Potensi Antibakteri Ekstrak Daun Kedondong Bangkok (Spondias dulcis Forst.)

11

PENDAHULUAN

Banyak tanaman yang tumbuh di negara ini dapat digunakan sebagai tanaman
obat mengingat Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Pemakaian obat tradisional untuk berbagai
macam pengobatan sudah lama dipraktikan oleh masyarakat Indonesia. Dorongan
masyarakat pada saat ini untuk kembali ke alam (back to nature) sangat besar
karena pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan sintetik kimia (obat-obat
kimia) cukup mahal dan memiliki efek samping yang serius. Keuntungan dari
ramuan obat yang berasal dari tanaman, yaitu membuatnya tidak sulit dan biaya
meramunya pun relatif murah. Efek samping yang ditimbulkan diharapkan tidak
seperti obat-obatan kimia mengingat bahan bakunya adalah bahan alami.
Salah satu penyebab penyakit adalah bakteri. Bakteri tertentu diketahui
merupakan mikrob penyebab penyakit (patogen) bagi manusia. Berbagai upaya
dilakukan untuk melawan bakteri patogen, antara lain melalui penemuan senyawa
yang dapat membunuh bakteri. Senyawa ini dikenal dengan antibakteri.
Salah satu zat antibakteri adalah antibiotik. Antibiotik ada yang langsung
digunakan dari hasil metabolit sekunder mikroorganisme dan ada yang dalam
bentuk turunannya yang sudah mengalami proses pengolahan. Hal ini dilakukan

dengan tujuan meningkatkan aktivitas kerja dan efektivitas antibiotik. Pemakaian
antibiotik sebagai antibakteri dapat menimbulkan efek negatif, yaitu timbulnya
resistensi bakteri terhadap aktivitas kerja antibiotik. Untuk menghindari efek ini
maka dilakukan usaha mencari senyawa antibakteri dari alam yang dapat
digunakan untuk mengurangi efek negatif antibiotik.
Tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber zat antibakteri adalah
kedondong bangkok (Spondias dulcis Forst.). Tanaman kedondong termasuk
famili Anacardiaceae yang merupakan tanaman buah atau tanaman kebun dan
terdapat di hampir seluruh daerah tropis. Selain buahnya dapat dimakan, daun
muda yang direbus dijadikan lalapan oleh masyarakat Indonesia. Daun, buah, dan
kulit batangnya dapat digunakan untuk mengatasi luka bakar dan borok di kulit.
Kandungan seratnya cukup baik, sehingga bisa digunakan untuk menjaga
kesehatan saluran pencernaan (Depkes 2007). Godokan kulit kayunya mujarab

12

untuk obat penyakit disentri, dan sangat berguna dalam mengobati penyakit
radang telinga anak anak (BPPT 2005).
Beberapa penelitian menyebutkan tanaman kedondong bangkok memiliki
khasiat menyembuhkan penyakit borok, kulit perih, luka bakar, radang telinga,

dan disentri. Sampai saat ini belum ada penelitian secara ilmiah tentang khasiat
tanaman ini sebagai antibakteri.
Penelitian ini bertujuan menentukan KHTM ekstrak daun kedondong bangkok
terhadap pertumbuhan bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus
subtilis) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas
aeruginosa) dan menentukan senyawa metabolit pada tanaman tersebut. Hipotesis
penelitian adalah ekstrak daun kedondong bangkok memiliki senyawa aktif yang
bersifat antibakteri.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
potensi antibakteri ekstrak kedondong bangkok dan senyawa aktif yang diduga
memiliki potensi antibakteri. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat bahwa tanaman ini mempunyai efek
antibakteri, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi tanaman tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kedondong Bangkok (Spondias dulcis Forst.)
Tanaman kedondong bangkok (Spondias dulcis Forst., sebelumnya bernama
Spondias cytherea) merupakan tanaman buah yang berasal dari famili
Anacardiaceae. Tanaman ini berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Tanaman ini juga telah tersebar ke seluruh daerah tropis. Kedondong bangkok
merupakan jenis unggul yang biasa ditanam para petani. Selain jenis ini, jenis
kedondong unggul lainnya adalah kedondong kendeng dan kedondong
karimunjawa (Prihatman 2004). Saat ini sudah banyak budidaya tanaman
kedondong bangkok untuk dijadikan tanaman buah dalam pot (tambulampot).
Tanaman ini tumbuh dengan cepat, tingginya dapat mencapai 18 m. Tanaman
ini tumbuh dengan batang yang tegak, agak kaku, dan simetris (Gambar 1).
Daunnya mengkilat, sedikit oval dengan ujung melancip, panjang tangkai sekitar

12

untuk obat penyakit disentri, dan sangat berguna dalam mengobati penyakit
radang telinga anak anak (BPPT 2005).
Beberapa penelitian menyebutkan tanaman kedondong bangkok memiliki
khasiat menyembuhkan penyakit borok, kulit perih, luka bakar, radang telinga,
dan disentri. Sampai saat ini belum ada penelitian secara ilmiah tentang khasiat
tanaman ini sebagai antibakteri.
Penelitian ini bertujuan menentukan KHTM ekstrak daun kedondong bangkok
terhadap pertumbuhan bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus
subtilis) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas

aeruginosa) dan menentukan senyawa metabolit pada tanaman tersebut. Hipotesis
penelitian adalah ekstrak daun kedondong bangkok memiliki senyawa aktif yang
bersifat antibakteri.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
potensi antibakteri ekstrak kedondong bangkok dan senyawa aktif yang diduga
memiliki potensi antibakteri. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat bahwa tanaman ini mempunyai efek
antibakteri, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi tanaman tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kedondong Bangkok (Spondias dulcis Forst.)
Tanaman kedondong bangkok (Spondias dulcis Forst., sebelumnya bernama
Spondias cytherea) merupakan tanaman buah yang berasal dari famili
Anacardiaceae. Tanaman ini berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Tanaman ini juga telah tersebar ke seluruh daerah tropis. Kedondong bangkok
merupakan jenis unggul yang biasa ditanam para petani. Selain jenis ini, jenis
kedondong unggul lainnya adalah kedondong kendeng dan kedondong
karimunjawa (Prihatman 2004). Saat ini sudah banyak budidaya tanaman
kedondong bangkok untuk dijadikan tanaman buah dalam pot (tambulampot).

