Optimasi Deteksi Penyakit Huanglongbing pada Tanaman Jeruk Menggunakan Teknik Polymerase Chain Reaction

OPTIMASI DETEKSI PENYAKIT HUANGLONGBING
PADA TANAMAN JERUK MENGGUNAKAN TEKNIK
POLYMERASE CHAIN REACTION

NURISNA ULIA ULFAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi Deteksi
Penyakit Huanglongbing pada Tanaman Jeruk menggunakan Teknik Polymerase
Chain Reaction adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014

Nurisna Ulia Ulfah
NIM A34100032

ABSTRAK
NURISNA ULIA ULFAH. Optimasi Deteksi Penyakit Huanglongbing pada
Tanaman Jeruk Menggunakan Teknik Polymerase Chain Reaction. Dibimbing
oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN.
Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Penyakit Huanglongbing, atau di Indonesia dikenal sebagai citrus
vein phloem degeneration (CVPD), yang disebabkan oleh bakteri Liberobacter
asiaticus, menyebabkan kerugian yang besar pada produksi jeruk terutama di
beberapa negara Asia. Deteksi dan diagnosis penyakit tersebut berdasarkan gejala
seringkali kurang akurat karena memiliki kemiripan dengan gejala kekurangan
hara. Deteksi menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) telah banyak
dilaporkan memiliki akurasi dan sensitivitas tinggi untuk menentukan penyebab

penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengonfirmasi penyakit
huanglongbing berdasarkan gejala eksternal dan internal pada tanaman dan
menggunakan teknik PCR. Hasil identifikasi dan deteksi berdasarkan gejala
menunjukkan bahwa tanaman dengan daun bergejala klorosis tidak selalu disertai
dengan keberadaan patogen huanglongbing. Tanaman bergejala klorosis yang
positif terserang huanglongbing mengalami perubahan ukuran dan bentuk daun.
Ukuran daun menjadi lebih kecil dan lanset dibandingkan daun yang tidak
menunjukkan gejala klorosis. Hasil deteksi berdasarkan gejala internal melalui uji
akumulasi pati dalam jaringan floem menunjukkan konsistensi dengan hasil PCR.
Hasil optimasi deteksi menunjukkan bahwa metode yang paling efektif dan efisien
untuk menyediakan DNA templat PCR adalah modifikasi dari metode Dellaporta
et al. (1986) dengan konsentrasi bufer ekstraksi 2 kali. Setelah lama penyimpanan
2 minggu pada suhu 4 oC, daun jeruk yang berpenyakit huanglongbing masih
dapat dideteksi menggunakan PCR, walaupun intensitas pita DNA yang diperoleh
kurang konsisten pada ketiga ulangan. Cara penyimpanan contoh tanaman jeruk
yang paling optimal adalah penyimpanan pada suhu 4 oC, sedangkan
penyimpanan dalam bufer CTAB masih cukup memadai dalam mempertahankan
kualitas DNA untuk PCR.
Kata kunci: CVPD, deteksi, ekstraksi DNA, huanglongbing, PCR.


ABSTRACT
NURISNA ULIA ULFAH. Optimization of Detection for Huanglongbing Disease
on Citrus Using Polymerase Chain Reaction Technique. Supervised by KIKIN
HAMZAH MUTAQIN.
Citrus is an important horticultural commodity with high economic value in
many countries. Huanglongbing disease, or in Indonesia known as citrus vein
phloem degeneration caused by Liberobacter asiaticus bacterium, is a major
factor limiting citrus production in many Asian countries. The disease detection
and diagnosis solely based on its symptom is sometimes not reliable since it
resembles to those caused by nutrient deficiencies. Detection using polymerase
chain reaction is an accurate technique for many plant pathogens including the
huanglongbing causal agent. The research objectives are to observe
huanglongbing disease of citrus, based on external and internal symptoms, in
Bogor and to optimize PCR technique for detection of the pathogen. The disease
identification and detection based on the external symptom showed that there was
less specific character which correlated with pathogen presence in the sample.
Symptom of the infected plants is leaf discoloration and deformation. The leaves
showing symptoms of chlorosis, are smaller and more lancet than leaves without
chlorosis symptoms. The results of detection based on internal symptom showed
as starch accumulation in phloem are consistent with that of PCR. The

optimization of detection using PCR showed that the most effective and efficient
extraction method to obtain DNA template was a modification of Dellaporta et al.
(1986) with extraction buffer concentration at 2 times. After 2 weeks period of
storage treatment at 4 oC, Huanglongbing disease can still be detected by PCR,
but its DNA bands showed inconsistency among three replications. The most
optimum two weeks sample preservation is at 4 oC, whereas preservation with
CTAB buffer still maintain the sample to yield DNA template adequately for PCR

Keywords: CPVD, detection, DNA extraction, huanglongbing, PCR.

©Hak

Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI DETEKSI PENYAKIT HUANGLONGBING
PADA TANAMAN JERUK MENGGUNAKAN TEKNIK
POLYMERASE CHAIN REACTION

NURISNA ULIA ULFAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Optimasi Deteksi Penyakit Huanglongbing pada Tanaman Jeruk
Menggunakan Teknik Polymerase Chain Reaction
Nama
: Nurisna Ulia Ulfah
NIM
: A34100032

Disetujui oleh

Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan
judul Optimasi Deteksi Penyakit Huanglongbing pada Tanaman Jeruk
Menggunakan Teknik Polymerase Chain Reaction ini dilaksanakan dari bulan
September hingga Desember 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan, saran, dan
motivasi selama penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terimakasih juga
diberikan kepada Dr. Ir. Yayi M. Kusumah, MSi selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran selama proses penentuan
tugas akhir dan kegiatan belajar mengajar di Departemen Proteksi Tanaman.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir Sugeng Santoso, MAgr
selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak saran dalam proses
penulisan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Yunus pemilik pertanaman jeruk di Desa Situ Gede tempat penelitian
dilaksanakan. Ucapan teruma kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman
anggota laboratorium bakteriologi tumbuhan yaitu Kak Tatit S, Kak Mahardika,
Kak Nadzir, Ibu Indri, Imam Solikhin, dan Suci AK yang telah memberikan
bantuan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Departemen Proteksi

Tanaman angkatan 47, Almira PS, Esi Adliyah, Egi Puspitasari, Dayang Diani P,
Rian Andini, Endah Wahyuni, Bunga Aprillia, Nur Islamiah, dan Eniza Rukisti
atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.
Kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga yang telah mencurahkan kasih
sayang, doa, dan dukungan tiada henti selama ini, karya ini semoga menjadi
persembahan kecil dari ananda.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, April 2014
Nurisna Ulia Ulfah

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1

Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
BAHAN DAN METODE
4
Tempat dan Waktu Penelitian
4
Bahan dan Alat
4
Metode Penelitian
4
Pengamatan gejala eksternal penyakit huanglongbing
4
Pengambilan contoh tanaman
4
Pengamatan gejala internal melalui uji akumulasi pati
5
Perlakuan lama penyimpanan contoh tanaman
5

