Strongyloidiasis Stercoralis : Suatu Infeksi Nematoda Beserta Aspek Hiperinfeksinya

STRONGYLOIDIASIS STERCORALIS
SUATU INFEKSI NEMATODA
BESERTA ASPEK HIPERINFEKSINYA

disusun oleh :
SUNNA VYATRA HUTAGALUNG
132317264

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Abstract :
The nematode infection, Strongyloidiasis has become increasingly recognized
world – wide. Strongyloidiasis in human caused by parasite Strongyloides
stercoralis which is found commonly in the tropical and subtropical areas. The
worms live mainly in the upper part of ileum and yeyunum, and is believed to be
parthenogenetic. Transmission is commonly by skin penetrarion with the infective
filariform larvae. In human, the worm may live in years and develop into
hiperinfective cases – mostly in an immunocompromised / immunosupressed hosts - which may lead to severity and can be fatal.


Keywords

:

Strongyloidiasis,

immunosupressed

Strongyloides

stercoralis,

hiperinfective,

Etiologi
Strongyloidiasis

pada


manusia

disebabkan

oleh

parasit

nematoda

Strongyloides stercoralis, cacing nematoda yang termasuk Soil Transmitted
Helminth (STH). Organisme penyebab Strongyloidiasis pertama sekali ditemukan
oleh Norman (1876) pada feses prajurit kolonial Prancis yang menderita diare tidak
terkontrol di Cochin – China. Pada autopsi prajurit yang meninggal tadi, awalnya
diduga spesies yang dijumpai pada fesesnya berbeda dengan spesies yang diperoleh
dari dinding ileum, saluran empedu dan pankreasnya. Baru di kemudian hari
Grassi(1879), Perronato (1880) dan Leuchart (1882) mendemonstrasikan bahwa
keduanya sebenarnya merupakan satu spesies yang sama namun merupakan bagian
yang berbeda dalam siklus hidup organisme ini. Disebutkan juga bahwa ada
beberapa spesies dari genus Strongyloides pada hewan yang dapat juga menginfeksi

manusia (1,2,3,4).

Taksonomi

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Nematoda

Class

: Secernentea

Order

: Rhabditida


Family

: Strongyloididae

Genus

: Strongyloides

Spesies

: S. Stercoralis(2,5)

Distribusi dan Geografi
Distribusinya luas di seluruh dunia terutama di daerah beriklim tropis dan sub
tropis, dan dapat juga ditemukan di daerah beriklim sedang. Pada umumnya

distribusi terbatas pada daerah bercuaca hangat dan lembab karena merupakan
situasi yang cocok untuk perkembangan hidup tahap larva Strongyloides
stercoralis. Namun oleh karena gejalanya yang sering sub klinis dan masa hidupnya
yang cukup lama (interval 5 tahun, bahkan pernah dijumpai 1 kasus di mana cacing

ini dapat parasitik pada manusia selama 65 tahun) maka seseorang dapat terinfeksi
di daerah beriklim hangat lalu berpndah tempat ke daerah beriklim dingin dan
menjadi carier infeksi Strongyloides stercoralis bahkan tanpa menyadarinya.
Infeksi lebih sering dijumpai di area pedesaan (oleh karena kontak petani dengan
tanah) serta pada kelompok – kelompok masyarakat sosial – ekonomi rendah (1,2,5).

Morfologi
Bentuk bebas (free living form) :
-

betina : ukuran ± 1 x 0,05 mm, esofagus ± ¼ panjang tubuh serta pendek
dan terbuka, uterus berupa satu barisan lurus yang berisi 40 – 50 telur.
Vulva terbuka di sisi ventral dekat pertengahan tubuh.

-

jantan : fusiform, ukuran 0,7 x 0,07 mm, esofagus tertutup, memiliki 2
spikula dan 1 gubernakulum, ujung ekor runcing dan melengkung.

Bentuk parasitik :

-

betina : halus dan transparan, ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼
panjang tubuh.Pada betina gravid uterus berisi 10 – 20 telur yang
mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3 posterior panjang tubuh.

-

Jantan : menurut Kreist (1932) dan Faust ada bentuk parasitik jantan pada
manusia yang morfologinya sama dengan morfologi jantan bentuk bebas
(free living). Namun belum ada peneliti yang menemukan bentuk parasitik
jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh karena itu dianutlah pemahaman
bahwa bentuk parasitik betina pada manusia berkembang biak secara
parthenogenesis.

Larva rhabditiform
Ukuran ± 380 x 20 µ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan
ovoid terletak di ventral dekat intestinal. Ekor runcing.

