BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pada saat aktivitas belajar di sekolah sedang berlangsung, menarik untuk memperhatikan berbagai perilaku siswa. Ada anak yang malu menanyakan materi
pelajaran yang belum dipahaminya, ada anak yang malas belajar, dan ada juga anak yang tidak suka menyimak penjelasan materi pelajaran yang guru
sampaikan. Kasus-kasus tersebut mengindikasikan bahwa mereka tengah mengalami masalah psikologis dalam belajar. Masalah psikologis mengganggu
anak dalam proses pembelajaran. Anak-anak seperti ini umumnya memiliki nilai akademis yang kurang baik.
Kegagalan dalam mengontrol emosi, menumbuhkan motivasi, dan membangun minat belajar menghambat anak dalam pengembangan potensi
belajarnya. Bila sudah demikian maka harapan untuk berhasil dalam pendidikan akan sulit terwujud.
Kecerdasan emosional berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengendalikan emosinya, mengenali emosi orang lain, dan
menjalin relasi dengan orang lain. Kecerdasan emosional sangat penting diperhatikan dalam proses pendidikan anak. Banyak hal negatif yang bisa
ditimbulkannya bila aspek yang satu ini luput dari perhatian. Beberapa data empiris berikut menunjukkan hal tersebut.
Mulyadi dalam Wibowo, 2010 menyatakan bahwa komunikasi yang buruk akan memberikan tekanan psikologis kepada anak. Perasaan tertekan dapat
menyeret anak ke dalam tindak kekerasan, narkoba, bahkan seks bebas. Ia menyarankan di sekolah seorang anak harus akrab dengan gurunya. Sekolah tidak
hanya memberikan pendidikan secara kognitif tapi juga kecerdasan sosial. Padmosantjojo dalam Dariyanto, 2009 menyatakan bahwa pendidikan
prasekolah yang tidak menyertakan aspek kecerdasan emosional bisa menyebabkan anak enggan untuk belajar. Anak-anak butuh sosialisasi dengan
orangtua, guru, kawan-kawan, dan lingkungan sekitarnya. Mulyadi dalam Kompas, 2009 menyatakan bahwa ada orangtua yang tidak menyadari anaknya
marah atau sedih dan orangtua cenderung tidak peduli. Padahal anak membutuhkan perhatian. Anak seperti ini akan jadi pribadi yang tertutup dan tidak
akan mampu mengelola emosinya. Rachman dalam Ferdinanto et al., 2008 di lain kasus juga menyatakan bahwa kekerasan antaranak sekolah merupakan imbas
hasil dari kegagalan sekolah dalam membentuk kecerdasan eemosional, sosial, dan spiritual. Untuk itu ia menyarankan agar sekolah jangan cuma berfokus pada
pengembangan aspek intelektual dan fisik saja. Megawangi dalam Agustina, 2007, dalam kaitannya dengan kritiknya atas sistem pendidikan nasional yang
terlalu menekankan aspek kognitif, menyatakan bahwa sistem ini berkontribusi terhadap munculnya berbagai perilaku negatif dalam kehidupan bermasyarakat
seperti tawuran pelajar, korupsi, hedonisme, dan perilaku pragmatis. Perlu dikembangkan sistem pendidikan yang lebih menekankan aspek kecerdasan
emosional, sosial, motorik, kreativitas, imajinasi, dan spiritual. Mulyadi dalam
Agustina et al., 2006 menyatakan bahwa sistem pembelajaran sekolah formal tidak menyertakan aspek kecerdasan emosional, moral, dan spiritual. Ketiadaan
aspek-aspek ini membuat anak seperti robot dan memasung kreativitasnya. Dalam kaitannya dengan kritik terhadap ujian nasional, Rachman 2005 menyatakan
bahwa dalam perkembangan keilmuan mutakhir, kecerdasan emosional turut sangat menentukan keberhasilan seseorang. Ujian nasional hanya mengukur
kecerdasan intelektual tanpa mendeteksi kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan siswa lainnya. Padahal pendidikan
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Nowicki dan Oxenford dalam Soeriawijaya, 1989 menyatakan bahwa anak-anak yang tidak
disukai teman-temannya memiliki skor tes rendah. Prestasi belajar mereka rendah, sekalipun kecerdasan intelektualnya di atas rata-rata. Epstein dalam Tempo
Online, 1988 dalam penelitiannya mendapati anak-anak yang berkemampuan intelektual tinggi tetapi berkecerdasan emosional rendah memiliki skor tes rendah.
