Kontribusi Lamun Dalam Regulasi Karbon Dan Stabilisasi Ekosistem

KONTRIBUSI LAMUN DALAM REGULASI KARBON DAN
STABILISASI EKOSISTEM

AGUSTIN RUSTAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kontribusi Lamun
dalam Regulasi Karbon dan Stabilisasi Ekosistem adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Agustin Rustam
NIM C 561090021

RINGKASAN
AGUSTIN RUSTAM. Kontribusi Lamun dalam Regulasi Karbon dan Stabilisasi
Ekosistem. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN, ZAINAL
ARIFIN dan JONSON LUMBAN GAOL.

Peningkatan CO2 di atmosfer yang terjadi sejak era revolusi industri
merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim dan bencana di
berbagai belahan dunia. Daratan dengan hutannya yang beralih fungsi lahan
belum mampu mengurangi CO2 atmosfer, sehingga para ahli menjadikan laut
sebagai alternatif mengurangi CO2 atmosfer terutama ekosistem pesisir dengan
mekanisme ‘karbon biru’. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem
pesisir dengan vegetasi lamun yang sudah beradaptasi penuh dengan kondisi air
laut. Penelitian ini mengkaji peranan ekosistem lamun dalam regulasi karbon dan
stabilisasi ekosistem sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir dengan pemahaman lebih jelas manfaat dari
ekosistem lamun dengan studi kasus Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Jakarta.

Penelitian peranan lamun dalam regulasi karbon dan stabilisasi ekosistem
yang dilakukan terbagi atas beberapa tahap. Pertama, kajian interaksi gas CO2
atmosfer dan air laut di ekosistem lamun yang membentuk padang lamun Enhalus
acoroides di Pulau Pari. Kedua, kajian pertumbuhan dan produksi daun (above
ground/bagian atas) pada lamun berukuran besar yaitu E. acoroides dan
Thalassia hemprichii. Ketiga, kajian potensi karbon dalam sedimen di ekosistem
lamun. Keempat kajian pertumbuhan dan produksi rhizome (below ground/bagian
bawah) pada E. acoroides dan T. hemprichii. Tahap terakhir, kajian model ekologi
kontribusi lamun dalam regulasi karbon dan stabilisasi ekosistem meliputi neraca
karbon di lokasi penelitian dan model dinamis produksi daun lamun. Semua
tahapan penelitian ini dilakukan dengan metode ilmiah yang sesuai dengan tema
kajian.
Hasil kajian pertama menunjukkan interaksi gas CO2 atmosfer dan air laut
pada ekosistem lamun terjadi penyerapan langsung di musim barat, sedangkan
pada musim lainnya air laut berperan sebagai sumber CO 2. Besaran nilai fluks
CO2 yang terjadi berkisar antara -5.971 dan 32.026 mmol C m-2 hari-1. Indonesia
merupakan perairan tropis ekuatorial, yang berdasarkan hampir semua kajian
yang ada perairan Indonesia berperan sebagai sumber CO2 ke atmosfer. Namun
perairan pesisir dengan vegetasi lamun berdasarkan penelitian ini menunjukkan
adanya penyerapan langsung CO2 dari atmosfer ke air laut pada musim barat.

Jumlah karbon yang dilepas dalam satu tahun sebesar 17.94 Mg CO2. Nilai karbon
yang dilepas ke atmosfer oleh air laut dalam penelitian ini sangat kecil
dibandingkan dengan produksi daun lamun E. acoroides dan T. hemprichii
selama penelitian yang merupakan tahap kedua.
Hasil pada tahap kedua mendapatkan produksi bagian atas lamun (daun)
jenis E. acoroides dalam satu tahun sebesar 429.14 Mg CO2, sedangkan produksi

T. hemprichii lebih rendah sebesar 278.36 Mg CO2. Nilai ini mengasumsikan
pemanfaatan gas CO2 untuk fotosintesis dengan asumsi pemanfaatan langsung
seperti pada tanaman darat. Tanaman lamun diketahui memanfaatkan gas CO2
terlarut dalam bentuk spesies HCO3- untuk fotosintesis, berdasarkan nilai pH
selama penelitian yang merupakan pH laut maka hampir 90 % CO2 terlarut dalam
bentuk HCO3-. Berdasarkan perhitungan yang sama maka potensi pengurangan
gas CO2 yang terlarut dalam air untuk memproduksi daun E. acoroides menjadi
661.05 Mg CO2 dan T. hemprichii sebesar 428.79 Mg CO2. Hal ini menunjukkan
tingginya produksi daun lamun yang diukur selama penelitian lebih
memanfaatkan CO2 terlarut yang berasal dari perairan itu sendiri ataupun
pengiriman bahan organik dari daratan (karbon antropogenik), sehingga lamun
mengurangi karbon antropogenik di kolom air untuk disimpan dalam mekanisme
karbon biru. Bahkan pada waktu musim barat tidak hanya memanfaatkan CO2 di

kolom air tetapi juga dari atmosfer dengan terjadinya aliran CO2 dari atmosfer ke
air laut di ekosistem lamun.
Hasil penelitian tahap ketiga yaitu potensi karbon di sedimen dengan lokasi
kajian selain di Gugusan Pulau Pari juga di beberapa lokasi ekosistem lamun di
Indonesia. Besaran simpanan karbon di sedimen pada lokasi penelitian di padang
lamun E. acoroides berdasarkan musim berkisar antara 113.97 dan 153.02 Mg
CO2 ha-1. Stok karbon sedimen di Gugusan Pulau Pari khusus lamun jenis E.
acoroides dari 2.8 x 103 sampai 5.46 x 103 Mg CO2. Berdasarkan kedalaman di
beberapa lokasi penelitian seperti Teluk Ratatotok dan Pulau Sangalaki dengan
kedalaman 75 cm dan 35 cm, terlihat adanya kecenderungan nilai karbon
berdasarkan kedalaman meningkat dan stabil. Simpanan karbon sedimen selama
penelitian di Gugusan Pulau Pari mengindikasikan nilai yang relatif stabil
berdasarkan waktu, hal ini disebabkan lamun terutama E. acoroides memiliki
sistem perakaran dengan adanya rhizome yang terbenam di sedimen dan akar yang
kuat masuk ke sedimen menyebabkan sedimen dalam kondisi stabil dan terikat
kuat dengan sistem perakaran tadi. Kondisi ini membuat karbon sedimen tetap
tersimpan bahkan bertambah terus menerus.
Kajian tahap keempat, pertumbuhan dan produksi rhizome E. acoroides dan
T. hemprichii. Hasil yang didapat laju pertumbuhan panjang rhizome T.
hemprichii rata-rata sebesar 67.46 cm/tahun dan laju pertumbuhan diameter