Tanaman ini tumbuh dengan cepat, tingginya dapat mencapai 18 m. Tanaman
ini tumbuh dengan batang yang tegak, agak kaku, dan simetris (Gambar 1).
Daunnya mengkilat, sedikit oval dengan ujung melancip, panjang tangkai sekitar

13

20-60 cm dan tiap tangkai terdiri atas 9-25 helai. Daunnya mudah berganti-ganti
(rontok) di musim kering (kemarau). Bunga putih kecil dihasilkan oleh tandan
yang besar dengan bunga jantan dan betina yang sempurna di setiap tandan.
Tangkai buahnya panjang menjuntai pada tandan dengan jumlah selusin atau lebih
(Morton 1987). Perbanyakan tanaman ini dapat melalui bijinya.
Indonesia mengenal tanaman ini dengan nama kedondong (Jawa), kadondong
(Sunda), kedundung (Madura), kacencem (Bali), inci (Bima) karunrung
(Makasar), dan dau kaci (Bugis). Thailand menyebutnya ma-kok-farang, di
Kamboja disebut mokak, di Brazil disebut caja-manga, di Kostarika dikenal
dengan juplón. Bahasa inggrisnya adalah ambarella, dan nama lainnya otaheite
apple, great hog plum, dan golden apple. Klasifikasi tanaman kedondong
bangkok adalah dunia Plantae, divisi Magnoliophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Magnoliopsida, ordo Sapindales, family Anacardiaceae, genus Spondias,
spesies Spondias dulcis Forst.

Manfaat buah kedondong diantaranya, dapat dimakan dalam keadaan segar,
tetapi sebagian buah matang diolah menjadi selai, jeli, dan sari buah. Buah yang
direbus dan dikeringkan dapat disimpan untuk beberapa bulan. Buah mentahnya
banyak digunakan dalam rujak dan sayur, serta untuk dibuat acar (sambal
kedondong). Daun mudanya yang dikukus dijadikan lalapan. Buah dan daunnya
juga dijadikan pakan ternak. Kayunya berwarna coklat muda dan mudah
mengambang, tidak dapat digunakan kayu pertukangan, tetapi kadang-kadang
dibuat perahu. Banyak manfaat obat dari buah, daun, dan kulit batangnya.
Beberapa negara melaporkan adanya manfaat untuk pengobatan borok, kulit perih,
dan luka bakar (Prihatman 2004). Daun kedondong juga dapat digunakan untuk
melunakkan daging (Morton 1987). Daun, kulit batang, dan kulit akar kedondong
mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan tanin.

Gambar 1 Tanaman kedondong bangkok

14

Morfologi Bakteri
Bakteri merupakan mikrooganisme prokariot bersel tunggal (uniseluler). Selselnya secara khas berbentuk batang (basilus), bola (kokus), atau spiral (spirilium)
dengan diameter sekitar 0.5-1.0 μm dan panjangnya 1.5-2.6 μm. Spesies bakteri

tertentu

menunjukkan

pola

penataan

sel

seperti

tunggal,

berpasangan,

bergerombol, rantai, atau filamen (Pelczar & Chan 1986).
Schunack et al. (1990) membedakan bakteri berdasarkan morfologi dan
pemanfaatan kemoterapi menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif dan bakteri
Gram negatif. Bakteri Gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal,

sedangkan peptidoglikan pada bakteri Gram negatif lebih tipis, tetapi memiliki
membran luar yang tebal sehingga bersama-sama dengan peptidoglikan
membentuk mantel pelindung yang kuat untuk sel (Mckanne & Kandel 1996).
Bakteri Gram positif dan Gram negatif dibedakan berdasarkan pewarnaan Gram.
Warna ungu menandakan bakteri Gram positif dan warna merah menandakan
Gram negatif (Pelczar & Chan 1986). Perbedaan lain dari kedua bakteri ini
terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif
Ciri

Perbedaan relatif

Gram positif
Struktur dinding sel
Tebal (15-80 nm), berlapis
tunggal (mono)
Komposisi dinding Kandungan lipid rendah (1sel
4%),
peptidoglikan
sebagai

lapisan tunggal, dan ada
asam tekoat
Kerentanan terhadap Lebih rentan
penisilin
Persyaratan nutrisi
Relatif rumit pada banyak
spesies
Resistensi terhadap Lebih resisten
gangguan fisik

Gram negatif
Tipis
(10-15
nm),
berlapis tiga (multi)
Kandungan lipid tinggi
(11-22%),
dan
peptidoglikan ada di
dalam

lapisan
kaku
sebelah dalam
Kurang rentan
Relatif sederhana
Kurang resisten

Sumber : Pelczar & Chan (1986)

Reproduksi bakteri terutama dengan cara pembelahan biner melintang.
Beberapa spesies dapat bereproduksi dengan proses tambahan, yaitu spora
reproduktif dan fragmentasi. Selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk
membelah diri atau untuk membuat populasi menjadi dua kali lipat dikenal

15

sebagai waktu generasi. Waktu generasi masing-masing spesies bakteri tidak sama
tergantung kondisi dan nutrien (Pelczar & Chan 1986).