Hal ini sebagai akibat dari adanya kenyataan mereka cenderung berpikir destruktif seperti takut gagal dan kelumpuhan akal sehat. Koeshardani dalam Tempo
Online, 1981 menyatakan bahwa faktor emosi, selain juga faktor keluarga dan faktor kesulitan dalam bergaul, berakibat pada ketidakmampuan anak dalam
belajar. Penyebabnya adalah rasa malu dalam diri si anak. Hal ini bisa mempengaruhi masa depannya.
Motivasi berkaitan dengan dorongan dalam diri seseorang yang membangkitkan energi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Aspek psikologis
yang satu ini juga perlu mendapat perhatian. Ketiadaan motivasi berimbas pada
kegagalan akademis anak. Beberapa data empiris berikut mempertegas hal tersebut.
Junarsih dalam Toyudho, 2010 menyoroti masalah kegagalan pelajar melewati ujian nasional. Ia menyatakan bahwa kurangnya motivasi menjadi salah
satu penyebab ketidaklulusan ujian nasional 600 pelajar SMP di Kota Bekasi. Djuwita dalam Febiana, 2010 menyebut ketiadaan motivasi anak sebagai salah
satu penyebab keengganan anak pergi ke sekolah. Bila sudah demikian anak yang bersangkutan akan ketinggalan pelajaran. Giliran selanjutnya kesulitan dalam
belajar akan segera menghadang. Mulyadi dalam Kumoro, 2009 menyatakan bahwa proses pendidikan yang tidak melibatkan aspek motivasi tidak akan
mampu memicu semangat dan kreativitas belajar anak. Proses pendidikan seperti ini hanya akan menciptakan “robot-robot” yang tidak mampu berpikir dan
bersikap kreatif. Syarifudin dalam Joniansyah, 2006 menyebut bahwa selain faktor kemisikinan, kultur masyarakat, rendahnya daya beli, dan kondisi
geografis, rendahnya motivasi merupakan penyebab tingginya warga buta huruf. Hal ini terkait dengan masalah tingginya warga buta huruf di Kabupaten
Tangerang. Muhaimin dalam Sulistyowati, 2001 menyatakan bahwa tingginya angka anak putus sekolah di Jawa Tengah disebabkan oleh beberapa hal. Selain
faktor kurangnya komunikasi dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, faktor motivasi sumber penyebab anak tidak bersekolah.
Minat berkaitan dengan keinginan yang kuat dalam diri seseorang untuk melakukan
sesuatu. Rendahnya
minat belajar
anak berujung
pada
ketidakberhasilan anak dalam memahami materi yang guru ajarkan. Data empiris berikut mempertegas hal tersebut.
Widodo dalam Rafiq, 2010, terkait dengan turunnya angka kelulusan ujian nasional pelajar sekolah menengah atas di Kota Surakarta pada tahun 2009,
menyatakan bahwa banyak faktor penyebab terjadinya penurunan tingkat kelulusan. Menurutnya, minat belajar merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan. Abidin dalam Faisol, 2010, terkait dengan turunnya angka kelulusan ujian nasional pelajar sekolah menengah atas di Kota Tegal tahun 2010,
menyatakan bahwa minat belajar merupakan faktor penyebab tingginya angka ketidaklulusan. Minat belajar seharusnya didorong sejak mereka diterima di
sekolah. Bercermin pada fenomena di dalam kelas dan sejumlah fakta di atas dan
dikaitkan dengan pembelajaran matematika, penulis melihat ada hal penting lain yang sangat perlu diperhatikan dan sangat perlu disertakan di dalam proses
pembelajaran matematika, di samping hal upaya menaikkan kemampuan matematis. Hal penting itu adalah kecerdasan emosional, motivasi, dan minat.