rhizome sebesar 1.5 cm/tahun. Berdasarkan pengamatan selama penelitian
rhizome T. hemprichii cenderung pertumbuhannya mencari lahan kosong. Laju
pertumbuhan rhizome E. acoroides untuk panjang dan diameter berturut-turut
2.62 cm/tahun dan 0.54 cm/tahun. Produksi yang dihasilkan rhizome T.
hemprichii di Gugusan Pulau Pari lebih besar dari produksi daun dalam setahun
yaitu 420.88 Mg CO2 sedangkan daun T. hemprichii 278.36 Mg CO2. Hasil yang
berbeda pada E. acoroides yaitu produksi daun lebih besar daripada rhizome,
dengan nilai 429.14 Mg CO2 untuk daun dan 77.57 Mg CO2 untuk rhizome dalam
satu tahun. Namun produksi rhizome tersimpan dalam sedimen lebih besar
dibandingkan daun karena produksi daun lebih dari 40 % diekspor ke ekosistem
lain.
Kajian terakhir merupakan model ekologi untuk menggambarkan
keseluruhan produksi dan siklus karbon yang dihasilkan lamun jenis E. acoroides
dan T. hemprichii di ekosistem lamun Gugusan Pulau Pari dalam suatu neraca
karbon dan pemodelan sederhana. Hasil neraca karbon yang didapat menunjukkan

bahwa E. acoroides mampu menambah potensi penyimpanan karbon dalam
biomasa sebesar 320.127 Mg CO2 per tahun, sedangkan T. hemprichii 567.994
Mg CO2 per tahun baik disimpan dalam biomasa bagian atas ataupun tersimpan
dalam biomasa bagian bawah (rhizome) yang terkunci dengan baik di dalam

sedimen. Kontribusi E. acoroides lebih besar pada bagian atas walaupun sekitar
40 % terekspor ke ekosistem lain namun hampir 50% kembali tersimpan di
ekosistem lamun menjadi sedimen. Kontribusi T hemprichii terbesar pada bagian
bawah dengan produksi sebesar 489.601 Mg CO2. Hasil pemodelan sederhana
dari model sistem dinamis untuk produksi daun E. acoroides didapat bahwa
adanya kecenderungan terjadi degradasi produksi lamun pada bulan ketiga
kemudian mulai stabil pada bulan ke-15 sampai ke-60. Jika dilakukan intervensi
(tranplantasi lamun sebesar 2 % dari jumlah individu) pada model maka pada
bulan ke-15 akan menunjukkan peningkatan kembali dan mencapai kondisi awal
penelitian pada bulan ke 88 (sekitar 7 tahun kemudian).
Keseluruhan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekosistem lamun
Gugusan Pulau Pari berperan dalam regulasi karbon dan stabilisasi ekosistem.
Lamun jenis E. acoroides menyimpan karbon dalam bentuk biomasa dan di
sedimen lebih rendah dibandingkan T. hemprichii. Terjadinya degradasi lamun di
Gugusan Pulau Pari lebih disebabkan aktivitas manusia sehingga diperlukan usaha
untuk pemulihan. Usaha yang dilakukan antara lain transplantasi lamun dan
menjaga ekosistem lamun dari aktivitas manusia yang merusak seperti
pengerukan. Jasa lingkungan (service) yang diberikan ekosistem lamun selama ini
dapat dijadikan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim selain meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Bertambahnya informasi lebih detail akan mendorong

stakeholder, pemerhati lingkungan, masyarakat pesisir dan pemerintah untuk lebih
memperhatikan ekosistem lamun sehingga laju degradasi yang sangat tinggi dapat
dihilangkan.
Kata kunci: Lamun, CO2, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, ekosistem

SUMMARY
AGUSTIN RUSTAM. Seagrass Contribution in Carbon Regulation and
Ecosystem Stabilitation. Supervised by DIETRIECH GEOFFREY BENGEN,
ZAINAL ARIFIN and JONSON LUMBAN GAOL.

Increased CO2 in the atmosphere that occurred since the era of the
industrial revolution is one of the causes of climate change and disasters in
various parts of the world. Land converted to forest land that has not been able to
reduce atmospheric CO2, so the experts made the sea as an alternative to reduce
atmospheric CO2 by a mechanism primarily coastal ecosystems 'blue carbon'.
Seagrass is one of the coastal ecosystem with vegetation that has adapted seagrass
filled with sea water conditions. This study examines the role of seagrass in the
regulation of carbon and stabilizing ecosystems as climate change mitigation and
enhancement of the coastal communities with a clearer understanding of the
benefits of seagrass with a case study of the Pari Island Cluster, Thousand Islands,

Jakarta.
Research carried out is divided into several stages seagrass role in the
regulation of carbon and ecosystem stabilization. First, the study of the interaction
of atmospheric CO2 and sea water in the form seagrass seagrass Enhalus
acoroides in Pari Island. Second, studies of growth and leaf production (above
ground) on large seagrass which E. acoroides and Thalassia hemprichii. Third,
study the potential of carbon in the sediments in seagrass ecosystems. Fourth.
Assessment of growth and rhizome production (below ground) on E. acoroides
and T. hemprichii. The last stage, the contribution of seagrass ecology assessment
models in the regulation and stabilization of ecosystem carbon include carbon
balance in a dynamic model of the study site and seagrass leaf production. All
stages of this research conducted by the scientific method in accordance with the
theme of the study.
The results obtained by the first study that at any given time interaction
atmospheric CO2 and seawater on seagrass occurred absorption of CO2 directly
from the atmosphere to the sea in the west of the season, while in other seasons
the sea water acts as a source of CO2. The magnitude of the CO2 flux values
ranging between -5.971 and 32.026 mmol C m-2 day-1. Indonesia is an equatorial
tropical waters, which by almost all existing studies of Indonesian waters serve as
a source of CO2 to the atmosphere. However, coastal waters with seagrass

vegetation by this study showed a direct absorption in the west season. The
amount of carbon released in the year amounted to 17.94 Mg CO2. Value of
carbon released into the atmosphere generated in this study is very small
compared to the seagrass leaf production E. acoroides and T. hemprichii during
the study which is the second stage.
The results of the second stage gain the upper production of seagrass
(leaves), especially the type of E. acoroides in one year amounted to 429.14 Mg
CO2, whereas T. hemprichii production was lower by 278.36 Mg CO2. This value
assumes the use of CO2 for photosynthesis assuming direct use as in land plants.