Bakteri Uji

Penelitian ini menggunakan empat jenis bakteri uji standar, yaitu
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Escherichia coli, dan Pseudomonas
aeruginosa (Bauer et al. 1968).

Staphylococcus aureus.
Staphylococcus aureus digolongkan ke dalam bakteri Gram positif dan
termasuk famili Micrococaceae. Bakteri ini berbentuk kokus dengan diameter 0.51.5 μm, terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau bergerombol seperti
anggur. Sifatnya patogen, tidak berspora, tidak berkapsul, nonmotil, dapat hidup
secara anaeob fakultatif tetapi tumbuh lebih cepat pada keadaan aerob. Koloni
bakteri akan menghasilkan pigmen berwarna putih, kuning, atau kuning jingga.
Suhu optimum pertumbuhannya antara 30-37 °C (Pelczar & Chan 1988; Lay &
Hastowo 1992). pH optimum untuk pertumbuhannya berkisar 7.0-7.5 dan tumbuh
baik dalam larutan NaCl 15% (Jawetz et al. 1996).
Bakteri ini dapat ditemukan pada luka bernanah terutama dalam selaput
hidung, folikel rambut, kulit, dan perineum (Jawetz et al. 1996). Fardiaz (1992)
juga menambahkan bahwa bakteri ini terdapat pada makanan yang mengandung
protein tinggi seperti telur dan sosis. Bakteri ini dapat menyebabkan
pembengkakan bernanah pada gusi (Pelczar & Chan 1988), menyebabkan
intoksikasi dan infeksi seperti bisul, pneumonia, mastitis pada hewan dan manusia
(Fardiaz 1983), dan memproduksi enterotoksin penyebab keracunan yang bersifat
tahan panas dan masih aktif setelah dipanasi pada suhu 100 °C selama 30 menit
(Fardiaz 1989).

Bacillus subtilis
Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk batang besar,
membentuk rantai, berspora, dan sifatnya aerob. Bakteri ini menggunakan sumber
N dan C untuk energi pertumbuhan. Spora resisten terhadap perubahan

16

lingkungan, tahan terhadap panas, kering, dan desinfektan kimia tertentu selama
waktu yang cukup lama dan tetap ada selama bertahun-tahun dalam tanah yang
kering. Panjang bakteri ini 2-3 μm dan lebarnya 0.7-0.8 μm. B. subtilis dapat
tumbuh pada suhu 45-55 °C, minimum pada suhu 5-20 °C, dan optimumnya
bervariasi antara 25-37 °C (Jawetz et al. 1996).
Bakteri ini banyak terdapat di tanah, air, udara, saluran pencernaan hewan, dan
bahan pangan tertentu. B. subtilis menyebabkan penyakit pada manusia dengan
sistem imun terganggu, misalnya gastroenteritis akut dan meningitis (Jawetz et al.
1996). Bakteri ini juga dikenal sebagai penyebab keasaman pada makanan kaleng
karena fermentasi gula yang dikandung bahan pangan tersebut (Buckle et al.
1985).

Escherichia coli
Escherichia coli termasuk famili Enterobacteriaceae. Bentuknya batang atau
koma dengan ukuran 1.1-1.5 μm × 2.0-6.0 μm, terdapat dalam bentuk tunggal atau
berpasangan dan dalam rantai pendek. Bakteri ini tergolong Gram negatif yang
tidak berspora dan tidak berkapsul. E. coli tumbuh baik pada pH optimum 7.0-7.5
dengan suhu optimum 37 °C. Bakteri ini nonmotil dan hidup secara anaerob
fakultatif. Koloni yang terbentuk berwarna putih hingga kekuningan, dan
permukaannya bergelombang di atas agar (Fardiaz 1983; Pelczar & Chan 1988).
E. coli umumnya merupakan mikrob yang secara normal terdapat dalam
saluran pencernaan hewan dan manusia. E. coli digunakan sebagai indikator
pencemaran air. Bakteri ini tidak patogenik, tetapi dapat menyebabkan infeksi.
Bila memasuki kandung kemih dapat menyebabkan sistitis. Beberapa galur
tertentu dapat menyebabkan gastroenteritis, disentri pada manusia serta dapat
menyebabkan diare (Fardiaz 1983; Pelczar & Chan 1988). Jawetz et al. (1996)
menambahkan bahwa bakteri ini juga menyebabkan infeksi pada daerah paha.

Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa termasuk famili Pseudomonaceae dan merupakan
kelompok Gram negatif. Bakteri ini tidak tahan terhadap panas dan keadaan
kering, oleh karena itu mudah dibunuh dengan proses pemanasan dan

17

pengeringan. P. aeruginosa dapat hidup secara aerobik dan tumbuh pada suhu 37
°C, (Fardiaz 1989). Bakteri ini bersifat motil dan tumbuh baik pada media N
dengan bermacam-macam senyawa karbon. Bentuknya batang kecil dengan
diameter 0.5-4.0 μm (Burchanan & Gibbons 1974).
P. aeruginosa membentuk koloni bulat halus dengan fluoresensi kehijauan dan
berbau aromatik yang enak. Bakteri ini hanya bersifat patogen dalam tubuh bila
masuk ke daerah yang pertahanan normalnya tidak ada atau berperan dalam
infeksi campuran (Jawetz et al. 1996). Bakteri ini juga merupakan penyebab
berbagai jenis kerusakan bahan pangan yang sebagian besar berhubungan dengan
kemampuan spesies ini dalam memproduksi enzim yang dapat memecah
komponen lemak maupun protein dari bahan pangan (Buckle et al. 1985).

