INTERAKSI MUSLIM ETNIK TIONGHOA DENGAN LINGKUNGAN SOSIALNYA (Studi Pada Muslim Etnik Tionghoa di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung)

(1)

INTERAKSI MUSLIM ETNIK TIONGHOA DENGAN LINGKUNGAN SOSIALNYA

(Studi Pada Muslim Etnik Tionghoa di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung)

Oleh

Mia Marissa

Interaksi antar etnik ini membawa pada suatu proses pembauran yang salah satu faktor pendukung pembauran tersebut adalah agama. Diperkirakan agama Islam merupakan salah satu faktor yang mempermudah pembauran itu. Dengan menjadi muslim, etnik Tionghoa lebih mudah mendekatkan diri mereka dengan warga setempat. Sebagian yang lain menjadi Muslim karena perkawinan dengan masyarakat setempat. Masyarakat keturunan Tionghoa ada yang memeluk Islam karena pernikahan. Diawali dengan pembauran, saling mengenal lalu menikah, namun ada juga yang memeluk Islam karena mereka tertarik dengan ajaran Islam itu sendiri. Permasalahan tentang Interaksi muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosialnya adalah masalah yang menarik untuk dilakukan penelitian, karena persoalan etnik yang berbeda dapat menimbulkan suatu konflik antara muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat lingkungan setempat. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis begaimana bentuk interaksi muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosial mereka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Informan ditentukan dengan Purposive Sampling yakni penentuan disesuaikan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Data diperoleh dari hasil wawancara mendalam. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan reduksi data, display atau penyajian data dan tahap kesimpulan (verifikasi). Lokasi penelitian di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung. Informan dalam penelitian ini adalah 4 orang, yang terdata pada PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Propinsi Lampung, selain itu berdomisili dan menetap di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk interaksi muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosial mereka terjadi melalui dua proses yaitu proses asosiatif dengan bentuk interaksi kerjasama, akomodasi atau adaptasi dan asimilasi. Proses disosiatif yaitu melalui bentuk interaksi konflik dan pertentangan.


(2)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Interaksi

Dalam Soekanto (1990 : 61) interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.

Dalam J.S Roucek dan R.L Warren (1984 : 39) interaksi adalah suatu proses, melalui tindak balas tiap-tiap kelompok berturut-turut menjadi unsur penggerak bagi tindak balas kelompok yang lain. Ia adalah suatu proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi oleh tingkah laku relatif pihak lain dan dengan berbuat demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Orang mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung melalui organisma fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran, melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain atau secara tidak langsung melalui tulisan atau dengan cara berhubungan jarak jauh. Interaksi adalah satu masalah pokok karena ia merupakan dasar segala proses sosial.


(3)

melalui kontak langsung melalui berita yang didengar atau melalui surat kabar.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan interaksi adalah kontak antara individu yang menghasilkan adanya hubungan saling pengaruh mempengaruhi yang nampak dalam hubungan aksi reaksi. Interaksi dapat berlangsung antara :

- Orang perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan orang perorangan - Kelompok dengan kelompok

- Orang perorangan

Dengan demikian hubungan aksi reaksi dalam berinteraksi peran komunikasi menjadi penting. Arti penting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada pembicaraan, gerak-gerik badaniah atau sikap, perasaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut.

a. Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu :

1. Adanya kontak sosial (social contact)

Kontak, merupakan tahap pertama dari terjadinya interaksi sosial.

Menurut Abdulsyani (2007 : 154) kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih, melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan


(4)

masing-Kontak sosial tidak langsung adalah kontak sosial yang menggunakan alat sebagai perantara. Misalnya melalui telepon, radio, surat dan lain-lain. Sedangkan kontak sosial secara langsung adalah kontak sosial melaui suatu pertemuan dengan bertatap muka dan berdialog diantara kedua belah pihak tersebut.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu ;

a.Antara individu, melalui proses sosialisasi (socialization), yaitu proses, dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat

dimana dia menjadi anggota.

b.Antara individu dengan satu kelompok atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

c.Antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya, misalnya dua partai politik mengadakan kerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga dalam pemilihan umum.

2. Adanya komunikasi

Menurut Soekanto (Abdulsyani, 2007 : 155) komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilakuan orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Dengan adanya komunikasi, maka sikap dan perasaan di satu pihak orang atau sekelompok orang dapat diketahui dan dipahami oleh pihak orang atau sekelompok orang lain. Hal ini berarti, apabila suatu hubungan


(5)

Dalam komunikasi dapat terjadi banyak sekali penafsiran terhadap perilaku dan sikap masing-masing orang yang sedang berhubungan. Misalnya, jabatan tangan dapat ditafsirkan sebagai kesopanan, persahabatan, kerinduan, sikap kebangsaan dan lain-lain.

b. Bentuk-Bentuk Interaksi

Gillin dan Gillin dalam (Soekanto, 1990:71) pernah mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka , ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu :

1. Proses yang Asosiatif (processes of association) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yakni :

a. Kerjasama (Coorperation)

Beberapa orang Sosiolog menganggap bahwa kerjasama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.

Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompok (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-in-groupnya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam didalam kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang.


(6)

” Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan –kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut ; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta –fakta penting dalam kerjasama yang

berguna”.

Di kalangan masyarakat Indonesia dikenal bentuk kerjasama tradisonal dengan nama gotong-royong. Di dalam sistem pendidikan Indonesia yang tradisonal, umpamanya, sejak kecil tidak ditanamkan kedalam jiwa seseorang atau pola perilaku agar dia selalu hidup rukun, terutama dengan keluarga dan lebih luas lagi dengan orang lain didalam masyarakat. Hal mana disebabkan adanya suatu pandangan hidup bahwa seseorang tidak mungkin hidup tanpa kerjasama dengan orang lain. Pandangan hidup demikian ditingkatkan dalam taraf kemasyarakatan, sehingga gotong-royong seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan.

b. Akomodasi

Menurut Gillin dan Gillin dalam (Soekanto, 1990:75) akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk mengambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana mahluk-mahluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya.

Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mulanya saling


(7)

c. Asimilasi

Asimilasi (assimilation) merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

Proses asimilasi timbul bila ada :

1). Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya

2). Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga

3). Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain : a. Toleransi

b. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi c. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

d. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat e. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

f. Perkawinan campuran (amalgamation) g. Adanya musuh bersama dari luar.


(8)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

Persaingan mempunyai dua tipe umum yakni yang bersifat pribadi dan tidak pribadi. Yang bersifat pribadi, orang perorangan atau individu secara langsung bersaing. Didalam persaingan yang tidak bersifat pribadi, yang langsung bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.

2. Persaingan yang meliputi kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict) * Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada

antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Dalam bentuknya yang murni, kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Sikap tersembunyi tersebut dapat berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian. Kontravensi apabila dibandingkan dengan persaingan atau pertentangan atau pertikaian bersifat agak tertutup atau rahasia.


(9)

kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.

B.Tinjauan Tentang Muslim

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, muslim diartikan sebagai penganut agama Islam atau orang yang menganut agama Islam.

Menurut Sudarsono dalam Kamus Agama Islam, muslim diartikan sebagai orang yang memeluk agama Islam atau orang berserah diri kepada Allah.

Muslim adalah orang Islam. Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri.

Menurut Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2009 : 9) Muslim adalah orang yang beragama Islam, yang nampak padanya ciri-ciri memenuhi syarat Islamnya seseorang sehingga haram harta dan darahnya atas sesama muslim. Seperti yang dijelaskan dalam Rukun Islam :

[1]. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan

hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam adalah utusan Allah.

[2]. Menegakkan shalat. [3].Membayar zakat.


(10)

Shallallahu „alaihi wa

sallam.

C. Tinjauan Tentang Etnik

Menurut Fredrik Barth (dalam Suparlan, 2002 : 4) suku bangsa merupakan sebuah kategori atau golongan sosial askriptif, maka suku bangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jati diri yang askriptif dimana anggota suatu suku bangsa karena dilahirkan oleh orangtua dari suku bangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari suatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jati diri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai satus-status yang diperoleh dalam berbagi struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.

Lebih lanjut Fredrik Barth mendefinisikan etnik yang pada dasarnya adalah sama dengan suku bangsa menunjuk pada suatu kelompok tertentu karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya.

Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :

1. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.


(11)

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Sementara definisi Etnik menurut Koentjaraningrat (1995), etnik tentu berbeda dengan suku bangsa. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah “suku

bangsa”, atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep yang

tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas

tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dalam

kenyataan, konsep “suku bangsa” lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Ini

disebabkan karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan teritorial.

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.


(12)

melintas batas territorial, istilah etnik hampir sama dengan suku bangsa menunjuk pada suatu kelompok tertentu karena kesamaan ras, agama, asal usul, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.

D. Tinjauan Tentang Tionghoa

Kata Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata

“Zhonghua” dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Menurut Suryadinata (1999:252) etnik Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Dari sudut kebudayaan, orang Tionghoa terbagi atas 2 golongan saja yaitu peranakan dan totok.

a. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan

umumnya sudah “berbaur”. Mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai

bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pri.

b. Totok adalah “pendatang baru”, umumnya baru satu sampai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan terhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan keturunan totok pun telah mengalami peranaksasi. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi mereka yang ada di pulau Jawa.