Perlakuan cara penyimpanan contoh tanaman
5
Ekstraksi DNA total menggunakan kit komersial untuk deteksi
awal dengan PCR
5
Metode ekstraksi untuk optimasi PCR
6
Amplifikasi DNA dengan PCR
7
Elektroforesis gel agarosa
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Gejala eksternal penyakit huanglongbing
9
Gejala internal akumulasi pati
12
Deteksi huanglongbing pada jeruk dengan tekhnik PCR melalui ekstraksi
DNA menggunakan kit komersial
13

Metode ekstraksi untuk optimasi PCR
18
Lama penyimpanan contoh tanaman
20
Cara penyimpanan contoh tanaman
22
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Tanaman jeruk bergejala klorosis (SGI-1 sampai 8) dan tanaman yang
tidak bergejala (SGI K)
Daun jeruk bergejala klorosis dari setiap tanaman contoh di lahan SGI
(SGI-1 sampai 8) dan dari tanaman yang tidak bergejala (SGI-K)
Daun jeruk bergejala dari beberapa lokasi di Indonesia
Penampang melintang tulang daun bergejala klorosis dari setiap
tanaman contoh di lahan SGI (SGI-1 sampai 8) dan dari tanaman yang
tidak bergejala (SGI-K)
DNA total hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA contoh daun jeruk sakit
huanglongbing
Hasil amplifikasi PCR terhadap pengenceran DNA contoh daun jeruk
sakit huanglongbing
DNA total hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA contoh daun jeruk sakit
huanglongbing
Hasil amplifikasi PCR terhadap pengenceran DNA contoh daun jeruk
sakit huanglongbing
DNA total hasil perlakuan optimasi metode ekstraksi
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA perlakuan optimasi metode
ekstraksi
Perkembangan daun jeruk yang tidak disimpan selama 2 minggu
DNA total hasil perlakuan lama penyimpanan
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA perlakuan lama penyimpanan
DNA total hasil perlakuan cara penyimpanan contoh tanaman
Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA perlakuan cara penyimpanan
contoh tanaman

9
10
11

13
14
14
15
16
16
17
18
18
20
21
21
22
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Larutan Iodin Kalium Iodida
27
Larutan-larutan penyangga
27
Rasio panjang dan lebar daun pada tanaman yang menunjukkan gejala
klorosis dan kontrol (tanaman tidak menunjukkan gejala klorosis)
27
Analisis ragam rasio daun pada tanaman yang menunjukkan gejala klorosis
dan kontrol (tanaman tidak menunjukkan gejala klorosis)
28
Analisis ragam panjang daun pada tanaman yang menunjukkan gejala
klorosis dan kontrol (tanaman tidak menunjukkan gejala klorosis)
28
Analisis ragam lebar daun pada tanaman yang menunjukkan gejala klorosis
dan kontrol (tanaman tidak menunjukkan gejala klorosis)
28

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura penting yang
dibudidayakan di Indonesia dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tahun
1998 sampai 2004 luas panen dan produksi buah jeruk di Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup pesat yaitu masing-masing 17.9% dan 22.4%. Pada tahun
2004, luas panen jeruk telah mencapai 70 000 ha dengan total produksi sebesar
1.6 juta ton, sekaligus menempatkan posisi Indonesia sebagai negara ke-13
penghasil utama jeruk dunia. Produktivitas usaha tani jeruk cukup tinggi, yaitu
berkisar 17 sampai 25 ton/ha dari potensi 25 sampai 40 ton/ha (Balitpang 2007).
Penyakit huanglongbing, atau dikenal sebagai citrus vein phloem
degeneration di Indonesia, merupakan faktor utama penyebab menurunnya
produksi jeruk di Asia (Bové 2006, Koizumi et al. 1996). Penyakit huanglongbing
telah dilaporkan di Cina pada tahun 1894, Afrika Selatan pada tahun 1965, India
pada tahun 1967, Filipina pada tahun 1967, dan Perancis pada tahun 1970.
Huanglongbing disepakati sebagai nama resmi penyakit tersebut pada tahun 1995
(Bové 2006). Nama lain untuk penyakit ini seperti citrus greening, yellow shoot,
leaf motle (Filipina), likubin atau decline (Taiwan), citrus dieback (India),
blotchy-mottle atau mottle disease (Afrika) (Bové 2006), dan citrus vein phloem
degeneration (CVPD, Indonesia) (Tirtawijaya 1964).
Huanglongbing menyebabkan kematian 60 juta pohon jeruk di Afrika dan
Asia (Timmer et al. 2003). Gejala penyakit huanglongbing berupa klorosis pada
daun, buah menjadi kecil, perkembangan buah tidak bulat simetris, warna
kehijauan, dan rasa pahit; di Asia umumnya tanaman dapat mengalami kematian
(Graca 2005). Penyebab penyakit huanglongbing pernah dianggap disebabkan
oleh virus hingga tahun 1960-an, MLO (Mycoplasma-like organisme) hingga
tahun 1970, dan penelitian pada tahun 1971 menyatakan bahwa penyebab
penyakit huanglongbing adalah bakteri (Bové 2006). Pada tahun 1994 analisis
PCR dilakukan untuk memastikan bahwa penyebab penyakit huanglongbing
adalah suatu bakteri gram negatif yang berada pada jaringan floem tanaman dan
diberi nama genus Liberobacter. Sampai saat ini bakteri tersebut belum dapat
dibiakkan pada medium buatan (Jagoueix et al. 1994). Spesies yang berada di
Asia, L. asiaticus, secara alami ditularkan oleh kutu loncat, Diaphorina citri
(Hemiptera:Liviidae) dengan sebaran geografi meliputi Cina, India, Asia
Tenggara, Saudi Arabia, Florida, dan Brazil. Spesies lain yang menyebabkan
penyakit huanglongbing yaitu L. Africanus oleh vektor Trioza erytreae
(Hemiptera:Triozidae) dengan sebaran geografi meliputi Afrika Timur dan
Selatan, Madagaskar, serta Saudi Arabia, dan L. americanus dengan vektor D.
citri yang tersebar di Brazil. Selain melalui vektor, penyakit huanglongbing dapat
ditularkan melalui penyambungan (Li 2005) dan tali puteri (Tirtawijaya 1964).
Analisis menggunakan PCR menunjukkan bahwa bakteri L. asiaticus
didistribusikan dalam jaringan kulit, tulang daun, akar, dan bagian buah dan
bunga, tetapi tidak dalam bagian endosperma dan embrio dari tanaman yang
terserang huanglongbing. Konsentrasi bakteri paling tinggi terdapat dalam bagian
tangkai buah. Bakteri Liberobacter ditranslokasikan secara sistemik dari bagian