Known seagrass plants utilize dissolved CO2 in sea water in the form of HCO3species, based on the value of the pH during the pH of ocean research is then
almost 90% of CO2 dissolved in the form of HCO3-. The potential reduction of
CO2 gas dissolved in the water for E. acoroides and T. hemprichii leaf production
into 661.05 and 428.79 Mg CO2. This shows the high seagrass leaf production
measured during the study better utilize dissolved CO2 from the water itself or the
delivery of organic matter from the mainland (anthropogenic carbon), so seagrass
reducing anthropogenic carbon in the water column to be stored in the mechanism
of blue carbon. Even in the summer time not only utilizes west of CO2 in the
water column but also by the flow of atmospheric CO2 from the atmosphere to the
sea water in seagrass ecosystems.

The results of the third phase of the study, namely the potential of carbon
in the sediment with the location of the study in addition to the cluster of Pari
Island is also in some locations of seagrass ecosystems in Indonesia. The amount
of carbon stored in sediments on the seagrass study sites in E. acoroides by season
ranged between 113.97 and 153.02 Mg CO2 ha-1. Sediment carbon stocks in
particular Pari Island seagrass cluster of E. acoroides of 2.8 x 103 to 5.46 x 103
Mg CO2. Based on the depth at several locations such as the Teluk Ratatotok
research and Sangalaki Island at a depth of 75 cm and 35 cm, there has been a
tendency to increase the value of carbon based and stable depth. Carbon storage in
the sediment during the study indicate Pari Island Cluster of the relatively stable
value based on time, this is due mainly seagrass E. acoroides have with the
rhizome root system that goes down in the sediment and strong roots go into
sediments cause sediment in stable condition and is firmly attached the root
system earlier. This condition makes carbon sediment remain stored even grow
continuously.
The fourth phase of the study, the growth and rhizome production
acoroides E. acoroides and T. hemprichii. The results obtained long rhizome
growth rate of T. hemprichii average of 67.46 cm/year and rhizome growth rate of
diameter 1.5 cm / year. Based on observations during the study rhizome growth of
T. hemprichii tend to look for vacant land. Rhizome growth rate of E. acoroides

for length and diameter respectively 2.62 cm/year and 0.54 cm/year. Rhizome
production resulting of T. hemprichii in Pari Island cluster is greater than the
production of leaves in a year ie 420.88 Mg CO2 while the leaves of T. hemprichii
278.36 Mg CO2. The different results on E. acoroides that leaf production is
greater than the rhizome, with a value of 429.14 Mg CO2 for leaves and 77.57 Mg
CO2 for rhizome in one year. However rhizome production stored in the sediment
than leaves because leaves more than 40% are exported to other ecosystems.
The last study is to describe the overall ecological models of production
and the resulting carbon cycle of E. acoroides and T. hemprichii in Pari Island
Cluster created of carbon balance and simple modeling. The results that E.
acoroides able to increase the potential for carbon storage in biomass amounted to
320.127 Mg CO2 per year, whereas T. hemprichii 567.994 Mg CO2 per year saved
in either biomass or stored at the top of the rhizome is properly locked in the
sediments. E. acoroides greater contribution at the top even though approximately
40% terekspor to other ecosystems, but nearly 50% again be stored in seagrass
sediments T. hemprichii greatest contribution to the bottom with a production of
489.601 Mg CO2. The results of the dynamic system model for leaf production is

found that the trend of degradation of seagrass production in the third month and
then began to stabilize in the 15th until the 60th. If the intervention (seagrass
transplants of 2% of the number of individuals) in the model then at month 15
would show an increase again and the production to achieve the baseline
condition at month 88 (about 7 years later).
Overall the results of this study it can be concluded that the Pari Island
Cluster seagrass role in the regulation of carbon and ecosystem stabilization.
Seagrass type E. acoroides store carbon in the form of biomass and in the
sediment was lower than T. hemprichii. Seagrass degradation in Pari Island
Cluster is due to human activity that is necessary for the recovery effort. The work
done among other transplant seagrass and keep from damaging human activities
such as dredging. Service given during the seagrass can be used as a climate
change mitigation efforts and improve people's welfare. Increased more detailed
information will encourage stakeholders, environmentalists, coastal communities
and the government to pay more attention to the rate of degradation of seagrass
decline very high can be eliminated.
Keywords: seagrass, CO2, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, ecosystem

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONTRIBUSI LAMUN DALAM REGULASI KARBON DAN
STABILISASI EKOSISTEM

AGUSTIN RUSTAM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada:
Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
(Guru Besar Fakultas Perikanan
Kelautan, IPB)
2. Dr Ir Tri Prartono, MSc

dan Ilmu

Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Achmad Poernomo, MappSc
(Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan)
2. Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
(Guru Besar Fakultas Perikanan
dan Ilmu
Kelautan, IPB)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas berkat dan anugerah NYA saja maka
penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan hasil
penelitian dalam rangka penyelesaian studi program Doktor pada program studi
Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih dengan selesainya penulisan
disertasi ini kepada Prof Dr Dietriech G Bengen sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, Dr Zainal Arifin dan Dr Jonson L Gaol sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan dan
semangat kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Neviaty P
Zamani sebagai Ketua Program Studi, Prof Dr Dedi Soedharma sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka, Dr Tri Prartono sebagai penguji
luar komisi dalam ujian tertutup dan Dr Achmad Poernomo sebagai penguji luar
komisi pada ujian terbuka atas semua masukan dan saran.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan terutama Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir atas kesempatan belajar yang telah
diberikan. Terimakasih juga kepada Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kelautan dan Perikanan atas beasiswa yang diberikan.
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Pak Mumu di
LPSDMO, P2OLIPI atas bantuannya selama penelitian di Pulau Pari, kepada
rekan seperjuangan dalam menyelesaikan studi ini Ali Arman, Ofri Johan dan
ucapan terimakasih kepada Novi Susetyo Adi, serta para sahabat yang tidak
dapat disebutkan satu persatu di kantor Puslitbang SDLP, Kelti Karbon Biru atas
bantuan dan semangat yang diberikan.
Karya ilmiah ini penulis tujukan secara khusus kepada kedua orang tua
terkasih, Ayahanda Roestam Achmad (Almarhum) dan Ibunda Baidar Umayah
(Almarhumah) yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan sekolah sampai akhir hayat beliau berdua. Kepada kedua kakak
tercinta, Yahya Rustam dan Hidayat Rustam beserta keluarga atas semua
bantuan moril dan materi yang tidak terhingga kepada penulis selama ini.
Akhir kata penulis berharap, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2014
Agustin Rustam