(13)

Lingkungan menurut Srteoz dalam Triaini Lestariningrum (2002) adalah meliputi semua kondisi-kondisi dalam dunia yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan (to provide environment) bagi genarasi yang lain.

Menurut Fuad Amsyari dalam Triaini Lestariningrum (2002) lingkungan adalah apa yang ada disekitar manusia. Berdasarkan pengertian diatas dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan adalah segala sesuatu yang dapat memberikan pengaruh pada manusia tersebut.

Menurut Setiadi (2008 : 177) lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupannya dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil.

Dalam Abdulsyani (2007 : 195) yang dimaksud dengan lingkungan sosial yaitu lingkungan yang terdiri dari orang-orang secara individual maupun kelompok yang berada di sektar manusia.

Lingkungan sosial yang dimaksud pada penelitian ini adalah lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat setempat.

Menurut St Vembriarto, lingkungan keluarga yaitu kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hubungan sosial diantara keluarga relatif tetap didasarkan


(14)

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses sosialisasi dan interaksi seseorang. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya menyebabkan seseorang sadar akan dirinya bahwa sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat dinyatakan bahwa lingkungan sosial merupakan wadah atau sarana untuk sosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang terdiri dari kelompok terkecil untuk memulai berinteraksi dengan orang lain dan sebelum bersosialisasi dalam masyarakat.

F. Kerangka Pemikiran

Mendengar kata etnik keturunan Tionghoa, hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran orang umumnya adalah mereka pasti non-Muslim dan eksklusif. Hanya bergaul dengan kelompok mereka sendiri dan kurang bisa berbaur dengan lingkungan sekitar. Padahal, orang-orang yang biasanya sukses dalam bidang ekonomi ini juga ada yang Muslim dan mempunyai komunitas sendiri.

Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik terbesar di Indonesia. Disamping sebagai etnik terbesar, etnik Tionghoa memiliki mobilitas yang tinggi. Tingginya mobilitas etnik inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi antar etnik Tionghoa ini dengan etnik-etnik


(15)

Interaksi antar etnik ini membawa pada suatu proses pembauran yang salah satu faktor pendukung pembauran tersebut adalah agama. Diperkirakan agama Islam merupakan salah satu faktor yang mempermudah pembauran itu. Dengan menjadi Muslim, etnik Tionghoa dapat mendekatkan diri mereka dengan warga setempat.

Muslim etnik Tionghoa di Indonesia saat ini masih merupakan kelompok minoritas. Sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat masih belum bisa diterima dengan baik. Untuk bisa diterimanya muslim etnik Tionghoa ini ditengah-tengah lingkungan masyarakat, mereka harus melakukan interaksi dalam kehidupan mereka sehari-hari, khususnya pada lingkungan sosial mereka. Lingkungan sosial mereka yang terbagi pada lingkungan keluarga mereka sendiri dan lingkungan pada tempat tinggal mereka atau masyarakat setempat.

Bagi muslim etnik Tionghoa lingkungan keluarga mereka terbagi lagi menjadi, lingkungan keluarga pemeluk muslim etnik Tionghoa dan etnik Tionghoa non muslim atau keluarga masih memeluk agama lain selain Islam. Untuk itu mereka masih harus melakukan interaksi dengan lingkungan tersebut untuk masih bisa diterima walaupun sudah menganut agama yang berbeda.

Sedangkan pada lingkungan masyarakat setempat yang dihuni oleh etnik yang berbeda-beda sangat diperlukan interaksi, supaya tidak menimbulkan konflik atau terjadi pendiskriminasian dalam kehidupan pergaulan mereka sehari-hari. Selain itu juga


(16)

Skema Kerangka Pemikiran

Hasil Penelitian

Interaksi Muslim Etnik Tionghoa Dengan Lingkungan Sosialnya

Lingkungan Keluarga (Sesama Tionghoa Muslim dan Tionghoa non muslim)

Lingkungan Sosial - Masyarakat Muslim - Masyarakat Non Muslim

(Budha, Kristiani, Hindu)

Bentuk Interaksi sosial : a. Proses Asosiatif

 Kerjasama

 Akomodasi

 Asimilasi b. Proses Disosiatif

 Persaingan

 Konflik

 Pertentangan


(17)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Kedatangan Etnik Tionghoa di Indonesia

Orang Cina yang pertama datang di Indonesia adalah seorang pendeta agama Budha. Pendeta ini bernama Fa Hien. Ia singgah di pulau Jawa pada tahun 413 SM. Pada saat singgah ini ia mengatakan tidak ada seorang Cina yang tinggal di pulau Jawa. Dalam sejarah Cina lama mengatakan bahwa pengetahuan orang Cina merantau ke Indonesia terjadi pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Hal ini karena sejak zaman Dinasti Tang (618-907), kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Cina pada masa itu juga merasa keluar berlayar untuk berdagang (Hidajat.Z.M, 1984).

Daerah yang pertama kali didatangi adalah Palembang, yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian para perantau ini pergi


(18)

ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Kemudian mereka menetap di daerah pelabuhan pantai uatara pulau Jawa. Hubungan dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke-13. Selanjutnya pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah oleh Dinasti Ming (1368-1644).

Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan Cheng Ho datang di pulau Bintan. Armada ini kemudian singgah di pulau Bangka, Bliton, Karimata, pulau Jawa di Semarang dan Madura (Hidajat.Z.M, 1984).

Menurut mitologis Cina tujuan ekspedisi itu untuk mencari keponakan Kaisar Yung Lo (Kaisar ketiga Dinasti Ming), yang melarikan diri ketika Nanking jatuh ke tanganKaisar Yung Lo. Sumber lain menyatakan sebenarnya tujuan armada Cheng Ho dalam rangka mencari cap kerajaan yang hilang. Sebagai hasil ekspedisi ini selain sejak itu mulai ada hubungan dagang dan pembayaran upeti kepada Peking. Dengan kata lain, ekspedisi ini selain bersifat dan bertujuan dagang juga memiliki tujuan politik.

Menurut Cheng Ho orang-orang yang tinggal di pulau Jawa, kebanyakan berpusat di kota-kota pantai seperti di sekitar Tuban, Surabaya dan Gresik. Pada abad ke 13, daerah-daerah tersebut telah merupakan tempat penting dalam perdagangan dengan orang-orang Cina. Di Jawa Barat orang Cina kebanyakan pada waktu itu bertempat tinggal di Banten dan Jayakarta. Objek perdagangan pada waktu itu adalah beras, lada dan gula. Disamping berniaga mereka juga mengerjakan tanah pertanian, menanam


(19)

merica dan bersawah. Pada umumnya orang Cina yang pertama datang ke Indonesia pada waktu hanya terdiri dari kaum laki-laki saja (Hidajat.Z.M, 1984).

Keadaan ini berlangsung sampai perang dunia berakhir. Oleh karena itu sebelum waktu itu telah berlangsung perkawinan antara orang Cina laki-laki dengan wanita pribumi. Akan tetapi setelah perang dunia pertama imigran Cina membawa pula kaum wanita serta kaum kerabatnya. Sejak saat itulah banyak orang Cina yang datang ke Indonesia. (Hidajat.Z.M, 1984).

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Surabaya, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (http://www.orangTionghoa.com : 20 November 2008).

B. Mulai Masuknya Muslim Etnik Tionghoa di Indonesia.

Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara Negeri Cina dengan nusantara sudah


(20)

terjadi sebelum masehi (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di Negeri Cina, Melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada petengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada dibawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak saat itu mulai tersebarlah Islam di negara Cina (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afganistan, jalan ini terkenal dengan nama jalur Sutera. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigran Muslim asal Cina lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islan karena interaksi antar etnik


(21)

Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam. Kedatangan imigran muslim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman kerajan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara dari Negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif (rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di masa Kolonial (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Kedatangan etnik Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara, tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal drai daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan propinsi Guangdong. Tapai di Zaman pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnik Tionghoa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda (http://mencarijejakdakwah muslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Meski kedatangan etnik Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi muslim (http://mencarijejakdakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).


(22)

Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim, seperti Ma Huan, Guo Chong Li, dan Ha San Shaban dan Pu He-ri. Ma Huan dan guo Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemeh. Ha San adalah seorang ulama masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidkalah aneh pula daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak yang beragama Islam. Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7 (tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1925 sampai tahun 1431 adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang, Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton, dan lain-lain (http://mencarijejak dakwahmuslimtionghoa.com : 20 November 2008).

Dari riwayat tersebut. Muslim Tionghoa di Nusantara terbaur dengan penduduk setempat. Tetapi ketika kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah (devide et impera) mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan etnik Tionghoa termasuk golongan Timur Asing dan pribumi (Inlander) yang mayoritas beragama Islam dberi Fasilitas tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini membuat etnik Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk setempat (http://mencarijejakdakwah muslimtionghoa.com : 20 November 2008).


(23)

Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat istiadat suatu golongan menjadi golongan tersebut. Islam mengatur etnik Tionghoa melebur dan manjadi bagian pribumi atau masyarakat setempat (http://mencarijejakdakwah muslimtionghoa.com : 20 November 2008).

