Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu

Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu

Untuk memudahkan pengertiannya secara garis besar istilah desain tata letak sirkuit terpadu dibagi dua yaitu: desain tata letak dan sirkuit terpadu yang masing- masing pengertiannya adalah sebagai berikut :  Sirkuit terpadu (circuit layouts)

Adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang didalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu didalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik;  Desain tata letak

Adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.

Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain tata letak sirkuit terpadu. Hak desain tata letak sirkuit terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.

Dasar Hukum

Desain tata letak sirkuit terpadu diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU DTLST), dan mulai berlaku sejak tanggal 20 Desember 2000.

Obyek dan Perlindungan

1. Yang orisinil, DTLST dinyatakan orisinil apabila desain tersebut merupakan hasil karya mandiri pendesain dan bukan merupakan tiruan dari hasil karya pendesain lain; Yang bukan merupakan sesuatu yang umum (commonplace) bagi para pendesain.

2. Yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama atau kesusilaan.

Subyek Dari Hak Desain Tata Letak Terpadu

1. Yang berhak memperoleh hak DTLST adalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari pendesain.

2. Dalam hal pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, hak DTLST diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain. Hak DTLST diberikan atas dasar Permohonan.

Jangka Waktu Perlindungan

Ketentuan jangka waktu perlindungan terhadap hak DTLST adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap hak DTLST diberikan kepada pemegang hak terhitung sejak pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial dimanapun, atau sejak tanggal penerimaan;

2. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selama 10 (sepuluh) tahun.

Hak Pemegang Hak DTLST

Pemegang hak DTLST memiliki hak sebagai berikut:

1. Hak eksklusif : Pemegang hak memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan hak desain tata letak sirkuit terpadu yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang didalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang telah diberi hak desain tata letak sirkuit terpadu.

2. Hak megajukan gugatan secara perdata dan atau tuntutan secara pidana kepada siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang di beri hak DTLST.

Prosedur Mengajukan Permohonan Pendaftaran

Permohonan pendaftaran DTLST diajukan kepada Ditjen HKI dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Mengisi formulir permohonan yang memuat:  Tanggal, bulan, dan tahun surat pemohonan

 Nama, alamat lengkap dan kewarganegaran pendesain  Nama, alamat lengkap dan kewarganegaran pemohon  Nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa;

dan Tanggal pertama kali dieksploitasi secara komersial apabila sudah pernah dieksploitasi sebelum permohonan diajukan.

2. Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, serta dilampiri :  Salinan gambar atau foto serta uraian dari desain yang dimohonkan pendaftarannya  Surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa; Surat pernyataan bahwa desain yang dimohonkan pendaftarannya adalah

miliknya  Surat keterangan yang menjelaskan mengenai tanggal sebagaimana dimaksud

dalam butir (1).

3. Dalam hal permohonan diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu pemohon, permohonan tersebut ditandatangani oleh satu pemohon dengan dilampiri persetujuan tertulis dari para pemohon lain

4. Dalam hal permohonan diajukan oleh bukan pendesain, permohonan harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa pemohon berhak atas desain yang bersangkutan

5. Membayar biaya permohonan. Untuk mendapatkan tanggal penerimaan sebagai tanggal diterimanya permohonan, syarat minimal yang harus dipenuhi pemohon adalah:

 Mengisi formulir permohonan  Melampirkan salinan gambar atau foto dan uraian dari desain yang dimohonkan  Membayar biaya permohonan. Hal ini untuk mempermudah pemohon mendapatkan tanggal penerimaan, yang berlaku sebagai tanggal berlakunya perlindungan atas DTLST. Namun, kekurangannya harus segera dipenuhi oleh pemohon. Apabila ternyata terdapat kekurangan syarat-syarat dalam permohonan tersebut maka Ditjen HKI memberitahukan kepada pemohon atau kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan pemenuhan kekurangan tersebut, dan dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan atas pemintaan pemohon.

