GEREJA DAN MANDAT SOSIAL POLITIK. (Kesenjangan pendidikan refleksi 500 tahun reformasi gereja dalam konteks di Kalimantan Barat)

  

Kesenjangan pendidikan: refleksi 500 tahun reformasi gereja dalam konteks di

Kalimantan Barat

Pendahuluan

  Gereja yang merupakan kumpulan orang-orang percaya dalam Kristus yang memiliki tugas untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani. Berkenaan dengan tugas gereja yang merupakan orang-orang yang telah menerima kasih dari Allah, maka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, gereja perlu memberikan peran dan ikut ambil bagian dalam mensejahterakan lingkungan dimana gereja berada (Band. Yeremia 29:7).

  Di Indonesia sendiri, ada banyak isu-isu sosial politik dimana gereja ada di tengah- tengahnya. Sebagai salah satu negara yang berkembang dan pernah [masih] dibilang dunia ketiga maka masalah yang tidak [belum akan] usang akan identik dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, hal ini tentu dipertajam dengan kesenjangan pendidikan di Indonesia, lebih tepatnya adanya gap antara pendidikan di kota dan di desa. Masalah ini bisa diperinci dimulai dengan kemiskinan, faktor geografis, SDM [beberapa soal nilai kualitas dan pengabdian] guru yang kurang jika berada di pedalaman belum lagi soal media pembelajaran dan infrastruktur. Contoh kasus misalnya di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat baru-baru ini terjadi penolakan program GGD (Guru Garis Depan) yang di datangkan dari Pusat, mengapa? para guru di daerah mempertanyakan aspek keadilan, bagaimana dengan mereka yang sudah mengajar di daerah tetapi kurang mendapatkan perhatian, mengapa pusat mengirim guru-guru ke pedalaman dan memastikan mereka di angkat menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) dengan gaji yang cukup fantastis berkisaran Rp.6-8 juta sedangkan “produk” perguruan tinggi lokal yang mengabdi juga terkesan kurang diperhatikan atau dipakai dan tentu digaji dengan program BOS yang hanya Rp.300 – 500an ribu, apakah ini keadilan sosial ? Bagaimana gereja bersikap tentu menjadi pertanyaan penting ? adakah gereja dapat bersuara dan suaranya di dengar terkait isu-isu ini?

  

Gereja

  Alkitab memakai dua istilah untuk menunjuk gereja dalam Bahasa Ibrani, yakni qahal (dari kata kal) yang berarti “memanggil”, dan edhah (dari kata ya’adh) yang artinya

   Sedangkan dalam Bahasa Yunani, istilah gereja berasal dari dua kata, Ek dan kaleo yang artinya “memanggil keluar.” Dengan kata lain, gereja sebagai sekumpulan atau kelompok yang terpanggil oleh Allah sendiri. Kata ini lebih menunjuk kepada perkumpulan orang-orang

   yang percaya dalam satu tempat.

  Pengertian yang dimiliki oleh kata ekklesia, digunakan untuk menunjukkan suatu perkumpulan orang-orang percaya di tempat tertentu.Hal ini dapat diketahui dari penggunaan kata ekklesia yang banyak digunakan oleh Paulus dalam surat-suratnya. Millard J. Erickson dalam bukunya “Teologi Kristen” mengatakan bahwa:

  “Paulus menggunakan istilah ekklesia tersebut lebih banyak daripada penulis kitab lain dalam Perjanjian Baru. Karena surat-suratnya sebagian besar merupakan surat kepada jemaat lokal tertentu, tidaklah mengejutkan bahwa istilah ini pada umumnya merujuk kepada sekolompok orang percaya yang berada di kota tertentu. Oleh karena itu bisa diketahui bahwa Paulus menulis surat yang ditujukan kepada jemaat Allah di Korintus (I Kor. 1:2; II Kor. 1),

  

  jemaat-jemaat di Galatia (Gal. 1:2), dan lain-lai Dapat disimpulkan bahwa gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Gereja dalam pengertian ekklesia juga adalah komunitas yang terorganisir yang mengakui bahwa Kristus

  

  adalah penguasa tertinggi. Dengan sederhana gereja itu sendiri mengarah kepada pribadi orang percaya.

