Kajian Konsep Pengukuran BOD sebagai Indikator Pendugaan Pencemaran Bahan Organik di Perairan Daerah Tropis

1.1. Latar Belakang

Air adalah komponen ekologik yang mutlak diperlukan bagi kehidupan makhluk
hidup. Nilai air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya. Perubahan dan
penurunan kualitas air dan sumberdaya perairan dapat disebabkan oleh adanya bahan
pencemar. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan penggunaannya menjadi lebih
terbatas, serta mempengaruhi kehidupan biota yang ada di dalamnya.
Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh adanya kandungan bahan atau
senyawa organik dan anorganik yang berlebihan. Adanya senyawa organik dalam
perairan akan dirombak oleh bakteri dengan menggunakan oksigen-terlarut.

Peromba-

kan ini akan menjadi masalah jika senyawa organik terdapat dalam jumlah yang banyak.
Penguraian senyawa organik tersebut akan memerlukan pula oksigen yang sangat
banyak sehingga dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut perairan sampai
mencapai tingkat terendah. Akibatnya, dekomposisi aerobik akan terhenti, sehingga
pemecahan selanjutnya dilakukan oleh bakteri anaerob. Produk hasil pemecahan
anaerobik biasanya berbahaya karena beracun, dapat menimbulkan bau, serta prosesnya berjalan lambat (Dunne dan Leopold, 1975). Selain itu perairan dengan kebutuhan oksigen biologi tinggi, tidak mempunyai kemampuan untuk menambah kadar
oksigennya, sehingga tidak dapat mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan
oksigen (Manahan, 1975).

Ketersediaan oksigen dalam perairan juga dipengaruhi oleh suhu perairan.
Makin tinggi suhu perairan, ketersediaan atau kelarutan oksigen makin menurun.
Sawyer dan McCarty (1978) serta Metcalf dan Eddye(1978) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air pada suhu 30°C yang berada dalam keseimbangan dengan

udara adalah 7.6 mgll.

Banyaknya bahan organik yang diperlukan mikroba untuk

mengkonsumsi 7.6 mg oksigen dalam 1 liter air yang jenuh hanya sekitar 7.1 mg. Ini
berarti mikroba yang menghancurkan bahan organik hanya mampu mengubah sekitar 7
mg bahan organik saja, bila mikroba tersebut mengkonsumsi oksigen jenuh dalam 1
liter air.

Hal ini menjadi penting karena untuk oksigen tidak terdapat "chemical sink"

dalam air atau tidak ada reaksi kimia yang dapat menambah oksigen terlarut, kecuali
untuk oksigen yang diberikan melalui proses fotosintesis (Saeni, 1989). Oleh karenanya oksigen merupakan zat kunci dalam menentukan ada dan macamnya kehidupan
dalam perairan.
Menurut Gaudy (1972); Dunne dan Leopold (1975); Grady dan Lim (1980),
serta Gaudy dan Gaudy (1980) kebutuhan oksigen ditentukan oleh kadar pencemar yang

dapat diuraikan secara biologik (biodegradable pollutant) atau kebutuhan oksigen
ditentukan oleh bobot oksigen yang diperlukan untuk oksidasi zat pencemar menjadi
senyawa yang stabil. Tingkat pencemaran limbah ini dapat diukur dengan suatu indeks
yang disebut "Biochemical Oxygen Demand" (BOD). Uji BOD adalah suatu analisis
empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau mikrobiologi yang benar-benar terjadi di alam atau di perairan. Uji BOD berlaku sebagai
simulasi suatu proses biologi yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan
secara alami.
Kinetika atau rumusan BOD didasarkan pada berbagai penelitian yang telah
dilakukan oleh Streeter dan Phelps (1925) serta Theriault (1927) gialam Gaudy (1972).
Para peneliti ini menyatakan bahwa oksidasi biokimia bahan organik sebanding dengan
konsentrasi zat yang tersisa yang masih belum teroksidasi dan lazimnya didasarkan pada
perstmaan monomolekuler. Persamaan ini menggambarkan pengembangan dari reaksi
kimia orde pertama yaitu apabila Lo menyatakan BOD awal,

maka BOD sisa

pada waktu t (Lt) dapat dirumuskan dalam bentuk perstmaan diferensial dLt/dt = -KLt;

sedangkan K > 0 disebut konstanta laju oksidasi.


Selanjutnya jika Yt menyatakan

BOD yang digunakan pada waktu t, maka Yt dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan Yt = Lo - Lt = Lo (1

- e-K').

Persamaan tersebut dapat digunakan untuk

menduga perilaku oksigen terlarut perairan yang menerima limbah organik, karena
rnerupakan kinetika proses deoksigenasi dalam perairan (Grady dan Lim, 1980).
Sampai saat ini standar pengukuran parameter BOD masih didasarkan pada
standar pengukuran yang berlaku di daerah sub-tropis, yaitu didasarkan pada jumlah
oksigen yang digunakan oleh mikroba pada suhu inkubasi 20°C (86°F) selama 5 hari.
Menurut Green dan Kramer (1978) Inggris mulai menggunakan standar BOD,

.-,,",pada

tahun 1913, Amerika Serikat melalui "American Public Health Association Standard
Methods" menggunakan prosedur tersebut pada tahun 1936 dan sejak itu prosedur di
atas menjadi prosedur baku yang berlaku umum.


Menurut Metcalf dan Eddy (1978)

penggunaan suhu 20°C merupakan nilai rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di
daerah iklim sedang (temperate climate). "The Royal Commission" menggunakan suhu
inkubasi 18.3"C (65°F) karena pada suhu tersebut merupakan rata-rata suhu sungai
pada musim panas (summer-month) di Inggris (Klein, 1971; Lynch dan Poole, 1979).
Untuk daerah tropis yang suhu perairan sungainya 30°C (Prescod, 1978 serta
Evison dan James, 1978), penggunaan suhu inkubasi 20°C selama 5 hari dalam analisis
BOD yang selama ini digunakan adalah kurang sesuai, mengingat kecepatan reaksi
biokimia dipengaruhi oleh suhu, yang juga akan mempengaruhi nilai BOD. Gaudy dan
Gaudy (1980) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dari banyak mikroba pada
suhu antara minimum dan optimum akan menjadi dua sampai tiga kali setiap kenaikan
suhu 10°C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu yang berbeda akan menyebabkan pula
waktu inkubasi yang berbeda, sehingga akan menghasilkan nilai BOD yang berbeda
pula.
Di Indonesia, BOD termasuk salah satu parameter baku mutu lingkungan (KEP-

02/MENKLH/I/ 1988) dan merupakan salah satu parameter yang bersama-sama dengan
COD sering digunakan dalam menentukan besarnya tingkat pencemaran yang terjadi di

suatu perairan, sehingga dalam penggunaannya dibutuhkan pemahaman yang lebih jelas
akan uji maupun konsep dari kedua parameter tersebut dalam hubungannya dengan
pendugaan pencemaran bahan organik.
Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan pengkajian lebih lanjut dari formula
BOD sebagai indikator pendugaan pencemaran bahan organik serta faktor-faktor yang
me~npengaruhinyadi perairan daerah tropis.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
(1)

Mendapatkan waktu dan suhu inkubasi dalam analisis BOD di perairan daerah
tropis.

(2)

Mendapatkan nilai K (konstanta laju oksidasi) dan L (BOD akhir) dari beberapa
jenis limbah di perairan daerah tropis.


