Kontribusi Pemikiran Kh. Abdul Wahab Chasbullah Dalam Pengembangan Pendidikan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur

KONTRIBUSI PEMIKIRAN KH. ABDUL WAHAB
CHASBULLAH DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM TAMBAKBERAS
JOMBANG JAWA TIMUR

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :
ACHMAD ISTIKHORY YAHYA
NIM : 108011000002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

ABSTRAK
Nama : Achmad Istikhory Yahya

NIM : 108011000002
Judul : Kontribusi Pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam Pengembangan
Pendidikan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa
Timur.
Sumbangsih atau kontribusi dalam pengembangan pendidikan itu sangat penting.
Apalagi pendidikan untuk pondok pesantren. Saat ini pendidikan pesantren adalah warisan
yang sangat berharga untuk anak bangsa. Apa mereka dibelakali dengan ilmu maka hidup
mereka akan sejahtera. Semua orang juga berhak menerima pendidikan pesantren, oleh
karena itu pada saat ini banyak bermunculan berbagai pondok pesantren di Indonesia.
Kontribusi adalah sumbangsi yang dilakukan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah
dalam pengembangan pendidikan pondok pesantren dengan meneruskan ayahnya KH.
Chasbullah di Tambakberas Jombang Jawa Timur. Kontribusinya baik dibidang
kelembagaan, ide dan gagasan.
Dari penelitian yang dilakukan, penulis mencoba menganalisa mengenai kontribusi
KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam pengembangan pendidikan di Pondok Pesantren Bahrul
Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur.
Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah
mengalisa data. Proses analisa data dimulai menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, atau
dokumentasi lainnya. Kemudian, data tersebut dibaca, dipelajari secara cermat. Dan

dideskripsikan memberikan gambaran, penafsiran dan uraian.
Hasil penelitian yang penulis lakukan adalah kontribusi yang dilakukan oleh KH.
Abdul Wahab Chasbullah diantaranya: 1. Dibidang Kelembagaan, dibidang kelembagaan ini
KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan memperbaharui system yang dulunya system salafi
yang komponen pendidikannya hanya antara pengajar dan pendidik (Kyai dan Santri)
menjadi system modern atau system madrasah yang beliau adopsi dari system pendidikan
luar/ barat dan system pendidikannya selalu mengikuti perkembngan zaman. 2. Ide dan
Gagasan KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah ide-ide yang lahir hanya sekedar teori,
melainkan diwujudkan dengan praktek. Sebagai bukti nyata kebenaran ide tersebut adalah
kebesaran pesantren Bahrul „Ulum serta kebesaran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Dari hasil kontribusi KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak ada lagi rasa khawatir untuk
masyarakat untuk bisa meraih mimpi menjadi Kyai atau Ulama Besar yang bisa mendirikan
Pondok Pesantren.

i

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Penyayang dan Maha Kuasa karena dengan izin dan kekuatan-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kontribusi Pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah

dalam Pengembangan Pendidikan pondok pesantren Bahrul Ulum”, yang merupakan
persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan strata 1 (S1) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu kepada Nabi Muhammad SAW
sehingga selama pemyusunan skripsi ini tidak sedikit kesulitan yang dihadapi penulis, baik
menyangkut waktu, pengumpulan data, maupun biaya yang tidak sedikit dan sebagainya.
Namun dengan niat, tekad dan kesungguhan hati serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan meskipun disadari masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu dengan rasa syukur serta hormat penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam hal menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu
dengan kerendahan hati, ucapan terima kasih ini penulis tujukan terutama kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan beserta Pembantu Dekan, Bagian
Akademik, Administrasi dan Keuangan.
2. Bahrissalim, MA selaku Ketua Jurusan. Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag selaku Sekretaris
Jurusan dan Faza Amri, S.Th.I selaku Staf Jurusan.
3. Abdul Ghofur, MA selaku Penasehat Akademik
4. Drs. Abdul Haris, M.Ag sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya
guna memberi bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Hj. Hizbiyah Rochim, MA dan Ir. H. Edi Labib Patriaddin yang telah mengizinkan

penulis melakukan penelitian dan telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Kedua Orangtuaku tersayang dan tercinta Ayahanda Yahya dan Ibunda Suherni, yang
selalu memberikan limpahan kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan moril, spiritual
maupun material yang tiada henti. Terima kasih semua atas jasamu, semoga apa yang
Ayahanda dan Ibunda berikan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Amin.
7. Untuk Adik-adikku tersayang (Achmad Siyamul Hakiki & Qayatullah Farhan) yang
telah mendoakan dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga kalian
bisa melebihi pencapaian Aa. Amin.

ii

8. Kawan-kawan seperperjuangan untuk kelas PAI A 08, terima kasih untuk kalian yang
menemani hari-hari penulis selama kuliah.
9. Kawan-kawan Langkar Hijau Hitam HMI Cabang Ciputat dan Inada Ciputat.
10. Teruntuk My Honey Sarah Zein yang menginspirasi dan juga memotivasi penulis, terima
kasih sudah membantu dan menemani penulis dari kejauhan sampai skripsi ini selesai dan
selalu ada untuk penulis baik suka maupun duka.
11. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas
segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.

Penulis memohon kepada Allah SWT agar melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada semua yang telah membantu penulis, sebagai imbalan jasa yang telah dilakukan.
Hanya kepada Allah SWT sajalah penulis berharap semoga apa yang penulis kerjakan
mendapatkan keridhaan dan kecintaan-Nya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Jakarta, 21 Desember 2012

Penulis
Achmad Istikhory Yahya

iii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ……………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ........... ............................................................................ ii
DAFTAR ISI …………………………………………………...……………… iv
BAB I


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………. 6
C. Pembatasan Masalah ………………………………………… 6
D. Rumusan Masalah …………………………………………… 7
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………. 7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pondok Pesantren
1. Pengertian Pesantren ………………………………..…….. 8
2. Sejarah Perkembangan Pesantren ……………….....…...…. 9
3. Unsure-unsur Pondok Pesantren ………………….….….. 14
a. Kiai …………………………………….….….………. 14
b. Santri ………………………………………..…….….. 14
c. Masjid ………………………………………..…..…… 15
d. Pondok …………………………………...…..…....….. 15
e. Kitab Kuning ……………………………...…..………. 15

f. Sistem Pendidikan Pesantren ………………...…....….. 16

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
A. Deskripsi Objek Penelitian ……...…………………………….. 26
B. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………….…… 27
C. Metode Penelitian ……………………………………….…….. 27
D. Analisis …………..…………………………………….……… 29
E. Teknik Penulisan …………………………………….…...…… 29

iv

BAB IV

PERAN

KH.