Antibakteri
Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan penyakit, dan
merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, dan
dibunuh dengan cara fisik maupun kimia. Senyawa antimikrob adalah zat yang
dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan dapat digunakan untuk kepentingan
pengobatan infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Antimikrob meliputi
antibakteri, antifungal, antiprotozoa, dan antivirus (Schunack et al. 1990).
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolismenya (Pelczar & Chan
1988).
Cara kerja antibakteri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bakteriostatik dan
bakterisidal. Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat
perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikannya, sedangkan bakterisidal
bekerja dengan membunuh bakteri. Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik
pada konsentrasi rendah dan bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi ( Atlas
1997; Schunack et al. 1990). Bakteriostatik dapat bertindak sebagai bakterisidal
dalam konsentrasi yang tinggi (Schunack et al. 1990).
Konsentrasi minimum yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri dikenal
sebagai konsentrasi hambat tumbuh minimuml (KHTM). Sifat antibakteri dapat
berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang berspektrum luas (broad spectrum)

18

bila menghambat atau membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif,
berspektrum sempit (narrow spectrum) bila menghambat atau membunuh bakteri
Gram positif atau Gram negatif saja, dan berspektrum terbatas (limited spectrum)
bila efektif terhadap spesies bakteri tertentu (Djiwoseputro 1990; Todar 1997).
Mekanisme kerja antibakteri dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu merusak
dan menghambat sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas sel, dan
menghambat sintesis protein dan asam nukleat (Atlas 1997; Jawetz et al. 1996).
Beberapa faktor dan keadaan yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri, antara
lain konsentrasi antibakteri, spesies bakteri, jumlah bakteri, adanya bahan organik,
pH lingkungan, dan suhu (Pelczar & Chan 1988).
Antibiotik merupakan kelompok terpenting di antara zat antibakteri. Antibiotik
didefinisikan sebagai senyawa kimia yang dihasilkan atau diturunkan oleh
organisme hidup termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik dan
dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu
atau lebih spesies mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995).
Ampisilin merupakan salah satu contoh antibiotik. Ampisilin adalah antibiotik
turunan penisilin dan merupakan senyawa bakteriostatik berspektrum luas.
Ampisilin tahan terhadap asam, tidak tahan terhadap penisilinase, dan bersifat
sangat bakterisidal. Mekanisme kerjanya di dalam sel bakteri adalah menghambat
pembentukan dinding sel dengan cara mencegah bergabungnya asam Nasetilmuramat. Kegunaan ampisilin, yaitu untuk pengobatan infeksi pada saluran
pernafasan dan saluran seni, gonorhea, gastroenteritis, meningitis, dan infeksi
tipoid (Siswandono & Soekardjo 1995).

Ekstraksi
Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) di antara dua pelarut
yang tidak saling bercampur (Adijuwana & Nur 1989). Menurut Winarno et al.
(1973) ekstraksi dapat diartikan sebagai cara untuk memisahkan campuran
beberapa zat menjadi komponen-komponen terpisah. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu fase air (aquous phase) dan fase organik (organic phase).
Ekstraksi fase air menggunakan air sebagai pelarut, sedangkan ekstraksi fase
organik menggunakan pelarut organik, seperti kloroform, eter, dan sebagainya.

19

Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu
senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas,
toksisitas, kemampuan untuk mengekstrak, kemudahan untuk diuapkan, dan harga
pelarut. Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi
sederhana dan khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas maserasi, perkolasi,
reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri atas sokletasi, arus
balik, dan ultrasonik (Harborne 1987).
Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas.
Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut
dengan waktu tertentu, biasanya dilakukan selama sehari semalam (24 jam) tanpa
menggunakan pemanas. Kelebihan metode ini adalah sederhana, tidak
memerlukan alat-alat yang rumit, relatif murah, kerusakan komponen dapat
dihindari karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak
tahan panas. Kelemahannya antara lain, dari segi waktu dan penggunaan pelarut
yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak
dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Meloan 1999 dalam Wulandari 2005).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kedondong
bangkok, bakteri Gram positif (S. aureus dan B. subtilis), bakteri Gram negatif (E.
coli dan P. aeruginosa), yeast extract, bacto peptone, bacto agar, nutrient broth,
nutrient agar, glukosa, heksana, aseton, metanol, akuades, pereaksi-pereaksi uji
fitokimia (kloroform, H2SO4, ammonia, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf,
pereaksi Wagner, metanol, pereaksi Lieberman Burchard, dan FeCl 1%).
Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow hood, spektrofotometer,
inkubator bergoyang, oven, eksikator, hot plate stirrer, lemari es, cawan petri,
jarum ose, neraca analitik, autopipet, peralatan gelas, dan evaporator vakum.

