RUMUSAN MASALAH PEMBAHASAN PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF DALAM HUKUM POSITIF | Abdullah | ZISWAF : Jurnal Zakat dan Wakaf 1524 5000 1 SM

Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 40 Jurnal Zakat dan Wakaf 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf tersebut, memberikan setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut mengamanatkan pemerintah untuk memberikan pembinaan terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut fungsi pembinaan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintah, melainkan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat melalui Badan Wakaf Indonesia BWI. Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan. Selain itu, kadang-kadang muncul permasalahan perebutan hak kepemilikan tanah wakaf antara nadzir dengan ahli waris wakif bahkan ada oknum yang telah berani secara melawan hukum untuk memindahtangankan atau mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan serta penegakan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi agar berkepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia UUDNRI 1945, sehingga semua aktiitas di Negara kita diatur oleh hukum.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah judul yang nantinya akan dibahas berdasarkan rumusan masalah ini. Adapun rumusan masalah penulis adalah bagaimana penyelesaian sengketa wakaf dalam hukum positif.

C. PEMBAHASAN

Secara etimologi, wakaf berasal dari kata waqf yang berarti al-habs yang berbentuk masdar ininitive noun dengan arti “menahan, berhenti, atau diam”. Apabila kata Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 41 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Secara lexicograis perkamusan, kata al-waqf sama artinya dengan at-tahbis dan att-asbil, yaitu al-habs‘an at- tasarruf, “mencegah agar tidak mengelola” . Kata waqf dibatasi penggunaanya pada obyek tertentu, yakni benda wakaf, sehingga kata al-waqf disamakan pengertiannya dengan al- habs . Kata ini dalam dalam Mausu‘ah Fiqh Umar Ibn Khottab diartikan dengan menahan asal harta dan menjalankan hasilnya. Dalam khazanah ikih Islam, wakaf dimaknai dengan menahan dan memelihara keutuhan suatu benda yang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan pada jalan kebenaran atau menggunakan hasilnya pada jalan kebaikan dan kebenaran guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di dalam kitab-kitab iqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Deinisi wakaf menurut mazhab iqh cukup bervariasi. Kelompok Hanaiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda al-‘ain milik waqif orang yang mewakafkan dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Sementara Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad sigat dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan waqif. Adapun dari komunitas mazhab Syai‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya al-‘ain dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh waqif untuk diserahkan kepada nazir yang dibolehkan oleh syari’ah. Sedangkan Hanabilah mendeinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta tanah dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan Said Agil Husin Al-Munawar : 2004, 127. Di dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamnya guna kepentingan ibadat atau keperluan Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 42 Jurnal Zakat dan Wakaf umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Deinisi yang termuat dalam Undang-Undang ini tampaknya sama dengan deinisi wakaf yang tercantum dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 215 jo. pasal 1 1 PP No. 28 Tahun 1977. Dari beberapa deinisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syari’ah Islam. Sebagaimana fungsi wakaf yang disebutkan dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yakni wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam Kamus istilah Fiqih, wakaf adalah memindahkan hak milik pribadi yang menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat. Hal ini berdasarkan ketentuan agama dan tujuan taqarub kepada Allah SWT, untuk mendapatkan kebaikan dan keridloannya M. Abdul Mujieb dkk : 1994, 414. Sejalan dengan perkembangan zaman, di Indonesia wakaf mulai diatur dalam hukum positif dan masalah yang berkaitan dengan diselesaikan di Pengadilan Agama. Dalam KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 215 disebutkkan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam Abdurrahman : 1997, 165. Hampir di setiap daerah memiliki tanah yang dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga maupun untuk kepentingan umum, misalnya di daerah Banten terdapat “Huma serang”, Huma adalah lading-ladang yang setiap tahun dikerjakan secara bersama-sama dan hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama . Di pulau Bali juga ada lembaga semacam wakaf yakni berupa tanah dan dan barang-barang lain seperti benda-benda perhiasan untuk pesta yang menjadi milik candi atau dewa-dewa yang tinggal di Bali. Di Lombok juga terdapat tanah adat yang disebut dengan “Tanah Pareman”, yakni tanah Negara yang Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 