C. Muslim Etnik Tionghoa dan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).

Komunitas muslim etnik Tionghoa di Indonesia terkumpul dalam sebuah wadah organisasi bernama PITI adalah singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. PITI merupakan organisasi wadah komunitas muslim etnik Tionghoa dari seluruh nusantara, tidak terkecuali muslim etnik Tionghoa yang ada di Propinsi Lampung.

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan pertama kali di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh almarhum H. Abdul Karim Oei Tjen Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin. PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tanggapan atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah yaitu almarhum KH. Ibrahim kepada almarhum H. Abdul Karim Oei bahwa untuk .menyampaikan agama Islam kepada etnik Tionghoa harus dilakukan oleh etnik Tionghoa itu sendiri yang beragama Islam.

Organisasi ini memiliki tujuan untuk mempersatukan kaum muslimin Tionghoa di Indonesia dalam satu wadah, sehingga lebih berperan dalam proses persatuan bangsa.


(24)

Visi PITI adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam). Sedangkan misi PITI didirikan adalah untuk mempersatukan muslim Tionghoa dengan muslim Indonesia, muslim Tionghoa dengan etnik Tionghoa non muslim dan etnik Tionghoa dengan umat Islam.

Program PITI adalah menyampaikan tentang dakwah Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya, serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya. Sampai dengan saat ini, agama Islam tidak dan belum menarik bagi masyarakat keturunan Tionghoa karena dalam pandangan mereka, agama Islam identik dengan kemunduran, kemalasan, kebodohan, kekumuhan, pemaksaan dan kekerasan (radikal dan teroris).

a. Sejarah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Propinsi Lampung PITI hadir di Lampung pada tahun 1970-an, namun keberadaannya tidak diketahui banyak oleh masyarakat Lampung khususnua muslim etnik Tionghoa sendiri. Pada tahun 1987 atas dukungan, dorongan, dan koordinasi beberapa tokoh muslim yang simpati dengan PITI, diantaranya Hi. Muswardi Taher beliau adalah salah satu ketua Yayasan Pendidikan Al- Azhar dan beberapa mualaf


(25)

(orang yang baru masuk agama Islam) keturunan Tionghoa yang tersebar di beberapa daerah seperti Bandar Lampung, Metro, Pringsewu dan Talang Padang sepakat untuk membentuk Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PITI Lampung. Pada tanggal 19 Juli 1987 dilaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) PITI Lampung yang pertama bertempat di Wisma Pertiwi Pahoman Bandar Lampung yang menetapkan Hi. Muswardi Taher sebagai ketua umum.

Setelah terpilihnya pengurus DPW PITI Lampung organisasi PITI berjalan. Langkah awal yang dilakukan diantaranya adalah pendataan warga muslim etnik Tionghoa bekerjasama dengan camat dan lurah se Bandar Lampung, pembentukan DPD PITI Lampung Tengah dan Lampung Selatan (sebelum pemekaran), dan silaturahmi ke pengurus DPP PITI di Jakarta. Selain itu juga dilakukan pengajian rutin, terlibat aktif dalam rehabilitasi gempa Liwa, memberi bantuan modal usaha, membentu program pengislaman bagi non Islam yang berkeinginan masuk Islam, dan aktif dalam menyikapi kondisi sosial kemasyarakatan.

Awal kepengurusan yang bergairah tersebut ternyata belum bisa menunjukkan keteraturan berorganisasi. Selama rentan tahun 1987 -2002 tidak terjadi pergantian kepengurusan layaknya regenerasi di sebuah organisasi. Sekalipun dari awal pengurus berupaya maksimal di tengah-tengah kesibukan


(26)

masing-masing untuk menggerakkan roda organisasi. Sampai dilakukannya Muktamar PITI II di Jakarta pada tahun 2000 yang disebut sebagai Muktamar Milenium.

Atas permintaan dan dorongan dari Dewan Pimpinan Pusat PITI yang terbentuk dari hasil Muktamar Milenium melalui Sekretaris Jendral DPP PITI Hi. Eddy Sulaeman kepada pengurus DPW PITI Lampung untuk menyelenggarakan Musyawarah Koordinator Wilayah (Muskorwil) II PITI Lampung. Maka pada tanggal 9 Juni 2002 diselenggarakan Muskorwil PITI Lampung bertempat di Aula Kanwil Departemen Agama Propinsi Lampung. Muskorwil menunjuk

Mu‟min Shiddiq Lie Kie Liong sebagai ketua umum DPW PITI Lampung periode 2002-2005.

b. Asas, Tujuan dan Kegiatan PITI

Sebagai organisasi Islam, PITI berasaskan Islam dan bertujuan membentuk kepribadian yang Islami di mana tergambar sosok pribadi yang taat, tunduk, dan patuh kepada Allah SWT. Untuk mencapai tujuan tersebut, PITI melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Memberi bimbingan ajaran agama Islam bagi anggotanya,

2. Menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kasih sayang kepada umat manusia,

3. Mengadakan hubungan serta kerjasama dengan organisasi Islam lainnya untuk bersama-sama mewujudkan Ukhuwah Islamiyah,


(27)

4. Mendorong dan menggalakkan usaha di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa manfaat bagi umat manusia.

D. Jumlah Muslim Etnik Tionghoa di Propinsi Lampung

Berdasarkan pendataan dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Propinsi Lampung tahun 2005, jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa adalah sebanyak 186 orang. Jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa ini terbagi berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Berikut merupakan jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 1. Data jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa berdasarkan jenis kelamin DATA JUMLAH PENDUDUK MUSLIM ETNIK TIONGHOA

BERDASARKAN JENIS KELAMIN

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 126

2. Perempuan 60

Jumlah Penduduk 186

Sumber : PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Propinsi Lampung tahun 2005.

Berdasarkan tabel di atas jumlah jenis kelamin laki-laki muslim etnik Tionghoa yang terdata pada PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tahun 2005 adalah sebanyak 126 orang, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis kelamin perempuan muslim etnik Tionghoa yang hanya berjumlah 60 orang.


(28)

Berdasarkan pendataan dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tahun 2005, jumlah penduduk muslim etnik Tionghoa di Propinsi Lampung sebanyak 186 orang tersebut tersebar di beberapa kecamatan dan daerah-daerah yang ada di Propinsi Lampung. Berdasarkan data PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) tersebut tercatat jumlah muslim etnik Tionghoa pada Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung lebih banyak dibandingkan di Kecamatan atau daerah-daerah lainnya yang ada di Propinsi Lampung.

Tabel 2. Data Jumlah muslim etnik Tionghoa berdasarkan daerah atau kecamatan di Propinsi Lampung

DATA JUMLAH PENDUDUK MUSLIM ETNIK TIONGHOA BERDASARKAN DAERAH ATAU KECAMATAN DI PROPINSI

LAMPUNG

No Daerah atau Kecamatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Sukarame Telukbetung Selatan Telukbetung Utara

Tanjungkarang (Pusat, Timur dan Barat) Rajabasa Telukbetung Barat Kedaton Pringsewu Metro Way Halim Kemiling Talang Padang Gedong Tataan Kotabumi

Lampung Timur dan Lampung Tengah Lampung Selatan 17 26 19 43 10 9 11 15 10 3 3 4 1 1 4 10

Jumlah 186


(29)

E. Gambaran Umum Kecamatan Telukbetung Selatan

1. Sejarah Singkat Kecamatan Telukbetung Selatan

Kecamatan Telukbetung Selatan adalah salah satu Kecamatan yang tertua dalam wilayah Kota Bandar Lampung, yang pada saat itu Pemerintah Kota Bandar lampung masih bernama Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung, dengan 4 (empat) Wilayah Pemerintahan Kecamatan, yaitu : Kecamatan Telukbetung Utara, Kecamatan Tanjungkarang Timur, Kecamatan Tanjungkarang Barat dan Kecamatan Telukbetung Selatan

Kecamatan Telukbetung Selatan pada waktu itu membawahi 6 (enam) Pemerintahan Kelurahan diantaranya : Kelurahan Sukaraja, Kelurahan Bumi Waras, Kelurahan Teluk Betung, Kelurahan Kangkung, Kelurahan Pesawahan dan Kelurahan Gedong Pakuon Talang.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1982 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1983 Tentang Perubahan Nama Kotamadya Tanjung Karang Teluk Betung menjadi Kotamadya Bandar Lampung. Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II (dua) Bandar Lampung dimekarkan menjadi 9 (sembilan) Pemerintahan Kecamatan yaitu Kecamatan : Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Barat, Tanjungkarang Timur, Telukbetung Barat, Telukbetung Utara, Telukbetung Selatan, Panjang,


(30)

Kedaton dan Sukarame. Sedangkan Kecamatan Telukbetung Selatan dari 6 (enam) Kelurahan dimekarkan menjadi 9 (sembilan) Kelurahan, dengan pemecahan Kelurahan yang ada di Wilayah Telukbetung Selatan yaitu :

1.Kelurahan Gedong Pakuon Talang dipecahkan menjadi 2 (dua) Kelurahan yaitu : Kelurahan Talang dan Kelurahan Gedong Pakuon.

2.Kelurahan Bumi Waras dipecah menjadi 2 (dua) Kelurahan yaitu : Kelurahan Bumi Waras dan Kelurahan Pecoh Raya.