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xxiii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xxv
1 PENDAHULUAN................................................................................................ 1
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

6

Kebaharuan

6

2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 9
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii

10

Peranan Lamun

11

Siklus Karbon Pesisir

11

Potensi Ekosistem Lamun Sebagai Carbon Sink dan Peranannya dalam
Regulasi Karbon di Laut
13
Potensi Ekosistem Lamun dalam Stabilisasi Ekosistem

15

Citra Satelit sebagai Environment Recoder Ekosistem Lamun

19

Sistem dan Model dalam Ekosistem Lamun

20

3 KAJIAN INTERAKSI CO2 ATMOSFER DAN AIR LAUT DI EKOSISTEM
LAMUN PULAU PARI ............................................................................ 22
Pendahuluan

22

Metode Penelitian

23

Hasil dan Pembahasan

27

Karakteristik Ekosistem Lamun Pulau Pari ................................................... 27
Dinamika Parameter CO2 dan Lingkungan ................................................... 27
Analisis ‘Sink’ dan ‘Source’ .......................................................................... 31
Fluks CO2 Air Laut – Atmosfer Ekosistem Lamun Pulau Pari .................... 34
Keterkaitan Parameter CO2 dan Lingkungan................................................. 35
Simpulan dan Saran

37

4 KAJIAN POTENSI PENYERAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON PADA
DAUN ENHALUS ACOROIDES DAN THALASSIA HEMPRICHII
BERDASARKAN DATA INSITU DAN CITRA SATELIT DI PULAU
PARI .......................................................................................................... 39
Pendahuluan

39

Metode Penelitian

41

Hasil dan Pembahasan

43

Laju Pertumbuhan E. acoroides .................................................................... 43
Laju Produksi E. acoroides ........................................................................... 47
Laju Pertumbuhan T. hemprichii................................................................... 49
Laju Produksi T. hemprichii ........................................................................... 51
Produksi Daun Lamun berdasarkan Citra Satelit ........................................... 53
Potensi penyerapan CO2 dari atmosfer berdasarkan produksi daun E.
acoroides dan T. hemprichii ........................................................................... 56
Simpulan dan Saran

58

5 POTENSI KARBON DALAM SEDIMEN DI EKOSISTEM LAMUN ........... 60
Pendahuluan

60

Metode Penelitian

61

Hasil dan Pembahasan

62

Dinamika Karbon Sedimen di Ekosistem Lamun Pulau Pari ........................ 62
Variabilitas Karbon Sedimen di beberapa Lokasi Ekosistem Lamun ............ 66
Sedimen Karbonat dan Non Karbonat ........................................................... 69
Simpulan dan Saran

71

6 KAJIAN LAJU PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RHIZOME ENHALUS
ACOROIDES DAN THALASSIA HEMPRICHII KAITANNYA DALAM
STABILISASI EKOSISTEM .................................................................... 72
Pendahuluan

72

Metode penelitian

73

Hasil dan Pembahasan

75

Dinamika Laju Pertumbuhan Rhizome T. hemprichii dan Stabilisasi
Ekosistem........................................................................................................ 75
Laju Pertumbuhan Rhizome E. acoroides dan Stabilisasi Ekosistem ............ 77
Laju Produksi dan Produksi Rhizome T. hemprichii dan E. acoroides ......... 79
Simpulan

82

7 MODEL EKOLOGI KONTRIBUSI LAMUN DALAM REGULASI KARBON
DAN STABILISASI EKOSISTEM: STUDI KASUS EKOSISTEM
LAMUN PULAU PARI ............................................................................ 84
Pendahuluan

84

Metode Penelitian

85

Hasil dan Pembahasan

86

Neraca Karbon E. acoroides dan T. hemprichii di Ekosistem Lamun Gugusan
Pulau Pari ....................................................................................................... 86
Model Sistem Dinamis Kebutuhan HCO3- oleh Daun E. acoroides .............. 90
Simpulan

94

8 PEMBAHASAN UMUM .................................................................................. 96
9 SIMPULAN DAN SARAN UMUM ............................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 102
LAMPIRAN ........................................................................................................ 111
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 116

DAFTAR TABEL

1 Roadmap penelitian karbon dan stabilisasi ekosistem di ekosistem lamun
8
2 Nilai parameter sistem CO2 di ekosistem lamun Pulau Pari selama
penelitian
27
3 Nilai parameter sistem CO2 di ekosistem lamun pada beberapa lokasi
penelitian
29
4 Prosentase penutupan dan kerapatan E. acoroides dan T. hemprichii
selama penelitian
43
5 Parameter fisika kimia pada air laut dan sedimen selama penelitian
47
6 Produksi dan potensi pemanfaatan CO2 oleh daun lamun
58
7 Luasan lamun di Gugusan Pulau Pari berdasarkan data citra
62
8 Presentase karbon dan nitrogen di sedimen selama penelitian
63
9 Nilai konsentrasi karbon (C %) di sedimen berdasarkan analisis di
laboratorium pada beberapa lokasi penelitian
70
10 Nilai kandungan total karbon (TC), total karbon organik (TOC) dan total
karbon inorganik (TIC) pada sedimen lokasi ekosistem lamun Teluk
Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara dan Pulau Sangalaki,
Kepulauan Derawan, Kalimantan Utara
71
11 Laju pertumbuhan rhizome horisontal T. hemprichii di lokasi penelitian dan
beberapa literatur (cm/tahun)
76
12 Data penyusun model neraca karbon di ekosistem lamun Gugusan Pulau
Pari (Mg CO2)
86