Apabila kekurangan tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, Ditjen HKI memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya bahwa permohonannya dianggap ditarik kembali, dan segala biaya yang telah dibayarkan kepada Ditjen HKI tidak dapat ditarik kembali. Setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu desain. Pemohon yang bertempat tinggal di luar Wilayah Republik Indonesia, harus mengajukan permohonan melalui kuasa dan harus memilih domilsili hukum di wilayah Republik Indonesia.

Pengalihan Hak

Hak DTLST dapat dialihkan dengan cara :

4. perjanjian tertulis,

5. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak DTLST disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak dan wajib dicatat dalam daftar umum DTLST pada Ditjen HKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apabila pengalihan tersebut tidak dicatatkan maka tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan hak DTLST kemudian diumumkan dalam Berita Resmi DTLST. Pengalihan hak DTLST tidak menghilangkan hak pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam sertifikat, berita resmi maupun dalam daftar umum DTLST.

Lisensi

Pemegang hak berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi dalam waktu tertentu dan syarat tertentu untuk melaksanakan haknya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang didalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang telah diberi hak, kecuali jika diperjanjikan lain. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan dalam daftar umum DTLST dan diumumkan dalam berita resmi DTLST pada Ditjen HKI dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian yang tidak dicatatkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga.

Bentuk dan Isi Perjanjian Lisensi

Pada dasarnya bentuk dan isi perjanjian lisensi ditentukan sendiri oleh para pihak berdasarkan kesepakatan, namun tidak boleh memuat ketentuan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha.

Pembatalan

DTLST yang telah terdaftar dapat dibatalkan dengan 2 cara, yaitu:

1. Berdasarkan permintaan pemegang hak DTLST yang terdaftar dapat dibatalkan oleh Ditjen HKI atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang hak. Apabila desain tersebut telah dilisensikan, maka harus ada persetujuan tertulis dari penerima lisensi yang tercatat dalam daftar umum DTLST, yang dilampirkan pada permintaan pembatalan pendaftaran tersebut. Jika tidak ada persetujuan maka pembatalan tidak dapat dilakukan.

2. Berdasarkan gugatan Gugatan pembatalan pendaftaran dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 atau pasal 3 UU DTLST kepada pengadilan niaga. Putusan Pengadilan Niaga tersebut disampaikan kepada Ditjen HaKI paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan.

Ketentuan Pidana

1. Barang Siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama

3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah)

2. Barang Siapa dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 19, atau Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) dan atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (Empat puluh lima juta rupiah)

3. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan.

Daftar Referensi

1. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Rachmadi Usman, SH. Alumni, Bandung, 2002

2. Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Prof. Dr. Eddy Damian, S.H

3. Pengenalan HKI, Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi. Dr. Ir. Muhammad Ahkam Subroto, M.App.Sc. & Dr. Suprapedi, M.Eng. PT.Indeks,Jakarta.2008.

4. http://www lemlit.ugm.ac.id

5. http://www.konsultasihukumonline.com

6. http://www. Wikipedia.com

7. http://www. Ditjen HKI. go.id.

8. UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang

9. UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri

10. UU No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

11. UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten

12. UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek

13. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta .

Perkembangan HaKI di Indonesia

Di Indonesia, HaKI mulai populer memasuki tahun 2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika kepopulerannya itu sudah sampai puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika mau turun, muncullah hukum siber (cyber), yang ternyata perkembangan dari HaKI itu sendiri. Jadi, HaKI akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu yang baru. seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang tidak pernah berhenti berinovasi.

Peraturan perundangan HaKI di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.

Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.

Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang- undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.

Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya beberapa konvensi internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HaKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di bidang HaKI, dengan mengundangkan:

- Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No.

6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;

- Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No.

6 Tahun 1989 tentang Paten;

- Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No.

19 Tahun 1992 tentang Merek; Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga

mengundangkan : - Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

- Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; - Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang- undang tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undangundang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:

- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan - Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pengaruh International Covention & International Pressure Terhadap Pembentukan HaKI

Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:

a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No.

