan demikian sungai dapat berfungsi sebagai tempat penyimpan dan penyedia air, media transportasi, sumber makanan dan lain-lain, juga dapat berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah.

Indonesia, sebagian besar dari air yang mengalir ke sungai berasal dari daerah aliran sungai yang berhutan, khususnya hutan lindung. Oleh karena itu luas hutan dan perlakuan yang diberikan dalam pengelolaannya akan mempengaruhi jumlah dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1976). Selanjutnya Lee (1989), menjelaskan apabila daerah-daerah aliran sungai berhutan ditebang habis dan dimanfaatkan secara sembarangan tanpa memperhatikan nilai-nilai jangka panjang, maka biaya yang harus ditanggung oleh kawasan hilir dalam bentuk sedimentasi, pencemaran, kerusakan akibat banjir dan kekeringan, mungkin jauh melebihi nilai kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu, penebangan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi daerah aliran sungai. Demikian pula pengkonversian lahan hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, industri akan menyebabkan turunnya air tanah,s mata air dan sumur-sumur tidak berair sepanjang musim.

2.8 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sediment, dan unsur hara dan mengalirkan melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik. Manan (1983), mengemukakan bahwa Daerah Aliran Sungai adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan. Daerah Aliran Sungai sebagai suatu ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan keluaran dan masukan dari material dan energi. Ekosistem


(38)

DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali menjadi indikator karena mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu, 1999). Aktivitas perubahan tataguna lahan atau berbagai aktivitas konversi lahan yang dilaksanakan didaerah hulu dapat memberikan dampak terhadap sumberdaya air dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air antar waktu dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara sumberdaya air dengan perubahan tataguna lahan merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam.

2.9. DAS sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang perencanaan hutan. Batasan DAS dalam PP tersebut adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan serta pengaliran dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan sumberdaya alam tersebut (Syahrir, 2002).

Pasaribu (1999), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan DAS akan bertumpuh pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi.

Dimensi ekonomi dan sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi ekonomi dan sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan


(39)

23

kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah Hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi. Pelaksanaan pengelolaan DAS umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu : (1) pengelolaan tanah melalui konservasi dalam arti luas. (2) pengelolaan sumberdaya air melalui usaha-usaha pengembangan sumberdaya air. (3) pengelolaan huta. (4) pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan (Syahrir, 2002).

Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada tiga hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu :

1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan.

2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral sehinggan keterpaduan mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal. 3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu

diterapkan asas ’Integrated Watershed Mangement Plan’, untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan nasional serta kesenambungannya (Pasaribu, 1999).

Dalam menjabarkan konseptual perencanaan dan pengelolaan DAS pada prinsipnya sama aplikasinya untuk setiap unit DAS, namun demikian secara substansi dan strateginya, bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi biofisik dan merupakan wujud dan merupakan wujud proses alamiah yang ada.

Implikasi dari perencanaan dan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dan sistem produksi adalah peluang terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS. Konflik


(40)

kepentingan terjadi, karena adanya perbedaan visi terhadap pengelolaan sumberdaya air sebagai proses dan sumberdaya air sebagai produk. Pengelolaan sumberdaya air sebagai proses akan melibatkan seluruh peubah yang ada dalam sistem DAS. Baik peubah masukan, peubah karakteristik DAS (proses) maupun peubah keluaran. Sedangkan pengelolaan sumberdaya air sebagai produk lebih banyak menekankan pengelolaan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap peubah keluaran. Pandangan konseptual pengelolaan sumberdaya air oleh setiap instansi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan tingakat kepentingan antar sektor (Syahrir, 2002).

2.10 Alih Fungsi Lahan

Sitorus (2001), mengemukakan bahwa lahan merupakan bagian dari bentang lahan yang mencakup pergertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya.

Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang pengembalaan kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertahanan Nasional mengelompokan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : (1) Permukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen). (2) Kebun, kebun meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campura, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan. (3) Tegalan merupakan daerah yang ditanami, umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami dimana vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo, singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah. (4) Sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya dialiri sejak saat penanaman hingga beberapa hari sebelum panen. (5) Hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola, dengan tajuk rimbun dan tajuk yang besar serta lebar. (6) Lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia. (7)


(41)

25

Semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang relatif kurang rimbun (Heikal, 2004).