3.Kelurahan Sukaraja dibagi menjadi 2 (dua) Keluraha yaitu : Kelurahan Sukaraja dan Kelurahan Garuntang.

Pada akhir tahun 2001 kembali ada pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Derah Kota Bandar Lampung No.4 Tahun 2001. Telukbetung Selatan memiliki tambahan 2 (dua) Kelurahan sehingga menjadi 11 (sebelas) Kelurahan (Kelurahan Way Lunik dan Kelurahan Ketapang yang merupakan panambahan dari Wilayah Kecamatan Panjang ).

2. Kondisi Geografis

1. Letak Geografis

Kecamatan Teluk Betung Selatan adalah merupakan sebagian wilayah Kota Bandar Lampung, dengan luas wilayah 1.063 Ha, dan berbatasan dengan :


(31)

1.Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Utara dan Kecamatan Tanjung Karang Timur

2.Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung 3.Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Panjang

4.Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Barat

Kecamatan Teluk Betung Selatan secara geografis merupakan wilayah pantai yang membujur dari Timur kearah barat Pantai Teluk Lampung.

2. Keadaan Topografi

Kecamatan Telukbetung Selatan secara Topografis mempunyai wilayah yang relatif datar, terutama bagian yang menyusuri pantai dan sebagian kecil mempunyai wilayah perbukitan atau bergelombang, terutama dibagian utara wilayah Kecamatan Telukbetung Selatan.

Kecamatan Telukbetung Selatan mempunyai struktur tanah berwarna merah kehitaman dan sedikit jenis padsilik serta latosol berkatagori sedang.

3. Penduduk dan Mata Pencaharian

Berdasarkan Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan, angka proyeksi tahun 2009 jumlah penduduk Kecamatan Telukbetung Selatan mencapai 86.188 jiwa. Jumlah penduduk ini terbagi berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Telukbetung Selatan ini lebih besar dibandingkan


(32)

dengan jumlah penduduk perempuan. Berikut merupakan jumlah penduduk Kecamatan Telukbetung Selatan berdasarkan klasifikasi jenis kelamin.

Tabel 3. Jumlah penduduk di Kecamatan Telukbetung Selatan berdasarkan Jenis Kelamin

DATA JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN

No. Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 43.128

2. Perempuan 43.060

Jumlah Penduduk

86.188

Sumber : Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan tahun 2009

Berdasarkan tabel di atas jumlah jenis kelamin laki-laki di Kecamatan Telukbetung Selatan adalah 43.128 jiwa, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang hanya berjumlah 43.060 jiwa.

Selain memiliki penduduk yang cukup ramai, Kecamatan Telukbetung Selatan pun memiliki beberapa potensi yang dapat dikembangkan, seperti adanya areal perbukitan dan pabrik, sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah buruh (Monografi Kecamatan Telukbetung Selatan).

Berikut ini merupakan tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dari masyarakat Kecamatan Telukbetung Selatan :


(33)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Setelah diadakan penelitian terhadap beberapa orang informan yang tinggal di Kecamatan Telukbetung Selatan, berikut ini akan digambarkan hasil wawancara peneliti dengan informan yang telah dikumpulkan dan diolah oleh peneliti secara sistematis. Adapun data masing-masing informan adalah sebagai berikut :

Tabel 8. Data Informan

No Nama Umur Pekerjaan Pendidikan Terakhir

Status Dalam Keluarga 1. Kim Siong atau Herman

Suryanto

46 thn Supir Truk SMP Kepala Keluarga 2. Tie Kun Hoa atau

Kuntohadi Hamdani

50 thn Wiraswasta STM Kepala Keluarga 3. Agus Salim 57 thn Wiraswasta SMA Kepala

Keluarga 4. Kinanti Dwi Rahesti 21 thn Mahasiswi Universitas Anak

1. Informan I

Informan merupakan pria kelahiran Talang Padang dengan usia 46 tahun dari keluarga penganut agama Kong Hu Chu. Pria ini bernama Bapak Kim Siong atau


(34)

beliau lebih dikenal dilingkungan tempat tinggalnya dengan nama Bapak Herman Suryanto.

Informan kelahiran Talang Padang ini, bermata pencaharian sebagai seorang supir truk. Pria yang hanya berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, pindah ke kota Bandar Lampung dari Talang Padang dengan tujuan untuk merantau dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

“Saya pindah dari Talang Padang ke Bandar Lampung ini sudah sekitar 25 tahun yang lalu, tujuan saya ke sini (Bandar Lampung) awalnya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, selain itu saya juga ingin coba merantau dan mandiri, tidak bergantung dengan orang tua saya. „eh, saya malah ketemu jodohnya di sini.‟ Jadi, sekarang saya menikah dan menetap disini”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak H.S, tanggal 10 Agustus 2009).

Bapak 3 anak ini, memeluk Islam sudah sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu. Informan ini memeluk Islam karena menikah dengan istrinya yang suku Jawa dan beragama Islam atau seorang Muslim. Perkenalan pertama kali informan dengan Islam bukan dari pernikahan dengan istrinya, melainkan sebelumnya suda ada anggota keluarga informan yang beristrikan atau menikah dengan seorang Muslim atau beragama Islam.

“Saya tau agama Islam, awalnya dari istri kakak saya, kebetulan kakak saya

juga menikah dengan orang pribumi dan juga beragama Islam. Setelah saya menikah, baru saya mengenal Islam dan mulai belajar dan memahami Islam melalui istri saya”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak H.S, tanggal 10 Agustus 2009).

Walaupun tidak semua anggota keluarga informan memeluk agama Islam, seperti orang tua yaitu Ayah dan Ibunya masih memeluk agama Kong Hu Chu, juga adik-adik kandungnya masih memeluk agama yang sama dengan orang tuanya, tapi


(35)

tidak ada pertentangan dari keluarga informan atas keputusan informan untuk memeluk agama yang berbeda dengan agama mereka yaitu agama Islam.

Interaksi yang terjalin dengan keluarga yang memeluk agama yang sama dengan informan, seperti keluarga kakaknya yang sudah sama-sama memeluk agama islam sangat baik. Mereka suka saling mengunjungi ketika hari raya Lebaran tiba. Tidak berbeda juga dengan interaksi yang terjalin dengan keluarga informan yang non muslim, masih terjalin dengan sangat baik tidak ada diskriminasi karena agama yang dianut berbeda.

“Kami masih suka mengunjungi kalau hari raya, orang tua dan adik-adik saya suka ikut merayakan Lebaran. Kami biasanya suka berkumpul di rumah kakak saya untuk merayakan Lebaran bersama. Apabila hari raya Imlekan, kami juga datang dan berkumpul di rumah orang tua untuk merayakan Imlekan, karena bagi kami (orang Tionghoa) Imlek bukan sekedar hari raya, tapi sudah menjadi tradisi bagi kami (Tionghoa) untuk merayakan Imlek”

(Kutipan hasil wawancara dengan bapak H.S, tanggal 10 Agutus 2009).

Informan yang beralamat di Jl. Ikan Kiter no.2 Telukbetung Selatan ini, memang tinggal di lingkungan ramai dan padat penduduknya. Daerah atau lingkungan tersebut memang dihuni oleh penduduk dengan etnik yang berbeda-beda mayoritas warga setempat adalah pribumi dengan suku yang berbeda-beda.

Selain pribumi di lingkungan tempat tinggal informan juga masih banyak yang beretnik Tionghoa. Tetapi mereka bisa hidup berdampingan dengan baik, tidak ada pendiskriminasian antar etnik.

“Kadang kalo lagi ada acara bersih-bersih kampung, kami malah suka berbaur, kerjasama, gotong-royong, buat bersih-bersih, walaupun, masih ada juga sih yang gak mau berbaur dan masih merasa ekslusif, tapi yah, sudah kami biarkan saja, kami hargai kok kalo emang gak mau”


(36)

Informan dan keluarga suka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya. Apabila ada kegiatan gotong royong, bersih-bersih kampung, informan dan keluarga ikut berbaur dan melibatkan diri dengan masyarakat setempat. Selain itu, informan dan keluarga juga suka mengunjungi dan bersilaturahmi dengan tetangga atau masyarakat sekitar apabila hari raya Lebaran tiba.

Informan merupakan orang yang cukup ramah bisa dilihat dari cukup dikenalnya keluarga Bapak Kim Siong atau Bapak Herman Suryanto oleh lingkungan sekitar, juga membuktikan bahwa informan dan keluarganya melakukan interaksi yang baik dengan lingkungan mereka.

2. Informan II

Informan berusia 50 tahun ini bernama Tionghoa Tie Kun Hoa. Tetapi setelah informan memeluk agama Islam, informan mulai mengganti namanya menjadi Kuntohadi Hamdani. Informan ini lahir dan besar di daerah Telukbetung Selatan. Informan tinggal dan beralamat di Jalan Ikan Pari 71, Telukbetung Selatan. Informan sempat mengenyam pendidikan sampai STM dan sekarang informan bekerja sebagai seorang wiraswasta.

Informan mengaku memeluk Islam sudah sejak sekitar tahun 1970-an, ketika informan masih berstatus sebagai seorang pelajar. Informan mengaku perkenalan beliau dengan Islam karena hidayah, yaitu karena informan sangat senang mendengar suara adzan, apalagi adzan di waktu subuh.