(3)

Mengkaji hubungan variabel indikator pencemaran bahan organik BOD dengan
COD di perairan daerah tropis.

1.3.

Hipotesis
Penelitian ini didasarkan pada hipotesis bahwa:

(1)

Perbedaan suhu akan mempengaruhi nilai BOD.

Makin tinggi suhu kecepatan

reaksi biokimia makin cepat, sehingga menyebabkan nilai BOD yang dihasilkan
akan berbeda.
(2)


Waktu inkubasi dalam analisis BOD di perairan daerah tropis, akan lebih
pendek dibandingkan dengan waktu inkubasi di perairan sub tropis.

(3)

Suhu perairan berpengaruh terhadap konstanta laju oksidasi (K).
suhu perairan makin besar konstanta laju oksidasi limbah organik.

Makin tinggi

Perbedaan jenis limbah (limbah tekstil, limbah rumah potong hewan (RPH),
dan air sungai Ciliwung) tidak berpengaruh terhadap waktu inkubasi (t) dalam
analisis BOD.
Variabel pendugaan pencemaran bahan organik BOD akan lebih kecil dari
variabel pendugaan pencemaran bahan organik COD.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oksidasi Biologik Bahan Organik
Bahan organik yang terdapat di perairan bersumber dari alanl atau air

buangan, baik buangan domestik maupun buangan industri. Menurut Mason
(1981), zat percemar organik secara umum terdiri dari protein, karbohidrat dan
lemak.

Komponen bahan organik merupakan komponen utama dalam air buangan

yaitu sekitar 70% dan sisanya komponen anorganik 30% (Cairncross dan Feachem,
1983).
Terdapatnya bahan organik dalam jumlah yang banyak di perairan akan
menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kualitas air. Bahan organik akan
distabilkan secara biologik dan melibatkan mikroba baik melalui sisteln oksidasi
aerobik maupun anaerobik.

Oksidasi aerobik dapat menyebabkan turunnya kan-

dungan oksigen terlarut perairan sampai mencapai nol, sehingga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem perairan. Pengukuran potensial pencemaran bahan organik
dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut
merupakan konsepsi yang logis dan masuk akal, sehingga banyak digunakan sebagai
suatu pendekatan untuk menduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Mara

(1978) menyatakan bahwa kekuatan limbah atau tingkat pencemaran dapat dinilai
berdasarkan kandungan BOD nya, seperti dinyatakan dalam n b e l 1.

Tabel 1. Kekuatan Limbah Berdasarkan Nilai BOD,
Penggolongan Kekuatan
Limbah
Lemah
Sedang
Kuat
Sangat kuat

Nilai BOD5 (mg 02/1)

-<

200
350
500
2 750


Adanya oksigen rnenyebabkan proses oksidasi aerobik dapat berlangsung,
bahan organik akan diubah menjadi produk-produk akhir yang relatif stabil dan
sisanya akan disintesis menjadi mikroba baru. Secara umum reaksi oksidasi senyawa
organik dapat diikuti pada persamaan 2.1.

Bahan Organik

+

mikroba

> C02

O2

I

+

H20


+

Energi..

.( 2 . 1 )

I
Sel-sel
>
baru

sel-sel baru

cahaya

C

t

+

bakteri
bahan organik

Ganibar 1.

4

sel-sel baru

Oksidasi Bahan Organik di Alam (Mara, D.D,
1978).

Pada Gambar 1, oksidasi berlangsung sebagai bagian dari rantai makanan di
alam. Sebagian bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan
un tuk mensintesis sel mikroba seperti lipida, karbohidrat, protein dan asam nukleat.
Dalatn proses oksidasi, mikroba membutuhkan zat-zat nutrisi untuk sintesis
ko~iiponensel dan merighasilkan energi.

Untuk menghasilkan ATP sebagai sumber

energi dibutuhkan karbohidrat dan atau protein.
tuhkan faktor pertumbuhan lainnya.

Selain i t u niikroba juga membu-

Menurut Gunawan g
t &. (1982), komposisi kimia sel mikroba dapat dijadikan petunjuk kebutuhan mikroba akan zat nutrisi. Unsur C, 0 , H , N, P, dan S
menyusun sekitar 96% dari berat kering sel. Dari unsur-unsur tersebut, unsur C
(karbon) merupakan penyusun utama yaitu sekitar 50% dari berat kering sel. Unsur
C sebagai penyusun utama sel erat kaitannya dengan analisis BOD yang hanya

mendasarkan oksidasi pada bahan berkarbon (carbonaceous matter).
Lynch dan Poole (1979) serta banyak penulis lainnya ~nenyatakanbahwa
analisis BOD didasarkan pada sistem tertutup dan karbon sebagai zat nutrisi pembatas. Selama waktu inkubasi dalam botol BOD terjadi pengurangan bahan organik
berkarbon dan penggunaan oksigen untuk pertumbuhan mikroba.
Hampir semua organisme memperoleh karbonnya zat nutrisi organik. Selain
untuk memenuhi keperluan biosintetik akan karbon, substrat organik juga digunakan
sebagai energi untuk sel. Sebagian besar dari karbon yang terdapat pada substrat
organik akan n~emasukilintasan metabolisme yang menghasilkan energi dan
akhirnya dikeluarkan lagi dari sel sebagai CO,- atau sebagai campuran CO,- dan
senyawa organik pada metobolisme fermentasi.

Dengan demikian substrat organik

mempunyai peran gizi yang lengkap dan pada waktu yang bersamaan berguna
sebagai sumber karbon dan sebagai sumber energi. Banyak rnikroba dapat menggunakan senyawa organik tungggal untuk memenuhi keperluan dua zat gizi tersebut
(Gunawan a d.,1982).
Dalam analisis BOD, pada langkah pertama mikroba menggunakan bahan
organik yang ada dalam contoh sebagai sumber karbon dan energinya. Akibatnya
konsentrasi bahan organik berkurang dan biomassa mikroba akan meningkat.
Pada dasarnya perubahan jumlah organisme mengikuti suatu pola yang tetap,
yaitu pada awal tahapan pertumbuhan makanan dan nutrisi berlebihan. kenaikan
jumlah ~nikrobamengikuti kecepatan eksponensial. Selanjutnya pada keadaan

konsentrasi makanan dan zat nutrisi menjadi pembatas, pertumbuhan mikroba juga
menjadi terhambat. Pada tahapan akhir saat semua makanan telah dikonsumsi, pertumbuhan akan terhenti, mikroba ban yak yang mati, sehingga jumlahnya berkurang
drastis.

Bahan organik yang berasal dari sel-sel mikroba yang mati dapat lagi digu-

nakan oleh organisme sisa secara auto-oksidasi atau respirasi endogen (persamaan
2.2.).

Sel-sel mati

+

mikroba
O2

> C02

+

H20

+

Energi . . . (2.2)

Pada umumnya pertumbuhan mikroba di alarn mengikuti tahapan-tahapan
meliputi fase adaptasi, fase logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan statis, fase menuju kematian, dan fase kematian. Fase logaritmik rnerupakan
fase mikroba membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik.
Ukuran biomassa sel meningkat secara eksponensial atau logaritmik. Model kinetika
pertumbuhan pada fase ini mengikuti orde pertama dan oleh beberapa ahli diakui
sebagai hukum pertumbuhan Malthus (Gaudy dan Gaudy, 1980). Dengan rnakin
berkurangnya zat-zat nutrisi di dalam medium dan adanya hasil-hasil metabolisme
yang bersifat racun akan menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga pertumbuhan
menuju ke fase stasioner dan akhirnya ke fase kematian.
Pertumbuhan mikroba yang terjadi di alarn diasumsikan juga terjadi dalani
botol BOD pada analisis BOD. Dalam botol BOD harus diusahakan terpenuhinya
kondisi pertumbuhan yang optimum, sehingga diharapkan terjadi fase pertumbuhan
logaritmik. Keadaan ini agar sesuai dengan kinetika BOD yang mengikuti kinetika
orde pertama.
Di dalani analisis BOD, bakteri akan mengoksidasi senyawa organik dan
setelah inkubasi 20 hari senyawa organik tersebut dianggap telah habis.