ABDUL


PENGEMBANGAN

WAHAB

PENDIDIKAN

DI

CHASBULLAH
PONDOK

DALAM

PESANTREN

BAHRUL ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG JAWA TIMUR
A. Deskripsi Pondok Pesantren …………………………..…….. 30
1. Lokasi …………………………………………………………. 31
2. Sejarah singkat pendok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jawa Timur

a. Periode Rintisan Pertama …………………….……..… 31
b. Periode Rintisan Kedua …………………….…..…….. 32
c. Periode Pengembangan Pertama …………….……..…. 32
3. Visi dan Misi …………………………………….………….... 33
4. Sejarah dan Lambang Pesantren…………….…………….….. 35
5. Struktur Organisasi ……………………….………….….....… 38
6. Sistem Pendidikan …………………….………………….….. 38
7. Daftar Unit Asrama ………………………….………….….... 40
8. Daftar Unit Pendidikan Formal ……………….…….…....….. 41
9. Pengasuh dan Tenaga Pengajar …………………..……..…… 42
10. Alumni ………………………………………….……...…….. 42
11. Susunan Pengurus Yayasan Pesatren …………….……..…… 43
B. Biografi KH. Abdul Wahab Chasbullah
1. Latar Belakang Keluarga ……………………………………. 47
2. Masa Pendidikan dan Pengalaman ……………….………….. 49
3. Latar Belakang Sosial Politik …………………..……………. 52
4. Karya-karyanya ………………………………….….………... 58
5. Guru-gurunya …………………………………..…………….. 58
C. Kontribusi Pengembangan KH. Abdul Wahab Chasbullah
1. Periode Pengembangan Pertama ………………....…....….... 58

2. Periode Pengembangan Kedua …………..........….………… 59
3. Periode Pengembangan Tahun 2012 ………………...…..….. 63
4. Bidang Kelembagaan ………………………………..……… 64
5. Ide dan Gagasan ……………………………………………. 69

v

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 71
B. Saran ………………...……………………………………… 72

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejak Indonesia merdeka pendidikan Islam sebagai lembaga telah
dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Dalam setiap perundangundangan yang muncul, pendidikan Islam selalu saja dimasukkan di dalam
undang-undang tersebut, setidaknya dalam peraturan pemerintah yang
berkenaan dengan pendidikan, seperti halnya Undang-undang Nomor 4 tahun
1950 dan undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, begitu juga pada UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 terakhir Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003.
Di dalam mengaplikasikan pendidikan Islam tersebut, pemerintah
memberi wewenang kepada Kementerian Agama untuk mengelola, mengatur
agar lebih dapat dilaksanakan peranannya sebagai lembaga pendidikan yang
mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkenaan dengan itu dilakukan berbagai
hal untuk merevitalisasi pendidikan Islam, baik sebagai mata pelajaran
maupun sebagai lembaga.1
Revitalisasi juga terjadi pada berbagai pondok pesantren. Dengan kata
lain pondok pesantren juga mengalami pergeseran yang sangat signifikan
terutama dalam pendidikan Islam.
1

Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Mencerdaskan
bangsa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), Cet. I. hal. 1

1

2

Pondok pesatren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Pesatren di Indonesia mengadopsi
sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang
sebelum datangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama ada di
negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap
perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh
nasional yang berpengaruh di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil
membentuk watak bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Asal asul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh
walisongo abad XV-XVI di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya
di Jawa selama berabad-abad.2Dengan mendasarkan pada latar belakang
kesejarahan itu, seperangkat teori pendidikan harus diajukan dalam
pengembangan pondok pesantren. Kepemimpinan kyai-ulama di pondok
adalah sangat unik, karena mereka memakai sistem kepemimpinan pra
modern. Relasi sosial antara kya-ulama-santri dibangun atas landasan
kepercayaan, bukan karena patron klien sebagaimana dilakukan masyarakat
pada umumnya. Ketaatan santri kepada kiai-ulama lebih diutamakan karena
mengharapkan barakah.
Hubungan yang kurang harmonis antara pemerintahan colonial disatu
sisi dengan pesantren disisi lain berlanjut hingga memasuki era kemerdekaan
Republik ini. Hal ini tercermin dalam berbagai dokumen sejarah, misalnya
hasil rapat BPKNIP tanggal 12 Desember 1945 yang diantaranya menyebutkan
bahwa madrasah dan pesantren hendaklah mendapatkan perhatian dan
bantuan. Artinya, pesantren tidak diperlukan sebagai bagian internal dari
sistem pendidikan nasional ketika itu seperti halnya sekolah. Keadaan
semacam ini disatu sisi dapat mempertegas kemandirian pesantren, tetapi disisi
lain membuat pesantren semakin tertinggalkan. Akibatnya, ada semacam

Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 1, hal. 56
2

3

kendala ketika pemerintah Orde Baru bermaksud menggelindingkan roda
medernisasi, termasuk dalam wilayah pesantren.
Belakangan

ini,

seiring

dengan

gencarnya

program-program

pemberdataan pesantren, baik yang diprakarsai Pemerintah maupun LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat), lambat laun asumsi itu semakin kabur. Kini,
label “tradisional” yang diidentikan dengan dunia pesantren tampaknya mulai
diabaikan. Hingga saat ini, dunia pesantren terus mengalami perubahan atas
sistem pendidikan yang sering dilabelkan tradisional itu.
Dalam pengamatan Zamakhsyari Dhofier, banyak pendidikan formal
model madrasah-madrasah tentunya termasuk yang berada dalam lingkungan
pesntren berubah status menjadi sekolah umum berciri khas Islam, mulai dari
Madrasah Ibtidaiyyah (MI) yang ditransformasikan menjadi Sekolah Dasar
(SD) yang berciri khas Islam, Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang
ditransformasikan menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berciri
khas Islam, sampai Madrasah Aliyah (MA) yang ditransformasikan juga
menjadi Sekolah Menengah Ats (SMA) yang berciri khas Islam pula. Meski
tidak semua pesantren mengalami perubahan dengan seperti itu, tetapi seiring
perkembangan dunia pendidikan umumnya dan kebutuhan tenaga kerja
terampil, tampaknya gejala transformasi dunia pesantren tidak bisa dielakan.
Selain perubahan status kelembagaan, metode pembelajaran, dan sistem
pengelolaan, perubahan-perubahan yang menandai transformasi pesantren juga
terjadi pada pergeseran spectrum keilmuan yang dikembangkan di pesantren
itu sendiri.3
Perubahan juga terjadi pada pesantren-pesantren NU sebuah organisasi
besar yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926) di
Surabaya. Pendiri NU adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur.
Secara Etimologi Nahdhatul Ulama terdiri dari dua bahasa Arab, Nahdlatul
artinya bangkit dan Ulama adalah komunitas cendikiawan yang mampu
menerima, melestarikan dan meneruskan tradisi dan budaya generasi
3

2006), hal. 3-5

Amin Haedar, Transformasi Pesantren, (Jakarta: LekDis dan Media Nusantara

4

bermanfaat. NU adalah organisasi berhaluan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
dengan berpegang teguh pada salah satu dari 4 madzhab yaitu: Syafi’I, Maliki,
Hambali, dan Hanafi.4
Sebenarnya keinginan mendirikan organisasi ini telah lama muncul
sejak 1924. Waktu itu KH. Abdul Wahab Hasbullah telah menyampaikan
kepada KH. Hasyim Asy’ari masih belum berkenan. KH. Abdul Wahab
Hasbullah menyadari arti pentingnya organisasi untuk memperkokoh kesatuan
diantaranya para ulama. KH. Hasyim Asy’ari baru merestui berdirinya
organisasi para ulama setelah adanya desakan-desakan perlunya mendirikan
organisasi oleh situasi ketika itu dan setelah memperoleh restu dari KH. Khalil
Madura.
NU berasasakan Islam dan bertujuan diantaranya: menegakkan Syari’at
Islam dengan berhaluan salah satu pada empat madzhab yaitu: Syafi’I, Hanafi,
Maliki, dan Hambali, serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam
dalam masyarakat.
Diawal masa berdirinya, NU menitik beratkan perjuangan dibidang
pendidikan, sosial, dan perkembangan. Sedangkan dibidang pendidikan
Nahdlatul Ulama berupaya memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan
berbasiskan Islam. Sistem Madrasah atau Sekolah diperkenalkan dengan tetap
melestarikan sistem pendidikan ala pesantren.
Dibidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlatul Ulama
membentuk satu bagian khusus mengelola kegiatan bidang ini dengan nama
Al-Ma’rifah yang bertugas untuk membuat dan perundangan dan program
pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di
bawah naungan NU. Dalam salah satu keputusan dari suatu konferensi besar
Al-Ma’rifah NU seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-26
Februari 1954, ditetapkan susunan sekolah atau madrasah Nahdlatul Ulama
sebagai berikut: Raudhatul Athfal, SR (Sekolah Rakyar) atau SD, SMP NU,

4

Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia 1999). Hal. 94

5

MMP NU (Madrasah Menengah Pertama), MMA NU (Madrasah Menengah
Atas), Mualimin atau NU.5
Dengan demikian, tampak organisasi NU bermaksud mempertahankan
praktek keagamaan yang sudah mentradisi di Nusantara untuk mengimbangi
gencarnya ekspansi pembaharuan Islam. Para ulama yang tergabung dalam
organisasi ini khawatir bila pembaharuan atau modernisasi Islam akan
melenyapkan paham keagamaan yang selama ini mereka jalani.
Pembaharuan pendidikan yang diterapkan di pesantren Tebuireng
merupakan awal yang bagus bagi kemajuan, khususnya di pulau Jawa dan
Madura, pada perkembangan berikutnya, mdernisasi tersebut merupakan
contoh bagi pesatren di Jawa untuk lebih terbuka lagi terhadap sistem
pendidikan modern.
Berbarengan dengan itu Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU)
didirikan oleh KH. Abdus Salam seorang keturunan Raja Majapahit, pada
tahun 1838 M di desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa
Timur. Cerita yang mengisahkan kenapa KH. Abdus Salam seorang keturunan
ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara
penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker. KH. Abdus
Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk
bersembunyi menghindari kerajaan tentara Belanda. Bersama pengikutnya
kemudian beliau membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah
langgar (Musholla) dan tempat pondokkan sementara untuk 25 orang
pengikutnya. Karena itu, pondok pesantren itu juga dikenal dengan pondok
selawe (dua Puluh Lima). Perkembangan pondok pesantren ini menonjol saat
kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan
pada tahun 1967 beliau memberikan nama dengan Bahrul Ulum yaitu lautan
ilmu.6 Beliau adalah cicit KH. Abdus Salam. Setelah kembali dari belajar di
Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi pondok pesatren. Ia yang pertama
kali mendirikan madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi
5
6

Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. 10, hal. 181-182
Jejak Pesantren, tvOne Hari Minggu, 25 Agustus 2012 Jam: 16.00

6

Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi
itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada
tahun 1926.
Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam megasuh
pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Beliau memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun
kemudian pendiri NU itu pulang ke Rahmatullah.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan kontribusi pemikiran pendidikan yang diterapkan oleh pondok
pesantren Bahrul Ulum ke dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “KONTRIBUSI PEMIKIRAN KH. ABDUL WAHAB
HASBULLAH