  Perkembangan hubungan Gereja dan Negara Sepanjang sejarah perkembangan gereja, setidaknya terdapat empat paradigma hubungan gereja dengan pemerintah atau negara.Menurut Borrong menyebutkan ada empat

  

  bagian paradigma, yakni bermusuhan, terpisah, mapan, dan semi terpisah. Empat tahapan paradigma tersebut terjadi dengan kurun waktu yang berbeda dan dengan kondisi politik yang berkembang saat itu. Baik dalam politik negara maupun dalam organisasi gereja sendiri.

  Pandangan atau paradigma gereja yang “bermusuhan” dengan negara, terjadi pada masa awal, abad I sampai dengan abad ke IV. Pada masa itu gereja belum berbentuk suatu organisasi yang jelas yang juga menyebabkan hubungan antara gereja dan negara belum jelas. 2 Beberapa hal yang mempengaruhi masa ini, yakni gereja tidak memiliki hubungan yang 3 Ibid, 8 Millard J. Erickson, Teologi Kristen (Since 1983), Vol. 3 dari Baker Book House Company (Malang:

  Gandum Mas, 2014), 287 4 5 Davis Dictionary of the Bible, s.v. “ekklesia

Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen: serba-serbi politik praktis,(Jakarta: Unit Publikasi dan harmonis dengan negara sehingga mengesampingkan isu-isu politik kenegaraan. Pandangan ini didukung dengan: Pertama, Kekristenan pada masa itu merupakan suatu kelompok minoritas yang tidak memiliki otoritas dan kesempatan untuk memberikan pengaruh dalam politik. Kedua, Kekristenan mengharapkan bahwa sejarah akan segera berakhir seiring dengan kedatangan Kerajaan Allah yang dijanjikan akan mengalahkan semua kekuatan jahat. Sehingga kekristenan (gereja) menganggap tidak atau kurang penting untuk menanggapi isu-

  

  isu politik yang terjadileh sebab kekuasaan ataupun isu-isu sosial politik dinilai akan berakhir seiring dengan berakhirnya atau kedatangan kerajaan Allah yang mengalahkan semua kekuasaan lainnya.

  Pada perkembangan selanjutnya, diabad ke V sampai abad ke XIV, atau yang sering disebut dengan abad pertengahan, gereja mulai memahami mengenai hubungan gereja dengan negara. Pada awal abad pertengahan ini, gereja memiliki hubungan dengan negara berdasarkan dua cara pandang. Yakni pandangan yang dikenal dengan “dua pedang” dan “hukum kodrati” yang masing masing memberikan pengaruh pandangan atau paradigma

  

  gereja dalam menjalin hubungan dengan negara . Namun pada akhir dari abad pertengahan ini, gereja kembali memiliki perubahan paradigma atas hubungannya dari negara.Diakhir abad pertengahan ini, negara berada di bawah kekuasaan gereja. Dominasi Gereja (Paus) waktu itu sangat kuat sehingga hampir-hampir mengambil alih tugas negara kepada masyarakat, kekuasaan gereja membuat pengaruh yang sangat besar dalam Kekristenan dan ilmu pengetahuan.

  Selanjutnya pada abad XV hingga abad XVIII, dimana gereja mengalami masa pencerahan dan reformasi oleh Marthin Luther dan juga John Calvin, gereja memulai menghilangkan kekuasaan gereja didalam kekuasaan negara sekalipun masih

  

  mempertahankan hubungan asimilasi dengan negaraal ini memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pandangan gereja modern yang berada pada masa abad XIX sampai sekarang ini.

  “Paham mengenai kehadiran gereja dalam dunia, termasuk di setiap negara memperlihatkan adanya dua pandangan utama, yaitu paradigma transformasi dan paradigma pemisahan ketat. Paradigma transformasi dianut baik golongan Katholik, Lutheran, Calvinis, dan Metodis.Sedangkan paradigma pemisahan ketat dianut oleh berbagai gereja yang disebut “Gereja Damai” seperti

   6 menonite, Quaker, Baptis, dan Pentakosta 7 Clinton Gardner, Biblical Faith and Social Ethics, (New York: Harper and Row Publisher, 1960), 312 8 Borrong, 18-19 Ibid, 20

  Paradigma gereja akan hubungan dengan negara memberikan dampak dan juga pengaruh yang besar bagi kehidupan politik, baik bagi negara, maupun bagi organisasi gereja sendiri. Masing-masing paradigma memberikan gambaran yang jelas kepada umat saat ini bahwa kedinamisan gereja dalam rentang sejarah peradaban manusia adalah jelas yakni gereja hadir di dunia dan harus memperhatikan, merawat dan menaklukkan [memberi solusi] dunia atas masalah-masalah yang timbul di dalamnya.