Pada

keadaan ini BOD mencapai puncaknya dan jumlah bakteri berkurang drastis karena
mati.
Menurut Metcalf dan Eddy (1978) oksidasi biokimia senyawa organi k
merupakan proses yang lambat dan secara teori memerlukan waktu yang relatif tidak
terbatas untuk oksidasi lengkap. Dalam periode waktu 20 hari inkubasi, oksidasi
senyawa organik mencapai sekitar 95 - 99% sedangkan dalam periode 5 hari oksidasi
hanya sekitar 60 - 70 % .
Biasanya oksidasi tidak akan sempurna dalam waktu 5 hari, seperti limbah
domestik hanya dioksidasi sekitar 65% dalam periode waktu 5 hari (Tebbut, 1977).
Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa proses oksidasi dalam 2 hari mencapai 50 % , dalam 5 hari 75 % dan dalam 20 hari proses oksidasi dianggap mencapai

100%.

2.2. Pengaruh Suhu Terhadap Oksidasi Biologik Bahan Organik dan Kelarutan
Oksigen di Perairan
2.2.1. Pengaruh Suhu Terhadap Oksidasi Biologik Bahan Organik

Reaksi oksidasi bahan organik dipengaruhi oleh suhu. Suhu berpengaruh
pada sistem biologi melalui dua cara. Pertama, pengaruhnya terhadap kecepatan
reaksi-reaksi yang dikatalisis secara enzimatik. Kedua, pengaruhnya pada kecepatan difusi substrat ke sel.
Laju reaksi yang dikatalisis enzim sebagaimana kebanyakan reaksi kimia
lainnya akan meningkat dengan naiknya suhu. Pada reaksi enzim, molekul-molekul
mempunyai energi aktivasi (E) tertentu sebelum dapat bereaksi.

Fungsi enzirn

sebagai katalis adalah menurunkan energi aktivasi reaksi tersebut, sehingga reaksi
dapat berlangsung dengan lebih cepat.

Dari persanlaan Arrhenius dan teori laju

reaksi absolut dapat diringkas bahwa energi aktivasi E = H

+ RT,

H adalah kalor

aktivasi atau entalpi reaksi; R = konstanta gas; T = suhu mutlak (Nur dan Adijuwana, 1988).
Menurut Grady dan Lim (1980) ada dua persalnaan yang umumnya digunakan untuk mengkuantitatifkan pengaruh suhu terhadap operasi-operasi biokimia,
yaitu:
(a) Arrhenius pada tahun 1889 menyatakan bahwa pengaruh suhu terhadap hidrolisis
enzimatik mengikuti persamaan :
k = A exp

{

-Ea/ (RT) )

. . . . . . . . . . . . . (2.3)

Atau:
ln (k) =

k
A
Ea
R
T

=
=
=
=
=

-

Ea

1

R

T

- (-1

+

In ( A )

. . . . . . .

(2.4)

koefisien kecepatan reaksi
konstanta
energi aktivasi
konstanta gas
suhu absolut
Pada kisaran suhu terbatas di bawah optimum, perubahan laju pertu~nbuhan

bakteri sebanding dengan respon laju terhadap suhu. Bila logaritma laju pertumbuhan digambar pada kurva terhadap kebalikan suhu mutlak (kurva Arrhenius),
maka diperoleh kurva linier di dalam kisaran terbatas. Oleh karenanya bagi sebagian besar bakteri , koefisien suhu (Q,,) untuk laju perturnbuhan di dalam kisaran
yang terbatas ini adalah sekitar dua, artinya laju pertumbuhan menjadi dua kali lipat
dengan bertambahnya suhu 1OoC.
Kecepatan reaksi (K) dipengaruhi langsung oleh suhu dengan demikian nilai

BOD juga dipengaruhi karena oksidasi senyawa organik meningkat dengan
ningkatnya suhu.

me-

Hubungan suhu (T) dan kecepatan reaksi (K) ditunjukkan oleh

persamaan gabungan Van't Hoff-Arrhenius (Eckenfelder, 1970; Sawyer dan Mc

Carty, 1978) sebagai berikut :

8 = Koefisien suhu
T = Suhu (OC)

Untuk air tercemar nilai K (dasar 10, 20°C) adalah 0.10lhari. Nilai BOD
sangat bervariasi dan

dipengaruhi oleh kecepatan reaksi. Nilai BOD, sekitar 68%

dari total BOD apabila K = 0.10 dan sekitar 95% apabila K = 0.25lhari (Eckenfelder, 1970 dan Hammer, 1977).
2.2.2. Pengaruh Suhu Terhadap Kelarutan Oksigen
Kelarutan gas-gas dalam cairan dipengaruhi oleh suhu, dimana kelarutan
tersebut semakin menurun dengan kenaikan suhu. Pengaruh ini dirumuskan dalam
persamaan Clausius-Claperon (Saeni, 1989) melalui persamaan :

C2

log-

C1

=

AH
2.303.

[G & ]
-

. . . . . . . . . .

(2.6)

C = Konsentrasi gas
T = Suhu mutlak ("K)
A H = Kalor larutan dalam kallmol.
R = Konstanta gas (1.987 kal. K-' .mol-')

Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, tekanan parsial oksigen dalam atmosfir dan kandungan garam dalam air. Kelarutan oksigen tersebut
dapat dihitung berdasarkan Hukum Henry yang menyatakan bahwa kelarutan suatu
gas dalam suatu cairan adalah sebanding dengan tekanan parsial gas yang kontak
dengan cairan itu, yang dinyatakan dalatn bentuk persamaan :

X (aq)

=

K

PX

............

(2.7)

X (aq) adalah kelarutan gas dalam air
K adalah konstanta suatu gas pada suhu tertentu
P, adalah tekanan parsial gas

Kelarutan oksigen dalam perairan pada suhu tertentu telah dihitung oleh
Sawyer dan Mc Carty, 1978; Mc Caull dan Crossland, 1974; dan Clark g
t d, 1971.
Kelarutan oksigen pada suhu 20°C (standar suhu inkubasi dalam analisis BOD)
adalah 9.2 mg 0,/1, sedangkan kelarutan oksigen pada suhu 30°C (suhu rata-rata
1.
daerah tropis) adalah 7.6 mg 0,/

2.3. Konsepsi dan Kinetika BOD
2.3.1. Konsepsi BOD
Konsepsi BOD didasarkan pada suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia aku mikrobiologik yang benar-benar terjadi di alatn (di air), sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologi
oksidasi senyawa organik oleh mikroba perairan secara alamiah.
Dalam botol BOD yang merupakan tempat pertumbuhan mikroba, pada
dasarnya dianggap sumber karbon yang menjadi faktor pembatas zat nutrisi dan
bukannya oksigen atau zat hara lainnya. Terpenuhinya kondisi pertumbuhan yang
optimum merupakan ha1 yang penting, sehingga diharapkan suatu fase pertumbuhan
logaritmik akan terjadi dan akan menghasilkan fase serapan oksigen yang logarittnik
pula.
Kecepatan konsumsi oksigen adalah proporsional dengan ju~nlahbahati
organik yang dapat dioksidasi. Selama periode inkubasi, kecepatan konsutnsi
oksigen akan menurun. Oleh karenanya kinetika respirasi i n i sedetnikian rupa,
sehingga feno~nenaprosesnya didekati dengan kinetika laju reaksi menur\it orde

pertama.