2

tanaman yang pertama kali terinfeksi ke bagian tanaman lainnya (Tatineni et al.
2008).
Gejala penyakit huanglongbing secara umum sangat mirip seperti gejala
kekurangan hara (Timmer et al. 2003). Hal ini mengakibatkan sering terjadi
kekeliruan diagnosis penyakit, sehingga penanganan gangguan kesehatan tanaman
mengalami kesulitan. Penyakit ini sulit untuk didiagnosis secara akurat bila hanya
menggunakan cara konvensional. Amplifikasi menggunakan PCR merupakan
metode yang akurat dan sensitif untuk mendeteksi penyakit tersebut (Hung et al.
1999). Reaksi berantai polimerase atau Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah
suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen
nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan
tahun 1985 oleh Kary B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS
Corporation. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengonfirmasi penyakit
huanglongbing berdasarkan gejala pada daun tanaman jeruk dan deteksi yang
efisien menggunakan teknik molekuler.
Berbagai metode untuk mengekstrak DNA dari tanaman dalam upaya
deteksi penyakit tanaman menggunakan teknik PCR telah banyak dikembangkan,
termasuk untuk penyakit huanglongbing pada jeruk. Metode tersebut cukup
beragam dari yang rumit hingga sederhana, dengan penggunaan bahan dari yang
sedikit hingga banyak, baik yang konvensional maupun dalam bentuk kit
komersial. Kit komersial untuk ekstraksi DNA sangat praktis dan hasilnya
memuaskan namun masih terlalu mahal harganya, sehingga metode konvensional
masih tetap layak untuk digunakan. Metode ekstraksi konvensional umumnya
menggunakan alat, bahan dan tahap yang relatif banyak sehingga seringkali
hasilnya kurang konsisten dari kuantitas maupun kualitas. Metode ekstraksi yang
lebih praktis namun hasilnya baik sehingga tetap efektif untuk PCR diperlukan
untuk deteksi dan diagnosis patogen. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
dengan membandingkan dan modifikasi beberapa metode ekstraksi DNA tanaman
untuk mendapatkan metode yang paling efektif dan efisien dalam deteksi
menggunakan teknik PCR, namun tidak mengurangi kualitas DNA.
Contoh tanaman seringkali perlu dibawa atau dikirim ke laboratorium
pengujian yang jaraknya jauh atau memakan banyak waktu, padahal deteriorasi
jaringan tanaman seringkali terjadi secara cepat (Shivas & Beasley 1968).
Penanganan contoh tanaman yang akan diekstraksi DNA-nya untuk deteksi
menggunakan teknik PCR sering menghadapi kesulitan. Contoh tanaman dapat
busuk maupun rusak karena pengaruh mikroorganisme maupun pengaruh fisik
lainnya seperti suhu dan lama penyimpanan. Kerusakan atau deteriorasi contoh
tanaman sangat berpengaruh pada kualitas DNA contoh tersebut, sehingga deteksi
patogen yang berasosiasi pada jaringan tanaman menjadi sulit. Oleh karena itu
diperlukan penelitian untuk menentukan cara penyimpanan dan lama
penyimpanan contoh tanaman yang efektif dan efisien yang masih menghasilkan
DNA yang layak untuk deteksi menggunakan teknik PCR.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengonfirmasi penyakit huanglongbing
berdasarkan gejala eksternal dan internal pada tanaman, dan menggunakan teknik
PCR yang dioptimasi melalui metode ekstraksi DNA yang paling efektif dan
efisien, cara penyimpanan contoh tanaman yang tepat, serta menentukan waktu

3

penyimpanan contoh tanaman yang dapat mempertahankan kualitas DNA yang
diekstraksi dari contoh tanaman.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petugas karantina
tumbuhan, klinik tanaman, dan pengamat hama dan penyakit tanaman dengan
mempermudah deteksi penyakit huanglongbing berdasarkan gejala pada tanaman
maupun dengan teknik molekuler PCR. Selain itu, hasil penelitian ini dapat
diaplikasikan dalam kegiatan deteksi dan penanganan contoh tanaman untuk
penyakit lain.

4

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lahan jeruk
milik petani di Desa Situ Gede, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
September sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh daun jeruk
bergejala klorosis dari pertanaman jeruk milik petani di Desa Situ Gede, Qiagen
DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Hilden), tabung ependorf ukuran 1.5 ml dan 2
ml, nitrogen cair, asam laktat, iodin, kalium iodida, gelas preparat, bufer ekstraksi,
bufer CTAB 2%, bufer NaCl 5 M, bufer CTAB 10% dalam 0.7 M NaCl,
kloroform/isoamil alkohol (24:1 v/v), isopropanol, alkohol 70%, akuades,
puReTaq Ready-To-Go PCR beads (GE Health, Inggris), Primer forward OI,
Primer reverse OI2c, ddH2O, gel agarosa, bufer TAE 2X, etidium bromida, bufer
TAE 1X, marker 1 kbp, loading dye, dan parafilm.
Alat yang digunakan adalah mikroskop, mortar dan pistil, gunting, pipet
mikro, tip pipet, mikrosentrifus Mikro 200R Hettich Zentrifugen, ice box, water
bath, vortex mixer, freezer, GeneAMP PCR System 9700, perangkat
elektroforesis, transluminator UV.
Metode Penelitian
Pengamatan Gejala Eksternal Penyakit Huanglongbing
Pengamatan gejala penyakit huanglongbing dilakukan terhadap tanaman
dengan daun yang menunjukkan gejala klorosis di lahan milik petani di Desa Situ
Gede. Daun yang bergejala klorosis diukur panjang dan lebarnya untuk
mengetahui pengaruh keberadaan patogen terhadap bentuk daun, dan
dibandingkan dengan daun yang tidak menunjukkan gejala klorosis (kontrol).
Pengukuran dilakukan terhadap lima daun bergejala dari pucuk pada ranting yang
sama, dan diulang pada tiga ranting. Dari tanaman tersebut kemudian diambil
sejumlah contoh daun untuk diidentifikasi gejalanya dan dipotret dengan kamera
digital pada white box lighting system.
Pengambilan Contoh Tanaman
Contoh tanaman jeruk untuk pengujian dan perlakuan di laboratorium
diperoleh dari pertanaman jeruk milik petani di Desa Situ Gede, Bogor. Di
samping itu selain dari Bogor, beberapa contoh tanaman jeruk sakit untuk diuji
PCR juga diperoleh dari beberapa lokasi di Kabupaten Garut (Jawa Barat),
Kabupaten Malang (Jawa Timur) dan Kabupaten Pakpak Bharat (Sumatera
Utara). Contoh tanaman yang diambil berupa daun tanaman termasuk tangkai
daun dan ranting.