DALAM

PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN

PESANTREN BAHRUL TAMBAKBERAS JOMBANG JAWA TIMUR”
B. Identifikasi Masalah
1. Alasan yang melatarbelakangi KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk
membentuk pendidikan pesantren Bahrul Ulum Jombang
2. Konsep pemikiran pendidikan pesantren Bahrul Ulum KH. Abdul Wahab
Hasbullah
3. Tantangan dan hambatan apa saja yang dihadapi KH. Abdul Wahab
Hasbullah untuk membentuk pendidikan pesantren Bahrul Ulum Jombang
4. Respon masyarakat terhadap gagasan KH. Abdul Wahab Hasbullah
tentang pendidikan pesantren Bahrul Ulum Jombang
5. Landasan filosofis pemikiran KH. Abdul Wahab Hasbullah dan
membentuk pendidikan pesantren Bahrul Ulum Jombang
C. Pembatasan Masalah

Ranah pemikiran pendidikan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang
sangat luas. Maka penulis membatasi penelitian mengenai:
1. Bagaimana landasan filosofis KH. Abdul Wahab Chasbullah dalam
membentuk pendidikan pesantren Bahrul Ulum Jombang

7

2. Pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah tentang kelembagaan pondok
pesantren Bahrul Ulum
3. Bagaimana Ide-ide KH Abdul Wahab Chasbullah
D. Rumusan Masalah

1. Pemikiran KH. Abdul Wahab Hasbullah tentang kelembagaan pendidikan
pesantren Bahrul Ulum Jombang
2. Ide-ide KH Abdul Wahab Chasbullah

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Memberikan informasi mangenai pengembangan pendidikan pesantren
Bahrul Ulum Jombang yang ditawarkan oleh KH. Abdul Wahab
Hasbullah
b. Memberikan sebuah wacana dalam pengembangan pendidikan
pesantren Bahrul Ulum Jombang
c. Memberikan wacana tentang pentingnya pengembangan pendidikan
pesantren Bahrul Ulum Jombang
2. Kegunaan Penelitian
a. Menambah

wacana

kajian

sejarah

pengembangan

pendidikan

pesantren Bahrul Ulum Jombang
b. Meningkatkan kualitas pengembangan pendidikan pesantren Bahrul
Ulum Jombang
c. Memberikan

kontribusi

pemikiran

pesantren Bahrul Ulum Jombang

pengembangan

pendidikan

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu; “pondok” dan
“pesantren”. Kata pondok berasal dari bahasa Arab “fundug” yang berate
hotel atau asrama. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang
dibuat dari bambu (karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat
tinggalnya).1 Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata pondok mempunyai
dua arti, yaitu bangunan untuk tempat sementara seperti yang didirikan di
ladang, hutan dan lain sebagainya dan diartikan juga dengan tempat
mengaji dan belajar ilmu agama Islam.2
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan bentuk khas
sebagai tempat dimana proses pengembangan keilmuan, moral dan
ketrampilan para santri menjadi tujuan utamanya. Istilah pesantren berasal
dari kata santri dengan awalan “Pe” dan akhiran “An” yang berarti tempat
tinggal santri. Kata santri sendiri John berasal dari Bahasa Tamil yang
berarti guru mengaji. Sedangkan Berg berasal dari kata Shantri yang dalam

1
2

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet,1, hal. 18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 695

8

9

Bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau
sarjana ahli kitab Hindu. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren
memilki lima elemen penting yaitu pondok tempat penginapan santri,
masjid, pengajaran kitab-kitab kalsik, dan Kiai.
Sedangkan dalam pandangan KH Abdurrahman Wahid, terdapat
tiga elemen dasar yang membentuk pondok pesantren sebagai subkultur
(1). Pola kepemimpinan pondok pesantren yang madiri tidak terkooptasi
oleh Negara, (2). Kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari
berbagai abad, (3). Sistem nilai (value sistem) yang digunakan adalah
bagian dari masyarakat luas. Kepemimpinan Kiai di pondok menggunakan
sistem kepemimpinan pra-modern dengan mendasarkan pada asas saling
percaya. Ketaatan santri pada Kiainya lebih didasarkan pada sebuah
pengharapan yaitu dapat limpahan barakah (grace).
Pengertian pondok pesantren versi KH. Imam Zarkasyi:
a. Pesantren harus berbentuk asrama (full residential Islamic Boarding
School)
b. Funngsi kyai sebagai central figure (Uswah Hasanah) yang berperan
sebagai guru (mu‟allim), pendidik (murabbi),

dan pembimbing

(mursyid)
c. Masjid sebagai pusat kegiatan
d. Materi yang diajarkan tidak terbatas kepada kitab kuning saja.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pondok merupakan
tempat tinggal sementara bagi para pelajar yang mengaji dan belajar ilmu
agama Islam yang jauh dari rumahnya.

2. Sejarah Perkembangan Pesantren
Tumbuh pesantren berawal dari keberadaan seorang alim yang
tinggal di suatu daerah tertentu yang kemudian berdatangan santri-santri
untuk belajar padanya. Lama kelamaan kediaman alim tersebut tidak
mencukupi sehingga santri bersama-sama membangun pemodokkan
sehingga banyak didirikan bangunan-bangunan baru di sekitar rumah kyai.