Saefulhakim dan Nasution (1995), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda (Martin, 1993).

Alih fungsi lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumberdaya antar sektor penggunaan. Kondisi tersebut merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat (Winoto, 1995). Manuwoto (1992) menjelaskan secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh faktor sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi dan kebijakan pembangunan makro. Keempat faktor ini mempengaruhi peruntukan lahan bagi berbagai penggunaan.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi, pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri dan pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan (Utomo, 1992).

2.11 Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan terhadap Sumberdaya Air

Dalam dekade terakhir ini tekanan terhadap penggunaan lahan semakin besar baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kekhawatiran yang timbul adalah karena semakin meningkatnya degradasi yang akan berpengaruh terhadap proses pembangunan yang berkelanjutan. Kekhawatiran yang timbul adalah wilayah DAS Citarum dan Subdas-subdas yang merupakan daerah tangkapan banjir rutin cekungan Bandung yang saat ini kondisi semakin memperihatinkan yang dicirikan dengan tingkat erosi yang semakin tinggi. Luasan banjir Bandung


(42)

melebihi 2,200 ha. Tinggi muka air yang semakin menurun. Dalam penyediaan air minum terdapat suatu bentuk yang tidak seimbang dengan ketersediaan air minum yang disuplai sungai citarum semakin menurun yaitu tahun 1992 sebesar 7,462.99 km3 dan pada tahun 2000 sebesar 4,996.58 km3. sedangkan kebutuhan air minum semakin besar yaitu dari tahun 1992 sebesar 9,77 km3 dan tahun 2005 sebesar 1,419.12 km3. hal ini sebagai akibat dari semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk, daya dukung lahan yang melebihi kapasitasnya. Kurangnya kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi hutan dan lahan.serta, semakin merosotnya keadaan ekonomi masyarakat pada era reformasi. Karena itu wilayah daerah tangkapan air di Hulu merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan rehablitasi lahan dan hutan agar proses degradasi dapat diperkecil sehingga tidak dapat membahayakan kelanjutan pembangunan serta mampu mempertahankan hutan dan tanah seoptimal mungkin sebagai fungsi produksi dan fungsi lindung.

Berdasarkan hasil analisis Boer (2004), menunjukkan bahwa tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran pertahun, hampir semua Kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya Kecamatan yang mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatnya tingkat pengambilan air permukaan 10% menjadi 25%, sebagian besar kebutuhan air Kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa Kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25% dari total sudah jauh melampaui debit sehingga resiko kekurangan air, khususnya musim kemarau akan tetap tinggi. Dampak perubahan yang terjadi secara dapat dilihat ketika terjadi musim hujan tiba dan ketika musim kemarau tiba, seperti beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung terjadi banjir dan ketika kemarau akan terjadi kekeringan, hal ini merupakan akibat dari perubahan tataguna lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu yang berdampak terhadap sumberdaya air di wilayah hilir. Berbagai fenomena yang terjadi merupakan ulah perilaku manusia yang tidak memperhitungkan daya dukung lahan dan hutan. Oleh karenanya perubahan harus diikuti dengan konservasi kembali sehingga ada keseimbangan dalam perubahan tesebut, bukan hanya sumberdaya alam bersifat eksploitatif.


