Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu
gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil
kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.
Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan,
sekolah dan lain-lain. Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai.
4. Hukum Adat Jawa
Melihat adat budaya Jawa dalam soal pembagian harta waris memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh mekanisme yang berkaitan dengan
asas pewarisan yang dalam prosesnya berbeda dengan ketentuan-ketetuan yang dianut oleh masyarakat diluar masyarakat Jawa tentang adat yang
mengatur ahli waris. Memahami hal mengenai kewarisan maka sistim kekerabatan menjadi hal yang penting untuk dimengerti hal itu lebih
dikarenakan pembagian warisan dalam masyarakat adat sangat bergantung pada sisrim kekerabatan. Menurut Hazairin asas pewarisan yang dipakai
dalam masyarakat adat tergantung dari jenis sistim kekerebatan yang dianut. Pada masyarakat jawa sistim masyarakat jawa yang dianut adalah parental
atau bilateral. Sistim ini ditarik dari dua garis keturunan bapak dan ibu. Sehingga memberikan implikasi bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam hal waris adalah seimbang dan sama. Sistim ini kemudian mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan memiliki haknya masing-masing. Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang
didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini,
53 | P a g e
antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.
7
Sistem ini dipergunakan di daerah Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain- lain.
Perkawinan yang terjadi dalam sistem parental ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan mentas, yang setelah perkawinan suami isteri
hidup bersama secara mandiri. Suami istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau membangun
kehidupan baru lepas dari pengaruh kerabat isteri maupun suami, Bahwa mengenai kedudukan isteri atau suami dalam masyarakat yang bersifat
kekeluargaan parental, pada hakekatnya tidak ada perbedaan dalam keluarga masing-masing. Malahan dengan terjadinya perkawinan baik
isteri maupun suami keluarganya bertambah, sebab selain tetap dalam keluarga semula juga dianggap masuk menjadi keluarga pihak suami atau
pihak isteri.
8
B. Perbandingan Pengaturan Waris Menurut Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat dn Hukum Waris BW
No. Persamaan
Hukum Islam BW
Hukum adat 1
Keadaan Masyarakat Dan
Pengaruh Politik Hukum
Terhadap Hukum Waris
Hukum dan Masyarakat memiliki hubungan yang bersifat fungsional, apabila masyarakjat berubah maka hukumnyapun juga akan mengalami
perubahan. Sebagai akibat berlakunya Pasal II AP UUD 1945, dengan sendirinya
berlaku pula pluralisme hukum, khususnya Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat, yang berlaku mengikuti
pergolongan rakyat aspek historis. Perkembangannya politik pergolongan rakyat yang ditransfer dari
Tatahukum Hindia Belanda tersebut, sedikit demi sedikit mengalami perubahan sejalan dengan perubahan politik hukum dengan
diterbitkannya UU baru yang bersifat unifikasi hukum Perkawinan dan Pengadilan Agama.
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Cet.5, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995, hlm 24.
8
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1978, hal. 36
54 | P a g e