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Kerangka pemikiran
7
Lamun jenis Thalasssia hemprichii
9
Siklus karbon global di laut
12
Respon positif laju fotosintesis terhadap peningkatan DIC pada Thalassia
testudinum (Short dan Neckles 1999)
15
Interaksi antara ketiga ekosistem pesisir laut tropis
16
Rantai makanan pada padang lamun (Community Environment Network
(CEN) 2005)
18
Aliran energi Odum dalam Relative Elevation Model (REM) yang
dikembangkan Rybczyk et al. 1998 (Sumber: Kairis dan Rybczyk 2010)
21
Lokasi penelitian Pulau Pari, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
Jakarta
25
Dinamika DIC, pH, TA dan pCO2 selama 1 tahun pada air laut dan air poros
ekosistem lamun P Pari
28
Dinamika DO, salinitas, temperatur, TSS dan nutrien (fosfat, nitrat, nitrit dan
amonium) selama 1 tahun penelitian pada air laut dan air poros ekosistem
lamun Pulau Pari
31
(a) Perbedaan konsentrasi pCO2air laut/air poros - pCO2atmosfer dan (b) perbedaan
konsentrasi pCO2air laut/air poros - pCO2atmosfer setiap musim
32
(a) Perbedaan konsentrasi pCO2air laut – pCO2atmosfer di Teluk Banten musim
barat, (b) Perbedaan konsentrasi pCO2air laut – pCO2atmosfer di Laut Jawa dekat
dengan Kepulauan Seribu (Sumber: Rustam et al. 2013)
33
Fluks CO2 antara air laut dan atmosfer di ekosistem lamun Pulau Pari selama
penelitian
34
Kandungan karbon di sedimen selama penelitian
35
Korelasi parameter DIC, TA dan pCO2 dengan temperatur pada air laut
36
Grafik analisis komponen utama (a) karakteristik fisikokimia perairan
(F1xF2) dan (b) biplot waktu pengamatan dan karakteristik perairan
(F1xF2)
37
(a) Enhalus acoroides (b) Thalassia hemprichii
40
Diagram alir analisis citra satelit
42
Laju pertumbuhan per daun E. acoroides per musim di Pulau Pari tahun 2011
– 2012
44
Laju pertumbuhan daun Ea (E. acoroides) per tunas (a) selama penelitian
dan (b) berdasarkan musim
45
Pengukuran temperatur dan intensitas cahaya selama penelitian
46
Laju produksi per daun E. acoroides per musim di Pulau Pari tahun 2011 –
2012
47
Laju produktivitas daun E. acoroides per tunas (a) selama penelitian dan (b)
berdasarkan musim
48
Laju pertumbuhan per daun T. hemprichii per musim di Pulau Pari tahun
2011 – 2012
49

25 Laju pertumbuhan daun T. hemprichii per tunas (a) selama penelitian dan
(b) berdasarkan musim
50
26 Laju produksi per daun T. hemprichii (Th) per musim di Pulau Pari tahun
2011 – 2012
51
27 Laju produktivitas daun T. hemprichii per tunas (a) selama penelitian dan (b)
berdasarkan musim
52
28 Peta luasan lamun di Gugusan Pulau Pari berdasarkan citra ALOS, (a)
akuisisi 18 September 2009, (b) akuisisi 3 Mei 2009
53
29 Peta luasan lamun di Gugusan Pulau Pari berdasarkan (a) citra ALOS
akuisisi 21 November 2008 (Sifiani 2011) dan (b) citra ASTER akuisisi 28
Desember 2009 (Shofa 2014)
54
30 Produksi daun E. acoroides dan T. hemprichii di ekosistem lamun Gugusan
Pulau Pari berdasarkan citra ALOS dan citra ASTER
55
31 Tutupan lamun di Pulau Pari pada lokasi permanen (a) pengamatan bulan Mei
2012 dan (b) bulan Juli 2012
56
32 Prediksi CO2 atmosfer yang diserap daun lamun E. acoroides berdasarkan
citra ALOS dan citra ASTER
57
33 Kandungan karbon dalam sedimen selama penelitian dalam Mg C ha-1 dan
Mg CO2 ha-1
63
34 Karbon sedimen di ekosistem lamun Pulau Pari berdasarkan musim dalam
Mg C ha-1 dan Mg CO2 ha-1
64
35 Potensi karbon stok di sedimen (a) potensi tertinggi (b) potensi terendah pada
ekosistem lamun jenis E. acoroides di Gugusan Pulau Pari
65
36 Karbon sedimen lamun berdasarkan kedalaman (a) Teluk Ratatotok dan (b)
Pulau Sangalaki (P3SDLP 2013)
67
37 Karbon sedimen di Tanjung Lesung, Banten (2013) (Sumber: Rustam et al.
2013)
68
38 Morfologi lamun (Sumber: Lanyon 1986)
72
39 Penandaan yang dilakukan pada laju pertumbuhan rhizome (a) E. acoroides
dan (b) T. hemprichii (Short dan Duarte 2001)
74
40 Laju pertumbuhan rhizome T. hemprichii berdasarkan (a) panjang dan (b)
diameter
75
41 Hasil panen rhizome T hemprichii awal penandaan 30 Juli dan panen 8
September 2011 (40 hari); (a) arah rhizome tumbuh di antara rhizome lainnya
dan (b) arah rhizome tumbuh ke lahan kosong
77
42 E. acoroides pada awal penandaan rhizome
78
43 Simulasi penyebaran rhizome horisontal dari tiga jenis lamun yang sangat
berbeda (Halophila ovalis, Thalassodendron ciliatum dan P. oceanica)
Sumber: Hemminga dan Duarte 2000
79
44 (a) Laju produksi rhizome T. hemprichii dan (b) produksi rhizome T.
hemprichii selama penelitian berdasarkan musim
80
45 Grafik analisis AKU (a) karakteristik fisika kimia habitat perairan ekosistem
lamun Pulau Pari (b) korelasi antar parameter fisika kimia pada sumbu 1 dan
2 (F1 X F2)
81
46 Laju dekomposisi E. acoroides selama penelitian
82
47 Neraca karbon lamun jenis E. acoroides di ekosistem lamun Gugusan Pulau
Pari selama penelitian (dalam Mg CO2 selama satu tahun)
87

48 Neraca karbon lamun jenis T. hemprichii di ekosistem lamun Gugusan Pulau
Pari pada musim barat selama penelitian (dalam Mg CO2)
88
49 Neraca karbon lamun jenis T. hemprichii di ekosistem lamun Gugusan Pulau
Pari pada (a) musim peralihan I dan (b) musim timur, selama penelitian
(dalam Mg CO2)
89
50 Neraca karbon lamun jenis T. hemprichii di ekosistem lamun Gugusan Pulau
Pari pada musim peraihan II selama penelitian (dalam Mg CO2)
90
51 Diagram alir model dinamik kebutuhan daun E. acoroides akan CO2, (a)
belum terjadi intervensi dan (b) jika dilakukan intervensi
91
52 Simulasi antara data referensi dan data yang didapat dari simulasi model
92
53 Kebutuhan HCO3- (a) tanpa intervensi (b) intervensi 2%
92
54 Grafik simulasi pada model sistem dinamis kebutuhan HCO 3- daun E.
acoroides selama 5 tahun tanpa intervensi
93
55 Grafik simulasi pada model sistem dinamis kebutuhan HCO3- daun E.
acoroides selama 5 tahun dengan intervensi
95