  Tugas Gereja Gereja memiliki tugas di dunia ini yang disebut dengan Tri Tugas Panggilan Gereja. Kata melayani berasal dari bahasa Yunani “diakonos” yang berarti an attendant, a waiter (at

  

table in other menial duties) Berhubungan dengan hal ini, Abineno menjelaskan pengertian

  diakonia dalam dunia Yunani seperti demikian: “Kata Yunani “Diakonia” yang biasa dipakai untuk pelayanan meja makan, pelayanan pribadi kepada orang lain, pelayanan ini terutama dilakukan oleh hamba-hamba atau wanita-wanita dan itu dianggap sebagai suatu pekerjaan yang hina. Orang-orang merdeka dan orang-orang terpelajar tidak melayani di

  

  meja makan tetapi justru dilayani oleh pelayan-pelaya Dengan demikian diakonia dalam pengertian Yunani menunjukan pada suatu jabatan yang rendah, Tuhan Yesus mengambil alih pengertian tersebut untuk menjelaskan status-Nya sebagai hamba yang melayani (Luk 22:27b). Yesus mengungkapkan hal tersebut untuk membentuk pola hidup para murid sebagai pelayan dengan tujuan untuk melayani seperti Tuhan.

  Kata bersaksi (Yunani “marturia”) berarti a judicial witness atau seorang saksi yang berhubungan dengan pengadilan. Dalam bersaksi harus memberi suatu kesaksian sesuai dengan fakta atau kebenaran yang diketahui oleh seorang saksi, dalam kesaksian tersebut dituntut: ketetapan hati (kesetiaan dan ketaatan), ketabahan (ketekunan dari seseorang yang

  

  

  Dalam dunia Yunani sebenarnya kata koinos memiliki pengertian yang luas dalam berbagai kegiatan yang mengekspresikan adanya persekutuan, misalnya: rekan kerja dalam bisnis, 10 James Strong, Strong Exhausetive Concordance Greek Of New Testament (Amerika: Mott Media,

  1982), 22 11 12 Abineno. J. L. Ch, Melayani dan Beribadah di dalam Dunia (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1974), 44 Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 1988), 25 persahabatan dan ikatan perkawinan. Koinonia lebih menekankan kepada kehidupan bersama orang percaya sebagai Tubuh Kristus yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya

   karena memang merupakan satu kesatuan.

  

Sosial Politik

  Secara etimologi, kata politik berasal dari kata Yunani polis (πολίς) yang artinya

  

  “kota” atau “suatu komunitas” Kata polis inilah akar kata dari politiea (πολίΘείά), yang artinya: “negara, warga negara, kesejahteraan atau cara hidup yang baik.” Politik dalam perkembangannya selalu berubah-ubah dan senantiasa menyesuaikan dengan lembaga dimana politik itu dilaksanakan. Perkembagan-perkembangan ilmu politik

  

  Hal ini dikemukakan oleh Saut Sirait dalam kutipannya yang dikutip dari Goerge Sabine: “Sepanjang sejarah pemikiran politik arti perkataan tersebut selalu berubah dan arti itu bergantung dari lembaga-lembaga dengan mana cita-cita itu harus diwujudkan dan tergantung dari masyarakat dimana badan-badan itu

  

  menjalankan fungsinya.” Kehidupan politik akan sangat berkaitan erat dengan kehidupan sosial dimana kehidupan politik itu dilaksanakan, berubahnya sistem dan juga perilaku politik akan berbanding lurus dengan keadaan situasi sosial dalam masyarakat dimana politik itu dilaksanakan. Bukan saja kepada orang-orang yang terlibat secara langsung dalam sistem politik tersebut, namun juga kepada siapa saja yang ada dalam lingkup politik itu.