2.3.2. Kinetika BOD
Kinetika BOD didasarkan pada studi-studi yang telah dilakukan oleh Streeter
dan Phelps pada tahun 1925 serta Theriault pada tahun 1927. Oksidasi biokimia
bahan organik sebanding dengan konsentrasi zat yang tersisa yang lnasih beluln
teroksidasi, yang diukur dalam bentuk "daya oksidasi". Secara umum didasarkan
pada persamaan monomolekuler. Persamaan ini menggambarkan bahwa proses atau
reaksi oksidasi didasarkan pada reaksi kimia orde perta~nasederhana dan tidak
bolak-balik. Dengan asumsi bahwa kuantitas penguraian bahan organik adalah
konstan dan tidak dipengaruhi oleh bahan organik, kecepatan penguraian sebanding
dengan bahan organik yang ada, penguraian tidak bolak-balik (France dan Thornley, 1984). Jika L (mgll) menyatakan BOD pada waktu t (hari) dan K merupakan
konstanta kecepatan reaksi (hari-I), maka model matematikanya berupa persamaan
diferensial:

Apabila Lo menyatakan BOD pada waktu t = 0, maka penyelesaiannya persamaan
diferensial tersebut ialah:

Dalatn ha1 ini juga Lo menunjukkan total oksigen ekuivalen dari bahan
organik pada wakti~0, sedangkan L(t) jumlah oksigen ekuivalen sisa pada waktu t.
Selisih antara nilai Lo dan L(t) adalah oksigen ekuivalen yang dikonsumsi atau BOD
yang digunakan pada waktu t, dilambangkan sebagai Y(t) dan dapat dirumuskan
sebagai :
Yt = Lo (1 - e-K')

... .... ... . ...... . .

(2 9)

Dalam ha1 ini BOD total atau BOD akhir mendekati nilai Lo. Kurva L(t) dan Y(t)
digambarkan serempak pada Gambar 2.

tL

0

Waktu (t), hari

Gambar 2. Formulasi kurva BOD atau Hubungan BOD dan oksi en ekuivalen Peavy, Rowe dan Tchobanoglous, 1986; Metcal dan Eddy,

&

197 ).

B

Kedua kurva berpotongan pada saat t = t*. Dalam ha1 ini Y(t*) atau Lo - L(t*) =
L(t*), sehingga L(t*) = 112 Lo. Hal ini berarti jumlah oksigen ekuivalen sisa pada
saat t =t* adalah separuh dari total oksigen ekivalen awal.
2.4. Metode Penentuan K (Konstanta Laju Oksidasi) dan L (BOD Akhir)
Nilai K dan Lo dapat diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil
terhadap persamaan diferensial yang solusinya adalah persamaan 2.10. Persa~naan
diferensial tersebut adalah:
Y'(t) = dyldt = K (Lo - Y) .................................................... (2.10)
Karena Y1(t) merupakan laju perubahan Y dan berperan sebagai kemiringa~igaris

16

singgung terhadap kurva pada persamaan 2.10, maka metode ini disebut metode
" kemiringan" (Thomas, 1937).

Dari persamaan diferensial 2.10 tampak bahwa hubungan antara Y ' dan Y
bersifat linier dengan KLo berfungsi sebagai intersep dan -K berfungsi sebagai
kemiringan, selanjutnya dengan memisalkan KLo = a dan b = -K, maka persamaan diferensial 2.10 dapat ditulis sebagai:
Y'(t) = a

+ bY

Apabila dapat diperoleh n pasangan data berbentuk (Y ', Y), yaitu ( Y o , ,Y ,),
(Y12,Y2)..........., (YenYn)maka metode kuadrat terkecil dapat menghasilkan nilai
dugaan bagi a dan b dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat n galat berbentuk:
g,' = a

+ by, - Y',, i =

1, 2, 3 .

.. .n

Dengan menggunakan kalkulus differensial ternyata C gi2 minimum jika a dan b
memenuhi persamaan normal di bawah ini:
na+ bCYi-CYil=O
a C Yi

+bC~

dan

i -' C YYi' = 0

Setelah a dan b dihitung dari persamaan normal ini, maka K dan Lo diperoleh dari
hubungan K = -b dan Lo = Kla

2.5. Konsep Pencemaran Bahan Organik dan Pendugaannya
Air merupakan sumberdaya multiguna dan manfaatnya akan hilang atau
berkurang kalau taraf oksigen terlarut yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan ekologis dalam perairan tidak dapat dipertahankan. Bahan organik
yang ada di perairan akan dirombak oleh mikroba dengan menggunakan oksigen
terlarut. Penggunaan ini dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen perairan
sampai mencapai tingkat terendah, sehingga dikatakan telah terjadi pencemaran.
Konsepsi u n t u k mengukur potensi pencemaran dari suatu limbah yang
mengandung sumber karbon organik yang tersedia bagi mikroba adalah dengan cara

17

mengukur banyaknya oksigen yang digunakan selama pertumbuhan organisme pada
contoh air limbah. Ini berarti inti masalah pencemaran bahan organik berhubungan

dengan ban yaknya oksigen yang diperlukan untuk reaksi metabolisme

mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik ke dalam badan
air.
Pengukuran potensi pencemaran dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis
dan masuk akal. Dalam skala luas merupakan suatu pendekatan untuk lnenduga
kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972).
Kandungan oksigen yang digunakan secara biokimia maupun secara kirnia
dapat digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalarn suatu
perairan melalui pengukuran BOD dan COD.

2.5.1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan
oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah
suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia
atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di alam atau perairan, sehingga uji BOD
berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang
terjadi di perairan secara dami.
Indikator pencemaran organik BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba sehubungan dengan penggunaan dan stabilisasi bahan
organik yang terdapat di dalam limbah. Saat ini BOD rnerupakan jurnlah oksigen
yang diperlukan, setelah contoh air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C.
Reaksi dalarn botol BOD dalam analisis BOD diasumsikan sama dengan
sernua reaksi aerobik dan terjadi dalam dua tahap yang terpisah. Mula-mula bahan
organik yang terdapat dalam limbah cair digunakan oleh mikroba untuk energi dan

18

pertumbuhan.

Bila bahan organik yang semula terdapat dalam limbah cair atau air

buangan dipisahkan, organisme yang ada terus menggunakan oksigen t~ntukautooksidasi atau metabolisme endogen dari masa seluler.
Jika massa seluler habis teroksidasi, hanya residu seluler yang tidak dapat
diurai yang tertinggal dan reaksi berakhir. Oksidasi massa sel total akan berlangsung lebih dari 20 hari.

Dalam prosedur baku penentuan BOD hanya didasarkan

pada oksidasi bahan organik berkarbon.
Untuk menentukan BOD dilakukan dengan cara contoh limbah dimasukkan
ke dalam botol kedap udara (botol BOD) diinkubasi dengan kondisi dan waktu tertentu.