19

Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu
senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas,
toksisitas, kemampuan untuk mengekstrak, kemudahan untuk diuapkan, dan harga
pelarut. Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi
sederhana dan khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas maserasi, perkolasi,
reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri atas sokletasi, arus
balik, dan ultrasonik (Harborne 1987).
Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas.
Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut
dengan waktu tertentu, biasanya dilakukan selama sehari semalam (24 jam) tanpa
menggunakan pemanas. Kelebihan metode ini adalah sederhana, tidak
memerlukan alat-alat yang rumit, relatif murah, kerusakan komponen dapat
dihindari karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak
tahan panas. Kelemahannya antara lain, dari segi waktu dan penggunaan pelarut
yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak
dan membutuhkan waktu yang lebih lama (Meloan 1999 dalam Wulandari 2005).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kedondong
bangkok, bakteri Gram positif (S. aureus dan B. subtilis), bakteri Gram negatif (E.
coli dan P. aeruginosa), yeast extract, bacto peptone, bacto agar, nutrient broth,
nutrient agar, glukosa, heksana, aseton, metanol, akuades, pereaksi-pereaksi uji
fitokimia (kloroform, H2SO4, ammonia, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf,
pereaksi Wagner, metanol, pereaksi Lieberman Burchard, dan FeCl 1%).
Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow hood, spektrofotometer,
inkubator bergoyang, oven, eksikator, hot plate stirrer, lemari es, cawan petri,
jarum ose, neraca analitik, autopipet, peralatan gelas, dan evaporator vakum.

20

Metode
Pembuatan Filtrat
Daun kedondong bangkok segar dicuci bersih dan dipisahkan menjadi daun
muda dan daun tua. Masing-masing daun dipotong-potong dan dihaluskan dengan
mortar. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk uji pendahuluan bakteri. Hasil uji
pendahuluan ini (daun muda atau daun tua) akan digunakan untuk metode
selanjutnya.

Pembuatan Ekstrak
Tahap ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan tiga pelarut,
yaitu heksana, aseton, dan metanol. Daun kedondong bangkok segar dikeringkan
dalam oven ± 50 °C lalu diblender. Serbuk daun kedondong yang telah diketahui
bobotnya direndam dengan masing-masing pelarut dengan perbandingan 1:10
selama 24 jam pada suhu ruang. Tahap maserasi ini dilakukan triplo. Setelah 24
jam, sampel disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Masing-masing
filtrat dievaporasi menggunakan evaporator vakum untuk menguapkan pelarut.
Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk uji antibakteri, uji fitokimia, dan
penentuan KHTM.

Penentuan Kadar Air
Kadar air ditentukan dengan mengeringkan daun dalam oven bersuhu 105°C
selama 3 jam selanjutnya didinginkan dalam eksikator. Daun yang sudah dingin
ditimbang. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang
konstan. Pinggan porselin yang digunakan harus dikeringkan terlebih dahulu
dalam oven 105 °C selama 30 menit dan didinginkan dalam eksikator. Pinggan ini
kemudian ditimbang. Kadar air dihitung dengan persamaan :
Kadar air = w1 – w2 × 100%
w
w1: bobot pinggan porselin ditambah bobot daun sebelum dikeringkan
w2: bobot pinggan porselin ditambah bobot daun setelah dikeringkan
w : bobot daun

21

Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Alkaloid. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 5 mL kloroform dan 3
tetes ammonia. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H2SO4.
Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung kemudian masing-masing ditambahkan
pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi
Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner.
Uji Saponin. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 5 mL akuades dan
dipanaskan selama lima menit. Setelah itu ekstrak disaring dan filtratnya dikocok.
Adanya saponin ditunjukan dengan timbulnya busa selama ± 10 menit.
Uji Flavonoid. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan metanol sampai
terendam lalu dipanaskan. Filtratnya ditambahkan H2SO4, terbentuknya warna
merah karena penambahan H2SO4 menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
Uji Triterpenoid dan Steroid. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 5 ml
etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan
eter. Lapisan eter ditambahkan pereaksi Lieberman Burchard (3 tetes asam asetat
anhidrida dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid.
Uji Tanin. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 5 mL akuades kemudian
dididihkan selama beberapa menit. Kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan
dengan FeCl 1%. Warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk
menandakan adanya tanin.

Pembuatan Media
Pembuatan Media Nutrient Agar (NA). Media ini merupakan media agar
miring. Sebanyak 23 g NA dilarutkan dalam 1 L akuades lalu dipanaskan dan
diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer sampai homogen. Larutan tersebut
dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 mL, kemudian ditutup dengan
kapas dan aluminium foil. Media disterilkan dengan otoklaf pada tekanan 1.5 atm,
dengan suhu 121 °C selama 15 menit. Tabung-tabung tersebut dimiringkan
sebelum mengeras dan dibiarkan selama 24 jam. Media ini digunakan untuk

22

pertumbuhan bakteri. Formulasi perliter NA DIFCO adalah beef extract 3 g, bacto
peptone 5 g, dan bacto agar 15 g.
Pembuatan Media Cair Nutrient Broth (NB). Sebanyak 13 g media NB
dilarukan dalam 1 L akuades, kemudian dipanaskan dan diaduk dengan magnetic
stirrer sampai homogen. Sebanyak 10 mL larutan tersebut dimasukan ke dalam
labu Erlenmeyer dan ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Media disterilkan
dengan otoklaf pada tekanan 1.5 atm, suhu 121 °C selama 15 menit.
Pembuatan Media Peptone Yeast Glucose (PYG) (Bintang 1993). Sebanyak
10 g pepton, 10 g yeast extract, 20 g glukosa, dan 20 g agar dilarutkan dalam 1 L
akuades lalu dipanaskan dan diaduk sampai larut. Larutan tersebut dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebanyak 20 mL dan media disterilkan dengan otoklaf pada
tekanan 1.5 atm, 121 °C selama 15 menit. Media PYG digunakan untuk
pembuatan agar cawan petri.