43 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 dibebaskan dari pajak Landrente yang diserahkan kepada desa-desa, subak, dan juga kepada candi untuk kepentingan bersama Abdurrahman : 1979, 14. Syarat-syarat wakaf menurut hukum Islam dan Ter Haar tidak jauh berbeda. Ter Har menyatakan bahwa pembuat wakaf harus mempunyai hak dan kuasa penuh ditinjau menurut hukum adat atas barang yang diwakafkan, barangnya harus ditunjuk dengan jelas dan tidak boleh dipakai kearah larangan Islam, tujuannya yang halal itu harus dilukiskan dengan kata-kata terang, itupun jika tujuan yang tidak dilahirkan tidak kentara dengan sendirinya, tujuannya itu sifatnya harus tetap, orang-orang diwakai harus ditunjuk seterang-terangnya dan seberapa mungkin mereka menyatakan menerima baik perwakafan itu Kabul, Pembuat wakaf menetapkan pengurusannya dengan jalan mengangkat seseorang pengurus jika pengurusnya tidak ada maka Kepala Pegawai Masjid menurut hukum diharuskan mengurusnya, itupun di Jawa. Jika pembuatan wakaf sudah terlaksana sepenuhnya untuk itu bisa dibuat surat akte, maka kedudukan barang itu diatur oleh hukum adapt oleh unsur-unsur agama dari padanya, segala tindakan untuk dicapai tujuannya adalah kewajiban pengurus, termasuk juga pengurus perkara Muhammad Daud Ali : 95. Persamaan lain tampak dalam pengertian atau perumusan wakaf menurut hukum adat yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusumo yaitu pemberian, menyediakan sesuatu benda yang zatnya kekal, seperti tanah, untuk dinikmati dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan. Tingginya sikap jujur dan saling percaya satu dengan yang lain di masa-masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf swmacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan- Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 44 Jurnal Zakat dan Wakaf persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan. Keberadaan perwakafan tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor Urusan Agama KUA di Kabupaten dan Kecamatan, bukti Arkeologi, Candra Sengkala, Piagam Perwakafan, dan cerita sejarah tertulis maupun lisan Achmad Djunaidi, : 48. Khusus perwakafan tanah, telah ada peraturan perundang-undangan positif yang berlaku, khususnya Peraturan PP No. 28 Tahun 1977. PP inilah yang banyak menjadikan acuan Buku III KHI, tetapi PP ini bukan satu- satunya atuaran yang berlaku tentang perwakafan tanah di Indonesia, karena PP itu mengatur pelaksanaan salah satu Undang-undang. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang tanah wakaf ini semakin lengkap dengan terbitnya Undang-undand Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dalam pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak ikrar wakaf ditandatangani. Selain itu dalam Pasal 40 UU No. 412004 ini ditentukan pula bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan dijual, diwariskan ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Perkecualian atas ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum. Kemudian harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya tersebut haruslah didaftarkan kembali oleh Nazhir melalui PPAIW kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia. Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 yang telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 45 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik. Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek wakaf sengketa yang diatur dalam pasal 49 tersebut, apabila subyek sengketanya antara orang-orang yang beragama Islam maka Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 sebagai berikut: Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksud pada ayat 1 yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Ahmad Roiq : 2000, 498. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Pengadilan Agama Rembang, : 2007, 61, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Teknis dan tahapan berperkara di Pengadilan Agama dilakukan menurut Hukum Acara Peradilan Agama yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, GugatanPermohonan, JawabanRekonpensi, Replikjawaban Rekonpensi, DuplikReplik Rekonpensi, Duplik Rekonpensi, Pembuktian, Kesimpulan, Putusan, Eksekusi jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan. Tahap kedua, Memori Banding yang dibuat Pembandingkuasanya, Kontra Memori Banding yang dibuat Terbandingkuasanya, Eksekusi jika tidak ada upaya hokum Kasasi dari yang dikalahkan. Tahap ketiga, Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasikuasanya, Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 46 Jurnal Zakat dan Wakaf Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi kuasanya, Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Penyelesaian sengketa wakaf berdasarkan tradisi hukum positif Indonesia adalah: 1. Non-Litigasi a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR Konsep sulh perdamaian sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab iqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa itrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dapat disampaikan sebagai berikut: 1 Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi: “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang”. Penjelasan Pasal 3 ayat 1 : Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping Peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan Badan Peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit arbitrase tetap diperbolehkan 2 Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan : “Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 47 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis” 3 Pasal 1855 KUHPerdata: “Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkaraan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan” 4 Pasal 1858 KUHPerdata : “Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan klekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan” 5 Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal yakni Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa b. Mediasi Berbicara tentang mediasi, yang penting adalah bahwa dalam mediasi itu terdapat keterlibatan pihak ketiga yang independent untuk memberikan fasilitas dari mediasi. Dengan kata lain mediasi adalah negosiasi antara kedua belah pihak yang dibantu pihak ketiga yang bersifat netral. Penyelesaian perkara secara mediasi di Pengadilan berbeda dengan penyelesaian perkara melalui arbitrase dan lain-lain. Arbitrase menurut Subekti Subekti : 1981, 32 diartikan sebagai berikut: “Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 48 Jurnal Zakat dan Wakaf diberikan oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau tunjuk tersebut”. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan- persoalan yang dikuasakan kepadanya Khotibul umam : 2010, 10. Tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa perwakafan Pasal 62 UU No. 412004 BAB VII Pasal 62 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjelaskan sebagai berikut: 1 Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat 2 Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Mediasi menurut Takdir Rahmadi dalam bukunya Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, yang dimaksud dengan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak yang netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial Takdir Rahmadi : 2010, 12. Pasal 62 UU No. 412004 menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan terhadap harta benda wakaf agar terlebih dahulu mengutamakan Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 49 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 sikap musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil dilakukan, dapat diselesaikan melalui mediasi maupun arbitrase. Jika ketiga cara tersebut juga tidak berhasil dilakukan, maka cara terakhir yang harus ditempuh adalah melalui jalur pengadilan litigation . Berdasarkan setelah pemberlakuan UU No.32006 tentang perubahan atas UU No. 71989 tentang kekuasaan mutlak absolut competence Peradilan Agama bahwa perkara perdata antara orang yang beragama Islam, dalam hal ini masalah yang berkaitan dengan praktik perwakafan harus diselesaikan di Pengadilan Agama. 2. Litigasi Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 1 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Agama. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang diselesaikan oleh pengadilan Rusmadi Murad : 1991, 22. Dalam kontek wakaf, Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Penyelesaian perkara perdata wakaf melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Agama saja, tetapi bisa juga di Pengadilan Negeri karena jika dengan putusan Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 50 Jurnal Zakat dan Wakaf peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama 1999 bahwa para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti enforceable, artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. Oleh karena itu tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati, sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada perkembanganya, terutama menyangkut masalah transaksi kerjasama bidang dagang internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh pihak- pihak yang bersengketa. Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004 terdapat ketentuan pidana, yaitu masih terbatas sasaran Nazdhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini terjelaskan dalam pasal 67 ayat 1 dan ayat 3; a. Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana Penyelesaian Sengketa Wakaf dalam Hukum Positif 51 ZISWAF, Vol. 1, No. 1, Juni 2014 dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. b. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun danatau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 empat ratus juta rupiah. c. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Ketentuan tersebut merupakan wujud dari Negara yang berdasarkan hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUDNRI 1945. Mempunyai sifat normatif sehingga berdasarkan asas legalitas, hukum tersebut merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Oleh karena itu, dengan adanya sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

D. KESIMPULAN