10

Lembaga seperti pesantren dikenal di Jawa, di Sumatera disebut
dengan surau, meunasah, dayah, rangkang. Dalam lembaga-lembaga seperti
itula tradisi perkumpulan atau halaqah diperkenalkan. Delam perkumpulan itu,
secara tradisonal dikenal istilah „kaji’ atau „ngaji’, di mana murid (santri)
menyimak, sementara guru (kyai) menerangkan. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa salah satu alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk
menyampaikan ajaran Islam sebagimana yang terdapat dalam kitab-kitab
klasik atau kitab kuning.3
Diketahui secara persis pada pesantren pertama Wakullah yaitu yang
dipimpin oleh Sunan Ampel muncul sebagai pusat pendidikan agama di
Indonesia. Namun kita bisa melihat arah perkembangan dari masa awal
kedatangan agama Islam ke Indonesia. Sejarah membuktikan bahawa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/I H/ tetapi baru meluas pada abad ke-13
M. perluasan Islam ditandai berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia,
seperti Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297.
Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatra Utara dan melalui
urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke pulau
Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian Timur. Walaupun di sana ada
peperangan, tetapi Islam masuk ke Indonesia, dan peralihan dari agama Hindu
ke Islam secara umum berlangsung dengan damai.4
Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan
wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi
historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa
pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan HinduBuddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga
pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan
Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.
3

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 2
4
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan
adan Perkembangannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet-1, hal. 17

11

Seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan, mungkin
pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh
pesantren-pesatren itu. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada
sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain,
tetapi mungkin namanya “Universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng,
Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah
melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem
pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, dimana hampir semua universitas
terkenal cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi
keagamaan. Mungkin juga, seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantrenpesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti
kebanyakan pesantren sekarang ini, melainkan akan berada di kota-kota pusat
kekuasaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana,
sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian
tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut.5
Pondok Pesantren merupakan salah satu cikal bakal dan pilar
pendidikan di Indonesia, selain pendidikan umum dan madrasah. Pesatren
merupakan suatu lembaga yang telah terbukti berpern penting dalam
melakukan transmisi ilmu-ilmu keagamaan di masyarakat. Jumlah pesantren di
Indonesia pada tahun 2003-2004 terdapat 14.656 pesantren. Sebanyak 4.692
buah (32%) merupakan pesantren salafiyah (jalur luat persekolahan yang
hanya memfokuskan pada bentuk pengkajian kitab dengan metode tradisional,
halaqah), sebanyak 3.368 buah (23%) merupakan pesantren ashriyahkhalafiyah (jalur sekolah), dan 6.596 buah (45%) sebagai pesantren kombinasi,
yaitu pesantren yang memadukan sistem salafiyah dan ashriyah-khalafiyah.
Jumlah santri seluruhnya sebanyak 3.369.193 orang, terdiri dari 1.699.474
(50.4%) sebagai santri mukim dan sisanya sebagai santri kalong (tidak
menetap). Dari besarnya jumlah santri ini, belum lagi alumni, tentunya tidak
dapat diabaikan peranannya dalam berpartisipasi dan mendorong pencapaian
tujuan pendidikan nasional.
5

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: PT
Temprint, 1997), hal. 3-4

12

3. Unsur-unsur Pondok Pesantren
a. Kyai
Kyai adalah tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok
pesantre. Sebutan kyai sangat popular digunakan di kalangan kominitas
santri. Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren, tidak
saja Karen kyai yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem
pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan
cerminan dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas asntri.
Kyai juga mempunyai pengaruh yang sangat besar di lingkungan
komunitas santri. Kedudukan dan pengaruh kterletak pada keutamaan yang
dimiliki pribadi kyai, yaitu penguasaan dan kedalaman ilmu agama;
kesalehan yang tercermin dalam sikap danperilakunya sehari-hari yang
sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di lingkungan komunitas
santri. Nilai-nilai yang hidup dan menjadi cirri dari pesantren seperti
ikhlas, tawadhu‟, dan orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai
riyadhah. 6
b. Santri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata santri berarti orang
yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sunguhsungguh, orang yang saleh.7 Santri merupakan sebutan bagi seorang yang
mendalami ilmu agama Islam di suatu tempat atau di pedesaan, dalam hal
ini santri terbagi menjadi dua, yaitu santri mukin dan santri kalong (setelah
mengaji pulang ke rumah). Santri mukim adalah santri yang bertempat
tinggal di pondokkan yang sudah ditetapkan oleh kyainya dan harus
mentaati peraturan yang sudah ditetapkan oleh pesantren itu sendiri, ini
sering kita temui pada Boarding School yang berada di Indonesia.
Sedangkan santri kalong adalah santri yang kerjanya cuma mengaji saja di
pondok tersebut setelah selesai mengaji langsung pulang ke rumah dan
6

Nurhayati Djmas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia PascaKemerdekaan,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2009), hal. 55
7
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), ed. 3, cet. 4, hal. 997

13

tidak terikat dengan peraturan pondok, biasanya santri kalong ini berada di
pondok-pondok salafiyah.
c. Masjid atau Mushalla
Pada

zaman

Rasulullah

masjid

sudah

digunakan

untuk

bermusyawarah oleh para sahabat-sahabat, kemudian pada zaman
walisongo pun sama, kedudukan masjid sangat signifikan terutama pada
pondok pesantren karena masjid digunakan untuk pengajian kitab-kitab
kuning yang dipimpin langsung oleh kyai dan merupakan pusat pendidikan
Islam.
d. Pondok
Pada dasarnya pondok adalah tempat tinggal seorang santri-santri
yang dibimbing langsung oleh kyai, pondokkan ada yang berupa asrama
atau komplek-komlpek yang di dalam terdapat rumah pada Ustad atau
Ustdzah yang mengajar para santru-santri dan rumah kyai itu sendiri yang
masih satu lingkungan dengan para santri-santri. Karena untuk
memudahkan pengawasan santri-santri maka para Ustad, Ustadzah, dan
Kyai tinggal di tempat yang sama.
e. Kitab Kuning
Kitab kuning adalah sebutan untuk literature yang digunakan
sebagai rujukan umum dalam proses pendidikan di lembaga pendidikan
Islam tradisional pesantren. Kitab kuning digunakan secara luas di
lingkungan pesantren, terutama pesantren yang masih menggunakan
metode pengajaran dalam bentuk halaqah. Penggunaan kitab kuning
merupakan tradisi keilmuan yang melekat dalam sistem pendidikan di
pesantren. Sebagai elemen utama dalam sistem pendidikan Islam di
pesantren.
4. Sistem Pendidikan Pesantren
Perubahan pola sistem pendidikan di pesantren merupakan respons
terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan sosial ekonomi pada
masyarakat. Seperti dikemukakan Azyumardi Azra yang menyebutkan empat
bentuk respons pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam yaitu:

14

Pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan
memasukan subjek-subjek umum dan vocational.
Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan
penjenjangan.
Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti perubahan kepemimpinan
pesantren dan diversifikasi lembaga pendidikan.
Keempat, pembaharuan fungsi sosial ekonomi. Di anatara bentuk
perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan di pesantren adalah
penyelenggaraan pendidikan umum, madrasah regular, madrasah diniyah di
samping pesantren salafiyah secara bersamaan, dan pelaksanaan pesantren
kilat secara terporer.8
Terdapat dua macam pengajian di pesantren, yaitu weton dan sorogan.
Weton adalah pengajian yang ini siatifnya berasal dari kyai sendiri, baik
dalam menetukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih lagi kitabnya.
Sedangkan sorongan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari
seorang atau beberapa orabf santri kepada kyainya untuk diajari kitab tertentu.
Pengajian sorongan biasanya hanya diberikan kepada santri-santri yang cukup
maju, khususnya yang berminat untuk menjadi kyai.9
Pada lembaga pendidikan pesantren tradisional (salaf) kurikulum
(materi pengajaran) sangatlah bervariasi, karena kurikulum pada model
pesantren ini sangat ditentukan oleh pengelola lembaganya (kyai). Tapi secara
umum pengajaran pada lembaga pendidikan pesantren salaf adalah kitab-kitab
kalsik, terutama karangan para ulama yang menganut faham Syafi;iyah yang
merupakan satu-satunya materi pengajaran yang diberikan dalam lingkungan
lembaga pesantren pada saat itu. Pada perkembangan selanjutnya, banyak
lembaga pesantren yang telah member pengajaran ilmu-ilmu umum yang
dianggap tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yaitu mendidik para calon
ulama yang tetap konsisten pada ajaran agama Islam.
8

Nurhayati Djmas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia PascaKemerdekaan,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2009), hal.19-20
9
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), cet-1, hal. 28

15

Pada saat ini kita-kitab yang idjarakan pada beberapa lembaga
pendidikan pesantren sifatnya mulai beragam, meskipun lembaga pesantren
tersebut tidak atau belum menggunakan bentuk klasikal atau menggunakan
kurikulum nasional. Namun, pada hakikatnya lembaga-lembaga tersebut mulai
berusaha melakukan

perubahan kurikulum

berdasarkan pada tenaga

pendidikan yang tersedia pada lembaga tersebut. Maka tidaklah heran yang
terjadi kemudian adalah adanya variasi yang unik yang muncul pada lembaga
ini mulai berusaha memunculkan cirri khasnya masing-masing. Dengan
demikian tampaklah lembaga pendidikan pesantren yang lebih dikenal dengan
spesialisasi jenis keahliyannya, meski keahlian tersebut masih sebatas pada
keahlian di bidang keagamaan.
Dari gambaran di atas, maka sudah barang tentu setiap lembaga
pendidikan

pesantren

menetapkan

sendiri

kurikulumnya

(bila

tidak

menggunakan kurikulum nasional terutama pada bentuk lembaga terpada
dengan madrasah). Karen itu lembaga pendidikan pesantren bebas menetapkan
secara mandiri kitab-kitab yang harus diajarakan kepada para santrinya.
Sebagai gambaran, pada umumnya kitab-kitab yang diajarkan oleh
kebanyakan lembaga pendidikan pesantren dari tingkat yang dianggap
terendah sampai pada kitab yang dianggap tertinggi adalah:
a. Nahwa Sharaf, terdiri

dari

Matan

„Awamil, Matan

Jurumiyah,

Mutammimah, Imriti, dan Alfiyah ibn Malik, Matan Bina, Al-Kailani,
Matan Izi, Yaqulu, dan sebagainya.
b. Fiqih, terdiri dari Durus al-fiqh, Matan Taqrib, Al-Bajuri, Fath al-Mu‟in
atau I‟anat al-Talibin.10
Sistem pendidikan pesantren juga terjadi pada semua pesantren yang
berada di Indonesia diantaranya:
a. Pondok Salafiyah
Berbicara Pesantren Salafiyah tidak terlepas dengan Kitab Kuning.
Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan pesantren
10

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 83-85

16

sekitar dua dasawarsa yang silam. Dalam pandangan mereka dianggap
sebagai kitab berkadar keilmuan rendah, ketinggalan zaman, dan menjadi
salah satu penyebab terjadi stagnasi berpikir umat.
Ada dua metode yang dikembangkan di lingkungan pesantren
untuk mempelajari Kitab Kuning: Metode sorogan dan metode bandungan.
Pada cara pertama santri membaca Kitab Kuning di hadapan Kyai Ulama
yang langsung menyaksikan keabsahan para santri, baik dalam konteks
makna maupun bahasa (nahwu dan sharaf). Sementara itu, pada cara
kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang
Kyai Ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya.
Catatan itu bias berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan
(keterangan tambahan). Penting ditegaskna bahwa kalangan pesantren,
terutama yang klasik (Salafi), memiliki cara membaca sendiri,yang dikenal
dengan cara utawi-iki-uki, sebuah cara membaca dengan pendekatan
grammar (nahwu dan sharaf) yang ketat.
Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha kontekstualsasi
kajian Kitab Kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah
berkembang metode jalasah (diskusi kelompok) dan halaqah (seminar).
Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat Kyai Ulama atau
pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer
dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari Kitab Kuning.11
Dan ada juga Halaqah metode yang Unik dalam sistem pendidikan
Islam. Melalui halaqah pembelajaran di masjid terjadi secara intrnsif dan
massif. Pelayanan individual oleh seorang syaikh dapat dilakukan karena
lingkaran murid atau mahasiswa yang belajar jumlahnya tidak banyak.
Dengan pengertian lain, rasio guu murid cukup ideal sehingga proses
belajara mengajar dapat berjalan dengan baik.12