(43)

27

Tabel 2 Neraca Kebutuhan Air dan Pemenuhan Sumber Air dari DAS Citarum, 1990-2005

1990 2005 2025 Uraian m3/detik m3/detik m3/detik m3/detik m3/detik m3/detik

I.Sumber

Citarum 182.33 5,750.00 182.33 5,750.00 182.33 5,750.00 Sungai Lain 60.25 1,900.00 61.83 1,950.00 63.42 2,000.00 Jumlah 7,650.00 7,700.00 7,750.00

II.Kebutuhan

Irigasi 177.33 5,592 175.00 551,880 168 529,805

Industri 7.91 24,945 15.00 47,304 25 78,840

Air Minum 9.77 30,811 21.3 67,172 45 141,912

Perikanan 1.00 3,154 10.00 31,536 20 63,072

Pengelontoran 2.00 6,307 10.00 31,536 15 47,304

Beban Puncak Listrik 9.51 300.00 3.17 100.00 - - Jumlah 71,108.71 729,528 860,933

III.Neraca

Sumber 24,258 7,650.00 24,416 7,700.00 24,575 7,750.00 Kebutuhan 20,749 654,388 23,447 739,428 273,00 860,933.00 Jumlah 662,038.00 747,128.00 868,683.00 Jumlah Total 669,688.00 754,828.00 876,433.00 Sumber : PJT II Jatiluhur 2003.

Defisitnya air dari DAS Citarum dari tahun ke tahun telah di prediksi oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II Jatiluhur (Tabel 2). Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari DKI Jakarta terjadi peningkatan terhadap permintaan air minum mulai tahun 2006 sebanyak 7500 m3. Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk.

Hal ini sangat jelas bahwa permintaan air untuk pertanian juga meningkat, sementara suplai air dari DAS Citarum tidak berubah. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan terjadi meningkat pula. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo (2001) memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapatkan dari PJT II Jatiluhur didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum Hulu. Keadaan akan berkurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Hulu.Berdasarkan skenario penurunan persentase penutupan lahan oleh hutan sebanyak 50% dan 75%


(44)

diperoleh bahwa keragaman debit aliran di Citarum Hulu akan meningkat antara 90% sampai 150% (Boer, 2004). Penurunan pasokan air karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu DAS Citarum dan diperparah dengan penggunaan lahan dan kerusakan hutan yang dirasakan oleh pengguna jasa lingkungan air minum.

2.12 Jasa Lingkungan

Secara sederhana jasa lingkungan dapat diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan linkungan. Jasa lingkungan ini dihasilkan oleh proses yang terjadi pada ekosistem alam. Contoh, hutan sebagai ekosistem alam, selain menyediakan berbagai produk kayu dan non kayu, merupakan suatu reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air tersebut dan kemudian melepaskannya secara gradual sehingga air tersebut bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan dalam siklus air tidak disadari sampai akhirnya terjadi pembabatan hutan yang menyebabkan banjir dan menurunnya kualitas air, meningkatkan kerentanan masyarakat hilir sehingga kualitas hidup mereka terancam.

Keberadaan jasa lingkungan ini sering dianggap sebagai anugerah dari alam semesta. Jika dilihat lebih jauh, selain faktor alam terdapat pula peran manusia yang mempengaruhi keberadaan jasa lingkungan tersebut. Masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistillahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan”, yang atas usaha perlindunganm dan pengelolaan dapat dikategorikan sebagai pelindung dan pengelola.

Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan dimasa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan.


(45)

29

Ladell-Mills dan Porras (2002), mengemukakan beberapa mekanisme imbal jasa lingkungan yang populer didunia, seperti :

1. Direct Negotiation : transaksi lansung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Biasanya tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan dan sering kali menghasilkan proses negosiasi yang panjang.

2. Intermediary-based transction : Fasilitator berperan agar transaksi dalam hal mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi menjadi rendah. Selain itu fasilitator juga berperan untuk mereduksi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari patner yang tepat serta mengidentifikasi masalah yang ada. Trust fund , LSM Lokal dan International merupakan bentuk fasilitator yang paling umum.

3. Pooled transaction : Pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. Dana terkumpul biasanya cukup besar untuk mendifersifikasikan investasi.

4. Joint Venture : mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut dalam bentuk bagi keuntungan, kosultasi teknis, dana lansung, dan lain-lain.

5. Retail based traders : Imbalan jasa lingkungan terlampir dalam produk pasar dan jasa, contoh : harga premium bagi produk ramah lingkungan.

6. Internal traiding : transaksi antar departemen dalam suatu organisasi, contoh : imbal jasa antar departemen dalam pemerintah.