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jurnal internasional bagian disertasi terbit pada, International Journal
of Remote Sensing and Earth Science Vol 10: No.1 Juni 2013: 37-46
2 Jurnal nasional bagian disertasi terbit pada, Jurnal Segara Vol 10: No.1
Agustus 2014
3 Data parameter sistem CO2 pada air laut dan air poros selama penelitian
4 Data kualitas air laut dan air poros
5 Data konsentrasi karbon dan nitrogen (C dan N) selama pengukuran
dengan Truspec Analysis

111
112
113
114
115

DAFTAR ISTILAH
Above ground/upper ground adalah istilah tanaman lamun yang tumbuh
pada bagian atas sedimen terdiri atas seludang/tunas dan daun
Autotrofik adalah biota yang secara mandiri dapat memenuhi bahan
organik yang dibutuhkan dengan cara mensintesanya dari bahan
anorganik bergantung pada sumber energi yang digunakan
(fotosintesis atau kemosintesis)
Below ground adalah istilah tanaman lamun yang tumbuh di dalam
sedimen terdiri atas rhizome dan akar
Blue Carbon atau karbon biru adalah karbon yang disimpan dalam
ekosistem pesisir dan laut dengan mekanisme proses fotosintesis
oleh biota autotrofik (mangrove, lamun, fitoplankton dan alga) dapat
tersimpan dalam biomasa dan sedimen.
Certified Refference Materials (CRMs) adalah bahan atau larutan yang
homogen dan stabil dengan nilai-nilai parameter yang sesuai yang
digunakan dalam mengkalibarasi suatu alat dalam pengukuran,
CRMs dalam penelitian ini memiliki nilai parameter yang stabil
untuk pengukuran CO2 air laut yang terdiri atas parameter salinitas,
total karbon anorganik terlarut, total alkalinitas,fosfat, silikat, nitrit
dan nitrat.
Dekomposisi adalah penguraian bahan organik menjadi bahan-bahan
sederhana
Dissolved Inorganic Carbon (DIC) atau karbon anorganik terlarut adalah
jumlah total spesies inorganik karbon (CO2, HCO3-, CO32-) dalam
suatu larutan (air laut)
Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu sistem (organisasi)
ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal
balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik (hewan
dan tumbuhan)
Fotosintesis adalah proses biokimia menggunakan energi matahari untuk
menyintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air dalam klorofil
Heterotrofik adalah biota yang memenuhi bahan organik yang
dibutuhkan dengan cara memakan biota lainnya
Giga ton (Gt) merupakan satuan berat (dalam tulisan ini adalah karbon)
setara dengan Penta atau 1015 gram satuan berat lainnya sebagai
berikut:
Kilo103 gram
Mega (ton) 106 gram
Giga109 gram
Tera 1012 gram
Penta 1015 gram
Exa 1018 gram
Zetta 1021 gram
Yotta 1024 gram

Heterotrofik adalah biota yang untuk keperluan hidupnya bergantung
pada bahan organik yang dihasilkan biota lainnya
Karbondioksida (CO2) adalah senyawa kimia anorganik dapat dalam
bentuk gas di atmosfer, gas terlarut di air
Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan vegetasi lamun yang
menutupi suatu area pesisir atau laut dangkal yang terbentuk oleh
satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan
kerapatan yang padat (dense) atau jarang (sparse)
Rhizome atau rimpang adalah batang lamun yang tumbuh secara
horisontal
Sink adalah istilah dalam tulisan ini berarti penyerapan atau penyimpanan
karbon, contoh: jika terjadi interaksi gas CO2 antara atmosfer dan air
laut berarti penyerapan gas CO2 dari atmosfer oleh air laut/perairan.
Source adalah istilah dalam tulisan ini berarti pelepasan atau sumber
karbon, contoh: jika terjadi interaksi gas CO2 antara atmosfer dan air
laut berarti pelepasan gas CO2 dari air laut ke atmosfer atau air
laut/perairan menjadi sumber CO2
Tekanan parsial gas CO2 (pCO2) adalah tekanan yang diberikan
komponen-komponen gas CO2 dalam campuran gas
Total Alkalinitas (TA) adalah konsentrasi total dari unsur basa-basa yang
terkandung dalam air dan biasa dinyatakan dalam mg/ L atau setara
dengan kalsium karbonat (CaCO3) dalam air, basa-basa yang
terkandung biasanya dalam bentuk ion karbonat dan bikarbonat

DAFTAR SINGKATAN
ALOS Advanced Land Observing Satellite adalah nama satelit (Jepang)
yang menghasilkan data citra satelit
ASTER Advanced Land Observing Satellite adalah nama satelit (Jepang)
yang menghasilkan data citra satelit
BMKG Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
BPLHD DKI Jakarta Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
CASI Compact Airborne Spectrographic Imager adalah sejenis citra
satelit
CEN Community Environment Network
Gbb gram berat basah
Gbk gram berat kering
IPCC Intergovermental Panel on Climate Change
MB Musim Barat adalah musim angin barat dicirikan dengan angin
bertiup 7 – 20 knot yang bergerak dari barat laut ke tenggara dan
curah hujan tinggi yang terjadi pada bulan Desember sampai Maret
(http://www.jakarta.go.id/v2/news/2009/11/KepulauanSeribu#.U_FCxMWSyuI)
MP I Musim Peralihan antara musim barat ke musim timur pada bulan
April dan Mei
MP II Musim Peralihan antara musim timur ke musim barat pada bulan
Oktober dan November
MT Musim Timur adalah musim angin timur dicirikan dengan angin
bertiup 7 – 15 knot dan curah hujan rendah yang bergerak dari
tenggara ke barat laut yang terjadi pada bulan Juni sampai
September (http://www.jakarta.go.id/v2/news/2009/11/KepulauanSeribu#.U_FCxMWSyuI)
P3SDLP Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Laut dan
Pesisir
SPAG Stasiun Pemantau Atmosfer Global milik BMKG
SPOT Le Syste’me Pour l’Observation de la Terre adalah satelit
(Perancis) yang menghasilkan data citra satelit

