BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Salah satu problem pendidikan Islam adalah masalah integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Secara implisit, problem
ini termasuk dalam problem dikotomi ilmu pengetahuan. Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah
timbulnya kesenjangan antara sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum. Dalam buku Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,
Kertanegara mengomentari hal itu sebagai berikut: “Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber
ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber- sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran
sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi.”
1
Oleh karena itu, integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional merupakan bagian dari problem-problem tersebut. Pendekatan yang
dilakukan hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu, Kementerian Agama secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Orientasi usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama bisa diajarkan di sekolah-sekolah dan
adanya pengembangan madrasah. Secara spesifik, usaha ini ditangani oleh bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya
pengajaran agama di sekolah-sekolah, disamping itu juga mengakui sekolah agama madrasah sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan
Tap MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan
1
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik Bandung: Artasy Mizan, 2005, 22-23.
tinggi, di samping itu pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Kementrian Agama.
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Caracter Building,
sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama masing-
masing. Akhirnya, Tap MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan keagamaan pesantren dan madrasah dalam kerangka
sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, lebih memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
2
Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah yang tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut
merupakan persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang tentang satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional, sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal 31 UUD 1945. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih
dikukuhkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 juga tentang Sistem Pendidikan Nasional, usaha integrasi pendidikan Islam ke dalam Sistem
Pendidikan Nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap. Bertolak dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun
2003 pasal 339, yang mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia mengarahkan warganya kepada kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah
satu bentuk realisasi dari UU Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang harus di pilih untuk menjadikan pendidikan lebih bersifat
menyeluruh integral-holistik. Gagasan integrasi nilai-nilai Islami dan umum ini bukanlah sebuah wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan
2
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007, 204-213.
sebuah kebutuhan mendesak yang harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada, mengingat pendidikan selama ini dipengaruhi oleh
dualisme yang kental antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umumsekuler yang menyebabkan dikotomi ilmu. Bukti nyata dari kebutuhan adalah adanya
panduan dan model integrasi ilmu ini ditunjukan dengan diselenggarakannya berbagai seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu, sampai pada
kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, madrasah mengalami perubahan sekolah agama
menjadi sekolah umum bercirikan khas Islam. Pengintegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan titik puncaknya pada awal
2000, setelah Presiden RI ke 4 K.H. Abdurrahman Wahid yang mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Berdasarkan Hal itu Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem
pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama. Inilah yang diharapkan dan mengakhiri dikotomi pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Pentingnya integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka normatif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
diungkapkan Ali Asraf bahwa tujuan pendidikan Islam: Pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan
mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik dengan berbagai
kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan,
lingkungan sosial,
dan pembangunan
nasional. Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan
peradaban Islam di atas semua kebudayaan lain. Keempat, memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif
dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar
berpikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak
pada hipotesis dan berbagai konsep pengetahuan yang dituntut. Keenam, mengembangkan, dan memperdalam kemampuan
komunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa latin Asing.
3
Dalam UU No.202003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas Pasal 3 disebutkan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi
warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya
adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan- urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan
bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah Islam, melainkan justru nilai-nilai
dari demokrasi. Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas sekulerisme
pendidikan tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan,
“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat,
berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu dipahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang
sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan
3
Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, 267-274.
manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus
memarjinalkan peranan Tuhan.
B. SKB Tiga Menteri 1975