Regenerasi Bakteri
Bakteri dibiakkan pada agar miring steril lalu diinkubasi pada 37 °C selama 24
jam. Biakan tersebut diambil satu ose dan diinokulasikan ke labu Erlenmeyer
yang berisi 10 mL media cair NB steril. Biakan diinkubasi pada inkubator
bergoyang selama 24 jam dengan suhu 37 °C. Setelah diinkubasi, kerapatan optik
(optical density, OD) 25% T bakteri ini diukur pada panjang gelombang 600 nm.

Uji Aktivitas Antibakteri (Bintang 1993)
Biakan bakteri yang telah diregenerasi dengan nilai OD ± 1.0 diambil sebanyak
50 μL dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Biakan tersebut dicampurkan
dengan media PYG cair (± 45 °C) lalu didinginkan pada suhu kamar sampai
menjadi padat. Media dilubangi dengan menggunakan pangkal pipet tetes steril
(diameter ± 5.5 mm). Ekstrak daun kedondong bangkok dimasukkan ke dalam
lubang tersebut sebanyak 50 μL dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C.
Aktivitas antibakteri diperoleh dengan mengukur zona bening yang menunjukkan
bakteri tidak tumbuh disekitar lubang yang berisi ekstrak sampel. Kontrol positif
yang digunakan adalah antibiotik ampisilin dengan konsentrasi 0.4 mg/mL.

23

Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)
Penentuan KHTM dilakukan setelah diketahui ekstrak daun kedondong
bangkok memiliki aktivitas antibakteri. Biakan bakteri uji sebanyak satu ose
dimasukkan ke dalam 10 mL media cair NB lalu diinkubasi dalam inkubator
bergoyang selama 24 jam pada suhu 37 °C. Sebanyak 50 μL biakan bakteri
dengan nilai OD ± 1.0 dicampurkan ke dalam 20 mL media agar PYG bersuhu ±
45 °C lalu dibiarkan sampai memadat. Media agar yang telah padat dilubangi
dengan pangkal pipet tetes (diameter ± 5.5 mm). Variasi konsentrasi yang
digunakan untuk menentukan KHTM adalah 250, 100, 75, 50, 25, 10, 5, 4, 3, 2,
dan 1 mg/mL. Sebanyak 50 μL sampel dimasukkan pada lubang media PYG yang
telah diinkubasi dengan bakteri uji, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37 °C. Aktivitas antibakteri diperoleh dengan mengukur zona bening dengan
menggunakan jangka sorong, minimal empat kali pengukuran diagonal dan
nilainya dirata-ratakan.

Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah rancangan percobaan dua faktor
dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model rancangannya:
Yij = μ + τi + εij
Yij = diameter zona bening pada dosis ke-i
ulangan ke-j
μ = pengaruh rataan umum
τ = pengaruh dosis ke-i
ε = pengaruh acak pada dosis ke-i ulangan
ke-j dengan
i: 1 = 250 mg/mL 2 = 100 mg/mL
3 = 75 mg/mL 4 = 50 mg/mL
5 = 25 mg/mL 6 = 10 mg/mL
7 = 5 mg/mL 8 = 4 mg/mL
9 = 3mg/mL 10= 2 mg/mL
11= 1 mg/mL
j: 1, 2

24

Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh
dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%
dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai uji lanjut. Analisis statistik
menggunakan program SPSS 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar Air
Penentuan kadar air bertujuan menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan
sebagai persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam
penyimpanan (Harjadi 1993). Sebagian air harus dihilangkan dengan beberapa
cara tergantung dari jenis bahan agar dapat memperpanjang masa simpan suatu
bahan. Kadar air yang baik adalah kurang dari 10% karena pada kadar ini bahan
dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama sehingga kemungkinan rusak
karena jamur sangat kecil. Kadar air yang diperoleh pada daun kedondong
bangkok segar sebesar 81.96%. Tingginya kadar air pada tanaman ini
kemungkinan karena adanya proses fotosintesis.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kedondong yang
dikeringkan dalam oven pada suhu 50 ºC selama 24 jam lalu dijadikan bubuk
dengan cara diblender. Tujuan digunakan daun kedondong bangkok kering supaya
lebih tahan dalam penyimpanan, hasilnya lebih nyata, dan rendemen yang
dihasilkan lebih banyak. Kadar air daun kedondong bangkok kering ini sebesar
76.74% tidak berbeda jauh terhadap kadar air yang dikeringkan pada 105 °C.
Tingginya nilai kadar air daun kering ini kemungkinan air yang terdapat pada
daun tidak terikat secara fisik melainkan secara kimia sehingga air sulit untuk
menguap.

Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi
Daun kedondong bangkok yang telah dikeringkan dan menjadi bubuk
diekstraksi maserasi dengan menggunakan tiga pelarut, yaitu metanol, aseton, dan
heksana. Metode ekstraksi maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan
dengan cara merendam sampel dalam pelarut selama waktu tertentu. Metode ini

25

sederhana dan tidak merusak senyawa yang tidak tahan panas. Senyawa yang
terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang mempunyai polaritas sesuai
dengan pelarutnya. Pemilihan tiga jenis pelarut tersebut berdasarkan sifat
kepolarannya. Metanol bersifat polar, aseton bersifat semipolar, dan heksana
bersifat nonpolar. Ekstraksi seperti ini berdasarkan prinsip like dissolve like, yaitu
pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan
melarutkan senyawa nonpolar, sehingga metanol akan melarutkan senyawa polar,
aseton akan melarutkan senyawa semipolar, dan heksana akan melarutkan
senyawa nonpolar.
Nilai rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel 2, yaitu, hasil ekstraksi dengan
pelarut heksana sebesar 3.57%, pelarut aseton sebesar 24.32%, dan pelarut
metanol menghasilkan rendemen sebanyak 37.59%. Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa polar dan semipolar lebih banyak terekstrak daripada senyawa nonpolar.
Hasil ini juga menunjukan bahwa senyawa polar dan semipolar lebih banyak
terdapat pada daun kedondong bangkok.
Tabel 2 Perolehan rendemen ekstrak
Ekstrak

Rendemen (%)

Heksana

3.57

Aseton

24.32

Metanol

37.59

Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia merupakan suatu cara untuk mengetahui kandungan
metabolit suatu tanaman secara kualitatif. Sampel yang digunakan untuk analisis
ini adalah ekstrak metanol daun kedondong bangkok. Analisis fitokimia bertujuan
mengetahui senyawa metabolit yang diharapkan berperan sebagai senyawa
antibakteri. Senyawa-senyawa yang diuji adalah alkaloid, saponin, flavonoid,
tanin, triterpenoid, dan steroid. Hasil pengujian seperti yang terlihat pada Tabel 3
menunjukkan ekstrak metanol daun kedondong bangkok mengandung senyawa
alkaloid, tanin, dan saponin. Hasil positif terhadap alkaloid pada penelitian ini
ditandai dengan terbentuknya sedikit endapan merah pada pereaksi Dragendorf,
endapan coklat pada pereaksi Wagner dan endapan putih pada pereaksi Meyer.

26

Adanya tanin ditandai dengan terbentuknya warna hitam kehijauan, dan adanya
saponin ditandai dengan terbentuknya busa yang mantap ± selama 10 menit
setelah dikocok.
Tanin merupakan senyawa polifenol yang larut dalam air, gliserol, metanol,
hidroalkoholik, dan propilena glikol, tetapi tidak dapat larut dalam benzena,
kloroform, eter, petroleum eter, dan karbon disulfida (Harborne 1987). Tanin
mempunyai rasa sepat dan juga bersifat sebagai antibakteri dan astringent atau
menciutkan dinding usus yang rusak karena asam atau bakteri (Wienarno et al.
1997). Mekanisme penghambatan bakteri pada tanin adalah dengan cara bereaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim esensial, dan dekstruksi fungsi
material genetik (Brannen & Davidson 1993).
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun.
Senyawa ini dapat dideteksi karena kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis darah (Harborne 1987). Saponin diduga sebagai senyawa
antibakteri pada daun kedondong bangkok karena memiliki kemampuan untuk
menghambat fungsi membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang
mengakibatkan dinding sel rusak atau hancur.
Alkaloid merupakan senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam bentuk gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid
beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol
sehingga dapat digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987).
Menurut Jouvenaz et al. (1972) dan Karou et al. (2006), senyawa alkaloid dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif. Karou et al.
(2006) mengatakan bahwa senyawa alkaloid dapat menyebabkan lisis sel dan
perubahan morfologi bakteri.
Tabel 3 Hasil analisis fitokimia ekstrak daun kedondong bangkok
Senyawa
Alkaloid
Tanin
Saponin
Flavonoid
Steroid/ triterpenoid

Hasil
+
+
+
-

Keterangan: (+) menunjukkan hasil positif

27

Aktivitas Antibakteri Filtrat Daun Kedondong Bangkok Segar
Uji pendahuluan penelitian ini menggunakan filtrat daun kedondong bangkok
yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu daun muda dan daun tua. Penelitian
pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui potensi antibakteri terbesar di antara
kedua filtrat terhadap bakteri uji. Hal ini didasari karena adanya perbedaan fisik
pada daun tua dan daun muda, diantaranya daun tua lebih kaku dibandingkan daun
muda, dan juga karena adanya perbedaan kandungan senyawa metabolit diantara
kedua daun tersebut. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa daun tua
memiliki zona hambat yang lebih besar daripada daun muda, namun tingkat
aktivitas antibakteri berbeda-beda terhadap bakteri uji (E. coli, P. aeruginosa, B.
subtilis, dan S. aureus) yang digunakan.
Gambar 2 menunjukkan bahwa baik daun muda dan daun tua memiliki potensi
yang sama sebagai antibakteri. Dari hasil penelitian diperoleh zona hambat dari
filtrat daun muda terhadap bakteri E. coli, P. aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus
berturut-turut adalah 20.225 mm, 20.900 mm, 20.275 mm, dan 25.813 mm. Zona
hambat pada daun tua terhadap bakteri E. coli, P. aeruginosa, B. subtilis, dan S.
aureus berturut-turut adalah 20.563 mm, 25.488 mm, 20.238 mm, dan 28.175
mm. Daun tua dipilih untuk uji selanjutnya karena selain banyak dan mudah
didapat, daun tua juga memiliki zona hambat yang lebih besar pada bakteri E.

diameter zona hambat (mm)

coli, S. aureus, dan P. aeruginosa yang lebih bersifat patogen.
30
25
20
15
10
5
0
E. coli

P. aeruginosa

B. subtilis

S. aureus

bakteri
diameter daun muda (mm)

diameter daun tua (mm)

Gambar 2 Aktivitas antibakteri filtrat daun kedondong bangkok.