5

Pengamatan Gejala Internal melalui Pengujian Akumulasi Pati
Uji akumulasi pati yang dilakukan sesuai dengan metode Nordam (1973).
Daun muda dari tiap tanaman yang bergejala klorosis dan tanaman yang tidak
bergejala diambil dan digelapkan selama semalam pada suhu 4 oC. Daun
kemudian direbus dalam alkohol 70% pada suhu 80 oC hingga transparan. Daun
yang sudah transparan direndam dengan larutan Iodin-Kalium Iodida dalam asam
laktat selama 15 menit. Kemudian dibuat sayatan melintang dan diamati di bawah
mikroskop.
Perlakuan Lama Penyimpanan Contoh Tanaman
Perlakuan lama penyimpanan dilakukan dengan menyimpan contoh daun
jeruk yang terdeteksi positif terserang huanglongbing. Perlakuan lama
penyimpanan yang diberikan yaitu lama penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1
hari, 1 minggu, dan 2 minggu. Perlakuan penyimpanan bertingkat dilakukan
sebagai indikator, misalnya lama pengiriman contoh tanaman dari satu lokasi ke
lokasi lain. Selanjutnya contoh diekstraksi menggunakan metode yang paling
efektif dan efisien yang diperoleh dari hasil perlakuan metode ekstraksi. Dari
ketiga perlakuan lama penyimpan tersebut dapat diperoleh waktu penyimpanan
yang masih baik untuk mempertahankan kualitas DNA. Selanjutnya contoh
tanaman yang telah melalui lama penyimpanan berbeda ini diekstraksi DNA-nya
secara total untuk memperoleh templat DNA untuk PCR.
Perlakuan Cara Penyimpanan Contoh Tanaman
Perlakuan cara penyimpanan dilakukan dengan merendam contoh daun
jeruk yang sudah terdeteksi positif terserang huanglongbing. Perlakuan cara
penyimpanan yang diberikan yaitu perendaman menggunakan alkohol 70%,
perendaman menggunakan bufer CTAB 2%, dan penyimpanan pada suhu 4 oC.
Perlakuan cara penyimpanan dilakukan selama 2 minggu sebagai indikator lama
penyimpanan atau pengiriman contoh tanaman maksimal dari satu lokasi ke lokasi
lain. Selanjutnya contoh diekstraksi menggunakan metode terbaik yang diperoleh
dari hasil evaluasi metode ekstraksi. Dari ketiga perlakuan penyimpanan tersebut
dapat diperoleh cara penyimpanan contoh yang paling baik untuk
mempertahankan kualitas DNA. Alkohol 70% adalah bahan yang umum diperoleh
dan digunakan di laboratorium, bufer CTAB 2% sebagai salah satu bufer yang
umum digunakan dalam tahap ekstraksi DNA, sedangkan suhu 4 oC adalah suhu
refrigerator yang umum digunakan. Selanjutnya contoh tanaman setelah melalui
cara penyimpanan berbeda ini diekstraksi DNA-nya secara total untuk
memperoleh templat DNA untuk PCR.

Ekstraksi DNA Total menggunakan Kit Komersial untuk Deteksi Awal
dengan PCR
Ekstraksi DNA total dilakukan terhadap contoh segar dari lapangan yang
sudah dipisah berdasarkan lokasi dan asal tanaman, kemudian dilakukan
menggunakan Qiagen DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Hilden), dengan prosedur
yang sudah ditentukan sesuai petunjuk.
Dari contoh daun, diambil tulang daun utamanya dan ditimbang kurang
lebih 100 mg. Potongan tulang daun ditambahi nitrogen cair hingga membeku

6

selama 30 detik dalam mortar. Cairan nitrogen dibiarkan menguap, kemudian
ditambahkan 400 µl bufer AP1 dan 4 µl RNase A ke dalam potongan daun yang
membeku. Campuran digerus menggunakan pistil sampai berbentuk halus. Hasil
gerusan dipindahkan ke dalam tabung ependorf 1.5 ml. Suspensi diinkubasi pada
suhu 65 oC selama 10 menit. Selama proses inkubasi tabung dibolak-balik 2-3
kali. Sebanyak 130 µl bufer AP2 ditambahkan ke dalam lisat dan dicampur
dengan membolak-balik tabung. Lisat dalam tabung diinkubasi di es selama 5
menit. Lisat disentrifus 14 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan
dalam tabung Qiashredder Mini Spin column (yang berwarna lilac) yang
diletakkan di atas collection tube, dan disentrifus 14 000 rpm selama 2 menit.
Lisat dalam collection tube sebanyak 450 µl dipindahkan ke tabung yang baru.
Lisat ditambahi bufer AP3/E (AP3:ethanol 96%, 19:38 v/v), sebanyak 1.5 kali
volume dan dicampur merata. Sebanyak 650 µl lisat dipindahkan ke dalam
DNeasy Mini Spin column yang ditempatkan di atas collection tube 2 ml dan
disentrifus 8 000 rpm selama 1 menit. Lisat pada colection tube dibuang. Proses
tersebut diulangi kembali dengan sisa contoh yang masih tersedia. DNeasy Mini
Spin column dipindahkan ke dalam collection tube yang baru, ditambahkan 500 µl
bufer AW dan disentrifus 8 000 rpm selama 1 menit. Lisat yang terkumpul di
collection tube dibuang. Collection tube digunakan kembali, 500 µl bufer AW
ditambahkan ke DNeasy Mini Spin column dan disentrifus 14 000 rpm selama 2
menit. DNeasy Mini Spin column dipindahkan ke tabung ependorf 1.5 ml, dan 100
µl bufer AE ditambahkan ke bagian membran DNeasy dengan pipet secara tegak
lurus. Campuran diinkubasi pada suhu ruangan (15 sampai 25 oC) selama 5 menit.
Kemudian disentrifus 8.000 rpm selama 1 menit. Isolat DNA dapat langsung
digunakan pada proses PCR, atau disimpan dalam freezer.
Metode Ekstraksi untuk Optimasi PCR
Metode yang dilakukan untuk ekstraksi DNA total dalam optimasi PCR
terdiri atas empat metode berikut dan modifikasinya. Modifikasi terutama
ditujukan agar ekstraksi dapat dilakukan dalam skala kecil, yaitu untuk contoh
tanaman sebanyak 250 mg.
(1) Metode Hung et al. (1999): Tulang daun sebanyak 0.25 g dipotong kecil dan
digerus dengan ditambahkan 1.5 ml bufer ekstraksi. Suspensi diinkubasi pada
suhu 55 oC selama 1 jam, dan disentrifus pada 6 000 rpm selama 5 menit.
Supernatan dipindahkan ke tabung baru, kemudian ditambahkan 0.125
volume dari 5 M NaCl dan CTAB 10% dalam 0.7 M NaCl. Campuran
diinkubasi pada 65 oC selama 10 menit dan diekstrak dua kali menggunakan
kloroform/isoamil alkohol (24:1). Suspensi dicampurkan selama 15 menit.
Kemudian disentrifus pada 13 000 rpm selama 5 menit. Suspensi DNA pada
lapisan epifase dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan 0.6 volume
isopropanol dingin. Suspensi diinkubasi pada suhu 4 oC selama minimal 3
jam, kemudian sentrifus pada 12 000 rpm selama 10 menit. Pelet dicuci
mengunakan alkohol 70% sebanyak 200 µl, dikeringkan semalaman, dan
diresuspensi menggunakan 25 µl air steril.
(2) Metode Nakashima et al. (1996): Tulang daun sebanyak 0.25 g yang sudah
dipotong ditambahkan larutan CTAB, vortex dua kali selama 5 menit,
kemudian sap dipindahkan pada tabung baru. Suspensi ditambahkan
kloroform/isoamil alkohol (24:1) dengan volume setara, dan dicampur dengan