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Besarnya peranan ekosistem lamun bagi kehidupan manusia terbagi atas
dua kategori. Peranan sebagai penyedia sumber daya alam dan sebagai penyedia
jasa. Ekosistem lamun sebagai penyedia sumber daya alam memiliki peranan
antara lain sebagai sumber makanan berupa lamun bagi beragam biota laut
(Bjorndal 1980; Bjorndal 2000; Lardizabal 2006; Nailsma 2006); berupa detritus
maupun serasah. Peranan ekosistem lamun sebagai penyedia sumber daya alam
lainnya adalah ekosistem lamun sebagai habitat berbagai jenis biota, yang
meliputi sekitar 360 spesies ikan, 117 makro alga, 24 jenis moluska seperti kima
pasir (Hyppopus hyppopus), 70 jenis krustase dan 45 jenis ekhinodermata seperti
teripang (Holothuria sp) dan bulu babi (Trineuptes gratilla) (Kiswara 2009).
Lamun sendiri dapat bermanfaat sebagai sumber pupuk hijau, bahan baku kertas,
bahan pembuat tikar (Romimohtarto dan Djuwana 2009). Ekosistem lamun
sebagai penyedia jasa antara lain: 1) sebagai penyedia ruang untuk budidaya,
wisata pemancingan dan penerima limbah, 2) pendaur zat hara, perangkap
sedimen dan peredam arus, serta 3) kemampuannya memfiksasi karbon (CO2
dan HCO3-) dari kolom air (Beer et al. 2002) yang kemudian masuk ke dalam
rantai makanan ataupun disimpan sebagai karbon rosot/sink baik dalam biomassa
atau di sedimen (Duarte dan Cebrian 1996; Duarte dan Chiscano 1999; Duarte
2002; Nelleman et al. 2009), 4) sebagai stabilisasi ekosistem (Duarte 2000;
Duarte 2002; Duffy 2006).
Peranan lamun dalam stabilisasi ekosistem terlihat jika terjadi gangguan
atau penurunan luasan lamun, maka perannya sebagai produser, habitat berbagai
biota serta penyerap dan penyimpan karbon tentunya akan terganggu. Ekosistem
lamun yang rusak pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem di sekitarnya
seperti mangrove ataupun terumbu karang. Penelitian mengenai stabilisasi
ekosistem lebih banyak mengenai asosiasi fauna yang hidup di ekosistem lamun.
Umumnya penelitian hanya dilakukan secara parsial tidak ada interaksi antara
peranan lamun dengan peranan lainnya. Penelitian yang dilakukan lebih banyak
kepada berapa besar produktivitas yang dihasilkan lamun terkait dengan sumber
daya ikhtiofauna. Menurut Duarte (1999) ada 180 paper yang ditulis mengenai
asosiasi fauna dalam ekosistem lamun antara tahun 1989 dan 1997. Salah satu
contoh adalah pola migrasi larva ikan karang ke ekosistem lamun untuk tumbuh
besar menjadi anakan, kemudian anakan ke mangrove dan dewasa kembali ke
terumbu karang (Nagelkerken dan van der Velde 2004).
Potensi lamun sebagai penyimpan karbon (blue carbon) sebenarnya sudah
banyak dilakukan melalui biomassa, tetapi selama ini lebih banyak dikaitkan
dengan produktivitas lamun dalam menghasilkan sumber makanan (lamun,
serasah dan detritus). Penelitian yang dilakukan umumnya berbasis trofik
makanan karena lamun menghasilkan karbon organik dan oksigen (Duarte 2000;
Duarte dan Cebrian 1996; Kaldy et al. 2002). Lamun diketahui terbagi atas dua
bagian, yaitu lamun bagian atas (above ground) dan lamun bagian bawah (below
ground). Potensi lamun sebagai karbon biru (blue carbon) terbesar pada bagian

2
bawah lamun yang terdiri dari rhizome dan akar lamun. Boer (2000)
mendapatkan bahwa rasio biomassa bagian atas dan bagian bawah berdasarkan
berat kering Zostera capensis adalah 1:11 sedangkan Halodule wrightii hanya
1:1.13 di daerah temperate Pulau Inhaca, Mozambique. Selain itu potensi
peranan lamun sebagai penyimpan karbon di sedimen cukup besar, karbon
organik yang dihasilkan lamun 16 % tersimpan dalam sedimen dengan kecepatan
penguburan untuk Posidonia oceanic 58 gC/m2/tahun di perairan Mediterania
(Mateo et al. 1997).
Penelitian lamun mengenai seberapa besar potensinya dalam menyerap
dan menyimpan karbon sampai saat ini masih merupakan estimasi secara global
dengan pendekatan yang dipakai lebih besar pada lamun daerah temperate. Selain
itu penelitian peranan lamun dalam regulasi karbon sampai saat ini sedang diteliti
para peneliti terkait dengan perhitungan kembali peranan laut secara global
dengan memperhitungkan perairan pesisir. Perairan pesisir mewakili sekitar 8 %
dari perairan laut secara global, menghasilkan 25 % produktivitas primer lautan
yang membutuhkan karbon dioksida dalam fotosintesisnya (Ribas-Ribas et al.
2011). Bouilon dan Connolly (2009) mengatakan bahwa perairan pesisir daerah
tropis merupakan bagian penting dalam siklus karbon global karena tingginya
produktivitas yang terjadi baik dari sungai maupun ekosistem mangrove, lamun
dan terumbu karang. Laut marginal termasuk pesisir diperkirakan mampu
menenggelamkan CO2 dari atmosfer berkisar antara 0.22 dan 1 PgC per tahun
(Borges 2005; Borges et al. 2005; Borges 2011). Biomassa yang dihasilkan lamun
dari berbagai penelitian dan peluang sebagai karbon rosot seperti yang dirangkum
Nelleman et al. 2009 bahwa lamun mampu menyimpan karbon sebesar 27.4 – 44
Teragram karbon per tahun (TCy-1) dengan luasan 0.33 juta km2 yang merupakan
estimasi luasan terendah dan bisa mencapai 82 TCy-1 dengan estimasi luasan 0.6
juta km2. Namun demikian ini semua baru dapat terjadi jika stabilisasi ekosistem
lamun terjaga dari gangguan eksternal. Secara global terjadi penurunan ekosistem
lamun yang merupakan ancaman, sebelum tahun 1940 terjadi laju penurunan 0.9
% per tahun dari luas lamun sebelumnya dan menjadi 7 % pertahun sejak tahun
1990 (Waycot et al. 2009).
International Panel Climate Change (IPCC 2007) menunjukkan bahwa
konsentrasi CO2 di atmosfer sebelum revolusi industri tahun 1780 sebesar 280
ppm (part per million). Namun konsentrasi CO2 saat ini meningkat tajam, hasil
pengukuran rata-rata secara global antara tahun 1984 dan 2011 sebesar 390 ± 0.1
ppm, sedangkan di Indonesia berdasarkan pengukuran BMKG di Stasiun
Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Bukit Koto Tabang rata-rata konsentrasi CO2
antara tahun 2004 dan 2013 sebesar 379.9 ± 4.9 ppm, khusus pada pengukuran di
Indonesia telah mencapai 390.3 ppm pada bulan Juni 2013, nilai ini mengalami
peningkatan 2.66 % sejak pengukuran tahun 2004 (379.6 ppm) (BMKG 2014).
Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer otomatis akan meningkatkan konsentrasi
CO2 di perairan laut. Menurut para ahli hal ini yang menjadi salah satu penyebab
terjadi perubahan iklim global di seluruh belahan dunia (IPCC 2007).
Dampak positif peningkatan CO2 dalam perairan terhadap lamun
berdasarkan penelitian yang dilakukan Palacios dan Zimmerman (2007)
menunjukkan hal positif yaitu adanya peningkatan biomassa lamun Zostera
marina pada percobaan skala mesocosme di California, USA yang mengalirkan
buangan CO2 dari pembangkit listrik ke dalam petak percobaan berisi tanaman