Oksigen terlarut dalam contoh air tersebut diukur sebelum contoh air diinkuba-

si.

Setelah diinkubasi, nilai BOD dihitung dari selisih antara nilai oksigen terlarut

(DO) sebelum inkubasi dan setelah inkubasi.
Penggunaan sistem tertutup (Botol BOD) dan pengembangan teknik pengenceran dalam analisis BOD bertujuan untuk menstimulasi kondisi alamiah yang ada
dalam sungai yang menerima limbah.

Tujuan utama bukan untuk menduga ke-

kuatan air limbah, melainkan untuk menduga berapa banyak oksigen yang digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, kalau limbah tersebut
dibuang ke badan sungai.

Tujuan utama adalah untuk meramalkan efek dari suatu

limbah terhadap perairan sungai.
Menurut Gaudy (1972), minat utama dari para peneliti terdahulu adalah
untuk menentukan profil oksigen terlarut dalam air sungai dalam hubungannya
dengan pengenceran lirnbah.

Pokok bahasannya ialah dalam menentukan kapasitas

air sungai un tuk mengasimilasi limbah organik. Kapasitas ini terutama tergantung
kepada dua faktor yang saling berlawanan yaitu laju penggunaan oksigen karena
metabolisme mikroba terhadap bahan organik yang ada dalam air sungai dan laju
reaerasi dalam air sungai. Uji BOD dirancang untuk melukiskan secara kinetika

19

model deoksigenasi dalam perairan yang menerima limbah. Konsepsi pengukuran
BOD lebih menuju ke inti masalah pencemaran, yaitu berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk semua reaksi metabolisme mikroba yang
terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik.
Rangkaian reaksi penguraian secara oksidasi aerobik dapat terjadi dengan
leluasa di perairan (alami), tetapi dalam botol BOD apalagi hanya dala~n5 hari
rangkaian reaksi tersebut mungkin tidak akan terjadi. Walaupun semua bahan organik dalam suatu contoh dapat dipakai sebagai sumber makanan oleh mikroba, BOD 5
hari hampir tidak pernah sama dengan COD (Chemical Oxygen Demand), kecuali
jika mikroba mampu mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan.
Pada kondisi ekologis yang terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy dan
Gaudy, 1980). Dengan adanya perbedaan ini, dapat diupayakan untuk mengkoreksi
nilai-nilai BOD dengan hasil-hasil dari Uji COD.
2.5.2. COD ( Chemical Oxygen Demand)

"Chemical Oxygen Demand" (COD) adalah ukuran banyaknya oksigerl total
yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Bahan
oksidasi yang digunakan adalah kalium dikromat dan merupakan zat pengoksidasi
yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap menjadi karbor~dioksida
dan air. Ini berarti uji COD hanya merupakan suatu analisis yang menggu~akan
suatu reaksi oksidasi kimia yang meniru oksidasi biologis yang sebenarnya terjadi di
alam.

Selama proses penetapan COD bahan organik akan diubah menjadi CO,- dan

-

H,O tanpa melihat kemarnpuan asimilasi secara biologis terhadap bahan organik
tersebut. Dengan demikian uji COD tidak memberikan data yang mengubungkan
kinetika model deoksigenasi dalam perairan yang menerima limbah.
Menurut metode baku (standard method) prosedur untuk menetapkan kebutuhan
oksigen kimiawi ialah dengan menggunakan kalium dikromat dengan perak sulfat

sebagai katalis.

Apabila dalam larutan terdapat senyawa klorida, maka ditambah-

kan raksa-sulfat untuk mengikat klorida tersebut menjadi ikatan kompleks. Dengan
demikian koreksi terhadap klorida dapat dihindari.
Tidak semua senyawa organik teroksidasi dengan prosedur kromat. Gula,
senyawa alifatik dan rantai benzena dapat secara sempurna dioksidasi dengan mudah
atau hanya sedikit kesulitan. Akan tetapi benzena, piridina, toluena tidak dapat
dioksidasi dengan cara ini.

Gugusan lain seperti ikatan asam jenuh, alkohol, asam

amino hanya dapat dioksidasi jika terdapat perak-sulfat sebagai katalis.

111. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaaan ini dilaksanakan dilaboratorium Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup (PPLH-IPB), Laboratorium Dasar Institut Pertanian Bogor, Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium AP4 IPB. Percobaan
dilaksanakan November 1992 sampai Agustus 1993.

3.2. Pelaksanaan Percobaan
Untuk mendapatkan parameter pencemar BOD sebagai indikator pendugaan
pencemaran bahan organik di daerah tropis, penelitian ini terdiri dari dua percobaan
masing-masing dengan tujuan dan metode sebagai berikut :

3.2.1. Mengkaji Nilai konstanta K (laju oksidasi) dan L (BOD akhir) dari
berbagai jenis limbah dan waktu inkubasi serta mempelajari Pengaruh
Suhu dan Lama Inkubasi Terhadap BOD di Perairan Daerah Tropis
A.

Tujuan dari percobaan ini adalah :
(a) Untuk mendapatkan nilai konstanta K (laju oksidasi) dan L (BOD akhir)
pada suhu 30°C (suhu perairan di daerah tropis) dari beberapa jenis limbah.
(b) Untuk mendapatkan waktu inkubasi (t) BOD di Perairan Daerah Troyis.
(c) Mempelajari faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap BOD di perairan
daerah tropis seperti bakteri, kandungan bahan organik (karbohidrat,
protein dan leniak).

B. Contoh, Perlakuan dan Peubah yang Diamati :
Untuk tujuan tersebut contoh yang digunakan adalah : (a) Air Sungai Ciliwung, (b) limbah rumah potong hewan dan (c) limbah tekstil. Penggunaan air
sungai Ciliwung, limbah tekstil dan limbah rumah potong hewan, pada dasarnya

masing-masing merupakan contoh salah satu dari limbah domestik, limbah pertanian dan limbah industri.
Limbah rumah potong hewan, limbah tekstil dan air sungai Ciliwung
digunakan untuk mengkaji konstanta K dan L pada suhu inkubasi 20°C, 25°C dan
30°C. Dari ketiga contoh tersebut dianalisis oksigen terlarut (DO), BOD, COD,

NO,-dan NH,' selama 20 hari inkubasi; total bakteri, karbohidrat, protein dan
lemak selama inkubasi hari ke 1 - 5, 10, 15 dan 20; serta parameter lainnya seperti
klorida (C1-), suhu, pH air, padatan tersuspensi dan padatan terlarut (dianalisis
sebelum diinkubasi) dengan jumlah ulangan 4.
C. Prosedur Kerja

(a)

Penentuan DO dan BOD air contoh (air sungai Ciliwung, limbah
tekstil dan limbah rumah potong hewan)
Air contoh dibagi dua, yang pertama untuk penentuan kandungan oksigen

terlarut hari ke 0, dan bagian yang kedua untuk diinkubasi selama 20 hari pada
suhu 20°C, 25°C dan 30°C. Sebelum diinkubasi air contoh dianalisis oksigen
terlarut, pH air, suhu, kandungan C1-, padatan terlarut dan padatan tersuspensi.
Kemudian ditentukan kandungan oksigen terlarut setelah inkubasi masingmasing hari ke 1 sampai dengan hari ke 20 dengan Metode Winkler sebagai
berikut :
Untuk pengukuran tersebut peralatan dan bahan yang digunakan adalah :
(1) Peralatan:

- Botol BOD dengan volume 300 ml

- Pipet 1 ml (4 buah)
- Buret 50 ml
- Pipet tetes
- Inkubator

- Aerator
(2)

Pereaksi

- Larutan standar thiosulfat O,1 N
Dilarutkan 2.428 g Na2S20,.5H20 dalam air suling panas dalam
gelas kimia, dan kemudian didinginkan. Ditambahkan 0.1 g NaOH
sampai larut dan masukkan ke dalam labu takar 100 ml. Diencerkan
dengan air suling sampai volume 100 ml

- Larutan standar thiosulfat 0.025 N
Diambil 25 ml larutan thiosulfat 0.1 N dan dimasukkan dalam labu
takar 100 ml. Ditambahkanlencerkan dengan air suling hingga volumenya menjadi 100 ml.