7

hati-hati selama 15 menit. Sentrifus pada 12 000 rpm selama 5 menit.
Suspensi DNA pada lapisan epifase dipindahkan pada tabung baru, dan
diendapkan dengan menambahkan isopropanol dingin sebanyak 0.7 volume.
Suspensi diinkubasi pada suhu 4 oC selama minimal 3 jam. Sentrifus pada 12
000 rpm selama 5 menit, pelet dikeringkan semalaman dan diresuspensi
dengan 25 µl air steril.
(3) Metode Dellaporta et al. (1983) BE 1X: Tulang daun sebanyak 0.25 g
dipotong-potong, kemudian direndam dengan 1.5 ml bufer ekstraksi dingin
konsentrasi 1X dalam mortar selama 15 menit agar terjadi plasmolisis.
Selanjutnya digerus dengan pistil. Hasil gerusan disentrifus 3 000 rpm selama
5 menit, 4 oC. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan disentrifus 12 000
rpm pada 4 oC selama 25 menit. Supernatan dibuang dan endapan
diresuspensi dengan 1 ml bufer CTAB 60 oC. Suspensi dipindahkan ke
tabung ependorf dan diinkubasi pada 60 oC selama 30 menit. Selama inkubasi,
tabung digoyang hati-hati beberapa kali. Suspensi ditambah 0.8 ml
kloroform/isoamil alkohol (24:1 v/v). Suspensi dicampurkan hati-hati dan
disentrifus 13 000 rpm selama 5 menit. Suspensi DNA pada lapisan epifase
dipindahkan ke tabung ependorf baru dan dipresipitasi dengan isopropanol
dingin (-20 oC) dengan volume yang setara dan diinkubasi selama minimum 3
jam. Suspensi disentrifus 13 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang
dan endapan DNA dicuci dua kali dengan 200 µl alkohol 70% dingin (-20 oC)
dan disentrifus 13 000 rpm selama 2 menit. Alkohol dibuang dan endapan
DNA dikeringkan selama 24 jam. DNA diresuspensikan dengan akuades
steril 50 l. Pemilihan ketiga metode tersebut berdasarkan tiga metode
ekstraksi yang paling optimal menurut pengujian yang dilakukan oleh
Ruangwong dan Akarampisan (2006).
(4) Dellaporta et al. (1983) BE 2X: Cara ekstraksi yang digunakan sama dengan
modifikasi Dellaporta et al. (1983) tersebut di atas (Metode 3), hanya saja
menggunakan bufer ekstraksi dengan konsentrasi 2 kali.
Amplifikasi DNA dengan PCR
Untuk melakukan amplifikasi satu contoh menggunakan teknik PCR
dibutuhkan PCR beads, primer forward OI 1 µl (5’-GCG CGT ATG CAA TAC
GAG CGG CA-3’), primer reverse OI2c 1 µl (5’-GCC TCG CGA CTT CGC
AAC CCA T.-3’) (Jagoeuix et al. 1994), ddH2O 9.5 µl, dan template (DNA hasil
diekstraksi) 1 µl. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Gene
AMP PCR System 9700. Kondisi PCR yang digunakan adalah: denaturasi awal 92
o
C selama 2 menit, denaturasi pada 94 oC selama 1 menit, annealing pada 55 oC
selama 30 detik, ekstensi pada 72 oC selama 1 menit, ekstensi akhir pada 72 oC
selama 10 menit, dan diakhiridengan suhu 4 oC. Tahap berurutan denaturasi,
annealing dan ekstensi diulang sebanyak 40 kali.
Elektroforesis Gel Agarosa
DNA hasil amplifikasi PCR masing-masing sebanyak 5 µl, yang
sebelumnya ditambahkan loading dye 1 µl, dielektroforesis dalam gel agarosa 1%
(mengandung etidium bromida, dalam bufer TAE 2X), 75 Volt DC selama 25
menit. Elektroforesis dilakukan dengan alat elektroforesis horizontal. Untuk
memperkirakan ukuran DNA digunakan marker 1 Kbp (Thermo Scientific, USA).

8

Pita DNA yang terbentuk hasil elektroforesis diamati di atas transilluminator UV
dan selanjutnya dipotret.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Eksternal Penyakit Huanglongbing
Pengamatan tanaman bergejala dilakukan di pertanaman jeruk milik petani
di Desa Situ Gede, Bogor. Sebanyak delapan tanaman bergejala klorosis yang
diduga terserang huanglongbing diamati daun dan tajuk tanamannya, kemudian
dibandingkan dengan tanaman yang tidak menunjukkan gejala klorosis (Gambar
1).

SGI K

SGI-1

SGI-2

SGI-3

SGI-4

SGI-5

SGI-6
SGI-7
SGI-8
Gambar 1 Tanaman jeruk bergejala klorosis (SGI-1 sampai 8) dan tanaman yang
tidak bergejala (SGI K)

10

Tanaman bergejala dengan dugaan penyakit huanglongbing di lapangan
memiliki tajuk yang kurang rimbun dan cenderung menyempit secara vetikal,
dengan daun berwarna kekuningan kusam dan berukuran lebih kecil secara nyata
dibandingkan dengan tanaman yang tidak bergejala. Gejala tersebut menyerupai
gejala kekurangan hara. Gejala kekurangan hara seperti Fe dan Zn akan
mempengaruhi tajuk tanaman jeruk. Gejala kekurangan unsur mikro Fe pada
tanaman jeruk berupa pengurangan ukuran tajuk, karena daun menjadi kecil dan
lebih cepat gugur. Gejala kekurangan Zn dapat juga menyebabkan tajuk tanaman
menjadi lebih kecil karena daun yang menjadi menjadi kecil, runcing, dan tegak
(Zekri & Obreza 2002).

SGI K

SGI-1

SGI-2

SGI-3

SGI-4

SGI-5

SGI-6

SGI-7

SGI-8
Gambar 2 Daun jeruk bergejala klorosis dari setiap tanaman contoh di lahan SGI
(SGI-1 sampai 8) dan dari tanaman yang tidak bergejala (SGI-K)

11

PPB-a

PPB-b

PPB-c

SGA-a

SGA-b

SGI-a

SGI-b

MLG-a

Gambar 3 Daun jeruk bergejala dari beberapa lokasi di Indonesia
Keterangan: PPB= Pakpak Bharat, Sumatera Utara; SGA= Situ Gede lokasi 1,
Bogor, Jawa Barat; SGI= Situ Gede lokasi 2, Bogor; MLG= Malang, Jawa Timur

Hasil pengamatan pada daun menunjukkan bahwa tanaman yang diduga
terserang huanglongbing memiliki daun berwarna kekuningan (klorosis), dengan
bagian tulang daun berwarna hijau dan mengalami penebalan. Daun juga
mengalami deformasi bila dibandingkan dengan daun dari tanaman yang tidak
bergejala (Gambar 2).
Pengamatan gejala pada daun juga dilakukan terhadap beberapa contoh
daun bergejala dari beberapa lokasi yang berbeda. Gambar 3 menunjukkan bahwa
gejala klorosis dengan penebalan tulang daun juga terdapat pada contoh-contoh
daun, kecuali daun dengan kode SGI-b yang tidak mengalami penebalan pada
tulang daun, dan MLG-a dengan gejala klorosis dari ujung daun. Gejala klorosis
pada daun menyerupai gejala kekurangan hara. Kekurangan unsur Fe, Zn, dan
Mn pada tanaman jeruk akan mengakibatkan gejala klorosis. Kekurangan unsur
Fe ditandai dengan warna daun kuning keputihan, dengan pertulangan daun yang
lebih hijau dari bagian lainnya. Kekurangan unsur Zn ditandai dengan klorosis