  Ruang Lingkup Sosial Politik Aspek sosial dan politik berkembang dalam kehidupan kelompok, masyarakat dan sampai kepada kehidupan bernegara. Kehidupan sosial berkembang mulai dari sebuah kelompok kecil yang kemudian berkembang sampai kepada tingkatan yang lebih luas. Di Indonesia sendiri, kita dapat melihat kehidupan sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang yakni sikap kebersamaan dan kerukunan yang terus diupayakan dan dijaga. Gotong royong sebagai suatu sistem politik yang berkembang dalam sistem sosial kemasyarakatan yang dibangun atas dasar kekeluargaan yang menjadi budaya bagi bangsa Indonesia. Dengan melihat hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup dari kehidupan sosial politik 14 15 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1982), 17 16 Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia-Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2011), 22 Ibid, 19-22

  bukan saja ada pada sistem kenegaraan semata, namun juga berada di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga gereja yang didalamnya juga merupakan bagian dari negara sudah selayaknya turut ambil bagian dalam menghidupi kehidupan sosial politik. Bukan hanya dalam bidang atau aspek kerohanian semata, namun juga dalam hal jasmani, kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.

  

Gereja dan Mandat Sosial Politik

  Gereja dituntut memiliki paradigma dan juga ketegasan dalam bernegara, gereja di Indonesia dituntut memiliki sikap dan tindakan untuk dapat turut ambil bagian dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan.

  Sejarah Gereja di Indonesia dimulai dengan hadirnya para bangsawan dari Eropa yang mengajarkan dan membawa kekristenan (katolik) ke Indonesia.Secara khusus di abad 16, ketika bangsa Portugis datang dengan semboyannya: cuius regio, eius religious (siapa punya

  

  negeri, dia punya agama Kemudian dilanjutkan oleh kolonial Hindia-Belanda yang menguasai Indonesia, mereka membawa dan menghadirkan “gereja/gospel” di Indonesia satu paket dengan gold dan glory.

  Dalam konteks gereja di Indonesia, sudah sangat jelas batasan hubungan gereja dengan negara. Posisi gereja bukan atau tidak berada pada sub-ordinasi atau underbow dari negara. Demikian sebaliknya.Gereja dan pemerintahan (negara) berada pada tempat yang sejajar. Artinya saling melengkapi, membantu, dan memberdayakan satu dengan yang lainnya.Sehingga negara dan bangsa menjadi sasaran yang harus dipertimbangkan dan diberdayakan dengan tri tugas gereja dalam mewujudkan kedamaian dan menyatakan kasih

19 Allah.

  Tujuan Keterlibatan Gereja dalam Sosial Politik

  

  a. Tujuan pelayanan/pembebasan. Dalam konteks sepeti ini, gereja terpanggil untuk dapat memberikan pelayanan dan atau pembebasan seperti yang Allah lakukan.

  Gereja perlu melayani dan memberikan pembebasan dalam mewujudkan keadilan dan hak-hak asasi manusia dalam lapangan kehidupan. Dalam aspek kehidupan agama, 18 pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah keterlibatan gereja 19 Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 20

Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2008), 267-268 dalam dunia pendidikan dimana memberikan hak kepada setiap warga negara untuk menikmati pendidikan sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31.

  b. Tujuan Misioner. Allah dalam Kristus memberikan mandat bagi setiap orang percaya, bagi gereja dengan Amanat AgungNya. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir

  

  zaman.” llah mau agar setiap gereja memberitakan kabar baik kepada seluruh bangsa yang antara lain diwujudkan dalam kehidupan sosial politik. Nabi Yeremia memberikan pesan kepada bangsa Israel ketika berada dalam pembuangan di Babel agar turut mengusahakan kesejahteraan kota dimana bangsa itu berada (Yer. 29:1-7 TB). Gereja dalam kehidupan bermasyarakat harus mampu menjadi pembawa dan mengusahakan kesejahteraan dimana gereja berada.

  c. TujuanKorektif. Tujuan dari korektif adalah untuk memberikan koreksi dan pengarahan kepada sesuatu yang benar. Tujuan ini akan dapat terlaksana apabila gereja sendiri mampu memperlihatkan kesaksian hidup yang baik dan benar. Kehadiran gereja dalam ranah sosial politik dapat memberikan garam dan membawa pengarahan ataupun penggembalaan yang benar. Tujuan korektif ini dapat diartikan sebagai tujuan dari penggembalaan yang penekanannya adalah menimbulkan kesadaran akan kasih Allah bagi mereka yang ingin berubah dan merasakan kasih Allah dalam hidupnya. Hal ini juga yang dilakukan Yesus semasa hidupnya ditengah- tengah bangsa Yahudi. Ia memberikan koreksi kepada pemimpin-pemimpin agama untuk dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah.

