2.1.6 Kelemahan Program Pengentasan Kemiskinan Petani
Kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokonya. Di Indonesia kemiskinan masih menjadi masalah
besar yang ditunggu penyelesainnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun tetap saja tingkat kemiskinan masih
tinggi. Perlu adanya evaluasi program pengentasan kemiskinan agar program tersebut dapat berjalan sesuai tujuan. Selain itu, terdapat beberapa kelemahan
program pengentasan kemiskinan sehingga tidak berjalan secara efisien. Kelemahan program kemiskinan tersebut, yaitu Salim dan Kahono, 2001:
a. Masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro daripada pemerataan.
b. Sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi.
c. Lebih bersifat karitatif daripada transformatif.
d. Memposisikan masyarakat sebagai objek dan bukan subjek.
e. Cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan masih berorientasi pada
charity dari pada productivity.
f. Asusmsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama
daripada pluralistis. Menurut Komite Penanggulangan Kemiskinan KPK, 2003 beberapa
kelemahan upaya penanggulangan kemiskinan yang berjalan selama ini antara lain:
a. Program-program penanggulangan kemiskinan masih bersifat parsial, belum
terpadu dan komprehensif. b.
Belum tersedianya instrumen upaya penanggulangan kemiskinan yang spesifik sesuai dengan keragaman dimensi permasalahan kemiskinan di setiap
daerah. c.
Berbagai kebijakan yang semula diproyeksikan untuk mengatasi masalah kemiskinan pada kenyataannya melahirkan masalah baru, yang menyebabkan
berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan.
d. Lemahnya birokrasi pemerintah, kecilnya peran masyarakat, LSM, tidak
sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, terhambatnya komunikasi pembuat program dengan stakeholders.
Selain itu, kesalahan analisis atau pentargetan sebagaimana terjadi dalam program-program ini menyebabkan banyak keluarga miskin gagal menikmati
manfaat program-program tersebut. Ada banyak alasan mengapa terjadi pentargetan yang buruk, seperti sistem data dan informasi yang tidak tepat,
kurangnya waktu untuk analisis mikro dan persiapan program, serta terlalu banyak program yang menggunakan pendekatan pentargetan berdasarkan
wilayah. Sebagian besar aspek sosialisasi dan pelaksanaan adalah kurang memadai karena berbagai sebab.
Kegagalan penanganan kemiskinan petani selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam
perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut Salim dan Kahono, 2001:
a. Perumusan sasaran yang jelas, berupa hasil akhir yang diharapkan dari
kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.
b. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor
internal kekuatan dan kelemahan dan eksternal peluang dan ancaman, tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan
ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan petani.
c. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik objek, kegiatan, dibatasi waktu dan
terukur, sehingga pengentasan kemiskinan petani jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang
dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas. d.
Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada di lapangan, dan
apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.
e. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal
kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Agar program pengentasan kemiskinan tidak mengalami kegagalan, perlu adanya efektifitas program seperti Kartasasmita, 1996:
a. Percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan mengubah
paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal.
b. Program yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek
strategis dan ekonomis. Pada kenyataannya banyak terjadi program-program yang telah dirancang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Penentuan
lokasi dan penerima manfaat program lebih ditentukan oleh kedekatan spesial kelompok-kelompok tertentu dengan birokrasi maupun legislatif. Kondisi ini
tentunya sangat sulit untuk menilai efektifitas program yang dilakukan dari aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan
sosial. c.
Sinergi dan ego sektoral. Pembangunan di sektor pertanian selama ini masih belum menunjukkan adanya sinergisitas antar seluruh stakeholder. Sinergi
antarbidang pembangunan sangat diperlukan demi kelancaran pelaksanaan dan tercapainya secara efektif dan efisien berbagai sasaran pembangunan.
Demikian pula dengan adanya indikasi ego sektoral di dalam suatu pengelolan pembangunan. Konkretnya, program-program pertanian yang dilakukan harus
ditunjang oleh semua sektor terkait. Perencanaan pembangunan ke depan semestinya mengakomodasi konsep pemberdayaan dan partisipatif petani
sebagai subyek dari kemiskinan itu sendiri. d.
Kebijakan pertanian secara formal dinyatakan berlaku dan bisa dipaksakan, tetapi pada tahap pelaksanaan bisa kehilangan kekuasaan otonominya apabila
kondisi dan karakter sosial orang-orang yang terlibat pengentasan kemiskinan petani tidak diperhitungkan secara matang. Pada dimensi ini penting ada
analisis sosial, politik, psikologis, dan ekonomis terhadap para politisi, pengusaha, birokrat, dan respons masyarakat lain di luar petani, agar
diketahui dan bisa dibangkitkan komitmennya terhadap program pengentasan kemiskinan petani tersebut. Pengentasan kemiskinan bukanlah pekerjaan
instan melainkan perlu kerja keras, kebersamaan, dan keterpaduan segenap komponen bangsa.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian Prastyo 2010 dengan judul penelitian “Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan Studi Kasus 35 KabupatenKota di Jawa Tengah”, menggunakan metode panel data dengan pendekatan efek tetap
fixed effect model, dan menggunakan jenis data sekunder. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum,
pendidikan, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan. Menganalisis perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupatenkota di Jawa Tengah.
Penggunaan dummy wilayah dalam penelitian ini adalah untuk melihat variasi tingkat kemiskinan di 35 kabupatenkota di Jawa Tengah. Hipotesis dalam
penelitian ini ada 4 yaitu: a.
Diduga variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan kabupatenkota di Jawa Tengah tahun 2003-2007.
b. Diduga variabel upah minimum kabupatenkota di Jawa Tengah berpengaruh
negatif terhadap kemiskinan kabupatenkota di Jawa Tengah tahun 2003- 2007.
c. Diduga variabel pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan
kabupatenkota di Jawa Tengah tahun 2003-2007. d.
Diduga variabel pengangguran berpengaruh positif terhadap kemiskinan kabupatenkota di Jawa Tengah tahun 2003-2007.
Hasil penelitian ini menunjukan variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan tingkat pengangguran berpengaruh signifikan terhadap variabel
tingkat kemiskinan. Oleh karenanya perkembangan pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan tingkat pengangguran patut menjadi pertimbangan
untuk mengatasi masalah kemiskinan. Rejekiningsih 2011 dengan judul penelitian
”Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural” bertujuan
mendeskripsikan dan mengidentifikasi karakteristik masyarakat miskin di kota Semarang. Sampel yang dipilih adalah masyarakat miskin di empat kelurahan di
kota Semarang, yaitu: Kelurahan Bubakan, Kelurahan Krobokan, Kelurahan Genuksari dan Kelurahan Tandang. Kajian kemiskinan dalam penelitian ini akan
dianalisis melalui pendekatan dimensi kultural. Dari hasil penelitian diketahui