12

diantara pertulangan daun, sedangkan bagian pertulangan daun dan sekitarnya
berwarna hijau. Kekurangan unsur Mn juga ditandai dengan klorosis di sekitar
pertulangan daun yang hijau tua (Zekri & Obreza 2002). Menurut Smith et al.
(1950) tanaman jeruk yang kekurangan hara memiliki gejala klorosis pada daun.
Daun jeruk yang mengalami klorosis memiliki kandungan N, P, K, dan Na yang
tinggi, sedangkan kandungan Ca, Mg, Fe, Cu, Mn, dan B yang lebih rendah
dibandingkan daun yang tidak mengalami klorosis.
Tabel 1 Panjang dan lebar daun dari tanaman jeruk sehat dan yang bergejala
penyakit huanglongbing
Contoh Tanaman
Tidak bergejala (Kontrol)
SGI-1 (Situgede 1)
SGI-2 (Situgede 2)
SGI-3 (Situgede 3)
SGI-4 (Situgede 4)
SGI-5 (Situgede 5)
SGI-6 (Situgede 6)
SGI-7 (Situgede 7)
SGI-8 (Situgede 8)
a

Panjang
(cm)
6.3
a
3.0
c
4.0
bc
4.4
b
3.3
bc
3.9
bc
3.6
bc
3.7
bc
4.0
bc

Ukuran daun a
Lebar
Rasio
(cm)
Panjang:Lebar
3.1 a
2.0
c
1.4 c
2.1
bc
1.7 bc
2.4
a
2.1 b
2.1
bc
1.5 bc
2.2
abc
1.7 bc
2.3
abc
1.5 c
2.4
ab
1.6 c
2.4
ab
1.7 bc
2.3
abc

Huruf berbeda yang mengikuti angka pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan nyata
dengan Uji Berganda Duncan pada taraf 5%.

Hasil pengukuran daun (Tabel 1) pada tanaman bergejala di lahan petani di
Desa Situ Gede menunjukkan bahwa kedelapan contoh tanaman bergejala
memiliki ukuran panjang dan lebar daun yang secara nyata lebih kecil daripada
tanaman yang tidak bergejala (kontrol). Rasio panjang dan lebar daun
menunjukkan tingkat kelansetan daun. Semakin tinggi nilai rasio panjang dan
lebar menunjukkan bahwa daun semakin lanset. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa rasio ukuran daun pada kedelapan tanaman bergejala lebih besar secara
nyata dari tanaman kontrol, meskipun hasil analisis statistik menunjukkan antara
kontrol, SGI-1, SGI-3, SGI-4, SGI-5 dan SGI-8 tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan selain klorosis dan penebalan tulang daun terdapat gejala berupa
perubahan bentuk daun menjadi lebih lanset.
Gejala Internal Akumulasi Pati
Hasil uji akumulasi pati menggunakan metode Noordam (1973) kemudian
diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100X. Bagian yang diamati yaitu
pada tulang daun.

13

SGI K

SGI-1

SGI-2

SGI-3

SGI-4

SGI-5

SGI-8
SGI-6
SGI-7
Gambar 4 Penampang melintang tulang daun jeruk bergejala klorosis dari setiap
tanaman contoh di lahan SGI (SGI-1 sampai 8) dan dari tanaman yang
tidak bergejala (SGI-K)
Contoh daun yang menunjukkan akumulasi pati berupa butiran-butiran
berwarna biru gelap pada jaringan floem dari bagian tulang daun yaitu contoh
daun dengan kode SGI-1, SGI-2, SGI-4, SGI-5, SGI-6, SGI-7, dan SGI-8. Contoh
daun dengan kode SGI-K dan SGI-3 tidak menunjukkan akumulasi pati.
Akumulasi pati terutama terjadi pada bagian floem tulang daun, dan menyebar
pada bagian lainnya seperti pada jaringan parenkim bunga karang.
Deteksi Huanglongbing pada Jeruk dengan PCR melalui Ekstraksi DNA
menggunakan Kit Komersial
Contoh tanaman bergejala klorosis yang diperoleh dari lapang kemudian
dilakukan deteksi menggunakan kit komersial. Metode deteksi menggunakan kit
komersial dianggap sebagai cara yang praktis dengan hasil yang akurat. Hasil
ekstraksi DNA total menggunakan kit komersial selanjutnya digunakan sebagai
kontrol positif untuk optimasi. Hasil ekstraksi DNA total kemudian
dielektroforesis dan divisualisasi menggunakan transluminator UV.

SGI-8

SGI-7

SGI-6

SGI-5

SGI-4

SGI-3

SGI-2

SGI-1

14

Gambar 5 DNA total hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy

Kontrol -

SGI-8

SGI-7

SGI-6

SGI-5

SGI-4

SGI-3

SGI-2

SGI-1

Kontrol +

M

Keterangan: M = marker 1 kbp, SGI-1 sampai SGI-8 = contoh tanaman dari Situ
Gede nomor 1 sampai 8

1500 pb
1160 pb
1000 pb

Gambar 6 Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA contoh daun jeruk sakit
huanglongbing
Keterangan: M = marker 1 kbp, SGI-1 sampai SGI-8 = contoh tanaman dari
Situgede nomor 1 sampai 8, kontrol + = tanaman terdeteksi huanglongbing (HLB),
kontrol - = air bidestilata steril

Hasil amplifikasi menggunakan PCR dengan ekstraksi menggunakan kit
komersial menunjukkan bahwa tanaman yang positif terserang huanglongbing
adalah tanaman dengan kode SGI-1, SGI-2, SGI-4, SGI-5, dan SGI-6 (Gambar 6).
Tanaman yang positif terserang patogen huanglongbing menunjukkan pita DNA
pada 1160 pb. Hasil elektroforesis pada kedelapan hasil ekstraksi DNA total
menunjukkan pita DNA yang tipis pada contoh tanaman dengan kode SGI-4, SGI5, SGI-6, SGI-7, dan SGI-8 (Gambar 5). Hasil ekstraksi DNA total yang tidak
menunjukkan pita DNA berukuran 1160 pb pada hasil PCR kemudian dilakukan
pengenceran berseri pada 10-1 dan 10-2 dan diamplifikasi PCR ulang.

Kontrol -

SGI-8-10-2

SGI-8-10-1

SGI-7-10-2

SGI-7-10-1

SGI-3-10-2

SGI-3-10-1

Kontrol (+)10-2

Kontrol (+)10-1

Kontrol (+)100

M

15

1500 pb
1160 pb
1000 pb

Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR terhadap pengenceran DNA contoh daun jeruk
sakit huanglongbing
Keterangan: M = marker 1 kbp, SGI-3, SGI-7, SGI-8 = contoh tanaman dari Situ
Gede yang sebelumnya terdeteksi negatif dengan perlakuan pengenceran 10 -1 dan
10-2, kontrol + = tanaman terdeteksi HLB, kontrol - = air bidestilata steril

Hasil pengenceran ekstraksi DNA total menunjukkan contoh tanaman
dengan kode SGI-7 dan SGI-8 juga menghasilkan pita DNA pada 1160 pb
(Gambar 7). Hal ini menunjukkan perlakuan pengenceran dapat digunakan untuk
konfirmasi deteksi menggunakan PCR. Contoh yang sebelumnya menunjukkan
hasil negatif dapat disebut negatif palsu (false negative) kemungkinan disebabkan
oleh adanya inhibitor pada hasil ekstraksi DNA total, sehingga amplifikasi PCR
tidak dapat maksimal. Dengan pengenceran konsentrasi inhibitor menjadi tidak
lagi berpengaruh sementara DNA masih dalam kisaran yang dapat diamplifikasi.
Menurut Kreder (1995) beberapa inhibitor yang dapat mempengaruhi amplifikasi
DNA meliputi EDTA, NaCl, sodium dodesil sulfat, atau Triton X-100. Menurut
Dube (2014) kondisi elektroforesis yang tidak sesuai, seperti bufer dan suhu
selama elektroforesis, juga dapat menimbulkan keganjilan pada hasil visualisasi.
Besseti (2007) juga menyatakan bahwa inhibitor pada tanaman seperti
polisakarida dapat menyebabkan berkurangnya hasil bahkan kegagalan deteksi.
Hasil deteksi menggunakan PCR menunjukkan bahwa tujuh dari delapan tanaman
bergejala klorosis positif terserang huanglongbing.