- Larutan alkali iodida (NaI + NaOH)
Dilarutkan 50 g NaOH

+ 13.5 g NaI dalam 100 ml air suling.

- Asam sulfat pekat (H,SO,))
- Larutan MnSO,
Dilarutkan 36.4 g MnSO,.H,O
- dalam 100 ml air suling.

- Larutan kanji
(3)

Prosedur Penetapan

- Standarisasi larutan thiosulfat - N%S,O,

0.025 N

Larutan 0,812 gr KH (IO,), dalam 1 liter air suling, larutan ini digunakan
sebagai pembanding .

-

Buret diisi dengan larutan thiosulfat 0,025 N dan pipet 20 ml larutan
KH (IO,), ke dalam erlenmeyer kemudian 10 ml asam sulfat ( 1

+ 9)

dan ditambahkan air suling sampai volume keseluruhan 200 ml.

-

Dititrasi secepatnya dengan titrant. Kemudian ditambahkan indikator

24

kanji bila mendekati titik akhir titrasi dan titrasi kembali sampai
warna biru tepat hilang.

-

Dihitung konsentrasi larutan thiosulfat tersebut dengan rumus sebagai
berikut :

A x B

-

A = volume (ml) larutan 103
B = normalitas larutan I0
C = volume (ml) thiosulfa

g

- Penetapan oksigen terlarut (DO)
- Botol BOD diisi sampai penuh dengan contoh yang akan diperiksa
kemudian ditutup sampai ada bagian air yang tertumpah.

- Dimasukkan masing-masing larutan :
1 ml KI alkali (NaOH - KI)
1 ml MnSO,

dengan ujung pipet pada dasar botol dan botol tersebut ditutup kembali.

- Diaduk dengan jalan

membolak-balikkan botol beberapa kali, sampai

larutan kelihatan homogen

- Didiamkan selama 10 menit sampai kelihatan endapan coklat pada dasar
botol.

- Dituangkan sebagian isi botol ke labu erlenmeyer 250 ml dan ditanibahkan asam sulfat pekat 1 ml, diaduk dan dititrasi secepatnya dengan
larutan thio di dalam buret, ditambahkan indikator kanji dan dititrasi
kembali sampai warna biru hilang, volume titran dicatat.

- Larutan yang tnasih tersisa di dalam botol

BOD, ditambahi asain sulfat

1 mi, ditutup dan diaduk sampai endapan larut kembali, larutan berwar-

na kuning coklat.

- Dititrasi dengan larutan thiosulfat sampai dekat titik akhir titrasi ini
ditandai dari larutan yang berwarna kuning muda, ditambahkan indikator
dan titrasi dilanjutkan sampai selesai. Volume yang digunakan pada
titrasi dicatat.

- Dihitung

kadar oksigen terlarut dengan rumus sebagai berikut

(APHA, 1985):

DO ( m l )

=

'thio

N t h i o x 1000

x 8 mg/l

V b o t o l BOD

(4) Prinsip Perhitungan

(a) Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Perhitungan BOD didasarkan atas pemakaian oksigen oleh lnikroba
(terutama bakteri) yang membongkar bahan organik yang larut dalaln
air. Jumlah oksigen yang dipakai adalah perbedaan antara kadar oksigen terlarut pada hari ke 0 (t =0) dan kadar oksigen terlarut pada inkubasi hari ke X (X = 1-20 hari). Selisih kadar oksigen terlarut hari ke 0
dengan hari ke X merupakan nilai BOD, dari air contoh, yang dihitilng
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BOD, mg/l =

P

D2

D, = Oksigen terlarut dari contoh air segera setelah pengenceran
dilakukan, mg/l
D, = Oksigen terlarut dari contoh air yang diencerkan setelah
inkubasi selama X hari, mg/l
P = Desimal fraksi pengenceran

(b) "Chemical Oxygen Demand" (COD)

- Bahan: 1. Larutan 0.025 N K2Cr207
2. Larutan asam sulfat

3. Larutan Ferrous amonium sulfat
4. Indikator Ferroin

-Prosedur
Diukur 20 ml air contoh ditambahkan 0.4 g H2S04dan 10 ml

0.025 N K2Cr,07
- dan beberapa batu didih, kemudian ke dalam botol refluk
tersebut ditambahkan 30 ml larutan asam perak nitrat dan direfluksi selama 2
jam. Setelah didinginkan lalu kondensor dicuci dan ke dalam botol dimasukkan air suling untuk pengenceran menjadi 100 ml. Selanjutnya ditambahkan
indikator ferroin 4 tetes dan dititrasi dengan ferrous amonium sulfat, titik akhir
titrasi adalah perubahan warna dari biru kehijauan menjadi coklat merah.
Blanko dari air suling diperlakukan sama seperti di atas.

(a-b) x c x 8 x 1000
COD, mgll =

ml air contoh

a = ml Fe(NH4)2(S04)2untuk contoh
b = ml Fe(NH4), untuk contoh
c = normalitas Fe(NH,),(S04

(b) Amoniak dan Nitrat

(1) Amoniak

Analisis amoniak menggunakan metode Nessler. Bahan yang
digunakan larutan Zn-sulfat,

garam Rochelle dan pereaksi

Nessler.
Prosedur:
Contoh sebanyak 50 ml ditambahkan 1-2 tetes larutan garam
Rochelle lalu dikocok kuat-kuat kemudian ditambah kan 1 ml larutan
Nessler dan didiamkan selama 10 menit agar pembentukan warna sempurna. Pengukuran kadar amoniak diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 420 nm.

Blanko ditentukan dengan cara yang

sama untuk menentukan kurva standar.

Analisis nitrat menggunakan metode Brucin. Bahan larutan Brucin asam
sulfanilat, larutan asam arsenat, larutan asam sulfat 75 % dan larutan
NaCI.
Prosedur:
Contoh 10 ml ditambahkan ml NaCl lalu dikocok kuat-kuat,
tambahkan 10 ml larutan asam sulfat dan kocok kembali. Selanjutnya
ditunggu sampai dingin. Ke dalam erlenmeyer ditambahkan 0.5 m l
larutan Brucin dan asam sulfanilat lalu kocok kuat-kuat. Kernudian
contoh diletakkan dalam penangas air 95°C sela~na20 menit. Setelah
diangkat lalu diletakkan pada air dingin. Pengukuran contoh dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Perlakuan yang

28
sama dilakukan pada blanko untuk menentukan kurva standar.
(c) Klorida (CI-), Padatan Tersuspensi, Padatan Terlarut, pH dan Suhu

Parameter klorida (CI-), padatan tersuspensi, padatan terlarut, pH air
dan suhu yang dianalisis pada contoh air sebelum diinkubasi, perhitungannya ~nenggunakanmetode yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode dan Peralatan untuk Analisis Klorida, Padatan
Tersuspensi, Padatan Terlarut, pH dan Suhu
Parameter