  d. Tujuan Normatif. Iman Kristen mengakui bahwa segala kuasa ada di tangan Kristus (Mat. 28:18 TB). Maka seharusnya kuasa apapun yang ada dalam dunia ini, seharusnya mengacu kepada kuasa Kristus yang adalah wujud keadilan dan cinta kasih Allah bagi manusia. Tujuan normatif bertujuan untuk menegakkan kebenaran ditengahkehidupan politik dengan mewujudkan keadilan dan kasih.

  e. Tujuan Edukatif. Tujuan edukatif lebih menekankan kepada pendidikan warga gereja untuk dapat memahami dan peduli mengenai tugas panggilannya di dunia. Gereja hadir untuk menggarami dan memberikan terang bagi seluruh umat manusiadan diharapkan akan mengarah kepada kehidupan yang lebih baik. Warga gereja adalah warga Kerajaan Allah yang ada dan hadir untuk mewujudkan kasih Allah.

  Isu Sosial Politik yang Berkembang Banyak hal yang berkembang menjadi isu yang perlu untuk dikaji dan diperhatikan, diantaranya adalah kehidupan masyarakat yang berada dalam kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan pendidikan, lapangan pekerjaan dan bahkan kesenjangan hak dalam beragama menjadi hal-hal yang layak mendapat perhatian khusus oleh gereja.

  Indonesia sebagai negara yang berkembang, banyak menghadapi masalah-masalah yang berkenaan dengan kesejahteraan dan juga kesenjangan-kesenjangan sosial dalam kemasyarakatan.Hal yang paling menonjol dalam permasalahan kehidupan sosial-politik di Indonesia adalah masalah pendidikan, kemiskinan, solidaritas, krisis ekologi, pluralitas

  

  Dalam kaitannya dengan tujuan dan tugas gereja untuk menyaksikan kasih Allah, gereja juga mendapat bagian dalam isu-isu yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat sosial politik. Bagaimana gereja turut ambil bagian dalam memberdayakan warga gerejanya untuk mengatasi kemiskinan dan solidaritas, menumbuhkan kerukunan dalam pluralitas dan juga keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat secara luas dalam kaitannya dengan kehidupan sosial politik yang terus berkembang.

  Masalah hubungan Gereja dan Negara dapat berjalan dengan baik apabila Gereja bisa menempatkan diri dalam bernegara, juga negara dapat melihat bahwa Gereja merupakan suatu bagian sosial dalam bermasyarakat dan bernegara. Gereja dapat melihat keburukan dan kebaikan yang dilakukan negara dan Gereja tidak boleh tertutup dengan masalah negara. Yang terpenting adalah Gereja tetap menjadi terang dan garam dunia untuk mencapai visi pelayanan. Artinya bahwa iman Kristen tidak menolak dan menentang adanya politik dalam kehidupan bernegara. Bahkan Yesus sendiri juga ada dan turut dalam kehidupan politik, Yesus menunjukkan tujuan yang jelas dalam keterlibatanNya di bidang politik, yakni untuk melakukan tujuan korektif kepada pihak yang ada dalam politik praktis.

  Gereja sebagai bentuk nyata dari kehidupan kekristenan dengan tri tugas gereja sebagai penyataan iman tidak akan pernah terlepas dari kehidupan secara praktis dalam masyarakat. Sirait mengatakan bahwa “hubungan iman dengan realitas menjadi sesuatu yang

  

  tidak dapat terpisahkan dari perspektif iman kristen.” Dengan kata lain, iman yang tanpa wujud nyata dalam relitas sama halnya dengan menghilangkan atau tidak ada wujud nyata 22 dari pelayanan, kesaksian dan bahkan iman itu sendiri.