MLG-a

SGI-b

SGI-a

SGA-b

SGA-a

PPB-c

M

PPB-a

PPB-b

16

Gambar 8 DNA total hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy pada
elektroforesis gel agarosa 1%

Kontrol (-)

MLG-a

SGI-b

SGI-a

SGA-b

SGA-a

PPB-c

PPB-b

PPB-a

Kontrol (+)

M

Keterangan: M = marker 1 kbp;PPB-a, PPB-b, PPb-c= contoh tanaman dari
Pakpak Bharat, kode a, b, dan c; SGA-a dan SGA-b= contoh tanaman dari Situ
Gede lokasi 1, Bogor kode a dan b; SGI-a dan SGI-b=contoh tanaman dari Situ
Gede lokasi 2, Bogor kode a dan b; MLG-a= contoh tanaman dari Malang kode a

1500 pb
1160 pb
1000 pb

Gambar 9

Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA contoh daun jeruk sakit
huanglongbing
Keterangan: M = marker 1 kbp;PPB-a, PPB-b, PPb-c= contoh tanaman dari Pakpak
Bharat kode a, b, dan c; SGA-a dan SGA-b= contoh tanaman dari Situ Gede lokasi
1, Bogor kode a dan b; SGI-a dan SGI-b=contoh tanaman dari Situ Gede lokasi 2,
Bogor kode a dan b; MLG-a= contoh tanaman dari Malang kode a; kontrol + =
tanaman terdeteksi HLB; kontrol - = air bidestilata steril

Hasil deteksi pada contoh daun bergejala dari beberapa lokasi menunjukkan
bahwa tanaman yang positif terserang huanglongbing adalah tanaman dengan
kode SGI-a dan SGI-b (Gambar 9). Sedangkan hasil elektroforesis hasil ekstraksi
DNA total menunjukkan smear tipis pada kedelapan contoh, tanpa garis pita

17

Kontrol (-)

MLG-a 10-2

MLG-a 10-1

SGA-b 10-2

SGA-b 10-1

SGA-a 10-2

SGA-a 10-1

PPB-c 10-2

PPB-c 10-1

PPB-b 10-2

PPB-b 10-1

PPB-a 10-2

PPB-a 10-1

Kontrol (+)10-2

Kontrol (+)10-1

Kontrol (+)100

M

DNA. Untuk mengonfirmasi deteksi, dilakukan pengenceran pada hasil ekstraksi
DNA total yang menunjukkan hasil negatif.

1500 pb
1160 pb
1000 pb

Gambar 10 Hasil amplifikasi PCR terhadap pengenceran DNA contoh daun jeruk
sakit huanglongbing
Keterangan: M = marker 1 kbp;PPB-a, PPB-b, PPb-c= contoh tanaman dari PhakPhak, Medan kode a, b, dan c; SGA-a dan SGA-b= contoh tanaman dari Situ Gede
lokasi 1, Bogor kode a dan b; MLG-a= contoh tanaman dari Malang kode a, yang
sebelumnya terdeteksi negatif dengan perlakuan pengenceran 10 -1 dan 10-2; kontrol
+ = tanaman terdeteksi HLB; kontrol - = air bidestilata steril

Hasil amplifikasi pengenceran DNA contoh dengan kode MLG-a pada
kedua pengenceran menghasilkan pita DNA pada 1160 pb (Gambar 10). Sehingga
dari delapan contoh daun yang diperoleh dari beberapa lokasi, tanaman yang
terserang huanglongbing adalah tanaman yang diperoleh dari lahan di Desa Situ
Gede, Bogor lokasi 2 dan Malang.
Hasil deteksi PCR kemudian dikorelasikan dengan gejala penyakit
huanglongbing pada daun maupun keseluruhan tajuk tanaman. Pada deteksi
pertama, daun yang mengalami klorosis dengan tulang daun yang menebal dan
berwarna hijau pada Gambar 2 hampir seluruhnya positif terserang huanglongbing
(Gambar 6 dan Gambar 7). Tajuk tanaman tidak rimbun dengan gejala
menyerupai kekurangan hara (Gambar 1). Sedangkan berdasarkan pengamatan
ukuran daun pada Tabel 1, semua tanaman yang menunjukkan gejala
huanglongbing mengalami perubahan ukuran daun. Hanya tanaman dengan kode
SGI-3 yang mengalami deformasi daun, namun terdeteksi negatif.
Hasil deteksi contoh daun dari beberapa lokasi menunjukkan bahwa tidak
semua daun dengan gejala klorosis dan penebalan tulang daun terdeteksi positif
huanglongbing (Gambar 3, Gambar 9, dan Gambar 10). Contoh daun dengan
klorosis merata hingga ke tulang daun (SGI-b) dan klorosis yang dimulai dari
ujung daun (MLG-a) terdeteksi positif, sedangkan contoh daun lain tidak. Hal ini
membuktikan bahwa bentuk gejala eksternal tidak selalu berkorelasi dengan
keberadaan patogen penyebab penyakit huanglongbing di tanaman jeruk.

18

Hasil pengujian gejala internal menunjukkan konsistensi antara keberadaan
akumulasi pati di jaringan floem tanaman dengan hasil deteksi menggunakan
PCR. Tanaman yang terdeteksi positif terserang huanglongbing dengan deteksi
PCR menunjukkan akumulasi pati pada jaringan floem tulang daun (Gambar 4,
Gambar 6, dan Gambar 7). Daun dari tanaman yang terserang huanglongbing akan
menunjukkan akumulasi pati (Tirtawijaya 1964). Menurut Carmi dan Shomer
(1979) akumulasi pati berkaitan dengan kerusakan, perubahan bentuk, dan
disorientasi pada grana dan tilakoid di kloroplas. Dari 8 tanaman yang
menunjukkan gejala klorosis, 7 tanaman positif terdeteksi huanglongbing
sedangkan 1 tanaman negatif. Dengan kata lain 87.5% tanaman bergejala klorosis
di lahan Situ Gede, positif terdeteksi huanglongbing menggunakan teknik PCR.
Metode Ekstraksi untuk Optimasi PCR
Perlakuan metode ekstraksi dilakukan terhadap contoh tanaman yang sudah
terdeteksi positif huanglongbing. Contoh tanaman yang digunakan yaitu SGI-1.
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12

Gambar 11 DNA total hasil perlakuan optimasi metode ekstraksi
Keterangan: perlakuan metode ekstraksi modifikasi metode Hung et al. (1999) dengan
tulang daun (1, 2) dan ranting (3), modifikasi metode Nakashima et al. (1995) dengan
tulang daun (4, 5) dan ranting (6), modifikasi metode Dellaporta et al. (1983) bufer
ekstraksi 1 X dengan tulang daun (7, 8) dan ranting (9), modifikasi metode Dellaporta
et al. (1983) bufer ekstraksi 2 X dengan tulang daun (10, 11) dan ranting (12)