Melihat betapa besarnya peran kecerdasan emosional, motivasi, dan minat terhadap keberhasilan akademis anak di sekolah, penulis mencoba mengadopsi
ketiganya dan menempatkannya di dalam konteks pembelajaran matematika. Hanya saja, di dalam pembelajaran, ketiganya tidak berdiri sendiri-sendiri dan
saling terpisah, tetapi berada dalam satu kesatuan utuh. Untuk itu dilakukan pemaduan terhadap ketiganya. Di sini, di dalam pembelajaran matematika, upaya
menggabungkan kecerdasan emosional, motivasi, dan minat dibangun. Dalam
pemaduannya guru melakukan upaya menggabungkan ketiganya di dalam pembelajaran matematika dengan cara menyusun serangkaian langkah yang
didasarkan pada definisi operasional pemaduan kecerdasan emosional motivasi, dan minat, mengadopsi beberapa cara yang dikemukakan oleh para ahli, dan
kebutuhan penelitian. Pada prosesnya, pemaduan dilakukan dengan menyusun serangkaian langkah seperti: memperlihatkan dukungan terhadap siswa,
menanyakan kesulitan yang dialami siswa, meminta agar mereka mau membantu kawannya, meminta mereka untuk selalu berkomunikasi dengan kawannya,
mendorong mereka agar mau membuat tugas, menghargai pekerjaan siswa, memberikan kebebasan cara dalam menjawab soal, meminta mereka untuk
memperhatikan pada saat guru sedang menjelaskan materi, mengatur kualitas pembelajaran, dan menstimulasi rasa ingin tahu siswa.
Kemampuan analisis hubungan matematis berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengurai masalah matematis ke dalam bagian-bagian yang lebih
kecil dan memahami hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Taksonomi Bloom versi revisi baru oleh Anderson Ahmadi, 2010 menempatkan analisis
hubungan dalam salah satu bentuk kemampuan analisis matematis. Sementara analisis sendiri merupakan satu dari enam bentuk kemampuan matematis. Bila
keenam kemampuan versi revisi taksonomi Bloom diurutkan mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling rumit, analisis menempati posisi
keempat. Kemampuan analisis hubungan matematis tidaklah statis, dari waktu ke
waktu dapat berubah, entah itu menjadi semakin baik atau entah malah menjadi
buruk. Seorang guru matematika tentu saja menginginkan kemampuan matematis siswanya berkembang semakin bertambah baik. Pengembangan kemampuan
hanya akan terbangun bila ada usaha untuk membangunnya. Secara teoretis, untuk pengembangan kemampuan matematis ini, guru dapat mengupayakannya dengan
cara mengetahui bahwa siswa memiliki kemampuan ini, memberi perhatian pada kemampuan ini, dan mengatur kualitas intensitas pertemuan dengan masalah
matematis. Secara praksis, pada prosesnya, pengembangan dilakukan dengan cara menyusun langkah-langkah terencana dan melakukannya di dalam pembelajaran.
Langkah-langkah yang disusun dan dilakukan seperti: menyusun hal-hal yang terkait dengan materi SPLDV, mempersiapkan kondisi pembelajaran, mengulang
materi prasyarat, mengajarkan metode eliminasi, memfokuskan perhatian siswa, menyusun strategi pemecahan masalah, dan memeriksa kembali hasil.
Dalam pembelajaran, proses pengembangan kemampuan matematis dan proses pemaduan kecerdasan emosional, motivasi, dan minat berlangsung secara
berdampingan dalam satu irama. Kedudukan keduanya sama penting. Melalui pemaduan kecerdasan emosional, motivasi, dan minat, pengembangan
kemampuan analisis hubungan matematis terbangun. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melakukan penelaahan lebih jauh
mengenai pengembangan kemampuan analisis hubungan matematis melalui pemaduan kecerdasan emosional, motivasi, dan minat. Hasil telaah akan sangat
berguna, baik bagi siswa maupun bagi guru. Untuk itu penulis mengajukan sebuah penelitian berjudul “Pengembangan Kemampuan Analisis Hubungan Matematis
Siswa SMP melalui Pemaduan Kecerdasan Emosional, Motivasi, dan Minat.”
B. Rumusan Masalah