  Zakaria J. Ngelow, Mendung di Timur dalam Struggling in Hope. ed. Ferdinand Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 671-682 Bagaimana Gereja di Kalimantan Barat Ambil bagian dalam masalah Sosial Politik Kegiatan politik dalam pandangan kaum awam dikatakan hanya urusan dari orang- orang yang berkecimpung dalam urusan tersebut. Sosial politik adalah urusan para anggota dewan, para wakil rakyat dan orang-orang yang masuk dalam kepemerintahan dan bukan

  

  urusan orang awa . Gereja sebagai sebuah organisasi dalam kehidupan masyarakat juga perlu untuk memahami kehidupan sosial politik dimana gereja itu berada. Artinya bahwa gereja harus memberikan pendidikan pemahaman kepada warganya untuk memahami dan tanggap terhadap isu-isu sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga setiap warga gereja mampu menghadapi perubahan dan tuntutan zaman, para pemimpin gereja semestinya dapat tanggap dan ambil bagian dalam kehidupan sosial politik, namun tidak

   berarti harus terlibat secara langsung dalam politik praktis.

  Menjadi pertanyaan penting bagi gereja adalah bagaimana gereja dapat menempatkan dirinya dalam menyikapi isu-isu sosial politik keagamaan yang seringkali menjadi permasalahan yang sangat pelik di Indonesia. Seringkali pemimpin-pemimpin gereja memandang persoalan-persoalan semacam ini sebagai hal diluar tanggung jawab gereja. Persinggungan dengan agama, menjadi suatu hal yang “sensitif” dalam pengambilan keputusan dalam gereja.

  Dari sekian banyak isu masalah sosial politik yang terjadi di Indonesia, isu yang penting disikapi adalah ketimpangan pendidikan. Dengan adanya pendidikan, seseorang akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan, akan mampu bersaing dengan kemajuan ilmu teknologi dan tuntutan perkembangan zaman. Dengan pendidikan, pola pikir dan karakter yang baik, seseorang akan dapat meminimalisir kesenjangan dari pluralitas budaya dan agama yang seringkali timbul.

  Menjadi sangat penting bagi gereja untuk dapat memberikan peranan dan bertindak dalam bidang ini. Bagaimana gereja sebagai suatu organisasi dalam masyarakat harus turut ambil bagian dalam mencerdaskan warganya. Pasal 31 UUD 1945 dengan sangat jelas menyatakan bahwa negara menjamin atas hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan baik dalam hal Ipteks, maupun juga dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan.

  Pertanyaan mendasar bagi gereja adalah; apa dan bagaimana seharusnya gereja 24 bertindak dan berperan dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia sebagai upaya untuk

  Rudi Haryadi, Wawancara oleh penulis, Plasma III – Ngabang, 21 September 2017 menyikapi isu-isu sosial politik yang berkembang di negara ini? Ngalim Purwanto menjelaskan bahwa melalui pendidikan, setiap warga negara dididik menjadi warga negara

  

  yang bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah airnya. endidikan juga merupakan sebuah upaya sadar untuk memperlengkapi, membimbing orang atau kelompok tersebut keluar dari satu tahapan hidup ke tahapan hidup lainnya yang lebih

  

  baik. ehingga gereja sebagai lembaga yang berorientasi kepada pembinaan mental dan karakter dengan tujuan agar setiap anggotanya memiliki kehidupan yang sesuai dengan Firman Allah, harus turut mengambil bagian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

  Berkenaan dengan isu sosial politik yang berkembang, masalah-masalah kependidikan dan kemiskinan yang sangat erat kaitannya, gereja selayaknya mengembangkan dan melaksanakan pelayanannya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia. Melalui pendidikan warga gereja yang kemudian dapat memberikan dampak yang positif bagi kalangan luas di masyarakat. Dalam mewujudkan tri tugas gereja, hal yang dapat dilakukan oleh gereja antara lain adalah dengan memfasilitasi ataupun melaksanakan program pendidikan melalui sekolah-sekolah, baik formal, nonformal dan informal.

  Sekolah- sekolah Kristen (lembaga pendidikan Kristen) adalah wahana yang paling strategis tidak saja dalam konteks pencerdasan kehidupan bangsa, tetapi juga dalam memperkenalkan membagikan serta mentransfer nilai-nilai kristiani kepada para peserta didik. Sekolah-sekolah merupakan ujung tombak

   .

  Dengan gereja menerapkan pendidikan bagi warga gerejanya, dan mengembangkan serta memberikan pelatihan dan bantuan/diakonia pendidikan hal ini akan menjadi awal untuk dapat mengembangkan dan memaksimalkan potensi masyarakat untuk dapat menghadapi isu kemiskinan. Dengan adanya lembaga pendidikan Kristen, maka gereja akan dapat secara langsung berinteraksi dan masuk dalam masyarakat untuk mewujudkan tri tugas pelayanan gereja.