7. Over the counter traders/user fees : Pada mekanisme ini jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu untuk dijual, contoh : kredit kualitas air untuk perbaikan lingkungan. Kesatuan jasa lingkungan belum banyak mendapatkan perhatian dalam literatur. Namun demikian, pengalaman praktis menunjukkan bahwa berkembangnya permintaan suplai dari jasa ini dapat saling bersifat komplementer antar jasa. Terdapat dua perdekatan untuk pengembangan pasar ini, yaitu : (1). Menggabungkan jasa yaitu jasa tidak boleh di jual secara indifidual dan terbagi-bagi sehingga dapat memberikan kontrol yang baik terhadap biaya transaksi, dan (2). Menawarkan jasa tersebut. Pendekatan kedua lebih membuat penjual membagi paket jasa untuk dijual ke berbagai pembeli.


(46)

Hasilnya adalah alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan pendapatan penjual yang lebih tinggi.

Pasar melibatkan banyak stakeholder. Meskipun sektor privat merupakan pelaku utama, namun LSM Lokal, Komunitas, Pemerintah, NGO Internasional dan donor juga memegang peranan penting sebagai penjual, pembeli, perantara dan suplier jasa tersebut. Usaha untuk mempromosikan pasar untuk jasa lingkungan harus berusaha mengkapitalisasikan berbagai antusiasisme stakeholder dan menghindari alienasi group tertentu yang dapat menghambat perkembangan pasar.

2.13 Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dinyatakan bahwa manfaat jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.

Herman Rosa (2005), seorang pakar pembayaran jasa lingkungan dari Amerika Tengah mendefinisikan sebagai kompensasi jasa ekosistem. Menurutnya ada 4 klasifikasi jasa ekosistem, yaitu : (1) Jasa Penyediaan: sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral dan lain-lain. (2) Jasa Pengaturan: fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko dan lain-lain. (3) Jasa Kultural: identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi nilai estetika, hubungan sosial, nilai peningkatan pustaka, rekreasi, dan lain-lain. (4) Jasa Pendukung: produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan ketersediaan habitat, siklus gizi dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat hendaknya memaknai suatu kondisi atau keadaan yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa yang diinginkan atau diharapkan oleh masyarakat. Jadi, untuk jasa lingkungan ekowisata hendaknya masyarakat dapat menggoptimalkan semua jasa ekosistem yang ada dilokasi tersebut.


(1)

Untuk variabel-variabel kualitatif yang digunakan, sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas air PDAM rendah sebesar 65,00%, sisanya menyatakan baik sebesar 26,67% dan tidak tahu sebesar 8,33% (Gambar 26a). Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden yang menyatakan bahwa air PDAM berkuantitas keruh sebesar 62,5%, kotor sebesar 30,5% dan tidak tahu sebesar 0,00%, (Gambar 26b). Persepsi tentang kualitas air dalam penelitian ini hanya berdasarkan pada pandangan masyarakat dan dari data diperoleh bahwa tidak ada satupun responden atas kemauan sendiri untuk memeriksa air PDAM yang mereka terima atau pernah mengambil sampel air untuk di periksa. Dan perlu diketahui pula bahwa ada pelanggan PDAM yang menggunakan air PDAM untuk mencuci mobil dan menyiram maupun keperluan lain, hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas air PDAM.

Sebagai informasi tambahan, hasil pemeriksaan kualitas air PDAM secara periodik (setiap triwulan) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta selaku badan pengawasan pada struktur organisasi PDAM menunjukkan bahwa kualitas air pada reservoir PDAM sebelum didistribusikan ke pelanggan adalah baik. Secara periodik setiap triwulan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga melakukan uji laboratorium tentang kualitas air PDAM yang diterima 373,034 pelanggan PDAM Jaya yang ditentukkan secara acak. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa air PDAM yang diterima pelanggan berkualitas baik, hanya sekitar 1 sampai 2% pelanggan yang memperoleh air tercemar kuman atau bakteri akibat dari sanitasi disekitar tempat tinggal pelanggan tersebut kurang baik.