Met ode

Peralatan

Klorida ( ~ 1 - )

Merkuri-Nitrat

Titrasi

PH

Elektrometrik

pH meter

Padatan Tersuspensi

Gravimetri

Padatan Terlarut

Gravimetri

Timbangan
analitik
Timbangan
analitik
Termometer

-

Suhu

(d) Analisis Karbohidrat, Protein, Lemak, Kadar Air, Kadar Abu dan
Serat melalui uji proksimat masing-masing sebagai berikut :
(1) Kadar air (AOAC 1989)
Cawan porselin yang dikeringkan pada suhu 105°C sela~naI jam,
kemudian didinginkan dan ditimbang, diisi dengan contoh yang akan
ditentukan kadar airnya, ditimbang sekitar 5 g, kemudian dimasukkan
ke dalam cawan tersebut, dikeringkan pada suhu 105°C: sampai berat
konstan.
B-A

Kadar air (%)

=

x 100

berat contoh (g)

+

B = berat cawan berat contoh kering
A = berat cawan kosong

(2) Kadar Protein, Metode Kyeldahl (AOAC, 1989).
Sej umlah kecil contoh ditimbang, dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 30 ml, ditambahkan 1.9 g K,S04
pekat.

Jika contoh lebih dari

15 mg, kemudian ditambahkan 0. I ml H,S04
untt~ksetiap 10 mg bahan
organik diatas 15 mg.
didih.

Kemudian ditambahkan beberapa butir bat11

Setelah itu dididihkan sampai selama I - 1.5 jam sarnpai cawan

menjadi jernih, kemudian didinginkan, ditambahkan sejumlah kecil air
secara perlahan-lahan dengan hati-hati karena tabung menjadi panas,
kelnudian didinginkan.
Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, labunya dibilas
sekitar 5-6 kali dengan 1-2 in1 air, kemi~dianair bilasannya dipindahkan
ke dalaln alat destilasi.

Dengan menggunakan erlenmeyer 125 ml yang

berisi 5 ml larutan H3B03 dan 2-4 tetes indikator (catnpuran 2 bagian
metil merah dengan satu bagian metilen blue 2 % dalatn alkohol) di
bawah kondenser yang terendam di dalam larutan H,B03, selanjutnya
ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na,S20,,

kemudian didestilasi

sanipai tertarnpung kira-kira 15 nil destilat dalam erlentneyer.
Tabung kondenser dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam
erlenmeyer yang sania. dititrasi dengan HCI 0.02 N sampai timbul
warna menjadi abu-abu. Dibuat juga blanko.

30
(ml HCI - ml blanko) x Normalitas x 14.007 x 100

% N =
mg contoh
Kadar protein (bb)

=

6.25 x % N

(3) Kadar Lemak, metode Soxhlet (AOAC, 1989).
Labu suling yang berisi beberapa butir batu didih dikeringkan
pada suhi~105"C selarna I jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang.
Contoh yang akan ditentukan kadar lemaknya, di timbang kirakira 5 g, lalu dibungkus dengan kertas saring. Selanjutnya contoh tersebut dimasukkan ke dalam soxhlet apparatus dan diekstrak dengan pelarilt
lemak seperti petroleum eter, di atas penangas air selama 24 sampai 48
jam. Hasil ekstraksi akan tertinggal dalarn labu.
Setelah ekstraksi selesai, yang dapat diketahui jika pelari~tletnak
sudah kelihatan jernih, labu yang berisi minyak dan pelari~tdikeringkan
pada suhu 105°C sampai 110°C selama 1 jam, ke~nudiandidinginkan di
dalam desikator dan ditimbang.

Pengeringan dan penimbangan diillang

sampai diperoleh berat yang tetap.
@-A)
Kadar Lelnak (bb) =

x 100 %

berat contoh (g)
B = Berat labu dan ekstrak minyak bb = basis basah
A = Berat labu kosong
batu didih

+

(4) Serat Kasar (AOAC, 1989)

Dengan menimbang contoh yang bebas lemak kira-kira I g,

- 0.3 N dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Ditambah H,SO,
batu didih. Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak dan didihkan selama 112 jam. Setelah itu ditambah 25 ml NaOH 1.5 N (sampai
netral) dan dididihkan lagi selama 112 jam (dengan api yang tidak terlalu
besar supaya cairan disaring panas-panas melalui kertas saring yang
sudah dikeringkan dan dititnbang dalatn corong Buchner. Penyaringan
dilakukan dalam labu pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum.
Dicuci berturut-turut dengan 50 ml aceton. Kertas saring dan isinya
dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dipijarkan dan dititnbang.

Y-z-X
x 100%

Kadar serat kasar (bb) =
berat contoh (g)
Y = berat kertas saring + contoh
Z = berat abu + cawan
X = berat kertas saring

+ cawan

(5) Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat di'tentukan dengan pengurangan total bahan
dengan protein, lemak, serat kasar, air dan abu.
Kadar karbohidrat (% bb)=

+ air + abtl)

100% - % (protein

+ lemak + serat kasar

(e) Jumlah Bakteri

Untuk menghitung jumlah bakteri air contoh, digi~nakanmetode hitungan cawan (metode tuang) dengan menggunakan medium PCA (Plate
Count Agar)(Setiawan dan Hastowo, 1988). Pada cara ini air diencerkan
dengan rnenggunakan sejumlah botol pengencer yang diisi aquadest steril
(Gambar 3). Agar cair didinginkan sampai suhu sekitar 44°C dan kemudian
dituangkan ke cawan petri.
jam (suhu 35" C).

Setelah agar nlembeku eramkan selama 24 - 48

Agar lempengan yang dapat digunakan dalam perhi-

tungan bakteri ialah agar lempengan yang mengandung 30 - 300 koloni.
Jumlah bakteri/mililiter ialah junilah koloni dikalikan faktor pengencer.
Untuk mengetahui bakteri yang terdapat dalam air contoh pada akhir
inkubasi, contoh air dibiarkan dalatn berbagai media selektif untuk bakteri
Gram positif dan Gram negatif; Untuk Staphylococcus digunakan VJA
(Vogel and Johnson Agar), sedangkan untuk bakteri Gram negatif digunakan VRBA (Violet Red Bile Agar), SCB (Selenite Cystine Broth) dan SSA
(SS Agar).

Analisis bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi,

Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Contoh
(~imboh)

9ml

9 ml
!ml

-iW-a?,

L

Koioni

Gambar 3. Diagram Perhitungan Jumlah Bakteri dengan Metode TPC

D.

Analisis Data

(a) Perhitungan K (Konstanta Laju Oksidasi) dari L (BOD akhir)
Untuk n~enghitungK dan L dilakukan pengarnatan terhadap BOD
sebanyak 20 kali dengan selang waktu yang teratur.

Selanjutnya laju

perubahan BOD pada titik amatan itu dihiti~ngdengan rumus:

'K+

I

-

'K-I

Y', =
2rt
sedangkan Yo = 0, r t = % -

dan K = 1, 2, . . .., 19

Karena selang waktu amatan adalah satu hari, Inaka rumus tersebut
dapat disederhanakan lagi menjadi:

Y',

=

b. Pengujian Kehomogenan Dua Buah Persamaan Regresi
Pengujian ini bertujuan untuk meli hat apakah suhu inkubasi 20°C
dan 30°C berbeda.