11

KH. Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan, (Bandung, Pustaka Hidayah), Cet,
1, hal, 223-224
12
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
(Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 52-53

17

Waktu mengajar biasanya diberikan pada malam hari agar tidak
mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Tempat-tempat pendidikan
Islam nin-formal seperti inilah yang menjadi embirio terbentuknya sistem
pendidikan pondok pesantren. Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada
pondok pesantren masih hamper sama seperti sistem pendidikan di langgar
atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Dapat ditarik kesimpulan Pondok Salafiyah adalah Pondok yang
mengajarkan para santri-santrinya mengaji kitab-kitab saja selama santri
tersebut masih mempunyai niat belajar yang kuat dan tinggi, tidak ada
batasan sampai berapa tahun untuk belajar di Pondok Salafiyah, biasanya
santri-santri yang mengaji di Pondok Salafiyah tidak terikat dengan
peraturan yang ada, bahkan tidak ada peraturan yang terpenting ketika
mengaji ada, dan yang paling ditekankan adalah kesadaran dari santrisantri untuk menuntut ilmu Allah SWT.

b. Pondok Salafiyah dan Bersekolah di luar
Dalam Pondok Salafiyah dan bersekolah di luar itu ada sedikit
perbedaan yang mana para santrinya datang ke Pondok Salafiyah hanya
untuk mengaji kitab-kitab saja, sedang mereka melakukan kegiatan
sekolah di luar Pondok Salafiyah yang mana para santrinya tidak
mengikuti disiplin yang ada dan tidak terikat asalkan ketika mengaji
mereka datang.
Biasanya setelah selesai sekolah para santrinya tidak langsung
pulang ke Pondok melaikan ada yang bermain dengan teman-temannya,
dan ketika adzan maghrib tiba barulah para santri-santrinya pulang ke
pondok untuk mengikuti pengajian yang akan dipimpin oleh Kyai, setelah
shalat subuh juga biasa ada pengajian lagi tapi biasanya berbeda kitabnya
dengan setelah shalat maghrib.
Banyak yang menyebut santri ini dengan sebutan santri kalong
yang mana mengajinya hanya di malam hari saja.

18

c. Pesantren Klasikal Berjenjang atau Boarding School Kurikulum
Sesuai Pemerintah.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Pesantren ini terbagi pada
dua wilayah: wilayah pengasuhan dan wilayah pengajaran. Seluruh
kegiatan belajar formal di dalam kelas termasuk daalam wilayah
pengajaran. Sementara kegiatan di luar belajar formal di dalam kelas
tersebut, yakni soal asrama, soal makan di dapur, soal ibadah di masjid,
soalh berbahsa Arab-Inggris sehari-hari, soal berlatih pidato dalam tiga
bahasa (Arab, Inggris, dan Indonesia), soal berolah-raga dan lainnya,
masuk dalam wilayah penagsuhan. Tampaknya wilayah pengasuhan inilah
yang mampu membentuk dan mengembangkan kemampuan dan sikap
pribadi sehingga secara emosional dan spiritual para santri mampu
melakukan berbagai tindakan secara mudah dalam segala kondisi.
Aspek pendidikan model pesantren (Boarding School) ini, yang
meliputi aspek pengajaran dan pengasuhan sekaligus, memiliki beberapa
keunggulan yang umumnya tidak dimilki oleh sekolah-sekolah yang
siswanya pilang ke rumah alias tidakn mukim. Dengan pola pengasuhan
yang penuh disiplin, menjadikan para santri memiliki pribadi-pribadi
terdidik dan terpelajar (Being Educated) dengan tingkatan kemandirian
dan kewirausahaan (Entrepreneurship) yang tangguh dan karakter yang
kuat. Aspek-aspek itulah yang kini oleh para sarjana luar dan dalam negeri
disebut dengan personality development dan character building. Dan
dalam hidup ini, berdasarkan survey dan penelitian mutakhir yang
dilakukan oleh banyak ahli, justru aspek-aspek yang terakhir disebutkan
itulah yang lebih menentukan sukses tidaknya seseorang di kemudian
hari.13
Menarik kesimpulan di atas bahwasannya pesantren boarding
school itu adalah suatu yayasan atau lembaga yang di dalamnya ada
peraturan yang harus ditaati oleh para santri-santrinya, dan bagi santri
13

Muhamad Wahyuni nafis, Pesantren Daar El-Qolam Menjawab Tantangan Zaman,
(Tangeran, daar el-qolam press, 2008), Cet, I. hal: 62-63

19

yang melanggar akan dikenakan hukuman atau ikob. Dan setiap harinya
harus menggunakan dua bahasa Arab dan Inggris yang harinya ditentukan
oleh para pengurusa santri (santri kelas akhir Niha’i).
Jenjang pada bording school berpariasi ada yang 6 tahun MTs
sampai Aliyah dan ada yang 3 atau 4 tahun Aliyah saja, kebanyakan
lulusan dari boarding school biasanya diarahkan oleh kyainya untuk
mengabdi selama 1 tahun dan tempatnya sudah ditentukan oleh kyai itu
sendiri, agar mempunyai bekal dikehidupan yang mendatang.

d. Boarding School Kurikulum Sendiri.
1) Tujuan Pendidikan
Peran Imam Zarkasyi di Pondok Modern baru dimulai pada
tahun 1936, pada kesempatan hari terjadinya yang ke-10. Pada waktu
itu ia sedang menjalankan tugas dari gurunya, Mahmud Yunus untuk
mengepalai sekolah Muhammadiyah di Padang Sidempuan. Di
panggial kakaknya, Ahmad Sahal, untuk kembali ke Gontor guna
menetukan masa depan Tarbiyatul Atfal (Pendidikan Kanak-kanak).
Dalam musyawarah Trimurti (Ahmad Sahal, Zainudin Fanani, dan
Imam Zarkasyi) muncul beberapa program usulan. Imam Zarkasyi
mengusulkan program Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI).
Usaha tersebut diterima. Maka dia sendiri kemudian disepakati untuk
memimpinnya karena dipandang lebih menguasai tentang program
tersebut.
Mulai sejak itu, terjadi pembagian tugas di antara tiga tokoh
tersebut. KH Ahmad Sahal bertugas sebagai pengasuh yang
bertanggung jawab atas pendidikan para santri (urusan kesantrian),
Zainuddin Fanani menjadi penasihat yang bertindak sebagai konsultan
dan penyeimbang di antara dua pimpinan, dan Imam Zarkasyi menjadi
direktur KMI yang bertanggung jawab atas pendidikan siswa (urusan
sekolah).