Untuk variabel kualitatif persepsi tentang kualitas air sumur rendah di lingkungan tempat tinggal sebesar 29,17% dan baik sebesar 70,83%, tidak tahu sebesar 0,00% (Gambar 27a), sedangkan untuk kuantitas air sumur sebagian besar responden juga menyatakan baik sebesar 62,5% dan rendah sebesar 37,5 %, tidak tahu 0,00% (Gambar 27b). Pada Gambar 28 mengenai harapan atau ekspektasi yang diungkapkan oleh responden tentang akan adanya perbaikan yang akan dilakukan pemerintah atau PDAM, sebesar 69,17% menyatakan mempunyai harapan bahwa pada suatu saat pemerintah akan melakukan perbaikan kualitas dan kuantitas air yang didistribusikan dan tidak ada harapan sebesar 30,83%.


(2)

a b

Gambar 27 Persentase Responden terhadap Persepsi Kualitas dan Kuantitas Air Sumur

Gambar 28 Persentase Responden terhadap Harapan akan adanya Perbaikan oleh Pemerintah

Tingginya persentase responden yang punya harapan berhubungan dengan pilihan mereka terhadap sumber air bersih, karena walaupun mereka mempunyai sumber air lain (sumur) dengan kualitas dan kuantitas air yang lebih baik dari air PDAM tetapi mereka tetap menjadi pelanggan PDAM. Meskipun demikian, ada pula pelanggan PDAM yang memiliki sumur dengan kualitas air rendah. Untuk kasus seperti ini, air sumur terpaksa digunakan atau dijadikan cadangan kalau air PDAM mati atau tidak mengalir. Dan ada pula pelanggan yang memakai air sumur sebagai kebutuhan air bersih daripada air PDAM.

5.6.1 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air

PDAM.

Untuk responden yang menyatakan kualitas air PDAM rendah (59 orang dari 100 orang), alasan yang paling banyak dikemukakan adalah Keruh sebesar 66,67% dan disusul dengan alasan berbau sebesar17,5% dan kotor sebesar15,83% (Gambar 29).

Persepsi Terhadap Kualitas Air Sumur

0.00% 29.17%

70.83%

Rendah Baik Tidak Tahu

Persepsi Terhadap Kuantitas Air Sumur 0.00%

37.50%

2.50%

Rendah Baik Tidak Tahu

Ekspektasi Untuk Perbaikan Lingkungan

30.83%

69.17%


(3)

Gambar 29 Persentase Responden terhadap Alasan yang Menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah.

Akibat yang paling.sering dirasakan dan dikemukankan oleh responden adalah Wadah air cepat kotor sebesar 25,83% dan sebelum dipergunakan air harus didiamkan dulu sebesar 54,17% agar diperoleh air yang jernih dan zat yang menimbulkan kekeruhan mengendap di dasar wadah. Ada noda melekat pada wadah yang sulit dibersihhan 20,00% dan akibat lainnya adalah pemborosan waktu dan tenaga karena lebih sering membersihkan wadah air (Gambar 30).

Gambar 30 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kualitas Air PDAM

Sedangkan jenis kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan responden 34,17% adalah lama-kelamaan wadah air akan semakin kotor dan semakin sulit dibersihkan, disusul dengan kekhawatiran bahwa untuk waktu yang lama mungkin akan berpengaruh juga bagi kesehatan sebesar 65,83% (Gambar 31).

Menurut pihak PDAM sebagai produsen. kekeruhan air PDAM dapat disebabkan oleh beberapa faktor. yaitu (1) akumulasi kekeruhan di pipa transmisi berdiameter 300 mm. (2) kebocoran pipa yang disebabkan oleh korosi karena sebagian besar pipa terbuat dari besi dan sudah berusia tua maupun aktifitas penggalian atau kegiatan lain baik secara sengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pipa yang menimbulkan kerusakan pada pipa

Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM

15.83% 17.50%

66.67%

Berbau Kotor Keruh

Akibat Rendahnya Kualitas Air PDAM

54.17% 20%

25.83%


(4)

PDAM. (3) tingkat kekeruhan air baku yang sangat fluktuatif dan dapat terjadi sewaktu-waktu diluar kendali yang disebabkan oleh curah hujan dan berhubungan dengan aktifitas-aktifitas di bagian Hulu DAS Citarum.