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Kedondong Bangkok Kering
Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan menggunakan ekstrak heksana,
aseton, dan metanol yang dilarutkan dengan pelarutnya. Ekstrak metanol selain

28

dilarutkan dalam metanol, juga dilarutkan dalam pelarut air. Konsentrasi masingmasing ekstrak yang digunakan adalah 0.5 g/mL Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ekstrak metanol dengan pelarut metanol memiliki zona
hambat yang paling besar, sedangkan ekstrak heksana menghasilkan zona hambat
yang paling kecil. Aktivitas antibakteri dilihat dari zona bening di sekitar lubang
yang berisi ekstrak. Daya hambat ekstrak heksana, aseton, dan metanol dapat
dilihat pada Gambar 3. Semua ekstrak dapat menghambat bakteri Gram positif
dan Gram negatif. Penghambatan ekstrak heksana terhadap bakteri E. coli, P.
aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus adalah 5.469 mm, 4.088 mm, 3.375 mm,
dan 5.057 mm. Penghambatan ekstrak aseton terhadap bakteri E. coli, P.
aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus adalah 25.313 mm, 20.238 mm, 25.200 mm,
dan 30.888 mm. Penghambatan ekstrak metanol dengan pelarut metanol terhadap
bakteri E. coli, P. aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus adalah 32.450 mm,
31.650 mm, 31.363 mm, dan 34.144 mm. Penghambatan ekstrak metanol dengan
pelarut air terhadap bakteri E. coli, P. aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus adalah
24.313 mm, 29.663 mm, 23.363 mm, dan 28.463 mm.
Berdasarkan metode David Stout dalam Suryawiria (1978) seperti yang terlihat
pada Tabel 4, aktivitas antibakteri ekstrak aseton, ekstrak metanol dengan pelarut
metanol, dan ekstrak metanol pelarut air menghasilkan zona hambat lebih dari 20
mm sehingga tergolong ke dalam antibakteri yang sangat kuat. Penghambatan
terhadap masing-masing bakteri berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
karasteristik bakteri yang tidak sama antara satu dengan lainnya dan tiap bakteri
memiliki kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Kontrol positif yang digunakan adalah ampisilin dengan konsentrasi 0.4
mg/mL agar zona hambat lebih jelas dan dapat dibandingkan dengan ekstrak.
Kontrol ampisilin menunjukkan aktivitas yang sangat kuat terhadap bakteri P.
aeruginosa, B. subtilis, dan S. aureus sedangkan aktivitas yang kuat terhadap E.
coli. Penghambatan ampisilin terhadap bakteri E. coli, P. aeruginosa, B. subtilis,
dan S. aureus adalah 15.600 mm, 25.200 mm, 27.600 mm, dan 27.200 mm. Data
yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan ampisilin lebih menghambat
bakteri Gram positif. Menurut Wattimena et al. (1991), ampisilin mempunyai

29

spektrum antibakteri yang sama dengan penisilin G terhadap bakteri Gram positif
dan lebih selektif terhadap bakteri Gram positif.
Penelitian selanjutnya menggunakan ekstrak metanol dengan pelarut air.
Ekstrak metanol dengan pelarut air memiliki zona hambat yang besar terhadap
bakteri P. aeruginosa daripada ekstrak aseton karena P. aeruginosa bersifat
patogen. Meskipun ekstrak metanol dengan pelarut metanol dan ekstrak aseton
juga memiliki zona hambat yang besar, pelarut tersebut sangat mudah menguap
sehingga dikhawatirkan konsentrasi akan berubah menjadi tidak tepat dan dapat
mempengaruhi hasil pengukuran selanjutnya.
Tabel 4 Aktivitas antibakteri berdasarkan metode David Stout
Diameter zona
hambat
>20 mm
10-20 mm
5-10 mm

Dokumen yang terkait

SKRIPSI OPTIMASI VARIASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI EKSTRAK DAUN KEDONDONG (Spondias dulcis) TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN.

1 4 13

I . PENDAHULUAN OPTIMASI VARIASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI EKSTRAK DAUN KEDONDONG (Spondias dulcis) TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN.

1 7 8

II. TINJAUAN PUSTAKA OPTIMASI VARIASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI EKSTRAK DAUN KEDONDONG (Spondias dulcis) TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN.

0 10 18

V. SIMPULAN DAN SARAN OPTIMASI VARIASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI EKSTRAK DAUN KEDONDONG (Spondias dulcis) TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN.

0 4 10

LAMPIRAN OPTIMASI VARIASI SUHU DAN WAKTU EKSTRAKSI EKSTRAK DAUN KEDONDONG (Spondias dulcis) TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN.

0 2 15

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG KEDONDONG (Spondias pinnata) TERHADAP Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Batang Kedondong (Spondias pinnata) Terhadap Streptococcus mutans Dan Shigella sonnei.

0 0 12

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG KEDONDONG (Spondias pinnata) TERHADAP BAKTERI Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Batang Kedondong (Spondias pinnata) Terhadap Streptococcus mutans Dan Shigella sonnei.

0 3 15

POTENSI ANTITUBERKULOSIS EKSTRAK n-HEKSANA DAUN KEDONDONG HUTAN (Spondias pinnata (L.f.) Kurz.).

1 2 7

Kajian Ekstrak Daun Kedondong (Spondias dulcis G.Forst) Diberikan Secara Oral pada Tikus Putih Ditinjau dari Histopatologi Ginjal.

1 6 8

Analisis Kadar Flavonoid Total Ekstrak Kulit Batang Kedondong Bangkok (Spondias dulcis) dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 88