  Sebagai lembaga yang “semi terpisah” dengan negara, gereja harus mendukung dan turut mengembangkan sumberdaya manusia di negara ini dengan turut ambil bagian mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini gereja dapat terlibat meningkatkan kualitas 26 manusia melalui peningkatan mutu guru. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta

  Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 19, 27 33.

  Alfius Areng Mutak, “Gereja dan Pendidikan Kristen”, Jurnal Theologia Aletheia, Volume 7 Nomor 12, Maret 2005, 13. meningkatkan kualitas manusia, kualitas guru harus terus ditingkatkan mutunya karena menentukan kualitas pendidikan. Menurut Simbolon, guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan nasional, sehingga guru haruslah seorang yang memiliki kualitas yang baik agar selalu siap melaksanakan proses pembelajaran

  

  Selain meningkatkan kualitas sumber daya manusia (guru pendidik, guru agama Kristen), gereja juga dapat memfasilitasi ataupun membuka sekolah-sekolah baik tingkat PAUD sampai Perguruan Tinggi sehingga guru yang telah dipersiapkan dapat menerapkan dalam kehidupan masyarakat dan turut dalam mengembangkan, mencerdaskan kehidupan bangsa secara luas dalam masyarakat.

  Mengapa hal ini sangat penting bagi gereja? Badan Pusat Statistik tahun 2016 memberikan data bahwa tingkat atau jumlah penduduk usia sekolah dalam kota dan desa

  

  masih sangat tinggi untuk jumlah penduduk yang tidak bersekolah lagi emakin naik kelompok usia, semakin naik juga angka tingkat pendidikan yang sudah tidak melanjutkan pendidikannya. Hal ini sudah barang tentu akan berdampak kepada kehidupan atau isu sosial lainnya. Pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan lain sebagainya. Melihat hal ini, gereja harus dapat memberikan pendidikan yang tepat guna dan mampu membawa masyarakat, warga gereja untuk semakin berkembang. Yewangoe mengatakan “Di Indonesia, baik di kalangan gereja Katolik maupun Reformasi, upaya untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai “Manusia Pembangun” adalah salah satu wujud pergumulan teologis gereja-gereja di

31 Indonesia” Dengan jiwa “Manusia Pembangun” dari hasil pendidikan yang tepat, maka kemiskinan, pengangguran dan bahkan kriminalitas akan dapat diminimalisir.

  Dalam konteks Propinsi Kalimantan Barat sendiri, kualitas pendidikan masih sangat minim. Kurang meratanya sistem pendidikan, faktor geografis dan tenaga pengajar menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat pendidikan di daerah ini. Dibeberapa desa yang ada hanya sekolah mini atau, hanya ada PAUD dan Sekolah Dasar saja, untuk tingkatan Sekolah Menengah, baik tingkat pertama (SMP) maupun tingkat atas (SMA/ Sederajat), para siswa harus menempuh pendidikan di desa/kota lain yang cukup jauh. 29 Dengan kondisi ini, sangat diperlukan peran gereja dalam masyarakat secara luas dalam turut

  O. Simbolon, “Strategi Pengembangan Sekolah Kristen Pada Era Tinggal Landas” dalam Weinata Sairin (Penyunting), Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara Konseptual dan 30 Operasional (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 54.

  Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2017, ed. Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik, 31 (Jakarta: Badan Pusat Statstik, 2017), 144-145.

  A.A. Yewangoe, Iman, Agama, dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. (Jakarta: BPK Gunung serta membangun daerah melalui pengembangan sumber daya manusia. Penyelesaian tersebut tidak dapat serta-merta dibebankan hanya pada pemerintah. Memang secara konstitusional persoalan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi secara moral ini adalah tanggungjawab semua warga negara. Gereja secara moral turut bertanggungjawab terhadap anak-anak yang putus sekolah yang jumlahnya masih sangat besar.Tanggungjawab sekolah Kristen dalam melengkapi anak didiknya diungkapkan

  

  oleh Arthur F. Holmes sebagaimana dikutip oleh Alfius Areng Mutak sebagai berikut:

  a. Kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya dalam bentuk talenta, karunia dan profesi.