15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;

b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;

c. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;

d. Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;

e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997; Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997; Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat

. HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata, HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industri dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untuk memberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu

yang dimiliki. Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu payung pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada

menggerakkan seluruh

potensi

ekonomi

norma-norma internasional. Dari segi hukum, sesungguhnya landasan keberpihakan pada kepentingan nasional itu telah tertata dalam berbagai pranata HaKI. Di bidang paten misalnya, monopoli penguasaan dibatasi hanya 20 tahun. Selewatnya itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim monopoli dihentikan dan masyarakat bebas memanfaatkan. Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin reputasi. Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaran merek ditolak

koridor

hukum

dan

tidak baik. Banyak pemikiran yang menawarkan tesis bahwa efektivitas UU ditentukan oleh tiga hal utama. Yaitu, kualitas perangkat perundang-undangan, tingkat kesiapan aparat

bila

didasari

iktikad

pemahaman masyarakat. Pertama, dari segi kualitas perundang-undangan. Masalahnya adalah apakah materi muatan UU telah tersusun secara lengkap dan memadai, serta terstruktur dan mudah dipahami. Aturan perundang-undangan di bidang HaKI memiliki kendala dari sudut parameter ini. Hal ini terbukti dari seringnya merevisi perangkat perundangan yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali direvisi. Demikian pula UU Paten dan UU Merek yang telah disempurnakan lagi setelah sebelumnya bersama-sama direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen pengaturan

penegak

hukum

dan

derajat derajat

multiinterpretasi. Kedua, tingkat kesiapan aparat penegak hukum. Faktor ini melibatkan banyak pihak: polisi, jaksa, hakim, dan bahkan para pengacara. Seperti sudah sering kali dikeluhkan, sebagian dari para aktor penegakan hukum tersebut dinilai belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Dengan menepis berbagai kemungkinan terjadinya 'penyimpangan', kendala yang dihadapi memang tidak sepenuhnya berada di pundak mereka. Sistem pendidikan dan kurikulum di bangku pendidikan tinggi tidak memberikan bekal substansi yang cukup di bidang HaKI. Karenanya, dapat dipahami bila wajah penegakan hukum HaKI masih tampak kusut dan acapkali diwarnai berbagai kontroversi. Ketiga, derajat pemahaman masyarakat. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut masyarakat memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi

yang

tidak

jelas

atau

melahirkan

karena kurangnya Dari paparan di atas tampak bahwa faktor pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat penegak hukum, memiliki korelasi yang kuat dengan kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan. Sosialisasi menjadi tingkat prakondisi bagi efektivitas penegakan hukum. Efektivitas penegakan hukum sungguh sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat. Semakin tinggi pemahaman masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula kondisi aparat. Semakin bulat pemahaman aparat, semakin mantap kinerja mereka di lapangan. Keduanya merupakan faktor yang menentukan. Karenanya, sosialisasi merupakan keharusan. Sosialisasi diperlukan utamanya untuk membangun pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Seiring dengan itu untuk meningkatkan pemahaman dan memantapkan kemampuan aparat

wacana

yang

sangat

terbatas

masalah HaKI. Di antara bidang-bidang HaKI yang diobservasi, hak cipta, dan merek merupakan korban paling parah akibat pelanggaran. Terdapat empat kategori karya cipta yang banyak dibajak hak ekonominya. Data ini direpresentasi oleh karya program komputer, musik, film dan buku dari AS yang secara berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi kerugian berbagai komoditas tersebut telah memaksa AS menghukum Indonesia dengan menempatkannya ke dalam status priority watchlist dalam beberapa tahun terakhir ini. Di bidang merek, pelanggaran tidak hanya menyangkut merek-merek asing. Selain merek terkenal asing, termasuk yang telah diproduksi di dalam negeri, merek-merek lokal juga tak luput dari sasaran peniruan dan pemalsuan. Di antaranya, produk rokok, tas, sandal dan sepatu, busana, parfum, arloji, alat tulis dan tinta printer, oli, dan bahkan onderdil mobil. Kasus pemalsuan yang terakhir ini terungkap lewat operasi penggerebekan terhadap sebuah toko di Jakarta Barat yang mendapatkan sejumlah besar onderdil Daihatsu palsu. Pelakunya telah

dalam

menangani menangani