(37)

“Saya masuk Islam itu, sudah sekitar tahun 1970-an, waktu itu saya masih sekolah disalah satu STM di Bandar Lampung. Dulu kan, karena sekolah saya jauh dari rumah, jadi saya suka bangun pagi-pagi, biar gak terlambat sekolah. Kadang saya bangun karena denger suara adzan dari masjid yang deket dengan

rumah saya, klo denger adzan saya suka mikir, „Orang Islam itu pagi-pagi sudah harus bangun dan bersih-bersih diri buat menyembah Tuhannya‟. Sedangkan kami yang beragama lain kadang masih tidur dan tidak berpikiran akan Tuhan kami”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak K.H, tanggal 19 Agustus 2009).

Informan merupakan anak dari keluarga penganut agama Katolik. Almarhum Ayahnya, Ibu dan adiknya sampai sekarang juga masih seorang penganut Kristiani. Dalam lingkungan keluarganya hanya informan seorang yang berpindah agama menjadi pemeluk agama Islam. Informan sangat menyayangkan almarhum ayahnya meninggal dalam keadaan masih sebagai seorang Katolik.

“Ayah saya seorang penganut Katolik dan saya kasihan sama Ayah saya

meninggal bukan dalam keadaan Islam”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak K.H, tanggal 19 Agustus 2009).

Informan mengaku, walaupun informan memutuskan untuk berpindah agama dan memeluk agama yang berbeda dengan keluarganya yaitu Islam, tetapi tidak ada pertentangan atau penolakan dari keluarganya atas keputusan informan tersebut.

“Dalam keluarga saya tidak ada yang memeluk agama yang sama dengan saya

yaitu Islam, keluarga saya semuanya beragama Katolik, tapi sampai saat ini hubungan kekeluargaan kami masih baik-baik saja. Keluarga saya suka datang kalo pas Lebaran, tapi saya gak mau ikut merayakan hari raya mereka lagi (Natalan)”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak K.H, tanggal 19 Agustus 2009).

Selain keluarga informan yang suka hadir ketika hari Lebaran tiba, Informan dan keluarga juga merayakan bersama dengan masyarakat muslim setempat, yaitu


(38)

dengan saling mengunjungi dan bersilaturahmi untuk merayakan Lebaran bersama sebagai sesama orang Islam atau sebagai sesama muslim.

Setelah informan memeluk agama Islam, Informan mulai sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, seperti memakan makanan yang menurut agama Islam haram dan tidak diperbolehkan, membakar dupa, melakukan pemujaan, dan lain-lain.

Tinggal di lingkungan dengan berbagai etnik yang berbeda pun, tidak ada hambatan bagi informan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Terbukti dengan seringnya informan dilibatkan dalam acara-acara yang diadakan di kampungnya, misalnya acara 17-an, dan atau apabila masyarakat sekitar mengadakan acara syukuran, informan suka diundang untuk hadir dan mengikuti acara tersebut. Informan juga suka hadir dan mengikuti kegiatan kematian apabila ada warga sekitar yang meninggal dunia, seperti misalnya ada tetangga informan yang beragama Islam meninggal dunia Informan hadir dan mengikuti proses dari memandikan, mengkafani, menyolatkan, dan menguburkan jenazah. Informan juga hadir pada acara tahlilan kematian, dan begitu juga apabila ada tetangga informan yang beragama selain muslim ada yang meninggal dunia informan ikut hadir dan membantu prosesi kematian.


(39)

“Saya orang lama sih disini (Telukbetung Selatan), jadi masyarakat sini sudah

tau semua dengan saya. Tetangga saya pas sebelah rumah ini orang beragama Budha, yang depan rumah orang Tionghoa tapi bukan muslim. Disini banyak juga orang Jawa dan Lampung. Tapi gak ada kesulitan bagi saya dan keluarga hidup berdampingan dengan mereka.

Kami saling menghargai aja satu sama lain. Apabila diundang acara apa saja klo saya ada waktu pasti saya usahakan hadir dan ikut serta, apalagi klo ada kematian, yah, gak usah nunggu diundang”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak K.H, tanggal 19 Agustus 2009).

Walaupun demikian, dahulu informan pernah mengalami suatu kejadian atau konflik kecil yang terjadi antara informan dengan instansi pemerintah. Walaupun tidak sampai menimbulkan konflik besar, tetapi menurut informan kejadian tersebut merupakan kejadian yang tidak mengenakkan dan menurutnya sangat merugikan informan, hanya karena informan seorang Tionghoa. Dahulu ketika masih sangat terasanya diskriminasi terhadap orang Tionghoa, informan pernah disuruh menunjukkan surat keterangan identitas yang menandakan bahwa informan adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI), hanya untuk mengurus pembuatan kartu tanda pendududk (KTP) di instansi pemerintah setempat. Tapi pada saat ini, informan sudah tidak pernah lagi mengalami kesulitan ketika berhubungan dengan instansi pemerintahan.

3. Informan III

Informan bernama Agus Salim, kelahiran Teluk Betung, 57 tahun yang lalu ini, tinggal dan beralamat di Bumi Waras, Telukbetung Selatan. Informan yang hanya mengeyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, bermata pencaharian sebagai seorang wiraswastawan.


(40)

Informan mengaku memeluk agama Islam sudah sejak 26 tahun yang lalu. Informan memeluk Islam awalnya karena pernikahan dengan istrinya yang adalah seorang muslim. Informan menikah dengan seorang pribumi yang bersuku Lampung dan juga seorang yang beragama Islam dan untuk bisa menikah dengan istrinya tersebut, informan memutuskan untuk berpindah agama memeluk Islam dan menjadi seorang muslim juga.

“Awalnya memang saya memeluk Islam karena saya mau menikah dengan istri saya. Dan setelah saya menikah, saya mulai belajar dan mendalami Islam dengan bimbingan dari istri saya”

(Kutipan hasil wawancara dengan bapak A.S, tanggal 19 Agustus 2009).

Informan berasal dari keluarga penganut agama Kristiani, tapi tidak ada pertentangan dari keluarganya atas keputusan informan untuk berpindah agama dan memeluk agama Islam. Karena memang sebelumnya juga dari keluarga informan yaitu kakak informan sudah terlebih dahulu melakukan hal yang sama, yaitu menikahi seorang wanita yang bersuku Jawa dan juga memeluk Islam atau seorang muslim.

“Kakak saya juga punya istri orang Jawa dan juga muslim dan sudah menikah terlebih dahulu sebelum saya, jadi ketika saya memutuskan untuk melakukan hal yang sama, keluarga sudah tidak melarang atau menolak keputusan saya untuk menikah dengan seorang muslim dan bukan dari golongan kami yaitu Tionghoa”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak A.S, tanggal 19 Agustus 2009).

Informan adalah seorang wiraswasta yang menjalankan bisnis bersama keluarga yang sudah dijalankan sejak lama. Dengan keputusan informan yang berpindah agama dan memeluk agama yang berbeda dengan keluarganya tidak membuat informan dikucilkan atau dihentikan dari bisnis keluarga informan tersebut.


(41)

Informan masih menjalankan bisnis keluarga tersebut sampai sekarang. Ini membuktikan interaksi dalam hal kerjasama dengan lingkungan keluarga informan yang baik seorang muslim dan non muslim masih berjalan dengan baik.

Lingkungan tempat tinggal Informan termasuk lingkungan yang ramai dan padat penduduk. Penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut pun terdiri dari suku dan pemeluk agama yang berbeda-beda. Tetapi informan dan masyarakat setempat tersebut bisa hidup berdampingan dengan damai dan nyaman dan saling menghargai satu sama lain sebagaimana masyarakat yang hidup bertetangga, sehingga tidak ada golongan-golongan yang merasa didiskriminasi atau diasingkan kecuali memang ada yang menutup diri dan tidak mau membaurkan diri dengan warga setempat lainnya.

“Kalau sekarang sih, kayanya sudah gak ada lagi pendiskriminasian terhadap

satu golongan, misalnya orang pribumi gak mau maen atau bergaul dengan orang Tionghoa karena kami berkulit putih atau bermata sipit, sekarang sudah berbaur satu sama lain, antara orang pribumi dengan orang Tionghoa. Walaupun mungkin masih ada juga orang Tionghoa yang menutup diri dengan lingkungan sekitarnya”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak A.S, tanggal 19 Agustus 2009).

Tinggal di lingkungan dengan berbagai etnik yang berbeda-beda tidak membuat informan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Informan dan keluarga suka dilibatkan juga oleh masyarakat setempat dalam acara-acara yang sering diadakan di lingkungan sekitar tempat tinggal informan.


(42)

“Saya suka di undang-undang kok sama tetangga kalau misalnya tetangga ada yang hajatan, selain itu kalau pas ada acara 17-an, istri dan anak-anak saya suka ikutan lomba-lomba atau sekedar nonton untuk meramaikan acara yang diadakan di lingkungan sini. Disini kami berbaur aja kok, mau orang Jawa, Lampung, Cina, atau Batak, kami saling menghargai aja, namanya juga orang hidup bertetangga. Jadi gak usah saling ganggu buat hidup nyaman”

(Kutipan hasil wawancara dengan Bapak A.S, tanggal 19 Agustus 2009).