  b. Wawasan baru bagi peserta didik, berkaitan dengan kemampuannya untuk secara efektif memanfaatkan waktu senggangnya demi kemuliaan Kristus.

  c. Pemahaman akan panggilan hidup sebagai warga negara yang bertanggungjawab.

  d. Dorongan-dorongan guna memungkinkan anak didik menjadi warga negara yang tangguh, serta memiliki pengetahuan tentang identitas dan peranan gereja dalam dunia ini.

  e. Wawasan-wawasan baru yang akan membantu anak didik dalam menghadapi dinamika perubahan dan tantangan jaman, serta bersikap kritis terhadap trend yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

  f. Membimbing anak didik agar dapat memiliki pandangan hidup yang menyeluruh, menyatu, dan yang dapat diandalkan dalam memainkan peranannya bagi pembangunan dan pembaharuan (transformasi) masyarakat

  

Kesimpulan

  Gereja sebagai wujudnyata keberadaan Allah di tengah dunia, masyarakat sosial dengan keberagaman kehidupan serta kesenjangan yang ada, seharusnyalah dapat mewujudnyatakan kasih Allah kepada dunia dalam masyarakat sosial politik.Dengan memberdayakan warganya untuk dapat turut ambil bagian dalam kehidupan sosial politik, membangun bangsa dimana Tuhan telah menempatkan. Mengembangkan dan memaksimalkan pendidikan untuk membentuk karakter yang benar dan berjiwa “pembangun” untuk membangun bangsanya, membangun negaranya, serta mensejahterakan kehidupan sosial politik dimana Tuhan menempatkan. Gereja-gereja atau dalam konteks Gereja di Kalimantan Barat harus memposisikan paradigmanya pada tahap semi terpisah atau

  

  transformasi seperti pendapat karena kehadiran gereja di masyarakat [negara] merupakan gambaran Kerajaan Allah yang turun ke dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

  Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2017, ed. Subdirektorat Publikasi dan Kompilasi Statistik, Jakarta: Badan Pusat Statstik, 2017

  Berkhof, Louis, Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja. Surabaya: Momentum, 2005 Borrong, Robert P., Etika Politik Kristen: serba-serbi politik praktis. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2006 Ch, Abineno. J. L., Melayani dan Beribadah di dalam Dunia. Jakarta: BPK. Gunung Mulia,

  1974 Erickson, Millard J., Teologi Kristen (Since 1983), Vol. 3 dari Baker Book House Company. Malang: Gandum Mas, 2014

  Gardner, Clinton, Biblical Faith and Social Ethics. New York: Harper and Row Publisher, 1960

  Hadiwijono, Harun, Iman Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1982 K, Moulton. H., The Analitical Greek Lexicon. Michigan: Zandervan Publishing Hause, 1978 Kruger, Muller, Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966 Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas. Pematang Siantar: L-SAPA, 2008 Mutak, Alfius Areng, “Gereja dan Pendidikan Kristen”, Jurnal Theologia Aletheia, Volume 7

  Nomor 12, Maret 2005 Ngelow, Zakaria J., Mendung di Timur dalam Struggling in Hope. ed. Ferdinand Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011

  Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011

  Simbolon, O., “Strategi Pengembangan Sekolah Kristen Pada Era Tinggal Landas” dalam Weinata Sairin (Penyunting), Identitas dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di

  Indonesia antara Konseptual dan Operasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia,

  2011 Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia-Suatu Tinjauan Etis. Jakarta:BPK Gunung

  Mulia,2011 Strong, James, Strong Exhausetive Concordance Greek Of New Testament. Amerika: Mott

  Media, 1982 Tomatala, Yakob, Penginjilan Masa Kini. Malang: Gandum Mas, 1988 Yewangoe, A.A., Iman, Agama, dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. (Jakarta: BPK Internet: . Wawancara: 1. Pdt. Akiong Epit, M.Pd.K, Ketua Sinode Gereja Protestan Kalimantan Barat.

  2. Pdt. Simban Katang, Gembala Jemaat Gereja Pemberita Injil (Gepembri) Pandan Sembuat.

  3. Rudy Haryadi, Majelis Jemaat Gereja Misi Injili Indonesia (GMII) Plasma III, Dusun Kelepuk – Ngabang, Kalimantan Barat.