Larva filariform :

Ukuran ± 630 x 16 µ, mulut tertutup, esofagus ½ panjang badan, ujung ekor
bercabang 2 pendek (fork tail) atau tumpul saja, sarung (sheath) tidak
ada(6,7,8,9,10,11,12) .

Siklus Hidup
Siklus hidup Strongyloides stercoralis cukup kompleks dengan adanya pergantian
antara siklus bebas (= siklus tidak langsung / indirect cycle) dan siklus parasitik (=
siklus langsung / direct cycle), serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi
dalam tubuh hospesnya.

Gbr 1. Siklus hidup Strongyloides stercoralis seperti dikutip dari cdc.

Siklus parasitik (= siklus langsung / direct cycle) :
Larva filariform menembus kulit, masuk ke pembuluh darah kapiler, dengan
mengikuti sistem peredaran darah masuk ke jantung, kemudian ke paru (Lung
passage), kemudian ke trachea, larinx dan kemudian tertelan masuk ke usus halus
(duodenum) dan di sana menjadi cacing dewasa. Larva juga dapat menginfeksi
dengan cara tertelan langsung.

Siklus bebas (= siklus tidak langsung / indirect cycle)

Pada keadaan tertentu (suasana yang mendukung), larva rhabditiform dapat
berkembang menjadi dewasa bentuk bebas jantan dan betina. Setelahkopulasi,
cacing betina bertelur dan menetaskan larva stadium rhabditiform. Setelah 2 hari
larva ini berkembang dan dapat berubah menjadi larva filariform yang bersifat

infektif, atau bila suasana mendukung (temperatur dan kelembaban tanah yang
optimal) maka larva rhabditiform tadi berkembang menjadi cacing dewasa
Strongyloides stercoralis bentuk bebas.

Autoinfeksi internal
Terjadi terutama pada hospes yang mengalami gangguan obstipasi.
Pada autoinfeksi internal, larva rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi
larva filariform. Larva ini menembus mukosa usus, masuk ke pembuluh darah
kapiler kemudian ke jantung lalu ke paru dan seterusnya melanjutkan siklus hidup
seperti yang diuraikan pada siklus parasitik.

Autoinfeksi eksternal
Daerah perianal hospes terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes BAB, lalu
larva ini tumbuh menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus
kulit perianal dan masuk ke pembuluh darah kapiler dan seterusnya melanjutkan

siklus hidup seperti yang diuraikan pada siklus parasitik(6,7,8,9,10,11,12).

Patogenesis dan Patologi
Transmisidengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang
terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi
transplacental (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu
ke bayinya melalui air susu) oleh karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan
mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit menimbulkan
Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans. Larva ini kemudian
menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan
kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam
alveoli paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan
perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler pada paru. Kadang dapat terlihat
gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada gambaran radiologis paru (Loeffler’s
pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat
sedang berada di paru dan saluran pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.

Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan
tertelan masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang
menjadi dewasa. Betina lalu berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932

dan Faust berpendapat bahwa ada bentuk parasitik jantan, dan bahwa betina juga
berkembang biak melalui kopulasi yang terjadi di duodenum atau yeyunum.
Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang dapat menemukan bentuk
parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa saluran cerna untuk
menaruh telur – telurnya . Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat terlihat
seperti gambaran sarang tawon (“honeycombed appearance”). Telur yang menetas
mengeluarkan larva rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit
ini berada di saluran cerna, timbullah gejala – gejala saluran cerna seperti nyeri
abdomen, kram, malabsorbsi dan sebagainya.
Pre – paten period (= masa inkubasi ekstrinsik) ± 1 bulan. Keadaan terjadinya
autoinfeksi internal maupun eksternal akan mengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan
menyebabkan parasit ini dapat bertahan lama bahkan sampai bertahun – tahun pada
tubuh seseorang sehingga dapat bertahan hidup di belahan dunia mana pun dan
dalam iklim apapun. Hal ini pula yang diduga sebagai penyebab sering rekurennya
gejala klinis yang merupakan ciri dari penyakit ini.
Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d
25.000) dengan eosinofilia ( > 40 %). Kemudian, saat infeksi menjadi kronis
leukositosis berganti menjadi neutropenia dan monositosis relatif, sementara
eosinofilia moderat tetap bertahan selama bertahun – tahun. Pada keadaan
kurangnya eosinofil, disertai dengan leukopenia, pada kasus kronis menunjukkan

prognosa yang buruk.
Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler pulmonal paru
menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi
sistemik tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada “disseminated infection” yang dapat
menyerang organ – organ lain seperti paru, hati, dan jantung. Namun keadaan
“disseminated (menyebar)” ini sendiri tidak berhubungan dengan beratnya infeksi.
Kasus “disseminated” biasanya terjadi pada penderita dengan immunosupresi /
immunocompromised.

Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang
meningkat dan gejala – gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva
Strongyloides stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda
hiperinfeksi adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Faktor resiko
hiperinfeksi Strongyloidiasis adalah pasien yang immunocompromized, diantaranya
:


Pengguna kortikosteroid.
Diduga ikatan antara kortikosteroid dengan reseptor hormon steroid
mempercepat transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform
infektif. Kortikosteroid juga menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi
limfosit.



Pengguna obat – obat imunosupresif untuk terapi kanker.



Penderita infeksi virus HTLV – 1
Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV – 1 (Human T cell
Lymphotropic Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV
– 1. Antigen strongyloides mempecepat leukemogenesis.

Pengidap HIV / AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya awalnya diduga
memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang tinggi, ternyata angka
hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesaryang diperkirakan. Dan
penyeba penyimpangan ini juga masih belum diketahui pasti. Sedang pasien yang
mendapat transplantasi organ memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi
walaupun memakai obat obat imunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan
obat yang dipakai untuk menekan sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi
penolakan tubuh terhadap organ yang baru ditransplantasikan) adalah cyclosporin
yang juga mempunyai efek antihelmentik.
Beberapa ahli ada yang menyebut – nyebut tentang adanya kaitan antara
Strongyloidiasis dengan arthritis, namun mekanisme pastinya belum dimengerti
benar(1,3,4,8,9,10,11,12,13,14).

Gejala Klinis
Infeksi Strongyloides stercoralis umumnya asimtomatis, namun telah diketahui
bahwa kasus carier asimtomatik dapat berlangsung bertahun – tahun dan kemudian
berkembang menjadi penyakit yang serius. Strongyloidiasis kronis dapat
menyebabkan kolitis. Hiperinfeksi yang fatal dapat terjadi pada penderita dengan
immunosupresi / immunocompromised.
Infeksi yang simtomatik biasanya berupa gejala – gejala gastrointestinal, pulmonal
dan dermatologis.
Demam biasanya dijumpai pada kasus “disseminated” (menyebar).


Dermatologis – reaksi alergi dapat timbul akibat penetrasi larva melalui
kulit.
o Gatal di kulit – rash lesi papulovesikuler pruritus, biasanya di kaki.
o Rash urtikaria yang alurnya berkelok - kelok akibat larva yang
berjalan menembus kulit.
o Granuloma pada kulit (pada kasus autoinfeksi kronis)
o Ptechiae / rash purpura (pada kasus disseminated)
o Gejala – gejala kulit tidak khas yang lain



Gastrointestinal
o Kembung, rasa penuh di perut
o Nyeri perut yang menyebar
o Diare dengan darah (-)
o Muntah
o Berat badan menurun



Pulmonal
o Wheezing
o Batuk
o Hemoptisis (batuk darah, pada kasus disseminated atau pun
hiperinfeksi).
o Pernafasan dangkal



Susunan Syaraf Pusat (SSP) -- Gejala – gejala meningeal dapat dijumpai
pada kasus disseminated.



Sistem reproduksi – pernah dilaporkan 1 kasus infertilitas oleh karena
infeksi strongyloidiasis disseminated dengan dijumpainya larva pada air
mani penderita dan konsepsi berhasil setelah penderita mendapat
pengobatan infeksinya.

Pada sindrom hiperinfeksi, selain meningitis dapat juga terjadi sepsis, biasanya
polimikrobial akibatnya menyebarnya bakteri usus ke dalam darah(4,7,12,13,14,18).

Diagnosa


Menemukan larva rhabditiform atau pun larva filariform pada sediaan feses,
cairan duodenum, cairan asites, dan sputum (pada kasus yang disseminated).
Larva rhabditiform biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar. Larva
filariform dapat dijumpai pada pembiakan tinja dan pembiakan sekret
duodenum yang diambil dengan duodenal sonde.



Serologis dengan Antibody Detection Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA
dengan sensitivitas terbesar pada teknik EIA(7,8,9,12,13,14,18).

Pengobatan
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongyloidiasis, oleh karena
efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100 % ) serta pemberiannya cukup
dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek
samping yang sedikit. Dosis ivermectin 0,2 mg / kg bb / hari, diberikan dalam
dosis tunggal. Angka kesembuhan 98, 7 % (Nontasutet al, 2005). Sebagai terapi
alternatif adalah Albendazole dan Thiabendazole, sedang di Indonesia sediaan yang
ada pada umumnya adalah Albendazole. Dosis Albendazole 25 mg / kg bb/ hari.
Pemberiannya biasa berupa Albendazole 400 mg 2 x per hari (anak < 2 tahun : 200
mg) selama 3 - 5 hari. Untuk kasus hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga
15 hari. Angka kesembuhan 78, 8 % (Nontasut et al, 2005).