3
lamun. Campbel dan Fourqueran (2012) mendapatkan hasil yang sama dengan
melakukan pengayaan CO2 pada lamun jenis Thalassia testudinium terutama
pada biomasa bagian atas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gazeau et al. (2005) di Teluk Mediterinia, bahwa proses metabolisme yang
memanfaatkan CO2 dan menghasilkan O2 dalam fotosintesis lebih besar pada P.
oceanica sebesar 17.6 ± 8.5 mmol O2 m-2 per hari dibandingkan plankton -4.6 ±
5.9 mmol O2 m-2 per hari.
Penelitian mengenai dampak positif peningkatan karbon di atmosfer
masuk ke kolom air dan diserap lamun yang akhirnya dipakai untuk pertumbuhan
lamun masih sangat kurang dan baru dimulai sepuluh tahun terakhir dan terutama
di daerah subtropis yang umumnya dalam skala laboratorium. Pertumbuhan lamun
diwujudkan dalam biomassa lamun juga mengindikasikan adanya peluang besar
bahwa lamun selain berfungsi sebagai produser berupa daun, serasah ataupun
detritus juga berpotensi sebagai penyimpan karbon terutama dalam sedimen.
Ekosistem lamun yang subur dan sehat akan menyimpan karbon yang berasal dari
biomasa dan gugur serasah tanaman lamun itu sendiri baik bagian atas (above
ground) dan yang terbesar adalah bagian below ground lamun (akar dan
rimpang/rhizome) yang terkubur dalam sedimen, yang dapat mencapai ribuan
tahun. Sistem perakaran yang rapat akan menjebak sedimen yang halus sehingga
karbon yang tersimpan dalam sedimen akan tetap tersimpan tidak akan lepas
kembali ke dalam kolom air (source) bahkan ke udara.
Potensi jenis lamun sebagai penyimpan karbon dalam penelitian saat ini
difokuskan pada lamun berukuran besar. Palacios dan Zimmerman (2007)
meneliti lamun jenis Z. marina, Campbell dan Fourqueran (2013) menggunakan
lamun jenis T. testudinium, jenis lamun P. oceanica ( Romero et al. 1994; Mateo
et al. 1997; Gacia et al. 2002 dan Barron et al. 2006), Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata (Kiswara 2010; Supriadi 2012).
Perairan Indonesia memiliki jenis lamun berukuran besar antara lain adalah E.
acoroides, T. hemprichii, Thalassodendron ciliatum, Cymodocea serrulata dan
Halodule uninervis. Penelitian potensi lamun sebagai penyimpan karbon (karbon
biru) di Indonesia telah lama dilakukan yang terfokus pada biomassa berat kering
dari seluruh jenis yang ditemukan dan diketahui lamun berukuran besar yang
tersebar merata di seluruh perairan Indonesia antara lain adalah jenis E. acoroides
dan T. hemprichii.
Terjadinya penurunan luasan dan distribusi lamun akibat aktivitas manusia
(antropogenik) baik secara fisik dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan
(pengerukan, reklamasi pantai) ataupun limbah dari daratan terutama nutrien
menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian mengenai lamun sehingga
pengelolaan ekosistem pesisir tidak hanya terfokus pada ekosistem mangrove dan
ekosistem terumbu karang saja. Kurangnya informasi ilmiah mengenai peranan
lamun dalam memfiksasi CO2 juga menjadi salah satu alasan penting dalam
penelitian ini. Selain itu publikasi ilmiah yang ada mengenai lamun di dunia
terjadi kesenjangan informasi antara daerah subtropis dan tropis terutama daerah
Asia Tenggara. Menurut Ooi et al. 2011 hanya ada 65 publikasi ilmiah
internasional yang ditemukan dan terbanyak di Indonesia 24 publikasi yang
terbatas areanya di daerah Sulawesi terutama daerah Wakatobi.
Oleh karena itu penelitian mengenai kontribusi lamun sebagai regulator
karbon dan stabilisator ekosistem terutama stabilisasi dalam menyimpan karbon

4
dalam sedimen perlu dilakukan. Penelitian ini penting dilakukan terutama pada
lamun berukuran besar seperti E. acroides dan T. hemprichii, sehingga
kurangnya informasi ilmiah dan peranan lamun dalam regulasi karbon dan
stabilisasi ekosistem dapat disediakan. Manfaat besar dari lamun akan menjadi
salah satu bahan pertimbangan dalam mengelola ekosistem pesisir dengan lebih
baik dan terintegrasi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pentingnya peranan lamun yang diuraikan di atas yaitu
sebagai stabilisasi ekosistem serta kemampuan menyimpan karbon sangat perlu
untuk diketahui secara ilmiah dan lebih rinci, terutama secara temporal yang
mewakili musim timur, musim barat dan musim peralihan di daerah ekuator
tropis. Untuk menjawab permasalahan di atas salah satu lokasi penelitian adalah
ekosistem lamun Pulau Pari. Pulau Pari merupakan salah satu pulau bagian dari
gugusan Pulau Pari yang merupakan laboratorium alam, memiliki ekosistem
pesisir yang lengkap yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan
ekosistem lamun. Terdapat tujuh jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pari yaitu
E. acoroides, T. hemprichii, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Syringodium
isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila ovalis. Sisi barat dan selatan
Pulau Pari ditemukan padang lamun monospesies E. acoroides dan T. hemprichii
yang cukup luas. Selain itu ditemukan padang lamun campuran dengan dominasi
dua jenis lamun sampai tujuh jenis lamun. Keberadaan lamun yang cukup
lengkap menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu lokasi penelitian yang ideal.
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa pendekatan agar dapat menjawab
permasalahan kontribusi lamun dalam regulasi karbon dan stabilisasi ekosistem.
Pendekatan pertama untuk menjawab peranan lamun dalam siklus karbon
ekosistem pesisir melalui kajian interaksi antara atmosfer dan air laut di
ekosistem lam