Untuk itu pengujian yang dilakukan sebagai berikut:

Pengujian kehomogenen dua buah regresi dilakukan dengan niengi~ji
parameter-parameter regresi dari kedua persamaan.

Misalkan model

regresinya ialah:
Grup i: Yij = Roi

+ D l iXij + el

sedangkan i = 1, 2 dan j = 1, 2, .... ni

Kedua model tersebut dapat digabungkan menjadi:
Y..!I = wl(Bol

+ BllXij)+ w2(Bo2+R12Xi>+ eij, sedangkan

w I = I , jika pengamatan dalam grup 1 dan w 1 = 0, lainnya
w2 = I , jika pengamatan dalam grup 2 = 0, lainnya
Dengan de~nikianpengujian kehomogenan kedua model regresi tersebut
dapat dilakukan sebagai berikut:

(1) Pengujian Intersep

H, : B,, = B,, vs Hi : B,,

+ RO2

Untuk menguji hipotesis ini, maka pertama lakukan pendugaan
model penuh:
Yi = wI(R,,

+ R,,Xij) + w2(RO2+ R,,X2j) + ci

Kemudian hitung Jumlah kuadrat sisa = JKS (1)
Selanjutnya lakukan pendugaan untuk model tereduksi:

Y..
!I = R,

+ wlR,,Xij + w2RI2X,

rij

kemudian hitung juga Jumlah kuadrat sisa = JKS(2)
Statistik uji yang digunakan adalah :

F-hit =

(JKS(2) - JKS(1))ll
JKS(l)/(n, +n,-4)
-

, dengan db 1 = 1 dan db2 =(n, +n,-4)

Jika H-hit > F-tabel (a,d b l , db2) maka tolak H,

(2) Pengujian kemiringan (slope)
H,: O,, = fi,,vsH,, : B,,=t=B,
Pengujian kemiringan (slope) dapat dilakukan seperti pengujian
intersep.
Tetapi model reduksinya menjadi:

Y..
= wlB,,
!I

+ w2R,,

R,Xij

+ cij

Selanjutnya lakukan langkah-langkah pada butir 1.

3.2.2.

Mempelajari Hubungan Indikator Pencemaran Bahan Organik BOD
dengan COD Di Perairan Daerah Tropis dan Pengaruh Suhu terhadap
BOD.

A.

Tujuan dari percobaan ini adalah :

(a)

Untuk melihat hubungan antara parameter pencemar organik BOD dan
COD.

(b)

Mendapatkan hubungan antara lania inkubasi dan kecepatan berkurangnya
bahan organi k (BOD).

(c)

B.

Melihat pengaruh suhu terhadap BOD selatna inkubasi.

Contoh, Perlakuan dan Parameter yang Diamati
Untuk tujuan tersebut, contoh yang digunakan adalah:

(a)

limbah rumah potong hewan

(b) limbah tekstil
(c) air sungai Ciliwilng
Limbah rumah potong hewan, limbah tekstil dan air sungai Ciliwung digunakan untuk mengkaji hubungan nilai BOD dan COD pada suhu inkubasi 20°C dan

30°C selama 5 hari inkubasi.

Dari ketiga contoh tersebut akan dianalisis oksigeti

terlarut, BOD, dan COD serta parameter lainnya seperti klorida (CI'), suhu, pH
air, padatan tersuspensi dan padatan terlarut. Untuk analisis oksigen terlarut, BOD
dan COD dilakukan selama inkubasi 5 hari dengan 8 ulangan.

C. Prosedur Kerja
(a) Penentuan BOD air contoh (limbah rumah potong hewan, linibah industri
tekstil da11air silngai Ciliwung).
Air contoh dibagi dua, yang pertama ilntuk penentuan kandungan oksigen
terlarut hari ke 0 (sebelum inkubasi) bagian yang kedua untuk diinkubasikan selama

I
I
I
I

5 hari pada suhu 20°C dan 30°C. Pada penentuan kandungan oksigen terlarut hari
ke 0 dan penentuan oksigen terlarut setelah inkubasi hari ke 1 sampai dengan hari
ke 5 dilakukan perhitungan sebagai berikut:

D. Prinsip Perhitungan

(a) "Biochemical Oxygen Demand" (BOD)
Perhitungan BOD didasarkan atas pemakaian oksigen oleh mikroba (terutama bakteri) yang membongkar bahan organik yang larut dalam air. Juliilah oksigen
yang dipakai adalah perbedaan antara kadar oksigen terlarut pada hari ke 0 dan
kadar oksigen terlarut pada inkubasi hari ke t (t = 1-5). Selisih kadar oksigen
terlarut hari ke 0 dengan hari ke t merupakan nilai BOD, dari air contoh, yang
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BOD, mg/l =

Dl

-

D2

P

D, = Oksigen terlarut dari contoh air segera setelah pengenceran dilakukan, mgll
D,

= Oksigen terlarut dari contoh air yang diencerkan setelah inkubasi selama X

hari, mgll

P

= Desilnal fraksi pengenceran

(b)

" Chemical Oxygen Demand"

(COD)

Kandungan oksigen yang digunakan untuk menghancurkan bahan organik dan
bahan anorganik dapat juga diukur dengan menggunakan zat oksidator kuat kalium
bikromat dalam suasana asam. Jumlah kalium bikromat yang dititrasi sebanding
dengan besarnya COD, yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(A

- B) x N x 8000

COD. mg/l=

mi contoh
A=tnl Fe(NH,),(SO,), yang digunakan untuk titrasi blanko
B=ml Fe(NH,),(SO,), yang digunakan untuk titrasi contoh
N = Normalitas Fe(NH,),(SO,),

(c)

Parameter NH +,NO -,NO3', klorida (CI-), Padatan Tersuspensi,
Padatan ~ e r h r u i pH,
,
&n Suhu
Parameter klorida (CI3, padatan tersuspensi, padatan terlarut, pH air, dan

suhu, metode yang digunakan untuk menganalisis kandungan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.

D. Analisis Data
(a) Untuk mendapatkan hubungan indikator pencemaran organik BOD, 30°C dan
COD digunakan analisis regresi.
(b) Pengujian perbedaan antara BOD pada suhu 20" selama 5 hari inkubasi
dengan BOD pada suhu 30°C seiama inkubasi 3 hari menggunakan analisis
ragam dan uji t.
Asumsi o,' = o,'

Statistik t =

XI

- X'

Sm/(l/n,

+ 1111,)

-t

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Suhu Terhadap BOD

Pengaruh suhu terhadap nilai BOD limbah tekstil, limbah rumah potong
hewan daa air Sungai Ciliwung yang diinkubasi pada suhu 20°C dan 30°C disaji-

kan pada Gambar 4, 5, dan 6.
9

g-............ :............:............:............:............ 1
-.
L

. O

1............ .........................
7 -............i............. .-.--......

...........

--

6 - ............',.........................

.........................

E

5- .........--.

............:............

C

CJ)

0

--. 4 - ........

............
:............ :............;............:............1............
C

7-

1

....

,urz~-.?.~...~

....... ............
1

1

......................i ............. . .

I

E.zs03C=4.323+0.25ai

1

i.......::.--..-......
I

&

I

4

8

G

10

12

14

1b

1

Zb

WAKTU INKUBAS1

/ -a-

BOD 2 d ~
+BOD 30.c

Gambar 4. Hubungan BOD,.,
Limbah Tekstil

dan BOD,,.,

dengan W

u Inkubasi

Dari uji kehornogenan koefis