Efek samping pengobatan berupa diare, gatal – gatal dan mengantuk lebih sering
dijumpai pada ivermectin dibandingkan albendazole.
Pencegahan infeksi adalah dengan memakai alas kaki dan menghindari kontak
dengan tanah yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu terhadap
kemungkinan adanya infeksi strongyloidiasis sebelum pemakaian obat - obat
immunosupresif(12,13,14,19) .

Kesimpulan
Strongyloidiasis merupakan infeksi oleh nematoda Strongyloides stercoralis –
termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth (STH) -- yang biasanya asimtomatik.
Namun carier asimtomatik ternyata dapat berlangsung bertahun – tahun oleh karena
adanya autoinfeksi, dan di kemudian hari bisa menimbulkan kasus hiperinfeksi -biasanya pada penderita yang immunocompromised -- yang dapat berakibata fatal.
Strongyloidiasis memiliki hubungan dengan ko – infeksi virus HTLV – 1 dengan
mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV – 1. Antigen strongyloides
mempecepat leukemogenesis.
Obat pilihan utama untuk infeksi strongyloidiasis adalah ivermectin, dengan terapi
alternatif lain adalah albendazole.
Infeksi strongyloidiasis dapat dicegah dengan memakai alas kaki dan menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu
terhadap kemungkinan adanya infeksi strongyloidiasis sebelum pemakaian obat obat immunosupresif.

Kepustakaan :
1. Faust EC, Russel PF. Clinical Parasitology. 7th ed. Philadelphia. Lea &
Febriger. 1964 : 355- 65.
2. Strongyloides stercoralis. Available at :
http://en.wikipedia.org/wiki/Strongyloides_stercoralis.
3. Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS &
BT and C. 1968 : 955 – 9.
4. Hunter GW, Frye WW, Swartzwelder JC. A Manual of Tropical Medicine.
3rd ed. London. WB Saunders Company. 1963 : 428 – 31.
5. Severe Malabsorption and Arthritis in an Immune Competent Host.
Available

at

:

http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijrh/vol2n2/str
ongyloides.xml.
6. Strongyloidiasis. Available at :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Strongyloidiasis.htm.
7. Gani EH. Helmintologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran USU Medan. Edisi 2002 : 26 – 9.
8. Hargreaves WH, Morrison RJG. The Practice of Tropical Medicine.
London. Staples Press. 1965 : 233 – 4.
9. Brown HW, Neva FA. Basic Clinical parasitology. United States of
America. Appleton Century Crofts. 1983 : 115 -9.
10. Miyazaki, Ichiro. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses. Tokyo.
Shukosha Printing. 1991 : 355 – 61.
11. Roberts LS, Janovy J. Gerald D. Schmidt & Larry S. Roberts’ Foundations
of Parasitology. 7th ed. New York. 2005 : 412 – 5.
12. Waikagul J, et al . Medical Helminthology. Bangkok. Department of
Helminthology Faculty of Tropical Medicine Mahidol University. 2002 : 15
-8.
13. Markell EK, John DT, Krotoski WA. Medical Parasitology. 8th ed.
Philadelphia. WB Saunders. 1999 : 287 – 92.

14. Heelan JS, Ingersol FW. Essentials of Human Parasitology. United States.
Delmar. 2002 : 144 – 7.
15. Asdamongkol N, et al. Risk Factors for Strongyloidiasis Hyperinfection and
Clinical Outcomes. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public Health vol. 37 no. 5. September 2006.
16. Pinlaor S, et al. Detection of Opportunistic and Non – Opportunistic
Intestinal Parasites and Liver Flukes in HIV – Positive and HIV – Negative
Subjects. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public
Health vol. 36 no. 4. Juli 2005.
17. Tetsuo Hirata, Nobufumi Uchima, et al. Impairment of Host Immune
Response Against Strongyloides stercoralis by Human T Cell Lymphotropic
Virus

type

1

Infection.

Available

at

:

http://www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/74/2/246.
18. Carpenter EA, Allison JR. Strongyloides stercoralis. Available at :
http://www.emedicine.com/emerg/topic843.htm
19. Nontasut P, et al. Prevalence of Strongyloides in Northern Thailand and
Treatment with Ivermectin vs Albendazole. The Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine and Public Health vol. 36 no. 2. March 2005.