Menurut informan saat ini sudah tidak begitu dirasakan sekali bentuk pendiskriminasian terhadap etnik Tionghoa di Indonesia maupun dilingkungan sekitar tempat tinggalnya. Etnik bukan lagi penghalang untuk bisa berbaur dan hidup berdampingan. Mungkin salah satu alasan informan bisa diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya adalah karena informan juga merupakan seorang pemeluk agama yang sama dengan masyarakat mayoritas yang tinggal di lingkungan tersebut yaitu Islam.

4. Informan IV

Informan dengan nama Kinanti Dwi Rehesti, informan kelahiran Telukbetung dengan usia 21 tahun ini adalah seorang anak sulung dari 3 bersaudara. Informan berasal dari keluarga penganut agama Kong Hu Chu. Informan yang tinggal dan beralamat di Jl. Ikan Baung Kampung Bumi Waras, Telukbetung Selatan ini adalah seorang mahasiswi di salah satu Universitas swasta yang ada di Bandar Lampung.

Informan mengaku memeluk agama Islam sudah 5 tahun yang lalu. Pada saat informan masih mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Informan yang pada saat itu bersekolah di sekolah umum, informan bergaul dan


(43)

berteman dengan anak-anak dengan etnik lainnya bahkan dengan anak-anak muslim atau yang beragama Islam. Informan adalah seorang anak yang senang bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa memilih, melalui pergaulan tersebut juga informan menganal dan tahu banyak tentang agama Islam.

“Dulu itu, saya punya teman sebangku orang Islam dan teman saya itu berjilbab lebar gitu, dari dia juga awal perkenalan saya dengan agama Islam. Saya banyak ngobrol dan bertanya banyak tentang agama Islam, dan pertanyaan-pertanyaan saya tersebut dapat dijawab dengan baik dan terkadang menyentuh hati nurani saya yang paling dalam. Hingga akhirnya rasa tertarik saya muncul dan akhirnya saya memutuskan untuk memeluk agama Islam, dan melalui teman saya tersebut jugalah, saya dipertemukan dengan seorang ustad yang akhirnya mengislamkan saya”

(Kutipan hasil wawancara dengan K.D.R, tanggal 12 Desember 2009).

Informan mengalami hari-hari yang sulit ketika pertama kali memeluk Islam. Informan sedikit demi sedikit mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang dilarang oleh ajaran agama Islam, seperti memakan daging babi yang dianggap haram oleh agama Islam, melakukan pemujaan dengan membakar dupa juga perlahan-lahan mulai informan tinggalkan.

Informan mulai belajar melakukan rutinitas sebagai seorang muslim, dibantu oleh ustad yang mengislamkan informan dan teman informan. Informan belajar wudhu, shalat, puasa dan membaca Al-Qur‟an, semua hal tersebut dilakukan informan tanpa sepengetahuan keluarganya.

“Saya gak berani bilang waktu itu sama keluarga saya (orangtua), klo pada waktu itu saya sudah masuk Islam. Selama 2 tahun saya merahasiakan identitas keIslaman dari keluarga. Orangtua saya curiga dengan perubahan sikap saya yang suka gak mau makan dan selalu menghindar dengan banyak alasan klo mama masak daging babi. Saya juga lebih banyak mengurung diri di kamar untuk melakukan shalat dan supaya saya lebih bebas melakukan ibadah, saya sering keluar rumah.


(44)

Yang agak susah pas bulan puasa, untuk makan sahur saya mesti pinter-pinter nyumputin makananan di kamar supaya bisa di makan waktu sahur. Lebih terasa sedih lagi waktu hari raya Lebaran tahun pertama saya sebagai seorang muslim, saya tidak ikut melaksanakan shalat Ied karena takut orangtua curiga. Namun setelah 2 tahun merahasiakan dari keluarga, saya mencoba jujur dan mengatakan yang sebenarnya kepada orangtua saya tentang keputusan saya

memeluk agama Islam”

(Kutipan hasil wawancara dengan K.D.R, tanggal 12 Desember 2009).

Informan yang merupakan anak sulung dari keluarga penganut agama Kong Hu Chu ini mendapat pertentangan dari keluarga, karena keputusan informan untuk berpindah agama dan menjadi seorang muslim. Informan mendapatkan perlawan keras dari ayahnya yang tidak menyukai keputusan informan tersebut, karena menurut ayah informan, Islam bukanlah agama yang baik. Ajaran agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi seorang pembunuh seperti teroris.

“Papa saya marah besar waktu tau saya pindah agama dan memeluk agama

Islam. Menurut Papa agama Islam adalah agama teroris. Hampir selama 6 bulan, saya dan Papa tidak bertegur sapa walaupun kami tinggal dalam satu rumah. Tapi lama kelamaan dengan penjelasan dan pengertian dari saya, akhirnya Papa mengerti dan bisa menerima keputusan saya”

(Kutipan hasil wawancara dengan K.D.R, tanggal 12 Desember 2009).

Informan merupakan satu-satunya dalam keluarga informan yang memeluk agama Islam, tetapi informan tidak mengalami kesulitan dalam menjalin interaksi dengan keluarga informan lain yang memeluk agama yang berbeda dengan informan. Apabila hari raya Imlek tiba Informan juga masih suka turut berkumpul dan merayakan hari raya Imlek tersebut dengan keluarga sebagai bentuk sikap saling menghargai dalam memeluk agama masing-masing, selain itu Imlek menurut informan adalah merupakan tradisi orang Tionghoa. Merayakan Imlek asal tidak melanggar syariat Islam itu tidak masalah menurut Informan Begitu juga


(45)

sebaliknya, keluarga informan sudah mulai memberi kebebasan kepada informan untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran agama yang dianut informan yaitu Islam.

“Setelah papa menerima keputusan saya berpindah agama, kami sekeluarga jadi saling menghargai aja kepercayaan masing-masing. Mama juga mengajari dan memberi penjelasan kepada adik-adik saya tentang perbedaan agama kami (saya dan orangtua). Yah, mudah-mudahan sih, orangtua saya dikasih hidayah dari Allah SWT untuk bisa segera menjadi seorang muslim seperti saya, supaya kami sekeluarga bisa jadi keluarga muslim”

(Kutipan hasil wawancara dengan K.D.R, tanggal 12 Desember 2009).

Dengan kebebasan yang diberikan keluarga informan untuk beribadah, informan menjadi lebih leluasa dalam beribadah. Pada saat hari raya Lebaran tiba, informan sudah berani ikut melaksanakan shalat Iedsecara berjamaah dengan umat Islam lainnya.

Masyarakat setempat tinggal informan yang mengetahui bahwa informan adalah seorang etnik Tionghoa dan merupakan anak dari keluarga penganut agama Kong Hu Chu merasa heran melihat informan melakukan ibadah bersama masyarakat setempat dan layaknya seorang muslim. Tetapi setelah diberi penjelasan masyarakat setempat tersebut mengerti dan paham bahwa informan sudah berpindah agama menjadi pemeluk agama Islam dan menjadi seorang muslim.

Lingkungan tempat tinggal informan memang terdiri dari berbagai etnik yang berbeda-beda, tetapi informan tidak mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Beberapa keluraga etnik Tionghoa di lingkungan tersebut memang masih ada yang bersikap tertutup dan tidak mau bergaul dan berbaur dengan masyarakat


(46)

yang beretnik lain di lingkungan tersebut, tetapi tidak dengan keluarga informan yang memang cukup dikenal baik oleh masyarakat setempat.

Dikenalnya keluarga informan di lingkungan sekitar, membuat masyarakat setempat tidak segan untuk mengundang dan melibatkan keluarga informan dalam kegiatan-kegiatan yang sering diadakan di lingkungan tempat tinggal informan tersebut, seperti acara 17-an, gotong royong bersih-bersih kampung dan lain-lain. Informan sendiri khususnya setelah masyarakat mengetahui bahwa informan sudah menjadi seorang muslim sering di undang untuk ikut acara pengajian dan apabila ada masyarakat setempat yang meninggal dunia, informan pun melibatkan diri mengikuti prosesi kematian dari mulai proses memandikan jenazah, mengkafani, menyolatkan, menguburkan, sampai mengikuti acara tahlilan.

Informan juga berusaha menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat yang non muslim atau penganut agama selain muslim, seperti Kristiani, Hindu dan Budha. Dalam keluarga informan pun, informan dan keluarga berbeda keyakinan, oleh karena itu informan bisa menghargai keyakinan agama yang dianut masing-masing. Dengan sikap saling menghargai tersebut informan bisa hidup berdampingan dan bertetangga dengan nyaman dan damai. Apabila ada masyarakat non muslim yang terkucil dan tidak bisa bergaul, itu dikarenakan dari sikap masyarakat tersebut sendiri yang menutup diri dari lingkungan sekitar.


(47)

B. Pembahasan

1. Interaksi Muslim Etnik Tionghoa dengan Lingkungan Sekitar

Interaksi terjadi apabila adanya suatu kontak sosial dan adanya komunikasi. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial (Soekanto. 1990:61).

Kontak sosial dan komunikasi pasti terjadi dalam masyarakat yang hidup bersama dan tinggal berdampingan dalam suatu lingkungan yang sama.