K+ 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11 12

K-

Gambar 12 Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA perlakuan optimasi metode
ekstraksi

19

Keterangan: hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy (K+), modifikasi
metode Hung et al. (1999) tulang daun (1,2) dan ranting (3), modifikasi metode
Nakashima et al. (1995) tulang daun (4,5) dan ranting (6), modifikasi metode
Dellaporta et al. (1983) bufer ekstraksi 1X tulang daun (7,8) dan ranting (9),
modifikasi metode Dellaporta et al. (1983) bufer ekstraksi 2X tulang daun (10,11)
dan ranting (12), air bidestilata steril (K-)

Elektroforesis DNA total hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pita DNA
nampak tipis dan smear pada semua perlakuan metode ekstraksi. Pita DNA tipis
terlihat pada perlakuan modifikasi dari metode Nakashima et al. (1995) dan
metode Dellaporta et al. (1986) dengan konsentrasi bufer ekstraksi 2X (Gambar
11). Hasil amplifikasi perlakuan metode ekstraksi menunjukkan bahwa pita DNA
dapat terlihat jelas pada 1160 pb dengan perlakuan modifikasi dari metode
Dellaporta et al. 1983. Perlakuan metode Dellaporta et al. (1983) dengan
konsentrasi bufer ekstraksi 2X menunjukkan hasil yang lebih jelas daripada
metode Dellaporta et al. (1983) dengan konsentrasi bufer ekstraksi 1X. Modifikasi
metode Nakashima et al. (1995) menunjukkan pita DNA yang sangat tipis,
sedangkan modifikasi dari metode Hung et al. (1999) tidak menunjukkan pita
DNA (Gambar 12).

20

Lama Penyimpanan Contoh Tanaman
Daun jeruk dari lahan yang sama disimpan pada suhu ruang selama 2
minggu untuk melihat perkembangan morfologinya.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 13 Perkembangan daun jeruk yang disimpan pada suhu ruang selama 2
minggu
Keterangan: Nomor 1 sampai 14= perkembangan dari hari ke-1 sampai ke-14

Daun yang dibiarkan dalam suhu ruang selama 14 hari akan rusak dan
kering seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Daun mulai mengalami layu
dan menggulung pada hari pertama, kemudian mengering pada hari kesembilan.

21

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Gambar 14 DNA total hasil perlakuan lama penyimpanan
Keterangan: Perlakuan lama simpan 1 hari dengan tulang daun (1, 2) dan ranting
(3), 1 minggu dengan tulang daun (4, 5) dan ranting (6), 2 minggu dengan tulang
daun (7, 8) dan ranting (9)

K+ 1

2

3

4

5

6

7

8

9

K-

Gambar 15 Hasil amplifikasi PCR terhadap contoh tanaman dengan perlakuan
berbagai lama penyimpanan pada suhu 4 C
Keterangan: Hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy (K+), perlakuan lama
simpan 1 hari dengan tulang daun (1, 2) dan ranting (3), 1 minggu dengan tulang
daun (4, 5) dan ranting (6), 2 minggu dengan tulang daun (7, 8) dan ranting (9), air
bidestilata steril (K-)

Contoh tanaman yang mendapat perlakuan lama penyimpanan pada suhu 4
C selama 1 hari, 1 minggu, dan 2 minggu kemudian diekstraksi menggunakan
modifikasi dari metode Dellaporta et al. (1986) dengan konsentrasi bufer ekstraksi
2 kali. Elektroforesis hasil ekstraksi DNA total menunjukkan smear pada ketiga
perlakuan, namun tidak terdapat pita DNA (Gambar 14). Hasil amplifikasi
perlakuan lama penyimpanan contoh tanaman terdeteksi huanglongbing
menunjukkan bahwa pita DNA muncul pada ketiga perlakuan lama penyimpanan
(Gambar 15). Meskipun ketiga perlakuan masih menunjukkan hasil positif, pada
perlakuan penyimpanan 1 minggu dan 2 minggu pita DNA yang muncul menjadi
tidak terlalu konsisten ketebalannya pada ketiga ulangan.

22

Cara Penyimpanan Contoh Tanaman
Daun jeruk dari lahan yang sama disimpan selama 2 minggu dengan
perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC, alkohol 70%, dan bufer CTAB.
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Gambar 16 DNA total hasil perlakuan cara penyimpanan contoh tanaman
Keterangan: Perlakuan cara penyimpanan pada suhu 4 oC dengan tulang daun (1, 2)
dan ranting (3), alkohol 70% dengan tulang daun (4, 5) dan ranting (6), bufer CTAB
dengan tulang daun (7, 8) dan ranting (9)

K+ 1

2

3

4

5

6

7

8

9

K-

Gambar 17 Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA perlakuan cara penyimpanan
contoh tanaman
Keterangan: Hasil ekstraksi menggunakan kit Qiagen DNeasy (K+), perlakuan cara
penyimpanan suhu 4 oC dengan tulang daun (1, 2) dan ranting (3), alkohol 70%
dengan tulang daun (4, 5) dan ranting (6), bufer CTAB dengan tulang daun (7, 8)
dan ranting (9), air bidestilata steril (K-)

Contoh tanaman yang mendapat perlakuan cara penyimpanan selama 2
minggu menggunakan suhu 4 oC, alkohol 70%, dan bufer CTAB 2% kemudian
diekstraksi menggunakan modifikasi dari metode Dellaporta et al. (1986) dengan
konsentrasi bufer ekstraksi 2 kali. Elektroforesis hasil ekstraksi DNA total pada
perlakuan cara penyimpanan menunjukkan bahwa smear hanya terdapat pada
ketiga ulangan perlakuan cara penyimpanan suhu 4 oC, dan perlakuan
penyimpanan menggunakan bufer CTAB 2% dengan contoh bahan ekstraksi
ranting tanaman jeruk (Gambar 16). Hasil amplifikasi perlakuan cara
penyimpanan juga menunjukkan pita DNA pada ketiga ulangan perlakuan
penyimpanan suhu 4 oC, dan perlakuan penyimpanan menggunakan bufer CTAB
2%. Pada perlakuan penyimpanan menggunakan bufer CTAB 2% pita DNA
terlihat jelas pada ulangan dengan contoh bahan ekstraksi ranting tanaman jeruk,
namun terlihat tipis untuk ulangan mengunakan bahan tanaman daun jeruk
(Gambar 17).

23

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Deteksi penyakit huanglongbing berdasarkan gejala eksternal pada tanaman
jeruk kip (Citrus nobilis) dan daun dapat tertukar dengan gejala akibat kekurangan
hara, seperti Zn dan Mn. Daun yang berasal dari tanaman sakit huanglongbing
memiliki ukuran lebih kecil dan lanset dibandingkan daun yang tidak bergejala.
Metode ekstraksi yang menghasilkan kualitas DNA terbaik untuk amplifikasi
dengan PCR adalah modifikasi metode Dellaporta et al. (1986) dengan
konsentrasi bufer ekstraksi 2 kali. DNA hasil ekstraksi perlu diencerkan terlebih
dahulu