20

Pembaharuan pondok pesantren yang dilakukan Imam Zarkasyi
juga didasarkan pada hasil penelitian para ahli yang melihat sejumlah
kelemahan pondok pesantren tradisional yang perlu dan diatasi sebagai
berikut.
Pertama, dalam bidang kurikulum pesantren tradisional hanya
mengajarkan pengetahuan agama, sehingga lulusannya tidak dapat
memasuki lapangan kerja yang mensyarakat memiliki pengetahuan
umum, penguasaan teknologi dan keterampilan.
Kedua, dalam bidang metodologi pengajaran, pesantren
tradisional kurang dapat memperdayakan lulusannya. Para pelajar
pesantren tradisional (santri) diajari berbagai ilmu bahasa Arab dengan
susah payah dan menjelimet, tapi mereka tidak dapat berbicara dan
menulis bahasa Arab dengan baik. Mereka terlihat minder dan kurang
memiliki rasa percaya diri.
Ketiga, dalam bidang manajemen, pesantren tradisional
menerapkan sistem manajemen yang sentralistik, tertutup, emosional,
dan tidak demokrastis. Semua hal yang berkaitan dengan pengaturan
pesantren sepenuhnya di tangan kyai yang memiliki otorits penuh
sampai ia merasa tidak sanggup lagi, atau meninggal dunia.
Imam Zarkasyi terpanggil untuk mengatasi berbagai kelemahan
pendidikan pondok pesantren tersebut, dengan menekankan pada
tujuan pendidikan yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik
agar siap dan mampu hidup bermasyarakat sesuai dengan bidang
keahliannya.
Dasar pemikiran lainnya yang mendasari pengembangan
Pesantren Gontor Ponorogo tersebut adalah ide-ide yang berkembang
dalam Kongres Umat Islam yang berlangsung di Surabaya dan
dilaksanakan pada pertengahan tahun 1926.
2) Kurikulum Pendidikan
Kesan-kesan

yang

diperoleh

dari

hasil

kunjungan

ke

mancanegara dan catatatn dalam kongres tersebut telah mendorong

21

Imam Zarkasyi untuk menjadikan Pesantren Gontor Darussalm selain
sebagai lembaga pendidikan yang dapat menghasilkan lulusannya yang
mahir dalam bahasa Arab dan Inggris. Hal ini mendorong Imam
Zarkasyi

untuk

melakukan

pembaharuan

terhadap

kurikulum

pendidikan yang ada di pondok pesantren modern Gontor Ponorogo.
Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Pesantren
Modern Gontor adalah 100% umum dan 100% agama. Di samping
pelajaran tafsir, hados fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarakan di
pesantren tradisional, Imam Zarkasyi menambahkan ke dalam
kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu ilmu pengetahuan
umum, sperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan
ilmu ukur), sejarah, tata Negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu
jiwa, dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat
ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu,
yaitu pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pelajaran bahasa Arab
lebih ditekankan pada penguasaan kosa kata, sehingga para santri kelas
satu sudah diajarkan mengarang dalam bahasa Arab dengan
perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu
nahwu dan sharaf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II,
yaitu ketika mereka sudah lancer berbicara dan memahami struktur
kalimat. Bahakan pelajaran Balaghah dan Adabullaghah baru diajarkan
pada saat santri menginjak kelas V. Demikian halnya dengan bahasa
Inggris, Grammar baru diajarkan ketika para santri menginjak kelas III,
sedangkan materi bahasanya sudah diajarkan dari kelas 1.
3) Metode Pengajaran Bahasa
Ide Imam Zarkasyi untuk memperbaiki metode pengajaran
bahasa didasarkan atas ketidakpuasannya melihat metode pengajaran
bahasa yang diterapkan di pesantren. Untuk mengatasi hal yang
demikian, khususnya untuk pengajaran bahsa Arab ditempuh dengan
metode (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa
secara aktif dengan cara memperbanyak latihan (drill), baik lisan

22

maupun tulisan, Imam Zarkasyi juga menerapkan semboyan alkarimah al-wahidah fi alf jumlatin khairun min alf kalimah fi jumlatin
wahidah (kemampuan menggunakan satu kalimat dalam seribu
susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara
hafalan dalam satu kalimat saja).14
4) Pembaharuan Manajemen Pesantren
Demi kepentingan dan pengajaran Islam yang tetap sesuai
dengan perkembangan zaman, Imam Zarkasyi dan dua saudaranya
telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga
yang disebut Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar pewakafan
ini telah dinyatakan di muka umum oleh tiga pendiri pondok tersebut.
Dengan ditandatanganinya Piagama Penyerahan Wakaf itu, maka
Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau
perorangan sebagimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga
pendidikan tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan
Pondok Modern Gontor menjadi milik umat Islam, dan semua umat
Islam bertanggung jawab atasnya.
5) Independensi Pesantren
Keberadaan lembaga pendidikan pesantren di Indonesia pada
umumnya berada di bawah organisasi keagamaan tertentu, khususnya
Nahdlatul Ulama. Jika organisasi tersebut memihak pada salah satu
pertain tertentu maka lembaga pendidikan yang ada di bawahnya
menjadi bagian dari kepentingan partai politik tertentu.
Gagasan independensi Imam Zarkasyi tersebut direalisasikan
dengan menciptakan Pondok Modern Gontor yang benar-benar steril
dari kepentingan politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat
dengan se