Aktivitas-aktivitas tersebut pun terjadi dalam lingkungan masyarakat muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat setempat yang beretnik selain Tionghoa. Masyarakat setempat dan muslim etnik Tionghoa saling berkomunikasi, bertegur sapa dan saling berbaur melakukan proses interaksi.

Muslim etnik Tionghoa bisa diterima di lingkungan masyarakat setempat dengan melakukan interaksi melalui 2 proses yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Proses asosiatif yang dialami setiap informan yaitu dalam bentuk kerjasama, akomodasi atau adaptasi dan asimilasi. Sedangkan proses disosiatif yang dialami


(48)

setiap informan yaitu dalam bentuk konflik antara informan dengan salah satu instansi pemerintah dan pertentangan terjadi antara informan dengan keluarga informan.

Interaksi melalui proses asosiatif dalam bentuk kerjasama yaitu terjadi antara muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan setempat ditandai dengan dilibatkannya setiap informan dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di lingkungan tempat tinggal mereka. Seperti misalnya adanya kegiatan hari kemerdekaan Republik Indonesia atau 17-an, gotong royong bersih-bersih kampung, pengajian dan juga tahlillan apabila ada masyarakat di lingkungan tempat tinggal informan ada yang meninggal dunia.

Interaksi dalam bentuk akomodasi, yaitu dilakukan setiap informan dengan cara melakukan penyesuain diri melalui suatu proses pembauran yang salah satu faktor yang mempermudah pembauran tersebut adalah agama, dengan menjadi seorang muslim, masyarakat etnik Tionghoa lebih mudah diterima oleh masyarakat dan berbaur dengan masyarakat setempat. Kemudian Interaksi yang terjadi dalam bentuk asimilasi yang terjadi yaitu contohnya dengan adanya perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan masyarakat setempat dengan etnik yang berbeda, bukan etnik yang sama (Tionghoa). Dari hasil penelitian di lapangan, didapat 3 informan, yang melakukan perkawinan campuran dengan masyarakat pribumi atau dengan etnik yang berbeda, bukan dengan etnik yang sama (Tionghoa). Melalui perkawinan campuran yang terjadi antara muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat setempat yang beretnik berbeda atau selain etnik


(49)

Tionghoa ini juga yang memudahkan pembauran etnik Tionghoa dengan masyarakat di lingkungan setempat. Walaupun masyarakat etnik Tionghoa awal memeluk Islam karena pernikahan, tapi ada juga yang memeluk Islam karena memang tertarik dengan agama itu sendiri. Seperti 2 informan diatas yang mengenal dan memeluk Islam karena menikah dengan penduduk setempat dan seorang muslim, tapi ada juga 2 informan lainnya yang memang memeluk Islam karena tertarik dengan ajaran itu sendiri.

Setelah memeluk agama Islam masyarakat etnik Tionghoa harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan harus memulai melakukan aktivitas-aktivitas dan ritual-ritual keagamaan yang diharuskan oleh ajaran agama Islam. Muslim etnik Tionghoa harus menjalankan semua yang diperintahkan oleh ajaran Islam seperti shalat 5 waktu, puasa, dan juga ritual-ritual keagamaan lainnya.

Selain berinteraksi melalui proses asosiatif seperti yang dijelaskan sebelumnya, masyarakat etnik Tionghoa juga mengalami interaksi melalui proses disosiatif dalam bentuk konflik dan pertentangan.

Konflik dialami salah seorang informan dengan salah satu instansi pemerintah. Pada waktu itu informan tersebut disuruh menunjukkan surat keterangan identitas yang menandakan bahwa informan adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI), ketika informan tersebut ingin mengurus pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Walaupun bukan konflik besar yang dialami informan tersebut,


(50)

tetapi menurut informan kejadian tersebut merupakan kejadian yang tidak mengenakkan dan sangat merugikan informan yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang sama sebagai seorang warga Negara. Tetapi hanya karena informan tersebut seorang yang beretnik Tionghoa, pada saat itu informan tersebut seperti mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam hal pelayanan pada instansi pemerintahan tersebut. Namun pada saat ini, Informan sudah tidak pernah lagi mengalami kesulitan ketika akan mendapatkan pelayanan dari instansi dari pemerintah, semua masyarakat sekarang diperlakukan sama tanpa ada pendiskriminasian berdasarkan etnik tertentu.

Proses interaksi dalam bentuk interaksi pertentangan dialami oleh salah seorang informan dalam keluarganya.

2. Interaksi Muslim Etnik Tionghoa dengan Lingkungan Keluarga

Dalam lingkungan keluarga, muslim etnik Tionghoa tidak begitu mengalami kesulitan dalam berinteraksi, dengan keluarga mereka yang memeluk agama yang sama yaitu Islam (muslim), dibuktikan dengan keterangan dari 3 informan yang dalam bagian keluarganya ada yang memeluk agama yang sama dengan yaitu Islam (muslim). Mereka malah bisa saling bersilaturahmi satu sama lain apabila hari raya Lebaran tiba.

Interaksi ketiga informan dengan keluarga mereka yang memeluk agama yang berbeda yaitu non muslim cukup baik. Tidak ada pertentangan dari pihak keluarga yang non muslim, atas keputusan ketiga informan untuk berpindah agama yaitu menjadi seorang muslim. Interaksi yang terjalin masih berjalan dengan baik.


(51)

Dibuktikan dengan keterangan dari 3 (tiga) informan, bahwa masih adanya keterlibatan keluarga dengan hadir dan ikut merayakan apabila hari raya Islam seperti lebaran tiba. Hal ini juga merupakan suatu bukti, bahwa adanya sikap menghargai dan saling menghormati dalam keluarga, walaupun agama yang dianut berbeda. Namun, ada salah satu informan yang mendapatkan pertentangan dari pihak anggota keluarga atas keputusan informan untuk berpindah agama dan menjadi seorang muslim. Tetapi hal tersebut bukan menjadi kendala dengan seiring berjalannya waktu, akhirnya keluarga informan bisa menerima keputusan informan berpindah agama menjadi pemeluk agama Islam.

3. Interaksi Muslim Etnik Tionghoa dengan Lingkungan Sekitar Non Muslim (Kristen, Budha, Hindu)

Interaksi muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat lingkungan non Muslim pun tidak berbeda jauh dengan interaksi yang terjadi antara muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat lingkungan sekitar yang sesama muslim, masyarakat saling berinteraksi, berbaur melakukan kerjasama dengan baik. Di buktikan dengan setiap informan yang memang tinggal dan bertempat tinggal di lingkungan dengan etnik dan pemeluk agama yang berbeda dan mereka sama-sama bisa hidup berdampingan dengan damai dan nyaman, namun apabila ada masyaakat lingkungan non muslim yang tidak bisa berbaur dengan masyarakat muslim etnik Tionghoa dan masyarakat umum lainnya, ini dikarenakan sikap dari masyarakat non muslim itu sendiri yang menutup diri dan membatasi diri untuk tidak berbaur dengan muslim etnik Tionghoa dan masyarakat umum lainnya.


(52)

4. Interaksi Muslim Etnik Tionghoa dalam Kegiatan Sehari-hari dan Hari-hari Besar Keagamaan.

Muslim etnik Tionghoa berinteraksi dalam kegiatan sehari-hari dengan lingkungan sosialnya, ditandai dengan adanya bentuk kerjasama yang dilakukan muslim etnik Tionghoa di lingkungan setempat.

Kerjasama yang dilakukan muslim etnik Tionghoa dengan masyarakat setempat yaitu dengan cara terlibat atau ikut melibatkan diri dalam acara kegiatan-kegiatan yang sering diadakan di lingkungan tempat tinggal mereka Seperti misalnya adanya kegiatan hari kemerdekaan Republik Indonesia atau 17-an, gotong royong bersih-bersih kampung dan lain-lain. Sedangkan dalam kegiatan hari-hari besar keagamaan, setiap informan masih ikut menghargai keluarga untuk bersama merayakan hari raya Imlekkan walaupun setiap informan sudah menjadi seorang muslim, karena Imlekkan bukan hanya sekedar hari raya tapi juga sudah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Tionghoa. Apabila hari besar keagamaan umat Islam (Lebaran) tiba, muslim etnik Tionghoa ikut berbaur merayakan bersama dengan sesama muslim lain, saling mngunjungi dan bersilaturahmi untuk merayakan Lebaran bersama-sama. Seperti yang dijelaskan setiap informan yang dalam anggota keluarganya ada yang sesama muslim, mereka saling mengunjungi dan bersilaturahmi untuk merayakan Lebaran bersama.


(53)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan yang akan disimpulkan sebagai berikut :

Dari keempat informan yang menjadi objek penelitian, setiap informan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya melalui tiga bentuk interaksi yaitu dengan cara kerjasama, akomodasi, dan asimilasi.

Interaksi dalam bentuk kerjasama yang terjadi pada setiap informan itu ditandai dengan dilibatkannya setiap informan dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Seperti ketika hari besar kemerdekaan Republik Indonesia tiba, masyarakat muslim etnik Tionghoa mau berbaur untuk sama-sama memeriahkan hari Kemerdekaan dengan warga setempat di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka masing-masing.