Gambar 31 Persentase Responden terhadap Jenis Kekhawatiran yang Dikemukakan Responden atas Rendahnya Kualitas Air PDAM.

5.6.2 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM

Untuk kualitas air PDAM terdapat 75 dari 100 responnden yang menyatakan kuantitas air PDAM rendah. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang berpendapat demikian dijelaskan dengan Gambar 32. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah karena debit air PDAM yang rendah sebesar 49,17%, lalu disusul dengan air yang tidak mengalir terus menerus dan jadwal mengalir tidak tentu sebesar 38,33% dan terkadang mati sebesar 12,50% (Gambar 32).

Gambar 32 Persentase Responden terhadap Alasan terhadap Kualitas Air PDAM

Akibat yang paling dirasakan responden adalah kekurangan air sebesar 41,67%, sehingga perlu melakukan penghematan dan membutuhkan sumber air alternatif (membuat sumur), seluruh responden yang menyatakan air PDAM berkuantitas rendah mengemukakan kedua hal tersebut (Gambar 33).

Berbagai Jenis Kekhawatiran Terhadapnya Kualitas Air PDAM

65.83% 34.17%

Bhy bg Kesehatan Wdh Slt Dibrshkn

Berbagai Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM

49.17%

38.33%

12.50%


(5)

Gambar 33 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM Dan kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan adalah pada musim kemarau air PDAM akan makin sulit diperoleh, sehingga memerlukan sumber air lain sebesar 58,33%. Pihak PDAM menyatakan bahwa kuantitas air yang rendah disebabkan oleh (1). Masih rendahnya kapasitas produksi air. (2) Terbatasnya jaringan pipa distribusi dan (3). Distribusi air masih dengan sistem perpopaan sehingga air tidak mencapai tempat yang tinggi.

Berbagai Jenis Akibat yang Dirasakan Terhadap Rendahnya Kualitas Air PDAM

41.67%

58.33%


(6)

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil kajian kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa perbaikan lingkungan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

1. Hasil analisis deskriptif persepsi masyarakat terhadap ketersediaan saat ini buruk 70%, sedangkan keluhan air 65% keruh dan 35% berbau. Sehingga responden menyatakan 70% masyarakat hulu berperan untuk perbaikan lingkungan dan setuju 69,45%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air semakin buruk sehingga perlu untuk perbaikan lingkungan.

2. Kemauan membayar (WTP) dengan metode Contingent Valuation masyarakat yang dilihat dari dugaan rataan WTP di atas harga air yang berlaku saat ini masih rendah sebesar Rp.62,500/org/bln dan WTP agregat (total kemauan membayar) dari populasi adalah sebesar Rp.36,080.618/bln di bawah total harga air yang diterima pemerintah/PDAM per-bulan saat ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP adalah besar pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air dan status rumah.

4. Analisis deskriptif persepsi masyarakat terhadap kondisi sumber air menunjukkan bahwa peluang terpilihnya sumber air sumur dibandingkan PDAM serta pilihan kedua-duanya PDAM dan air sumur secara signifikan dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas air, kekhawatiran dan akibat-akibat yang dirasakan masyarakat .

6.2 Saran

Berdasarkan hasil kajian kemauan membayar masyarakat perkotaan terhadap jasa perbaikan lingkungan, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Diperlukan sosialisasi terhadap masyarakat, khususnya pengguna air untuk jasa perbaikan lingkungan sehingga dapat meningkatkan insentif.

2. Diperlukan kajian dan studi kelembagaan terhadap sistem insentif dan didukung aturan-aturan untuk jasa lingkungan baik di pusat maupun daerah.

3. Diperlukan suatu bentuk penerapan kegiatan perbaikan lingkungan yang benar- benar diperlukan oleh masyarakat hulu sebagai penyedia jasa lingkungan di DAS Citarum Hulu.