Selain itu ada juga informan yang berinteraksi dengan cara bekerjasama bergotong-royong untuk melakukan bersih-bersih kampungnya. Selain itu, bentuk kerjasama


(54)

yang dilakukan kelompok muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosial bisa dilihat dengan dilibatkannya muslim etnik Tionghoa dalam acara-acara keagamaan di lingkungan tersebut seperti acara pengajian dan tahlillan apabila ada masyarakat lingkungan setempat ada yang meninggal dunia.

Kemudian interaksi yang terjadi dalam bentuk akomodasi yaitu setiap informan biasanya melakukan penyesuaian diri dengan masyarakat setempat yang salah satu faktor yang mempermudah penyesuaian diri tersebut adalah agama. Dengan menjadi seorang muslim, masyarakat etnik Tionghoa lebih mudah berbaur dengan masyarakat setempat. Masyarakat setempat di lingkungan tempat tinggal mereka pun lebih mudah membuka diri setelah masyarakat etnik Tionghoa menjadi seorang muslim.

Kemudian proses interaksi yang terjadi dalam bentuk asimilasi yaitu contohnya adalah dengan adanya perkawinan campuran yang dilakukan antara masyarakat etnik Tionghoa dengan masyarakat dengan etnik yang berbeda atau selain etnik Tionghoa.

Interaksi antar etnik ini membawa pada suatu proses pembauran yang salah satu faktor yang mempermudah pembauran tersebut adalah agama. Diperkirakan agama Islam merupakan salah satu alat propaganda pembauran itu. Dengan menjadi Muslim, etnik Tionghoa dapat mendekatkan diri mereka dengan warga setempat tempat tinggal mereka.


(55)

Masyarakat keturunan Tionghoa ada yang memeluk Islam karena pernikahan. Diawali dengan pembauran, saling mengenal lalu menikah, namun ada juga yang memeluk Islam karena mereka tertarik dengan ajaran Islam itu sendiri.

Walaupun di Kecamatan Telukbetung Selatan banyak terdapat etnik dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda, akan tetapi konflik sosial jarang terjadi. Kalaupun ada tidak sampai menimbulkan dampak yang besar, sebagai contohnya bentuk diskriminasi yang pernah dirasakan oleh salah satu informan, yaitu ketika informan ingin membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) di salah satu instansi pemerintah, informan dipaksa menunjukkan surat identitas sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bisa dilayani pada instansi tersebut. Namun seiring dengan bergantinya pemimpin dalam pemerintah, hal tersebut sudah tidak terjadi lagi.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :

1. Adanya perubahan pandangan dari masyarakat pribumi tentang etnik Tionghoa sebagai kelompok yang eksklusif dan sulit didekati yang membuat jarak antara keduanya sehingga perlu adanya upaya interaksi yang lebih baik lagi.

2. Sikap keterbukaan antara kedua belah pihak yaitu masyarakat muslim setempat dengan masyarakat non muslim setempat untuk bisa berbaur dan tidak menutup diri dari lingkungan.


(56)

3. Bagi pengurus PITI perlu melakukan pendataan dan pembinaan kepada keturunan etnik Tionghoa yang baru dan telah memeluk agama Islam guna penguatan mental dan peningkatan pemahaman tentang Islam.

4. Perlu penelitian lanjutan yang meneliti tentang interaksi muslim etnik Tionghoa dengan lingkungan sosial mereka.


(57)

SANWACANA

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan hidayah-Nya yang memberikan kekuatan dan membuka wawasan berfikir dalam penulisan Skripsi ini hingga dapat terselesaikan, Shalawat serta Salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasullallah Nabi Muhammad S.A.W, beserta sahabat dan pengikut-pengikutnya. Skripsi dengan judul “Interaksi Muslim Etnik

Tionghoa dengan Lingkungan Sosialnya, (Studi pada Muslim Etnik Tionghoa di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung)”. Adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosiologi di Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari peran, bantuan, bimbingan, saran dan kritikan dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati dan keyakinan bahwa balasan Allah SWT yang sempurna yang bisa menggantikannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. A. Efendi, M.M, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Yulianto, Drs, M.Si, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.


(1)

Judul Skripsi : INTERAKSI KELOMPOK MUSLIM ETNIK

TIONGHOA DENGAN LINGKUNGAN SOSIALNYA (Studi Pada Kelompok Muslim Etnik Tionghoa

di Kecamatan Telukbetung Selatan Bandar Lampung) Nama Mahasiswa : Mia Marissa

No. Pokok Mahasiswa : 0516011053

Jurusan : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

MENYETUJUI,

1. Komisi Pembimbing

Drs. Erom Djuhendar, M.Si.

NIP. 131462571

2. Ketua Jurusan Sosiologi

Drs. Benjamin, M.Si.


(2)

MOTTO

Pengetahuan dan keterlampilan adalah alat,.yang menentukan kesuksesan seseorang

adalah KARAKTER..

(Wiseman).

Dari BATU aku belajar KETEGARAN

Dari AIR aku belajar KETENANGAN

Dari TANAH aku belajar KEHIDUPAN

Dari API aku belajar KEBERANIAN

dan Dari KALIAN…..

aku dapat belajar arti sebuah PERSAHABATAN

(catatan seorang sahabat).

Jadilah diriMu Sendiri

“Be You’re Self”


(3)

PEDOMAN PENELITIAN

(Pedoman wawancara dan observasi ini hanya sebagai penunutun di lapangan penelitian, karena pertanyaan bersifat terbuka dan dinamis sesuai perkembangan di lapangan

penelitian)

Judul Penelitian :

INTERAKSI MUSLIM ETNIK TIONGHOA DENGAN LINGKUNGAN SOSIALNYA

Oleh Mia Marissa

Identitas Informan :

1. Nama informan :

2. Alamat :

3. Umur :

4. Pekerjaan :

5. Suku :

6. Agama :

7. Pendidikan terakhir : 8. Status dalam keluarga :


(4)

Pertanyaan :

9. Sudah berapa lama anda memeluk agama Islam ? 10. Bagaimana pertama kali anda mengenal agama Islam ?

11. Selain anda, adakah dalam anggota keluarga anda yang memeluk agama yang sama dengan anda yaitu Islam ?

12. Apakah ada pertentangan dari pihak keluarga anda atas keputusan anda untuk berpindah agama memeluk agama Islam ?

13. Bagaimana anda berinteraksi dengan keluarga anda yang memeluk agama yang sama dengan anda (Islam), bila ada ?

14. Bagaimana anda berinteraksi dengan anggota keluarga anda yang non muslim?

15. Tinggal di lingkungan dengan etnik dan agama yang berbeda-beda, apakah anda mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar ?

16. Bagaimana anda berinteraksi dengan masyarakat lingkungan sekitar muslim ?

17. Bagaimana anda berinteraksi dengan masarakat lingkungan sekitar yang non muslim? 18. Apakah anda suka terlibat atau dilibatkan dalam kegiatan yang ada di lingkungan sekitar ?

19. Kegiatan seperti apa biasanya yang anda lakukan dengan masyarakat lingkungan sekitar ?

20. Apakah anada pernah terlibat konflik dengan masyarakat di lingkungan sekitar ? 21. Apakah anda suka ikut merayakan atau berkunjung apabila ada perayaan hari-hari


(5)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap Alhamdulillah dan rasa Syukur kepada ALLAH SWT, diiringi doa restu dari orang-orang yang menyayangiku, dengan penuh cinta dan kerendahan hati kupersembahkan karya sederhana ini kepada :

►Papaku Harison Katar (Super Dad), terima kasih atas jerih payah dan semua keringat yang papa keluarkan untukku dan anak-anak mu, semoga suatu hari nanti aku bisa membahagiakanmu dan membalas semua pengorbananmu serta membuktikan bahwa aku bisa menjadi anak kebanggaan papa.

►Mamaku Maryam (Wonder Mom) seorang mama yang akan melakukan apa saja untuk kami anak-anakmu, seorang mama yang tulus memberi tanpa mengharap balasan apapun dari kami. Doa yang mama selalu panjatkan untuk keberhasilan kami anak-anakmu, bukti tulusnya kasih mu kepada kami anak-anakmu,,Terima kasih untuk semuanya mama, semampuku kuingin memberi yang terbaik untukmu.

►Buat Abangku Andi Dakosta, S.E, adikku Ayu Tutianingsih nun jauh disebrang dan si bungsu Abudzar Al Ghifari, Terima kasih untuk dukungan dan doanya sehingga aku bisa mempersembahkan karya kecil ini


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Mia Marissa dilahirkan di Teluk Betung, pada tanggal 28 Agustus 1986, penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dan puteri dari pasangan Bapak Harison Katar dan Ibu Maryam.

Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh penulis yaitu Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 1992, Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Muhammaddiyah Bandar Lampung yang diselesaikan penulis pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2001, Sekolah Menengah Atas (SMA) Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2004, dan Program Pendidikan Bahasa Inggris 1 tahun di Lembaga Bahasa Inggris (LBI) diselesaikan pada tahun 2005.

Tahun 2005 penulis juga terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Unila melalui jalur penerimaan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi (HMJ Sos) FISIP Unila. Pada tahun 2008, penulis melakukan Praktek Kuliah Lapangan (PKL) di Pengadilan Agama Kelas I A Bandar Lampung.